RAPD
RAPD
RAPD
107
Identifikasi Sidik Jari DNA Talas (Colocasia esculenta L. Schott) Indonesia dengan Teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA): Skrining Primer dan Optimalisasi Kondisi PCR
Titik K Prana, N Sri Hartati
Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong 16911
Diterima 18-02-2003 Disetujui 29-03-2003
ABSTRACT
DNA finger printing technique has been widely used in the analysis of genetic variability of both plants and animals. One of the techniques that can be used to obtain DNA finger print is RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) technique, a molecular technique based on PCR technology. The quality of amplification products depend on several factors, such as MgCl2 and DNA concentrations, primer and PCR condition. In this study, an experiment was conducted to find out appropriate PCR condition to amplify taro DNA using random primers. Three PCR conditions have been tested and one of them successfully amplified taro DNA with good results. Of the 12 primers tested, 9 of them (OPB-01, OPB-04, OPB-05, OPB-06, OPB-07, OPB-10, OPB-15, OPB-16, and OPB-20) were able to produce amplification products. Primers OPB-01, OPB-04, OPB-05, OPB-06, OPB-07, OPB-15, and OPB-20 produced polymorphism bands on some of the samples studied. The results therefore indicate that the technique can be used to evaluate genetic variability of taro at molecular levels and identify additional markers in selection and breeding of the crop. Keywords: Colocasia esculenta, DNA finger print, RAPD
PENDAHULUAN
Identifikasi sidik jari DNA banyak dimanfaatkan dalam analisis keragaman genetik tanaman. Berbagai teknik molekular telah dikembangkan baik teknik yang berdasarkan PCR maupun non-PCR. Salah satu teknik yang memanfaatkan kerja PCR adalah dengan menggunakan arbitrary primer atau yang lebih dikenal dengan teknik RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA ). Teknik ini cukup sederhana dan dapat dikerjakan dalam waktu relatif singkat dibanding teknik molekular lainnya. RAPD telah banyak digunakan dalam analisis keragaman berbagai jenis tanaman seperti Shorea laevis (Siregar et al, 1998), Pinus radiata (Stange et al , 1998), bunga lili (Purwantoro et al, 1999) dan padi (Ishak & Ita 1999). Selain mempunyai keuntungan dalam segi teknis yaitu relatif sederhana, kuantitas DNA yang dibutuhkan hanya sedikit (dibutuhkan 5-25 ng DNA dalam setiap reaksi PCR) bahkan hingga 1,5 ng DNA (Pandey et al, 1996). Teknik ini mampu menyajikan hasil dalam waktu yang relatif singkat karena setelah proses amplifikasi DNA hasil dapat segera divisualisasi. Kemungkinan karakter yang muncul bisa sangat banyak tergantung kepada jumlah primer yang digunakan. Kelemahan teknik RAPD adalah tingkat keberulangannya ( reproducibility ) yang rendah.
Walaupun demikian dapat diatasi dengan konsistensi kondisi PCR. Walaupun karakter yang dihasilkan melalui penggunaan primer RAPD bisa sangat banyak, namun dalam menentukan jenis primer (sekuen primer) dan kondisi PCR yang sesuai (dapat anneal) untuk menghasilkan produk amplifikasi yang maksimum perlu dilakukan penelitian tersendiri. Untuk tujuan analisis keragaman, hal penting lainnya adalah pemilihan primer yang dapat menampilkan polimorfisme pita-pita DNA diantara individu yang diuji. Kualitas pita DNA yang tajam juga penting untuk memudahkan interpretasi dan keakuratan data. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kualitas pita DNA produk amplifikasi PCR dalam analisis RAPD adalah konsentrasi MgCl2, konsentrasi DNA, konsentrasi enzim polimerase, primer dan suhu siklus PCR terutama suhu annealing. Talas merupakan salah satu komoditi pangan non beras yang sangat menarik untuk diteliti aspek keragamannya. Berdasarkan hasil pengamatan Lebot & Aradhya (1991), keragaman talas di Indonesia sangat tinggi, baik ditinjau dari segi morfologi maupun berdasarkan pola isozim. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Prana, et al, (1999). Selain pengamatan dari segi morfologi dan
108
Prana, et al. jenis primer yang digunakan adalah OPB-01 (GTTTCGCTCC), OPB-02 (TGTATCCCTGG), OPB04 (GGACTGGAGT), OPB-05 (TCAGCGAGGT), OPB-06 (TGCTCTGCGC), OPB-07 (GGTGACGCAG), OPB-10 (CTGCTGGGAC), OPB15 (GGAGGGTGTT), OPB-16 (TTTGCCCGGA), OPB-20 (GGACCCTTAC), OPE-5 (TCAGCGAGGT) dan OPE-10 (CACCAGGTGA). Produk amplifikasi dipisahkan dengan elektroforesis pada 1,5% gel agarose menggunakan bufer TAE 1X . Visualisasi pita DNA dilakukan dengan merendam gel pada larutan etidium bromida dan diamati di atas UV transiluinator. Kondisi PCR: 1) kondisi I (Irwin et al, 1998) 940C, 1 menit (pra-PCR); 940C, 1 menit (denaturasi); 350C, 1 menit (pelekatan); 720C, 2 menit (pemanjangan) sebanyak 45 siklus; 720C, 5 menit (pasca PCR), 2) Kondisi II (Siregar et al, 1998) 940C, 3 menit (praPCR); 940C, 30 detik (denaturasi); 360C, 45 detik (pelekatan); 720C, 2 menit (pemanjangan) sebanyak 45 siklus; 720C, 4 menit (pasca PCR), 3) Kondisi III (Sudarmonowati & Hartati 1997) 940C, 5 menit (praPCR); 940C, 1 menit (denaturasi); 350C, 3 menit (pelekatan); 720C, 2 menit (pemanjangan) sebanyak 35 siklus; 720C, 7 menit (pasca PCR).
pola pita isozim, karakterisasi pada tingkat molekular (DNA) penting dilakukan untuk memperoleh data yang lebih komprehensif, sehingga dapat digunakan untuk kepentingan lebih lanjut sebagai marka pembantu seleksi maupun pemetaan gen yang dapat berguna untuk mencari keterpautan dengan sifat tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kondisi optimum PCR untuk amplifikasi DNA genom talas yang dikoleksi dari beberapa daerah di Indonesia. Percobaan yang dilakukan meliputi pengamatan pengaruh perbedaan kondisi PCR, pemilihan serta penentuan kuantitas primer.
Identifikasi sidik jari DNA Colocasia esculenta L. Schott & Smart 1996). Metabolit sekunder dan polisakarida juga dapat menghambat kerja enzim. Adanya polisakarida dalam tanaman ditandai dengan kekentalan pada hasil isolasi DNA yang menyebabkan kesulitan dalam pekerjaan pemipetan DNA, dan DNA tidak dapat diamplifikasi dalam reaksi PCR akibat penghambatan aktivitas Taq polymerase (Fang et al, 1992 dalam Porebski et al, 1997). Pada proses ekstraksi DNA talas, setelah penambahan bufer pengekstrak CTAB pada daun yang telah dihaluskan, terbentuk larutan yang sangat kental, yang menunjukkan tingginya kandungan polisakarida. Selain polisakarida, kandungan senyawa fenolik dalam daun talas juga cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari cepatnya pencoklatan pada ujung pucuk daun talas yang dipotong. Pandey et al, (1996) mengamati pengaruh penghambatan polisakarida netral (arabinogalaktan, dekstran, gum guar, gum locust bean, inulin, manan dan pati) dan polisakarida asam (karagenan, dekstran sulfat, gum ghatti, pektin dan silan) dengan perbandingan tertentu, yaitu 2.000 ng polisakarida 1,5 ng DNA, terhadap amplifikasi DNA bayam dengan teknik RAPD. Hasil percobaan menunjukkan bahwa polisakarida netral tidak menghambat reaksi amplifikasi DNA, sedangkan polisakarida asam menyebabkan DNA tidak dapat diamplifikasi (menghambat secara total). Pada umumnya ekstraksi DNA dilakukan dengan menggunakan bufer pengekstrak SDS ( sodium dodecyl sulphate ) dan bufer pengekstrak CTAB (cetyltrimetilammonium bromide). Perlakuan lisis sel dengan deterjen non ionik CTAB menghasilkan kuantitas DNA yang cukup tinggi terutama dari jaringan segar dengan jumlah DNA yang dihasilkan bervariasi tergantung kepada spesies dan kondisi awal material yang digunakan (Ausubel et al, 1994). Pada tanaman dengan kandungan poliskarida dan metabolit sekunder tinggi perlu dilakukan modifikasi pada saat ekstraksi DNA menggunakan bufer CTAB. Untuk menghilangkan polisakarida, ekstraksi lisat dengan kloroform/oktanol disarankan dibanding kloroform/isoamilalkohol karena lebih efisien untuk mengisolasi asam nukleat (Ausubel et al, 1994). Ekstraksi lisat dengan kloroform/oktanol juga dilakukan pada protokol ekstraksi DNA tanaman Fragaria yang mengandung komponen polisakarida dan polifenol tinggi dengan bufer ekstraksi CTAB (Porebski et al, 1997), Cedrella odorata (Gillies et al,
109
1997) dan Shorea parvifolia (Sudarmonowati & Hartati 1997). Hasil amplifikasi DNA yang diperoleh dengan metoda ini sangat baik. Hasil isolasi DNA talas yang dilakukan dengan bufer ekstraksi CTAB menghasilkan DNA dengan kualitas cukup baik. DNA hasil isolasi yang dilarutkan dalam air tidak kental yang menunjukkan berkurangnya kandungan polisakarida. Adanya merkaptoetanol dalam bufer ekstraksi juga dapat menghambat oksidasi fenolik yang mengganggu ekstraksi DNA. Kuantitas DNA yang dihasilkan berkisar antara 8,75-183,75 g/g sampel daun talas. Jumlah ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kuantitas rata-rata DNA yang dihasilkan dari daun beberapa spesies strawberi yang juga memiliki kandungan polisakarida dan polifenol tinggi, yaitu Fragaria vesca (20 g/g), F. multicipita (30 g/g), F.virginiana Gaspe (20 g/g), F. virginiana Petawa (84 g/g), F. chiloensis V.I. (71 g/g), F. chiloensis B.C. (52 g/g), F. ananassa wild (32 g/g) dan F. ananassa cultivated (28 g/g) dengan metoda isolasi DNA yang dilakukan oleh Porebski et al, (1997). Optimalisasi amplifikasi DNA genom talas melalui PCR. Keberhasilan amplifikasi DNA genom menggunakan teknik RAPD selain ditentukan oleh urutan basa primer yang digunakan serta kuantitasnya (kandungan primer dalam setiap reaksi), ditentukan pula oleh kesesuaian kondisi PCR yang meliputi suhu annealing primer dan ekstensi. Pada penelitian ini telah dicoba beberapa jenis primer dan dibandingkan perbedaan kuantitasnya serta percobaan tiga kondisi PCR. Penggunaan primer (OPB-01, OPB-05, OPB-06, OPE-05, OPE-10, OPB-02) dengan jumlah 2 mol pada kondisi PCR I hampir seluruhnya tidak menghasilkan produk amplifikasi untuk semua sampel yang dicoba, kecuali primer OPB-06 untuk No. koleksi 109 yang menghasilkan 1 pita (Tabel 1). Peningkatan kuantitas primer (OPB-01, OPB-05, OPB-06, OPB04, OPB-10, OPB-16) dalam reaksi PCR menjadi 3,2 pmol (3,2 M) dengan kondisi PCR 1 menghasilkan produk amplifikasi DNA yang dapat dilihat dalam jumlah pita maksimum (Tabel 1). Jumlah (konsentrasi) optimum dari primer random untuk amplifikasi DNA pada beberapa tanaman bervariasi, bergantung kepada jenis primer dan jenis tanamannya. Penelitian terhadap tanaman Pinus radiata membutuhkan primer sebanyak 22 mol setiap reaksi untuk mendapatkan hasil amplifikasi DNA yang optimum (Stange et al,
110
Prana, et al.
Jumlah pita DNA maksimum hasil amplifikasi PCR menggunakan primer OPB-01, OPB-05, OPB-07, OPB-15, OPB-20 konsentrasi 3,2 M pada kondisi PCR III. Primer / jumlah pita maksimum OPB -01 10 9 8 5 2 11 PB -05 2 3 5 6 6 7 4 8 5 1 3 3 6 4 7 7 4 6 6 OPB -07 11 6 8 11 9 3 12 7 7 10 9 6 12 13 10 7 7 11 2 1 OPB -10 OPB -15 5 3 17 11 15 16 11 14 14 13 13 10 13 14 14 5 13 13 9 OPB -20 11 2 6 3 9 8 5 5 8 3 5 5 3 5 7 4 7 5 3
1998), sedangkan untuk tanaman spruce dibutuhkan primer dengan konsentrasi yang cukup tinggi, yaitu 0.5 mM (Nkongolo et al, 1998). Pada penelitian ini konsentrasi primer yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil pita yang optimum adalah 3,2 mol.
Tabel 1. Jumlah pita DNA maksimum hasil amplifikasi PCR menggunakan primer OPB-01, OPB-05, OPB-06, OPE-05, OPE-10, OPB-02, OPB-04, OPB-10, OPB-16 pada kondisi PCR I dan kondisi PCR II.
Kondisi PCR Sampel /No. Koleksi 50 109 50 7 23 25 34 36 40 49 56 62 66 109 199 50 50 109 109 199 Kondisi I 50 50 109 109 199 50 109 50 109 199 50 109 199 50 109 199 50 109 139 50 34 Kondisi II 50 109 50 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-01 OPB-05 OPB-05 OPB-05 OPB-05 OPB-05 OPB-06 OPB-06 OPB-06 OPB-06 OPB-06 OPE-05 OPE-05 OPE-10 OPE-10 OPE-10 OPB-02 OPB-02 OPB-02 OPB-04 OPB-04 OPB-04 OPB-10 OPB-10 OPB-10 OPB-16 OPB-10 OPB-10 OPB-10 OPB-20 2 pmol 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 2 mol 3,2 mol / 3,2 M 2 mol 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 2 mol 3,2 mol / 3,2 M 2 mol 3,2 mol / 3,2 M 2 mol 2 mol 2 mol 2 mol 2 mol 2 mol 2 mol 2 mol 2 mol 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 3,2 mol / 3,2 M 4 3 4 2 4 2 2 3 4 2 2 S 5 4 1 2 1 1 1 S S S 5 1 4 4 1 3 Primer Jumlah / konsentrasi primer Jumlah pita maksimum
Sampel /No. koleksi 25 106 109 199 23 36 40 62 140 56 7 50 208 49 234 203 34 424 111 -
Pengaruh kondisi PCR yang lain (Kondisi II dan III) dengan jumlah primer yang berbeda tampak pada Tabel 1 dan 2. Jika dibandingkan antara kondisi PCR I dan II, penggunaan kondisi PCR I memberikan hasil yang lebih baik. Walaupun pada kondisi II sampel yang diuji tidak sebanyak untuk kondisi I (hanya pada 3 nomor koleksi saja yaitu No. 34, 50 dan 109), nampak bahwa pita yang dihasilkan untuk No. koleksi 50 (primer OPB-10) lebih banyak dengan menggunakan kondisi PCR I (4 pita), sedangkan kondisi PCR II adalah 3 pita. Penggunaan kondisi PCR III memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan kondisi PCR I dalam hal jumlah pita DNA hasil amplifikasi. Sebagai contoh adalah pada no koleksi 109, jumlah pita yang dihasilkan pada kondisi PCR I dengan primer OPB01 dan OPB-05 berturut-turut adalah 2 dan 4 pita, sedangkan dengan kondisi PCR III menghasilkan pita sebanyak 8 dan 5 pita (Tabel 1 dan 2). Demikian juga untuk No. koleksi lainnya, penggunaan kondisi PCR III menampilkan jumlah pita hasil amplifikasi yang lebih banyak. Perbedaan kualitas hasil amplifikasi selain dilihat berdasarkan jumlah pita yang dapat diidentifikasi, juga dapat dilihat berdasarkan resolusi fragmen DNA yang
Identifikasi sidik jari DNA Colocasia esculenta L. Schott diamplifikasi. Pada Gambar 2 tampak bahwa penggunaan kondisi PCR III untuk beberapa No. koleksi dengan menggunakan primer OPB-01, OPB05, OPB-07, OPB-15 dan OPB-20 menghasilkan pitapita yang jauh lebih tajam jika dibandingkan dengan Gambar 1a (kondisi PCR I), dan Gambar 1b (kondisi PCR II). Pada Gambar 1a, pita-pita DNA yang dihasilkan untuk No. koleksi 50 lebih jelas (tajam) jika dibandingkan dengan pita-pita DNA pada Gambar 1b untuk No. koleksi yang sama. Perbedaan yang jelas mengenai resolusi fragmen DNA hasil amplifikasi PCR antara kondisi I dan III dapat dilihat untuk No. koleksi 23, 25 dan 36 dengan menggunakan primer OPB-01 (Gambar 1a dan 2). Pada gambar tersebut tampak bahwa kondisi PCR III untuk nomor-nomor koleksi tersebut memberikan kualitas pita dan resolusi yang lebih baik jika dibandingkan dengan kondisi PCR I sehingga pita-pita yang dihasilkan dengan kondisi PCR III mudah diamati.
7 23 25 34 36 40 49 50 56 62 66
111
aksesi varitas antiquorum dan 6 aksesi talas Indonesia (Irwin et al, 1998). Beberapa primer yang digunakan pada penelitian tersebut juga dicoba pada penelitian ini yaitu OPB-01, OPB-04, OPB-05, OPB06, dan OPB-20. Walaupun menggunakan kondisi PCR yang sama (kondisi I) tetapi hasil yang diperoleh dalam percobaan ini tidak sebaik jika menggunakan kondisi PCR lain (kondisi III). Perbedaan yang mendasar pada ketiga kondisi PCR yang dicoba adalah pada jumlah siklus, suhu dan lamanya annealing. Berdasarkan data-data yang diperoleh tampaknya amplifikasi DNA genom talas yang dikoleksi dari berbagai daerah di Indonesia lebih baik dilakukan dengan jumlah siklus PCR yang tidak terlalu banyak serta waktu annealing yang panjang (3 menit). Identifikasi primer yang sesuai dan primer informatif. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat bahwa. dari 12 primer yang dicoba dengan kondisi PCR I, II dan III, sembilan primer diantaranya meghasilkan pita-pita DNA (Tabel 1 dan Tabel 2). Kesembilan primer tersebut adalah OPB-01, OPB-05, OPB-20 (kondisi PCR I dan II) , OPB-06, OPB-04, OPB-10 (Kondisi PCR I, II dan III), OPB-16 (kondisi PCR I), OPB-07, OPB-15 (kondisi PCR III). Sedangkan untuk primer OPE-05, OPB-02 dan OPE10 kemungkinan dapat memberikan hasil amplifikasi DNA jika kosentrasinya ditingkatkan. Pemilihan primer yang sesuai tidak saja hanya berdasarkan ada tidaknya hasil amplifikasi DNA, tetapi juga harus informatif yang berarti dapat variasi atau perbedaan di antara individu yang diuji. Di antara primer-primer yang dicoba, beberapa primer yang informatif adalah OPB-01, OPB-05, OPB-20, OPB06, OPB-04, OPB-07, OPB-15 (Gambar 1a dan Gambar 2). Variasi pola pita RAPD antar individu yang diuji dengan menggunakan primer OPB-01, OPB-05, dan OPB-15 dapat diamati pada Gambar 2 Perbedaan yang sangat jelas nampak untuk sample 23, 25, 36, 106, 109 dan 199 ( OPB-01), 56 dan 140 (OPB-05). Pada Gambar 2b (OPB-15) tampak perbedaan pola pita DNA nampak pada seluruh sampel yang diuji. Variasi pola pita DNA yang diperoleh dengan primer-primer tersebut menggambarkan adanya polimorfisme talas Indonesia yang cukup tinggi pada tingkat molekuler. Penelitian-penelitian mengenai karakterisasi molekuler seperti ini dapat memberikan informasi mengenai keragaman genetik talas yang ada di Indonesia. Penelitian mengenai keragaman
23130 bp 9416
2027 564
(a)
OPB-10 34 50 109
OPB-20 50
23130 bp 9416
2027 564
(b) Gambar 1. Produk amplifikasi DNA talas menggunakan primer OPB-01 (3,2 M) melalui kondisi PCR I (1a) , OPB-10 dan OPB-20 (3,2 M) pada kondisi PCR II (1b).
Karakterisasi molekular talas menggunakan primer random ( Operon Technologies ) telah dilakukan, yang meliputi 23 aksesi talas Hawai, 2
112
Prana, et al.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penelitian ini merupakan bagian dari Proyek TANSAO (Taro Network for Asia and Oceania) dengan dukungan dana Masyarakat Ekonomi Eropa. Ucapan terimakasih disampaikan kepada Bapak Dr Made Sri Prana selaku koordinator proyek Tansao di Indonesia. Ucapan yang sama disampaikan pula kepada Sdr Santi Sugiharti, Sdr Oman Abdurahman dan Sdr Ani Indriani atas bantuan teknis dilaboratorium, Sdr T Kuswara untuk penanganan sampel di kebun koleksi serta Sdr S Jitno Rijadi untuk dokumentasi hasil penelitian.
600
200
(a)
66 23 34 36 203 234 329 111 140 2310 bp 9416 6557 4361
DAFTAR PUSTAKA
Ausubel, F.M., Brent, R., Kingston, R.E., Moore, D.D., Seidman, J.G., Smith, J.A. & Stuhl, K. 1994. Current Protocols in Molecular Biology. New York: John Wiley & Sons, Inc. Gilies, A.C.M., Cornelius, J.P., Newton, A.C., Navaro, C., Hernandez, M. & Wilson, J. 1997. Genetic variation in Costa Rica population of tropical timber species Cedrela odorata L. assesed using RAPDs. Molec ecol 6: 1113-1115. Irwin, S.V., Kaufusi, P., Banks, K., De la Pena, R. & Cho, J.J. 1998. Molecular characterization of taro ( Colocasia esculenta) using RAPD markers. Euphytica 99: 183-189. Ishak & Dwimahyani, I. 1999. Genetic and molecular analysis of rice waxy mutant line using RAPD marker. Annales Bogoriense 6: 27-36. Stange, C.D., Prehn & Patricio. 1998. Protocols isolation of Pinus radiata genomic DNA suitable for RAPD analysis. Plant Molec Biol reporter 16: 1-8. John, Cho , Irwin, S.V., Banks, K. & Kaufusi, K. 1997. Molecular characterization of 48 taro (Colocasia esculenta) lines using RAPD markers. Plant & Animal Genome V Conference. San Diego, 12-16 January 1997. Lebot, V. & Aradhya, K.M. 1991. Isozyme variation in taro (Colocasia esculenta L. Schott ) from Asia and Oceania. Euphytica 56: 55-66. Nkongolo, K.K., Klimaszewska, K. & Gration, W.S. 1998. DNA yields and optimization of RAPD patterns using spruce embriogenic lines, seedlings, and needles. Plant Molec Biol reporter 16: 1-9. Pandey, R.N., Adams, R.P. & Flournoy, L.E. 1996. Inhibition of Random Amplified Polymorphic DNAs (RAPDs) by plant polysaccharides. Plant Molec Biol reporter 14: 15-22. Porebski, S., Bailey, L.G. & Baum, B.R. 1997. Modification of CTAB DNA extraction protocol for plants containing high polysacharide and polyphenol components. Plant Molec Biol reporter 15: 8-15. Prana, T.K., Hartati, N.S. & Prana, M.S. 1999. Studi variasi isozim pada talas dari Sulawesi Selatan. Hayati 6: 81-86. Purwantoro, A., Supaibulwatana, K., Mii, M. & T. Koba. 1999. Cytologycal and RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) analyses of somaclonal variation in Easter Lily (Lilium longiforum Thunb.) . Plant Biotechnology 16: 247-250. Siregar, U.J., Sudarmonowati, E. & Hartati, N.S. 1998. Development of RAPD protocol for Shorea laevis. Annales Bogorienses 5: 85-92. Sudarmonowati, E. & Hartati, N.S. 1997. A simple method for extracting DNA and obtaining RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) markers of Shorea parvifolia. Proceeding of The Indonesian Biotechnology Conference. Jakarta, 1719 Juni 1997. Wilkins, T.A. & Smart, L.B.. 1996. Isolation of RNA from Plant Tissue. Di dalam: Krieg, P.A. (ed). A Laboratory Guide to RNA. Isolation, Analysis and Synthesis. New York: Wiley Liss.
564
(b) Gambar 2. Produk amplifikasi DNA talas menggunakan primer konSentrasi 3,2 M pada kondisi PCR III. 2(a). OPB-01, OPB-15 dan OPB-05, 2(b).
genetik talas dari beberapa negara, termasuk sebagian talas dari Indonesia telah dilakukan oleh Irwin et al (1998) dan John et al (1997). Informasi yang diperoleh dari hasil penelitian ini memberikan peluang lebih jauh untuk menggali informasi yang semakin lengkap mengenai keragaman talas. Informasi semacam ini sangat dibutuhkan, baik untuk tujuan inventarisasi keragaman talas yang terdapat di Indonesia maupun untuk tujuan pemuliaan melalui pendekatan molekuler.
KESIMPULAN
Jumlah atau konsentrasi primer serta perbedaan kondisi PCR berpengaruh terhadap hasil amplifikasi DNA. Konsentrasi primer yang sesuai untuk mengamplifikasi DNA genom talas adalah 3,2 M. Kondisi PCR yang dapat menghasilkan jumlah dan kualitas pita-pita DNA yang paling baik dari tiga kondisi PCR yang dicoba adalah kondisi PCR III. Primer-primer yang dapat menampilkan pola pita yang bervariasi di antara sampel yang diuji adalah OPB01, OPB-05, OPB-20, OPB-06, OPB-04, OPB-07, OPB-15.
113