Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

KARAGENAN

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Acara IV

EKSTRAKSI KARAGENAN

LAPORAN RESMI PRAKTIKUM
TEKNOLOGI HASIL LAUT

Disusun oleh:
Nama :Sherly Putri Santoso
NIM : 12.70.0023
Kelompok : D2







PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATA
SEMARANG


2014


1
1. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan karagenan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Karagenan
Kel Berat Awal (g) Berat Kering (gr) % Rendemen
D1 40 2,631 6,578
D2 40 2,421 6,053
D3 40 1,535 3,837
D4 40 1,725 4,312
D5 40 1,941 4,853
D6 40 2,443 6,107

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa berat awal untuk semua kelompok adalah sama yaitu 40
gram. Untuk berat kering tiap kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda, yaitu untuk
kelompok D1 mendapat hasil paling besar yaitu sebesar 2,631 gram sehingga % rendemen
yang dihasilkan adalah 6,578% sedangkan yang mendapatkan hasil paling kecil adalah
kelompok D3 yaitu dengan berat kering sebesar 1,535 sehingga mendapatkan % rendemen
sebesar 3,836%.

2
2. PEMBAHASAN
Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa dalam negeri dan juga merupakan
pendapatan bagi masyarakat yang ada di pesisir. Rumput laut dapat langsung digunakan
sebagai bahan makanan namun hasil olahan rumput laut seperti agar-agar, karagenan, dan
alginat juga merupakan senyawa yang penting dalam industri. Negara Indonesia mengekspor
rumput laut namun mengimpor hasil-hasil olahan rumput laut. Sekarang, industri pengolahan
rumput laut di Indonesia contohnya agar-agar masih secara tradisional dan semi industri,
sedangkan untuk karagenan dan alginat belum diolah di dalam negeri (Istini, 1985). Menurut
Haryanto (2005), rumput laut merupakan bagian terbesar dari tanaman laut yang fungsinya
sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Secara garis besar, rumput laut dibedakan
diantaranya sebagai penghasil agar, karagenan, furcelaran dan alginat. Alga cokelat atau
sering disebut kelp atau rockweed merupakan sumber alginat atau algin. Alginat adalah salah
satu jenis polisakarida yang terdiri dari unit-unit asam manurat dan asam glukoronat.
Alga merah sendiri merupakan sumber agar-agar, karagenan, dan furcelaran. Beberapa
rumput laut yang terdapat di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi adalah rumput
laut penghasil agar-agar (agarophyte), yaitu Gelidiopsis, Gelidium, Gracilaria, dan Hypnea;
rumput laut penghasil karagenan (Carragenophyte), yaitu Eucheuma cottonii, Eucheuma
striatum, Eucheuma spinosum ; rumput laut penghasil algin, yaitu Sargassum, Macrocystis,
dan Lessonia. Rumput laut yang segar tidak dapat disimpan lama dalam suhu ruang sehingga
diolah menjadi bentuk rumput laut kering, tepung agar, tepung alginat atau tepung karagenan.
Rumput laut (seaweed) merupakan salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan
berklorofil. Alga memiliki sifat autotrof, yaitu dapat hidup sendiri tanpa begantung makluk
lain. Pertumbuhan rumput laut sangat bergantung pada keberadaan sinar matahari sehingga
dapat melakukan proses fotosintesis (Angka & Suhartono, 2000).
Untuk rumput laut jenis ganggang merah yang telah dikeringkan dapat diambil ekstraknya
berupa alginat atau karagenan. Pada industri makanan, rumput laut ini digunakan dalam
pembuatan es krim, saos, selai, puding, permen, dan roti (Saparinto, 2002). Kandungan gizi
rumput laut :
Karbohidrat : 39 - 51 %
Protein : 17,2 - 27,13 %
Lemak : 0,08
3

Abu : 1,5 %
Mineral : K, Ca, P, Na, Fe, I
Vitamin : A, B
1
, B
2
, B
6
, B
12
, C (caroten)
(Suptijah, 2002). Ada 2 jenis rumput laut yang dibudidayakan, yaitu Eucheuma spinosum dan
Eucheuma cottonii. Keduanya banyak digunakan baik dalam bidang pangan maupun farmasi.
Eucheuma spinosum memiliki fungsi sebagai stabilizer pada berbagai produk pangan seperti
es krim dan susu coklat, dan juga bisa menjadi sumber karaginan. Sedangkan jenis Eucheuma
cottonii mempunyai kandungan karaginan yang lebih tinggi daripada E. spinosum sehingga
kemampunannya dalam hal mengentalkan lebih baik. Eucheuma cottonii juga dapat
digunakan sebagai pelunak daging dan juga dalam bidang farmasi dapat digunakan sebagai
obat (Winarno, 1990).
Rumput laut yang tergolong Rhodophyceae seperti Chondrus, Gigartina, Eucheuma, dan
Hypnea mengandung bahan yang cukup penting, yaitu karagenan. Karagenan dalam dunia
industri berbentuk garam apabila bereaksi dengan sodium, kalsium, dan potasium. Karagenan
adalah jenis galaktan yang digunakan pada industri makanan, khususnya sebagai emulsifier
pada industri minuman. Karagenan dibagi menjadi dua fraksi, yaitu kappa karagenan dan iota
karagenan. Kappa karagenan merupakan bahan yang larut dalam air panas yang terdapat pada
rumput laut jenis Eucheuma cottonii, Eucheuma striatum, dan Eucheuma speciosum.
Sedangkan iota karagenan larut dalam air dingin dan berasal dari jenis Eucheuma spinosum,
Eucheuma isiforme, dan Eucheuma uncinatum (Aslan, 1998). Berdasarkan strukturnya,
karaginan dibagi menjadi 3 jenis yaitu kappa, iota, dan lambda karaginan (Sediadi &
Budiharjo, 2000).
Kappa- carageenan membentuk gel yang kuat dan getas, Iota- carageenan membentuk gel
yang elastis, sedangkan lambda-carageenan tidak membentuk gel. Hal ini terjadi karena
struktur kappa dan iota- carageenan memungkinkan segmen-segmen dari dua molekul untuk
membentuk double helix yang mengikat rantai molekul menjadi jaringan tiga dimensi, gel.
Sedangkan untuk struktur dari lambda- carageenan tidak memungkinkan untuk membentuk
double helix. Carageenan, khususnya jenis kappa dapat bereaksi dengan fraksi protein susu
yaitu kasein, sehingga membentuk jaringan gel tiga dimensi dengan air dan garam, dan juga
mampu menyaring partikel yang ada di dalamnya. Pada pH kurang dari 4,4 kappa dan kasein
yang memiliki muatan berlawanan akan mengendap. Pada pH lebih tinggi dari 4,4 keduanya
akan bermuatan negatif tetapi tidak saling menolak (Winarno, 1990). Berdasarkan jurnal
4

yang berjudul Iota-carrageenans from Solieria filiformis (Rhodophyta) and their effects in
the inflammation and coagulation yang ditulis oleh Fernandes de Arajo, et al (2012)
dilakukan analisis biokimia untuk mempelajari isolasi iota-carrageenans (-CARs) dari
Solieria filiformis (Rhodophyta) dengan ekstraksi enzimatis (EE), refined hot-water
extraction (RHWE) dan hot-water extraction (HWE), dan test (EE, s.c.). Dari hasil
pengamatan diperoleh hasil bahwa dengan metode ekstraksi enzimatis didapatkan kandungan
gula total 89.92% dan sulfat 29.02%. Metode ini dianggap paling efektif untuk dilakukan.
Menurut Poncomulyo et al. (2006) perbedaan sifat ke 3 jenis karagenan adalah sebagai
berikut :
Dalam air dingin, seluruh garam dari lambda karaginan dapat larut, sedangkan pada
kappa dan iota karaginan hanya garam natrium yang larut.
Lambda karaginan larut dalam air temperatur 40-60
o
C, sedangkan kappa dan iota
karaginan larut dalam air temperatur di atas 70
o
C.
Kappa, lambda, dan iota karaginan larut dalam susu panas.
Dalam susu dingin, kappa dan iota tidak larut, sedangkan lambda karaginan akan
membentuk dispersi.
Kappa karaginan dapat membentuk gel dengan ion kalium, sedangkan lambda karaginan
tidak dapat membentuk gel.
Semua jenis karaginan stabil pada pH netral dan alkali. Pada pH asam karaginan akan
mengalami hidrolisis.
Larutan karagenan bersifat reversible; artinya apabila larutan dipanaskan kembali, gel akan
kembali mencair (Fellows, 1990). Menurut Lisdiana (2000) karaginan (Carageenan) berasal
dari Eucheuma sp. Karaginan dapat digunakan dalam industri kosmetik dan makanan yaitu
sebagai stabilisator, pengental, pembentuk gel, pengemulsi serta pengontrol tekstur dan
kelembaman. Contohnya dalam pembuatan susu coklat, ice cream, dessert gels, daging
kaleng, ikan kaleng, pasta gigi, air freshener, cream, dan coffee creamer. Dalam dunia
industri farmasi karagenan dapat berfungsi sebagai pasta gigi, obat-obatan, kosmetik, tekstil
dan cat (Manik et al., 2004). Dalam jurnal yang berjudul Characterizations of Fish Gelatin
Films Added with Gellan and K-Karrageenan yang ditulis oleh Pranoto, et al (2006)
dilakukan sebuah penelitian untuk membuktikan kemampuan kappa karagenan yang bersama
dengan gellan untuk ditambahkan dalam gelatin ikan sehingga mampu meningkatkan
struktuk dari lapisan gelatin ikan. Warna, struktur mikro, Fourier transform infrared (FTIR)
5

dan thermal analysis (DSC) pada modifikasi lapisan gelatin ikan diteliti. Dari hasil penelitian
didapatkan kesimpulan bahwa penambahan gellan dan Kappa karagenan dapat meningkatkan
titik leleh dari gel gelatin ikan, gellan lebih efektif.
Karagenan merupakan polisakarida linear yang tersusun atas unit-unit galaktosa dan 3.6-
angiodrogalaktosa dengan ikatan glikosidik alfa-1.3 dan beta-1.4 secara bergantian (Angka &
Suhartono, 2000). Sifat dari karagenan bergantung dari keberadaan kation dan anion. Apabila
karagenan mengandung kation potasium, maka akan memiliki sifat yang dapat membentuk
gel yang keras, tetapi apabila karagenan berikatan dengan anion sodium, maka karagenan
akan memiliki sifat larut dalam air dingin dan tidak memiliki kemampuan membentuk gel
(Fennema, 1976). Rumus bangun dari karaginan :

(Istini, 1985). Dalam praktikum ini jenis rumput laut yang dipakai adalah dari jenis
Eucheuma cottonii. Eucheuma cottonii merupakan salah satu alga penghasil karagenan
karena memiliki kandungan karagenan sebesar 61.25% (Angka & Suhartono, 2000). Rumput
laut kering yang bagus dan memenuhi standar perdagangan adalah rumput laut yang memiliki
kandungan benda asing tidak lebih dari 5% dan kandungan air (moisture content) sekitar 20
22%. Sedangkan khusus untuk jenis Euchema harus memenuhi standar kadar air maksimal
15% dan kadar benda asing (garam, pasir, karang dan kayu) tidak lebih dari 5% dan baunya
spesifik bau rumput laut (Poncomulyo et al., 2006).
Rumput laut diambil sebanyak 40 gram kemudian dipotong kecil-kecil dan diblender.
Menurut Winarno (2002) perlakuan pemotongan dan pemblenderan bertujuan untuk
6

memperluas permukaan rumput laut sehingga dapat terjadi kontak maksimal antara
permukaan rumput laut dengan air. Setelah diblender direbus dalam air 500 ml selama 1 jam
pada suhu 80-90
o
C. Setelah direbus pH diatur sampai menjadi pH 8 dengan penambahan
NaOH atau HCl kemudian disaring dengan kain saring. Hal ini sesuai dengan teori dari
Astawan & Astawan (1991) bahwa ekstraksi karagenan dilakukan dengan menggunakan air
panas pada suhu 90 - 100 C, dan pH alkalis. Jenis basa yang ditambahkan adalah NaOH
atau Ca(OH)
2
. Filtrat kemudian diambil dan ditambah dengan NaCl 10% sebanyak 5% dari
volume filtrat. Penambahan NaCl menurut Imeson (2010) berfungsi untuk membuat
karaganen mempunyai sifat yang dapat mencair saat dipanaskan. Setelah itu dipanaskan
sampai suhu 60
o
C.
Setelah suhu mencapai suhu 60
o
C, filtrat tadi dituang ke wadah berisi cairan IPA 300 ml.
Sesaat setelah dituang langsung diaduk menggunakan selama 10 menit maka endapan akan
menempel pada pengaduk. Endapan kemudian ditiriskan dan direndam dalam larutan IPA
sampai didapat serat karagenan yang lebih kaku. Hal ini sesuai dengan teori Winarno (1990)
bahwa filtrat yang dihasilkan dipompa ke dalam tangki yang berisi isopropil alkohol dan akan
didapatkan serat karaginan. Serat karaginan dipress, kemudian dicuci dengan alkohol segar
dan dipress lagi. Serat yang lebih kaku itu kemudian dibentuk tipis-tipis dan dikeringkan
35
o
C selama 24 jam. Setelah kering ditimbang kemudian diblender. Dari hasil pengamatan
dapat dilihat bahwa berat awal untuk semua kelompok adalah sama yaitu 40 gram. Untuk
berat kering tiap kelompok memiliki hasil yang berbeda-beda, yaitu untuk kelompok D1
mendapat hasil paling besar yaitu sebesar 2,631 gram sehingga % rendemen yang dihasilkan
adalah 6,578% sedangkan yang mendapatkan hasil paling kecil adalah kelompok D3 yaitu
dengan berat kering sebesar 1,535 sehingga mendapatkan % rendemen sebesar 3,836%.
Langkah yang dilakukan dalam praktikum ini sama namun hasil yang didapat berbeda-beda,
hal ini dapat terjadi karena adanya beberapa faktor. Salah satunya adalah perbedaan
penambahan NaOH dan HCl untuk mendapatkan pH 8 dan perbedaan pH tiap kelompok,
menurut Poncomulyo et al. (2006) semua jenis karaginan stabil pada pH netral dan alkali,
sedangkan pada pH asam karaginan akan mengalami hidrolisis. % rendemen yang dihasilkan
pada praktikum ini menurut Wenno (2009) tidak memenuhi standar minimum rendemen
karaginan dari Departemen Perdagangan tahun 1989 yaitu sebanyak 25%. Hal ini terjadi
dikarenakan waktu yang kurang lama dalam proses produksi karaginan. Menurut Winarno
(1990) adapun produksi karaginan untuk skala rumah tangga adalah perendaman rumput laut
7

dalam air tawar selama 12-24 jam, kemudian dilakukan pembilasan dan penirisan. Adapun
tahap ekstraksi karaginan berdasarkan metode SNI03-70-1990 yaitu sebagai berikut :
1. 5 gr rumput laut dicuci, dipotong - potong kecil, lalu dimasukkan ke dalam gelas piala.
2. Ditambah aquades sampai semua rumput laut terendam selama 24 jam.
3. Dicuci hingga bersih pada air yang mengalir.
4. Dimasukan kembali kedalam gelas piala yang berisi aquades dan ditambahkan larutan
NaOH 1 %.
5. pH sampel diatur sampai mencapai pH sekitar 8,5 9 dengan menggunakan pH meter.
6. Sampel dipanaskan dalam air pada suhu 70 90
O
C selama 3 jam, pada saat itu rumput
laut akan hancur dan menjadi gel
7. Disaring dalam keadaan panas dengan kain kasa menggunakan Filtering Flash dan
pompa vakum yang di dalamnya berisi 25 ml Ethanol absolut.
8. Hasil saringan di tampung dalam wadah plastik
9. Dipindahkan ke dalam petridish yang telah diketahui beratnya kemudian dipanaskan
dalam oven pada suhu 60
0
C selama 24 jam
10. Ditimbang
Selain pada proses ekstraksi karagenan menurut jurnal yang berjudul Development of high
yielding carragenan extraction method from Eucheuma Cotonii using cellulase and
Aspergillus niger yang ditulis oleh Varadarajan, et al (2009) didapatkan hasil bahwa ekstraksi
paling baik menggunakan metode perebusan tradisional. Pada jurnal dilakukan penelitian untuk
mendapatkan metode terbaik untuk mengekstrak karagenan di bawah pengaruh kondisi pH, suhu,
dan waktu. Metode yang diteliti diantaranya perebusan tradisional, perlakuan menggunakan
jamur, dan perlakuan enzim selulase. Dan hasilnya menunjukkan bahwa pada ekstraksi
menggunakan enzim selulase dapat mengekstrak sebanyak 45%, perebusan tradisional
sebanyak 37,5% dan yang paling rendah yaitu ekstraksi dengan menggunakan jamur yaitu
37%. Namun yang dianggap paling baik adalah perebusan tradisional karena viskositas
karagenan yang didapat lebih tinggi dan bagus dibandingkan dengan menggunakan 2 metode
lain, hal ini terjadi karena enzim membuat viskositas karagenan menjadi lebih rendah.
Berdasarkan jurnal yang ditulis oleh L. Hilliou, et al (2006) yang berjudul
Effect of extraction parameters on the chemical structure and gel properties of k/i-hybrid
carrageenans obtained from Mastocarpus stellatus dibahas mengenai pengaruh struktur
kimia dan struktur gel pada karagenan yang dibentuk dari Mastocarpus stellatus seaweeds
dengan melihat parameter ekstraksi yaitu suhu, pH, dan waktu dan waktu preparasi kondisi
8

basa yang berbeda. Pada hasil pengamatan didapatkan kesimpulan bahwa kenaikan kondisi
basa pada saat preparasi membuat karagenan mengandung sulfat yang rendah dan monomer
prekursor biologi. Selain itu kenaikan waktu ekstraksi tidak signifikan dengan struktur kimia
karagenan, namun suhu dan pH ektraksi merupakan faktor utama uang menentukan kekuatan
gel.
Menurut jurnal yang ditulis oleh Blakemore (2012) yang berjudul Formaldehyde in
Carrageenan and Processed Eucheuma Seaweed dijelaskan bahwa semua seaweeds yang
digunakan untuk industri karagenan dan Processed Eucheuma Seaweed (PES) dikeringkan
terlebih dahulu. Pengeringan dilakukan baik dalam bentuk pengeringan sempurna (15-35%
moisture) untuk waktu kestabilan yang lama guna eksport dan penyimpanan atau semi kering
(35-50% moisture) untuk waktu kestabilan yang lebih singkat guna proses lokal. Proses
pengeringan mengencangkan semua struktur molekul yang ada pada seaweeds basah.
Kemudian membuat komponen non-karagenan larut dan menyediakan sarana untuk ekstrak
karagenan murni. Ekstraksi komponen non-karagenan yang terjadi ketika menggunakan
seaweeds segar memperburuk sentrifugasi dan penyaringan ekstrak karagenan. Formaldehid
digunakan hanya untuk pelestarian seaweeds segar dan rumput laut segar seperti yang tidak
digunakan dalam industri karagenan atau industri PES, formaldehida tidak digunakan pada
setiap langkah proses untuk produksi karagenan atau PES.






3. KESIMPULAN
Alga merah merupakan sumber agar-agar, karagenan, dan furcelaran.

9
Alga merah jenis Eucheuma cottonii mempunyai kandungan karaginan yang lebih tinggi
daripada E. spinosum sehingga kemampunannya dalam hal mengentalkan lebih baik.
Karagenan adalah jenis galaktan yang digunakan pada industri makanan, khususnya
sebagai emulsifier pada industri minuman.
Berdasarkan strukturnya, karaginan dibagi menjadi 3 jenis yaitu kappa, iota, dan lambda
karaginan.
Larutan karagenan bersifat reversible; artinya apabila larutan dipanaskan kembali, gel
akan kembali mencair.
Ekstraksi karagenan dilakukan dengan menggunakan air panas pada suhu 90 - 100 C,
dan pH alkalis.
Penambahan NaCl berfungsi untuk membuat karaganen mempunyai sifat yang dapat
mencair saat dipanaskan.
Semua jenis karaginan stabil pada pH netral dan alkali, sedangkan pada pH asam
karaginan akan mengalami hidrolisis

Semarang, 20 Oktober 2014
Praktikan Asisten dosen :
- Aletheia Handoko
- Margareta Rani Kirana
Sherly Putri Santoso
12.70.0023





10
4. DAFTAR PUSTAKA
Angka, S.L. & M. T . Suhartono. (2000). Bioteknologi Hasil Laut. Pusat Kajian Sumber daya
Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor.
Astawan, M.W & M. Astawan. (1991). Teknologi Pengolahan Pangan Nabati Tepat Guna.
CV. Akademika Pressindo. Jakarta.Blakemore (2012
Blakemore, Bill. 2012. Formaldehyde in Carrageenan and Processed Eucheuma Seaweed.
Marinalg international.
Fellows, P. (1990). Food Processing Technology Principles and Practise. Ellis Horwood
Limited. New York.
Fennema. (1976). Principle of Food Science I. Food Chemistry. Marckel Dekker Inc. New
York.
Fernandes de Arajo, Ianna Wivianne, Jos Arivilo Gurgel Rodrigues, Edfranck de Sousa
Oliveira Vanderlei, Gabriela Almeida de Paula, Ticiana de Brito Lima and Norma Maria
Barros Benevides. (2012). Iota-carrageenans from Solieria filiformis (Rhodophyta) and
their effects in the inflammation and coagulation. Maring, v. 34, n. 2, p. 127-135, Apr.-
June, 2012 http://www.uem.br/acta.
Haryanto, R. (2005). Agar-Agar, Kaya Serat Penuh Manfaat. http://www.pikiran-
rakyat.com/cetak/2005/1005/09/hikmah/lainnya02.htm
Imeson, A. (2010). Food Stabilisers, Thickeners and Geliing Agents. Oxford : John Wiley&
Sons Ltd.
Istini, Sri; A.Zatnika dan Suhaimi. (1985). Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut.
Seafarming Workshop Report Bandar Lampung 28 October - 1 November 1985 Part II.
L. Hilliou, F.D.S. Larotonda, P. Abreu, A.M. Ramos, A.M. Sereno, M.P. Goncalves. Effect
of extraction parameters on the chemical structure and gel properties of k/i-hybrid
carrageenans obtained from Mastocarpus stellatus. Biomolecular Engineering 23 (2006)
201208.

Lisdiana, F. (2000). Membuat Aneka Selai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Manik, Rahayu, U., H. & N. Dolaria. (2004). Pembuatan Karagenana Kering dari Rumput
Laut Eucheuma cottonii. Buletin Teknik Litkayasa Akuakultur Vol. 3 No. 2.
Poncomulyo, T ; H. Maryani & L. Kristiani. (2006). Budidaya & Pengolahan Rumput Laut.
PT. Agro Media Pustaka. Jakarta.
Pranoto, Yudi; Lee, Chong-Min; Park, Hyun-Jin, 2006: Characterizations of fish gelatin films
added with gellan and kappa-carrageenan. LWT Food Science and Technology 40(5):
766-774.
11

Saparinto, C. (2002). Budi Daya Rumput Laut di Tambak. Retrived from: www.
suaramerdeka.com.
Sediadi, A. & U. Budihardjo. (2000). Rumput Laut Komoditas Unggulan. Grasindo. Jakarta.
Suptijah, P. 2002. Rumput Laut: Prospek dan Tantangannya Tersedia di
http://rudyct.tripod.com/sem2-012/.html. Diakses tanggal 23/12/12.
Varadarajan, Soovendran, Nazaruddin Ramli, Arbakariya Ariff, Mamot Said, Suhaimi Md Yasir.
2009. Development of high yielding carragenan extraction method from Eucheuma
Cotonii using cellulase and Aspergillus niger. Prosiding Seminar Kimia Bersama UKM-
ITB VIII 9-11 Jun 2009.
Wenno M. R., 2009. Karakteristik Fisiko - Kimia Karaginan Dari Euchema cottonii Pada
Bagian Thalus, Berat Bibit dan Umur Panen.
Winarno, FG. (1990). Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Winarno, F.G., (2002). Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta













12
5. LAMPIRAN
5.1. Perhitungan
Rumus:

Kelompok D1


Kelompok D2


Kelompok D3


Kelompok D4


Kelompok D5


Kelompok D6


5.2. Laporan Sementara
5.3. Diagram Alir

Anda mungkin juga menyukai