Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bahasa sakral

bahasa yang digunakan untuk kepentingan agama
(Dialihkan dari Bahasa liturgis)

Bahasa sakral, bahasa suci, bahasa liturgis, atau bahasa kudus adalah suatu bahasa yang dibudidayakan dan digunakan terutama untuk ibadah keagamaan atau alasan keagamaan lainnya oleh orang-orang yang menggunakan bahasa utama lain dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Konsep

sunting

Bahasa liturgis sering kali merupakan bahasa yang diucapkan dan ditulis dalam masyarakat di mana teks-teks suci agama pertama kali ditetapkan. Namun, teks-teks ini kemudian menjadi tetap dan suci, tetap beku dan kebal terhadap perkembangan linguistik di kemudian hari. Begitu suatu bahasa dikaitkan dengan ibadah agamawi, para penganutnya dapat memberikan suatu ciri kebajikan kepada bahasa ibadah itu yang tidak akan mereka berikan kepada bahasa ibu mereka. Dalam kasus teks kitab suci, ada ketakutan kehilangan keaslian dan keakuratan akibat terjemahan atau terjemahan ulang, dan kesulitan untuk mendapatkan penerimaan bagi versi teks yang baru. Bahasa liturgis biasanya dipegang dengan kesungguhan dan martabat yang tidak dimiliki oleh bahasa sehari-hari. Konsekuensinya, pelatihan pemuka agama dalam penggunaan bahasa liturgis menjadi investasi budaya yang penting, dan penggunaan bahasa mereka dianggap memberi mereka akses ke tubuh pengetahuan yang tidak dapat (atau tidak seharusnya) diakses oleh umat awam yang tidak terlatih.

Karena bahasa-bahasa sakral dianggap berasal dari kebajikan-kebajikan yang tidak dimiliki oleh bahasa sehari-hari, bahasa-bahasa sakral biasanya mempertahankan karakteristik yang akan hilang dalam perjalanan pengembangan bahasa. Dalam beberapa kasus, bahasa suci adalah bahasa mati . Dalam kasus lain, bahasa liturgis itu mungkin hanya mencerminkan bentuk kuno dari bahasa yang masih hidup. Misalnya, unsur-unsur abad ke-17 bahasa Inggris tetap digunakan saat ini dalam ibadah Kristen Protestan melalui penggunaan Alkitab Versi Raja James atau versi Buku Doa Umum Anglikan yang lebih tua. Dalam kasus yang lebih ekstrem, bahasanya telah banyak berubah dari bahasa teks-teks suci sehingga liturgi tidak lagi dapat dipahami tanpa pelatihan khusus.

Konsep bahasa suci berbeda dari "bahasa ilahi", yaitu bahasa yang dianggap berasal dari ilahi (dewa atau dewi) dan mungkin belum tentu berupa bahasa alami. Konsepnya, seperti yang diungkapkan dengan nama naskah, misalnya dalam Dewanagari, nama naskah yang kira-kira berarti "[naskah] kota", dan digunakan untuk menulis banyak bahasa India.

Agama Buddha

sunting

Agama Buddha Theravada menggunakan bahasa Pali sebagai bahasa liturgis utamanya, dan lebih memilih tulisan suci untuk dipelajari dalam bahasa Pali asli. Pali berasal dari bahasa India Prakrit (Prakerta), yang pada gilirannya merupakan turunan dari bahasa Sanskerta. Di Thailand, Pali ditulis menggunakan abjad Thailand, menghasilkan pengucapan bahasa Thailand untuk bahasa Pali.

Buddhisme Mahāyāna tidak banyak menggunakan bahasa aslinya, Sanskerta. Dalam beberapa ritual Jepang, teks-teks Cina dibacakan atau dilafalkan dengan pengucapan bahasa Jepang menurut aksara penyusunnya, menghasilkan sesuatu yang tidak dapat dipahami dalam kedua bahasa itu.[1] Dalam Buddhisme Tibet, digunakan bahasa Tibet, tetapi mantra diucapkan dalam bahasa Sanskerta .

Agama Kristen

sunting
 
Navy Chaplain Milton Gianulis memimpin sebuah ibadah lilin Liturgi Ortodok pada hari Paskah pagi di atas kapal USS Harry S. Truman (CVN 75)

Tata ibadah, ritual dan upacara Kristen tidak diperingati menggunakan satu bahasa liturgis tertentu. Gereja-gereja yang melacak asal-usulnya dari para Rasul terus menggunakan bahasa-bahasa baku beberapa abad permulaan Masehi.

Ini termasuk:

Penggunaan ekstensif bahasa Yunani dalam liturgi Gereja Katolik Roma (liturgi Romawi) terus berlanjut, dalam teori; digunakan secara ekstensif secara rutin dalam Misa Kepausan, yang sudah tidak digunakan selama beberapa waktu. Menjelang pemerintahan Paus Santo Damasus I, penggunaan rutin bahasa Yunani dalam liturgi Romawi sudah digantikan sebagian dengan bahasa Latin. Lambat laun, liturgi Romawi memakai lebih banyak perkataan Latin sampai, umumnya, hanya tersisa beberapa kata bahasa Ibrani dan bahasa Yunani. Pengadopsian bahasa Latin lebih lanjut diperkuat ketika Vetus Latina (versi bahasa Latin kuno Alkitab) disunting dan sebagian diterjemahkan ulang dari bahasa asli Ibrani dan Yunani oleh Santo Hieronimus (Jerome) ke dalam Vulgata karyanya. Bahasa Latin terus menjadi bahasa liturgis dan komunikasi Gereja-gereja Ritus Barat. Salah satu alasan praktis adalah karena tidak adanya bahasa baku sehari-hari (vernakular) selama Abad Pertengahan.

Agama Hindu

sunting

Agama Hindu secara tradisional dianggap mempunyai bahasa Sanskerta sebagai bahasa liturgis utama.

Agama Islam

sunting

Bahasa Arab Klasik, atau bahasa Arab Qur'an, adalah bahasa Al-Qur'an. Kaum Muslim memahami bahwa Qur'an adalah ilham ilahi—merupakan suatu dokumen yang sakral dan kekal, karena merupakan perkataan Allah secara langsung. Sedemikian, Qur'an juga benar-benar Qur'an hanya jika tepat seperti saat diilhamkan—yaitu, dalam bahasa Arab Klasik. Terjemahan-terjemahan Qur'an dalam bahasa-bahasa lain tidak dianggap sebagai Qur'an, melainkan sebagai teks penafsiran, yang berusaha mengkomunikasikan suatu terjemahan pesan Qur'an.

Agama Yahudi

sunting

Inti Alkitab Ibrani ditulis dalam bahasa Ibrani Alkitabiah, dirujuk oleh sejumlah orang Yahudi sebagai Lashon Hakodesh (לשון הקודש, "Bahasa Kekudusan"; "Language of Holiness"). Bahasa Ibrani (dan dalam sejumlah teks seperti Kaddish, bahasa Yudeo-Aram) tetap menjadi bahasa tradisional ibadah agamawi Yahudi, meskipun penggunaannya sekarang bervariasi menurut denominasi: ibadah Ortodoks hampir seluruhnya dalam bahasa Ibrani, ibadah Reform menggunakan lebih banyak bahasa nasional dan hanya menggunakan bahasa Ibrani untuk sejumlah doa dan kidung, dan ibadah Conservative biasanya di antara keduanya.

Daftar bahasa liturgis

sunting

Antara lain:

Referensi

sunting
  1. ^ Buswell, Robert E., ed. (2003), Encyclopedia of Buddhism, 1, London: Macmillan, hlm. 137