Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bahasa Melayu Pramodern

bagian dari rumpun bahasa Austronesia

Bahasa Melayu Pramodern adalah bahasa yang dituturkan pada zaman peralihan, yaitu antara bahasa Melayu Klasik dengan bahasa Melayu Modern pada abad ke-19. Zaman ini ditandai dengan masuknya pengaruh Barat seperti bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Portugis yang mengubah berbagai hal dalam bahasa Melayu seperti kosakata, aksara, bentuk penulisan, dan penerbitan media fisik.[3] Bahasa ini dituturkan di Hindia Belanda, Malaya Britania, dan Borneo Britania.

Bahasa Melayu Pramodern
بهاس ملايو ڤرا مودرن
Dituturkan di
WilayahHindia Belanda, Malaya Britania, Borneo Britania
EraAbad ke-19 M
    • Bahasa Melayu Pramodern
Bentuk awal
Alfabet Latin
Abjad Jawi
Kode bahasa
ISO 639-3
Informasi penggunaan templat
Status pemertahanan
Terancam

CRSingkatan dari Critically endangered (Terancam Kritis)
SESingkatan dari Severely endangered (Terancam berat)
DESingkatan dari Devinitely endangered (Terancam)
VUSingkatan dari Vulnerable (Rentan)
Aman

NESingkatan dari Not Endangered (Tidak terancam)
ICHEL Red Book: Extinct

Bahasa Melayu Pramodern diklasifikasikan sebagai bahasa yang telah punah (EX) pada Atlas Bahasa-Bahasa di Dunia yang Terancam Kepunahan

Referensi: [1][2]
 Portal Bahasa
L • B • PW   
Sunting kotak info  Lihat butir Wikidata  Info templat

Sejarah

sunting

Abad ke-19 adalah periode penguasaan politik dan perdagangan Barat yang kuat di Kepulauan Melayu. Perbatasan penjajah akibat Perjanjian Inggris-Belanda 1824 menyebabkan Perusahaan Hindia Timur Belanda menjajah Hindia Timur di selatan, sedangkan Imperium Britania memegang beberapa jajahan dan negara naungan di Semenanjung Malaya dan Kalimantan di utara. Penjajah Belanda dan Britania yang menyadari pentingnya memahami bahasa dan budaya setempat khususnya Melayu, mulai mendirikan berbagai pusat pengkajian linguistik, sastra, dan budaya di universitas seperti Leiden dan London. Beribu-ribu manuskrip Melayu serta artefak sejarah budaya Melayu yang lain telah dikumpulkan dan dikaji.[4] Penggunaan alfabet Latin mulai meluas dalam bidang penadbiran dan pendidikan dengan pengaruh kesusastraan bahasa Inggris dan Belanda yang mulai meresap dan menyebar secara berangsur-angsur ke dalam bahasa Melayu.

 
Halaman Hikayat Abdullah yang ditulis dalam tulisan Jawi, dari koleksi Perpustakaan Nasional Singapura. Ini merupakan edisi pertama yang langka, yang ditulis antara tahun 1840 dan 1843, dicetak dengan cetak batu, serta diterbitkan pada tahun 1849.

Pada saat yang sama, perkembangan teknologi dalam metode pencetakan yang memungkinkan pengeluaran besar-besaran dengan harga rendah meningkatkan kegiatan kepengarangan untuk bacaan umum dalam bahasa Melayu, suatu perkembangan yang kemudian menggeser sastra Melayu dari kedudukan tradisionalnya di istana Melayu.[4] Selain itu, gaya penulisan laporan kewartawanan mulai marak dalam kancah penulisan Melayu.

Penulis terkenal pada saat itu adalah Abdullah Munsyi kelahiran Melaka dengan karya terkenalnya, yaitu Hikayat Abdullah (1840), Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan (1838), dan Kisah Pelayaran Abdullah ke Mekah (1854). Karya Abdullah menandakan tahap awal peralihan dari kesusastraan klasik ke modern dan mengeluarkan kesusastraan Melayu dari keasyikannya dengan cerita-cerita rakyat dan legenda ke dalam uraian-uraian sejarah yang tepat.[5] Bahkan, Abdullah sendiri turut membantu Claudius Thomsen, seorang padri Denmark, dalam menerbitkan majalah Melayu pertama yang diketahui, misionaris Kristen bertemakan Bustan Ariffin di Melaka pada tahun 1831, lebih dari setengah abad lebih awal daripada surat kabar Melayu pertama yang diketahui.[6] Abdullah Munsyi dianggap sebagai “Bapak Kesusastraan Melayu Modern”, menjadi orang Melayu setempat pertama yang karya-karyanya diterbitkan.

 
Manuskrip Gurindam Dua Belas (1847), tuntunan moral dan keagamaan yang ditulis dalam tulisan Jawi.

Banyak lagi buku terkenal yang diterbitkan di seluruh kepulauan ini seperti tiga karya sastra klasik yang terkenal, yaitu Gurindam Dua Belas (1847), Bustanul Katibin (1857), dan Kitab Pengetahuan Bahasa (1858) oleh Raja Ali Haji kelahiran Selangor juga dihasilkan di Riau-Lingga pada masa ini. Menjelang pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, dunia kesusastraan Melayu juga diramaikan oleh sastrawan wanita seperti Raja Aisyah Sulaiman kelahiran Riau-Lingga, cucu dari Raja Ali Haji sendiri dengan buku terkenalnya Hikayat Syamsul Anwar (1890). Dalam buku ini, dia mengungkapkan ketidaksetujuannya mengenai perkawinannya dan keterikatannya dengan tradisi dan istana kerajaan.

Para cendekiawan Riau-Lingga juga mendirikan Klub Rusydiyah, salah satu organisasi kesusastraan Melayu pertama, yang terlibat dalam berbagai kegiatan sastra dan intelektual pada akhir abad ke-19. Ia adalah sekelompok cendekiawan Melayu yang membahas berbagai hal berkaitan dengan penulisan dan penerbitan. Terdapat juga buku-buku keagamaan lain pada zaman itu yang tidak hanya diterbitkan secara setempat, tetapi juga di negara-negara seperti Mesir dan Turki.

Di antara contoh terawal surat kabar Melayu adalah Soerat Kabar Bahasa Malaijoe dari Surabaya yang diterbitkan di Hindia Timur Belanda pada tahun 1856, Jawi Peranakan dari Singapura yang diterbitkan pada tahun 1876, dan Seri Perak dari Taiping yang diterbitkan di Malaya Britania pada tahun 1893. Bahkan terdapat sebuah surat kabar Melayu yang diterbitkan di Sri Lanka pada tahun 1869, yang dikenal sebagai Alamat Langkapuri, dianggap sebagai surat kabar Melayu pertama yang pernah diterbitkan dalam tulisan Jawi.

Dalam pendidikan, bahasa Melayu Melaka-Johor dianggap sebagai bahasa baku dan menjadi bahasa pengantar di sekolah-sekolah pada zaman penjajahan. Mulai tahun 1821, sekolah-sekolah aliran Melayu didirikan oleh pemerintah penjajah Britania di Pinang, Melaka, dan Singapura. Ini diikuti oleh banyak lagi di negara-negara bagian Melayu di semenanjung. Perkembangan ini menghasilkan penulisan buku-buku pelajaran sekolah di samping penerbitan bahan-bahan rujukan seperti kamus-kamus bahasa Melayu dan buku-buku tata bahasa. Selain itu, dorongan penting diberikan terhadap penggunaan bahasa Melayu dalam penadbiran Britania, yang mengharuskan setiap pegawai negeri yang bertugas untuk lulus ujian khusus dalam bahasa Melayu sebagai syarat untuk disahkan jabatan seperti yang diterbitkan dalam Warta Pemerintahan Selat 1859.

Di Indonesia, pemerintah penjajah Belanda mengakui bahasa Melayu Melaka-Johor yang digunakan di Riau-Lingga sebagai bahasa Melayu Tinggi dan mendukungnya sebagai media komunikasi antara Belanda dengan penduduk setempat. Bahasa ini juga diajarkan tidak hanya di Riau, tetapi juga di Sumatra Timur, Jawa, Kalimantan, dan Indonesia Timur.[6] Adakalanya kalangan peneliti sejarah menjuluki bahasa Melayu Pramodern yang digunakan di Indonesia ini sebagai "bahasa Melayu Balai Pustaka"[7] atau "bahasa Melayu van Ophuijsen".

Rujukan

sunting
  1. ^ "UNESCO Interactive Atlas of the World's Languages in Danger" (dalam bahasa bahasa Inggris, Prancis, Spanyol, Rusia, and Tionghoa). UNESCO. 2011. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 April 2022. Diakses tanggal 26 Juni 2011. 
  2. ^ "UNESCO Atlas of the World's Languages in Danger" (PDF) (dalam bahasa Inggris). UNESCO. 2010. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 31 Mei 2022. Diakses tanggal 31 Mei 2022. 
  3. ^ Orang Malaysia Tidak Sedar Bahasa Melayu Mempunyai Pelbagai Jenis. Soscili.my, 14 September 2020
  4. ^ a b Abdul Rashid & Amat Juhari 2006, hlm. 32
  5. ^ Sneddon 2003, hlm. 71
  6. ^ a b Abdul Rashid & Amat Juhari 2006, hlm. 33
  7. ^ H.B. Jassin (1985, hal. 8) memberikan pendapat seperti ini. Lihat Hasjim, Nafron. Peranan Penerbit dalam Pembinaan Bahasa Indonesia. Dalam: Hasan Alwi, Dendy Sugono, Anton M. Moeliono. Telaah Bahasa dan Sastra. Yayasan Obor Indonesia. 1999. Hal. 260.