Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Suku Dani

kelompok etnik dari Papua Pegunungan, Indonesia

Suku Dani atau Hubula adalah sekelompok suku yang mendiami wilayah Lembah Baliem di Pegunungan Tengah, Papua Pegunungan, Indonesia. Pemukiman mereka berada di antara Bukit Ersberg dan Grasberg di Kabupaten Jayawijaya serta sebagian Kabupaten Puncak Jaya.[2]

Orang Hubula
Huwula, Dani, Parim, Balim, Nayak
Seorang lelaki Dani dengan dua buah taring babi yang menandakan bahwa ia seorang prajurit perang
Jumlah populasi
650.898[1]
Daerah dengan populasi signifikan
Papua Pegunungan
Bahasa
bahasa Dani
Agama
Mayoritas
Protestan & Katolik (95%)
Minoritas
(5%) yang beragama Islam, Animisme, Animatisme, Dinamisme dan Totem
Kelompok etnik terkait
Hupla, Lani, Walak, Wano, Nduga

Sejarah

sunting

Suku-suku di pegunungan pertama kali diketahui bermigrasi ke Lembah Baliem diperkirakan sekitar ratusan tahun yang lalu. Banyak eksplorasi di dataran tinggi pedalaman Papua yang dilakukan. Salah satu diantaranya yang pertama adalah Expedisi Lorentz pada tahun 1909-1910 (Netherlands), yang berhasil bertemu dengan representatif dari Horip dan Pesegem (Nduga) tetapi mereka tidak sampai ke Lembah Baliem.[3]

Kemudian penyidik asal Amerika Serikat yang bernama Richard Archold anggota timnya adalah orang dari luar negeri pertama yang mengadakan kontak dengan penduduk asli yang belum pernah mengadakan kontak dengan negara lain sebelumnya. Peristiwa ini terjadi secara kebetulan pada 23 Juni 1938 saat sedang melakukan penerbangan di atas Lembah Baliem dengan pesawat terbang airnya PBY Catalina 2 bernama Guba II pada saat menjalankan ekspedisi penelitian vegetasi di ketinggian lebih dari 4000 meter.[4]

kemudian juga telah diketahui bahwa penduduk Suku Dani adalah para petani yang terampil dengan menggunakan kapak batu, alat pengikis, pisau yang terbuat dari tulang binatang, bambu atau tombak kayu dan tongkat galian. Pengaruh Eropa dibawa ke para misionaris yang membangun pusat Misi Protestan di Hitigima sekitar tahun 1955. Kemudian setelah bangsa Belanda mendirikan kota Wamena maka agama Katolik mulai berdatangan.

Penamaan

sunting

Suku ini dikenal dengan nama Dani dikarenakan ekspedisi eropa menanyakan kepada suku Migani yang menyebut Ndani yang artinya "timur", untuk suku Lani. Sedangkan nama Hugula merupakan endonim dalam dialek sub-suku Itlayhisage, Itlaylokobal, Assolokobal, Ohena, Kurima dan sekitarnya. Sedangkan dalam sub-suku Itlay Haluk, Siepkosi, Hubikiak, Mukoko, dan sebagian Wita Waya menggunakan nama Hubula. Di wilayah Yiwika, Musatfak, Asologaima dan sekitarnya disebut Huwula/Huwulra dan bagian Sowa/Soba, Pasema dan sekitarnya menyebut Hubla seperti yang disebutkan di Kabupaten Yahukimo (suku Hupla).[5][6]

Rumpun bahasa Dani

sunting

Bahasa Dani merupakan anggota rumpun bahasa Lembah Baliem yang terdiri dari 3-4 dialek, dengan variasi cukup besar yaitu:

Adat istiadat

sunting

Kepercayaan

sunting

Dasar religi masyarakat Dani adalah menghormati roh nenek moyang dan juga diselenggarakannya upacara yang dipusatkan pada pesta babi. Konsep kepercayaan/keagamaan yang terpenting adalah Atou, yaitu kekuatan sakti para nenek moyang yang diturunkan secara patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Kekuasaan sakti ini antara lain:

  • kekuatan menjaga alam. Bagi mereka, alam Lembah Baliem tabu dan bertuah. Mereka percaya bahwa menjaga alam sama halnya menghormati nenek moyang.
  • kekuatan menyembuhkan penyakit dan menolak bala
  • kekuatan menyuburkan tanah

Untuk menghormati nenek moyangnya, suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk menyejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.

Sistem Kekerabatan

sunting

Masyarakat Dani adalah masyarakat komunal. Maka jika rumah dipandang sebagai suatu kesatuan fisik yang menampung aktivitas-aktivitas pribadi para penghuninya, dalam masyarakat Dani unit rumah tersebut adalah sili.

Sistem kekerabatan masyarakat Dani ada tiga, yaitu kelompok kekerabatan, paroh masyarakat, dan kelompok teritorial.

  • Kelompok kekerabatan yang terkecil dalam masyarakat suku Dani adalah keluarga luas. Keluarga luas ini terdiri atas tiga atau dua keluarga inti bersama – sama menghuni suatu kompleks perumahan yang ditutup pagar (lima).
  • Paroh masyarakat atau moietas. Struktur masyarakat Dani merupakan gabungan beberapa ukul (klen kecil) yang disebut ukul oak (klen besar). Secara garis besar ada dua paroh masyarakat yang disebut wita (wida) dan waya (waija). Idealnya anggota klan wita hanya menikah dengan anggota klan waya atau sebaliknya, dan disebut moietas eksogami, jika tidak dianggap inses.
  • Kelompok teritorial. Kesatuan teritorial yang terkecil dalam masyarakat suku bangsa Dani adalah kompleks perumahan (uma) yang dihuni untuk kelompok keluarga luas yang patrilineal (diturunkan kepada anak laki-laki). Biasanya antara kedua klan wita dan waya akan membentuk konfederasi, dimana nama konfederasi akan menggabungkan dua nama klan tersebut, contohnya: Kosi (atau Kossay), klan wita bergabung dengan Alua, klan waya, membentuk konfederasi Kosi-Alua. Lalu beberapa konfederasi akan membentuk aliansi yang lebih besar, contohnya pada tahun 1960-an aliansi Kurulu (Gutelu) yang dipimpin Kurulu Mabel terdiri atas konfederasi Loko-Mabel, Willihiman-Walalua (Willil-Himan dan Walilo-Alua), Kosi-Alua, dll.[7]

Dalam masyarakat Hubula di seluruh Lembah Baliem terdapat 7 aliansi, yakin aliansi Omarikmo, Wosiala, Aluama, Solimo, Pilabaga, Wio, dan Kurima. Di antara aliansi besar ini ada sejumlah konfederasi yang kokoh, yang berperan seperti aliansi, antara lain konfederasi Aso-Lokobal, konfederasi Ohena-Inaiwerek, konfederasi Peleima dan konfederasi Soapma.[8]

Pernikahan

sunting
 
Perkawinan adat Suku Dani

Pernikahan tradisional orang Dani bersifat poligami dan diantaranya poligini. Keluarga batih ini tinggal di satu – satuan tempat tinggal yang disebut silimo. Sebuah desa Dani terdiri dari 3 & ndash; 4 slimo yang dihuni 8 & ndash; 10 keluarga. Menurut mitologi suku Dani berasal dari keuturunan sepasang suami istri yang menghuni suatu danau di sekitar kampung Maina di Lembah Baliem Selatan. Mereka mempunyai anak bernama Woita dan Waro. Orang Dani dilarang menikah dengan kerabat suku sehingga perkawinannya berprinsip moietas eksogami, sehingga perkawinan diharuskan dengan orang di luar marga anggota kelompok meioty mereka. Penyebutan paruh masyarakat keturunan Woita dan Waro, ini bermacam-macam di berbagai daerah seperti Wita dan Waya, Woda dan Weja, Wenda dan Woja, Wenda dan Kogoya, dll.[7][9]

Politik dan Kemasyarakatan

sunting

Tidak ada kata kepemimpinan dalam bahasa Hubula, demikian ap kaintek dan ap koktek sulit diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Istilah ap sendiri dalam bahasa Hubula berarti pria dewasa, kok artinya besar, sehingga ap kok secara harafian berarti 'pria besar', ap koktek bentuk jamaknya. pria berwibawa (big man) adalah istilah antropologi untuk mendeskripsikan orang tersebut yang berfungsi seperti kepala suku.[8]

Sedangkan kain lebih sulit untuk diartikan dalam bahasa Indonesia, karena bisa berarti pemimpin, kepala suku, orang berpengaruh, orang berwibawa. Sehingga ap kain berarti pria besar berpengaruh, demikian pula ap kaintek berarti 'para pria besar berpengaruh'. Orang tersebut dari tingkat kampung (oukul), konfederasi (ap logalek), hingga aliansi perang (oagum).[8]

Untuk tingkat lebih tinggi disebut ap kain metek mele (orang yang biasa berdiri) artinya panglima perang. Sedangkan istilah lain ap kaintek inetaga pogot (para pria yang namanya melangit) atau ap koktek inetaga pogot (para pria besar yang namanya melangit) adalah pemimpin politik atau panglima perang dalam tingkat konfederasi atau aliansi perang.[8]

Perlu dipahami dari berbagai tingkat komunitas Hubula tersebut, tidak memiliki satu pemimpin saja melainkan para ap kaintek yang berdasarkan prestasinya masa lampau dalam peperangan dan masyarakat. Diantara mereka ada yang dijuluki ap etaga pogot (pria yang namanya melangit) bila prestasinya sangat baik dalam peperangan.[8]

Adat Menghormati Nenek Moyang

sunting

Untuk menghormati nenek moyangnya, Suku Dani membuat lambang nenek moyang yang disebut Kaneka. Selain itu, juga adanya Kaneka Hagasir yaitu upacara keagamaan untuk mensejahterakan keluarga masyarakat serta untuk mengawali dan mengakhiri perang.

Tradisi

sunting
 
Kaonak, salam tradisional wilayah pegunungan terutama Suku Dani

Tradisi potong jari

sunting

Disebut juga dengan nama Iki Palek merupakan cara menunjukkan kesedihan dan rasa dukacita ditinggalkan anggota keluarga yang meninggal dunia dengan pemotongan jari. Mereka beranggapan bahwa memotong jari adalah simbol dari sakit dan perihnya seseorang yang kehilangan anggota keluarganya. Pemotongan jari juga dapat diartikan sebagai upaya untuk mencegah ‘terulang kembali’ malapetaka yang telah merenggut nyawa seseorang di dalam keluarga yang berduka.

Bagi Suku Dani, jari diartikan sebagai simbol kerukunan, kesatuan dan kekuatan dalam diri manusia maupun sebuah keluarga. Akan tetapi perbedaan setiap bentuk dan panjang jari memiliki sebuah kesatuan dan kekuatan kebersamaan untuk meringankan semua beban pekerjaan. Kehilangan salah satu ruasnya saja, bisa mengakibatkan tidak maksimalnya tangan kita bekerja. Jadi jika salah satu bagiannya menghilang, maka hilanglah komponen kebersamaan dan berkuranglah kekuatan.

Alasan lainnya adalah “Wene opakima dapulik welaikarek mekehasik” atau pedoman dasar hidup bersama dalam satu keluarga, satu marga, satu honai (rumah), satu suku, satu leluhur, satu bahasa, satu sejarah/asal-muasal, dan sebagainya. Kebersamaan sangatlah penting bagi masyarakat Papua Pegunungan. Kesedihan mendalam dan luka hati orang yang ditinggal mati anggota keluarga, baru akan sembuh jika luka di jari sudah sembuh dan tidak terasa sakit lagi.

Tradisi potong jari di Papua Pegunungan sendiri dilakukan dengan berbagai banyak cara, mulai dari menggunakan benda tajam seperti pisau, kapak, atau parang. Ada juga yang melakukannya dengan menggigit ruas jarinya hingga putus, mengikatnya dengan seutas tali sehingga aliran darahnya terhenti dan ruas jari menjadi mati kemudian baru dilakukan pemotongan jari.

Beberapa sumber mengatakan Tradisi potong jari pada saat ini sudah hampir ditinggalkan. Jarang orang yang melakukannya di masa ini karena adanya pengaruh agama yang mulai berkembang di sekitar daerah pegunungan tengah Papua. Namun masih bisa ditemukan banyak lelaki dan wanita tua dengan jari yang telah terpotong karena mengikuti tradisi ini di masa lampau.

Tradisi mandi lumpur

sunting

Selain tradisi pemotongan jari, juga ada tradisi yang dilakukan dalam upacara berkabung. Tradisi tersebut adalah tradisi mandi lumpur. Mandi lumpur dilakukan oleh anggota atau kelompok dalam jangka waktu tertentu. Mandi lumpur mempunyai arti bahwa setiap orang yang meninggal dunia telah kembali ke alam. Manusia berawal dari tanah dan kembali ke tanah.

Tradisi Akonipuk (Mumi)

sunting

Suku Hubula mengawetkan jenazah tokoh penting dengan membentuk mumi yang disebut akonipuk (terj. har.'manusia yang dikeringkan'). Proses pengeringan ini menggunakan pengasapan, sege (tombak kecil), pisau tulang, dan kayu akasia (wip), dan ramuan tradisional. Sebelum jenazah membeku dalam 3 jam, mereka mengikat tubuh dalam posisi jongkok pada kayu yang sudah disiapkan. Lalu darah dikeluarkan dengan mengiris siku, paha, dan bagian ketiak. Isi perut dikeluarkan lewat dubur menggunakan sege. Setelah dipersiapkan, jenazah tersebut diletakkan diastas bara api dari kayu akasia dan tanaman obat. Proses ini dilakukan setiap hari selama 3 bulan, sehingga jenazah mengering. Para lelaki yang terlibat dalam proses pengawetan tidak boleh keluar dari rumah khusus, mandi, atau terkena matahari karena dipercaya akan merusak mumi. Setelah mumi selesai, upacara besar akan dilakukan dengan mengundang semua warga kampung-kampung sekitarnya. Untuk perawatan mumi dijemur sinar matahari saat pagi dan digosokkan lemak babi.[10]

Upacara Wam Mawe

sunting

Dalam bahasa Hubula, wam mawe terdiri dari dua kata, yakni wam dan mawe. Wam (dalam Bahasa Indonesia) berarti babi dan mawe (dalam Bahasa Indonesia) berarti upacara, secara garis besar maka wam mawe berarti Upacara Babi. Upacara ini juga tidak berlangsung tiap tahun, tetapi setiap empat atau lima tahun sekali, sehingga tidak mengherankan kalau Suku Hubula melaksanakannya secara meriah.[11]

Upacara wam mawe dilaksanakan khusus bagi kaum laki-laki. Sebelum pelaksanaan wam mawe biasanya dilakukan pula upacara wam wesake atau Pesta Honai Adat, babi-babi yang dipilih adalah yang paling bagus dan terbaik yang telah dipersiapkan dan dipelihara sangat lama untuk upacara tersebut.[11]

Pelaksanaan wam mawe sebagai upacara untuk menyelesaikan masalah-masalah adat yang terjadi di dalam masyarakat. Masalah-masalah yang muncul itu seperti masalah maskawin yang belum dibayarkan atau masalah-masalah hutang piutang lainnya.[11]

Selain masalah hutang piutang, upacara wam mawe memiliki tujuan lainnya, antara lain:[11]

  • Untuk memperbaiki tatanan masyarakat dan hubungan internal antar-klan dalam honai adat Suku Hubula.
  • Untuk penghormatan dan penghargaan atas aliansi atau persekutuan antar-suku dalam sebuah peperangan. Hal ini juga dilaksanakan sebagai perayaan kemanganan dalam perang yang dilakukan oleh Suku Hubula dan suku yang menjadi sekutu mereka.
  • Membangun hubungan diplomasi dengan honai adat dari klan atau suku lainnya.

Setelah pesta selesai, para pemuda kemudian melantunkan nyanyian-nyanyian sebagai tanda selesainya upacara, setelah itu mereka membagikan daging babi yang sudah dibakar sebelumnya kepada seluruh masyarakat adat yang telah ditentukan.[11]

Budaya

sunting

Busana

sunting
 
Didimus Mabel, anggota suku Dani dari Kampung Obia, Kurulu dengan pakaian adat

Dari cara berpakaian pun, mereka masih banyak mengenakan koteka (penutup kemaluan pria) yang terbuat dari kunden/labu kuning dan para wanita menggunakan pakaian wah berasal dari rumput/serat dan tinggal di “honai-honai” (gubuk yang beratapkan jerami/ilalang). Selain itu laki-laki mengenakan topi bulat dari bulu burung yang bernama swesi, atau dari kuskus hitam yang disebut siloki inon. Perisai yang digantungkan pada leher atau dahi disebut wali moken dan pada tubuh bagian atas yang disebut walimo, yang terbuat dari serat kayu dan kulit kerang. Selain itu menggunakan aksesoris taring babi yang disebut wam maik, dan aksesoris dari anyaman rotan yang disebut sekan pada lengan dan pergelangan tangan.[12]

Kesenian

sunting
 
Alat musik tradisional suku Dani bernama Pikon

Kesenian masyarakat suku Dani dapat dilihat dari cara membangun tempat kediaman, seperti disebutkan di atas dalam satu silimo ada beberapa bangunan, seperti: Honai, Ebeai, dan Wamai.

Selain membangun tempat tinggal, masyarakat Dani mempunyai seni kerajinan khas, anyaman kantong jaring penutup kepala dan pegikat kapak. Orang Dani juga memiliki berbagai peralatan yang terbuat dari bata, peralatan tersebut antara lain: Moliage, Valuk, Sege, Wim, Kurok, dan Panah sege.

Rumah adat

sunting
 
Kompleks Rumah Honai dekat Wamena

Rumah adat suku Dani ukurannya tergolong kecil, bentuknya bundar, berdinding kayu dan beratap jerami. Namun, ada pula rumah yang bentuknya persegi panjang. Rumah jenis ini namanya Ebe'ai (Honai Perempuan).

Bahan yang digunakan merupakan kayu besi (oopihr) digunakan sebagai tiang penyangga bagian tengah Rumah Honai, Jagat (mbore/pinde), tali, alang-alang, papan yang dikupas, papan alas dll.

Perbedaan antara Honai dan Ebe'ai terletak pada jenis kelamin penghuninya. Honai dihuni oleh laki-laki, sedangkan Ebe'ai (Honai Perempuan) dihuni oleh perempuan. Komplek Honai ini tersebar hampir di seluruh pelosok Lembah Baliem.

Rumah Honai digunakan sebagai tempat tinggal, tempat menyimpan alat-alat perang, tempat mendidik dan menasehati anak-anak lelaki agar bisa menjadi orang berguna pada masa depan, tempat untuk merencanakan atau mengatur strategi perang agar dapat berhasil dalam pertempuran atau perang, tempat menyimpan alat-alat atau simbol dari adat orang Dani

Selain itu juga digunakan untuk pengasapan mumi, yang disebut akonipuk.

Perekonomian

sunting

Mata pencaharian

sunting

Mata pencaharian pokok suku bangsa Dani adalah bercocok tanam atau perkebunan dan beternak babi. Umbi manis merupakan jenis tanaman yang diutamakan untuk dibudidayakan. Tanaman lain yang dibudidayakan adalah pisang, tebu, dan tembakau.

Kebun-kebun milik suku Dani memiliki tiga jenis, yaitu:

  • Kebun-kebun di daerah rendah dan datar yang diusahakan secara menetap
  • Kebun-kebun di lereng gunung
  • Kebun-kebun yang berada di antara dua uma

Kebun-kebun tersebut biasanya dikuasai oleh sekelompok atau beberapa kelompok kerabat. Batas-batas hak ulayat dari tiap kerabat ini bisa berupa sungai, gunung, atau jurang.

Selain berkebun, mata pencaharian suku Dani adalah beternak babi dalam kandang yang bernama wamai (wam = babi; ai = rumah). Kandang babi berupa bangunan berbentuk empat persegi panjang yang bentuknya hampir sama dengan hunu. Bagian dalam kandang ini terdiri dari petak-petak yang memiliki ketinggian sekitar 1,25 m dan ditutupi bilah-bilah papan. Bagian atas kandang berfungsi sebagai tempat penyimpanan kayu bakar dan alat-alat berkebun.

Bagi suku Dani, babi berguna untuk:

  1. dimakan
  2. darahnya dipakai dalam upacara
  3. tulang dan ekornya untuk hiasan
  4. tulang rusuknya digunakan untuk pisau pengupas ubi
  5. sebagai alat pertukaran/barter
  6. untuk perdamaian perang suku

Suku Dani juga memiliki kontak dagang dengan kelompok masyarakat di sekitarnya. Barang-barang yang diperdagangkan adalah batu untuk membuat kapak, dan hasil hutan seperti kayu, serat, kulit binatang, dan bulu burung.

Referensi

sunting
  1. ^ Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. 2011. ISBN 9789790644175. 
  2. ^ "Suku Bangsa (Etnis) Dan Bahasa Daerah di Provinsi Papua". 
  3. ^ Leny, Veronika (July–December 2013). "Memahami Sistem Pengetahuan Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan". Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology. 34 (2): 134–151.  URL to English abstract, with link to downloadable text in Indonesian.
  4. ^ Veronika, Leny (Juli - Desember 2013). "Memahami Sistem Pengetahuan Budaya Masyarakat Pegunungan Tengah, Jayawijaya, Papua dalam Konteks Kebencanaan". Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology. 34 (2): 134–151. 
  5. ^ Diterbitkan oleh suarabalim (2022-07-07). "MENGAPA SAYA TIDAK SUKA DISEBUT SUKU DANI?". Artikel kita. Diakses tanggal 2024-04-07. 
  6. ^ "Mengenal Suku Hugula di Papua". The Papua Jurnal. 2024-06-18. Diakses tanggal 2024-06-18. 
  7. ^ a b Heider, K.G. The Dugum Dani: A Papuan Culture in the Highlands of West New Guinea. The Dugum Dani: a Papuan culture in the highlands of West New Guinea. Wenner-Gren Foundation for Anthropological Research. ISBN 978-0-202-36958-7. 
  8. ^ a b c d e "Ap Kaintek Model Kepemimpinan Masyarakat Hubula di Lembah Balim, Papua". STFT Fajar Timur. Diakses tanggal 2023-01-31. 
  9. ^ Telenggen, Mindison (2022-10-19). "PERKAWINAN DALAM HUKUM ADAT SUKU DANI PAPUA". LEX CRIMEN. 11 (6). ISSN 2301-8569. Diakses tanggal 2024-04-12. 
  10. ^ "Beranda". Warisan Budaya Takbenda. Diakses tanggal 2024-09-01. 
  11. ^ a b c d e abdulrazak (2019-02-28). "Suku Hubula di Lembah Baliem pegunungan tengah Papua dalam hidupnya banyak upacara yang dilksanakan berkaitan dengan upacara adat seputar lingkaran hidup seperti upacara pesta adat Babi (Wam Mawe)". Balai Pelestarian Nilai Budaya Papua (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2019-03-25. 
  12. ^ "Pakaian Adat Papua Lengkap, Gambar dan Penjelasanya". Seni Budayaku. 2017-11-03. Diakses tanggal 2022-12-10. 

Pranala luar

sunting