Papers by Stanislaus Yangni
Andre Tanama adalah salah satu dari banyak seniman penuh talenta yang muncul di Indonesia. Dalam ... more Andre Tanama adalah salah satu dari banyak seniman penuh talenta yang muncul di Indonesia. Dalam karya-karya seni lukis dan seni grafis Andre Tanama membuat dunia-dunia imajiner, tidak seperti yang tampak dengan figur-figur melainkan dengan lekukan lekukan. Dunia gambarnya adalah sebuah dunia yang dibuat dengan garis-garis lengkung: panjang dan berulang, berkelok seperti sungai dan lebar garis yang berebeda. Dalam karya-karyanya Andre menyiratkan suatu dialog yang intim dengan para pemirsa. Dialognya mudah melompati kesenjangan budaya dan geografi dan ia membawa sebuah pesan yang universal. Buku ini memuat gambar-gambar pameran tunggal karya Andre Tanama dengan judul “Agathos” yang dilaksanakan di Langgeng Gallery pada bulan April 2012. Karya-karya Andre Tanama menunjukkan konsep-konsep komik. Narasi pada karya-karyanya mengutamakan perwatakan melalui wajah dan ekspresi emosi, dengan menampilkan Agathos untuk mengungkapkan religiosity yaitu pencarian hubungan mistis Tuhan di luar do...
Retorik: Jurnal Ilmu Humaniora
Penelitian dalam tesis ini dilatarbelakangi oleh dua hal, pertama, kegelisahan atas hilangnya has... more Penelitian dalam tesis ini dilatarbelakangi oleh dua hal, pertama, kegelisahan atas hilangnya hasrat dan keberanian menarik garis dalam melukis. Teknologi representasi yang selalu berseberangan dengan aspek spontanitas dan pengalaman tubuh seniman membuat spontanitas menjadi hal yang langka di dunia seni lukis kita. Kondisi ini berpengaruh terhadap proses kreasi dan hasilnya. Kedua, langkanya kajian estetika seni khususnya di Indonesia yang memfokuskan diri pada proses penciptaan karya. Karena itu, tesis ini mengambil sketsa sebagai hal yang elementer untuk mencermati garis dan gerak spontan, dan sketsa ini akan dianalisis dari pendekatan estetika Deleuzian. Sketsa dalam estetika Deleuzian merupakan embrio dari lukisan, yang diistilahkan sebagai “diagram,” (graph). Inti dari diagram adalah “jejak tangan” (manual trait) sang pelukis yang menyertai proses melukis (act of painting). Dalam estetika Deleuze, hal terpenting dalam painting adalah kemampuan meruntuhkan “gambaran dogmatis” (...
JSRW (Jurnal Senirupa Warna), 2019
Tulisan ini merupakan hasil penelitian atas dua lukisan Affandi, yaitu Affandi dan Tujuh Matahari... more Tulisan ini merupakan hasil penelitian atas dua lukisan Affandi, yaitu Affandi dan Tujuh Matahari (1950), dan Hampir Terbenam (1983). Hal yang menarik adalah kedudukan matahari dalam lukisan Affandi. Selain menjadi obyek umum yang terdapat dalam lukisan-lukisan Affandi, matahari telah bertransformasi menjadi simbol dalam diri Affandi. Penelitian ini menggunakan pendekatan ikonologis dari Erwin Panofsky, yaitu metode untuk mengurai dua lukisan Affandi, yang terdiri dari deskripsi pre-ikonografis, analisis ikonografis, dan interpretasi ikonologis. Dalam penelitian ini, kita akan menemukan keterbatasan pendekatan Panofsky untuk gaya lukisan ekspresionis Affandi.
Katalog Pameran Ugo Untoro, Galeri Gejayan
1/ ugo, perihal melukis Bercerita tentang Ugo sebenarnya berkata-kata tentang sunyi, kendati ia h... more 1/ ugo, perihal melukis Bercerita tentang Ugo sebenarnya berkata-kata tentang sunyi, kendati ia hidup bersama riuhnya cerita bergambar RA Kosasih, Jan Mintaraga, Ganes Th, Hasmi, sampai Agen Polisi 212, Tintin dan Lucky Luke. Begitu pula yang bisa kita lihat dari lukisan-lukisannya. Diam yang ternyata sarat kisah. Sepanjang perjalanannya, melukis dan lukisan menjadi hal yang selalu digelisahkannya, sebab Ugo melukis sekaligus tak ingin membuat lukisan. Singkat kata, mungkin, melukis bagi Ugo, alih-alih membuat lukisan, melukis adalah membongkar lukisan. Itulah mengapa beberapa tahun yang lalu secara tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan, "Bagaimana sih melukis elek?" 1 Begitulah, sepanjang perjalanan keseniannya, Ugo, meminjam istilah yang sedikit ilmiah, "memproblematisasi" melukis dan lukisan itu sendiri lewat melukis. Ia menertawakan lukisan seperti ia menertawakan dirinya sendiri yang sedang melukis. Ia bolak-balik mempertanyakan perihal melukis dan lukisan. Baginya, melukis bukan membuat lukisan, melainkan perihal melukisnya itu sendiri. Membuat lukisan yang secara umum dipahami tidak bisa dilepaskan dari kegiatan membuat komposisi, menata, menyusun, menjadikannya indah, harmonis, seimbang, bagi Ugo itu semua "menghias." Dan ia tak ingin 'menghias.' Ia ingin painting yang mengizinkan untuk "jelek." Tapi apakah jelek itu, dan apa pula bagus itu? Tanpa sengaja mungkin Ugo jadi bersentuhan dengan pertanyaan mendasar seni. Tulisan ini secara singkat hendak memberi gambaran perjalanan kreasi Ugo, tidak secara kronologis, melainkan mencatat beberapa momen penting dalam perkembangan karyanya. Bagian pertama, Corat-Coret, memaparkan semacam "titik balik" Ugo mengatasi yang akademis, bagaimana ia menemukan metode dan cara ungkap dalam melukis. Kedua,
Mata Jendela, 2015
Perginya tentara Belanda dari Indonesia, surat pengakuan kedaulatan, hingga lenyapnya pemerintaha... more Perginya tentara Belanda dari Indonesia, surat pengakuan kedaulatan, hingga lenyapnya pemerintahan Belanda di Indonesia tidak sesederhana itu bisa “memerdekakan” rakyat sebagai bangsa Indonesia. Dekolonialisasi pikiranlah yang menjadi tantangan terbesar dan terberat bagi bangsa kita, bukan saja di awal kemerdekaan, melainkan juga di era selanjutnya.
Pameran Seni rupa K(Art)ini, 2011
Stanislaus Yangni-Dalam salah satu tulisannya, "Nuansa Puteri VS Kuasa Lelaki," 1 Sanento Yuliman... more Stanislaus Yangni-Dalam salah satu tulisannya, "Nuansa Puteri VS Kuasa Lelaki," 1 Sanento Yuliman mengulas sebuah pameran dari kelompok Nuansa Indonesia (himpunan seniman perempuan di bidang seni rupa) anggotanya perupa perempuan) yang diadakan di Jakarta pada Oktober 1987. Di akhir tulisannya itu, ia meluncurkan kritik, "Dalam pameran ini tak mudah mengatakan, apanya yang khas perempuan-dalam karya-karya mereka-selain penciptanya. Sebaliknya, keutamaan seni lukis, kecilnya porsi keramik, mangkirnya tekstil, dan absennya seni yang belum dijamah lelaki, seperti sulam-menyulam-menunjukkan bayang-bayang pikiran kesenirupaan yang dominan dewasa ini: pikiran lelaki." Di sana, Sanento melihat adanya problem, bukan pada karya yang dihasilkan dari perempuan, atau seniman yang berjenis kelamin perempuan, melainkan pada kenyataan bahwa dari sekian banyak karya yang muncul, terbaca bahwa anggapan yang selama ini ada, dunia sulam, tenun, anyam halus adalah perempuan, sedangkan lukis, patung, kriya logam adalah laki-laki, seakan mendapat legitimasinya ketika dalam pameran itu tercatat tak ada, atau sangat minim ekperimentasi pada kain, kertas, serat, dan sebagainya. Hingga kini pun, di saat medium sudah banyak diekslplorasi, baik tekstil, sulam, patung, grafis, intalasi, dan sebagainya-medium yang pada 1987 itu belum lazim digunakan, ternyata tetap nampak apa yang dikatakan Sanento sebagai "pikiran lelaki" itu. Namun, nampaknya, telah terjadi pergeseran: "bayang-bayang" itu tak muncul lagi lewat medium, melainkan dalam bahasa rupa para seniman. Untuk memahami bagaimana "logika patriarki," atau "pikiran lelaki" itu "mendekam" dan muncul dalam bahasa rupa para seniman perempuan, pertama-tama kita akan masuk lewat "tiga karya superhero," yaitu Ade Indriasari, Enny Sumaryati, dan Sri Astari. Tema ketiganya hampir sama: perempuan Indonesia adalah perempuan super, "superwomen" yang mampu berperan dalam segala hal. Ketiganya seakan menawarkan pesan: "kami (perempuan) lebih kuat daripada laki-laki." Pada karya Ade, ada figur perempuan Jawa, bak sosok Kartini, disanggul rapi, namun mengenakan kaos biru yang tengahnya ada huruf "S" berwarna merah pada blok warna kuning, sebuah logo Superman, kain batik (jarik) yang dikenakan dengan gaya nontradisional, dan sepatu kets. Jempol kanannya diacungkan. Figur perempuan itu berada di depan lingkaran bergerigi, bak percikan warna kuning, mengacungkan jempol kanannya, bak mengiklankan sesuatu, "Ini lho Pemirsa." Di sekitarnya, ada beberapa ikon yang membuat kita langsung paham apa yang dimaksud Ade, bagian atas kanvas ada gambar masjid, lalu sekitarnya ada kereta bayi, laptop, serok, lembaran uang, dan gambar hati ("love"). Karya 2011 itu diberi judul Indonesian Superwoman. Tampak jelas di sana, kalau kita mengaitkannya dengan kekuatan 1 Asikin Hasan (ed.). 2001. Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman. Jakarta: Yayasan Kalam
Mata Jendela edisi Seni dan Gender, 2018
Refleksi bagian pertama Agustus 2007 buku "Indonesian Women Artists: The Curtain Opens" diluncurk... more Refleksi bagian pertama Agustus 2007 buku "Indonesian Women Artists: The Curtain Opens" diluncurkan bersamaan dengan pameran "perupa perempuan" berjudul INTIMATE DISTANCE di Galeri Nasional Indonesia. Ada 34 seniman (perempuan) yang diikutsertakan di sana. Peristiwa itu memunculkan pertanyaan besar di benak saya. Ketika ada penyebutan "seniman perempuan," tidakkah yang terjadi bahwa "definisi" itu memperkuat pembedaan jenis kelamin? Alih-alih "maju" (atau secara politis "melegitimasi" ruang yang dilakukan dari perempuan untuk perempuan), tampaknya, ukurannya kembali pada hal ikhwal jenis kelamin, bukan pada karya yang dihasilkan. Pendek kata, di hadapan seni bahkan, perempuan tampak "me-liyan-kan" diri-sebelum bicara urusan karya. Hampir sepuluh tahun setelah itu, kini, saya bertemu dengan hal yang masih sama: pameran perupa perempuan. Tak hanya nama, bahkan, karya-karya mereka pun kadangkala cenderung mengangkat apa yang secara umum "disepakati" sebagai perempuan itu; semacam domestifikasi yang mungkin (telah) diamini. Kendati juga tak semua. Banyak karya yang muncul juga merupakan kritik atas dunia yang lebih luas, namun nama "perupa perempuan" menjadikan isu itu seakan-akan berasal dari "kacamata" perempuan. Isu-isu tersebut jadi berjenis kelamin, dan karya seni pun, lewat pameran, jadi berjenis kelamin, hingga hal-hal yang tampak sebagai perempuan itu menjadi/dijadikan tidak biasa dan terkesan lebih "layak" untuk dilihat. Tulisan ini mencoba mengkritisi keberadaan pameran seni rupa yang mengusung seniman perempuan (bukan tema, bukan isu), melainkan peserta pameran yang kesemuanya perempuan, menggunakan sebutan pameran perupa perempuan, juga isinya menyangkut perempuan. Pendek kata, pameran seni yang mengatasnamakan perempuan, di antaranya ada
Kompas, 12 Maret 1977 mengabarkan bahwa ruangan Monumen Nasional (Monas) yang berisi diorama keba... more Kompas, 12 Maret 1977 mengabarkan bahwa ruangan Monumen Nasional (Monas) yang berisi diorama kebanjiran. Akibatnya, Soeharto yang kala itu sudah menjabat sebagai presiden, gagal mengunjungi satu diorama yang dianggapnya sangat penting, yaitu diorama Surat Perintah 11 Maret, diorama yang berkali-kali dikoreksi dan diawasi langsung olehnya sendiri. Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi "subyek" dari diorama itu sendiri masih misterius. Ia raib. Konon, ada tiga versi Supersemar, dan tidak diketahui mana yang sungguhan. Perihal di mana ia disimpan, siapa sebenarnya pembuatnya, siapa yang pernah membaca, dan seterusnya, tidak diketahui. Hanya ada berita simpang siur dan banyak versi yang beredar di masyarakat. Maka, sebagaimana Supersemar itu tak diketahui rimbanya, maka dioramanya pun sebetulnya bisa dikatakan fiksi. Beberapa versi penggambaran terjadi, dan akhirnya Kompas 19 Maret 1977 memuat berita bahwa Soeharto telah berkunjung dan akhirnya versi final diorama dikeluarkan setelah sebelumnya ia merevisi berkali-kali perihal pakaian yang dikenakan dan posisinya yang mau dihadirkan di sana. Hasil akhir yang tampil kemudian seting peristiwa berada di ruang kamar tidur. Di sana ada Soeharto terbaring sakit mengenakan pakaian tidur. Kepalanya disangga tiga bantal. Di samping ranjang duduk berderet 3 tiga Jenderal, yakni Basuki Rahmat, Amir Machmud, dan M. Jusuf yang seperti sedang berbicara pada Soeharto. Seperti seorang pahlawan yang walaupun sakit tetap taat perintah, atau tetap "mengerjakan" tugasnya, Soeharto dihadirkan sedemikian rupa dalam diorama tersebut seperti sedang "menerima" "pesan" dari Soekarno. Hingga kini kita tak pernah tahu apa isi "pesan" itu. Dan dalam diorama yang terbentuk dari kumpulan ingatan dan cerita yang diceritakan kembali, kita sampai pada beberapa pertanyaan perihal siapa-siapa yang berhak membuat adegan itu seperti itu. Siapa yang pernah melihat langsung, atau memotret adegan di kamar itu. Tiga orang jenderal itu kemudian mengatakan apa terhadap peristiwa itu, ikut kah mereka dengan penentuan gambar dalam diorama tersebut, dan mengapa Soeharto 'meributkan' pakaian dan posisinya kala itu (sebaiknya) berbaring atau berdiri. Belum lagi pertanyaan semacam, harus kah kamarnya itu kamar dengan kondisi nyata seperti pada saat kejadian, ataukah bisa dikonstruksi hanya untuk memunculkan kesan kamar tidur, dan seterusnya. Maka, sebagaimana pengisahan yang melewati berbagai zaman dan berbagai pihak, pada akhirnya kita hanya tahu "dokumentasi" dari "dokumentasi," skenario dari skenario. Pendek kata, kita penonton hanya berada di lapis terluar. Kita menjadi, 'saksi' tapi saksi semu. Membahas perkara saksi ini bisa sangat menarik. Saksi itu bisa berupa kita sekarang, atau saksi yang tergambar di dalam diorama (sosok yang ada di sana,
"Cirmoy ebasuah laknor ijlur. Laknor frumu ebasuah laknor pah piyeo percimkum." Selama beberapa m... more "Cirmoy ebasuah laknor ijlur. Laknor frumu ebasuah laknor pah piyeo percimkum." Selama beberapa menit Syaiful Garibaldi mengucapkan kalimat itu, disertai gerak gerik tangannya, dan layar yang menampilkan tumbuhan mikroorganisme, serta satu dua aksara yang bentuknya menyerupai tumbuhan. Ia membicarakan sesuatu yang tidak kita pahami sama sekali. Beberapa waktu kemudian, kata-kata itu tergantikan dengan kata-kata berbahasa Indonesia. Karya Syaiful yang terletak di pojokan gedung Jogja National Museum itu sederhana. Sebuah talud dari fiberglass. Judulnya Kroraj Lirtuaria. Kroraj Lirtuaria diambil dari bahasa Terhah, artinya garis batas air. Sebenarnya ia hanya tumpukan fiber yang disusun berbentuk talud, dinding untuk melindungi tanah dari longsor. Fiber-fiber bekas yang sudah menguning itu dikumpulkan dari berbagai tempat. Kalau diamati lebih detail, di fiberglass itu ada makhluk hidup yang tergolong mikroorganisme, tanaman dormant, semacam jamur, lichen, dan paku. Tanaman yang terabaikan namun punya daya tahan hidup yang sangat kuat: bisa tampak mati pada musim kering, dan hidup kembali saat terkena air. Daya survival makhluk tersebut dan jejak garis batas air pada talud (akibat genangan air atau banjir) merupakan pengalaman estetik bagi Syaiful. Tapi di balik itu, perihal komunikasi antar mikroorganisme adalah hal yang secara personal dieksplor Syaiful. Bahasa apa yang digunakan mereka untuk berkomunikasi, dan kemungkinan suara macam apa yang bisa diciptakan oleh organ pita suara manusia untuk "membunyikan" bahasa itu? Demikianlah Syaiful kemudian mengembangkan bahasa yang dinamainya Terhah. Karya fiber yang cenderung monokrom, tidak interaktif hingga tampak tidak menggoda mata untuk berlama-lama itu mungkin hanya dilewati begitu saja di Artjog 2019. Tapi di panggung, Syaiful mencoba menjelaskan. Ini mungkin salah satu bentuk yang sedang dicoba oleh Artjog 2019 ini, semacam Artis Talk tapi dalam bentuk performance yang dinamai LeksiKon. LEKSIKON. Arti harafiahnya perbendaharaan kata. Agung Hujatnikajenong, kurator Artjog kali ini mengatakan bahwa "Kon" dalam LeksiKon mendapat penekanan tersendiri, artinya konferensi-mungkin semacam konferensi bagi kata-kata, atau ruang perjumpaan seniman dengan penonton bukan lewat karya yang dipajang, melainkan berbagai hal lain, baik verbal maupun non verbal. Pendek kata, LeksiKon menggabungkan ceramah/wicara seniman dengan seni pertujukan, performance, teater, video dan audio visual untuk "menjelaskan" gagasan seniman. LeksiKon ini sebenarnya terinspirasi dari bentuk seni yang dinamakan Lecture Performance, kecenderungan yang berkembang 1960an, yang merupakan sub genre dari seni performance dan seni konseptual. Maka, Artist Talk bertajuk LeksiKon tak seperti biasanya. Jika Artist Talk biasanya hanya didatangi orang-orang dari kalangan seni rupa, kali ini lebih umum. Banyak orang datang dan menonton LeksiKon di panggung terbuka itu. Jika Artist Talk berisi diskusi, tanya-jawab dan terkesan lebih formal, LeksiKon
LUBES
This is an english version from Imago Hominis, Sebuah Lubang. This essay analyze about Agung Kurn... more This is an english version from Imago Hominis, Sebuah Lubang. This essay analyze about Agung Kurniawan's drawing.
Equator Symposium, 2014
di ranah pemikiran (estetika dan kajian) dan di ranah berkesenian (seniman dan penciptaan). Tanpa... more di ranah pemikiran (estetika dan kajian) dan di ranah berkesenian (seniman dan penciptaan). Tanpa adanya saling-kelindan yang sehat di antara keduanya, seni rupa Indonesia tidak akan pernah ada. Jalinan keduanya merupakan unsur penting pembentuk apa yang sementara ini saya istilahkan "estetika seni rupa Indonesia." 2 Di balik megahnya pameran, beragamnya karya, seni rupa kita mengalami satu bahaya vital bagi kelangsungan hidupnya: stagnasi. Untuk menelusuri estetika seni rupa Indonesia, di sini kita akan masuk melalui sejarah seni lukis (modern) yang sarat polemik. Dalam sejarahnya, "pembunuhan" atau "duka cita" atas seni lukis Indonesia terjadi di berbagai zaman, antara lain masa kolonial (1600-1945), penjajahan Jepang (1942-1945), Orde Lama (1945-1965) hingga Orde Baru (1966-1998). Seni lukis Indonesia hampir selalu dianggap tidak ada dalam konteks dan maksud yang berbeda. Mula-mula oleh P. A. J. Moyen 1928, kemudian Hopman (1947), Oesman Effendi 1969 karena melihat lesunya seni lukis Indonesia, 3 lalu GSRB 1975 yang menyatakan duka cita atas seni lukis Indonesia. Di zaman globalisasi ini, terjadi kematian yang mutakhir terhadap seni lukis, yaitu oleh teknologi. Relevansinya, hilangnya ekspresi yang inheren dalam karya seni. Esai ini akan meneliti kenyataan itu dalam konteks yang lebih khusus, mungkin sedikit memutar, yaitu melalui seni lukis dan pemikiran di balik seni lukis dan berkesenian yang diusung Sudjojono, Affandi, dan Nashar. Melalui "Realisme jiwa ketok" Sudjojono, ekspresionisme plototan cat Affandi, dan "Tiga Non" Nashar, kita akan melihat embrio estetika seni rupa Indonesia yang lahir 1 Saya menyebutnya "seni rupa Indonesia" meskipun berbeda dengan "seni rupa di Indonesia." Dalam konteks tulisan ini, penyebutan bisa bergantian sejauh sesuai dalam pembahasannya. 2 Mungkin pembaca akan bertanya mengapa harus ada "estetika Indonesia"? Mungkin juga langsung mengaitkannya dengan problem identitas. Esai ini tidak membahas secara khusus persoalan identitas, melainkan bertujuan langsung untuk membuktikan bahwa keberadaan "estetika seni rupa Indonesia" itu bisa menjadi titik pijak kita untuk melakukan otokritik dan membangkitkan seni rupa Indonesia. 3 Lihat tulisan Sanento Yuliman, "Mencari Indonesia dalam Seni Lukis Indonesia," Seni Lukis Indonesia Tidak Ada (DKJ, 2007).
Katalog Ark Galerie
1/ seni dan masyarakat Setelah mooi indie dikritik oleh para pelukis PERSAGI di tahun 1940-1950an... more 1/ seni dan masyarakat Setelah mooi indie dikritik oleh para pelukis PERSAGI di tahun 1940-1950an, selanjutnya realisme merekalah yang menjadi sasaran kecaman para pendukung GSRB (Gerakan Seni Rupa Baru yang lahir 1970an), termasuk Moelyono. Mengapa? Sebab bagi Moel, mereka hanya "tukang lapor keharuan." Dengan cara apapun mereka berusaha "berdialog" dengan masyarakat lewat kanvas-kanvasnya, bagi Moel, tetaplah tidak ada dialog. Walaupun Affandi bolak-balik bertemu dan berbincang dengan pengemis karena ingin melukisnya lebih dalam, tidak hanya dengan kesan pertama yang menimbulkan hanya rasa kasihan, bagi Moel, bukan di situ letaknya. Seni harus bisa mengubah masyarakat. Kalaupun pada 1950an perihal rakyat, masyarakat dan kerakyatan sangat dominan mempengaruhi cara berkarya seniman, namun bukan itu pula yang dimaksud Moelyono. Karena itulah, Affandi, Soedjojono, Hendra Gunawan yang jelas-jelas bergulat "melukis" dan berusaha "menghadirkan" rakyat dalam lukisannya, menjadi sasaran serangan estetika "kerakyatan" ala Moelyono. Alasannya satu: mereka tidak bisa menyelesaikan persoalan masyarakat secara konkret dengan melukis di atas kanvas. Terjun langsung, melakoni! Itulah yang ingin dipraktekkan Moelyono. Begitulah akhirnya ia menamai seni rupanya: seni rupa dialogis transformatif. Seni rupa Moelyono tersebut lahir tak hanya dari kritik terhadap persoalan lukis-melukis ala anggota PERSAGI, melainkan juga dari apa yang dihadapi Moelyono di ASRI 1970an hingga 1980an, yaitu seni rupa akademis yang sarat pengkotak-kotakan antara seni murni dan seni terapan, "seni tinggi" dan "seni rendah." Dalam konteks seni rupa akademis, seni punya batas, definisi, dan cara kerja yang distandarisasi. Jengah dengan itu semua, Moel membelot, memberikan cara berkesenian dan jenis tampilan visual yang berbeda. Baginya, batasan-batasan itu harus dihapus, termasuk batasan medium berkaryanya. Mungkin semangat itu yang membuatnya melaju terus mencari apa yang diyakininya, bahwa seni itu bisa menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan perubahan sosial bisa terjadi lewat dialog langsung dengan masyarakat. Selanjutnya, tidak muluk-muluk, mulai pertengahan 1986, mahasiswa ASRI (ISI) dengan tugas akhir karya berjudul KUD (Kesenian Unit Desa) yang ditolak oleh dewan penguji pada 1985 itu, ingin belajar mencerna apa yang ada di luar sana-meraba persoalan masyarakatnya, dan mencoba membantu memecahakannya bersama masyarakat di dusun-dusun terpencil sekitar kampungnya sendiri, Tulungagung. Kendati masuk dalam ranah kesenian gaya GSRB, Moelyono juga mencoba bersikap kritis terhadap karya teman-temannya yang memfokuskan diri memihak dan
Mata Jendela
Refleksi bagian pertama Agustus 2007 buku "Indonesian Women Artists: The Curtain Opens" diluncurk... more Refleksi bagian pertama Agustus 2007 buku "Indonesian Women Artists: The Curtain Opens" diluncurkan bersamaan dengan pameran "perupa perempuan" berjudul INTIMATE DISTANCE di Galeri Nasional Indonesia. Ada 34 seniman (perempuan) yang diikutsertakan di sana. Peristiwa itu memunculkan pertanyaan besar di benak saya. Ketika ada penyebutan "seniman perempuan," tidakkah yang terjadi bahwa "definisi" itu memperkuat pembedaan jenis kelamin? Alih-alih "maju" (atau secara politis "melegitimasi" ruang yang dilakukan dari perempuan untuk perempuan), tampaknya, ukurannya kembali pada hal ikhwal jenis kelamin, bukan pada karya yang dihasilkan. Pendek kata, di hadapan seni bahkan, perempuan tampak "me-liyan-kan" diri-sebelum bicara urusan karya. Hampir sepuluh tahun setelah itu, kini, saya bertemu dengan hal yang masih sama: pameran perupa perempuan. Tak hanya nama, bahkan, karya-karya mereka pun kadangkala cenderung mengangkat apa yang secara umum "disepakati" sebagai perempuan itu; semacam domestifikasi yang mungkin (telah) diamini. Kendati juga tak semua. Banyak karya yang muncul juga merupakan kritik atas dunia yang lebih luas, namun nama "perupa perempuan" menjadikan isu itu seakan-akan berasal dari "kacamata" perempuan. Isu-isu tersebut jadi berjenis kelamin, dan karya seni pun, lewat pameran, jadi berjenis kelamin, hingga hal-hal yang tampak sebagai perempuan itu menjadi/dijadikan tidak biasa dan terkesan lebih "layak" untuk dilihat.
Catatan untuk pameran sketsa Untung Basuki, N Workshop, Yogyakarta 2015
Collected essays in Agung Kurniawan's book, LUBES, published by Umahseni & IVAA 2014
Talks by Stanislaus Yangni
Hanafi Solo Exhibition, Derau Jawa, Galeri Nasional Indonesia, 2016
Unpublished paper on art criticism workshop, Makassar Biennale 2015
Drafts by Stanislaus Yangni
Uploads
Papers by Stanislaus Yangni
Talks by Stanislaus Yangni
Drafts by Stanislaus Yangni