Kajian terhadap tafsir al-Qur'an mengalami proses yang cukup panjang dalam sejarah perkembangan i... more Kajian terhadap tafsir al-Qur'an mengalami proses yang cukup panjang dalam sejarah perkembangan ilmu tafsir, dari masa formalisme Islam hingga kontemporer.Proses penafsiran pada setiap masa memiliki kecenderungan berbeda, sehingga akan menghasilkan produk tafsir yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi obyek kajian tafsir sebagai suatu proses penafsiran dan tafsir sebagai suatu produk ekslempar kitab-kitab tafsir. Perbedaan Tafsir sebagai kajian terhadap proses dan produk penafsiran merupakan fungsi ilmu tafsir sebagai suatu disiplin keilmuan. Proses penafsiran tidak lepas dari perangkat metodologi yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur'an. metodologi tafsir dalam perkembangannya tidak hanya melalui kacamata kaidah tafsir konvensional yang lebih menitikberatkan terhadap sumber riwayat dan ulum al-Qur'an, sebab kamajuan ilmu dan pengetahuan menjadikan tafsir dapat dikaji dalam multi interdisipliner secara proporsional. Metodologi penafsiran yang beragam mengindikasikan adanya proses dialektika metodologi tafsir, sehingga memunculkan produk yang beragam dari masa ke-masa. Sedangkan kajian terhadap produk tafsir berupa eksemplar kitab pada dasarnya merupakan sebuah kajian untuk memahami al-Qur'an melalui karya-karya ulama' tafsir terdahulu, sehingga dipungkiri atau tidak, kajian macam ini hanya mengulang sebuah penafsiran terdahulu tanpa memahami proses penafsiran melalui perangkat metodologi yang berkembang secara dinamis sesuai dengan semangat dan kecenderungan yang dibangun oleh mufassir. Perkembangan metodologi tafsir berjalan beriringan dengan semangat zamannya, sehingga memiliki kecenderungan beragam mulai dari sumber, metode hingga cara penyajian penafsiran yang beragam. Sumber penafsiran berdasarkan riwayat baik dari al-Qur'an itu sendiri atau riwayat dinukil dari hadist, isri'iliyat maupun pendapat sahabat, mengawali proses awal perkembangan tafsir yang menghasilkan produk tafsir bi al-ma'sur tanpa menghadirkan ijtihad seorang mufassir, seperti tafsir Jami' Al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an (310 H) karya Ibnu Jarir at-tabari. Namun, seiring barjalannya waktu mulai bermunculan produk tafsir yang menggunakan ijtihad sebagai salah satu sumber penafsiran yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ra'yi, seperti Tafsir Al-Kabir (606 H) karya Fahkruddin al-Razi. Model tafsir al-ma'tsur dan al-ra'y pada perkembangannya tidak hanya berupa gambaran dari bentuk tafsir sumber panafsiran, keduanya menjelma menjadi sebuah corak sebuah metode penafsiran, sedangkan metode tafsir merupakan tehnik atau cara menafsirkan dan menyajikan sebuah produk tafsir. Secara umum al-Farmawi membagi, metode tafsir terdiri atas metode Tahlily, Ijmali, Muqaran dan Maud'u'i mencakup berbagai corak dan kecenderungan mufassir. Meskipun sebelumnya pada abad 9 H sampai 13 H ulama' tafsir seperti halnya, Ali Ash-Shabuni dan Manna' al-Qattan hanya membagi metode tafsir menjadi ma'tsur, ra'y dan isyari. Metode tafsir tahlily hadir dengan bentuk penafsiran analitis yang mendetail dalam menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur'an, baik dari aspek lughwiyah (bahasa) dan munasabah ayat, maupun aspek riwayat seperti asbab an
Al-Qur'an, sebagai sumber utama agama Islam merupakan teks yang mempunyai banyak penafsiran (mult... more Al-Qur'an, sebagai sumber utama agama Islam merupakan teks yang mempunyai banyak penafsiran (multi-interpretasi). Penafsiran-penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh background penafsir dan juga kondisi sosio-historis yang menyelimuti dirinya. Sehingga tidak jarang terlihat perbedaan interpretasi antara satu penafsir dengan penafsir lainnya yang berbeda zaman maupun latar belakang. Umpamanya Tafsir Ibnu Jarir al-Thabari (w. 923 M.) yang menggunakan nalar mitis (menerima apa adanya dari periode terdahulu) berbeda dengan tafsirnya Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M.) yang banyak mengadopsi akal dalam menafsirkan al-Qur'an; dan tafsir Bintu Syathi' (w. 1998 M.) yang bercorak sastrawi berbeda dengan tafsirnya Tantawi Jauhari (w. 1940 M.) yang bercorak ilmi (kauniyah). Keilmuan di bidang tafsir semakin berkembang, baik dari segi metodologi maupun pendekatan (approach). Jika dalam khazanah tafsir klasik kita hanya akan mendapatkan bentuk-bentuk penafsiran yang "tradisional", yakni al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadis Nabi, Qaul sahabat dan Tabi'in, serta syair Arab, maka dalam kajian tafsir modern-kontemporer kita akan mendapatkan berbagai macam variasi, dari mulai tafsir bercorak sastrawi, hermeneutik hingga bercorak ilmi (saintific interpretaion). Semuanya menjadi kekayaaan tersendiri yang dimiliki oleh Tafsir al-Qur'an. Falak (astronomi) sebagai salah satu alternatif tafsir al-Qur'an bisa dikatakan sebagai bentuk penafsiran yang bersifat saintific atau menggunakan keilmuan kealaman. Kandungan materi yang diberikannya dapat menolong umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam serta ibadah sehari-hari. Hal yang paling mudah adalah membantu dalam penunjukkan arah kiblat dan juga menjadi alat pembantu dalam menentukan hari raya idul Fitri maupun idul Adha. Jika diruntut secara historis, Falak merupakan tradisi yang bisa dikatakan berasal dari keilmuan pra-Islam. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah mengenal tradisi ilmu perbintangan (astronomi), medis (tabīb), catatan keturunan (ansāb), dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan demikian, embrio dari ilmu falak sendiri sudah muncul jauh sebelum Islam disyiarkan oleh Nabi Muhammad pada abad ke 7 M. Dalam kitab-kitab tafsir klasik maupun pertengahan sebenarnya sudah banyak kajian-kajian mengenai astronomi. Hal ini terjadi karena banyak ayatayat al-Qur'an yang menyinggung tentang astronomi. Akan tetapi pembahasan yang diberikan tidak begitu mendalam dan dan kadangkala sukar dicari justifikasinya secara ilmiah. Karena teknologi yang ada pada masa itu belum berkembang pesat. Contoh yang bisa dilihat adalah perdebatan seputar makna kata falak (garis edar) dalam surat al-Anbiyā: 33: "Dan dialah yang Telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya". Apakah kata tersebut merupakan bentuk jisim (kongkret/berbentuk) yang menjadi tempat beredarnya planet-planet ataukah ia bukan bentuk jisim (tidak berbentuk)?. Permasalahan ini sukar dicari pembenaran secara ilmiah dan menyentuh tataran realitas. Solusi yang ditawarkan pun hanya berkutat pada pendekatan kebahasaan saja. Waktupun berlanjut, pada era kontemporer sekarang ini keilmuan astronomi juga menjadi salah satu pendekatan tafsir al-Qur'an. Semisal penafsiran
BELAJAR DARI TEKNOLOGI NEGARA ADIDAYA SEBAGAI PILHAN MEMILIH PEMIMPIN BANGSA
Ternyata tak mudah untuk memilih pemimpin negara, dibutuhkan pemahaman tentang karakeristik masya... more Ternyata tak mudah untuk memilih pemimpin negara, dibutuhkan pemahaman tentang karakeristik masyarakat, potensi sumeber daya yang dimiliki oleh negara yang berangkutan agar arah pembangunan tepat sasaran dan bermanfaat bagi rakyatnya. oleh karena itu, kita sebagai negara yang baru berkembang dan sadar diri akan kelemahan kita, yaitu mau mengakui dan belajar dari negara-negara yang secara peradaban, teknologi dan potensi SDM unggul..jadi jangan malu untuk belajar dari mereka!
Kajian terhadap tafsir al-Qur'an mengalami proses yang cukup panjang dalam sejarah perkembangan i... more Kajian terhadap tafsir al-Qur'an mengalami proses yang cukup panjang dalam sejarah perkembangan ilmu tafsir, dari masa formalisme Islam hingga kontemporer.Proses penafsiran pada setiap masa memiliki kecenderungan berbeda, sehingga akan menghasilkan produk tafsir yang berbeda pula. Perbedaan inilah yang kemudian menjadi obyek kajian tafsir sebagai suatu proses penafsiran dan tafsir sebagai suatu produk ekslempar kitab-kitab tafsir. Perbedaan Tafsir sebagai kajian terhadap proses dan produk penafsiran merupakan fungsi ilmu tafsir sebagai suatu disiplin keilmuan. Proses penafsiran tidak lepas dari perangkat metodologi yang digunakan untuk menafsirkan al-Qur'an. metodologi tafsir dalam perkembangannya tidak hanya melalui kacamata kaidah tafsir konvensional yang lebih menitikberatkan terhadap sumber riwayat dan ulum al-Qur'an, sebab kamajuan ilmu dan pengetahuan menjadikan tafsir dapat dikaji dalam multi interdisipliner secara proporsional. Metodologi penafsiran yang beragam mengindikasikan adanya proses dialektika metodologi tafsir, sehingga memunculkan produk yang beragam dari masa ke-masa. Sedangkan kajian terhadap produk tafsir berupa eksemplar kitab pada dasarnya merupakan sebuah kajian untuk memahami al-Qur'an melalui karya-karya ulama' tafsir terdahulu, sehingga dipungkiri atau tidak, kajian macam ini hanya mengulang sebuah penafsiran terdahulu tanpa memahami proses penafsiran melalui perangkat metodologi yang berkembang secara dinamis sesuai dengan semangat dan kecenderungan yang dibangun oleh mufassir. Perkembangan metodologi tafsir berjalan beriringan dengan semangat zamannya, sehingga memiliki kecenderungan beragam mulai dari sumber, metode hingga cara penyajian penafsiran yang beragam. Sumber penafsiran berdasarkan riwayat baik dari al-Qur'an itu sendiri atau riwayat dinukil dari hadist, isri'iliyat maupun pendapat sahabat, mengawali proses awal perkembangan tafsir yang menghasilkan produk tafsir bi al-ma'sur tanpa menghadirkan ijtihad seorang mufassir, seperti tafsir Jami' Al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an (310 H) karya Ibnu Jarir at-tabari. Namun, seiring barjalannya waktu mulai bermunculan produk tafsir yang menggunakan ijtihad sebagai salah satu sumber penafsiran yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al-ra'yi, seperti Tafsir Al-Kabir (606 H) karya Fahkruddin al-Razi. Model tafsir al-ma'tsur dan al-ra'y pada perkembangannya tidak hanya berupa gambaran dari bentuk tafsir sumber panafsiran, keduanya menjelma menjadi sebuah corak sebuah metode penafsiran, sedangkan metode tafsir merupakan tehnik atau cara menafsirkan dan menyajikan sebuah produk tafsir. Secara umum al-Farmawi membagi, metode tafsir terdiri atas metode Tahlily, Ijmali, Muqaran dan Maud'u'i mencakup berbagai corak dan kecenderungan mufassir. Meskipun sebelumnya pada abad 9 H sampai 13 H ulama' tafsir seperti halnya, Ali Ash-Shabuni dan Manna' al-Qattan hanya membagi metode tafsir menjadi ma'tsur, ra'y dan isyari. Metode tafsir tahlily hadir dengan bentuk penafsiran analitis yang mendetail dalam menjelaskan makna ayat-ayat al-Qur'an, baik dari aspek lughwiyah (bahasa) dan munasabah ayat, maupun aspek riwayat seperti asbab an
Al-Qur'an, sebagai sumber utama agama Islam merupakan teks yang mempunyai banyak penafsiran (mult... more Al-Qur'an, sebagai sumber utama agama Islam merupakan teks yang mempunyai banyak penafsiran (multi-interpretasi). Penafsiran-penafsiran ini sangat dipengaruhi oleh background penafsir dan juga kondisi sosio-historis yang menyelimuti dirinya. Sehingga tidak jarang terlihat perbedaan interpretasi antara satu penafsir dengan penafsir lainnya yang berbeda zaman maupun latar belakang. Umpamanya Tafsir Ibnu Jarir al-Thabari (w. 923 M.) yang menggunakan nalar mitis (menerima apa adanya dari periode terdahulu) berbeda dengan tafsirnya Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M.) yang banyak mengadopsi akal dalam menafsirkan al-Qur'an; dan tafsir Bintu Syathi' (w. 1998 M.) yang bercorak sastrawi berbeda dengan tafsirnya Tantawi Jauhari (w. 1940 M.) yang bercorak ilmi (kauniyah). Keilmuan di bidang tafsir semakin berkembang, baik dari segi metodologi maupun pendekatan (approach). Jika dalam khazanah tafsir klasik kita hanya akan mendapatkan bentuk-bentuk penafsiran yang "tradisional", yakni al-Qur'an dengan al-Qur'an, hadis Nabi, Qaul sahabat dan Tabi'in, serta syair Arab, maka dalam kajian tafsir modern-kontemporer kita akan mendapatkan berbagai macam variasi, dari mulai tafsir bercorak sastrawi, hermeneutik hingga bercorak ilmi (saintific interpretaion). Semuanya menjadi kekayaaan tersendiri yang dimiliki oleh Tafsir al-Qur'an. Falak (astronomi) sebagai salah satu alternatif tafsir al-Qur'an bisa dikatakan sebagai bentuk penafsiran yang bersifat saintific atau menggunakan keilmuan kealaman. Kandungan materi yang diberikannya dapat menolong umat Islam dalam menjalankan ajaran Islam serta ibadah sehari-hari. Hal yang paling mudah adalah membantu dalam penunjukkan arah kiblat dan juga menjadi alat pembantu dalam menentukan hari raya idul Fitri maupun idul Adha. Jika diruntut secara historis, Falak merupakan tradisi yang bisa dikatakan berasal dari keilmuan pra-Islam. Sejarah mencatat, sebelum kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah mengenal tradisi ilmu perbintangan (astronomi), medis (tabīb), catatan keturunan (ansāb), dan ilmu-ilmu lainnya. Dengan demikian, embrio dari ilmu falak sendiri sudah muncul jauh sebelum Islam disyiarkan oleh Nabi Muhammad pada abad ke 7 M. Dalam kitab-kitab tafsir klasik maupun pertengahan sebenarnya sudah banyak kajian-kajian mengenai astronomi. Hal ini terjadi karena banyak ayatayat al-Qur'an yang menyinggung tentang astronomi. Akan tetapi pembahasan yang diberikan tidak begitu mendalam dan dan kadangkala sukar dicari justifikasinya secara ilmiah. Karena teknologi yang ada pada masa itu belum berkembang pesat. Contoh yang bisa dilihat adalah perdebatan seputar makna kata falak (garis edar) dalam surat al-Anbiyā: 33: "Dan dialah yang Telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan. masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya". Apakah kata tersebut merupakan bentuk jisim (kongkret/berbentuk) yang menjadi tempat beredarnya planet-planet ataukah ia bukan bentuk jisim (tidak berbentuk)?. Permasalahan ini sukar dicari pembenaran secara ilmiah dan menyentuh tataran realitas. Solusi yang ditawarkan pun hanya berkutat pada pendekatan kebahasaan saja. Waktupun berlanjut, pada era kontemporer sekarang ini keilmuan astronomi juga menjadi salah satu pendekatan tafsir al-Qur'an. Semisal penafsiran
BELAJAR DARI TEKNOLOGI NEGARA ADIDAYA SEBAGAI PILHAN MEMILIH PEMIMPIN BANGSA
Ternyata tak mudah untuk memilih pemimpin negara, dibutuhkan pemahaman tentang karakeristik masya... more Ternyata tak mudah untuk memilih pemimpin negara, dibutuhkan pemahaman tentang karakeristik masyarakat, potensi sumeber daya yang dimiliki oleh negara yang berangkutan agar arah pembangunan tepat sasaran dan bermanfaat bagi rakyatnya. oleh karena itu, kita sebagai negara yang baru berkembang dan sadar diri akan kelemahan kita, yaitu mau mengakui dan belajar dari negara-negara yang secara peradaban, teknologi dan potensi SDM unggul..jadi jangan malu untuk belajar dari mereka!
Uploads
Papers by ade maryadi