Tahun Yang Tak Pernah Berakhir
Tahun Yang Tak Pernah Berakhir
Tahun Yang Tak Pernah Berakhir
JAKARTA, 2004
Tahun yang Tak Pernah Berakhir
Memahami Pengalaman Korban 65
Esai-esai Sejarah Lisan
Diterbitkan oleh:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam)
Jl. Siaga II No. 31, Pasar Minggu, Jakarta 12510
Tel: (021) 797-2662, 7919-2564
Fax: (021) 7919-2519
Email: elsam@nusa.or.id, advokasi@indosat.net.id
Website: www.elsam.or.id
ISBN 979-8981-26-X
v
DAFTAR ISI
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahanan Politik untuk Rezim Soeharto 139
Razif
II. SKETSA
Sketsa Gumelar 202
III. TRANSKRIPSI WAWANCARA
Ibu Sugianti 217
Pak Kasmin 231
Daftar Tulisan Korban 65 251
Tentang Penulis 253
vi Tahun yang Tak Pernah Berakhir
Penelitian kami tidak akan mungkin terlaksana, terutama di tahap paling awal, tanpa
dukungan penuh Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Terima kasih kepada Karlina
Supelli, Sekretaris Umum TRuK (1999-2001), untuk keterbukaannya terhadap gagasan
kami dan keterlibatannya dalam diskusi-diskusi persiapan penelitian. Selain tujuh penulis
esai dalam buku ini, ada sejumlah orang yang mengikuti sebagian proses penelitian
sebagai pewawancara, yaitu Astri, Cietwo, Eka, Cendra, Rini, Emile, dan Jarmoko. Untuk
bantuan sebagai narasumber dan fasilitator dalam pelatihan bagi calon-calon
pewawancara, terima kasih kepada Agung Putri, Hario Kecik, Oey Hay Djoen,
Pramoedya Ananta Toer, Siauw Tiong Djien. Untuk penyediaan sarana pelatihan dan
diskusi, terima kasih kepada Dewi Wilutomo dan Ibu Marie Soetarto (alm.) sekeluarga,
juga kepada Pak Gembel Sedijono.
Ada banyak kawan yang dengan sukarela membantu kami dalam mencari informasi
tentang, dan menghubungkan kami dengan para korban. Di Jakarta, kami berterima
kasih kepada: Ibu Ade R. Sitompul, Amarzan Loebis, Hardoyo, Mbak Fadhila, Tante Jane,
Joesoef Isak, Mariatun, Ibu Sundari, Pak Suwarto, dan Ruth Indiah Rahayu. Di Jawa
Barat: Pak Djadji (Tasikmalaya), Pak Endang dan Pak Saukat (Cipanas), Fauzan
Machdami dan Rusyana Sulaiman (Bandung), Pak Surjaatmadja (Bogor). Di Yogyakarta:
Pak Istiadi dan Pak Sukamto. Di Jawa Timur: Arief W. Djati, Pak Puji, Pak Rusno, dan Pak
Tumiso (Surabaya), Pak Hasnan, Pak Jauhari, Pak Slamet, dan Mas Yoyok (Banyuwangi),
Ibu Bandhi (Blitar), SDInpers (Jember), Ibu Non dan Pak Oka (Malang). Di Bali: Agus,
Degung Santikarma, Ibu Gedong Bagus Oka (alm.), Indra, dan anggota Ashram Gandhi
di Denpasar, I Gusti Agung Gde Tjiptapura dan keluarga, Ni Made Ayu, Robert Nalenan,
Pak Wayan Santa, Wayan “Bob” Tirja, dan Manikaya Kauci. Di Sulawesi Tengah: Pak
Mahid Halim, Ewin, dan Hedar dari LBH Bantaya (Palu). Di Lampung: Dedi dan Pak
Priyadi (Bandar Lampung). Dalam beberapa kali pertemuan di Amsterdam dan Jakarta,
kami beroleh pengetahuan dan inspirasi dari Hersri Setiawan.
Kami juga ingin berterima kasih kepada sejumlah orang dan institusi di Amerika Serikat:
Allan Nairn, Betty dan Jack Roosa, Prof. Joseph Nevins, Mary Kaplan, Solidago
Foundation, Direktur Institute of International Studies di University of California-
Berkeley, Prof. Michael Watts, serta seluruh staf Institut. Secara khusus, kami ingin
berterima kasih kepada Mary Letterii, kawan setia dalam perjalanan menegakkan hak-
hak asasi manusia di Indonesia.
vii
Kepada kawan-kawan yang sudah bersusah payah mengerjakan transkripsi ratusan kaset,
‘membersihkan’ transkripsi dari kekurangan dan kesalahketikan, serta menerjemahkan
wawancara dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia: Anton, Kosim, Marsih, Paijo, Ria, dan
Taat, terima kasih banyak.
Di tahap akhir, kami mendapatkan bantuan tak terduga dari sejumlah kawan yang secara
langsung pun tidak mengikuti perjalanan riset ini. Muhammad Fauzi dan Erlijna dengan
tekun dan teliti memeriksa kerapian ejaan dan tata bahasa seluruh teks. Kemudian, Asvi
Warman Adam, yang kami minta membaca kata pengantar dan beberapa esai yang sudah
selesai terlebih dahulu, memberi masukan penting dalam hal ketepatan informasi.
Menjelang naik cetak, Hersri Setiawan menyisir seluruh teks dan memberi usulan
perbaikan, terutama untuk penulisan kata-kata dalam bahasa Jawa.
Ungkapan terima kasih kami pada Dolorosa Sinaga dan Arjuna Hutagalung tidak akan
pernah cukup. Mereka relakan tempat bekerja dan beristirahat yang leluasa bagi kami di
Jakarta dan Bandung, pastikan kami tidak kelaparan atau sakit, bahkan mengantar kami
bertemu korban. Dan yang paling membesarkan hati, mereka senantiasa percaya bahwa
kami sedang melakukan sesuatu yang berguna bagi gerakan kemanusiaan di negeri ini.
Dukungan dalam bentuk apa pun yang diberikan semua orang dan lembaga yang kami
sebutkan di atas tidak dengan sendirinya membuat mereka bertanggung jawab atas apa
yang kami sampaikan dalam tulisan-tulisan di buku ini.
Jakarta, Desember 2003
Tim Penulis
viii Tahun yang Tak Pernah Berakhir
PERIHAL KUTIPAN
Nama-nama orang yang ceritanya dikutip dalam esai-esai yang dimuat di buku ini,
kecuali disebutkan lain, adalah nama samaran. Karena suasana intimidasi yang terus-
menerus diderita para tapol, sangat sedikit korban yang merasa cukup aman untuk
tampil dengan nama mereka sendiri. Akan tetapi, tempat dan waktu kejadian sesuai
dengan cerita asli para korban.
Dalam semua esai, kutipan wawancara tercetak sebagai paragraf tersendiri dengan pinggir
yang berbeda – tepi kiri menjorok ke dalam. Kutipan yang disalin mengikuti ucapan yang
direkam. Kami sengaja tidak memperbaiki pola bicara yang tidak beraturan – betapapun
hal itu akan membuatnya mendekati bahasa tulisan yang enak dibaca – karena tujuan
menulis sejarah lisan adalah membuat pembaca mendapat kesan mengenai suara orang
yang berucap. Tentu sulit untuk menangkap seluruh tekstur suara dalam tulisan, tapi
setidaknya kita dapat menangkap sebagian darinya. Agar cerita yang dikutip lebih mudah
diikuti, di beberapa tempat kami menghapus pertanyaan dari pewawancara dan satu-dua
kata atau frasa orang yang diwawancarai. Kami menggunakan tanda elipsis … (tiga titik)
untuk menunjukkan adanya ucapan yang dihapus.
Dalam kutipan, kata-kata atau frasa yang tidak dalam bahasa Indonesia dicetak miring,
dan diikuti oleh terjemahan dalam bahasa Indonesia yang ditempatkan dalam tanda
kurung ( ). Penjelasan atas istilah atau singkatan yang tidak lazim dalam kutipan
ditempatkan dalam tanda kurung siku [ ]. Semua kata yang ditempatkan dalam tanda
kurung maupun tanda kurung siku adalah tambahan dari penyunting, bukan dari orang
yang diwawancarai.
Rekaman wawancara dengan 260 orang ini beserta transkripsinya disimpan dalam arsip
Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI). Rekaman yang berasal dari kaset audio telah
dipindah ke dalam data digital dan disimpan dalam bentuk cakram padat. Semua
wawancara telah ditranksripsi. Baik rekaman maupun transkripsinya terbuka untuk
umum. Nama samaran yang digunakan dalam buku ini sama dengan nama samaran yang
digunakan dalam arsip ISSI.
ix
Daftar Singkatan
AKABRI Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Babinsa Bintara Pembina Desa
Bakoksi Badan Koordinasi Organisasi-Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia
Bamudes Badan Musyawarah Desa
Banser Barisan Ansor Serbaguna
Bapera Balai Pendidikan Rakyat
Baperki Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia
Brimob Brigade Mobil
BTI Barisan Tani Indonesia
Buterpra Bintara Urusan Teritorial Pertahanan Rakyat
CC Comite Central
CDB Comite Daerah Besar
CGMI Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia
CPM Corps Polisi Militer
Danramil Komandan Koramil
Dekon Deklarasi Ekonomi
Detga Detasemen Gerilya
DI/TII Darul Islam/Tentara Islam Indonesia
DPRD Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
ET Eks Tapol
FDR Front Demokrasi Rakyat
G-30-S Gerakan Tiga Puluh September
Gerwani Gerakan Wanita Indonesia
Gerwis Gerakan Wanita Indonesia Sedar
GPII Gerakan Pemuda Islam Indonesia
GPK Gerakan Pengacau Keamanan
Golkar Golongan Karya
GTM Gerakan Tutup Mulut
Hanra Pertahanan Rakyat
Hansip Pertahanan Sipil
HSI Himpunan Sarjana Indonesia
IKIP Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan
IKJ Institut Kesenian Jakarta
Inrehab Instalasi Rehabilitasi
IPB Institut Pertanian Bogor
IPPI Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia
ITS Institut Teknologi Sepuluh November
Kakancab Kepala Kantor Cabang
KAMI Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia
KAPPI Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia
Kasdim Kepala Staf Kodim
KB Keluarga Berencana
KKN Korupsi Kolusi dan Nepotisme
KKPR Kursus Kader Perang Rakyat
KNIL Koninklijk Nederlands Indisch Leger, Tentara Kerajaan Hindia Belanda
Kodam Komando Daerah Militer
Kodim Komando Distrik Militer
Kompro Komite Proyek Basis
Kopkamtib Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Koramil Komando Rayon Militer
Korem Komando Resort Militer
Lekra Lembaga Kebudayaan Rakyat
x Tahun yang Tak Pernah Berakhir
LP Lembaga Pemasyarakatan
Mako Markas Komando
Mahmilub Mahkamah Militer Luar Biasa
Masyumi Majelis Syuro Muslimin Indonesia
Nasakom Nasionalis, Agama dan Komunis
NU Nahdlatul Ulama
OPR Organisasi Pertahanan Rakyat
OTB Organisasi Tanpa Bentuk
PDI-P Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan
Pesindo Pemuda Sosialis Indonesia
PGRI Non-vak Central Persatuan Guru Republik Indonesia Non-vak Central
PGT Pasukan Gerak Tjepat
PKI Partai Komunis Indonesia
PKK Pendidikan Kesejahteraan Keluarga
PNI Partai Nasional Indonesia
POM Polisi Militer
PRD Partai Rakyat Demokratik
PRRI/Permesta Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta
PSII Partai Serikat Islam Indonesia
RPKAD Resimen Para Komando Angkatan Darat
RTM Rumah Tahanan Militer
Ruba Rumah Baru atau Rumah Bawah tanah
Sarbupri Sarekat Buruh Perkebunan Republik Indonesia
SD Sekolah Dasar
SI Sarekat Islam
SGA Sekolah Guru tingkat Atas
SGB Sekolah Guru tingkat Bawah
SKP Sekolah Kepandaian Putri
SMA Sekolah Menengah tingkat Atas
SMEA Sekolah Menengah Ekonomi tingkat Atas
SMP Sekolah Menengah tingkat Pertama
SOBSI Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia
SPG Sekolah Pendidikan Guru
SR Sekolah Rakyat
STM Sekolah Teknik Menengah
STPR Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat
Tapol Tahanan Politik
Tefaat Tempat Pemanfaatan
Timperca Tim Pemeriksa tingkat Kecamatan
TK Taman Kanak-Kanak
Tonwal Peleton Pengawal
TP Tentara Pelajar
TRuK Tim Relawan untuk Kemanusiaan
UUPA Undang-Undang Pokok Agraria
Wankom Wanita Komunis
xii Tahun yang Tak Pernah Berakhir
1
PENGANTAR
Sejarah Lisan dan Ingatan Sosial
‘Sejarah lisan’ bukan istilah yang akrab di telinga banyak orang Indonesia. Mungkin
istilah itu malah dianggap aneh karena pemahaman umum mengenai sejarah adalah studi
tentang masa lalu berdasarkan dokumen tertulis. Ketika kami mengatakan bahwa kami
sedang menulis sejarah berdasarkan wawancara lisan, reaksi orang pada umumnya penuh
keraguan: ‘Bagaimana kalian bisa yakin bahwa orang yang diwawancarai itu memang
berkata benar?’ Reaksi ini bisa dimengerti karena ingatan manusia, tentu saja, tidak
pernah lengkap dan bahkan bisa salah; cerita orang mengenai pengalaman masa lalu selalu
mungkin mengandung bermacam distorsi dan kesalahan.
Namun, reaksi itu sendiri mencerminkan persepsi yang terdistorsi mengenai penelitian
dan penulisan sejarah. Jika kita mengatakan sedang membuat penelitian sejarah di Arsip
Nasional atau gedung arsip di Belanda, mereka tentu tidak akan bertanya: ‘Bagaimana
kalian bisa yakin bahwa dokumen-dokumen itu mengandung kebenaran?’ Kita sudah
dibiasakan untuk mempercayai ketepatan dokumen resmi pemerintah dan surat kabar
walaupun setiap sejarawan yang pernah melakukan penelitian agak mendalam menyadari
bahwa dokumen-dokumen itu kadang-kadang tidak dapat diandalkan. Banyak orang di
zaman modern ini, bukan hanya di Indonesia, terlalu mementingkan arsip resmi
pemerintah sebagai gudang kebenaran sejarah. Padahal, dokumen-dokumen yang
tersimpan di sana tidak luput dari bias dan distorsi seperti halnya ingatan seseorang.
Mari kita lihat kasus empat surat permintaan maaf Soekarno yang diam-diam dikirimnya
kepada Jaksa Agung di Belanda pada Agustus-September 1933. Dalam surat-surat itu,
Soekarno berjanji akan menarik diri dari kegiatan politik dan menulis artikel di surat
kabar untuk mengkritik gerakan nonkooperasi. Ia mengungkapkan, bersedia menerima
apa pun persyaratan pemerintah asal dibebaskan dari penjara. Sejak ditemukan dalam
sebuah arsip Belanda pada 1970an, muncul debat mengenai keaslian dokumen-dokumen
itu.
Sejumlah sejarawan percaya surat-surat itu memang ditulis oleh Soekarno, dan karena
itu melihatnya berubah: dari seorang nasionalis yang tampil gagah di pengadilan
Belanda dengan Indonesia Menggugat menjadi seorang pengecut yang mengiba minta
ampun. Seperti dikatakan seorang penulis biografinya, Lambert Giebels, ‘dari seorang
1
Lambert Giebels, Soekarno: Biografi 1901-1950 (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 181.
2 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
ksatria yang berani dan gagah perkasa, menjadi seorang pendosa dan bertobat.’1 Tapi,
sejarawan lain menganggap surat-surat itu dipalsukan oleh agen intelijen Belanda untuk
mendiskreditkan Soekarno. Kedua belah pihak dalam perdebatan ini memiliki argumen
yang cukup meyakinkan.2 Terlepas dari apakah surat-surat itu memang asli atau tidak,
yang pasti semua dokumen harus dibaca secara kritis. Walau ada banyak orang yang
memahami masalah ini, mereka tetap berpegang pada keyakinan: ketika menulis sejarah,
dokumen tertulis harus didahulukan dibandingkan wawancara lisan.
Dalam menilai kebenaran yang terkandung dalam wawancara lisan, seseorang harus
menggunakan prosedur yang sama seperti saat ia menilai kebenaran dokumen tertulis.
Kita harus memeriksa ulang informasi yang diperoleh, menimbang bias yang ada pada
sang pencerita atau penulis, memeriksa konsistensi internal dari suatu narasi, dan
seterusnya. Pada akhirnya, kita harus menggunakan perangkat yang sangat mengambang
dan tidak pasti, yakni ‘akal sehat.’ Salah satu alasan mengapa prosedur penilaian sumber
lisan dan tulisan itu sama adalah karena sumber tulisan sendiri sering didasarkan pada
informasi yang dikumpulkan secara lisan. Dokumen dasar yang digunakan sejarawan –
surat kabar, laporan intelijen atau polisi, dan sebagainya – ditulis oleh orang-orang yang
melakukan wawancara lisan. Dalam hal ini, sumber lisan punya kelebihan dibandingkan
dokumen tertulis: peneliti bisa kembali kepada orang yang diwawancarai berulang-ulang
untuk meminta penjelasan dan gambaran lebih rinci mengenai sesuatu. Kita dapat terus
mengajukan pertanyaan kepada narasumber.
Dewasa ini, banyak sejarawan di pelbagai belahan dunia telah menerima sejarah lisan
sebagai cabang yang sah dalam disiplin sejarah. Ada banyak dosen yang menyebut
dirinya sejarawan lisan, dan ada banyak buku yang diterbitkan dalam bidang ini setiap
tahunnya. Sejarah lisan mulai populer dan digunakan secara luas sejak 1960an, terutama
sebagai metode untuk mengungkap cerita-cerita dari komunitas yang dipinggirkan,
ditindas, dan menjadi korban.3 Gagasan dasarnya adalah penulisan sejarah harus lebih
dari sekedar cerita tentang para presiden, raja-raja, menteri, pemerintah; sejarah juga
harus bicara tentang orang biasa, pemikiran, sudut pandang, dan perasaan mereka.
Untuk menulis ‘sejarah dari bawah’, kita tidak bisa mengharapkan arsip negara atau
rekaman tertulis sebagai sumber infomasi. Kita harus langsung mendatangi komunitas
tertentu, seperti buruh, petani, atau pengungsi, dan berbicara dengan mereka.4
2
Lihat perdebatan tentang hal ini dalam W.H. Frederick and Soeri Soeroto, eds., Pemahaman Sejarah Indonesia
Sebelum dan Sesudah Revolusi (Jakarta: LP3ES, 1984), h. 429-458.
3
Ada beberapa proyek sejarah lisan sebelum 1960an, tapi sebagai kegiatan yang lepas-lepas. Minat terhadap
sejarah lisan secara luas hampir tidak ada sampai 1960an. Sepanjang pengetahuan kami, salah satu proyek
pertama dikerjakan oleh peneliti yang dikerahkan pemerintahan F.D. Roosevelt semasa depresi. Federal Writers
Project pada 1936-38, mewawancarai orang kulit hitam yang pernah menjadi budak di masa lalu. Lihat George
Rawick, ed., The American Slave: A Composite Autobiography (Westport: Greenwood, 1972-79), 41 jilid. Kegiatan
sejarah lisan lain yang mengesankan dibuat oleh seorang psikolog Amerika Serikat bernama David Boder. Pada
akhir Perang Dunia II, ia pergi ke Eropa untuk mewawancarai orang Yahudi yang selamat dari kamp-kamp
konsentrasi Nazi. Bukunya, yang diterbitkan pada 1949 mungkin adalah karya sejarah lisan pertama tentang para
korban. Buku ini tidak banyak mendapat perhatian saat itu, dan baru mulai dinilai penting pada 1970an, ketika
ada banyak orang yang mewawancarai para korban Holocaust. David Boder, I Did not Interview the Dead (Urbana:
University of Illinois Press, 1949).
4
Studs Terkel, seorang pengasuh talk-show, adalah salah satu sejarawan lisan yang paling terkenal dan produktif
di Amerika Serikat. Karya-karyanya, antara lain Hard Times: An Oral History of the Great Depression (New York:
Pantheon, 1970) dan ‘The Good War’: An Oral History of World War Two (New York: Ballantine, 1984).
Pengantar 3
Sejak 1960an, sejarawan juga mulai menyadari kegunaan sejarah lisan untuk menulis
‘sejarah dari atas.’ Ada berbagai arsip sejarah lisan yang menyimpan hasil wawancara
dengan mantan pejabat tinggi pemerintah. Tujuannya untuk membeberkan sejarah
politik tingkat tinggi, seperti kebijakan luar negeri yang diambil pemerintah tertentu.
Dengan mewawancarai mantan pejabat, seseorang dapat melihat apa yang terjadi di
balik layar dalam proses pengambilan keputusan dan juga dinamika perorangan di dalam
lembaga-lembaga negara. Informasi dari wawancara lisan dapat membantu sejarawan
memahami apa yang hanya secara samar tampak dalam rekaman tertulis yang resmi.
Para praktisinya sendiri menyebut kegiatan ini sebagai “sejarah lisan elit”. 5
Dengan makin banyaknya orang yang mempraktekkan sejarah lisan, bidang itu pun
makin berkembang. Pengetahuan mengenai teknik wawancara, misalnya, mulai diketahui
secara luas. Banyak orang, bukan hanya sejarawan profesional, mulai melakukan
penelitian sejarah lisan. Ada beberapa jurnal yang secara khusus memuat tulisan ilmiah
tentang penelitian sejarah lisan sejak 1970an (seperti Oral History Review). Bermunculan
pula literatur mengenai sejarah lisan di berbagai negara.6
Sejarawan asing yang meneliti Indonesia telah lama mempraktekkan sejarah lisan. Anton
Lucas, sejarawan dari Australia, mungkin adalah orang yang paling banyak
menyumbangkan pengetahuan dan karyanya untuk memajukan sejarah lisan di
Indonesia. Ia mewawancarai ratusan orang untuk bukunya, Peristiwa Tiga Daerah (1989),
dan menulis sejumlah artikel mengenai cara melakukan penelitian sejarah lisan.7 Buku-
buku yang ditulis sejarawan Peter Carey dan Robert Cribb pun banyak bersandar pada
wawancara lisan.8 Namun, sejarawan Indonesia sendiri sepertinya tidak mempedulikan
sejarah lisan. Hanya ada segelintir proyek sejarah lisan yang pernah dilaksanakan. Arsip
Nasional, misalnya, pernah menjalankan beberapa wawancara lisan dalam kerangka
5
L.A. Dexter, ed., Elite and Specialized Interviewing (Evanston: Northwestern University Press, 1970); A. Seldon dan
J. Pappworth, By Word of Mouth:‘Elite’ Oral History (London: Methuen, 1983); E.M. McMahan, Elite Oral History
Discourse: A Study of Cooperation and Coherence (Tuscaloosa: University of Alabama, 1989).
6
Lihat Robert Perks dan Alistair Thomson, eds., The Oral History Reader (London: Routledge, 1998); Alessandro
Portelli, The Death of Luigi Trastulli and Other Stories: Forms and Meaning in Oral History (Albany: State
University of New York Press, 1991). Buku pengantar klasik dalam bidang ini adalah Paul Thompson, The Voice of
the Past: Oral History (Oxford: Oxford University Press, 1978).
7
Anton Lucas, Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi (Jakarta: Grafiti, 1989). Mengenai sejarah lisan,
lihat artikelnya, ‘My Story’ and Other Sources: An Oral Approach to the Indonesian Revolution,’ Masyarakat
Indonesia 1: 2 (December 1974); ‘Masalah Wawancara dengan Informan Pelaku di Jawa,’ dalam Koentjaraningrat
dan Donald Emmerson, eds., Aspek Manusia dalam Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1982). Lucas telah
menerbitkan dua wawancara dengan perempuan korban kekerasan 1965-66, ‘I am a Leaf in the Storm,’ Indonesia
no. 47 (April 1989); ‘Survival: Bu Yeti’s Story,’ dalam Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965-66: Studies from
Java and Bali (Victoria: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1990).
8
Peter Carey, Born in Fire: The Indonesian Struggle for Independence (Athens: Ohio University Press, 1988); Robert
Cribb, Gangsters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949
(Honolulu: University of Hawaii Press, 1991).
4 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
sejarah lisan elit yang disebutkan di atas; institusi ini menyimpan koleksi wawancara
dengan para mantan pejabat tinggi Indonesia.9 Menariknya, proyek sejarah lisan besar
pertama yang dilakukan orang Indonesia secara independen justru berlangsung di luar
negeri: Hersri Setiawan, seorang eks-tapol mewawancarai sekitar 50 orang eksil ‘generasi
1965’ di Eropa, Vietnam dan Tiongkok.10
Praktek sejarah lisan pada dasarnya menegaskan kebenaran yang tak dapat diragukan
lagi: dalam kehidupan manusia, kebenaran tidak pernah mutlak. Mengenai subyek apa
pun, ada pernyataan benar yang tak terhitung jumlahnya. Masalah paling sulit dalam
sejarah bukanlah bagaimana menetapkan fakta-fakta – prosedur untuk melakukan hal ini
sudah cukup jelas – tapi fakta mana yang harus kita bahas mengingat jumlahnya yang tak
terhitung. Sejarah, karena itu, tidak terarah pada ‘Kebenaran’, tapi lebih pada ‘banyak
kebenaran.’ Mempelajari sejarah selalu mengandung pembatasan penglihatan. Seseorang
harus memilih topik tertentu untuk diselidiki. Ia juga harus memilih metodologi, sudut
pandang tertentu yang digunakannya untuk mempelajari topik yang dipilih.
Mari ambil contoh berikut. Seorang sejarawan, dari sekian banyak kemungkinan topik
yang ada dalam sejarah dunia, memilih mempelajari gerakan nasionalis Indonesia. Ada
sekian banyak cara untuk mempelajarinya. Ia bisa memilih salah satu dari sekian ribu
desa di negeri ini untuk mempelajari politik lokal; ia bisa mempelajari berbagai ideologi
politik di kalangan pemimpin nasionalis, atau faktor-faktor kultural yang membuat
seseorang dianggap pemimpin, atau, dinamika gender dalam gerakan itu, dan seterusnya.
Sejumlah sejarawan memilih untuk menulis biografi Soekarno, karena ia adalah salah
satu proklamator kemerdekaan dan presiden pertama Indonesia. Tapi perlu kita ingat,
seandainya Soekarno tidak menjadi presiden, ia mungkin tidak akan menjadi tokoh
penting yang menarik perhatian para penulis biografinya. Soekarno mungkin hanya akan
dianggap sebagai salah satu tokoh dari sekian banyak aktivis nasionalis: ia muncul sebagai
tokoh akhir 1920an dan selama 1930an, tapi setelah itu mundur dari politik dan
diasingkan selama sembilan tahun. Jika ia tidak menjadi seterkenal sekarang, kiranya tak
akan ada orang yang peduli apakah empat suratnya yang ditemukan di arsip Belanda
memang asli atau tidak. Kebenaran dalam masalah ini, seperti banyak kebenaran lain
dalam sejarah, menjadi tidak penting untuk ditetapkan.
Pemilihan topik dan metodologi dibuat berdasarkan apa yang oleh sejarawan dianggap
relevan secara sosial, mengandung arti penting dan berguna. Bagi sejarawan, tidak ada
langkah maju yang tunggal dalam ilmu sejarah. Buku yang ditulis tidak sekadar
9
Tujuan penelitian Arsip Nasional yang dimulai pada 1972 ini adalah untuk mengisi kekurangan arsip periode
1942-1950 dengan tema sekitar Pendudukan Jepang dan Revolusi. Arsip Nasional juga menerbitkan sebuah
buletin tentang riset ini: Berita Sejarah Lisan no. 1 sampai 13. Selain itu, perlu diperhatikan pada 1989-1990 ada
satu tim riset dari Universitas Gajah Mada yang dipimpin sejarawan Kuntowijoyo yang menulis laporan
“Perubahan Sosial di Pedesaan: Sejarah Lisan Surakarta, 1930-1960.” Sepanjang pengetahuan kami, buku pertama
yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia mengenai metode sejarah lisan adalah terjemahan dari P. Lim Pui
Huen, et al, eds., Oral History in Southeast Asia: Theory and Method (Singapore: Institute of Southeast Asian
Studies, 1998; terjemahan: Sejarah Lisan di Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 2000).
10
Proyek itu berjudul ‘In Search of Silenced Voices,’ dilakukan pada pertengahan 1990an oleh Yayasan Sejarah
dan Budaya Indonesia yang berpusat di Belanda. Hasil wawancara disimpan oleh IISG di Amsterdam. Lihat
website www.iisg.nl/archives. Beberapa hasil rekaman itu juga tersedia di Institut Sejarah Sosial Indonesia di
Jakarta.
Pengantar 5
melengkapi perpustakaan raksasa yang suatu saat akan memuat sejarah yang benar dan
lengkap mengenai dunia. Sejarawan merujuk pada apa yang menjadi masalah pada masa
mereka hidup. Artinya, ada keharusan bagi mereka untuk terlibat dalam masalah moral,
kultural, dan politik, ketika memilih untuk menulis tentang masa lalu dan cara
penulisannya.11
Dalam hal ini, sejarawan lisan mendorong kita untuk mempertimbangkan kembali
persepsi kita tentang apa yang relevan dan berguna secara sosial. Buku Anton Lucas,
Peristiwa Tiga Daerah, misalnya, menampilkan gerakan nasionalis Indonesia dengan cara
yang sangat berbeda dari studi-studi yang menaruh perhatian pada tokoh-tokoh
ternama, seperti Soekarno, Hatta, dan Sjahrir. Ia memperlihatkan dinamika gerakan
nasionalis di tingkat akar rumput pantai utara Jawa. Dengan begitu, sejarawan lisan telah
menyatakan pendapatnya: jika mau menulis sejarah, tulislah dari perspektif orang yang
menghidupinya, bukan dari seperangkat prinsip ahistoris atau penilaian apriori.
Sejarah lisan bukan hanya teknik untuk melengkapi kekurangan-kekurangan dari
rekaman tertulis. Arti pentingnya jauh lebih luas dari itu. Seperti ditulis Paul Thompson,
sejarah lisan telah mengubah seluruh watak penulisan sejarah: ‘dengan menampilkan
bukti-bukti baru dari bawah, dengan memindahkan fokus [penyelidikan sejarah] dan
membuka wilayah penyelidikan baru, dengan menantang sejumlah asumsi dan penilaian
yang selama ini dipegang oleh sejarawan, dengan memperhatikan kelompok-kelompok
orang yang selama ini diabaikan…ruang lingkup penulisan sejarah sendiri telah diperluas
dan diperkaya; dan pada saat bersamaan pesan sosialnya pun berubah. Sejarah, dengan
kata lain, menjadi lebih demokratik.’12
Sejarah lisan dalam hal ini bisa jadi alat berharga untuk meneliti kejahatan negara.
Rekaman atau dokumen resmi pemerintah yang tersimpan dalam arsip tertulis sudah
tentu tidak memuat banyak keterangan mengenai kejahatan yang dilakukannya. Sejarah
lisan dengan begitu menjadi mutlak diperlukan oleh sejarawan yang ingin menulis
tentang kejahatan yang ingin ditutupi atau disangkal oleh negara. Ada beberapa buku
dan artikel yang ditulis mengenai genosida orang Armenia oleh pemerintah Turki pada
1910an, mengenai genosida orang Yahudi oleh pemerintah Nazi, dan mengenai ‘gulag
11
Masalah sejarah dan kebenaran terlalu rumit untuk dibahas secara memadai di sini. Kami hanya ingin
mengatakan bahwa gagasan obyektivitas sejarah yang dipegang oleh sejarawan dan publik Indonesia belum
mampu mencerna kritik terhadap gagasan itu. Beberapa teks dasar untuk masalah ini adalah Peter Novick, That
Noble Dream: The‘Objectivity Question’ and the American Historical Profession (Cambridge: Cambridge University
Press, 1988); Joyce Appleby, et al, Telling the Truth About History (New York: Norton, 1994). Lihat pula tradisi
hermeneutik dan fenomenologi dalam filsafat abad ke-20, misalnya Hans-Georg Gadamer, Truth and Method
(New York: Continuum, 1993); Maurice Merleau-Ponty, The Visible and the Invisible (Evanston: Northwestern
University Press, 1968); Charles Taylor, Philosophy and the Human Sciences (Cambridge: Cambridge University
Press, 1985).
12
Paul Thompson, The Voice of the Past, h. 7-8.
6 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
archipelago’ di bekas Uni Soviet, yakni rangkaian kamp kerja paksa bagi tahanan politik.13
Banyak kisah mengenai kejahatan perang Jepang di Asia selama Perang Dunia II berasal
bukan dari rekaman resmi pemerintah Jepang, melainkan dari wawancara yang
dilakukan dengan korban, saksi, maupun pelaku. Mereka yang meneliti pembantaian di
Nanking 1937 sebagai contoh, umumnya bersandar pada wawancara dengan orang
Tiongkok yang menjadi korban dan serdadu Jepang yang bertanggung jawab atas
perbuatan itu.14
Sepanjang pengetahuan kami, buku sejarah lisan pertama yang ditulis orang Indonesia
bercerita mengenai kejahatan perang Jepang, yaitu karya Pramoedya Ananta Toer,
Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer15, mengenai jugun ianfu semasa pendudukan
militer Jepang, antara 1943 sampai 1945. Saat ditahan di Pulau Buru sebagai tahanan
politik sepanjang 1970an, Pramoedya bertemu dengan sejumlah perempuan Jawa yang
tinggal di pulau itu. Begitu mendengar cerita mereka, ia tahu bahwa para perempuan itu
dibawa dari Jawa saat masih remaja dengan janji-janji akan bersekolah di Jepang. Mereka
tidak tahu akan dibawa ke pangkalan militer Jepang dan dipaksa menjadi budak seksual.
Ketika perang usai, mereka terlalu malu untuk kembali kepada keluarga mereka di Jawa.
Mereka memilih menetap di Buru dan menikah dengan orang dari suku setempat.
Pramoedya dan sekelompok tapol kemudian mewawancarai perempuan-perempuan ini
dan menulis kisah hidup mereka pada 1970an.
Dengan mewawancarai mantan jugun ianfu di Buru ini, Pramoedya menemukan
pengalaman manusia yang tidak pernah tertuang dalam dokumen tertulis. Ia menyadari
pentingnya menggunakan kesaksian lisan karena perwira militer Jepang, dengan berbagai
alasan, tidak pernah membuat dokumen mengenai penculikan dan perbudakan kaum
perempuan itu. Pramoedya menyesal karena tidak memiliki akses pada dokumen dari
awal 1940an – berada dalam kamp tahanan di mana semua bahan tertulis kecuali buku-
buku agama dinyatakan terlarang, ia masih beruntung mendapat hak istimewa untuk
memiliki pensil dan kertas. Tapi, ia pun sudah menduga dengan tepat bahwa kejahatan
pemerintah pendudukan Jepang ini tidak akan meninggalkan jejak-jejak tertulis: ‘Sejak
awal, jejak kelakuan mereka telah dihapus.’ Penguasa Jepang tidak pernah membuat
pengumuman bahwa mereka memperbudak perempuan. Namun, di kalangan orang
Jawa sendiri, semua itu pelan-pelan menjadi apa yang disebut Pramoedya sebagai ‘rahasia
13
Donald Miller dan Lorna Miller, Survivors: An Oral History of the Armenian Genocide (Berkeley: University of
California Press, 1993). Ada banyak sejarah lisan mengenai genosida Nazi terhadap kaum Yahudi di Eropa. Karya
yang paling terkemuka dan kontroversial adalah film Shoah, yang transkripsinya sudah diterbitkan dalam bentuk
buku, Claude Lanzmann, Shoah: An Oral History of the Holocaust (New York: Pantheon, 1985). Mengenai kamp-
kamp tahanan di Uni Soviet, lihat Irina Sherbakova, ‘The Gulag in Memory,’ dalam Luisa Passerini, ed., Memory
and Totalitarianism (New York: Oxford University Press, 1992). Kejahatan militer Soeharto di Timor Leste –
kejahatan yang tidak diketahui orang Indonesia sendiri, tapi menjadi pengetahuan umum bagi orang lain di dunia
– dituturkan dalam buku yang ditulis seorang Australia, Michele Turner, Telling East Timor: Personal Testimonies
(Kensington: New South Wales University Press, 1992). Buku ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia,
Cerita Timor-Timur: Kesaksian Pribadi (Jakarta: Pijar, 1999).
14
Iris Chang, The Rape of Nanking: The Forgotten Holocaust of World War II (New York: Basic Books, 1997); Honda
Katsuichi, The Nanjing Massacre: A Japanese Journalist Confronts Japan’s National Shame (New York: M.E. Sharpe,
1999).
15
Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer (Jakarta: KPG, 2001). Naskah ini ditulis di
Pulau Buru pada 1970an.
Pengantar 7
16
Perlu dicatat bahwa kejahatan perbudakan seksual ini tidak tercantum dalam Sejarah Nasional Indonesia,
sementara kerja paksa atau romusha tercatat.
17
Dikutip dari Yuki Tanaka, Japan’s Comfort Women: Sexual Slavery and Prostitution during World War II and the
US Occupation (London: Routledge, 2002), h. 24.
18
Tanaka, Japan’s Comfort Women, h. 23.
19
Tanaka, Japan’s Comfort Women, h. 19.
20
Tanaka, Japan’s Comfort Women, h. 79-80.
8 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
pribadi; ia menulis bukunya sebagai surat terbuka yang dialamatkan kepada kaum muda
Indonesia. Kalimat pembukanya berkata: ‘Dengan hati berat aku tulis surat ini untuk
kalian.’ Pramoedya ingin agar perempuan remaja yang diharapkan membaca bukunya
bisa ikut membayangkan pengalaman perempuan seusia mereka pada awal 1940an:
diculik dari Jawa untuk menjadi budak seksual. Terlepas dari penolakannya sendiri untuk
menyebutnya sebagai tulisan sejarah, buku itu adalah uraian ‘data’ yang indah, yang
tentunya bisa dianggap sebagai karya sejarah lisan.21
Sejarawan berhutang pada Pramoedya dan rekan-rekannya sesama tahanan politik
karena sudah berusaha merekam cerita-cerita kaum perempuan yang terdampar di
Pulau Buru tersebut. Mengingat para tapol saat itu tengah bertahan hidup sebagai tenaga
kerja paksa, niat dan ketekunan mereka untuk melakukan suatu penelitian sangat
menakjubkan. Bahwa salah satu buku sejarah terbaik di negeri ini, dan mungkin hanya
satu-satunya buku mengenai jugun ianfu, ditulis oleh seorang tahanan politik di Pulau
Buru, yang semua bukunya dilarang selama rezim Soeharto, sungguh memalukan bagi
profesi sejarawan Indonesia.
21
Seno Gumira Ajidarma, salah satu dari sedikit orang yang memahami arti penting buku Pramoedya, melihatnya
sebagai ‘tulisan jurnalistik’ dan ‘sejenis laporan investigatif.’ Sebutan ini, dan tidak adanya rujukan pada istilah
sejarah lisan, bagi kami memperlihatkan betapa sejarah lisan tidak dikenal di Indonesia. Lihat tulisannya, ‘A Story
about Unimportant News Reports,’ di Seno Gumira Ajidarma, Jakarta at a Certain Point in Time: Fiction, Essays
and a Play from the Post-Suharto Era in Indonesia, diterjemahkan oleh Michael Bodden (Victoria: University of
Victoria, 2002).
22
Rahasia umum bisa kita jumpai dalam banyak masyarakat. Seringkali kita menemukan masyarakat yang tahu
bahwa kejahatan tertentu telah terjadi, tapi karena berbagai alasan tidak pernah dibicarakan secara publik, dan
anggota masyarakat lainnya pun berpura-pura tidak tahu bahwa kejahatan seperti itu pernah terjadi. Lihat Stanley
Cohen, States of Denial: Knowing about Atrocities and Suffering (Cambridge: Polity Press, 2001).
Pengantar 9
23
Satyagraha Hoerip, ‘Pemberontakan Gestapu/PKI Dalam Cerpen-cerpen Indonesia,’ dalam Cerpen Indonesia
Mutakhir: Antologi Esei dan Kritik, Pamusuk Eneste, ed., (Jakarta: Gramedia, 1983), h. 56-57. Tulisan ini awalnya
diterbitkan dalam Budaya Jaya (Februari 1972).
24
Robert Cribb, ed., The Indonesian Killings, ‘Introduction.’
25
Jumlah sesungguhnya dari eks-tapol ini, sama seperti jumlah orang yang meninggal, tidak diketahui. Rezim
Soeharto memberikan bermacam angka statistik berbeda. Pada 1981, pejabat rezim Soeharto mengatakan bahwa
ada 1,5 juta eks-tapol. Empat tahun kemudian, para pejabat mengatakan jumlah mereka sesungguhnya 1,7 juta.
Try Soetrisno, dalam sebuah majalah, mengatakan bahwa jumlah mereka 1,8 juta. Mungkin saja jumlah mereka
sebenarnya lebih besar dari itu. Lihat Robert Cribb, ed., The Indonesian Killings, ‘Introduction,’ h. 42. Angka
yang diberikan para pejabat pemerintah pada 1980an ini sangat berbeda dengan angka-angka dari 1960an dan
1970an. Saat itu, pejabat pemerintah mengaku hanya ada 120.000 tapol. Angka itu diberikan Jaksa Agung Sugih
Arto pada September 1966. Pemerintah mengklaim bahwa mereka terus melepas para tahanan sehingga jumlah ini
terus menurun. Pada 1977, pemerintah mengklaim hanya ada 31.461 tapol dalam penjara. Lihat, Greg Fealy, The
Release of Indonesia’s Political Prisoners: Domestic vs. Foreign Policy (Clayton: Monash University Centre of
Southeast Asian Studies, 1995), appendix, ‘The Problem of Detainee Statistics,’ h. 44-46.
10 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
Selama 32 tahun kekuasaan rezim Soeharto, pembunuhan massal 1965-66 tidak pernah
menjadi bagian dari ‘ingatan sosial’, yakni ingatan mengenai masa lalu yang disampaikan
kepada orang lain, diperingati dengan upacara, ditulis dalam buku, didokumentasi dalam
museum, atau ditandai dengan mendirikan monumen.26 Pengalaman akan pembunuhan
itu umumnya tersimpan dalam ingatan orang per orang atau dalam percakapan
terbatas. Soeharto sendiri hampir tidak pernah bicara mengenai pembunuhan itu. Ia
tidak menyinggung soal itu sedikit pun dalam otobiografinya.27 Para perwira Angkatan
Darat bawahannya hampir tak pernah bicara soal itu. Hanya beberapa diantaranya,
dalam kesempatan berbeda-beda, menyebut bahwa ada sejumlah orang terbunuh saat
itu.28 Buku-buku pelajaran sekolah tidak memuat keterangan apa pun 29, begitu pula
dengan buku-buku sejarah yang diterbitkan pemerintah mengenai kejadian 1965-66.
Jurnalis, cendekiawan, akademisi, termasuk sejarawan Indonesia tidak pernah melakukan
penyelidikan dan menerbitkan laporan mengenai kejadian itu.30
Jika kita mengikuti versi rezim Soeharto mengenai sejarah, kebungkaman itu bisa
ditafsirkan sebagai penyesalan atau rasa malu kolektif akan kejadian traumatik yang
membuat masyarakat terbelah oleh kebencian yang mematikan. Saat menyinggung
pembunuhan massal itu – yang jarang sekali ia lakukan – Soeharto menjelaskannya
sebagai buah persaingan politik di antara kelompok-kelompok sipil. Dalam sebuah
konferensi pers 1971, waktu memperingati lima tahun Supersemar, Soeharto mengatakan
bahwa setelah G-30-S, ‘Ribuan korban jatuh di daerah-daerah karena rakyat bertindak
sendiri-sendiri, juga karena prasangka-prasangka buruk antar golongan yang selama
bertahun-tahun ditanamkan oleh praktek-praktek politik yang sangat sempit.’31 Soeharto
mengangkat soal pembunuhan itu sebagai contoh bahayanya mobilisasi politik massa. Ia
tidak hanya membersihkan tangan Angkatan Darat dari tanggung jawab atas
pembunuhan itu, tapi malah menggunakannya untuk membenarkan dominasi Angkatan
Darat dalam tubuh negara sejak 1965, dengan mengatakan bahwa orang sipil belum
matang untuk menjalani sistem demokrasi.
26
Istilah ‘ingatan sosial’ tidak berarti bahwa semua orang dalam masyarakat memiliki ingatan yang sama mengenai
sebuah kejadian, tapi bahwa seluruh masyarakat membicarakan peristiwa itu, menganggapnya penting, dan
memperdebatkan arti pentingnya. Istilah ini sama dengan ‘ingatan kolektif ’. Tekanan dari kedua istilah ini adalah
gagasan bahwa ingatan seseorang disusun oleh identitas kelompok. Lihat James Fentress dan Chris Wickham,
Social Memory (Oxford: Blackwell, 1992); Maurice Halbwachs, On Collective Memory, diedit dan diterjemahkan
oleh Lewis A. Coser (Chicago: The University of Chicago Press, 1992); David Middleton dan Derek Edwards, eds.,
Collective Remembering (London: Sage, 1990).
27
Soeharto, Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1991).
28
Kol. Sarwo Edhie, komandan RPKAD pada 1966, mengatakan pada seorang jurnalis Amerika bahwa pasukannya
menghimpun kelompok pemuda untuk melakukan pembunuhan di Solo. John Hughes, Indonesian Upheaval (New
York: Fawcett, 1967), h. 130-132. Soedomo mengatakan bahwa jumlah orang yang dibunuh pada 1965-66 berkisar
antara 450.000 sampai 500.000. ‘Setelah Wawancara Sudomo,’ Tempo, 10 Juli 1976, h. 7.
29
Bahkan buku-buku teks yang ‘diperbaiki’ pada masa pasca-Soeharto tetap tidak membicarakan pembunuhan
itu. Lihat misalnya, Tim Sejarah SMU, Sejarah untuk SMU Kelas 3 (Jakarta: Galaxy Puspa Mega, 2001).
30
Pembunuhan di Purwodadi pada 1968-69 mendapat perhatian pers di Jakarta ketika J.C. Princen kembali
membawa laporan mengenai kejadian itu. Lihat Robert Cribb, The Indonesian Killings, bab 9, ‘The Purwodadi
Killings: Two Accounts.’
31
‘‘Surat Perintah 11 Maret’ untuk mengatasi situasi konflik ketika itu,’ Kompas, 11 Maret 1971, h. 1, 12.
Pengantar 11
Menurut narasi resmi dari rezim, tidak ada teror anti-PKI yang perlu diingat: yang
melancarkan teror hanyalah PKI, yakni terhadap Angkatan Darat dan partai-partai
politik non-komunis pada Oktober 1965. Orang komunis sudah terbukti sebagai
‘pemberontak’ dan ‘pengkhianat’ dengan melancarkan kup. ‘Pembasmian’ PKI adalah
reaksi yang wajar terhadap Gerakan 30 September yang menculik dan membunuh enam
jenderal Angkatan Darat. Orang komunis harus disekap dan disingkirkan dari kehidupan
politik. Angkatan Darat yang memimpin pembasmian PKI, hanya membela diri dari
agresor keji yang nyaris berhasil memaksa Indonesia menjadi negara komunis seperti Uni
Soviet atau Tiongkok. Angkatan Darat berhasil menyelamatkan bangsa.32
Rezim Soeharto merayakan keberhasilan menghancurkan PKI, tapi menampilkan
‘penghancuran’ itu semacam pekerjaan rutin biasa: tentara dan polisi menangkap
anggota PKI, menginterogasi dan mengklasifikasi mereka sesuai tingkat keterlibatan
dalam Gerakan 30 September dan PKI, lalu melepas sebagian dan menyekap yang lain di
penjara.33 Seluruh proses itu berlangsung tertib dan tidak berdarah, kecuali beberapa
ledakan kemarahan massa anti-komunis yang spontan dan tak dapat dikontrol di
beberapa tempat. Pembunuhan itu dianggap semacam ‘ekses’ dari sebuah operasi
pemerintah yang taat semua prosedur hukum.
Selama berkuasa, Soeharto membentuk ingatan sosial sedemikian rupa sehingga
pembunuhan massal terlupakan, tapi ingatan akan Gerakan 30 September terus hidup.
Orang Indonesia sekarang, jika ditanyai mengenai apa yang terjadi pada 1965-66, akan
mengatakan bahwa peristiwa pembunuhan tujuh perwira militer di Lubang Buaya
adalah yang paling penting. Rezim Soeharto menanamkan peristiwa itu dalam benak
masyarakat dan tetap diam mengenai pembunuhan ratusan ribu orang yang terjadi
sesudahnya. Rezim ini juga menempatkan Gerakan 30 September sebagai titik tolak
utama dalam penulisan sejarah versi pemerintah. Kemudian didirikanlah monumen di
Lubang Buaya dengan tujuh patung perunggu besar dari tujuh perwira yang meninggal,
yang diresmikan pada 1969. Monumen Kesaktian Pancasila ini menjadi semacam lambang
penyucian tempat pengkhianatan terhebat terhadap Pancasila yang pernah terjadi, dan
para perwira yang terbunuh ditahbiskan sebagai martir-martir agung.
Monumen itu adalah tempat rezim Orde Baru mengadakan ritual-ritualnya yang paling
penting. Setiap lima tahun, sebelum memulai sidang pertama, anggota MPR berkumpul
di monumen tersebut dan mengucapkan sumpah setia kepada Pancasila. Setiap tahun
pada 1 Oktober, Soeharto dan pejabat teras lainnya mengadakan upacara di monumen
tersebut. Tanggal itu kemudian diresmikan menjadi Hari Peringatan Pancasila Sakti. Di
dekat monumen, pemerintah membangun sebuah museum besar bertingkat dua pada
32
Jumlah literatur anti-PKI yang diproduksi rezim Soeharto dan para pendukungnya benar-benar
mencengangkan. Seakan-akan mereka tidak pernah yakin bahwa masyarakat memahami pesan yang ingin mereka
sampaikan sehingga mereka harus terus-menerus mengulang cerita yang kurang lebih sama. Untuk contoh-
contoh mutakhir literatur sejenis ini, lihat Alex Dinuth, ed., Dokumen Terpilih Sekitar G.30.S/PKI (Jakarta:
Intermasa, 1997); Alex Dinuth, ed., Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis (Jakarta: Intermasa, 1997);
Tim Cidesindo, Membuka Lipatan Sejarah: Menguak Fakta Gerakan PKI (Jakarta: Pustaka Cidesindo, 1999).
33
Noegroho Notosusanto dan Ismail Saleh, The Coup Attempt of the ‘September 30 Movement’ in Indonesia
(Jakarta: Pembimbing, 1968). Terjemahan dalam bahasa Indonesia: Tragedi Nasional: Percobaan Kup G 30 S/PKI di
Indonesia (Jakarta: Intermasa, 1989).
12 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
34
Film ini kemudian diolah menjadi buku: Arswendo Atmowiloto, Pengkhianatan G-30-S/PKI (Jakarta: Sinar
Harapan, 1986; cetak ulang 1988, 1994).
Pengantar 13
dianggap terhormat.
Perhatikan, misalnya saja, cerita-cerita pendek mengenai pembunuhan itu yang
diterbitkan di Horison, majalah sastra yang digerakkan oleh ‘Angkatan 66’. Semua
redakturnya kemudian menjadi sokoguru bangunan kebudayaan Orde Baru: Mochtar
Lubis, H.B. Jassin, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan Goenawan Mohamad. Mereka
memproklamirkan diri sebagai penegak ‘humanisme universal’, bertentangan dengan
ideologi-ideologi politik sempit yang menghalangi kebebasan artistik. Sebagai humanis,
tentu saja mereka mengungkapkan kegelisahan atas terjadinya pembunuhan itu. Hampir
semua cerita pendek yang diterbitkan di Horison terarah pada seorang pencerita yang
mendukung pembunuhan, tapi pada saat bersamaan, tidak suka pada kekerasan. Para
penulis ‘humanis universal’ tidak menampilkan pembunuhan itu sebagai sesuatu yang
tragis bagi korban, tetapi sesuatu yang tragis bagi para pembunuh karena harus
mendamaikan pembunuhan itu dengan nilai-nilai kemanusiaan.35
‘Perang dan Kemanusiaan’ adalah salah satu contohnya. Cerita ini adalah ‘catatan
pengalaman pribadi.’ Namun tidak begitu jelas, apakah karya itu adalah fiksi, nonfiksi,
atau nonfiksi yang ditulis dengan bahasa yang sangat bergaya. Penulisnya bernama
Usamah, seorang pemuda yang sukarela bekerja sebagai interogator tentara. Dengan
keyakinan penuh bahwa PKI akan mendirikan pemerintahan teror, ia ingin ambil bagian
dalam upaya menghancurkan partai itu. Tapi, penahanan guru sekolahnya, dokter
keluarga, dan seorang gadis teman sekelasnya mulai mengganggu pikirannya. Para
korban bukan lagi kategori abstrak ‘PKI’, tapi sekumpulan orang yang dikenalnya dengan
baik dan memanggilnya dengan sebutan ‘dik Us.’ Ia ingat menonton gadis itu menari
dalam pertunjukan wayang orang. Kala melihat serdadu-serdadu menyiksa dokter
keluarga mereka, ia mengaku, ‘Menyaksikan kejadian itu saya mendadak kepingin
muntah.’ Usamah dengan cepat meyakinkan pembaca bahwa ia pada dasarnya
mendukung penyiksaan itu, tapi tidak tahan ketika menyaksikannya sendiri. Ia merasa
sakit ‘bukan karena kasihan atau mungkin disangka tidak setuju, bukan. Soalnya saya
pribadi tidak terbiasa menyaksikan bentuk-bentuk penyiksaan.’ Ia menganggap desakan
nalurinya bukan sebagai tanda bahwa ‘penghancuran’ PKI itu salah, tapi karena ada
sesuatu yang salah dengan dirinya. Ia mengutuk dirinya karena tidak tahan melihat
penyiksaan itu dan berharap bisa lebih keras hati: ‘Kalau seluruh petugas disana seperti
saya, mungkin keadaannya akan berbalik.’ Ia menghormati dan bahkan agak iri pada
para penyiksa dan pembunuh: ‘tanpa orang seperti Komandan Team saya dulu, tanpa
anggota-anggota tentara yang tegas-tegas seperti mereka-mereka yang aktif memberikan
‘pelajaran’ pada manusia-manusia komunis di Solo seperti apa yang diberikan pada Sri
[penari], Bu Guru Y maupun dokter X, barangkali sampai hari ini penumpasan G-30-S
belum selesai.’ Narator itu membenarkan narasi resmi negara – PKI memang harus
‘dihancurkan’ karena mereka menyerang lebih dulu. Tentara tidak menyerang orang sipil
yang tak berdaya; tentara saat itu sedang berperang. Tidak ada tragedi di sisi korban, dan
tidak ada pula bencana kemanusiaan di sana.
Para redaktur Horison, dalam pengantar untuk cerita Usamah ini, menggambarkan sosok
35
Cerita-cerita itu dikumpulkan dan diterjemahkan (dengan hasil yang jauh dari sempurna) oleh Harry Aveling,
Gestapu: Indonesian Short Stories on the Abortive Communist Coup of 30th September 1965 (Honolulu: Southeast
Asian Studies Program, University of Hawaii, 1975).
14 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
penulis humanis sebagai orang yang ‘selalu harus melatih diri untuk menggunakan
perasaannya yang halus, untuk selalu melihat manusia di sekelilingnya sebagai sesuatu
kenyataan yang unik, untuk selalu mencoba menghayati dan memahami persoalan-
persoalan manusia-manusia yang bukan dirinya.’ Gejolak perasaan Usamah saat melihat
kekerasan dianggap semacam bukti rasa kemanusiaan. Pada saat bersamaan, para
redaktur melihat kekerasan anti-PKI itu sebagai sesuatu yang tak terelakkan. Dengan cara
inilah kemanusiaan tetap dijunjung, dan pembantaian massal menjadi semacam segel
pengesahan oleh penulis yang mengaku berperasaan halus.
Apakah memang ada ‘perang’ pada 1965-66? Banyak pelaku yang jika ditanyai sekarang
ini akan membela tindakan mereka dengan mengatakan bahwa saat itu pilihannya hanya
‘membunuh atau dibunuh’, seolah-olah semua orang yang berafiliasi dengan PKI sudah
siap membunuh lawan politik mereka. Itulah versi mereka tentang masa itu. Tapi, jelas
ada alasan untuk meragukan keterangan mereka. Perhatikan saja cerita Usamah yang
menggambarkan saat itu sebagai perang: penari, guru, dan dokter disiksa dan dibunuh
sesudah mereka ditahan. Dan mereka dibunuh karena alasan yang tidak masuk akal:
kedua perempuan dibunuh karena serdadu-serdadu yang memeriksa merasa marah
terhadap Soekarno karena menyatakan Gerwani tidak terlibat dalam pembunuhan di
Lubang Buaya. Tentunya ini perang yang aneh karena kebanyakan korban adalah
tahanan. Jika kita mengikuti logika Usamah dan percaya bahwa saat itu memang terjadi
perang, maka seluruh tindakan yang digambarkannya dapat dikategorikan sebagai
kejahatan perang. Penyiksaan dan pembunuhan terhadap tawanan perang, menurut
Konvensi Jenewa, adalah kejahatan perang. Fakta dasar ini tampaknya luput dari
perhatian para redaktur Horison yang ‘humanis’ itu.
Jika kita mengikuti versi rezim Soeharto mengenai peristiwa itu, sangat sulit sebenarnya
menganggap masa itu sebagai masa perang. Tentara tidak terlibat dalam pertempuran
berarti dengan gerakan bersenjata waktu ‘menghancurkan’ PKI pada 1965-66, dan tidak
melaporkan korban atau kerugian di pihak mereka. PKI saat itu tidak melawan ketika
‘dihancurkan.’ Seandainya melawan, tentu mereka tidak begitu mudah dan cepat
‘dihancurkan.’ Satu-satunya perang dengan PKI terjadi di Blitar Selatan pada 1968, dan
bahkan saat itu pun gerilyawan PKI tidak memberi perlawanan berarti. Soe Hok Gie,
ketika menulis tentang pembunuhan di Bali, menggambarkan peristiwa itu lebih sebagai
pembantaian seperti yang terjadi di Uni Soviet semasa Stalin ketimbang peperangan:
‘Dalam peperangan, bagaimanapun tidak seimbangnya kedua kekuatan yang sedang
berhadap-hadapan, di antara mereka pastilah ada usaha yang bagaimanapun kecilnya
untuk menghabisi lawannya atau paling sedikit membela diri. Penyembelihan atau
pembantaian mungkin merupakan perkataan yang paling cocok.’36
Cerita pendek, ‘When People Become Numbers,’ oleh seorang pengarang Bali, Putu Arya
Tirtawirya, menggambarkan pembunuhan itu sebagai proses ‘mencoret nama-nama dari
daftar seorang pejabat.’37 Penceritanya adalah seorang pemuda desa non-PKI yang sedang
36
Soe Hok Gie, ‘Di Sekitar Peristiwa Pembunuhan Besar-Besaran di Pulau Bali,’ dalam Zaman Peralihan
(Yogyakarta: Bentang, 1995), h. 161-162
37
Kami tidak berhasil menemukan naskah asli dari cerita pendek ini, dan terpaksa menggunakan terjemahannya
dalam bahasa Inggris: Putu Arya Tirtawirya, ‘When People Become Numbers,’ Latitudes Magazine, vol. 10 (2002).
Judul asli cerpen ini adalah ‘Kegelapan di Bawah Matahari’ yang diterbitkan dalam buku berjudul Kegelapan di
Bawah Matahari dan Cerpen-Cerpen Lainnya (Ende, Flores: Nusa Indah, 1979).
Pengantar 15
berjaga malam dengan teman-temannya. Sekitar 15 pemuda dari desa lain suatu malam
datang membawa pentungan, tombak, pedang, dan parang. Mereka bermaksud
membunuh ‘PKI’. Mereka membawa daftar nama-nama: ‘kami datang mau memenuhi
target malam ini. Tiga orang dari desa ini.’ Mereka lalu mendatangi rumah orang-orang
yang tertera dalam daftar, menyeret keluar, lalu membunuh mereka. Pembunuhan yang
diceritakan Tirtawirya dilakukan sekelompok orang, dan bukan kematian karena perang.
Seandainya memang terjadi perang, tentu kita akan mendengar kisah-kisah pertempuran
yang heroik dalam dunia sastra, dan bukan kisah-kisah kekerasan sepihak yang diatur
birokrasi seperti dalam catatan pribadi Usamah dan cerita pendek Tirtawirya.38
Ada alasan kuat bahwa pembunuhan yang diurus melalui administrasi ini terjadi di
mana-mana, dan bukan hanya pengecualian. Sekalipun secara umum tidak banyak suara
mengenai pembunuhan itu, ada beberapa kesaksian nonfiksi yang telah diterbitkan. Salah
satunya ditulis oleh Pipit Rochiat, seorang Indonesia yang tinggal di Jerman, pada 1984.
Tentu saja tulisannya tidak pernah diterbitkan ulang di Indonesia saat Soeharto masih
berkuasa. Ia menggambarkan ingatannya mengenai rangkaian kejadian di Kediri, Jawa
Timur, tempatnya bersekolah saat itu. Ia mengingat bahwa dua minggu pertama setelah
G-30-S sebenarnya agak tenang. Para pendukung PKI dituduh terlibat dalam
pemberontakan, tapi mereka tidak terlihat akan menyerang siapa pun. Serangan
terhadap mereka pun baru dimulai pada paruh kedua Oktober, di tengah ketenangan
semacam itu. Beberapa pendukung PKI dibunuh dalam serangan milisi ke desa-desa,
sementara lainnya dibunuh saat mereka telah berada dalam tahanan militer.
Daerah Kediri tampaknya tak aman bagi orang-orang Komunis (anehnya,
kecuali satu kasus mereka tak bergerak mengadakan perlawanan). Lalu
kebanyakan dari mereka berusaha lari ke Surabaya atau mencari
perlindungan di Kodim di kota Kediri. Tapi, di penjara pun tidak aman,
sebab terlalu banyak yang ingin mencari perlindungan dan penjara tidak
sanggup menampungnya. Akhirnya, tentara sering mengangkut mereka
dengan truk ke Gunung Klotok (jalan menuju ke sana harus melalui SMA
Negri I) entah apa yang diperbuat oleh tentara terhadap mereka, tapi yang
jelas pergi penuh muatan dan pulang kosong. Selain daripada itu, Kodim
juga tak keberatan bila ada orang-orang Nasionalis atau Agama datang ke
sana untuk meminta orang-orang komunis yang dibutuhkan. Kodim
bersedia menyerahkan tawanan komunis, asal mereka-mereka yang
membutuhkan membawa kendaraan (bukan sepeda motor tentunya).39
38
Ahmad Tohari, dalam bagian trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang disensor penerbitnya, menggambarkan militer
menahan ratusan orang di tempat tahanan yang penuh sesak dan kotor, lalu membawa mereka berkelompok
untuk dieksekusi. Ahmad Tohari, ‘Village Dancer,’ diterjemahkan oleh René Lysloff, Manoa, 12: 1 (2000). Juga
film Garin Nugroho Puisi Tak Terkuburkan (2001), menggambarkan tahanan di Aceh pada 1965 dibawa dengan
kepala yang ditutup karung beras untuk dieksekusi. Film ini dibuat berdasarkan ingatan Ibrahim Kadir, seorang
penyair Aceh yang menyaksikan eksekusi seperti itu saat ia ditahan.
39
Pipit Rochiat, ‘Saya PKI atau Bukan PKI?’ Majalah Gotong Royong (Berlin, Perhimpunan Pelajar Indonesia),
April 1984. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Benedict Anderson, ‘Am I PKI or Non-PKI?’ Indonesia
no. 40 (October 1985). Para pemimpin NU di Kediri yang diwawancarai Hermawan Sulistyo juga menggambarkan
eksekusi sejumlah besar tahanan. Pembunuhan lain di Kediri dan Jombang, menurut Sulistyo, dilakukan oleh
kelompok-kelompok NU dengan kawalan tentara yang menyerbu desa-desa dan membantai orang yang dicurigai
sebagai pendukung PKI. Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu (Jakarta: KPG, 2000), bab 5.
16 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
Kenangan Pipit Rochiat akan adanya eksekusi terhadap para tapol diperkuat oleh cerita
dari seorang anggota NU dari Kediri. Buku dari Ansor Jawa Timur, Banser Berjihad
Menumpas PKI (1996), mengutip salah seorang pemimpin Banser di Kepung, dekat
Kediri, yang menggambarkan pembunuhan di daerahnya. Menurut ingatannya, sekitar
6.000 ‘orang PKI’ dari kecamatan dikumpulkan dan ditahan di sebuah perkebunan.
Setelah ditahan, mereka dibawa keluar berkelompok untuk dieksekusi: ‘Setiap malam,
setelah menerima surat perintah dari Kodim, Banser yang bertugas menggiring PKI ke
Sumbertigo di hutan Krenceng. Sekali menggiring sekitar 30 sampai 40 orang. Di dalam
hutan Krenceng itulah mereka disembelih satu demi satu dan kemudian dikubur di dalam
lubang kuburan massal.’40 Kutipan ini merupakan salah satu dari sedikit bagian buku
yang menggambarkan pembantaian dengan cukup terperinci. Selebihnya, buku Ansor ini
mengikuti penjelasan versi resmi Orde Baru: penggambaran tentang ‘penghancuran’ PKI
secara abstrak dan tanpa detil mengenai cara pembunuhan itu dilakukan. Tujuan utama
Ansor menerbitkan buku ini adalah untuk menjelaskan bahwa peran mereka di dalam
penghancuran PKI ‘tidak terlepas dari komando ABRI.’
Dengan gaya serupa, seorang pemimpin Ansor lain dari Lombok, Fathurrahman
Zakaria, pada 1997, menerbitkan buku tentang ‘penghancuran’ PKI di Lombok, Nusa
Tenggara Barat. Ia menjelaskan bahwa banyak orang yang dicurigai sebagai anggota PKI
dikumpulkan pada akhir Oktober dan November 1965. Penjara-penjara penuh dengan
tahanan ini sehingga militer mulai menggunakan bangunan dan gedung lain sebagai
tempat tahanan darurat. Militer kemudian mengurus interogasi dan klasifikasi para
tahanan. Zakaria sendiri menjadi seorang interogator di bekas pabrik es yang dipakai
untuk menahan sekitar 600 orang: ‘Pekerjaan itu kami tekuni dari bulan April sampai
Agustus 1966. Mereka yang masuk golongan C dibebaskan sementara, dan golongan
inilah yang terbanyak. Mereka wajib lapor seminggu sekali. Tetapi mulai akhir Agustus
1966, setiap kali penulis datang ke rumah tahanan itu, nampak penghuninya makin
berkurang saja. Baru beberapa hari kemudian penulis mengetahui bahwa ada kebijakan
baru yang dilancarkan, yaitu ibarat pedagang ritel, diadakan ‘aksi mencuci gudang dan
mengobral isinya keluar.’ Zakaria menjelaskan, sampai awal 1967, hampir setiap malam,
ada sekitar 10-15 tahanan yang dibawa keluar dan dipaksa menggali lubang kuburnya
sendiri. Ia menggunakan istilah ‘cuci gudang’ untuk menggambarkan apa yang
sesungguhnya merupakan pembunuhan di luar hukum terhadap para tahanan yang
tidak pernah dikenakan tuduhan apa pun.41 Sekalipun menggunakan eufemisme seperti
itu, Zakaria adalah satu dari sedikit pelaku yang menulis tentang proses eksekusi tahanan.
Sementara versi resmi Orde Baru tetap bungkam soal pembunuhan itu, cerita yang
terserak dalam karya fiksi maupun narasi perorangan memberitahukan bahwa yang
terjadi sesungguhnya adalah pembunuhan di luar hukum terhadap para tahanan.
Pembunuhan massal dilakukan setelah para korban ditangkap. Diperlukan lebih banyak
riset mengenai pembunuhan itu untuk memahami mengapa bentuk kekejaman seperti itu
yang muncul dan siapa yang bertanggung jawab. Dari informasi yang tersedia sejauh ini,
kita dapat mengatakan bahwa tentara Soeharto yang paling bertanggung jawab karena
40
Agus Sunyoto, dkk., Banser Berjihad Menumpas PKI (Tulungagung: Pesulukan Thoriqoh Agung, 1996), h. 155.
41
Fathurrahman Zakaria, Geger Gerakan 30 September 1965, Rakyat NTB Melawan Bahaya Merah (Mataram:
Sumurmas, 1997; cetakan kedua 2001), h. 110-111.
Pengantar 17
mengobarkan histeria terhadap PKI dan menghimpun milisi sipil untuk melakukan
pembunuhan massal. Sudah terang, penjelasan rezim Soeharto bahwa pembunuhan itu
terjadi karena ‘rakyat mengamuk’, sama sekali tidak benar.
Demi ketepatan sejarah, kita harus mendengar lebih banyak orang lagi, khususnya para
korban. Salah satu alasan mengapa kita tidak banyak mendengar cerita mereka adalah
karena sensor negara. Di bawah rezim Soeharto, para korban dicap ‘PKI’ dan secara
hukum dilarang menulis dan berbicara di hadapan publik. MPR yang sudah dikuasai
militer pada 1966 membuat ketetapan membubarkan PKI dan melarang penyebaran
Marxisme-Leninisme (TAP MPRS XXV/1966). Berdasarkan ketetapan ini, siapa pun yang
dianggap ‘komunis’ oleh negara tidak berhak bicara karena apa pun yang dikatakannya
tentu, dengan satu atau lain cara, mengandung pesan-pesan ‘komunis’.
Pemerintah juga melakukan segala cara untuk mengisolasi keluarga kaum ‘komunis’ ini.
Aturan ‘bersih lingkungan’ mulai diterapkan pada pertengahan 1970an untuk
memastikan bahwa semua pegawai pemerintah tidak tercemar oleh PKI. Pemerintah
merasa berwenang menolak lamaran kerja atau memecat seseorang hanya karena yang
bersangkutan adalah saudara, suami atau isteri, atau anak dari seorang tapol atau eks-
tapol. Dengan wacana higiene sosial, pemerintah menginterogasi pegawai negeri – dalam
proses yang disebut screening mental-ideologi – lalu membagi mereka dalam klasifikasi
‘bersih’ dan ‘tidak bersih’. Kategorisasi ini berlaku bagi semua penduduk. Seseorang yang
ingin membuat paspor, misalnya, harus memberikan tiga surat (dari kantor polisi
setempat, ketua RT, dan lurah), yang menyatakan bahwa ia berasal dari ‘lingkungan
yang bersih’, artinya tidak memiliki hubungan saudara dengan salah seorang ‘komunis’.42
Bahkan Soeharto sendiri, sebagai orang yang paling tidak memerlukan surat keterangan
‘bersih diri’ semacam itu, juga memilikinya.
Para eks-tapol mendapat tanda khusus pada KTP mereka dan karena itu menjadi korban
hukum yang sangat diskriminatif. Setelah melepas sebagian besar tapol di akhir 1970an,
pemerintah menetapkan aturan yang melarang mereka bekerja di bidang yang dapat
mempengaruhi opini publik. (Mereka juga dilarang bekerja di sektor publik.) Aturan ini
dikeluarkan oleh Departemen Dalam Negeri pada 1981, dan menyebutkan larangan itu
berlaku untuk bidang jurnalistik, pendidikan, hukum, dan jenis pekerjaan lain yang
dianggap ‘strategis’ oleh pemerintah. 43 Dalam penjelasan resmi disebutkan bahwa
pemerintah khawatir para eks-tapol akan menggunakan posisi-posisi tersebut untuk
menyebarkan komunisme. Tapi, mungkin yang lebih tepat adalah pemerintah khawatir
mereka akan berbicara mengenai kejahatan yang dilakukan militer pada 1965-66.
Ingatan sosial akan peristiwa 1965-66 dibentuk oleh propaganda negara dan
pembungkaman para korban. Ingatan ini menyerupai dongeng semasa kanak-kanak:
monster besar dan mengerikan bernama PKI mengancam keselamatan orang yang
sederhana dan baik hati, akhirnya dikalahkan oleh pasukan ksatria mulia dan patriotik di
bawah pimpinan Soeharto yang pemberani. Dongeng semacam ini mungkin masih
diyakini anak-anak sekolah yang terus dibawa berkunjung ke Lubang Buaya dan
42
Naskah aturan hukum itu dapat dilihat dalam Himpunan Peraturan Bersih Diri dan Bersih Lingkungan dari G-30-
S/PKI (Jakarta: Dharma Bhakti, 1988).
43
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 32, 1981, ‘Pembinaan dan Pengawasan terhadap Bekas Tahanan dan Bekas
Narapidana G-30-S/PKI.’
18 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
mendapat indoktrinasi melalui pelajaran sejarah di sekolah, tapi lain halnya bagi orang
dewasa yang cukup rasional. Sejak lama ada keraguan mengenai versi sejarah rezim
Soeharto. Saat ini, sudah ada informasi yang diterbitkan para pelaku kekerasan anti-PKI,
yang memperlihatkan bahwa militer di bawah pimpinan Soeharto melakukan kejahatan
terhadap kemanusiaan. Ketimbang terus berpegang pada versi resmi tersebut demi
‘persatuan dan kesatuan,’ kita perlu secara jujur melihat keragaman ingatan orang
mengenai masa itu. Kita tidak bisa terus-menerus membiarkan suara korban dibungkam.
Kita tidak bisa lagi berharap bahwa orang akan menaati kisah rekayasa perwira intelijen
militer sebagai sejarah nasional yang benar dan suci.
Metodologi
Penelitian sejarah lisan ini merupakan sebuah kerja bersama yang dimulai pada awal 2000
oleh sepuluh anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK). Sebelumnya, kami
semua berdiskusi mengenai penelitian ini bersama Sekretaris Umum TRuK saat itu,
Karlina Supelli, untuk menemukan cara paling mudah dan tepat untuk menjalankan
kegiatan ini. John Roosa menjadi penasehat sekaligus koordinator dari kelompok relawan
yang terlibat dalam penelitian ini. Sampai saat itu, TRuK lebih banyak menaruh
perhatian pada para korban kasus-kasus yang baru terjadi, antara lain korban
Kerusuhan Mei 1998 dan Tragedi Semanggi I dan II. Para relawan menemani korban dan
mengumpulkan kesaksian mereka untuk mendapat gambaran menyeluruh mengenai
mengapa dan bagaimana peristiwa-peristiwa tragis itu terjadi. Walau tak seorang pun
dari mereka punya pengalaman dengan sejarah lisan, kami melihat mereka memiliki
kemampuan tertentu untuk menjadi pewawancara yang baik. Mereka memiliki kesabaran
mendengar orang lain, ketahanan mendengar kisah orang yang menderita, dan
keprihatinan yang tulus terhadap para korban. Dalam pengalaman kami, para pengajar
universitas dan mahasiswa justru tidak pernah bisa membuat wawancara yang baik.
Mereka berpikir mereka tahu segala sesuatunya, atau merasa yakin bahwa apa pun yang
perlu mereka ketahui berasal dari buku-buku. Keangkuhan inilah yang menghalangi
mereka untuk mengajukan pertanyaan yang tepat dan mendengarkan cerita dari orang
biasa. Hal terpenting dalam wawacara lisan adalah pemahaman yang baik mengenai
hubungan antarmanusia.
Semua orang yang terlibat dalam pekerjaan ini, termasuk koordinator, bekerja secara
sukarela. Kami tidak mulai bekerja karena ada dana, tapi karena kami yakin bahwa
penelitian ini memang penting untuk dilakukan. Penelitian kami, karena itu, mewakili
pikiran generasi pasca-1965 yang ingin memahami sejarah masyarakat mereka sendiri,
dan meninggalkan penyederhanaan dan kepalsuan propaganda negara. Baru
belakangan, setelah bekerja selama lebih kurang setahun, bantuan mulai berdatangan
dari beberapa lembaga dan teman yang memiliki kepedulian yang sama.
Selama dua bulan, kami mengadakan pelatihan sejarah lisan bagi sepuluh orang relawan.
Kami bertemu sekurangnya sekali seminggu, membaca sejumlah artikel dan buku pilihan,
menyusun agenda penelitian, membahas teknik wawancara, dan menentukan jenis-jenis
pertanyaan yang harus diajukan. Pelatihan ini sangat penting untuk memperkenalkan
para peneliti awal kepada literatur sejarah tentang 1965, terutama tulisan-tulisan yang
diterbitkan di luar negeri dan dilarang, atau sulit diperoleh, di Indonesia. (Beberapa di
Pengantar 19
44
Kathryn Anderson dan Dana Jack, ‘Learning to Listen: Interview Techniques and Analyses,’ dalam R. Perks and
A. Thomson, eds., The Oral History Reader, h. 157-171.
45
Taufiq Ismail dan D.S. Moeljanto menerbitkan serangan terhadap Lekra, Prahara Budaya: Kilas-balik Ofensif
Lekra/PKI (Bandung: Mizan, 1995), dan berkeliling mempromosikan buku tersebut dari kampus ke kampus. Yang
pakling mengherankan adalah mereka menyerang orang-orang yang secara hukum dilarang bicara di hadapan
publik untuk membela diri. Pada tahun yang sama, pemerintah melarang peredaran Nyanyi Sunyi Seorang Bisu
karya Pramoedya, hanya beberapa minggu setelah diterbitkan.
20 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
Setelah pelatihan selesai, kami semua menyusun rencana melakukan wawancara. Pada
pertengahan 2000, kami mulai mewawancarai orang-orang yang sudah kami kenal
sebelumnya – teman, saudara, dan tetangga – yang berdiam di wilayah Jakarta, baru
kemudian menyebar untuk mewawancarai orang-orang yang direkomendasikan oleh
kelompok pertama. Setelah dua bulan melakukan wawancara, kami mulai berpergian ke
luar Jakarta. Kami melakukan pertemuan mingguan untuk berbagi informasi tentang apa
yang kami temui dan sekaligus menilai kemajuan kerja. Kami menghadapi beragam
masalah baru setiap minggunya – mulai dari masalah teknis mengenai cara memasang
mikrofon sampai masalah emosional ketika mendengarkan cerita-cerita yang
mengerikan. Pertemuan reguler bermanfaat untuk bersama-sama membahas cara
menghadapi masalah seperti ini.
Sebelum merekam percakapan, kami biasanya terlebih dulu menemui orang yang hendak
diwawancarai untuk berkenalan. Pertemuan awal ini penting untuk menjelaskan siapa
kami, apa tujuan kami, dan apa yang akan kami lakukan dengan hasil wawancara itu.
Pertemuan itu juga penting untuk menentukan cara melakukan wawancara dengan
mereka: pertanyaan apa yang harus diberi prioritas dan topik apa yang akan dibahas.
Setelah wawancara, baru kami memutuskan apakah harus mengulang atau
memperdalam wawancara tersebut. Jika kami merasa bahwa kisah hidup orang itu atau
topik tertentu masih perlu diperdalam, maka kami akan kembali melakukan wawancara
lagi. Di akhir penelitian, Mei 2001, kami berhasil mewawancarai 260 orang.
Tidak semua orang yang kami hubungi bersedia wawancaranya direkam. Alasan mereka
umumnya sama: takut. Sekalipun rezim Soeharto sudah jatuh, mereka tahu bahwa
militer masih berkuasa, dan bahwa politisi ‘reformasi’ sebenarnya adalah orang-orang
konservatif yang melayani Soeharto selama bertahun-tahun. Tapi, hanya sejumlah kecil
orang yang sama sekali tidak mau berbicara pada kami. Mereka umumnya adalah orang-
orang yang sangat tertekan oleh kekerasan yang dialami dan masih takut pada militer,
sehingga memilih untuk tidak bicara, terutama demi keselamatan keluarga mereka.
Ketika para peneliti muda ini pertama kali bertemu dan berbicara dengan para korban
teror, mereka merasa marah karena selama ini mengacuhkan sejarah masyarakat mereka
sendiri, bahkan sejarah keluarga mereka sendiri. Beberapa peneliti akhirnya mengungkap
‘rahasia keluarga’ dalam proses penelitian ini. Salah seorang dari mereka yang kembali ke
kampungnya di Jawa Timur, bertanya pada neneknya mengenai apa yang terjadi pada
1965. Sang Nenek untuk pertama kali bercerita bahwa kakeknya adalah pimpinan BTI
setempat yang hilang di akhir 1965. Keluarganya sampai saat ini tidak tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Selama bertahun-tahun sang nenek diam seribu bahasa, hanya
berharap suaminya masih hidup dan suatu saat akan pulang. Peneliti lain tahu pamannya
seorang tapol, tapi tidak pernah sekali pun ia mendengar cerita tentang kehidupannya.
Baru dalam wawancara yang dilakukan rekan sesama peneliti ia berkesempatan
mendengar apa yang selama ini dialami oleh pamannya sendiri. Seorang peneliti lain
akhirnya tahu bahwa banyak saudaranya di Jawa Tengah dibunuh pada 1965-66.
Keluarganya sendiri tidak pernah bercerita apa pun mengenai mereka.
Kami cukup beruntung melakukan wawancara ini saat Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
menjadi presiden. Pada periode itulah kekuatan rezim lama berada di titik paling rendah,
dan eks-tapol menikmati napas kebebasan pertama setelah 1965. Gus Dur mengambil
Pengantar 21
beberapa langkah yang tak terduga: ia meminta maaf kepada para korban atas
keterlibatan organisasi Islam yang dipimpinnya (NU) dalam pembantaian 1965-66,
mengusulkan agar larangan terhadap paham Marxisme-Leninisme dicabut, dan dua kali
mengunjungi rumah Pramoedya Ananta Toer. Untuk pertama kalinya, para korban 1965
merasa beban yang menghimpit mereka agak melonggar, apalagi nemesis mereka, militer,
tengah kerepotan; Gus Dur ikut menentukan nasib pimpinan tertinggi mereka (ia
memecat Jenderal Wiranto, seorang loyalis Soeharto); Kongres AS memutuskan
memberlakukan embargo militer karena Operasi Bumi Hangus di Timor Leste pada
September 1999; dan, puluhan ribu mahasiswa melancarkan demonstrasi anti-militer di
jalan-jalan kota Jakarta. Tentu tidak sebegitu mudah para korban bicara. Mereka masih
berhati-hati. Karena sekalipun Gus Dur memegang kekuasaan tertinggi, para kroni
Soeharto dan perwira militer garis keras selalu bisa memukul balik. Tapi setidaknya,
mereka lebih terbuka ketimbang masa sebelumnya.
Trauma yang diderita para korban ini mungkin membuat sebagian orang berpikir bahwa
cerita-cerita mereka tidak berguna untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi di
masa lalu. Tentu saja kita perlu menyadari bahwa trauma yang mereka idap selama ini
mempersulit mereka mengingat kejadian di masa lalu secara tepat. Namun, sungguh keji
jika kita mengkritik ingatan yang tidak lengkap atau tepat, sementara mereka telah
dipaksa menghidupi pengalaman yang melumpuhkan ingatan, seperti siksaan dan
kelaparan. Dalam beberapa hal, kebenaran mereka mengenai masa lalu justru terletak
pada ketidakmampuan mereka untuk mengungkapkannya. Tapi, orang tidak bisa
berkesimpulan bahwa cerita mereka tidak punya nilai apa pun bagi sejarah. Trauma
memang berpengaruh besar, tapi tampaknya tidak sampai menguasai mereka begitu rupa
hingga hilang kemampuan untuk mengingat apa pun secara tepat.46
Kami memperhatikan nilai kebenaran dari cerita-cerita yang kami dengar dan rekam.
Kami menilai ketepatan cerita seseorang dari konsistensi internal, pembandingan dengan
cerita orang lain, kesan yang kami peroleh saat melakukan wawancara, dan pendapat
orang lain yang kenal dengan orang yang diwawancarai. Kami memilih untuk
mewawancarai banyak korban di berbagai tempat di negeri ini agar punya landasan luas
untuk membuat perbandingan. Kami ingin menggambarkan pola-pola yang lazim,
misalnya mengenai cara orang ditangkap, disiksa, dipenjara, dan kemudian dilepaskan.
Kami sering mewawancarai orang di ruang tamu mereka, duduk dengan anggota keluarga
dan teman lain yang dapat memperkuat atau menambahkan ceritanya. Kami melakukan
wawancara dengan orang-orang yang pernah hidup di kota atau penjara yang sama,
sehingga bisa mendapatkan versi yang berbeda mengenai sebuah kejadian dan bermacam
reaksi terhadap pengalaman yang sama. Dalam wawancara, kami memusatkan perhatian
pada hal-hal yang dialami langsung ketimbang cerita yang mereka dengar dari orang lain.
Ada pula sejumlah orang yang akhirnya tidak kami wawancarai. Ada seorang eks-tapol
yang berulangkali ditemui salah satu pewawancara, tapi sangat ragu-ragu dalam
mengungkapkan pengalamannya, seolah ada banyak hal yang ingin disembunyikannya.
Kita semua, saat bercerita tentang kehidupan kita, tentu tidak mau menceritakan hal-hal
46
Untuk pembahasan yang terkait dengan masalah-masalah ini, lihat Dominick LaCapra, Writing History, Writing
Trauma (Baltimore: Johns Hopkins, 2001), khususnya bab 3, ‘Holocaust Testimonies: Attending to the Victim’s
Voice.’
22 John Roosa, Ayu Ratih dan Hilmar Farid
yang memalukan, misalnya. Tapi, eks-tapol ini terlalu berhati-hati dengan setiap
ucapannya. Apalagi, apa yang diceritakannya sering tidak sesuai dengan apa yang
dikatakan orang lain mengenainya. Seorang eks-tapol lain punya masalah unik: ia
mengaku pernah bertemu Jimmy Carter di Pulau Buru. Padahal jelas, presiden Amerika
Serikat ini tidak pernah berkunjung ke pulau itu. Orang ini sebenarnya sangat menarik
dan cukup rasional, tapi seperti yang diakui teman-temannya, ia kadang begitu larut
dalam fantasinya sendiri. Ada juga seorang eks-tapol lain yang begitu sulit
mengungkapkan pikiran dan pengalamannya secara lisan. Saat bicara dengannya dalam
pertemuan pertama, si pewawancara menyadari bahwa orang ini begitu menderita
sehingga menjadi tidak berdaya dan tidak utuh lagi sebagai manusia.
Pembaca buku ini perlu menyadari bahwa 260 orang yang kami wawancarai adalah
orang-orang yang masih ‘beruntung’: mereka adalah korban yang selamat dari
pembunuhan massal, tetap bertahan waras, dan punya rasa kemanusiaan setelah belasan
tahun mendekam di penjara, atau setelah puluhan tahun mengalami diskriminasi sosial
dan politik sebagai anggota keluarga tapol. Mereka tetap bisa bicara mengenai
pengalaman mereka yang seringkali begitu pahit dan memilukan, dan dengan berani
menyepakati untuk direkam wawancaranya.
Penulisan
Tulisan-tulisan dalam buku ini dibuat oleh tujuh peneliti yang melakukan wawancara
dengan korban. Topik yang mereka pilih mencakup sejumlah tema penting yang muncul
dari hasil wawancara. Saat memulai penelitian, tidak terbersit rencana bahwa keenam
topik inilah yang akan ditulis. Tentu saja ini bukan kumpulan tulisan yang ‘lengkap’
mengenai sejarah para korban. Masih banyak topik lain yang pantas dan perlu ditulis.
Tapi, keenam tulisan ini adalah topik yang menarik bagi para peneliti. Topik lain yang
sayangnya tidak dapat dimasukkan dalam kumpulan ini adalah tentang bantuan bagi
para tapol yang diterima dari orang-orang di luar penjara. Di samping menerima
kunjungan keluarga, para tapol juga sering didatangi para relawan, yang karena rasa
kemanusiaan, membawakan makanan dan kebutuhan lain bagi para tapol. Karena kami
adalah bagian dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan, kami menganggap cerita mereka
adalah cerita kami juga. Kami berharap suatu saat dapat menuliskan kekayaan
pengalaman pendahulu kami.
Pembaca akan melihat bahwa ada dua jenis tulisan dalam kumpulan ini. Tiga tulisan
menganalisis sebuah kejadian atau proses sejarah, sementara tiga lainnya berbicara
tentang perasaan pribadi dan perspektif para korban. Jenis tulisan pertama menekuni
saat tertentu dalam sejarah hidup para korban, sementara satunya berbicara mengenai
sejarah hidup para korban secara menyeluruh. Jenis pertama disusun berdasarkan logika
analisis historis; pembaca tidak mendapat keterangan banyak tentang orang yang
diwawancarai. Jenis kedua disusun berdasarkan urutan waktu pengalaman korban
sendiri; dan pembaca akan bersentuhan dengan relung kehidupan mereka. Tulisan dari
Rinto T. Hasworo, Razif, dan André Liem dapat dikatakan sebagai analisis peristiwa
sejarah. Sementara, tulisan Josepha Sukartiningsih, Aquino W. Hayunta dan John Roosa,
serta Yayan Wiludiharto, adalah tulisan mengenai ingatan personal.
Pengantar 23
Dalam menyusun tulisan, setiap penulis menggunakan sejumlah besar kaset wawancara.
Tidak ada ruang cukup untuk mengutip semua wawancara yang digunakan dalam
penelitian. Dalam tulisan Rinto, misalnya, hanya ada 12 wawancara yang dikutip dari
sekitar 80 wawancara yang dilakukannya di Jawa Tengah. Semua wawancara ini berguna
dalam menyusun argumen yang dikemukakan dalam tulisan mereka, tapi hanya sebagian
saja yang kemudian dipilih untuk dikutip.
Dalam wawancara kami, kebanyakan korban ingin menantang ingatan sosial yang
menganggap mereka sebagai setan dan pengkhianat. Mereka ingin mengungkapkan cerita
yang memperlihatkan bahwa mereka adalah orang baik, bermartabat, dan patriotik,
yang kemudian dikorbankan. Mereka tetap merupakan bagian dari kelompok nasionalis
generasi Soekarno yang sejatinya ingin diterima oleh negeri yang telah menghukum dan
menyingkirkan mereka. Keinginan untuk tampil sebagai orang baik turut membentuk
cara mereka menceritakan pengalaman hidupnya. Buku ini tidak bermaksud
menampilkan mereka sebagai malaikat, karena mereka pun tidak ingin terlihat seperti
itu. Dalam buku ini, kami ingin menampilkan mereka sebagai manusia, yang tidak lebih
baik atau jelek dari manusia lain, yang tidak pantas diperlakukan seperti apa yang mereka
alami. Prinsip kami pun sederhana saja: tak seorang pun, terlepas dari latar belakang dan
masa lalunya, boleh diculik, disiksa, diperkosa, dipaksa kerja tanpa upah, ditembak mati,
dan dikubur dalam kuburan massal yang tersembunyi, atau ditahan tanpa batas waktu
atas alasan apa pun.
John Roosa
Ayu Ratih
Hilmar Farid
Menurut sejarah yang saya pelajari di sekolah, G-30-S adalah ledakan kekacauan dan
subversi yang kemudian berhasil ditangani dengan baik oleh Mayjen Soeharto. Proses
penggebukan terhadap G-30-S digambarkan sebagai tindakan pemulihan keamanan dan
ketertiban. Dan memang, sejak Oktober 1965, Soeharto diangkat menjadi pimpinan
Kopkamtib: Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Jika kita melihat relief pada
Monumen Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, jelas terlihat Soeharto berperan sebagai
penyelamat bangsa dari kekacauan total. Penjelasan umum mengatakan bahwa Soeharto
muncul sebagai penguasa untuk mengatasi G-30-S.
Bukan hanya pemerintahan Soeharto yang menyampaikan versi sejarah seperti ini.
Mereka yang disebut ‘Angkatan 66’ pun – anggota-anggotanya menempati posisi-posisi
berpengaruh di Indonesia sampai saat ini: pemimpin media, direktur pusat kesenian,
pengajar perguruan tinggi, pengacara dengan bayaran mahal, pemimpin lembaga
penelitian, dan seterusnya – berbicara mengenai kemunculan Soeharto ke kekuasaan
sebagai saat-saat kemenangan. Mereka mengatakan bahwa PKI itu jahat, dan Soekarno
adalah tiran yang membiarkan PKI tumbuh besar. Mereka melihat Soeharto yang
menindas G-30-S dan PKI sebagai sang pembebas. Menurut versi sejarah ini, Soeharto
baru belakangan menjadi diktator: kelahiran Orde Baru sendiri sungguh murni dan
indah.
Selama bertahun-tahun, tidak pernah saya pertanyakan penjelasan sejarah yang mereka
sampaikan. Saya juga tidak banyak memikirkan peristiwa 1965-66. Bagi saya, semuanya
terasa seperti cerita-cerita usang dari masa lalu. Setelah Soeharto mengundurkan diri
barulah saya sadari, kejadian-kejadian itu sebenarnya penuh kontroversi. Laporan di
media massa pun mulai mempertanyakan versi sejarah yang dibuat pemerintah.
Semakin saya pikirkan rangkaian peristiwa itu, semakin terasa tidak masuk akal versi pe-
merintah. Pertama, sejarah resmi dan media massa Orde Baru tidak pernah menggambar-
kan secara jelas bagaimana sesungguhnya PKI ‘dihancurkan’. Semuanya hanya menyebut
tentang serdadu dan orang sipil yang ‘menghancurkan’ PKI. Tapi apa arti istilah itu, tidak
pernah ada penjelasan. Baru kemudian saya tahu bahwa ratusan ribu orang dibunuh dan
ratusan ribu lainnya disekap di penjara selama bertahun-tahun, dalam rangka menumpas
G-30-S.
Saya tidak mengerti mengapa begitu banyak warga sipil harus menjadi korban untuk
mengatasi sebuah insiden yang hanya melibatkan beberapa ratus orang saja – dan
26 Rinto Tri Hasworo
kebanyakan dari mereka adalah tentara? Kenapa pasukan di bawah Soeharto dan para
pendukungnya di kalangan sipil harus menghantam ratusan ribu orang yang tidak punya
hubungan apa pun dengan G-30-S? Gerakan itu hanya bertahan selama sehari di Jakarta
dan beberapa hari di Jawa Tengah, sesudahnya dengan cepat dihentikan. Lalu, mengapa
orang di Jawa Timur, Bali, dan Sumatera juga ikut dibunuh dengan tuduhan terlibat G-
30-S? Mengapa pembunuhan itu terus berlangsung selama berbulan-bulan, lama setelah
G-30-S berakhir dan para pelakunya sudah ditangkap? Kenapa ratusan ribu orang perlu
dibunuh sebagai pembalasan atas tewasnya sepuluh perwira militer (delapan di Jakarta
dan dua di Jawa Tengah)?
Jika kita setuju semua orang yang terkait dengan PKI harus dihukum karena tindakan
beberapa pimpinan atau anggota, maka kita juga harus mendukung pembunuhan massal
terhadap semua anggota Golkar atas kejahatan yang dilakukan para pemimpinnya
semasa Orde Baru. Namun, setiap kali Golkar atau militer berhadapan dengan kasus
kejahatan yang melibatkan anggotanya, mereka mengatakan, ‘Oh, itu kan oknum.’
Kenapa mereka tidak menggunakan logika yang sama ketika menghantam PKI? Mengapa
sampai ada prinsip menghancurkan PKI sampai ke akar-akarnya?1 Mengapa penulisan
sejarah resmi tidak bicara apa pun tentang pembunuhan dan penangkapan massal ini?
Apa sesungguhnya yang ingin disembunyikan? Apakah mereka malu atas pembunuhan
yang mereka lakukan? Apakah dalam hati nuraninya sempat terbersit bahwa
pembunuhan itu salah? Mengapa rezim Soeharto, militer dan politisi elit Orde Baru,
selalu menghujat PKI dan Soekarno tanpa pernah menggambarkan kebiadaban yang
mereka sendiri lakukan?
Orde Baru tidak muncul sebagai bayi yang bersih dan murni. Kemunculannya didahului
peristiwa yang sangat berdarah. Sudah waktunya kita berpikir lebih hati-hati mengenai
apa yang sesungguhnya dimaksud dengan ‘penumpasan PKI’. Apalagi, serangan terhadap
PKI telah menyebabkan kehidupan banyak orang menjadi terjungkir-balik, hancur
berantakan.
Untuk mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi, pertama-tama kita harus berbicara
dengan mereka yang menjadi korbannya. Selama Orde Baru, cerita-cerita mereka tidak
mungkin ditampilkan. Sebaliknya, kita terus-menerus mendengar para pejabat pemerin-
tah dan tokoh-tokoh sipil lainnya berbicara tentang kekejaman PKI, bahkan sampai
membuat orang berpikir bahwa apa pun yang dikatakan seorang ‘PKI’ itu tidak ada
artinya, atau malah berbahaya. Sekalipun penguasa lewat sejarah resminya secara
sistematis selalu berusaha mengingkari apa yang pernah terjadi, tetapi penguasa lupa
bahwa tidak selamanya mereka dapat membendung suara-suara korban. Suara korban
akan tetap menggema sekalipun dihimpit oleh berbagai macam kebijakan yang berusaha
membungkam dan memenjarakannya.
Dalam penelitian ini, saya berbicara dengan sekitar delapan puluh eks-tapol di Jawa
Tengah, antara 2000 dan 2001. Dari cerita-cerita mereka, saya mencoba memetakan
pola-pola ‘pembasmian’ PKI. Seperti akan saya jabarkan lebih jauh di bagian tulisan
1
Mayjen. Soeharto menyerukan pada rakyat di Jawa Tengah pada 10 November 1965, agar ‘mempercepat
hancurnya G-30-S sampai pada ke akar-akarnya.’ Alex Dinuth, Dokumen Terpilih Sekitar G-30-S/PKI (Jakarta:
Intermasa, 1997), h. 137.
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 27
berikutnya, pemicu kekerasan fisik terhadap PKI adalah masuknya RPKAD (Resimen
Para Komando Angkatan Darat) ke Jawa Tengah pada pertengahan Oktober 1965.
Setelah kedatangan RPKAD-lah pasukan-pasukan tentara lain yang berbasis di propinsi
itu mulai menyerang PKI. Tentara menggalang milisi sipil, menculik orang secara acak
(termasuk banyak orang yang bukan PKI), menculik dan menyandera sanak-saudara
orang-orang yang dicari, memperkosa tahanan perempuan dan istri-istri para tahanan
lelaki, dan menyebabkan kematian banyak dari mereka yang ditahan.
saudara, bahkan menurut Angkatan Darat sendiri’ (cetak miring dalam teks asli).2
Salah satu alasan mengapa berita tentang G-30-S tidak serta-merta menyulut serangan
terhadap PKI adalah karena PKI saat itu dipandang sebagai partai politik biasa. PKI
bersaing, tapi juga bekerja sama dengan partai-partai lain; para wakilnya di DPRD
bekerja sama dengan wakil partai lain di dalam komisi; mereka mendukung konsep
Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis) 3 dari Soekarno, dan dengan demikian
menerima PNI dan NU sebagai anggota sah dalam pemerintahan nasional. Banyak
anggota PKI yang bersaudara dengan anggota partai lain; mereka bisa hidup
berdampingan dengan orang yang berbeda secara ideologi. Berita tentang G-30-S tidak
dengan sendirinya membuat orang melihat anggota PKI sebagai unsur berbahaya yang
harus dibunuh.
Alasan lainnya adalah karena pengaruh PKI dan ormas-ormas yang dekat dengan PKI
dalam kehidupan masyarakat, baik dalam bidang seni, budaya, pertanian, perburuhan,
dan sektor informal lainnya, begitu kuat. Partai atau ormas lain yang berbasis agama dan
nasionalis tidak memiliki keberanian untuk melakukan tindak kekerasan atau
melancarkan serangan terhadap PKI, anggota, maupun simpatisannya. Orang-orang
anti-PKI yang tergolong garis keras dan ingin menghantam PKI segera setelah kejadian
pun harus berpikir dua kali dan menimbang kemungkinan adanya serangan balik.
Faktor yang juga penting adalah tidak adanya jaminan bebas dari tuntutan hukum jika
melakukan penangkapan, penahanan, penyiksaan, pembunuhan, dan sikap sewenang-
wenang lainnya terhadap anggota dan simpatisan PKI. Di tubuh Kepolisian dan
Angkatan Darat sendiri ada sejumlah personil yang berpihak pada PKI atau setia kepada
Presiden Soekarno. Dalam beberapa minggu pertama Oktober 1965, masih ada upaya-
upaya dari pihak kepolisian maupun militer tingkat lokal untuk mencegah terjadinya
insiden kekerasan.4
Begitu RPKAD datang, situasi berubah drastis. Daerah-daerah yang awalnya tenteram
tiba-tiba menjadi sangat mencekam. Dengan kekuatan satu batalyon yang terdiri dari
beberapa kompi, RPKAD langsung dikirim dari Jakarta pada 17 Oktober 1965, dan tiba
2
Benedict Anderson dan Ruth McVey, A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia (Ithaca:
Cornell University Southeast Asia Program, 1971), h. 63.
3
Soekarno menggunakan konsep Nasakom untuk menggalang persatuan nasional di antara kekuatan-kekuatan
politik yang bersitegang di akhir 1950an. Soekarno percaya bahwa tiga aliran tersebut hidup di dalam masyarakat
Indonesia dan tidak mungkin mengabaikan satu sama lain. Konsep ini diilhami tulisan Soekarno sendiri yang
diterbitkan pada 1927, Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Untuk penjelasan lebih lanjut tentang Nasakom, lihat
Herb Feith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia, (Ithaca: Cornell University Press, 1962),
terutama bab XI Conclusion; Soekarno, Nationalism, Islam and Marxism, diterjemahkan oleh Karel H. Warouw
dan Peter D. Weldon, dengan kata pengantar dari Ruth T. McVey, (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project,
Translation Series, 1969); Soekarno, Nasakom Bersatu -- Nasakom Djiwaku!, (Djakarta: Departemen Penerangan,
1965), Pidato di Konperensi Petani, 20 Juli 1965.
4
Sejarawan Geoffrey Robinson mencatat, di Bali situasi berjaga-jaga tanpa ada serangan massal bertahan selama
dua bulan penuh setelah G-30-S, karena gubernur, pangdam, dan polisi lokal berusaha mencegah kekerasan. Ada
suasana ‘ketegangan yang terjaga’ antara kekuatan PKI dan anti-PKI, tapi sangat sedikit kasus-kasus pembunuhan
terjadi. Pembantaian massal baru dimulai setelah RPKAD masuk Bali pada awal Desember. Lihat artikelnya, ‘Post-
Coup Massacre in Bali,’ dalam Daniel Lev dan Ruth McVey, eds., Making Indonesia: Essays on Modern Indonesia
in Honor of George McT. Kahin (Ithaca: Cornell Southeast Asia Program, 1996), h. 129-138.
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 29
di Semarang pada 18 Oktober 1965, pukul 14.30 WIB, setelah bermalam di Desa Tanjung,
Kabupaten Brebes. Keesokan harinya, sekitar pukul 23.00 WIB, RPKAD langsung beraksi,
menangkapi orang-orang yang disinyalir menjadi anggota atau simpatisan PKI dan
diduga terlibat dalam peristiwa G-30-S, setelah sebelumnya melakukan unjuk kekuatan
keliling kota Semarang. Batalyon itu dipimpin langsung oleh komandan RPKAD,
Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.5
Operasi penangkapan yang dilakukan oleh RPKAD tidak hanya terjadi di Semarang,
melainkan juga di daerah-daerah Jawa Tengah lainnya. Semarang merupakan kota
pertama dimulainya operasi penangkapan terhadap mereka yang menjadi anggota atau
simpatisan PKI beserta ormas pendukungnya. Operasi RPKAD ini kemudian bergerak
meluas dan berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu propinsi ke propinsi
lain. Dalam operasi pertama di Jawa Tengah, misalnya, setelah Semarang, mereka
bergerak ke Magelang, Kudus, Demak, dan Jepara.
Kebanyakan korban, walau telah mengalami tekanan luar biasa, tidak akan lupa bahwa
tentara-lah yang mengawali serangan terhadap mereka. Penuturan Suparno di bawah ini
dengan gamblang menggambarkan bagaimana serangan tentara mulai dilancarkan di
daerahnya. Suparno pernah bekerja pada salah satu koperasi di Pati, Koperasi Garam
Rakyat, pada awal 1960an. Dia juga menjadi sukarelawan untuk pengambilalihan Irian
Barat dan konfrontasi dengan Malaysia. Menjelang 1965, Suparno menjadi anggota
organisasi kepemudaan, Pemuda Rakyat. Suparno ditangkap pada 10 November 1965.
Alasan penangkapannya, selain karena menjadi anggota Pemuda Rakyat, Suparno
dituduh berniat menggulingkan kepala desa. Dia sempat mengalami pembuangan ke
Pulau Buru selama sekitar enam tahun, setelah sebelumnya ditahan di kamp-kamp
penahanan di Pati dan singgah di Nusakambangan selama enam bulan pada 1971.
Pada tanggal empat bulan November itu tahun 1965 RPKAD mengadakan
manuver [maneuver] dan berhenti di kecamatan Juana dan di situ
mengadakan ceramah yang intinya menerangkan bahwa di Jakarta terjadi
ada pembunuhan jenderal-jenderal. Pada waktu itu saya juga ikut
mendengarkan dalam ceramahnya RPKAD itu, dengan beberapa teman,
banyak, dan masyarakat banyak, saya melihat di dalam truk itu ada teman
saya yang dari Jakenan yang bernama Trimo. Itu sudah ada di truk itu.
Hanya satu orang yang saya lihat itu. Dan waktu yang lain, yaitu setelah
tanggal empat itu, diadakan gerakan pembersihan. Pembersihan. Operasi di
daerah Juana itu pada tanggal delapan bulan sebelas, tahun 65. Jadi sebelum
RPKAD datang itu, persatuan dan kesatuan dari antara partai politik itu
masih bisa bermusyawarah, artinya itu masih bisa satu, satu pendapat jadi
tidak ada perpecahan apa-apa. Tapi setelah RPKAD itu datang, RPKAD
membentuk suatu kesatuan aksi pemuda dan pelajar yang disebut KAPPI
[Kesatuan Aksi Pemuda dan Pelajar Indonesia] dan KAMI [Kesatuan Aksi
Mahasiswa Indonesia]. Itu mengadakan gerakan, gerakan operasi
penangkapan terhadap yang apa dikatakan orang-orang PKI.
5
Feisal Tanjung, Terbaik untuk Rakyat Terbaik Bagi ABRI, 1999, h. 210. Feisal Tanjung saat itu adalah seorang
perwira RPKAD.
30 Rinto Tri Hasworo
Pada tanggal delapan atau sepuluh khusus bagi teman-teman dari golongan
PKI dan dari ormas-ormasnya dipanggil di kantor polisi dibriefing [diberi
petunjuk singkat]. Tapi briefing tersebut belum sampai tuntas telah datang
RPKAD dan Brimob [Brigade Mobil] bersenjata lengkap dalam keadaan
situasi perang. Jadi teman-teman itu sebagian ada yang dipanggil langsung
terus diangkut ke Pati … Dan saya pada tanggal sembilan malam itu
dipanggil oleh kepala desa, di situ ada beberapa orang atau banyak sekali
dari pasukan Brimob. Terus setelah itu saya diijinkan untuk kembali pulang,
dalam malam itu. Terus paginya disuruh saya diantarkan ke kantor polisi.
Setelah di kantor polisi beberapa lama, dan beberapa hari di kantor polisi,
saya dengan teman saya terus langsung dibawa ke Pati, di tempat kamp
penahanan di Gedung Baperki [Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan
Indonesia], sekolahan Baperki. Saya dikumpulkan di situ beberapa teman
dan dari beberapa daerah seluruh Kabupaten Pati. Dikumpulkan di situ,
sampai penuh. Pada tanggal 27 sampai tanggal 29 saya diperiksa.
Tuduhannya itu adalah kita dituduh akan merebut kepala desa. Padahal
kepala itu mbah (kakek) saya sendiri. Jadi kepala desa itu pernah mbah saya
sendiri. Jadi, mana mungkin saya merebut kekuasaannya mbah? Wong itu
mbah saya sendiri. Jadi, tuduhan itu adalah dibuat-buat, artinya itu
direkayasa.
Apa yang dialami Suparno hanyalah satu contoh kasus di mana alasan penangkapan dan
penahanan seseorang seringkali jauh kaitannya dengan peristiwa G-30-S dan sama sekali
tidak bisa diterima nalar. Para petugas pemeriksa tetap menggunakan tuduhan yang tidak
masuk akal sehat tersebut sebagai alasan. Sebab, bukanlah kebenaran sejati yang ingin
mereka peroleh dari jawaban para tapol, melainkan jawaban yang sesuai dengan
keinginan mereka. Tidak jarang, tuduhan digunakan sebagai pengantar untuk melakukan
tindak kekerasan terhadap para tapol: yang dicari para petugas pemeriksa adalah alasan
untuk menangkap, menahan, memukul, menendang, menyetrum, bahkan membunuh
para tahanan. Tuduhan memang ada, tapi tidak menjadi hal substantif dalam
penangkapan.
Cerita Mansur dari Rembang sekali lagi menggambarkan bagaimana proses perburuan
acak berlangsung di bawah pimpinan RPKAD. Mansur adalah eks-tapol dengan tradisi
beragama cukup kuat. Sebelum Masyumi dibubarkan, ia dan keluarganya menjadi
anggota partai tersebut. Karena hobi main ketoprak, Mansur tertarik bergabung dengan
perkumpulan kesenian ketoprak yang dikoordinir Bakoksi (Badan Koordinasi
Organisasi-Organisasi Ketoprak Seluruh Indonesia). Kegandrungannya pada seni
ketoprak sempat membuatnya batal naik haji pada pemberangkatan haji 1950an.
Padahal, kepergian Mansur untuk naik haji sudah lama dipersiapkan orang tuanya.
Bapak saya dulunya termasuk orang, ya bisa dikatakan sudah orang
termasuk orang partai, termasuk golongan SI, Sarekat Islam. Ini, ayah saya
SI, Sarekat Islam pada waktu itu… Sebetulnya, lha ini, sebelum saya
ngetoprak (main ketoprak) itu – ya memang tadi santri ya – saya ikut pada
waktu itu dalam Partai Masyumi di sini. Termasuk di Sodetan ini partai yang
terkenal pada waktu itu ya Masyumi. Juga partai yang terbesar di Sodetan
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 31
sini. Ada dua yang terbesar, Masyumi dan PKI pada waktu itu. Tapi pada
waktu itu saya Masyumi ya, ketuanya Gus Fud, sekretarisnya Ridwan, ini
dari Masyumi… Setelah itu saya, karena di ketoprak, ya tidak membawa arti
partai atau politik atau apa, pokoknya ngetoprak saja pada waktu itu. Ha,
lantas tahun 50 merantau, merantau, satu tahun itu, lantas dikawinkan.
Mertua saya orang Masyumi pada waktu itu.
Karena tidak ada rasa cinta dalam arti suami isteri… kira-kira ada enam
bulan atau tujuh bulan cerai pada waktu itu. Ini saya menjadi duda pada
waktu itu ya, tapi masih ngetoprak ini. Masih ngetoprak … Ha, organisasinya
ya, Langen Sedio Rukun namanya. Di Lasem. Tapi kalo pada waktu itu
memang banyak ketoprak. Ketoprak itu yang isinya itu sudah ya
diorganisasi. Dari naungan Bakoksi tadi, ada Rukun Santoso, dan Cahyo
Mudo, dan sebagainya, banyak itu.
Lantas ada kejadian, istilahnya itu peristiwa G-30-S. Nah, ini. Tapi saya
sudah kawin, yang menurut dari hati saya sendiri. Dengan isteri saya itu,
sampai saya punya anak pada waktu itu. Jadi kejadian ada peristiwa G-30-S
itu saya sudah kembali lagi di Lasem, tidak merantau-merantau … Mulai
operasi setelah satu bulan terjadi G-30-S itu tadi, wah sudah mulai itu. Saya
diwajibkan lapor pada waktu itu. Istilahnya wajib lapor itu diminta
keterangannya kan begitu, kan saya wajib lapor. Pada waktu Dandis-nya
[Komandan Distrik] di Lasem ini Dariyo namanya. Pak Dariyo kepala
polisinya, namanya Pak Dariyo pada waktu itu. Iya saya ya wajib lapor pada
waktu itu. Tahu-tahu lantas wajib lapor karena ada gerakan yang besar-besar
itu ndak pulang terus langsung dikirim ke Lembaga Rembang itu…
Wah, massa pada waktu itu ya ada yang mimpin pada waktu itu istilahnya.
Tapi, pada waktu itu otomatis yang menggerakkan, yang menggerakkan itu,
ya sedikitpun itu musti pakai nama atau pakai gelar RPKAD. Begitu pada
waktu itu. Asal muni (mengucapkan) ada RPKAD sudah, massa itu seolah-
olah ya bisa dikatakan membabi-buta. Jadi setelah ada RPKAD itu seolah-
olah ya itu tadi, sudah massa itu merusak apapun. Tapi bisa kita ketahui,
mengrusak itu tidak hanya merusak saja, ya ada yang menggunakan
kesempatan mengambil harta bendanya orang, apa itu ya jarah rayah.
Dari kesaksian Mansur tampak jelas, ruang-ruang untuk melakukan tindakan apa pun
memang sengaja diciptakan. Massa menjadi beringas begitu merasa ada dalam payung
RPKAD. Inilah yang kemudian menjadikan massa tidak hanya berfungsi sebagai mesin
penangkap, melainkan juga sebagai mesin pembunuh.
melarikan diri. Mereka tidak membayangkan suatu saat akan ditangkap tanpa tuduhan
(kecuali tuduhan serampangan ‘terlibat G-30-S’) dan ditahan selama bertahun-tahun
tanpa pengadilan. Umumnya, orang yang menjadi sasaran penangkapan mencoba
bekerja sama dengan polisi dan militer dengan harapan nama-nama mereka akan
dibersihkan dan kemudian dilepas.
Mungkin satu-satunya tempat terjadinya perlawanan terhadap RPKAD adalah Klaten.
Setelah mendengar apa yang dilakukan RPKAD di Semarang dan pantai utara Jawa
Tengah, para aktivis di Klaten menghimpun diri untuk mencegah pasukan ‘baret merah’
itu memasuki wilayah mereka.6 Saya berbicara dengan mantan pengurus SOBSI (Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia)di Tegalgondo, Klaten, yang bernama Winata.
Demikian ia menggambarkan perlawanan kaum buruh Klaten:
Menjelang pada tahun 65, aktivitas saya sendiri sudah beralih ke Jawa
Tengah. Jadi ya mulai tahun 65, saya agitasi (mobilisasi orang) ke Pekalongan
tiga bulan, konsolidasi tugas buruh SOBSI. Selesai tiga bulan, pulang. Di
rumah satu minggu, dikirim ke Purwokerto. Kira-kira baru mendapatkan
setengah bulan di Purwokerto, kejadian di Jakarta itu. Jadi saya di
Purwokerto itu. Lantas, ‘Gimana ini?’ Tapi saya punya firasat bahwa sudah
ndak enak itu. Firasat saya, ‘Gimana ini?’ Saya kurang lebih masih bertahan
satu minggu. Kawan-kawan di sana sudah banyak trauma, panik. Lebih baik
saya pulang. Saya pulang. Pulang ke rumah, terus saya laporan ke Semarang.
Laporan ke Semarang, sudah bulan Oktober sampai di Semarang, RPKAD
sudah sampai di Semarang machtsvertoon (pawai), mubeng-mubeng
(berputar-putar) di kota Semarang itu. Lantas saya kembali ke rumah dalam
keadaan stand by (bersiaga).
Nah, kita mengadakan satu protes. Protes. Tapi sudah tidak dihiraukan lagi
oleh kekuasaan Soeharto. Protes-protes itu sampai kita mengadakan
pemogokan. Pemogokan kaum buruh, misalnya di Delanggu pabrik karung
Delanggu, kereta api, di Serikat Buruh Gula. Jadi mulai dari Tegalgondo
sampai di Delanggu sebelah sana pohon-pohon di tepi jalan itu kan
ditebangi, gerakan tebangan-tebangan. Ya untuk merintangi RPKAD-
RPKAD itu. Untuk memperlambat gerakan. Dengan itu juga sampai adanya
gerakan protes-protes, gerakan pemogokan kaum buruh tadi ya bersamaan.
Nah, gerakan-gerakan pada waktu itu, ya sampai ada isu, entah itu soal
benar atau tidak, akan mengadakan satu serangan umum, begitu. Tapi
akhirnya nggak ada apa-apa, jadi keadaan kita sudah terputus-putus, sudah
ndak ada hubungan secara langsung. Instruksi secara langsung itu ndak ada.
Jadi kalau ada begitu ya sudah, terus adakan satu persiapan, begitu saja.
Dengan demikian akhirnya kesemuanya itu bisa dipatahkan. Akhirnya kita
diadakan suatu penangkapan-penangkapan dan ada satu pengejaran-
pengejaran. Nah mulai itu, sudah mulai ada satu pembunuhan-
pembunuhan. Jadi setelah selesai itu, artinya telah ada penebangan-
6
Jurnalis Amerika, John Hughes, mencatat ‘ada keributan di wilayah Bojolali dan Klaten’ yang dimulai pada 22
Oktober 1965. Tapi, informasinya mengenai kejadian-kejadian itu berasal dari Angkatan Darat. Indonesian
Upheaval (New York, Fawcett, 1967), h. 132.
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 33
harapan, akan hidup sudah ndak ada harapan. Setelah itu lantas saya di
RPKAD situ mau dipindah ke Klaten. Mau dipindah ke Klaten sebab RPKAD
mau akan kembali ke Jakarta. Suasananya pada waktu itu memang
mengkhawatirkan. Dikirim ke Klaten itu kalau ndak keliru pada bulan akhir
Januari atau awal Februari itu ke Klaten. Kita mampir di Delanggu itu, di
kantor polisi itu satu malam, paginya terus diangkat ke Kodim. Di Kodim
kita diinterogasi supaya membikin pernyataan dalam surat-surat tertulis. Ya
musti saja saya nggak mau terus terang soal itu. Ya, misalnya kita dengan
alasan, saya nggak kenal masalah penebangan.
Winata menduga ia dan saudaranya akan dieksekusi di dalam tahanan. Sekitar 26 Maret
1966, tengah malam, 15 orang tapol, termasuk Winata dan kakaknya, dipanggil dan
dikumpulkan. Dia masuk dalam kelompok 4, sedangkan sang kakak masuk dalam
kelompok 11. Tengah malam itu adalah terakhir kali Winata bertemu dengan kakaknya.
Tak satu orang pun dari kelompok 11 kembali setelah peristiwa itu. Winata yakin, kakak
dan rekan-rekannya telah dibunuh. Ia sendiri baru dibebaskan dari tahanan tujuh tahun
kemudian, yaitu pada Oktober 1972.
Mobilisasi Massa
Aktivitas penangkapan dan pembunuhan bukan monopoli aparat keamanan. Warga sipil
anggota sejumlah organisasi massa, seperti Ansor dan Pemuda Marhaen, juga terlibat.
Hubungan tentara dengan milisi sipil cukup kompleks dan bervariasi dari satu daerah ke
daerah lain. Dalam menganalisis kekerasan 1965-66, selalu sulit menentukan apakah
tentara atau milisi yang harus disebut sebagai agen utama kekerasan. Para pejabat dalam
rezim Soeharto dalam beberapa kesempatan mengakui telah terjadi kekerasan massal.
Menurut mereka, pelakunya adalah masyarakat yang mengamuk. Tetapi, dari berbagai
literatur yang saya baca dan wawancara yang saya lakukan, saya percaya bahwa tentara-
lah yang paling bertanggung jawab atas tindak kekerasan massa tersebut. Kelompok-
kelompok milisi bertindak atas kemauan sendiri karena terprovokasi oleh propaganda
tentara yang disebarkan melalui berbagai media massa (seperti cerita rekayasa tentang
mutilasi alat kelamin dan pencungkilan mata para jenderal). Tentara juga memobilisir
masyarakat melalui sejumlah demonstrasi (seperti yang diceritakan Suparno di Juana).
Mereka melatih dan secara langsung mendorong kelompok-kelompok milisi di Jawa
Tengah untuk mencari dan membunuh orang-orang yang dianggap komunis. Sarwo
Edhie terang-terangan mengakui Angkatan Darat berada di belakang gerombolan sipil
itu: ‘Kami memutuskan untuk mendorong kaum sipil anti-komunis membantu pekerjaan
ini… Kami melatih mereka dua atau tiga hari, lalu mengirim mereka untuk membunuh
orang Komunis.’7 Tentara menunjukkan dengan jelas kepada milisi bahwa mereka bebas
7
Hughes, Indonesian Upheaval, h. 132. Kedutaan Besar Amerika Serikat menyampaikan laporan dalam bentuk
telegram ke Washington bahwa Angkatan Darat, atas perintah Soeharto dan Nasution, ‘mendorong kelompok-
kelompok agama mengambil tindakan politik yang akan didukung Angkatan Darat.’ Kedutaan Besar AS kepada
Departemen Luar Negeri, 9 Oktober 1965. Dalam telegram lain dilaporkan: ‘Di Jawa Tengah, Angkatan Darat
(RPKAD) melatih kelompok pemuda Islam dan memberikan senjata, serta akan mengirim mereka untuk
menghadapi PKI. Angkatan Darat akan sejauh mungkin menghindari konfrontasi langsung dengan PKI…
Angkatan Darat membiarkan kelompok lain di luar mereka mendiskreditkan PKI dan menuntut agar mereka
dihukum.’ Kedutaan Besar AS kepada Departemen Luar Negeri, 4 November 1965. Kedua kawat ini dikutip dalam
Geoffrey Robinson, ‘The Post-Coup Massacre in Bali,’ h. 127.
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 35
menculik dan membunuh orang tanpa perlu khawatir akan ditangkap aparat negara
karena telah melakukan tindakan kriminal. Sepanjang pengetahuan saya, tak satu warga
sipil pun (atau anggota militer) yang pernah diadili untuk tindakannya membunuh
orang-orang yang dianggap komunis.
Dengan dukungan tentara, kelompok-kelompok milisi pada saat itu memiliki semacam
kekebalan hukum untuk merampok, memperkosa, dan membunuh siapa saja yang
mereka inginkan. Para pelaku penangkapan mempunyai kebebasan untuk berimprovisasi
dalam menentukan sasaran, juga kondisi orang saat ditangkap: hidup atau mati. Tak
jarang, sentimen pribadi mewarnai operasi penangkapan oleh massa yang berujung pada
pembunuhan. Sekedar terlihat dekat dan akrab dengan PKI pun bisa membuat seseorang
menjadi target penangkapan.
Korban sendiri tidak tahu banyak bagaimana milisi dan militer bekerja sama. Apa yang
mereka saksikan, seperti dinyatakan di bagian sebelumnya, adalah: milisi baru mulai
melakukan tindakan kekerasan setelah mereka mendapat perlindungan dan dukungan
dari tentara, khususnya RPKAD. Sujoko dari Jatinom, Klaten, bercerita pada saya
tentang sebuah ‘pertempuran’ antara anggota Pemuda Rakyat melawan kelompok milisi
anti-PKI yang terjadi di dekat rumahnya. Kelompok Pemuda Rakyat ‘memenangkan’
pertempuran itu, tapi kemudian milisi anti-PKI kembali dengan dikawal tentara dan
dilengkapi senjata api. Ketika anggota Pemuda Rakyat melarikan diri, kelompok milisi
menyerang orang-orang di kampung Sujoko karena dianggap mendukung PKI. Rumah
Sujoko dibakar habis dan ayahnya dibunuh. Ayah Sujoko yang berprofesi dalang,
menjadi korban karena pernah meminjamkan peralatan pertunjukan wayangnya pada
PKI.
Bapak saya ini menjadi korban G-30-S/PKI. Tapi di sini akan saya ceritakan,
bahwa sebetulnya dalam struktur keorganisasian PKI, bapak saya ini tidak
punya kedudukan. Cuma, kebetulan ayah saya itu dulu bisa dibilang orang
terkaya di Jatinom. Karena kekayaan orangtua saya hasil daripada
mendalang, jadi, otomatis bapak saya punya segala macam fasilitas yang
pada saat itu dibutuhkan oleh Partai PKI, antara lain di bidang kesenian.
Sebab bapak saya ini punya lampu petromaks, yang pada saat itu lampu
petromaks itu di satu kelurahan masih bisa dihitung, tidak lebih dari dua
orang yang punya ... Kedua, bapak saya punya gamelan dan pengeras suara,
juga bapak saya punya tonil wayang orang plus dandanan wayang orang.
Lha, kebetulan PKI itu kalau kerja apa-apa, misalnya pada saat itu ulang
tahun PKI, pada saat itu 17 Agustus dan hari besar Buruh Tani, pada saat itu
tanggal 1 Mei, kalau nggak salah, itu PKI membutuhkan apa yang bapak saya
punya dipinjam untuk satu pentas pertunjukan.
Nah, akhirnya pada hari Selasa Legi pagi, itu ada orang dari kelurahan, itu
disuruh oleh Kepala Desa katanya. Orang dari Manjungan, namanya Dirgo.
Itu jemput bapak saya dengan membawa surat, dan membawa surat, yang
isi suratnya: ‘Bapak dimohon datang ke Kelurahan Manjungan dalam
rangka rembug (berunding) masalah Bamudes [Badan Musyawarah Desa].’
Itu dan suratnya juga saya lihat pada saat hari Selasa Legi … Tahunnya itu
tahun Wawu dulu, 1965. Itu tanggalnya 28 bulannya Bakda Mulud (Hari
36 Rinto Tri Hasworo
Raya Maulud Nabi). Itu kebetulan ibu saya tidak ada di rumah. Bapak saya
bilang, ‘Saya mau ke kelurahan, nanti kalau ibumu datang, kamu bilang saja
kalau saya ke kelurahan.’ Bapak naik sepeda, bapak pakai sepedanya sendiri,
dan yang jemput itu dipinjami sepeda, sepedanya mbakyu (kakak
perempuan) saya.
Lalu saya ikut nguntabke (melepas) bapak, memandang bapak. Oleh karena
di sebelah timur desa ini bulak panjang (tanah lapang), tanah luas, saya
melihat bapak sampai bapak itu hilang dari pandangan saya. Itu kira-kira
jam sembilan pagi. Lalu, jam 10, jam 11 itu, nggak tahunya pemuda dari
kidul (selatan) kali itu terdiri Nasional, Agama, pemuda dari lor (utara) kali
itu Pemuda Rakyat, itu sudah therek (berbaris) di pinggir kali ini, mau
mengadakan pertempuran besar. Iya. Itu kali di depan saya itu, bukan kali
jurang. Itu namanya Kali Bajingan, namanya Kali Bajingan. Itu sepanjang
kali itu, yang sebelah utara kali Pemuda Rakyat, yang sebelah kidul kali ini
Pemuda Ansor, Pemuda Marhaen.
Itu baru cara (bahasa) wayangnya masih sumbar-sumbaran (adu mulut)
gitu, lho. Itu sekitar jam 11, 12, setengah 12. Saya juga ikut pakai kathok
cendhak (celana pendek), pakai kaos sport (olahraga). Saya lihat. Lalu terjadi
pertempuran. Puncaknya pertempuran itu sekitar jam setengah satu. Pakai
ketapel itu, lalu yang untuk pelurunya itu tidak hanya kerikil batu, tapi
potongan besi cor itu lho, besi baja potong-potong, pakai geranggang
(bambu runcing), pakai sabit. Lalu jam satu itu Pemuda Ansor, Agama,
dengan Marhaen ini mundur dari pertempuran. Otomatis Pemuda Rakyat
ini bisa menguasai daerah selatan kali. Terjadi anu, pesta kemenangan.
Karena di perempatan sebelah baratnya rumah saya itu markas
pertempurannya. Itu ada dikirim oleh ibu-ibu pedesaan. Dikirim, ada
gemblong (penganan dari tepung ketan yang digoreng dan bersalut gula
jawa), jadah (penganan dari ketan putih, uli). Iya, ada nasi. Minumnya itu
ada air, ada wedang (minuman hangat), wah senang-senang di situ.
Lalu let (selisih) sebentar, itu ada satu truk datang, polisi dari Polsek Jatinom.
Dulu namanya belum Polsek, distrik apa, apa itu dulu? Itu naik truk. Kira-
kira polisinya cuma ada lima orang. Lalu polisi itu mengadakan tembakan,
tembakan peringatan itu dan polisi itu bengak-bengok (teriak-teriak),
orang-orang itu suruh bubar. Semua bubar, semua bubar, polisi juga. Itu
agak tergesa-gesa, polisinya juga takut ngelihat massa yang sampai ribuan.
Polisinya pergi, saya itu duduk-duduk di depan rumah saya. Tidak tahunya
dari sebelah timur, itu ada bendera RPKAD. Ada bendera RPKAD. RPKAD-
nya di belakang, tapi yang di depan itu massa. Massa dari Agama. Dia
takbiran, ‘Allahu Akbar,’ gitu. Nah, ini nembaki ngalor (ke arah utara),
nembaki arah orang PKI. Wah semua lari tunggang-langgang, termasuk
saya. Lalu let satu jam kemudian saya lihat di sebelah selatan itu, Dik, ada
asap tebal. Nah saya dibilangi Pak Ndoyo, ‘Le (Nak) kamu jangan nangis.
Wah rumahmu dibakar.’ Saya langsung nangis.
Nah lalu, ganti mbok (ibu) saya memikirkan nasib bapak saya. Nah saat itu,
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 37
kurang lebih satu minggu kemudian ibu saya menyarter dokar, dulu belum
ada mobil. Si mbok sama anak-anaknya itu disuruh naik, itu ke Kodim, ke
Kodim itu sampai tiga hari. Tiga pagi berturut-turut, itu masih bisa ketemu
sama tentaranya, memberikan jawaban. Itu mengatakan gini:
‘Kamu nyari suaminya?’
‘Inggih (ya) Pak.’
‘Kalau nyari suaminya, sana! Tanya sama algojo-algojo itu, sudah
membunuh suami kamu belum?’
Nah itu, si mbok di situ nangis sama anak-anaknya, pulang. Pulang. Lha,
sampai kira-kira dua bulan, ibu saya ini belum dengar ceritanya bapak saya
itu nasibnya bagaimana. Itu belum dengar. Setelah kurang lebih dua bulan,
ada seorang perempuan ibu-ibu, itu temannya mbok saya, rumahnya
Manjungan, itu memberikan kabar bahwa bapak sudah dibunuh, dibunuh
ramai-ramai di Mlandang. Lha nggak tahunya bapak pada hari Selasa Legi
sampai di kelurahan, itu nggak tahunya bapak itu dikroyok sama massa,
dibunuh ramai-ramai, massa dari Tempur Sari.
Pada waktu kejadian, Sujoko masih duduk di bangku SD kelas enam. Ketika ujian
kelulusan SD, oleh gurunya ia dipanggil ke ruang guru. Di ruangan itu, ia dipukuli oleh
guru-gurunya dengan tangan kosong dan penggaris karena dianggap sebagai anak
seorang PKI.
Terbukanya situasi untuk melakukan segala bentuk kekerasan memungkinkan siapa pun
memanfaatkan situasi tersebut. Bayangkan saja jika setiap orang dapat menentukan nasib
orang lain hanya karena keinginan memiliki harta, isteri, dan anaknya yang cantik; setiap
orang dapat saja kehilangan segala sesuatu yang dimilikinya, termasuk nyawanya sekali
pun, hanya karena ia menjadi anggota atau simpatisan PKI.
Tuduhan sebagai anggota atau simpatisan PKI merupakan hantu yang paling
menakutkan pada masa itu. Karena jika tuduhan PKI mengarah pada diri seseorang,
akibatnya sudah pasti terukur: setiap saat dapat ditangkap, ditahan, dibuang, atau
dibunuh. Setiap orang punya potensi untuk menjadi sasaran penangkapan; jangan lagi
mereka yang memang menjadi anggota atau simpatisan PKI, mereka yang mempunyai
hubungan pertemanan dengan seseorang yang menjadi anggota atau simpatisan PKI pun
akan merasa dan dianggap sebagai orang PKI.
Bahwa banyak masyarakat atau organisasi massa terlibat langsung dalam pembunuhan
massal anggota atau simpatisan PKI beserta ormas pendukungnya, itu memang tidak bisa
dihindari sejarah. Namun, haruslah diingat bahwa masyarakat atau organisasi massa
tidak bisa bertanggung jawab ‘sendirian’ terhadap peristiwa tersebut, karena massa
bergerak; menangkap dan membunuh, tidaklah sendirian. Ada sebuah sistem dan
kebijakan yang menggerakkan massa. Ada sebuah ruang yang memungkinkan
masyarakat berbuat sadis. Ada bentuk-bentuk dukungan riil terhadap masyarakat untuk
melakukan kekejaman dengan skala yang begitu luas. Tanpa ada penciptaan ruang
sedemikian luas untuk melakukan segala bentuk kekerasan, rasanya sulit diterima nalar
bahwa dalam tempo bersamaan, secara tiba-tiba, rakyat menjadi pembunuh sesamanya
38 Rinto Tri Hasworo
menangkapnya.
Sebelum saya tertangkap, itu kalau kondisi untuk Kecamatan Kota Klaten,
dan tempat saya, itu kondisinya ndak ada apa-apa itu. Ndak ada apa-apa,
baik. Tapi, setelah tiga bulan, Batalyon E masuk, Batalyon F masuk, RPKAD,
ya ini GPII [Gerakan Pemuda Islam Indonesia] dan lain sebagainya,
kemudian Pemuda Ansor, Pemuda Nasionalis baru bergerak. Jadi karena
payungnya belakang militer itu umumnya, umumnya, payungnya belakang.
Jadi kalau tanpa militer di belakang dia juga itung-itung, nggak berani.
Saya tahu, ‘Lha ini kok ada pengejaran macam ini.’ Saya keluar rumah,
bablas (lari). Sudah dibuntut, kejar. Ya sudah, mau gimana lagi. Saya lari
rumah ya pontang-panting. Ha, rumah saya mau dibakar, tapi dielingke
(diingatkan) sama tetangga waktu itu, ‘Jangan. Ini bukan rumahnya itu, ini
rumahnya mertua.’ Ha ndak jadi dibakar.
Yang namanya linggis, geranggang (bambu runcing), pukulan, itu entah,
pada waktu itu saya ndak tahu. Saya ndak kroso (tidak merasakan), terakhir
itu pedang. Nah saya kena pedang, kaki sama kepala, jatuh. Saya ketahuan,
ponakan saya massa Marhaenis, ‘Ini Pak Cilik to iki (Paman kah ini)?’ Saya
ditulung (ditolong) waktu itu, dipikul, masukkan, naikkan truk, terus
penjara.
Terus terang aja, dulu itu ada dua massa saling berebutan. Massa agamais
dan massa Front Marhaenis, dulu. Ini saling rebutan. Nah yang nganu saya
itu massa agama, yang ngremuk (meremukkan) saya. Itu massa drop-
dropan. Drop. Jadi satu kampung misalkan, itu bisa didrop dari kampung
sini, kampung sana. Jadi satu. Itu modelnya. Ya nggak bisa lari. Saya
dikabarkan sudah mati, dulu, ‘Wah Pak Suprapto wis mati nang kono,
dikepruki wong.’ (Wah, Pak Suprapto sudah mati di sana, dipukuli orang.)
Tapi kenyataan masih hidup. Dulu itu rusuh kok. Rusuh. Rusuhnya gini,
kalau hukum rimba itu ada lima unsur kalau nggak salah, ‘obong omahe,
pateni sing duwe, pek bojone, rayah bandane (bakar rumahnya, bunuh
pemiliknya, ambil isterinya, jarah hartanya).’
Sering terjadi, dalam melakukan penangkapan, massa yang dikerahkan tidak berasal dari
daerah yang sama dengan orang yang menjadi sasaran penangkapan. Kelompok yang
melakukan penangkapan biasanya gabungan masyarakat dari beberapa desa yang telah
diorganisir rapi. Sebab, penangkapan terhadap orang-orang ‘kiri’ yang berbasis massa
besar di tiap-tiap desa tidak akan berlangsung efektif jika hanya mengandalkan kekuatan
satu desa. Sementara itu, peran warga lokal adalah sebagai algojo atau penunjuk siapa-
siapa saja warganya yang harus ditangkap atau dibunuh.
Penangkapan Sewenang-wenang
Semua eks-tapol yang saya temui masih memendam kebingungan tentang alasan
penangkapan mereka. Namun, pada saat itu siapa yang berani bertanya kepada para
penguasa: ‘Kenapa saya ditangkap? Apa alasan saya ditangkap?’ Istilah pembelaan tidak
pernah dilekatkan pada diri tapol. Sedangkan menjawab secara jujur pertanyaan yang
40 Rinto Tri Hasworo
diajukan pemeriksa saja, nyawa bisa melayang. Siapa pun orangnya, atau apa pun
kekuatan yang ia miliki, ketika telah dinyatakan sebagai anggota atau simpatisan PKI, ia
tidak akan mampu menganulir tuduhan tersebut.
Jangan dibayangkan bahwa setelah ditunjuk kemudian dilakukan pengecekan ulang untuk
membuktikan benar-tidaknya orang tersebut anggota atau simpatisan PKI. Pada saat itu,
ujung jari telunjuk sangat menentukan nasib seseorang. Begitu ujung jari telunjuk orang
mengarah kepada kita dan mengatakan bahwa kita adalah PKI, serta-merta massa akan
mengejar, menangkap, bahkan membunuh, tanpa memberi ruang untuk menjelaskan
siapa kita sebenarnya, apalagi membela diri.
Kesaksian Yahya dari Bawen, Semarang, menggambarkan bagaimana sembarangannya
proses penangkapan pada saat itu. Yahya adalah anggota PNI yang waktu itu berprofesi
sebagai tukang cukur. Pada masa awal pemberlakuan Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA), Yahya duduk sebagai anggota Panitia Land Reform8 dari unsur PNI.
Saya pada waktu itu turut orang tua. Kerjanya tukang cukur, potong
rambut. Sebelum saya punya keluarga, saya nganu, suruh mengganti bapak
saya itu. Bapak saya sudah tua. Selesai itu, lama, lama, lama, terus saya
didekati oleh orang-orang, pada waktu itu ya orang-orang PNI, nah terus
suruh masuk warga PNI. Setelah itu terus saya masuk PNI. Setelah masuk
PNI, terus saya diambil menantu ketuanya PNI, namanya Pak Kamto, ketua
cabang Bawen. Ya kurang lebih tahun 64, saya ditunjuk mertua saya
mewakili dari panitia Land Reform poros Nasakom dari PNI, wakil PNI. Nah
terus, satu tahun terus saya ada huru-hara ramai-ramai itu. Saya tahu-tahu
dipanggil oleh polisi. Ada suratnya, saya diberi surat, dipanggil, suruh
datang ke kantor. Nah maksudnya, saya ndak tahu, ndak tanya. Saya datang
ke kantor, nah ngomongnya begini:
‘Sudah, duduk situ!’
‘Lha, maksudnya apa saya datang ke sini?’
‘Ya pokoknya duduk!’
Terus saya duduk. Nah, setelah duduk itu ya ndak ada yang ngomong-
ngomong dengan saya. Pokoknya duduk ya sendiri, sekalipun kawannya
banyak di situ, di kantor polisi itu, tapi saya nggak kenal ya toh. Karena ya
orang satu kecamatan ya saya ndak kenal, pada waktu itu ada yang kenal ada
yang tidak. Karena yang satu kampung kenal, kalau yang nggak, ya nggak.
Terus truknya datang, yang akan mengangkut orang yang mau ditawan itu,
saya masih duduk. Ha, saya tidak merasa, bahwa saya itu bukan orang PKI,
ya to. Saya orang PNI.
‘Lha mengapa malah duduk di situ?’
‘Ya duduk sini.’
‘Sana lho, naik truk!’
8
Sebuah panitia yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 131 tahun 1961 untuk penyelenggaraan reformasi agraria
berkaitan dengan diundangkannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria (UUPA).
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 41
Istri Yahya sedang mengandung anak mereka yang ketiga ketika ia ditangkap. Setelah
beberapa bulan dalam penjara, anak yang dikandung tersebut lahir tanpa disaksikan
ayahnya. Yahya menerima kabar kelahiran anaknya dari seorang tetangga yang sedang
membesuk tapol lain.
Ketika dipanggil polisi, suruh datang ke kantor, anak saya dua, masih kecil-
kecil, umurnya kurang lebih satu tahun dengan satu setengah tahun. Isteri
saya dulu ya sehat pada waktu itu, sedang hamil hampir tiga bulan, hampir
tiga bulan. Terus saya ditawan itu hampir satu tahun. Hampir satu tahun itu,
ya mungkin enam bulan terus lahir itu, anak saya ketiga. Setelah itu, isteri
saya setelah melahirkan, karena kesibukan dalam membina anak tiga itu, ya
kerepotan atau apa. Dia cuci-cuci di kali. Setelah itu karena stres atau
bagaimana, saya ndak tahu, wong saya dalam tawanan ya. Ha terus terjun ke
42 Rinto Tri Hasworo
kali itu. Ha, terjunnya itu karena bunuh diri, atau bagaimana saya ndak
tahu prosesnya. Atau karena sakit, saya ndak tahu. Ha, tahu-tahu saya diberi
tahu dengan polisi:
‘Suruh datang ke kantor.’
‘Maksudnya apa?’
‘Supaya pulang sebentar.’
‘Ha, maksudnya apa disuruh pulang? Ya pulang terus atau pulang anu?’
‘Ya pokoknya nanti terserah itu, nanti petugas yang bawa Saudara nanti
pulang.’
Tahu-tahu sampai ke kantor polisi sini terus, ‘Itu keluarganya meninggal
dunia, supaya Saudara datang ke sana!’ Terus saya dikawal polisi dua. Setelah
itu ya saya menunggui isteri saya meninggal itu kan. Setelah itu ya saya terus
dibawa lagi ke penjara lagi.
Saya nggak diberi tahu kalau isteri saya melahirkan, begitu ... Pokoknya saya
datang ke rumah menengok isteri saya, sudah meninggal itu. Tanya orang ya
ndak berani, orang yang mau tanya saya, ndak berani, karena pada waktu itu
ya gawat memang ... Ha, karena lama ditinggal ibunya, yang menyusui ndak
ada. Bayinya ya terus ikut meninggal.
Yahya tidak pernah tahu pasti penyebab kematian isterinya. Sesungguhnya, ia ingin
bertanya pada tetangga-tetangganya: apakah isterinya meninggal karena terperosok ke
sungai atau bunuh diri karena tidak tahan menderita setelah sang suami ditahan?
Terbersit juga keinginan Yahya untuk menengok anaknya yang baru lahir. Ia ingin tahu: di
mana anaknya, bagaimana nasibnya, siapa yang merawatnya? Namun, semua
pertanyaan dan keinginan terpaksa disimpannya sendiri karena yakin, kalaupun
disampaikan, para tetangga tidak mungkin berani menjawab. Yang menghambat para
tetangga hanya satu: Yahya seorang tapol. Demikian juga ketika anaknya yang baru lahir
menyusul kematian ibunya, lagi-lagi Yahya harus bermain dengan dugaannya sendiri.
Dalam pikirannya, penyebab paling rasional atas kematian anaknya adalah karena tidak
ada yang merawat dengan baik.
Tindakan menjauh para tetangga bukan karena mereka takut pada Yahya, tapi pada efek
yang bisa jadi akan mereka terima seandainya berbicara dengan seorang tapol. Para
tetangga sadar betul, sangat mungkin mereka dikelompokkan dalam satuan yang sama:
anggota PKI, jika tampak mengenal, apalagi akrab, dengan orang-orang PKI. Pada waktu
itu, umum dijalankan prinsip: dengan saudara sekalipun, lebih baik pura-pura tidak
pernah kenal ketimbang di-PKI-kan.
Setelah menjalani pemeriksaan, Yahya dipindah ke Kamp Penahanan Salatiga. Ia semakin
tidak mengerti dengan seluruh penahanan ini: kenapa ia dikirim ke Salatiga? Ia juga tidak
tahu akan diapakan setelah sampai di sana: ‘Di Salatiga saya menginap selama empat
hari, Sabtu, Minggu, Senin, Selasa. Setelah menginap empat hari saya dipulangkan
sampai sekarang.’
Sekalipun sudah jelas Yahya adalah anggota PNI, ia tetap harus menjalani masa
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 43
puluh butir) satu hari. Kalau itu ndak begitu, ya bulgur (sejenis gandum).
Kalau nggak ada bulgur, niku (itu), tekat – beras tapi pake jagung, nasi
jagung.
Nggak ada diperiksa apa-apa. Kalau diperiksa sudah lama di sana, tahun
sewidak pitu (enampuluh tujuh) periksa, periksanya di sana. Saya itu ndak
bikin apa-apa ditanya kudu mengakoni (harus mengakui). Bagaimana? Wong
ndak ada. Saya itu bikin blumbang (lubang), ya ndak tau apa blumbang
bagaimana, bikinnya ada yang nggen (di tempat) saya. Tempat saya ada
sumur, sumur saja, sumur dari lepen (sungai). Tapi bikin blumbang itu ndak
tau.
Tanyanya, ‘Anggotanya apa?’ ‘Saya itu nggak pakai anggota, saya itu mung
(hanya) partisan, saya itu.’ Saya dulu bikin perbuatan gini-gini nggak, begitu.
Wonge (orangnya) saya itu, saya itu, kalau di sana itu main gebuk. Karepe
(maunya) bagaimana. Saya digebuki itu ndak kerasa, ndak apa-apa. Sudah,
saya kalau ngakoni (mengakui) ndak nyata nggih (ya) saya ndak mau. Saya
digebuki, saya satu minggu ndak bisa tangi (bangun).
Sudah, makannya didulang (disuapi). Obatnya itu suruh – daun sirih itu
direbus pakai air anget, dibegitu, terus ditepleki (dihaluskan), diwedaki
(dibalur) di punggung, terus kempes. Pukulnya pakai bambu. Bambu
perapatan (dibelah menjadi empat) itu. Nganti (hingga) remuk, yang mukuli
Tim itu. Sebagian kejaksaan, polisi. Ha sudah mati semua, yang meriksa itu
sudah mati semua, ada itu Pak Margono, sa’ niki bakul pit (sekarang
berdagang sepeda) di Purworejo.
Jika melihat sosok Wakijan, tentunya kita akan bertanya: ‘Apa standar yang digunakan
tentara dalam mengklasifikasi tapol?’ Wakijan yang tidak dapat baca-tulis serta tidak
dapat berbahasa Indonesia dengan lancar, menyandang Golongan B dan harus menjalani
pembuangan ke Pulau Buru.
Apa yang dialami Yahya dan Wakijan serta tapol-tapol lain menjelaskan pada kita bahwa
banyak penangkapan yang memang tidak didasari alasan yang logis dan sama sekali tak
bersangkut-paut dengan peristiwa G-30-S. Setiap orang dapat mengadukan orang lain
terlibat dalam peristiwa G-30-S, dan setiap orang dapat diajukan sebagai orang yang
terlibat dalam peristiwa G-30-S. Jika diberi ilustrasi mungkin seperti ini: ibaratnya kita
ada dalam sebuah barisan orang yang berdiri rapi, kemudian seseorang yang berdiri di
depan barisan melempar batu sambil teriak, ‘Yang kena batu ini berarti PKI!’ Siapa pun
dalam barisan pasti berpeluang terkena batu. Jika sudah terkena tuduhan, tidak seorang
pun kuasa menolak, dan tidak seorang pun mau dan mampu memberikan pertolongan,
karena mereka tidak berani menanggung risiko tercemar noda yang sama.
Dalam kasus Yahya dan Wakijan, penangkapan mereka dilakukan dengan cukup sopan.
Mereka tidak diculik secara paksa dan diseret ke penjara. Yahya dikirimi surat resmi yang
memintanya datang ke kantor polisi, sedang Wakijan diminta datang ke kecamatan.
Keduanya mematuhi panggilan tersebut karena yakin mereka tidak berbuat salah.
Namun, aparat negara memperlakukan mereka, sekaligus sebagai pengkhianat dan
kriminal. Pola penangkapan seperti ini umum terjadi. Pihak keamanan atau pamong desa
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 45
mengeluarkan surat pemanggilan resmi, tapi alasan dan tujuan pemanggilan tidak
disebutkan jelas. Namun, karena umumnya mereka yang dipanggil tidak apriori dan tidak
berpretensi apa-apa, mereka patuh memenuhi panggilan tersebut tanpa perasaan curiga
apalagi takut. Mereka sama sekali tidak membayangkan bahwa setelah hadir di tempat
yang sudah ditentukan, besar kemungkinan mereka tidak diperkenankan pulang karena
dituduh terlibat G-30-S.
Penyanderaan
Di samping pola-pola yang sudah disebut di atas, beberapa fakta menunjukkan adanya
praktek-praktek memancing keluar orang yang menjadi target penangkapan dengan
menyandera anggota keluarganya. Biasanya penyanderaan dilakukan jika korban tidak
atau sulit ditemukan, entah karena menyembunyikan diri atau memang sedang berada di
tempat lain. Yang menjadi sandera biasanya adalah anggota keluarga korban. Dengan
demikian, korban akan dengan sukarela menyerahkan diri untuk membebaskan orang
yang dikasihinya tersebut.
Salah seorang sandera dari keluarga korban yang sempat saya wawancarai adalah Ibu
Lasmini dari Purwodadi. Ibu Lasmini tidak pernah bersekolah. Sebagai anak tertua
dalam keluarga, ia harus membantu kedua orang tuanya, terutama dalam mengasuh
delapan orang adik-adiknya. Sekitar 1950an, tepat berumur 15 tahun, Ibu Lasmini
dijodohkan orang tuanya dengan seorang petani muda, Kusdi. Pada 1955, anak pertama
lahir, laki-laki, dan sampai dengan 1965, mereka sudah dikaruniai lima orang anak.
Ketika itu marak bertumbuhan partai-partai politik. Ibu Lasmini tidak tahu suaminya
berkecimpung dalam ormas atau partai yang mana. Yang ia tahu hanyalah bahwa
suaminya mengurus para petani. Ia teguh berpegang pada falsafah Jawa bahwa isteri yang
baik harus patuh pada suami, dan kewajiban isteri hanyalah mengurus rumah tangga dan
anak-anak.
Setelah peristiwa G-30-S, Kusdi menjadi target operasi tentara. Rumah mereka sempat
diobrak-abrik. Semua dokumen atau apa pun yang berupa kertas dibawa oleh tentara.
Karena saat dicari di rumahnya Kusdi tidak ada, sebagai gantinya para tentara membawa
Ibu Lasmini untuk dijadikan sandera sampai Kusdi berhasil ditangkap.
Kegiatane bapak ngurusi keluarga tani. Bapak di organisasi kula nggih setuju
mawon. Wong kula bagian teng ngomah, inggih setuju. Mboten napa-napa
kula riyin. Mendukung. … Tahun 65, mboten kelingan bulane, naliko
ditangkep niku kula enten ngomah. Nggih, onten ngomah kula dioyak-oyak
kaleh niku, ken nduduhke bapak teng pundi. Tapi wong kula mboten ngerti
lungane bapak nggih, kula nggih sanjang nek mboten ngerti, ngeten. Kula
sanjang nek mboten ngerti. Tetep kula ontene mung ditodong, bedhil nika
ndeyan, teng jeron ngomah. Sing nodong sing ngoyak kula niku wau. Sing
ngoyak nggih RPKAD-RPKAD niku, mbok menawi, wong ngangge kathah
plonteng-plonteng nika ndeyan. Kathah. Enten sing teng jawi, enten sing mlebet,
enten sing napa lah, kula ngantos ngires. Saumpamane kula cilik ati nggih, pun
ngglimpang dek naliko semanten nika … Nek kula ken nduduhke Pak Kusdi
niku, kula nggih mboten ngerti manggene, nggih wong niku kesah. Njur kula
46 Rinto Tri Hasworo
(Terakhir besuk bapak harinya Selasa Wage. Saya hari Rabunya ke sana, dia
sudah tidak ada. Saya ya tidak berani menanyakan yang macam-macam.
Saya tidak berani bertanya apa-apa. Setelah tahu tidak ada, saya ya segera
pulang. Saya ya sedih sekali. Karena anak masih kecil-kecil ditinggal
bapaknya, ya sedih sekali. Sedih, susah, apa-apa sudah tidak karuan lalu
tidak ada, ya sedih, kan?)
Setelah sang suami tidak ada, ‘hilang’ ketika ditahan, Ibu Lasmini harus menjalani hidup
sebagai seorang janda, ibu tunggal, membesarkan lima orang anaknya seorang diri.
Berita simpang siur mengenai tapol yang dibunuh dalam tahanan kerap ia dengar di jalan
dari para tetangga. Setelah mendengar berita tersebut, Ibu Lasmini sangat putus asa,
lebih-lebih ketika ia sampai di rumah. Ia selalu merenungi nasib suaminya. Untuk
menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya, Ibu Lasmini harus banting-tulang dan
menjual benda-benda yang ia miliki sampai habis, termasuk rumah dan tanah. Segala
jenis pekerjaan telah Ibu Lasmini jalani: berdagang di pasar, mengambil daun jati, hingga
harus bekerja di hutan.
Sekali waktu anaknya pernah bertanya: seperti apa persisnya wajah ayah mereka, karena
saat ayahnya ditangkap, dan kemudian hilang, mereka masih terlalu kecil. Keinginan
tersebut tidak pernah terjawab karena foto sebagai dokumentasi keluarga satu-satunya
juga dirampas oleh tentara yang memeriksa rumah mereka.
Kini kelima anak Ibu Lasmini telah menikah. Ketika akan melangsungkan pernikahan,
anaknya sempat ditanya: mengapa saudaranya yang menjadi wali? Ayahnya ke mana?
Ibu Lasmini hanya menjawab: ‘Bapaknya minggat’ (pergi tanpa pesan). Jawaban seperti
ini bukan bermaksud menyudutkan Kusdi, suaminya, melainkan mencegah tumbuhnya
kecurigaan dan prasangka yang tidak ia inginkan. Sebab, jika menjawab suaminya
meninggal, tentu pertanyaan akan berlanjut: Meninggal karena apa? Di mana
kuburannya?
Pemerkosaan
Di atas sudah digambarkan bahwa penangkapan dan penahanan sewenang-wenang tidak
hanya menimpa kaum laki-laki. Perempuan pun mengalami hal yang sama. Jika situasi
kesewenang-wenangan beririsan dengan perempuan, pasti hal-hal yang berkaitan dengan
keperempuanan dijadikan sasaran oleh para pelaku. Bagi mereka, pemilik kesewenang-
wenangan, rasanya tidak lengkap jika hanya memenjarakan para perempuan tersebut.
Mereka tampaknya merasa perlu memanfaatkan keberadaan tapol perempuan untuk
kepentingan mereka. Begitu perempuan yang masuk tahanan, seringkali kekerasan dalam
bentuk pelecehan seksual dan pemerkosaan lah yang paling dahulu menghampiri dirinya.
Dalam konteks kekerasan terhadap perempuan pasca peristiwa G-30-S, pelecehan seksual
dan perkosaan bukanlah ekses dari penangkapan. Perkosaan terjadi bersamaan dengan
penyiksaan, pelaparan, kerja paksa, dan pembunuhan terhadap para tapol pada
umumnya. Pemerkosaan tidak hanya dilakukan oleh satu-dua pelaku, dan juga tidak
hanya menimpa satu-dua tapol perempuan. Perkosaan menjadi sebuah kecenderungan
umum yang akan dilakukan para petugas keamanan ketika berhadapan dengan tapol
perempuan, bahkan tidak jarang digunakan sebagai cara untuk beroleh keterangan dalam
48 Rinto Tri Hasworo
Memang waktu itu saya ndak ikut. Ha, waktu itu saya itu ‘aktif ’ dan
‘problem’ saja itu saya itu ndak tahu artinya. Saya cuma diam saja ditanya
gitu. Saya diam saja. Terus, karena yang meriksa itu ada yang kenal dengan
saya, terus, ‘Pokoknya situ itu ikut organisasi, misalnya Gerwani apa-apa itu,
kamu itu sregep (rajin) atau ndak?’ gitu. ‘Oh, ya ndak to Pak. Wong saya cari
makan kok tiap hari. Kalau ndak cari makan di sawah ya ndak bisa makan,
gajihe (gajinya) cuma 200.’ Kalo dulu itu Rp 200 itu waktu itu cukup apa?
Kalau saya ikut organisasi mana untuk bayar ini, bayar itu, sedang waktu itu
kan garam saja antri toh itu. Saya ndak bisa makan kalau gitu. Ya apa
adanya saya ceritakan, memang sesungguhnya gitu. Ha jadi ada
pertanyaannya, ‘Waktu itu ke Jakarta?’ Apalagi ke Jakarta, untuk makan aja
ndak kok, dan ndak ada kenalan di Jakarta, ngapain ke Jakarta? Gitu.
Di Beteng itu didiamkan saja di situ. Makannya pagi gerontol satu cangkir.
Jagung yang direbus tapi ndak dicuci, jadi masih ada gelabatnya (kulit
jagung), masih ada ulatnya, itu direbus terus diciduki ditaruh di piring. Ya,
satu cangkir itu. Itu jagung satu cangkir sehari. Lha, kalau ndak jagung,
ceriping (keripik) yang direbus itu to, ceriping tela (keripik ketela) yang sudah
bubukan (hancur seperti bubuk) itu direbus, itu ya dari singkong itu, itu ya
satu cangkir itu. Tapi, ya ada ulernya, ada bubuknya.
Setelah di Beteng tujuh bulan, terus dikirim, ada yang di Salatiga – saya
kebetulan katut (ikut terbawa) di Salatiga. Pemeriksaannya di Timperca
[Tim Pemeriksa tingkat Kecamatan]. Timperca itu cuma tujuh bulan. Jadi,
bulan sebelas, dua belas, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, jadi 66 saya
bebas.
Tapi, nasibnya orang yang sudah berbau [pernah ditahan dan dituduh PKI]
kayak gitu. Di rumah itu, sedang ada pejabat yang datang ke tempat saya
saja, saya terus langsung panggil di Timperca sana paginya. ‘Ada tamu siapa?
Dan mengapa?’ Saya ndak tahu tujuannya, sedang kedatangan saja darah
saya itu seperti beku semua. Apa saya suruh usir? Ya ndak berani toh. Jadi
nggak tenteram di rumah itu.
Nah, karena terus-menerus kayak gitu, saya ambil sikap. Daripada saya
sebagai ibu ndak ada yang dampingi, nasibnya kayak gitu, terus saya
mengambil keputusan untuk kawin. Nah kawin itu mungkin di antara
penjabat-penjabat itu ya ada yang senang sama saya. Ya istilahnya ada yang
keturutan ada yang ndak. Ya bagi yang ndak, daripada repot-repot, saya
dijebloskan lagi, di Kantor Polisi Ambarawa. Kantor Polisi Simpang
Ambarawa itu ya ada pejabat yang, siapa, yang nengok gitu. Ya namanya
kan ‘ngeruwet’ itu. Sudah, saya sudah masuk saja masih ‘digitukan’ ya. Ha,
terus saya dikirim ke Salatiga. Kirim Salatiga, di Salatiga ‘diruwet’ lagi, di
kantor polisi itu. Saya ndak bisa ‘ngutarakan,’ tapi bisa membayangkan to,
‘ngeruwetnya’ gimana itu orang yang berkuasa waktu itu. Saya ndak bisa
mengutarakan, tapi bisa dibayangkan nasib saya. Terus di kantor polisi
karena heboh, terus saya dikirim di Kongsu, di tahanan perempuan,
dijadikan satu sama ibu-ibu. Tapi saya lebih tenteram di situ daripada di
50 Rinto Tri Hasworo
kantor polisi. Ha, di kantor polisi karena ya gimana ya, sampai saya itu
sempat melahirkan anak satu di dalam kamp itu. Ya banyak yang nanyakan,
saya juga njawab, ‘Jangan merasa takut saya membawa buah kayak begini.
Karena ini tidak kehendak saya.’ Tapi, asal saya ditanya dengan siapa pun
ndak mau jawab waktu itu. Ya saya terima saja keadaan yang kayak begitu.
Nah, waktu itu pemeriksaan untuk ibu-ibu yang mau dilepaskan kan harus
diperiksa dulu. Itu tidak pernah saya katut itu, nggak pernah diperiksa saya
itu. Waktu itu belum pembebasan massal. Nah, asal ada pemeriksaan itu
ndak pernah saya dikatutkan (diikutkan).
Tahun 66 bulan enam, saya masuk lagi, alasannya ‘dititipkan.’ ‘Dititipkan,’
masalahnya kan waktu itu saya mau kawin dengan polisi. Nah, kalau ndak
‘dititipkan’ saya musti bisa kawin dengan orang itu, itu. Padahal waktu itu
saya sudah mengurus surat talak. Sekalipun [suami] sudah hilang kan harus
cerai dulu. Nah, saya kira itu ya dalam tahanan itu bisa diselesaikan,
ternyata memang itu sengaja dipisahkan.
Tapi ya saya menyadari. Terus, ‘Kalo saya ndak pisah sama situ (kamu),
berarti saya ndak bisa bebas nanti. Nah, kalau bisa kamu kawin saja.’ Itu
memang saya yang nyuruh. Nyatanya setelah dia kawin, saya aman di dalam
itu. Tapi waktu itu, wah, sengsara saya di dalam. Sebetulnya orang itu [si
polisi] ya, waktu saya masuk di Salatiga ya sering nengok. Tapi di sana [dia]
juga diancam, ‘Kalau sampai kamu masih ke sini, tukar baju!’ gitu. Ya ndak
berani to. Lha pekerjaan cuma itu. Tapi saya juga berjanji, ‘Saya lepas, saya
juga tidak akan mengenal kamu dan kamu jangan mengenal saya!’ gitu.
Selama 32 tahun sudah saya pendam, ndak pernah orang tahu sejarah saya
kayak gitu itu. Ya pengalaman di luar maupun di kamp. Kalau merincikan,
menerangkan yang sedalamnya itu tidak bisa, ndak sampai hati itu. Jadi ya
makanya sampai sekarang itu pun saya masih ada tekanan batin. Ndak layak
saya ceritakan itu. Ya orang pejabat-pejabat, penguasa-penguasa waktu itu
kan ya gimana ya, sesuka hatinyalah terhadap orang-orang yang di situ.
Ya memang itu mungkin banyak yang terjadi kayak gitu itu, tidak hanya
saya. Cuma ya ndak ada yang terjadi seperti saya. Kalau di kamp sana
memang dua, saya dengan Bu Sis itu. Tapi Bu Sis ada suami di rumah. Kan
tahunya dengan suaminya. Mungkin ya terjadi, wong dia juga sering dibon
[diambil aparat dari tahanan untuk disiksa, diperkosa, atau dibunuh] kok
waktu itu. Sama petugasnya itu. Sekarang kalau malam mau mengadakan
pemeriksaan, pemeriksaan apa? Ngebon orang itu mau bikin apa? Tapi
penjaga, kalau orang itu ngebon kan memperbolehkan, wong ada suratnya
bon-bonan itu.
Saya pernah dipanggil di Tim itu. Ditanya, ‘Dengan siapa kamu?’ Sepertinya
saya mau njerit-njerit. Sedang yang nanya itu saja sebetulnya yang berbuat
itu juga. Kan lucu toh itu. Tapi ya biar saja, orangnya sudah mati kok
sekarang.
Jika melihat kesaksian Ibu Nona di atas, betapa luar biasanya kekuasaan pejabat publik
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 51
pada saat itu sehingga dapat menentukan nasib orang lain. Seseorang yang tidak bersalah
dapat dinyatakan bersalah dan harus menjalani hukuman – yang lebih tepat disebut
penyiksaaan – tanpa proses peradilan sebelumnya. Tidak ada kekuatan yang sanggup
membendung atau menghalangi ketika kekuasaan ini digunakan. Membendung atau
menghalang-halangi sama dengan menyerahkan diri untuk menerima tuduhan yang
sama dengan segala akibatnya.
Para petugas pemerintah ini tidak hanya berkuasa menentukan nasib orang yang tidak
bersalah menjadi orang yang bersalah, serta memaksanya menjalani hukuman tanpa
proses peradilan. Mereka juga mempunyai kebebasan yang luar biasa untuk
memperlakukan para tahanan menurut kehendak hatinya. Dalam kesaksian Ibu Nona,
kuat sekali gambaran bagaimana seseorang mempunyai kekuasaan yang luar biasa tanpa
batas atas diri orang lain. Seorang tahanan dipaksa harus menjadi budak dari nafsu para
penguasa. Yang setiap saat dapat dipanggil dan harus memenuhi segala keinginan sang
penguasa; kapan saja, di mana saja, dan untuk apa saja.
Pemerkosaan, ‘diruwet’, menurut istilah Ibu Nona, merupakan hal yang sangat mungkin
terjadi terhadap tapol perempuan di setiap kamp-kamp penahanan. Ia hanyalah satu
dari sekian banyak korban yang mau dan berani mengungkapkan bagaimana perbudakan
seksual terjadi di masa itu. Tidak ada atau sedikitnya korban perkosaan yang mau
bersuara bukanlah ukuran bahwa tidak ada atau hanya sedikit perkosaan terjadi. Tapi
juga harus diingat, sedikit atau banyak bukanlah ukuran kejahatan. Kalau pun hanya satu
orang yang menjadi korban perkosaan, tindak pemerkosaan itu tetaplah sebuah
kejahatan. Lebih-lebih ketika perkosaan tersebut justeru dibiarkan terjadi atau diberi
ruang kebebasan oleh pejabat pemerintah.
Tidak banyaknya korban yang mau berbicara tentang pengalaman terburuk mereka
adalah suatu pertanda bahwa perkosaan merupakan torehan luka yang perih dan
mendalam sepanjang hidup para korban dan keluarganya. Korban perkosaan akan
merasa terperkosa untuk kesekian kalinya ketika mereka harus menceritakan tragedi yang
menimpa dirinya, apalagi jika pengakuannya hanya dijawab oleh publik dan pemerintah
dengan: ‘Mungkinkah? Benarkah hal itu terjadi?’
Di samping memperkosa tahanan perempuan, petugas keamanan juga sering
memperkosa isteri tahanan laki-laki. Mungkin ketakutan paling besar di kalangan laki-laki
tapol bukan keselamatan mereka sendiri, tapi keselamatan para isteri mereka yang berada
di luar penjara. Perempuan-perempuan ini menjadi sasaran empuk. Hidup dengan
stigma ‘PKI’, mereka tidak dapat mengeluh kepada siapa pun. Beberapa isteri tapol
bahkan dinikah paksa oleh petugas. Seorang polisi, misalnya, mengganggu isteri tapol,
mengancam akan terus mengganggunya, dan membuat suaminya menderita jika tidak
mau menikah dengannya.
Misalnya kisah Hardi yang isterinya diperkosa ketika ia masih ditahan. Dia seorang
petani di desa terpencil yang menjadi anggota biasa BTI. Pada waktu di kampungnya
marak dibentuk organisasi massa maupun partai, banyak orang desa, termasuk Hardi
sendiri, berpikir dengan logika sederhana: ‘karena saya petani, maka saya masuk Barisan
Tani’. Seperti kebanyakan orang desa lainnya, Hardi sama sekali tidak tahu-menahu soal
penculikan para jenderal di Jakarta. Jangankan tentang substansi peristiwa itu, berita
52 Rinto Tri Hasworo
mengenainya pun ia tidak dengar. Desa tempat ia tinggal sulit memperoleh informasi.
Informasi yang sempat diterima masyarakat desa sangat lambat datangnya. Hardi baru
tahu mengenai penculikan dan pembunuhan para jenderal setelah ia ditangkap pada 11
November 1965. Ia bingung menanggapi berita itu. Semakin bingung lagi ketika
namanya dikaitkan dengan peristiwa tersebut hanya lantaran ia anggota BTI.
Alasan lain penangkapan Hardi adalah ia dituduh mempunyai senjata api dan membuat
tiga lubang di sebelah rumahnya yang akan digunakan untuk menimbun mayat jenderal.
Ia ditahan selama kurang lebih sebulan di Gedung Baperki dan gudang cabai milik
seorang warga keturunan Tionghoa di Purwodadi. Karena dua tuduhan yang diarahkan
kepadanya demikian serius – walau tidak pernah terbukti kebenarannya – ia mengira
pasti akan diambil pada malam hari, seperti banyak tahanan lainnya, dan dibunuh.
Untung saja Hardi kenal baik dengan petugas pemeriksa yang memasukkan namanya ke
dalam daftar tapol yang akan dikirim ke Nusakambangan. Petugas inilah yang
menyelamatkan nyawanya. Seandainya ia tetap dikurung di tempat penahanan Baperki,
mungkin saja ia akan dibon. Awal 1966, Hardi dikirim ke Nusakambangan.
Pada 1969, Hardi dibuang ke Pulau Buru, dan baru sepuluh tahun kemudian ia
dibebaskan. Sesampainya di rumah, ia begitu terpukul melihat keadaan keluarganya.
Dua orang anaknya yang ketika ia ditangkap masih berusia tujuh dan empat tahun, SD
saja tidak tamat dan harus mencari nafkah sendiri. Isterinya telah meninggal dunia
karena penderitaan yang luar biasa setelah Hardi ditahan. Belum lagi adik kandungnya
menceritakan bagaimana isterinya harus ‘melayani’ banyak lelaki secara bergiliran.
Malam ini dipaksa tidur dengan ketua RT, malam berikutnya dengan ketua RT yang lain,
malam berikutnya lagi dipanggil oleh lurah. Baru saja pulang, keesokan malamnya
tentara datang dan tidur di rumah Hardi. Belum terhitung guru, anggota ormas pemuda
dari kelompok nasionalis dan agama yang ikut meminta pelayanan dari istri Hardi. Yang
paling mengerikan adalah ketika seorang pemuda Ansor datang dan meniduri isteri
Hardi, ia datang dengan baju dan pedang berlumuran darah karena baru saja
membunuh orang-orang yang dituduh komunis di Purwodadi. Tidak jarang, adik
kandung Hardi yang perempuan pun diperintahkan untuk mencuci pakaian dan samurai
yang berlumur darah tersebut.
Setelah di rumah, yaitu tadi, adik saya bilang, ‘Kang, ngene, mbakyu iku leh
mati wong anu iku kang, ngenes.’ (Mas, begini, mbakyu itu mati karena ini
Mas, menderita.)
‘Ngenes piye to?’ (Menderita bagaimana?)
‘Ha piye? Angger bengi ngono ya, ngger anu ya dijukuk saka kelurahan
kono, kon turu nang kono, ya kon pijet, kon tetek bengek. Mengko nek ora nang
kelurahan ya ABRI mrene, ya nang amben kono, kon mijeti, mengko turu nang
kene. Ya balike ya esuk to kang. Toh de mbakyu suwe-suwe ra koyok ngenes
ngene. Nek ora kuwe, mengko ya wong-wong ‘ngono kuwi’ kok kang, bengi ya
padha dolan rene, mengko ya turu nang kene.’ (Ha gimana? Kalau malam
begitu ya, kalau anu ya diambil dari kelurahan sana, disuruh tidur di sana,
ya disuruh pijat, disuruh segala macam. Nanti kalau tidak ke kelurahan ya
ABRI ke sini, ya di bale-bale sana, disuruh memijat, nanti tidur di sini. Ya
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 53
Pada 1982 Hardi kembali menikah dengan seorang janda. Dalam kesehariannya, Hardi
harus memendam sakit hati, dan coba melupakan kenangan pahit yang ia dan almarhum
istri pertama, serta keluarganya alami. Hal yang terberat buatnya, sebagian dari pelaku
yang memperkosa istrinya adalah para tetangga dan orang-orang yang masih ia kenal,
yang hingga kini masih hidup dan sering ia jumpai.
sampai jam setengah enam, itu wayangan. Nah, serentak wayang itu bubar,
habis semuanya. Debog (batang pisang) dimakan ya to. Wayangnya dibakar
diambili, ada yang mengambil Antasena [nama tokoh pewayangan], ada
yang mengambil Werkudaranya [nama tokoh pewayangan], ha sudah habis.
Selama tiga tahun pertama Hadi di Nusakambangan, para tahanan berguguran setiap
harinya. Tubuh mereka tidak mendapat cukup kalori dan gizi untuk bisa bertahan hidup.
La ini, jadi memang di sana ini status yang ‘suruh mati’ itu saja sudah. Nggak
ada rasa mau hidup nggak ada, rasanya mau mati kapan gilirannya, itu aja.
Wong kadang-kadang sekarang ngangkat orang mati besok sudah diangkat
lagi. Diangkat lagi gitu aja, jadi giliran gitu lho. Sesuk nggowo wong (besok
membawa orang) masuk, sesuk (besok) orang yang mbawa mati lagi, gitu.
Ini tiap-tiap kamar itu sudah satu – Kaukasan kan ada 20 kamar – nah tiap-
tiap kamar ini mesti ada, orang satu, orang dua, mesti ada. Nah, soal
kematian itu memang sangat tajam di sana.
Para tapol ini harus menguburkan teman-teman mereka yang mati. Tanpa ada bahan-
bahan apa pun, mereka tidak bisa melaksanakan pemakaman yang pantas bagi teman-
teman mereka sesama tapol.
Matinya di situ, yaitu, tikar dengan apa adanya ya digulung saja. Digulung
sama tikarnya itu saja, sesudah digulung sama celananya –ya pokoknya apa
adanya di situ – digulung saja. Terus dimasukkan, dibawa ke pinggir laut
gitu saja … Jadi, ndak ada muni (bunyi) dicuci, atau diapakan itu ndak ada.
Seperti larahan (sampah) itu lo, seperti mbawa larahan itu kok. Sudah
digotong ya digotong, pendhem (pendam) ya dipendhem (dipendam).
Seperti mendhem larakan (memendam sampah) itu. Nggak ada apa, itu
manusia, bangsa kita sendiri.
Ketika Hadi pertama kali datang, ada sekitar 12.000 orang tapol yang ditahan di berbagai
penjara di Nusakambangan. (Ia sempat melihat statistik di papan kantor penjara).
Dengan adanya kelaparan luar biasa, ia memperkirakan ribuan tapol meninggal antara
1966 sampai 1969. Di salah satu penjara, Permisan, ia memperkirakan separuh dari isi
penjara itu meninggal. Situasi yang mengerikan ini tidak berubah sampai Jaksa Agung
datang ke Nusakambangan pada 1969 dan memerintahkan supaya para tapol diberi
makan nasi. Setelah itu, barulah kematian massal itu berakhir.9 Saat itu Nusakambangan
menjadi daerah transit bagi seluruh tapol Golongan B dari Jawa yang akan dikirim ke
Pulau Buru.
Pola Penangkapan
Situasi ketika massa secara aktif melakukan penangkapan hingga pembunuhan terhadap
anggota atau simpatisan PKI dibentuk dan diciptakan pihak militer. Hal ini dapat terlihat
di beberapa daerah yang semula dalam kondisi tenang – sekalipun atmosfir politik sangat
9
Cerita Hadi tentang keadaan di Nusakambangan dipaparkan pula oleh semua tapol yang pernah ditahan di
tempat itu. Misalnya, Hardi dari Purwodadi, yang disebutkan di bagian sebelumnya, pernah ditahan di
Nusakambangan dari 1966 sampai 1969, menceritakan pengalaman yang kurang lebih serupa.
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 57
panas berkaitan dengan peristiwa G-30-S – tiba-tiba berubah menjadi amat mencekam.
Perubahan situasi ini tidak lepas dari gencarnya propaganda yang dilakukan pihak militer
tentang keterlibatan PKI dalam peristiwa G-30-S, dan penyebaran cerita bohong tentang
tindakan perempuan-perempuan Gerwani yang sadis dan kejam terhadap para jenderal.
Ketegangan politik dan kerawanan suatu wilayah semakin meningkat ketika pihak militer,
terutama RPKAD, turun langsung hingga ke tingkat desa untuk melakukan penangkapan
terhadap anggota atau simpatisan PKI.
Cara penangkapan terhadap mereka yang dituduh atau disinyalir terlibat dalam PKI atau
ormas pendukungnya bervariasi di tiap-tiap daerah di Jawa Tengah. Namun, dari
berbagai cara penangkapan, paling tidak ada empat bentuk tindakan yang menjadi pola
umum, yaitu:
1. Penangkapan yang langsung dilakukan oleh petugas, baik unsur militer maupun
kepolisian
Penangkapan langsung dilakukan oleh petugas keamanan, baik yang berasal dari
jajaran kepolisian maupun militer. Walaupun lebih teratur dan terarah dalam
melakukan penangkapan, tetap saja tindak kekerasan kerap dilakukan terhadap
sasaran penangkapan, baik langsung terhadap diri orang yang menjadi sasaran,
maupun terhadap lingkungannya (mengacak-acak isi rumah, membakar rumah,
meneror, atau melakukan tindak kekerasan terhadap anggota keluarga sasaran).
2. Penangkapan dengan menggunakan massa partai atau ormas yang secara politik dan
ideologi bertentangan dengan partai atau ormas PKI
Pola ini sering digunakan di daerah-daerah yang jumlah massa anggota atau
simpatisan partai non-PKI-nya, jika bergabung, berkekuatan menyolok. Dalam
melancarkan aksi, massa biasanya bergerak dengan dipimpin oleh beberapa orang
dari kalangan mereka sendiri. Tidak ada standar operasi dalam melakukan
penangkapan sehingga tidak jarang improvisasi mendominasi aksi-aksi ini, baik
menyangkut penggunaan senjata maupun orang-orang yang akan dijadikan
sasaran penangkapan. Memang benar massa telah memiliki daftar siapa-siapa
yang akan ditangkap. Namun perlu diingat, massa yang dilibatkan untuk
menangkap biasanya berasal dari daerah lain yang tentunya tidak tahu persis
sosok orang yang akan ditangkapnya.
Hal lain yang perlu dicatat adalah tidak adanya mekanisme kontrol untuk
mengawasi penangkapan yang dilakukan massa. Semua mengalir begitu saja,
tergantung pada kehendak massa. Untuk menunjang aksi penangkapan oleh massa,
RPKAD memberikan pelatihan-pelatihan militer berupa strategi pertahanan dan
teknik penggunaan senjata kepada para pemuda dari partai atau ormas non-PKI.
Pengajaran teknik penggunaan senjata biasanya mencakup pembekalan senjata
bagi para pemuda yang akan melancarkan aksi penangkapan.
3. Penangkapan dengan menggunakan massa dari berbagai unsur ditambah unsur polisi
dan militer, serta unsur pertahanan sipil lokal
Dalam melakukan aksinya, biasanya massa dari berbagai unsur melakukan
penangkapan yang didukung langsung oleh pihak aparat polisi maupun militer
dan unsur pertahanan sipil. Kehadiran pihak aparat keamanan dalam
58 Rinto Tri Hasworo
Penutup
Pola penangkapan dan penahanan, serta tindak kekerasan yang terkandung di dalamnya,
bukanlah sebuah pola yang berdiri sendiri dan dipraktekkan hanya pada era 1965-66.
Pola tersebut dibuat secara sistematis dan efektif, diterapkan sepanjang kekuasaan Orde
Baru hingga sekarang. Rezim Orde Baru tidak hanya melahirkan, tetapi juga
menumbuhkembangkan pola ini dan menjadikannya selalu aktual sebagai alat untuk
menghadapi lawan-lawan politiknya.
Tentu masih segar dalam ingatan kita Peristiwa 27 Juli 1996. Penguasa menggunakan
instrumen militer dan sipil yang diorganisir untuk menghancurkan Partai Demokrasi
Indonesia-Perjuangan pimpinan Megawati Soekarnoputri yang oleh rezim Orde Baru
dianggap membahayakan eksistensinya. Setelah selesai melakukan penyerbuan, rezim ini
mengeluarkan kebijakan ‘pengharaman’ Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang diiringi
dengan aksi penangkapan dan penculikan para aktivis pro-demokrasi. Sekalipun jelas
terlihat Soeharto lewat politik militerismenya berada di belakang peristiwa tersebut,
tanpa rasa malu dan rasa bersalah rezim Orba bersikukuh menyatakan peristiwa tersebut
sebagai konflik internal PDI.
Pola memanfaatkan kelompok masyarakat sipil juga digunakan untuk menghadapi
gerakan reformasi mahasiswa. Lihat saja bagaimana gerakan mahasiswa menuntut
perubahan dalam kehidupan politik di Indonesia dan mendesak lahirnya pemerintahan
yang bersih dari unsur KKN, dihadapi tidak hanya dengan kekuatan bersenjata,
melainkan juga dengan gerakan massa tandingan yang diberi ‘seragam’ Pam Swakarsa.
Penangkapan dan Pembunuhan di Jawa Tengah Setelah G-30-S 59
Penguasa ingin memunculkan kesan kepada publik bahwa gerakan mahasiswa bukanlah
gerakan yang berbasis pada aspirasi seluruh rakyat. Dan yang lebih penting lagi,
penguasa ingin menunjukkan tidak semua rakyat mendukung gerakan moral mahasiswa.
Politik adu domba yang sangat menyolok dan telanjang ini kembali berulang pada masa
menjelang dan setelah dilaksanakannya jajak pendapat untuk menentukan masa depan
Timor Lorosae. Kali ini, operasi pengacauan bukan saja disaksikan masyarakat lokal,
tetapi juga masyarakat internasional. Aparat negara, lewat politik militerismenya,
mendorong terjadinya militerisasi masyarakat sipil, Milisi Pro-Integrasi, yang
sepenuhnya difasilitasi oleh negara. Apa pun namanya, di mana pun diciptakannya,
strategi adu domba serupa ini seolah memberi alibi bagi penguasa untuk cuci tangan dari
seluruh masalah dengan menyatakan bahwa yang terjadi adalah ‘konflik horisontal’.
Siapapun dapat saja menggunakan bermacam-macam strategi ‘cuci tangan’ untuk
menghindari tanggung jawab. Namun, harus diingat pula bahwa norma-norma hukum
mensyaratkan bahwa pembiaran atas terjadinya pelanggaran terhadap prinsip-prinsip
hak-hak asasi manusia dapat dipersamakan dengan keterlibatan dalam pelanggaran
tersebut. Jika penguasa selalu menggunakan pola adu domba, membunuh pikiran dan ide
kritis untuk mempertahankan kekuasaannya, lalu bagaimana dengan hakekat dan fungsi
pemerintah terhadap warga negaranya? Adanya warga negara memang merupakan
salah satu syarat diakuinya sebuah pemerintahan, namun bukan berarti hanya sampai
titik itu hubungan pemerintah dengan warga negaranya. Memenuhi hajat hidup warga
negara: kesejahteraan, demokrasi, peran politik, kepastian hukum, keadilan sosial, dan
lain-lain, merupakan kewajiban paling pokok pemerintah terhadap rakyatnya.
Daftar Wawancara
1. Ibu Diah, Yogyakarta, 13 Juli 2000
2. Hardi, Purwodadi, 28 Agustus 2000
3. Ibu Lasmini, Purwodadi, 1 September 2000
4. Mansur, Rembang, 8 September 2000
5. Ibu Nona, Ambarawa, 27 Juli 2000
6. Sasmo Atmojo, Pati, 6 September 2000
7. Sujoko, Klaten, 24 Juli 2000
8. Suparno, Pati, 7 September 2000
9. Suprapto, Klaten, 22 Juli 2000
10.Wakijan, Purworejo, 30 Juli 2000
11.Winata, Klaten, 21 Juli 2000
12.Yahya, Ambarawa, 28 Juli 2000
60 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
61
Yayan Wiludiharto
Aku tak mengira ‘orang-orang PKI’ itu ternyata manusia biasa. Sebelum aku bertemu dan
berbicara dengan mereka yang dianggap PKI, aku hanya tahu PKI sama dengan sesuatu
yang menyeramkan. Waktu SMP, aku selalu nonton film Pengkhianatan G-30-S/PKI
beramai-ramai dengan teman-teman sekelasku. Bagi kami, film itu seperti film action: ada
orang jahat melawan orang baik, dan para PKI yang menculik dan membunuh para
jenderal itu jelas orang-orang jahat. Tapi anehnya, kami juga tak menganggap Soeharto
pahlawan. Kami hanya sangat bersimpati pada keluarga para jenderal yang disiksa dan
dibunuh sedemikian sadis. Tak satu pun dari kami bicara soal kudeta, apalagi
penyelamatan negara dan bangsa. Pokoknya, ‘orang-orang PKI’ itu sudah sepantasnya
dibasmi; mereka tak pantas hidup, karena mereka sudah melakukan kejahatan yang
mengerikan. Bahkan, guruku pun kalau marah pada anak-anak yang bandel di kelas akan
berseru, ‘Dasar PKI!’
Aku tak pernah tertarik pada sejarah, apalagi sejarah yang diajarkan di sekolah. Satu-
satunya buku sejarah yang menarik perhatianku adalah seri buku 30 Tahun Indonesia
Merdeka. Itu pun aku hanya senang melihat foto-fotonya, bukan membaca uraiannya.
Baru setelah Peristiwa 27 Juli 1996 meledak, aku berpikir lebih serius tentang sejarah. Saat
itu aku membantu seorang temanku, mahasiswa IKJ (Institut Kesenian Jakarta),
berjualan secara sembunyi-sembunyi buku-buku yang dilarang pemerintah Orde Baru.
Salah satu buku yang sempat kubaca ialah Bertahan Hidup di Gulag Indonesia, karya
Carmel Budiardjo. Aku terkejut sekali membaca kisah-kisah menyedihkan para tahanan
politik di buku itu. Sulit kupercaya, kekejaman seperti itu terjadi di negeriku. Mulai
tumbuh banyak pertanyaan di otakku tentang PKI dan G-30-S 1965.
Ketika Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK), organisasi tempat aku bergabung,
mengadakan penelitian sejarah lisan tentang pengalaman para korban Tragedi 1965, pada
awal 2000, tanpa pikir panjang kuputuskan untuk terlibat. Aku ingin mendengar sendiri
cerita para korban 1965. Sejak menjadi anggota TRuK pada Mei 1998, aku memang
berhubungan semakin dekat dengan korban-korban kekerasan politik, seperti korban
Tragedi Mei 1998 dan Tragedi Semanggi I. Selain itu, pengalamanku bekerja sebagai
relawan kemanusiaan di Timor Leste menjelang jajak pendapat 1999 memperlihatkan
bahwa kekerasan militer terhadap rakyat sipil adalah hal yang lumrah di Indonesia. Tapi,
yang paling menggangguku ialah kebanyakan korban tak tahu mengapa mereka dituduh
sebagai pihak yang bersalah dan dijadikan sasaran tindak kekerasan. Sejak kapan
62 Yayan Wiludiharto
bulan, selama bertahun-tahun. Biaya yang dikeluarkan untuk ongkos perjalanan dan
uang suap aparat yang memberi janji-janji kosong, tak sedikit. Harta-benda yang tersisa
pun habis terjual, sementara yang dicari tak ketemu.
Setelah mendengar kisah para keluarga korban, aku merasa harus menyampaikannya ke
publik yang lebih luas. Selama puluhan tahun, pemerintah Orde Baru memaksa kita
semua menghormati Pancasila dan UUD 45. Tapi, aparat pemerintah yang sama yang
juga mengingkari dan melanggar dasar-dasar bernegara dan berbangsa tersebut dengan
menangkap orang sewenang-wenang tanpa memberi secuil pun informasi kepada
keluarganya, tanpa memberitahu apakah orang itu sudah mati atau masih hidup.
Propaganda Orde Baru menggembar-gemborkan pentingnya keluarga sejahtera lewat
program-program KB, PKK, dll. Tapi, apa yang terjadi pada ratusan ribu keluarga yang
dianggap ‘PKI’? Pemerintah merebut mimpi-mimpi mereka, mencerai-beraikan satu dari
yang lain, dan menutup kesempatan mereka untuk hidup tenang dan sejahtera.
Yang lebih ajaib lagi, pemerintah Orde Baru terus-menerus memperingatkan warganya
dengan seruan ‘bahaya laten komunis’; menghimbau orang supaya waspada terhadap
‘kebangkitan kembali PKI’. Dalam kenyataan, setelah pembantaian besar-besaran
sepanjang 1965-1969, pemenjaraan dan pembuangan ratusan ribu orang, yang tersisa
adalah keluarga korban – istri/ibu dan anak-anak yang belum dewasa. Mereka tak
mendalami paham ‘komunisme’, apalagi bermimpi mendirikan partai komunis untuk
merebut kekuasaan negara. Tak bisa kubayangkan bagaimana para ibu dan anak-anak ini
bisa dikategorikan ancaman ‘bahaya laten komunis’. Yang menjadi ancaman terbesar bagi
rakyat justru negara ciptaan Orde Baru itu sendiri dengan aparatnya yang korup dan
sewenang-wenang. Dan itu bukan bahaya laten, tetapi bahaya nyata.
Kisah-kisah yang kutuliskan di bawah hanya sekelumit dari yang kudengar. Namun,
laiknya cermin bersisi jamak, mereka adalah pantulan dari ribuan kisah yang masih
terpendam.
saya. Jadi, ya sekitar jam dua siang mungkin. Jadi dipanggil ke Kodim,
bilangnya ada urusan ke Kodim, gitu. Wong sepeda saya aja, sepeda bapak
itu kan jaman dulu kan ‘NJRJ’ itu termahal, saya kira, Gasele [Gazelle] seri
tujuh kalau nggak salah. Jadi orang itu kalau kles itu pergi ke sana bawa
sepeda. Bawa sepeda, setelah satu hari atau dua hari, itu dibawa pulang pakai
truk, orang tua saya. Sudah dikawal satu truk itu. Terus turun dari truk…
cuma pamit, cuma pegang saya, dengan kepala saya, kepala adik saya itu
suruh rukun tidak boleh tengkar, ‘Bapak mau sekolah,’ gitu. Jadi, waktu itu
saya masih kecil [menangis]… jadi ingat saya cuma itu, jadi kelanjutannya
nggak tahu persis.
Ibunya, Ibu Sri, sebelum Peristiwa ’65 juga tak pernah mengalami kesulitan. Sebagai putri
seorang carik desa yang kemudian menikah dengan kepala desa, hidupnya cukup nyaman
walau tak berlebihan. Tak terbayang olehnya, satu hari saja bisa mengubah seluruh
kehidupannya.
Ya dhek cilik ya seneng, ning bareng tuwo-tuwo gek ketanggor kaya ngono kuwi.
Lha gek ora, cilik ya seneng diingoni wong tuwo, diseneng-senengke, apa
senenge keturutan, gek bareng nduwe bojo, wis anak-anak kemruyuk, tuwek-
tuwek, bojone tinggal lungo, digowo uwong. (Ya, waktu kecil ya [hidup]
senang, tetapi begitu [beranjak] tua, mengalami kenyataan seperti itu.
Bagaimana tidak, waktu kecil dipelihara orang tua, disenang-senangkan,
apapun kesenangannya bisa didapat, tetapi begitu punya suami, anak sudah
banyak, ditinggal pergi, [suami] dibawa orang.)
Ia mengenang kembali saat suaminya dibawa tentara ke rumah di hari naas itu:
Lha ya ngertiku iki kandhani ya kae kok, seka mbale, bapak kuwi iki gur pamit,
‘Aku arep sekolah, kurang pinter.’ – Kuwi seka lungo rong bengi, leh nginep rong
bengi mbuh sewengi, mbok agi sedina sewengi kae biyen—karo ngulihke pit ...
Deweke leh lungo nggih nganggo niku, ngagem niku, bablas gek lungo.
Celanane dril, kuning. Kuning ora kuning, putih ora putih, wong dril. Gek
heme dowo putih, cekro. Kalung kacu mangkate iki. Kacamata mlenor. Gek
ngombe banyu—diterke tentara iki ngombe banyu sekendhi, entek. Wong
senengane kendhi, kaya ngono kae senengane nek ngombe. Jarang mateng
ningo. Glek…glek… glek, entek jling. Gek pamit aku, ‘Sa’ anak dha penging
tukaran, nek njejaluk ojo sa jek sa nyet. Ibu ora iso golek dhuwit,’ ngono kuwi
lho. ‘Ibu lara-laranen,’ gek karo aku weling, ‘Bune Par, tambak-tambakno
mripatmu, men gek bablas mari, tenan.’ ... Aku ya, wong lara-laranen, gur
ngludro enek ndhapur, ya karo ngadhepi bocah cilik-cilik anakku kuwi, tas
diusuk-usuk bapakne, endase. ‘Ojo-ojo nakal tenan ya le. Aku arep disekolahke
pemrintah. Aku kurang pengalaman, aku kurang pinter. Suk nek aku wis pinter,
aku bali mulih,’ gur ngono. (Lha ya aku ngertinya, ya itu, dari Balai Desa,
bapak itu terus pamit, ‘Aku akan sekolah, kurang pinter.’ – Itu dari pergi dua
malam, nginap dua malam atau semalam, masih baru sehari semalam dulu
itu – sambil memulangkan sepeda ...Waktu pergi dia ya pakai itu, pakai itu,
terus pergi begitu saja. Celananya dril, kuning. Kuning ndak kuning, putih
ndak putih, namanya juga dril. Kemejanya panjang putih, tebal. Berkalung
Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas: Kisah Keluarga Korban 65
namung diiling-ilingi.’ ‘Lha iya ngeten, nek gendera Merah Putih ki angger
wong ya entuk nduwe,’ aku ya gur ngono. (Tentaranya itu menggeledahi
tempat buku. Mungkin dikira ada buku yang disenangi tentara. Akhirnya,
‘Bu, ndak ada yang disenangi.’ Lalu cari-cari sana-sini begitu itu, bendera
merah putih! Itu setiap orang kan ya punya, toh? Nah itu tidak dibawa. Aku
dibilangi seorang anak kecil, ‘Bendera Merah Putih anu, Bu De, anu
dikeluarkan.’ ‘Lha, mau diminta tentaranya, apa gimana?’ ‘Tidak, hanya
diamat-amati saja.’ ‘Lha iya begitu, kalau bendera Merah Putih ini setiap
orang kan boleh punya?’ aku ya hanya [bilang] gitu.)
Setelah selesai mengobrak-abrik rumah, gerombolan tentara itu pergi dengan truknya,
membawa ayah mereka yang berdiri di bak belakang. Partono, ibu, dan adiknya, tidak
diberitahu ke mana ayahnya dibawa pergi. Beberapa tahun kemudian mereka baru
mendengar: ia mungkin dibawa ke Penjara Wirogunan di Yogyakarta. Mereka pergi
mencarinya ke sana, tapi tidak ketemu. Lalu mereka mendengar kabar lain: ia mungkin
dibawa ke Nusakambangan. Mereka pun pergi ke sana, tapi lagi-lagi tidak berhasil
menemukannya. Akhirnya mereka beranggapan, ayah mereka sudah dieksekusi, seperti
yang dikatakan orang-orang di desa.
Jadi diambil sampai hilang, ke mana, di mana sekarang, umpama sudah
meninggal jasadnya di mana, kalau masih hidup sekarang di mana saya juga
ndak tahu. Tapi kabar-kabar orang itu, ya, ‘Bapakmu sudah mati, sudah
dimasukkan gubug,’ itu bilangnya. Kalau dulu kan orang-orang PKI
buangannya ke gubug, gitu.
Seperti ayah Partono, suami Ibu Narohmi di Pati, juga hilang. Ia dan suaminya adalah
guru sekolah dasar di desa kecil waktu itu. Mereka punya dua anak, yang pertama
perempuan dan yang bungsu laki-laki, saat itu masih bayi. Agar bisa mengurus anak-
anak, mereka mengajar bergantian; kalau suaminya mengajar pagi, Ibu Narohmi
mengajar siang. Seperti banyak guru pada zaman itu, suaminya adalah anggota PGRI
non-Vak Central. Suatu hari, Kantor Polisi Juwana, melalui surat, memanggil semua
anggota serikat guru itu ke kantor polisi. Suaminya yang sedang mengajar, langsung ke
kantor polisi tanpa sempat singgah ke rumahnya.
Saat itu dipanggil di kantor polisi yaitu pada tanggal 8 Nopember tahun 65.
Setelah dari situ dia dibawa ke Pati dan tidak pulang ke rumah sampai saat
ini, tidak tahu di mana tempatnya. Jadi, mulai ditahan, mulai itu, 8
Nopember ke Pati dulu [ditahan di Gedung Nasional], lalu ke Simo [desa di
Kabupaten Pati], lalu ke penjara [Pati]. Dan pada tanggal 29 Maret tahun 66
itu dipindahkan [ke Semarang], katanya dipindahkan, tapi saya tidak tahu
tempatnya, dan ya istilahnya ‘hilang’ sampai sekarang dan tidak tahu di
mana rimbanya.
Ibu Narohmi mengunjunginya di Penjara Pati sehari sebelum ia dipindahkan ke
Semarang.
Yang terakhir tanggal 28 Maret. Waktu itu hari Senin. Saya ingat itu sama
anak saya, dan saya sudah mendengar berita bahwa besok ada pemindahan
gitu, dari luar itu. Dia kan sudah pesan, ‘Kalau dipindah itu jangan susah, itu
Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas: Kisah Keluarga Korban 67
dipekerjakan gitu lho, bisa kerja. Nanti kamu jangan susah, biar tidak
membebani, kamu ngirim terus sama saya,’ bilang gitu suami saya. Dan, ‘Ada
di mana tempat saya, nanti saya mesti kirim surat.’ Dia kan minta kosblat,
minta bolpen gitu. Itu sudah. ‘Kalau sewaktu-waktu pindah dari Pati, nanti
memberi kabar.’ Gitu, janjinya. Tapi ya ndak tahu sampai sekarang ya ndak
ada beritanya … Nggak pernah ada berita, temannya seangkatan juga sama-
sama ndak ada berita sama sekali.
Suaminya lenyap di tangan aparat negara.
Pengalaman pahit Ibu Narohmi terjadi pula pada Ibu Menik di kabupaten Ambarawa.
Suaminya waktu itu bekerja sebagai petugas penjara Ambarawa, sedangkan Ibu Menik
bekerja di rumah, mengurus rumah tangga dan anak-anak mereka. Hidup mereka pas-
pasan saja: ‘Karena pegawai rendahan, ya hidupnya nggak ini, dah. Pokoknya susah.’ Pada
Oktober 1965, ia baru melahirkan anak ketiga dan sedang mengandung delapan bulan.
Suatu hari, sekitar dua atau tiga bulan setelah G-30-S, suaminya dan beberapa tetangga
dipanggil ke kecamatan. Nampaknya, satu-satunya alasan pemanggilan itu karena
suaminya adalah anggota serikat penjaga penjara. Tidak terbersit dalam pikiran Ibu
Nahromi, suaminya akan ditahan.
Suami saya diambil tanggalnya berapa saya lupa itu. Saya bilang, ‘Kalau
kamu masuk penjara gimana dengan anak-anak?’ Saya bilang. ‘Sudah cuma
sebentar. Nggak apa-apa saya juga nggak salah, kok balik cuma diamankan
sebentar. Paling lama juga tiga bulan,’ katanya. Orang ini diamankan supaya
nggak ada apa-apa. Terus, ndak apa, nggak ada apa-apa. Itu yang geger
cuma di Jakarta.’
Sesudah suaminya diambil selama gelombang penangkapan berlangsung, Ibu Menik tak
pernah bisa tenang.
Waktu itu adanya cuma takut dan takut. Kalau dengar suara mobil lewat.
Hati ini terasa berdebar-debar seperti mau lepas. Karena biasanya suara itu
berasal dari kendaraan-kendaraan yang akan mengangkut orang-orang dari
kampungnya yang kemudian akan dibunuh entah di mana. Itu pasti ada
orang yang mau diambil walaupun itu mobil umum, tapi kalau dengar suara
mobil, rasanya sudah hilang itu hati, pikiran enggak karuan-karuan. Saat itu
adanya cuma takut dan takut. Waktu itu enggak ada perasaan merdeka atau
perasaan bebas, enggak ada.
Suaminya ternyata ditahan di Kantor Polisi Salatiga. Lalu, polisi memberitahu, suaminya
akan dipindah ke Nusakambangan pada akhir 1965 atau awal 1966.
Sudah gitu anak saya umur 37 hari, suami saya mau dipindah ke
Nusakambangan, saya ada panggilan dari kantor polisi. Terus, saya pergi ke
kantor polisi, dari rumah saya berangkat setengah enam. Setengah enam
dengan anak-anak saya bawa semua. Jalan saja pelan-pelan, sampai di
Salatiga setengah sembilan. Karena sama anak-anak kecil kan, kita harus
sering berhenti, jalan lagi. Yang jalan tiga, yang digendong satu, empat kan,
buat lihat bapaknya yang terakhir waktu itu ya. Sudah itu, saya sampai di
68 Yayan Wiludiharto
kantor polisi, jam setengah sembilan itu bapaknya sudah ada di sana sama
teman-temannya itu yang mau diberangkatkan. Terus di situ bisa kumpul
kawan banyak – ada orang yang sudah begitu tua sekali, punya buyut kok itu
orang, isterinya juga sudah bongkok sekali, mau dibawa ke
Nusakambangan. Buat apa ini? Kasihan sekali. Ya kalau masih muda sih ini
ya, kalau sudah begitu tua, ngenes (trenyuh) kan ngelihatnya. Sudah begitu,
saya ngomong sama suami saya, ‘Nanti kalau sampai di sana kirim saja
surat,’ saya bilang. ‘Ya, kalau saya sampai di sana saya kirim surat,’ katanya.
Benar sampai di Nusakambangan, mungkin berapa hari saya nggak tahu,
terus dia dapat surat. Senang sekali saya ada suratnya datang.
Tapi, setelah itu tidak ada berita lagi dari, atau mengenai, suaminya. Seperti kebanyakan
tapol lainnya, suaminya tidak pernah diadili atau dihukum. Ia tetap tidak tahu apa
kesalahan sang suami; ia tidak tahu berapa lama suaminya akan mendekam di penjara.
Bisa saja ia bebas keesokan harinya atau mungkin juga ditahan seumur hidup.
Dia dan adiknya tidak bisa melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Sementara,
harta-benda peninggalan ayahnya telah habis terjual untuk biaya hidup, untuk modal
usaha, dan biaya ke sana-ke mari mencari ayahnya: ‘Itulah jerih payah dan suka-dukaan
orang atau anak-anak korban PKI, yang tidak tahu-menahu masalah itu, tapi jadi korban
sampai sekarang dengan kehidupan yang serba tidak menentu.’
Ibu Sri yang saat ditinggal suaminya sakit-sakitan, berusaha segera sembuh supaya bisa
bekerja untuk menghidupi anak-anaknya. Ia menjual apa saja yang ia miliki,
mengerjakan apa saja yang bisa mendatangkan uang seadanya. Sebagai bekas istri kepala
desa yang biasa hidup berkecukupan, ia tidak malu bekerja sebagai buruh di ladang atau
jadi pembantu di rumah saudara-saudaranya yang membutuhkan.
Aku, gek enek ngomah kuwi dijapak-japakke, wis ejik disuntikke, ejik nanggone
kyai, nek jaman biyen iki kyai. Dijapani mripatku kuwi, diklomoti batuke
ngono. Ya, tak marek-mareke tenan, ya nganti adol wedus, adol sapi, adol
kandang, ya adol tandho, ya adol omah, adol bakal omah, adol kekayon, adol
ngalas, sangganku entek jling, kidul kae wis nyang wong kabeh. Ya tak nggo
ragad sekolah, nggo madang, ngingoni cah cilik, nggo nyandangi. Turnehe
sandangan iki okeh nglusuri, okeh sing nglusuri. Sanak sedulurku ya eneng
nukoke kaos, nukoke kathok ... Bareng wis entek jling, mas-masan entek, sapi
entek, wedus entek, lemah entek, kuwi mau gek tak jak glidik buruh, turut
tengah alas, ngono. Ora isin, nek aku, ya nyuci pakaian, menatu pakaian ya
ana daerah etan kono. Nglampini sedulur-sedulur sing dha manak-manak-
manak ora duwe pembantu kuwi. Gek aku sing mbantu nyapu, mbantu adang,
mbantu menatu, mbantu gawe sarapan anak-anak nek arep dha sekolah esuk
kuwi, ngono kuwi carane aku mbiyen. (Aku itu ketika di rumah dimantrai,
terus masih disuntik, masih pergi ke kyai, kalau zaman dulu itu kyai.
Dimantrai mataku, diludahi dahiku. Ya, aku sembuh-sembuhkan benar, ya
sampai jual kambing, jual sapi, jual kandang, ya jual simpanan, ya jual
rumah, jual bakal rumah, jual kayu-kayuan, jual ladang, hartaku habis
bersih, sebelah selatan itu sudah dijual ke orang semua. Ya aku pakai untuk
membiayai anak sekolah, memberi makan, memelihara anak, memberi
pakaian. Apalagi kalau pakaian itu sudah banyak yang ngasih, banyak yang
memberi. Sanak-saudaraku ada yang membelikan kaos, membelikan celana
... Setelah sudah habis semua, emas-emasan habis, sapi habis, kambing
habis, tanah habis, ya yang tadi itu saya ajak kerja memburuh, jalan ke
tengah hutan, gitu. Tidak malu aku, ya nyuci pakaian, nyuci pakaian di
daerah timur sana, mengurus saudara-saudara yang melahirkan, ndak
punya pembantu itu. Aku yang mbantu nyapu, mbantu masak, mbantu
nyuci-setrika pakaian, mbantu buat sarapan anak-anak yang mau sekolah
pagi itu. Begitu itu caraku dulu.)
Tapi, tetap saja perubahan ini tak mudah bagi Ibu Sri. Dia seorang diri harus mengurus
dan membesarkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil, sementara kemampuannya
mencari nafkah terbatas. Ia mulai sering melamun, setiap malam tidak bisa tidur, dan
akhirnya jatuh sakit. Cukup lama dia mengalami pergumulan hebat dalam jiwanya,
sampai-sampai orang-orang sekelilingnya menganggap ia gila. Yang paling sulit baginya
70 Yayan Wiludiharto
masih mendapat beban tambahan, memberi makan kepada suaminya di penjara: ‘Ya,
bawa nasi, lauk pauk. Itu kan di sana nggak diberi makan … kalau ndak dikasih makan
kan kasihan. Jadi makannya dari rumah.’ Ia membeli bahan di pasar, memasak di rumah,
lalu membawanya ke penjara di Pati.
Untuk memperoleh uang tambahan, Ibu Narohmi, ‘membuat snack, membuat tempe,
dijual untuk kebutuhan makan sehari-hari ... Tempenya disetorkan di warung, ya itu.
Lalu jahit, saya kan bisa jahit. Itu untuk mencukupi, pokoknya mengajar juga dengan
menjahit, membuat toko kecil gitu. Segala usaha saya, saya lakukan itu. Membuat kue
saya titipkan di toko-toko kue itu.’ Usaha lain: ‘barang-barang yang ada saya jual. Saya
jual satu per satu. Selain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari juga untuk modal
usaha, untuk makan.’
Di sela-sela kesulitan memperjuangkan kelangsungan hidup keluarganya, anaknya yang
kedua, laki-laki yang masih berusia 1,5 tahun, meninggal dunia pada 6 Maret 1966.
‘Karena sakit-sakitan terus, mungkin itu kangen bapaknya, karena kulino (terbiasa)
diasuh bapaknya kalau saya mengajar.’ Ia memang tidak punya cukup uang dan waktu
untuk merawat kesehatan si anak. Aparat negara yang sudah ‘menghilangkan’ suami Ibu
Nahromi, secara tidak langsung sudah membunuh si bayi malang itu.
Kehilangan dua orang terkasih dalam waktu hampir bersamaan menambah beban
penderitaan Ibu Nahromi:
Dukanya ya lebih banyak lagi. Kalau saat itu ya duka yang sangat dalam.
Karena sudah ndak bisa diceritakan, waktu anak saya sakit dan sebagainya
itu ya duka yang sangat mendalam pokoknya. Tapi untung Tuhan masih
mengasihani, kesehatan dan umur panjang. Sangat duka kalau … tapi ndak
dipikirkan, gitu. Kan kita bergantung kepada Tuhan, semuanya diserahkan
kepada Tuhan ... Seperti saya kan ditinggalkan suami, gitu lho. Masih terlalu
muda. Kan masih baru anak dua. Enam tahun pernikahan saya. Kan terus
ditinggalkan sampai sekarang, gitu lho.
Ia juga tidak bisa meminta bantuan keluarganya sendiri atau keluarga suaminya,
Keluarga saya? Malah terkena semua. Malah hancur. Keluarga suami saya itu
terkena semua, hancur itu. Yang sudah dewasa terkena, yang belum ... Itu kan
semuanya itu menjadi guru semua, tiga orang. Suami saya yang tua, terus
yang tengah, lalu satu. Ini yang ndak kembali ini suami saya, hilang. Yang
satu pulang dari Pulau Buru, yang satu meninggal di Nusakambangan, ipar-
ipar saya itu. Kalau saudara saya sendiri yang terkena satu thok, yang lain
ndak.
Sebenarnya ayah dari Ibu Narohmi juga terkena dampak operasi pembersihan ini. Ia
sempat ditahan selama enam bulan, kemudian dipecat dari pekerjaannya di Jawatan
Penerangan, lebih karena menantunya anggota PGRI non-Vak Central. Saudara iparnya
yang lain malah bukan anggota organisasi apa pun, tapi ikut dipecat dari kantor
pegadaian karena namanya tercantum di dalam daftar iuran Serikat Buruh Pegadaian.
Sedangkan istrinya yang bekerja sebagai guru akhirnya dipecat juga.
Yang paling aneh bagi Ibu Narohmi adalah penangkapan terhadap seorang keponakan
72 Yayan Wiludiharto
suaminya yang masih duduk di bangku SMEA. Kalau Ibu Nahromi kebetulan sibuk
dengan pekerjaannya, ia meminta tolong pada keponakannya mengirim makanan ke
Penjara Pati untuk paman-pamannya. Perjaka muda ini tidak terlibat organisasi apa pun,
tapi, suatu hari, dia ditangkap kemudian ditahan untuk waktu yang cukup lama.
Kondisi ekonomi rumah tangga Ibu Menik tidak lebih baik. Sebelum Peristiwa 65 terjadi,
sumber ekonomi satu-satunya dalam kehidupan rumah tangganya hanyalah dari
penghasilan suaminya sebagai pegawai rendahan di Penjara Ambarawa. Namun, sejak
suaminya ditahan, dia tidak lagi menerima gaji itu. Tanpa keterangan apa pun, gaji
suaminya distop. Bahkan, uang yang ditabungkan di tempat suaminya bekerja juga tidak
diberikan padanya. Suaminya telah diberhentikan dari pekerjaannya begitu saja tanpa
ada surat-surat yang mengungkap alasan pemberhentian kerja tersebut. Sejak saat itu dia
harus mengusahakan sumber kehidupan sendiri dan masih harus mengirim makanan
bagi suaminya di tahanan. Sementara, sebulan lagi, dia akan melahirkan anaknya yang
keempat.
Sebelum dipindahkan dari Penjara Ambarawa, suaminya berjanji akan mengirimkan
kabar sesampainya di Penjara Salatiga. Benar, selang beberapa hari dari saat
pemindahan, Ibu Menik menerima sepucuk surat dari bekas kertas pembungkus rokok
yang bertuliskan: ‘Anaknya sudah lahir apa belum?’
Itu jam enam saya menerima surat – eh mendadak perut saya ini seperti
tahu. Saya terasa mau melahirkan tapi saya diam saja. Di rumah anak saya
tiga. Terus anak-anak saya angkat ke tempat neneknya, terus saya mampir
pasar. Mampir pasar saya mau belanja ndak jadi, saya pulang. Pulang
sampai di rumah, jalan sudah susah, sudah ini, sudah mau uwat (keluar)
gitu. Ha, saya nggak makan nggak apa, eeh saya di dapur mau ambil air
putih saja saya merangkak [ketawa]. Eh merangkak saya ke rumah, karena
dapur saya agak ke bawah gitu, pakai rolak (tangga rendah), dua tingkat itu
rolaknya. Terus naik, naik lagi di bale, di bale saya mikir, ‘Kalau saya
melahirkan di tikar, nanti tikarnya kena darah’. Mikir saya, ‘Ini tikar saya
gulung, terus saya melahirkan di ini – kalau orang Jawa bilang dari galar
(alas tidur yang terbuat dari potongan bambu)’. Terus saya lahirkan itu
anak di galar, saya sendirian, tanpa orang. Ada tetangga tapi saya nggak
mau, ya kalau mau, tetangga juga senasib dengan saya. Sesudah itu, lahir itu
bayi terus saya singkirkan saya bungkus dengan kain, saya mapan lagi, itu
saya pencet perut saya lahir itu ari-ari terus saya singkirkan saya pergi
mandi.
Ibu Menik beruntung tidak mengalami masalah selama melahirkan. Tapi, ia ingat
tetangganya heboh saat mereka tahu ia melahirkan seorang diri saja.
Saya baru mandi, itu tetangga saya ngomong, ‘Tumben hari gini mandi,’
katanya. Saya bilang, ‘Orang gerah namanya, entuk (dapat) mandi biar
segar,’ saya bilang gitu. Tapi ndak tahu kalau saya habis melahirkan. Terus
saya – apa tetangga saya itu, ‘Kok ada tangis itu orok?’ Saya bilang, ‘Itu anak
saya.’ ‘Lho, kamu melahirkan?’ ‘Iya.’ Oh, terus nangis itu tetangga yang ada
yang dagang di depan rumah saya dan pernah berdagang nasi itu dibilangi,
Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas: Kisah Keluarga Korban 73
Ditampa jarene arak dinehke, ning anggone sing anu iki ora ngerti aku. ‘Empun
selehke ngriku mawon, mengko tak terne, mengko tak nehke.’ (Lha, aku itu
setiap ngirim yang dapat ya keluarga yang ada di kamp itu. Kalau suamiku
yang bernama Lurah Karyo itu tak pernah diterima. Diterima katanya akan
disampaikan, tapi tempatnya yang mana itu aku ngga ngerti. ‘Sudah taruh di
situ saja, nanti kuantarkan, nanti kusampaikan.’)
Ketika Ibu Sri mendapat kesempatan bertanya pada petugas tentang keberadaan
suaminya, bukan penjelasan yang ia peroleh dari tentara di Kodim.
‘Okeh kancane bojomu iki ra gur kowe dhewe ning ditinggal bojomu!’ Eh, ndak
di dhongke ngono kaya kuwi. Aku nangis. ‘Kowe ojo nangis!’ mendak ngono
tentarane iki nggetak kok. Lha enek nggon meja iki dilemeki ijo to. Gegere
angger nggebrak ngono iki yo nganti, walah! Sepatune muni,
pruuuk…pruuuk…pruuk... haduh [menghela nafas sambil memukul-mukul
dada] dhug…dhug…dhug, ngono wisan. Lha wong nduwe penyakit jantung ya
ndredeg kok. ... Ning meja ijo, gek therek-therek kae, kancaku ya randha-
randha sing dha ditinggal-tinggal kuwi. (‘Banyak teman suamimu ini bukan
kamu saja yang ditinggal suamimu!’ Eh, begitu aku dibuat mengerti. Aku
menangis. ‘Kamu jangan nangis!’ sudah begitu lalu tentaranya menggertak.
Lha ada meja yang dialasi hijau toh. Badannya setiap menggebrak gitu
sampai walah! Sepatunya berbunyi pruuk ... pruuk ... pruuk ... haduh dug ...
dug...dug, seperti itu lah. Lha orang punya sakit jantung ya berdebar-debar
kok .... Di meja hijau, sudah berderet-deret gitu, temanku ya janda-janda
yang ditinggal-tinggal itu.)
Selama bulan-bulan berikutnya, ibu Sri tetap tidak tahu di mana suaminya berada. Ia
bertanya pada banyak orang dengan harapan mendapat petunjuk. Ia mendengar banyak
tahanan yang dipindah ke LP Wirogunan di Yogyakarta, lalu pergi ke sana untuk mencari
suaminya. Ibu Sri mendatangi penjara itu sampai empat kali, tapi tidak berhasil
mendapat informasi mengenai suaminya. Petugas di sana hanya berkata, ‘Mriki mboten
enten Bu, mbenjing nek wonten kula kabari.’ (Di sini tidak ada Bu, nanti kalau ada akan
saya kabari.)
Ibu Sri masih belum putus asa. Setiap kali sesama keluarga tahanan atau petugas
keamanan memberinya informasi tentang tempat penahanan suaminya, walau hanya
berupa kemungkinan – karena banyaknya tempat yang dijadikan lokasi penahanan pada
saat itu – akan selalu didatanginya. Sampai suatu hari, ia memutuskan pergi ke Cilacap:
‘Nyang Cilacap nganti ketherek-therek adol bibit, aku iki nyang Cilacap. Adol sapi. Badak,
ora ketemu! We ora wani nyabrang aku, metu nggon sepur... apa kuwi? Laut? Ya gur
diwangsuli enek nggon sandhing segara kuwi.’(Ke Cilacap sampai terbirit-birit jual bibit,
aku ini ke Cilacap. Jual sapi. Badak, tidak ketemu! Tak berani nyebrang aku, keluar dari
kereta ... apa itu? Laut? Ya terus dibilangi ada tempat di seberang lautan itu.’)
Setelah perjalanan sia-sia ke Cilacap, Ibu Sri hanya tinggal berharap suatu saat suaminya
akan kembali. Bermalam-malam ia habiskan dengan merenung. Kadang-kadang ia jalan
kaki mengitari rumahnya; kali lain ia berdiam diri di emperan rumah. Dia sering
menyanyikan lagu ‘Teluk Bayur,’ lagu kesenangan suaminya sebagai pelepas rindu dan
76 Yayan Wiludiharto
pelipur hati.
Lha ya, nek ngarep-ngarep wong kok nganti sasuwene. Nganti untu entek dha
ompong, rambute nganti putih, harah. Nandur kambil, nandur agi nem sasi,
saiki wohe ndadi, ora mulih. Lha ya wis suwe tho?... Gek ya nganti kesel, nek
bengi mbok ning kursi, nek esuk byar padhang, ra teka. Eh mbokne mengko sore.
Sore ra teka. Eh mbokne mengko bengi. Bengi ra teka. Esuk neh. Entuk esuk,
mbok gek wengiiiiiii. Aku gur ngarep-arep dina iki ta’kon nganu, ‘Nek wengi ya
gek padhango, nek wis padhang gek wengio, nek wengi gek padhango’. Gur
ngono aku mbiyen. [tertawa kecil] (Lha iya, kalau mengharap-harap orang
kok sampai begitu lamanya. Sampai gigi habis ompong semua, sampai
rambut memutih, hayo. Menanam kelapa, nanam dari umur masih enam
bulan, sekarang buahnya lebat, tidak pulang. Lha ya sudah lama toh? ...
Sampai capek, kalau malam aku duduk di kursi, kalau pagi begitu terang,
tak juga [ia] datang. Eh barangkali nanti sore. Sore tak datang. Eh
barangkali nanti malam. Malam tak datang. Pagi lagi. Dapat pagi, maunya
malaaaam. Aku berharap-harap hari ini aku suruh, ‘Jika malam tiba
segeralah siang, jika sudah terang segeralah jadi malam, jika malam
segeralah terang.’ Seperti itu aku dulu.)
Berbeda dengan Ibu Sri, Ibu Nahromi tidak lagi berusaha mencari suaminya setelah
menghilang dari Penjara Pati pada Maret 1966. Ia tidak tahu harus berbuat apa, karena
bingung dan ketakutan.
Saya terus ndak mau ngurus, ndak tahu di mana ngurusnya, kan ya takut
sendiri, kan ya di mana tempatnya…Ya nggak tahu. Ya gosip-gosip anu ya
ndak, ndak saya tanggapi, saya ndak tahu sendiri kok. Gosipnya ya mungkin
yang ndak pulang meninggal gitu, kata orang-orang umum.
Ia merasa gosip bahwa suaminya sudah dibunuh ada benarnya. Ia yakin, jika suaminya
masih hidup, tentu akan mencari jalan untuk mengirim surat atau pesan kepadanya.
Namun, ia juga tidak bisa meyakinkan diri bahwa suaminya sudah dibunuh.
Menyikapi gosip itu ya sedih saya. Sedih tapi kan tidak bisa berbuat apa-apa
ya, hanya menangis thok, tapi kan saya [pikir], ‘Ndak mungkin ah,’ gitu.
Ndak mungkin meninggal, mesti besok ketemu lagi dalam hati, ya gitu.
Ibu Nahromi hidup dalam kegamangan selama 37 tahun.
Ibu Menik yang tinggal di sebuah desa di pinggir kota Ambarawa, harus menempuh
perjalanan cukup jauh untuk mengunjungi suaminya di Salatiga. Tiga hari sekali ia pergi
membawa makanan untuk suaminya yang ditahan di kantor polisi. Kadang, ia berjalan
kaki menggendong seorang anaknya dan menuntun yang lain. Perjalanan itu memakan
waktu sekurangnya dua jam, dan setengah hari waktunya tersita untuk urusan itu. Sisa
waktu ia gunakan untuk mencari nafkah dan mengasuh anak-anaknya. Di tengah
pengorbanan seperti itu, ia masih juga dicaci-maki oleh polisi dan tentara yang menahan
suaminya.
Sudah pernah saya ngirim di Salatiga, di situ nggak diterima dengan baik,
malah saya dibentak-bentak. Karuan seperti, aduh seperti apa ya, pencuri
Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas: Kisah Keluarga Korban 77
saja nggak begitu. Mbentak-mbentak ngatain saya PKI, ini… itu. Saya cuma
diam saja. Saya sampai bingung. ‘Kenapa suami saya dibilang PKI? Suami
saya ini pegawai, dia momong [mengasuh] orang hukuman.’ [Orang]
hukuman saja sama suami saya baik-baik.
Walau tahu suaminya ditahan di Salatiga, ia tidak pernah tahu bagaimana nasib
suaminya kemudian. Saat mendengar cerita-cerita tapol yang menghilang secara
misterius dari penjara, ia juga sempat berpikir bahwa suaminya pun akan mengalami
nasib serupa. Suatu saat, ia berjalan ke Salatiga dengan dua istri tapol lain dan
mendengar bahwa beberapa tapol akan dieksekusi.
Saya waktu perutnya gede sudah pernah dibilangin orang, ‘Hei, besok
tahanan di Salatiga mau digantungi di lapangan,’ katanya, ‘mau digantung.’
Saya, semua, namanya Bu Ratmo, Bu Sri, orang tiga bunting gede semua itu,
jalan dari sini jam setengah empat kali, jalan bertiga semuanya sangu
(berbekal) nasi dingin sama garam berangkat bareng-bareng orang tiga itu
mau lihat digantung di mana? Itu siapa yang mau digantung? Ya toh. Eeh,
nggak tahunya kita sampai di lapangan di Salatiga, ndak ada apa-apa. Saya
tunggu itu sampai jam 11 siang. Kepanasan nggak ada apa-apa. Pulang dah,
jalan lagi, seperti orang mau drum band itu orang tiga. Jalan. [ketawa].
Kekhawatiran Ibu Menik sangat beralasan. Suami kakak perempuannya yang juga
ditahan di Penjara Ambarawa, pada suatu hari dibawa entah ke mana. Ia kemudian
membantu kakaknya mencari suaminya.
Pas kakak ipar saya dipindah itu. Harinya kalau nggak salah itu Jumat Legi.
Mau lebaran atau habis lebaran itu. Kakak saya itu, melihat suaminya di
atas truk itu, lari gitu nututin (mengejar). Tapi lakinya cuma gini-gini
[melambai-lambai] dalam truk, kan ndak boleh, ditutup rapat itu mobil.
Ditutup rapat itu mobil, terus kakak saya sampai merangkak-rangkak nututi.
Orang mobil truk jalan dikejar, ya nggak bisa. Sampai merangkak-rangkak
di dekat lapangan itu, Ambarawa itu.
Kebetulan Ibu Menik baru pulang dari mengirim makanan suaminya yang ditahan di
Salatiga. Mereka berpikir bahwa mungkin suami kakaknya juga dibawa ke Salatiga.
Keesokan harinya, Ibu Menik pun bergegas pergi ke Salatiga untuk mencari di mana kakak
iparnya ditahan.
Nyariin kakak saya di Salatiga ke Yon N, ke Kantor Polisi, ke Kodim. Kakak
saya, saya cari hujan-hujan saya bawa itu anak saya belum umur 20 hari –
waktu itu mau Lebaran – hujan deras setengah mati itu hujan, aduuuh deras
banget. Saya nggak bawa payung, orang nggak punya, saya cuma bawa
sangu popok (bekal kain bayi) sama gendong anak gitu saja saya jalan, nggak
naik kendaraan dari Banyu Biru ke Salatiga itu juga. Jalan, sampai di
Salatiga, ya itu hujan, saya ke sana ke sini bawa anak, kehujanan cuma saya
tutupi saja itu pakai selendang.
Sudah beberapa tempat didatangi, namun tidak juga dia temukan kakak iparnya.
Akhirnya Ibu Menik putuskan untuk kembali ke rumah karena sudah letih berjalan kaki
78 Yayan Wiludiharto
selama dua jam lebih ke sana-kemari. Sudah sore, namun hujan belum juga reda. Ia
putuskan untuk berteduh di sebuah halte. Kebetulan ada seorang kenek kendaraan umum
yang mengenalnya.
‘Lho Bu dari mana?’ katanya. ‘Saya nyariin kakak saya,’ ngomong. ‘Alah
sudah nggak usah dicari, itu anaknya kasihan. Coba saya lihat,’ katanya.
Anak saya dibuka, memang masih merah, belum ada satu bulan, baru 20
hari. Dibuka, anak saya sudah biru, terus diminta sama dia. Ada gurita, ada
bajunya itu dilepasin sama dia. Dia beli minyak kayu putih, dibedaki pakai
kayu putih itu. Terus baju yang buat ngenek dia itu dilepas buat bungkus itu
anak saya. Ini – hati kalau ingat waktu itu waduh setengah mati.
Perjalanan ini menandai saat paling buruk dalam hidupnya. Ia dan kakaknya harus
menghadapi kemungkinan bahwa orang yang mereka cintai telah dibunuh. Sementara
itu, dinginnya hujan hampir saja membunuh bayinya sendiri. Ibu Menik yang mudah
tertawa ini selalu menangis saat mengenang hari itu.
Saya pulang sampai di rumah, kakak saya waktu itu masih nangis
[menangis], apa lagi melihat anak saya, kecil-kecil gitu, terus yang orok
kehujanan sampai – hai gitu dah pokoknya paling menyakitkan [menangis].
Sudah gitu kakak saya bilang, ‘Sudah nggak usah nyari lagi, biar kakakmu
pergi pindah ke mana ngga tahu. Sudah kita terima saja dah. Pokoknya kita
kalau malam minta saja sama Tuhan supaya nanti kelihatan, yang benar,
yang salah Tuhan yang ngasih pengadilan nanti. Kita terima saja kalau gini
[menangis],’ katanya. Terus saya bilang, ‘Ya.’
Karena kakak iparnya menghilang, Ibu Menik mulai khawatir suaminya akan ‘dipindah’
tak tentu rimbanya. Ia sering mendengar: banyak kejadian, tapol yang katanya
dipindahkan ke lokasi tahanan lain ternyata tidak ada lagi kabar beritanya. Ia ingin
memberi sejumlah besar uang kepada para penjaga yang berjanji akan menghalangi
suaminya dipindah dari Salatiga.
Saya sudah pernah dimintain duit. Waktu itu berapa ya? 30 ribu. ‘Supaya
nggak dipindah jauh,’ katanya. Dari mana itu saya nggak tahu. Terus satu-
satunya saya punya radio yang modelnya kayak roti tawar itu sudah saya
jual, laku 3.000 [tertawa]. Lainnya nggak ada. Ya lainnya saya jual kain
panjang, saya kumpulkan itu, jual. Tempat tidur saya kumpulin supaya
suami saya nggak dikirim jauh. Nggak tahunya tetap saja, Nusakambangan.
Sama saja ya.
Ibu Menik sempat merasa sedikit lega setelah menerima surat dari suaminya begitu ia
sampai di LP Nusakambangan. Tapi, ia masih menyimpan rasa khawatir apakah
suaminya akan selamat di salah satu penjara yang terkenal paling mengerikan bagi tapol
itu. Waktu masih bekerja di Jakarta, ia menerima kabar bahwa suaminya telah
dibebaskan pada 1971.
Tahun 71 ada surat dari Jawa, katanya suami saya pulang. Suami saya
pulang, saya nggak percaya itu, yang ngirimi surat saudara saya. Saya nggak
percaya, ‘Jangan-jangan ini cuma saya disuruh pulang saja, nanti di Jawa
Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas: Kisah Keluarga Korban 79
kerja apa lagi, saya ngomong,’ pikir saya begitu. Sudah gitu suami saya yang
kirim surat, ‘Pulang dulu sebentar. Kalau memang kamu sudah kerasan di
sini, urusin dulu anak. Kalau anak sudah bener, baru dah kalau kamu mau
pulang,’ katanya. Nah, setelah ada tanda tangan surat dari suami saya, saya
pulang. Pulang, saya ketemu suami saya sampai – dia baru mau ke sektor
kepolisian – saya naik andong itu, saya ketemu di jalan. Dia mukanya
merah, saya juga menangis. Alah, ya gembira campur gimana ya. Haru.
Terharu sekali.
Selama enam tahun, Ibu Menik hidup dalam ketidakpastian. Ibu Menik boleh dibilang
sedikit lebih beruntung daripada keluarga Ibu Sri dan Partono, dan Ibu Narohmi. Paling
tidak, penantiannya berujung pada kembalinya sang suami ke tengah keluarganya.
orang PKI tidak boleh masuk ke lapangan, karena itu ‘orang-orang anak
PKI’, dikatakan ‘karena sampah masyarakat, yang tidak berguna bagi
masyarakat’.
Baru menjelang remaja ia mendapat kesempatan bermain bola lagi. Kesempatan ini
Partono gunakan untuk menunjukkan: walaupun ‘anak PKI’, ia sanggup bermain dengan
baik. Saat masih SMP, ia menjadi salah satu penjaga gawang terbaik di desanya. Prestasi
ini menarik perhatian camat di wilayahnya. Tanpa peduli latar belakang keluarga
Partono, pak camat selalu memintanya ikut memperkuat tim sepak bola kecamatan.
Bahkan setelah lulus SMA dan tinggal di Yogyakarta, ia masih sering dipanggil pulang
untuk memperkuat tim kampungnya.
Saya itu kan pemain sepak bola, saya penjaga gawang, seringkali diambil pak
camat, dari desa untuk melawat ke mana, untuk pertandingan ke mana, saya
untuk jaga gawang. Pernah saya pertandingan di AKABRI di Magelang sana.
Banyak orang itu, kan saya tidak memamerkan potongan saya. Kan dikira
saya dari AKABRI sana, orang mahasiswa kok, jaga gawang di sana. Sampai
pak camat itu sering mbelikan sepatu, kaos, hadiah sepak bola. Tapi saya kan
cari nafkah di Yogya, sering dijemput dikasih transport untuk nge-bis, nah
untuk sepak bola.
Namun, prestasinya di bidang sepak bola tidak membuat Partono sama sekali bebas dari
bayang-bayang aturan ‘bersih lingkungan’. Karena ayahnya dulu kepala desa dan
beberapa saudaranya bekerja untuk pemerintah, ia berharap bisa menjadi pegawai negeri
juga. Setelah lulus SMP, ia masuk Sekolah Pendidikan Guru (SPG) dan berharap kelak
akan menjadi guru sekolah. Tapi kemudian ia tahu tidak akan mungkin menjadi guru
karena ayahnya dianggap PKI. Ia keluar dari sekolah itu dan menjadi buruh lepas.
Saya terasa itu kalau orang-orang, teman-teman, ya kalau seperti
mengingatkan keberadaan orang tua saya, keberadaan itu. Tiap orang
bercerita, ngomong-ngomong masalah orang PKI, saya terasa. Apalagi kalau
tersinggung masalah, ‘Lha keturunannya orang PKI tidak mungkin akan jadi
pegawai,’ itu terasa sekali. Seperti kan ibaratnya sudah dikatakan sampah
gitu aja, berarti kan sudah tidak berguna lagi di masyarakat, gitu. Saya tidak
mau keluar untuk ngomong sama masyarakat saja sudah sepertinya tidak
nganu, tidak begitu sreg (nyaman) gitu lho. Masalahnya, semenjak kecil kan
jadinya terlalu terjepit, terlalu tersisih, minder terlalu tersisih … Sekolah kan
percuma, sekolah percuma, ‘Lha kowe ta rewangono sekolah percuma ra iso
nyambut gawe iku.’ (Lha kamu aku bantu sekolah percuma tak bisa bekerja).
Lha saya kan pikir sama pikir, waktu itu kan saya mempunyai teman yang
kerja di tempat bis, nah itu. Terus saya itu tidak ditawari dia, tapi saya kok
berpikir, lebih baik saya keluar dari SPG, saya kursus-kursus setir montir
lho, setir montir itu. Terus lulus ya sudah sambil, ya masih sejak jaman dulu
kan masih anak muda ya, masih mondar-mandir, sok-sok (kadang-kadang)
mau nyetir, sok-sok bengkel, sok-sok jualan bakso.
Ia sempat kerja serabutan selama hidup di Yogyakarta. Setelah menikah, ia bertekad
untuk hidup tenang dan kembali ke desanya membuka bengkel mobil. Hubungan dengan
Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas: Kisah Keluarga Korban 81
tetangganya sekarang baik-baik saja. Ia tidak merasa ada perlakuan buruk atau isolasi
dari masyarakat di sekelilingnya. Tapi, ia tetap merasa getir saat mengenang suasana
diskriminatif yang memaksanya keluar dari sekolah guru itu. Ia tak sepenuhnya dapat
melepaskan diri dari masa lalu: ‘Masalah-masalah orang tua selalu terbayang.’
Di Pati, Ibu Nahromi tidak pernah merasa diperlakukan buruk oleh masyarakat di
sekeliling tempat tinggalnya. Walaupun pernah diskors selama enam bulan dari sekolah
tempatnya bekerja, setelah kembali mengajar, rekan-rekan sekerjanya tidak
memusuhinya atau berusaha menyingkirkan dia.
Ndak apa-apa kok. Teman baik-baik. Ya seperti saudara, baik semua. Sudah
semua tahu, tapi semuanya baik hubungan saya dengan teman-teman. Di
organisasi PKK juga saya ikut, ndak ada tanggapan yang sinis itu ndak ada.
Baik masyarakat.
Ia pun bersyukur bahwa anak-anaknya tidak pernah menghadapi pelecehan di sekolah
maupun di lingkungan sekitarnya.
Temannya kok, alhamdullilah ndak mengejek. Ndak mengejek anak saya.
Soalnya anak saya percaya diri, ndak minder. Terus prestasinya baik gitu.
Ndak berani anak-anak lain menghina, ndak pernah. Ndak pernah
menghina, jadi dia bersemangat, ikut apa saja, perlombaan ikut. Dan ya
mendapat nilai, prestasi anak saya dulu, jadi ndak ada yang berani menghina
atau melecehkan ndak ada. Sampai besar sampai di SPG juga ndak pernah
dilecehkan temannya. Ndak tahu mungkin. Kalau tahu anaknya pribadinya
baik kan ya ndak mau. Ndak mau melecehkan.
Anaknya, bagaimanapun, agak khawatir: apakah ada orang yang mau menjadi suaminya
jika tahu bahwa ayahnya hilang karena dicap ‘PKI’? Tapi, menurut penuturan Ibu
Nahromi, anaknya berani berterus-terang kepada tunangannya mengenai nasib
ayahnya.
Dia sudah menjelaskan sama calon suaminya. ‘Bahwa saya ini, bapak saya
begini-begini. Apakah kamu bersedia menjadi suami saya apakah tidak?
Nanti kecewa di belakang hari, keadaan saya ya ini. Kalau kamu tahu ya
begini. Bisa menerima saya atau tidak,’ begitu bilangnya. Sudah jelas-jelas
bilang dia, nanti kalau sembunyikan ya kalau hari belakang kecewa ndak
baik dalam rumah tangga. Tapi suaminya memang sudah mau dan bersedia.
Ya dia takutnya di situ. ‘Kalau nanti saya, kalau ada yang senang sama sama
saya ya harus saya beri tahu apa adanya. Kalau dia siap menerima ya saya ya
siap. Kalau soal itu diungkit ya saya tidak mau,’ gitu. Jadi begitu. Dia terus
terang.
Apa yang dialami Ibu Nahromi dan anaknya boleh dikatakan salah satu pengecualian.
Ada banyak kasus di mana anak-anak korban Tragedi 65 gagal menikah dengan pujaan
hatinya atau diceraikan suami/istrinya karena orang tuanya ‘tersangkut G-30-S/PKI’.
Cukup banyak pula orang tua yang merelakan anak-anaknya diangkat keluarga lain,
berganti nama keluarga, dan memutuskan tidak berhubungan sama sekali dengan anak-
anak mereka supaya kelangsungan hidup sang anak tidak terganggu oleh masa lalu orang
82 Yayan Wiludiharto
tuanya.
Pengalaman Ibu Menik sangat berbeda dari pengalaman Ibu Nahromi. Setelah suaminya
dibawa pergi dan ditahan, Ibu Menik dan anak-anaknya tak jarang diperlakukan dengan
kasar oleh orang-orang sedesa, seolah-olah mereka wabah penyakit yang harus dihindari.
Tapi, gara-gara suami masuk itu, terus anak isteri disia-sia. Anak mau ikut
ngaji, juga dikatakan najis. Terus main sama temannya juga dikatakan ‘anak
PKI.’ Pokoknya serba salah, serba jelek, nggak ada yang benar…Anak saya itu
aja, kalau saya keluar rumah, pada ikut. Kalau masuk, ikut semua, takut
katanya. Takut apa? Katanya diejek sama orang. Main sama teman saja,
temannya pada pergi…Pernah saya, waktu bapaknya masih di dalam, saya
jalan gitu. Ketemu orang, katanya, ‘Saya daripada ketemu isterinya orang
PKI, bagusan ketemu anjing yang korepen, budukan.’ Nah, ini kan saya, lebih
bagus anjing daripada saya. Tapi, saya cuma, ‘Ya Allah, namung Panjenengan
ingkang saged maringi pengadilan’(hanya Engkau yang sanggup memberikan
pengadilan). Di situ saya berhenti. Langsung berhenti saya ngomong begitu.
Sudah begitu saya jalan lagi.
Ibu Menik merasa di mata orang desa yang lain, ia selalu salah. Sekalipun sudah bekerja
keras dan tidak pernah terlibat politik, sebagai perempuan yang hanya sendirian
mengurus anak, stigma ‘PKI’ menambah beban di pundaknya.
Susah jadi isteri yang ditinggal, kalau berangkat kerja katanya berangkat,
apa ya kalau orang Jawa bilang nglonte (melacur), kalau orang Jakarta
bilang nyabo, he-eh nyabo. Nanti pulang sore, katanya ‘Nyabonya baru
pulang.’ Kalau berangkat sore, orang itu kan ada kepentingan macam-
macam katanya … Pokoknya waktu itu serba enggak aman, pergi juga
diawasi, enggak pergi juga dibilangin, dikatain. Bisa makan juga dikatain
enggak baik, enggak bisa makan juga disukurin. Jadi serba salah, serba susah.
Anak saya sampai enggak berani main dengan tetangga.
Pelecehan ini juga yang menjadi salah satu alasan yang mendorongnya pergi mencari
kerja ke Jakarta. Saat suaminya kembali dari penjara pada 1971, Ibu Menik berhenti kerja
dan kembali ke desanya. Tapi masalah tidak berhenti datang. Walau keduanya
berbahagia karena bisa bersatu kembali, mereka menghadapi soal besar: bagaimana
mencari uang di desa sekecil itu? Keduanya tidak punya pekerjaan, ‘Saya pulang, suami
saya nganggur, saya sendiri juga nganggur, makani anak empat, kan bingung.’ Sebagai
eks-tapol, suaminya tidak mungkin mendapat pekerjaan di kantor pemerintah atau
swasta. Untung ada saudara yang mau menolong mereka. Salah seorang saudaranya
menjual ternak dan meminjamkan uang penjualan itu agar keduanya bisa membangun
rumah. Suaminya kemudian menjadi petani bagi hasil yang menyewa tanah dari tuan
tanah. Setelah panen, ia mendapat separuh dari hasil penjualan sementara pemilik tanah
mendapat separuh yang lain. Ibu Menik sementara itu bekerja mencari kayu di hutan.
Mereka termasuk keluarga yang paling miskin di desanya.
Saya kalau pagi habis masak ke hutan nyari kayu, suami saya di sawah. Terus
kalau kayunya sehari saya dapat dua ikat, yang satu ikat saya jual, yang satu
saya kumpulkan di rumah buat masak sendiri. Itu tiap hari begitu. Terus
Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas: Kisah Keluarga Korban 83
yang saya jual buat sangu (bekal) sekolah anak saya ke Ambarawa. Waktu
itu lakunya Rp1.500,00 satu ikat gede. Orang saya nggendongnya sampai
nungging [ketawa]. Dari hutan jauh, dua, tiga kilometer saya nggendong
sampai nungging. Sudah pernah saya sampai klenger di hutan. Untung ada
yang nolongin. Kalau nggak saya mati ‘kali di hutan itu. Nggak sanggup,
nggak makan apa-apa. Makan saya tiap hari cuma nasi lemes. Itu lemes. Nasi
bubur yang agak ini, nasi lemes. Terus sayurannya cari di hutan, itu. Ada
kalau orang bilang, joblog, ada daun singkong itu saya rebus. Hariannya itu
saya makan itu, sama sambel kelapa kalau ada. Kalau tidak ada ya sambel
terasi, kalau nggak ya bawang itu aja sama cabe rame-rame makan bareng-
bareng gitu. Anak saya juga pada lahap, enak betul. Ini pengalaman saya,
kalau saya ingat sampai sekarang pedih, benar pedih.
Dari hasil membanting tulang, Ibu Menik dan suaminya berhasil menyekolahkan anak-
anak mereka. Salah seorang dari mereka, selepas SMA masuk Akademi Kepolisian, tapi
tidak bertahan lama. Begitu diketahui ayahnya seorang eks-tapol, si anak dikeluarkan dari
sekolah itu.
Akhirnya anak saya ada yang tamat dari SMA, masuk kepolisian. Eeh,
diterima. Senang sekali saya. Ndak tahunya, ada yang indikasi. Indikasi
bapaknya masuk tahanan. Dalam indikasinya itu katanya bapaknya masuk
delapan tahun. Padahal suami saya cuma lima tahun. ‘Ini kok delapan
tahun?’ saya ngomong. Itu Surat Pembebasan bapak, saya suruh bawa ke
kelurahan, ke kepala kepolisian di situ, di tempat. Katanya sudah terlanjur.
Ya sudah. Untung anak saya nggak sampai gila waktu keluar. Kalau sampai
dia nggak tahan, dipecat gitu saja, kan bisa sampai gila. Ada yang gitu. Tapi,
anak saya itu besar hati dah pokoknya. ‘Orang Tuhan itu Maha adil katakan
Mak. Mak, gimana saya dilepas gini? Mak terima nggak?’ Saya bilang, ‘Kalau
nggak terima mau ngadu ke siapa sih? Orang jaman begini ya terima saja
dah, pokoknya kita minta sama Tuhan, supaya nanti kalau besar kalau
sudah ini dari cobaan ini, bisa dapat pekerjaan lebih bagus.’ ‘Saya nggak akan
kerja, saya mau wiraswasta,’ katanya, ‘mau wiraswasta, kalau kerja di
pemerintahan, paling-paling saya diindikasi lagi.’ Sampai ke adik-adiknya
nggak ada yang kerja di pemerintahan. Takut kalau diindikasi, sakit betul itu
di hati.
Walaupun anaknya bisa menerima kenyataan pahit itu, Ibu Menik merasa hampir gila. Ia
sulit tidur. Selama tiga bulan, setiap malam Ibu Menik berjalan menyusuri jalan-jalan
sepi karena putus asa.
Terus setiap jam 12 malam saya keluar rumah. Saya jalan sampai di mana,
tidak tahu. Pokoknya kira-kira mulai setengah lima, saya harus sampai di
rumah. Itu sampai tiga bulan kali. Nah, kalau saya masuk kamar, saya
nyenggol kaki suami saya itu katanya, ‘Kok kayak es? Dari mana?’ katanya.
‘Nggak dari mana-mana, dari kamar mandi,’ saya bilang. Suami saya nggak
tahu kalau saya pergi kalau malam. Saya minta sama Tuhan, minta di
hadapan Tuhan, supaya anak saya dikasih pengadilan dah. Pokoknya yang
benar kasih lihat yang benar, yang salah kasih lihat yang salah, gimana
84 Yayan Wiludiharto
caranya kalau orang yang salah. Gitu maunya saya. Saya cuma dari dulu
saya percaya Tuhan itu adil.
Ia tetap tidak bisa mengerti mengapa hidupnya begitu pahit dan penuh penderitaan: ‘Ya
ingat riwayat, ya nangis. Saya kalau ngomong, suka nangis, itu riwayat.’
Akhir Cerita
Selama hampir setengah tahun aku berkeliling mendengarkan kisah-kisah korban. Dari
Jakarta, ke Jawa Tengah, kemudian ke Lampung. Yang kutemui adalah kumpulan orang-
orang berusia lanjut yang selama puluhan tahun menanggung beban hidup, menyimpan
cerita pahit. Dari perjalanan ini pula tersingkap tabir yang menyelimuti kebisuan
keluarga almarhumah ibuku.
Perempuan-perempuan di keluarga ibuku kebanyakan tidak bersuami. Nenekku bilang:
‘Kakek hilang.’ Dua bibiku pernah menikah, tapi keduanya ditinggalkan suaminya. Ibuku
pun, sebelum menikah dengan ayahku, pernah menikah dengan seorang perwira
Angkatan Laut di Surabaya, tapi ditinggal pada 1965. Aku selalu bertanya-tanya:
‘Mengapa mereka semua ditinggalkan suaminya?’ Padahal, menurut cerita orang-orang
kampung, mereka bertiga dulu kembang desa yang dikagumi kecantikan dan
kepandaiannya menari. Tapi, aku tidak pernah mendapatkan penjelasan yang
memuaskan.
Waktu kecil, aku pernah mendengar ibuku mengajar menari di TK Melati. Aku tidak
tahu apa itu TK Melati sampai aku ikut diskusi persiapan riset sejarah lisan ini. Lalu, aku
mulai berpikir: ‘Apakah menghilangnya kakekku dan para menantunya ada
hubungannya dengan Peristiwa 1965?’
Orang pertama yang kuajak bicara adalah nenekku. Aku ingat, begitu aku sebutkan soal
‘enam lima’, dengan wajah terkejut campur takut ia langsung tarik aku ke dapur, ‘Ojo
banter-banter, le!’ (Jangan keras-keras, nak!)
Baru ia mulai bercerita tentang kakekku, seorang guru, anggota PGRI non-Vak Central.
Setelah keributan 30 September di Jakarta, kakekku pergi entah ke mana dan tak pernah
kembali. Nenekku tak berhasil mengingat apa persisnya yang terjadi. Ia hanya
mendengar kabar burung kakekku terbunuh. Darinya pula aku tahu, almarhumah ibuku
dan saudari-saudarinya ditinggalkan suami-suami mereka segera setelah kakekku
menghilang. Kemudian, jadi semakin jelas juga buatku mengapa Bude Sri, kakak nenekku,
yang ceritanya kutuliskan di atas, pernah dianggap gila oleh keluarga.
Setelah habis bercerita, nenekku mengambil setumpuk buku yang dibungkus kain batik
rapi dari almari, dan menyerahkannya padaku. Diantaranya ada buku Di Bawah Bendera
Revolusi karangan Soekarno. Masih terselip pembatas buku yang berbekas kuat di salah
satu lembarnya. Nenekku bilang: buku-buku itu milik kakekku.
Aku tak bisa membayangkan berapa banyak anak muda dari generasiku yang tidak tahu
sejarah keluarganya, sejarah bangsanya. Kami dibesarkan dalam suasana ketidakjelasan
dan kebohongan. Kami ditakut-takuti dan didorong untuk memusuhi orang-orang yang
tidak kami kenal dan mencurigai orang-orang yang kami kenal demi ‘Kesaktian Pancasila’.
Aku beruntung beroleh kesempatan memahami keluargaku dengan lebih baik, dan mulai
Penantian Panjang di Jalan Penuh Batas: Kisah Keluarga Korban 85
Daftar Wawancara
1. Ibu Menik, Ambarawa, 29 Juli 2000
2. Ibu Nahromi, Pati, 7 September 2000
3. Partono, Yogyakarta, 16 Juli 2000
4. Ibu Sri, Yogyakarta, 16 Juli 2000
86 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
87
Saya termasuk salah satu orang yang cukup lama dibayangi ketakutan akan Gerwani.
Sosok-sosok perempuan liar yang menyanyi ‘Genjer-genjer’, menari telanjang, lalu dengan
kejam menyiksa, menyilet dan memotong kemaluan para jendral yang diculik di Lubang
Buaya melekat di benak saya, bahkan setelah saya mulai tahu bahwa pemerintah Orde
Baru banyak membuat cerita-cerita bohong tentang G-30-S dan PKI. Waktu saya masih
kelas tiga SMA, seorang teman sekelas meminjami saya memoar Pramoedya Ananta Toer,
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Setelah membaca buku itu, saya menjadi ingin tahu lebih
banyak tentang peristiwa 1965 dan tentang Pramoedya sendiri. Tapi, saya tetap tak
tertarik pada Gerwani. Ketika saya memberanikan diri berkunjung ke rumah Pramoedya
dan berbincang-bincang dengannya pun saya tidak pernah bertanya soal Gerwani.
Waktu Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) berencana mengadakan riset tentang
korban Tragedi 65, saya langsung terlibat sejak awal. Saya pikir inilah kesempatan buat
saya mengerti lebih baik hal-hal yang berkaitan dengan G-30-S, terutama yang selama ini
disembunyikan pemerintah Soeharto. Dalam salah satu diskusi persiapan riset, saya
mendapat tugas membaca dan membahas sejumlah buku: Carmel Budiardjo, Bertahan
Hidup di Gulag Indonesia (1997); Ruth Havelaar, Selamat Tinggal Indonesia (1995); dan
Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (1999). Apa yang
dipaparkan dalam ketiga buku itu membuat saya sedih, terkejut, sekaligus bingung.
Rasanya sulit buat saya mempercayai penggambaran Carmel tentang situasi kekerasan di
dalam tahanan, terutama penyiksaan dan perkosaan terhadap para tahanan perempuan.
Bagaimana mungkin kekejaman seperti itu berlangsung begitu lama tanpa ada sanksi dari
pemerintah, tanpa ada protes dari aktivis atau lembaga pembela HAM? Dari buku Ruth,
satu hal yang mengganggu pikiran saya: ternyata bukan hanya aparat pemerintah yang
menganiaya orang-orang yang dianggap terlibat G-30-S atau PKI, tapi juga sebagian
masyarakat. Mengapa masyarakat begitu mudah dibohongi dan digiring untuk ikut
memusuhi sesama warga bangsa ini? Buku Saskia sedikit banyak menjawab pertanyaan-
pertanyaan saya, tapi tidak meredakan kebingungan saya: kalau memang tari telanjang
dan penyiksaan terhadap para jenderal itu tidak benar, dari mana tentara mendapat ide
cerita segila itu? Seperti apa sebetulnya orang-orang Gerwani itu? Apa yang mereka
lakukan sehingga mereka harus dihina dan dimusnahkan dengan cara-cara yang sangat
tidak manusiawi?
Anehnya, dengan bekal pengetahuan dari diskusi persiapan dan buku-buku yang saya
88 Josepha Sukartiningsih
baca, saya masih belum dapat menepis bayangan yang ditanamkan Orde Baru tentang
Gerwani: sekelompok perempuan jahat, liar, komunis, dan kejam. Ketika saya diberi
tugas mewawancarai mantan tapol perempuan, saya berusaha mengelak. Memang
akhirnya saya bersedia menerima tugas itu, tapi saya merasa begitu takut dan gamang
sehingga terpaksa minta ditemani seorang teman lelaki untuk bertemu dengan kelompok
ibu-ibu mantan tapol.
Pertama kali saya bertemu para mantan tapol perempuan adalah dalam sebuah
kesempatan arisan, pada pertengahan 2000. Saya kembali terkejut. Mereka ternyata tidak
jauh berbeda dari kebanyakan ibu, tante, dan nenek yang sering saya temui dalam
kehidupan sehari-hari. Mereka berbicara tentang masalah-masalah rumah tangga, cara
untuk mengatasi kesulitan ekonomi, menggalang bantuan untuk teman-teman mereka
yang sudah tua dan sakit-sakitan, mencarikan pekerjaan untuk anak atau cucu yang
menganggur, dan banyak lagi yang melulu berkaitan dengan soal-soal kesejahteraan
bersama. Tak bisa saya bayangkan ibu-ibu tua sederhana yang bersahaja ini di masa
mudanya terlibat dalam rencana penggulingan kekuasaan negara, apalagi ikut atau
mendukung tarian telanjang dan penyiletan penis para jenderal. Saya baru melihat
perbedaan mereka dengan ibu-ibu seusia yang saya kenal saat mulai mewawancarai
masing-masing ibu secara terpisah.
Tak semua ibu yang saya ajak bicara adalah anggota Gerwani. Tapi, begitu mereka
ditangkap dan dipenjarakan, pemerintah sudah mencap mereka sebagai Gerwani, yaitu
penjahat perempuan. Sejak awal Oktober 1965, kata ‘Gerwani’ tidak lagi mengacu pada
organisasi perempuan yang bercita-cita membuat kehidupan masyarakat Indonesia
menjadi lebih baik. Ia semata-mata sebutan untuk tindakan biadab dan amoral yang
dilakukan perempuan ‘komunis’. Demikian gencar pemerintah Orde Baru melancarkan
propaganda tentang kejahatan Gerwani sehingga masyarakat pada umumnya memilih
tidak berhubungan dengan mereka. Bahkan, anak-anak mereka pun banyak yang
mempersalahkan mereka dan tidak ingin mendengarkan cerita versi ibunya karena takut
dianggap melawan pemerintah. Alhasil, ibu-ibu ini memilih diam, memendam
pengalaman masa lalu, dan berjuang mengatasi trauma sendirian. Satu-satunya ruang
penghiburan mereka adalah arisan bersama teman-teman senasib.
Awalnya tidak mudah membuat ibu-ibu ini bercerita. Sebagian besar dari mereka baru
pertama kali mengungkapkan kisah hidupnya kepada orang yang bukan dari kelompok
mereka, dari generasi yang berbeda pula. Tak mengherankan bila ada dari mereka yang
menunjukkan ketakutan berlebihan atau mencurigai saya akan menggunakan cerita
mereka untuk kepentingan yang merugikan mereka. Sepintas para ibu ini memang
tampak sangat rapuh dan tertutup, tapi begitu merasa nyaman, mereka bisa bercerita
selama berjam-jam tentang kegiatan mereka sebagai aktivis organisasi massa sebelum
1965. Bagian cerita sesudah G-30-S terjadi, paling berat mereka ungkapkan kembali.
Teror, intimidasi, penangkapan, penyiksaan, dan pemenjaraan selama bertahun-tahun di
tengah ketidakmengertian tentang apa yang sebenarnya terjadi sudah menghancurkan
seluruh cita-cita dan harapan yang mereka bangun sejak terlibat dalam gerakan politik.
Bagi mereka kemudian, yang terpenting adalah bagaimana bisa bertahan hidup dan anak-
anak mereka tidak mengalami nasib seburuk ibunya.
Selama proses wawancara, saya sangat terkesan dengan ketegaran para ibu mantan tapol
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 89
dalam menyambung hidup dan memberikan yang terbaik untuk anak-anak mereka, serta
solidaritas mereka dengan teman-teman senasib. Beberapa dari mereka malahan ikut
memasak ribuan nasi bungkus untuk kelompok-kelompok mahasiswa yang
berdemonstrasi pada Mei 1998. Mereka memang tidak bicara tentang ‘politik’ tingkat
tinggi seperti beberapa mantan tapol laki-laki yang pernah saya temui; mereka tidak
bermimpi membangun kembali kejayaan organisasi mereka di masa lalu. Namun, mereka
juga tidak menampilkan diri sebagai korban kekerasan yang harus dikasihani terus-
menerus. Di hadapan sebuah kekuasaan yang tak henti-hentinya berusaha membungkam
mereka, melenyapkan mereka dari sejarah, ibu-ibu ini, sendiri atau bersama-sama, tetap
berjuang untuk mempertahankan kemanusiaan mereka. Inilah yang membuat saya
bertekad untuk menuliskan pengalaman mereka.
jangan terus digulung ya, sudah dipakai sangu (bekal) saja, kalau ditanya
pulang ke desa, ke neneknya mengambil beras, gitu.
Seorang perempuan lain yang bergabung dengan Gerwani pada 1950an, Ibu Rukmini,
selama periode revolusi bekerja di kantor Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) di
Wonosobo sebagai juru ketik.
Pulangnya ke Wonosobo ikut kerja di kerja di tempatnya pak Subaradi. Pak
Subaradi itu ketua Pesindo. Itu saya sebetulnya sudah masuk itu, tapi nggak
tahu, saya umurnya baru 18 tahun. Itu saya disuruh mengetik. Ya mengetik
apa saja, jadi ya mengetik selebaran dan lain-lain, di rumahnya pak
Subaradi. Jadi kayak seperti training (pelatihan) untuk kerja.
Setelah agresi kedua 1948, ia mengungsi ke gunung-gunung bersama masyarakat lainnya.
Seperti Bu Sunarti, ia menyediakan obat-obatan untuk para gerilya. Ia berpura-pura
menjadi pedagang yang pergi ke kota pendudukan Belanda untuk menjual barang-
barang dari desa. Padahal, ia sebetulnya mengambil obat-obatan untuk dibawa kembali
ke gunung.
Terus di dalam ngungsi itu, saya ini dulu sudah agak tahu organisasi. Saya
belum ikut organisasi, tapi saya sering ikut mengambil obat-obatan di dalam
kota, ya pakai kain pura-pura jual durian masuk ke kota … Saya selamat
sampai di perbatasan juga ketemu orang yang dari dalam. Perbatasan yang
namanya Singkil. Jadi kita nunggu di situ aja obat-obatan, jadi kayak ikut
Palang Merah ya itu ya … Terus pulang akhir tahun 49. Jadi satu tahun kan
di luar, itu pulang kita kan jalan kaki, disambut orang-orang yang kerja di
dalam tapi untuk Republik.
Di Bali, Ibu Jermini diminta oleh kakaknya mencari uang bagi gerilyawan. Pada 1946 itu,
umurnya baru 14 tahun. Karena pernah belajar bahasa Belanda saat duduk di sekolah
dasar sebelum Jepang datang, ia mencari uang dengan mengajar bahasa Belanda kepada
orang Bali yang bekerja sama dengan pihak Belanda yang kembali ke Indonesia.
Nah, pada waktu itu kan masih ke-Belanda-Belanda-an, ya. Jadi ibu disuruh
belajar bahasa Belanda di satu kampung itu. Anak-anak yang tidak
melanjutkan itu, untuk mencari uang biar satu orang itu kena uang setali, 25
sen, satu orang, bayar 25 sen, satu orang, satu bulan. Jadi, ibu yang cari dana
untuk pemuda yang berjuang gitu. Ibu terpaksa dah ingat-ingatkan bahasa
itu untuk mengajar mereka.
Keluarga Ibu Jermini adalah pendukung Republik. Kakaknya seorang gerilyawan di
kabupaten Bangli. Suatu hari, kakaknya diam-diam pulang ke rumah orang tuanya.
Entah bagaimana, kedatangannya diketahui pasukan Belanda dan suatu pagi sebuah truk
penuh tentara datang untuk menangkapnya. Saat digiring menuju truk, kakaknya
berusaha melarikan diri. Tentara Belanda melepas tembakan dan membunuhnya. Ibu
Jermini ingat keluarganya terlalu takut mengangkat mayat kakaknya sampai malam hari:
‘Dari jam enam pagi sampai jam enam sore darah masih. Nggak berani ke kuburan
bawanya karena orang Belanda masih keliaran itu, jam enam malam. Setengah tujuh
kira-kira baru kita-kita ini usung ke kuburan, itu. Itu jaman revolusi.’
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 91
Bagi Ibu Sunarti, Ibu Rukmini, dan Ibu Jermini, bergabung dengan Gerwani adalah
sesuatu yang wajar. Diilhami oleh semangat 1945, mereka ingin menyumbangkan tenaga
dan pikiran mereka untuk kemajuan bangsanya. Mereka tidak mau hanya menjadi ibu
rumah tangga yang hidupnya diabdikan untuk melayani suami semata. Untungnya, Ibu
Sunarti, Ibu Rukmini, dan Ibu Jermini menikah dengan orang-orang yang menghargai
keterlibatan perempuan dalam politik. Sebagai organisasi yang mengusung semangat
perjuangan nasionalis-kerakyatan, Gerwani bukan hanya mendorong perempuan agar
menjadi istri dan ibu yang baik, tapi sekaligus memperjuangkan hak-hak perempuan dan
anak sebagai warga bangsa yang baru.
Seperti sudah disebut di atas, sebelum menjadi Gerwani organisasi perempuan ini
bernama Gerwis. Perubahan nama dilakukan dalam Kongres Gerwis I di Semarang pada
1951, tapi secara resmi nama Gerwani baru dipakai pada Kongres Gerwis II pada 1954.
Ada alasan cukup kuat yang mendasari perubahan nama ini. Kata ‘Sedar’ dalam Gerwis
dianggap hanya mengutamakan perempuan golongan menengah dan terdidik yang sudah
sadar akan hak-haknya, sementara ada jutaan perempuan Indonesia yang dianggap
belum ‘sedar’ dan harus dilibatkan dalam memperjuangkan kemajuan bangsa. Didasari
pandangan kerakyatan, Gerwani ingin agar buruh dan tani perempuan juga aktif dalam
kegiatan politik untuk memperkuat republik baru ini. Seperti organisasi perempuan
lainnya yang didirikan kelas menengah pada saat itu, Gerwani juga memperhatikan
undang-undang perkawinan (khususnya mengenai poligami dan perceraian) dan
pendidikan perempuan. Hanya saja Gerwani membedakan dirinya dengan organisasi-
organisasi perempuan lain lewat program-program yang ditujukan bagi kaum
perempuan yang bekerja di perkebunan, pabrik, dan sawah. Di perkampungan miskin,
seringkali Gerwani menjadi satu-satunya organisasi perempuan yang aktif karena
organisasi lainnya membatasi wilayah kerjanya di lingkungan kelas menengah saja.
Ibu Sunarti mengatakan salah satu alasan dirinya bergabung dengan Gerwani ialah
karena organisasi itu paling aktif di kampungnya, di Solo. Selain itu, banyak orang di
kampungnya menjadi pendukung gerakan nasionalis kiri. Orang yang ia nikahi, mantan
pejuang gerilya yang bekerja sebagai penilik sekolah umum, juga anggota PKI di Solo.
Di kampung, lingkungan kampung saya, satu-satunya organisasi wanita
yang apa itu, yang kemasyarakatannya itu luas gitu ya, jadi baik dalam hal
bantu-membantu, saling tolong-menolong, gotong-royong itu memang
Gerwani, gitu dulu. Lha saya disarankan oleh suami itu, ‘Ya kalau kamu
sekarang sudah nggak sekolah, kan sudah nggak di IPPI, sekarang kamu
masih ingin berorganisasi, ndak?’
‘Ya ingin,’ saya bilang begitu. Karena katanya orang itu berjuang tidak
hanya sampai muda saja, sampai ke liang kubur pun masih orang bisa
berjuang.
‘Ya sudah mau masuk apa kamu?’
‘Saya itu kok yang organisasi besar itu Gerwani.’
‘Ya masuk di situ ndak apa-apa.’
Di kampung itu kan yang paling bagus kan Gerwani. Sehingga antara
92 Josepha Sukartiningsih
kampung yang satu dengan kampung lainnya, terus secara kecamatan itu
memang akrab gitu lho, anggota-anggotanya, dan kerja terus. Ya merasa
saya, tenaga saya masih diperlukanlah, sambil mengajar gitu. Saya tetap
mengajar, karena pada waktu itu memang guru masih kekurangan to,
meskipun saya hanya lulusan SMA tapi bisa mengajar di SKP [Sekolah
Kepandaian Putri], terutama bahasa Indonesia itu.
Ibu Jermini di Bali bergabung dengan Gerwani tidak lama setelah menikah pada 1952. Ia
bekerja di rumah membuat dompet, sementara suaminya bekerja sebagai pedagang kain.
Kegiatan utama Gerwani di kampungnya adalah membuka taman kanak-kanak, yang
dikenal dengan nama TK Melati.
Kita tampung anak-anak mereka, mampu bayar atau tidak, ya terserah, gitu.
Kita kolektif itu lho untuk membeli bajunya itu, sekedar untuk dia beli
sabun. Guru-gurunya tiga orang, dari sosial satu, dari teman-teman
Gerwani dua. Ya tampung secara kolektiflah. Kebetulan anak yang mampu
ya, dia bayar sekolah, nyumbang dia gitu, yang tidak, ya tidak.
Ia dan teman-temannya juga meminta pemerintah daerah membangun sekolah dasar
untuk lingkungannya. Ketika Gunung Agung meletus pada 1963, Gerwani di Bali bekerja
sama dengan pemerintah memberikan bantuan kepada para pengungsi.
Waktu Gunung Agung meletus, ibu jadi pos sampe ngirim-ngirim makanan
tuh ke sana, ke dasar Gunung Agung itu. Nggak bisa turun, nggak bisa
melalui darat itu, nggak bisa, terpaksa pakai helikopter. Ketupat-ketupat itu,
lontong itu, satu besek, isinya sepuluh-sepuluh. Di sana kita lempar-lempar,
ada di bagian Gianyar, Klungkung tuh. Kita-kita ini, dari Gerwani ini, drop
makanan ke sana. Minta-minta ke kampung-kampung nanti untuk orang-
orang yang ngungsi.
Sekalipun Gerwani dalam beberapa hal pokok memiliki kesamaan pandangan dengan
PKI – mengorganisir buruh dan petani, melawan imperialisme, dan seterusnya –
organisasi itu tetap otonom dari kontrol partai. Sebuah pasal ditetapkan dalam Kongres
1954 yang menyatakan bahwa Gerwani ‘adalah organisasi untuk pendidikan dan
perjuangan, yang tidak menjadi bagian dari partai politik apapun.’1 Perempuan yang
punya komitmen kepada PKI bergabung dengan partai, menjadi anggota atau pengurus
partai. PKI sendiri juga memiliki organisasi perempuan yang disebut Wanita Komunis
(Wankom), yang menyelenggarakan konferensi nasional pada 1958.2 Banyak pimpinan
PKI yang sebenarnya tidak tertarik pada pekerjaan Gerwani, seperti meminta parlemen
untuk mengubah undang-undang perkawinan atau menjalankan TK Melati di kampung-
kampung. Gerwani punya agenda kerja sendiri dan tidak semata-mata mengikuti
perintah-perintah partai.
Para pemimpin Gerwani merasa perlu mendukung Presiden Soekarno dan kekuatan kiri,
khususnya untuk menghadapi gerakan subversif yang didukung kekuatan imperialis,
1
Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia (Jakarta: Garba Budaya, 1999), h. 303. Dalam
bab 8 dan 9 Saskia menguraikan secara rinci hubungan antara Gerwani dan PKI.
2
Wieringa, Penghancuran, h. 353-354.
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 93
seperti yang dilakukan PRRI/Permesta pada akhir 1950an. Mereka yakin, masalah politik
nasional seperti undang-undang land reform, kampanye anti-Malaysia, dan merebut Irian
Barat dari tangan Belanda, juga merupakan masalah perempuan karena sangat
berpengaruh pada kesejahteraan perempuan. Seperti tertera dalam sebuah dokumen
Gerwani, ‘perjuangan demi hak-hak perempuan tidak dapat dipisahkan dari perjuangan
demi masyarakat sosialis, atau perjuangan melawan imperialisme.’3
Sejumlah anggota Gerwani juga menjadi sukarelawati untuk perang melawan Belanda di
Irian Barat. Ibu Ramdinah dari Pati adalah salah seorang diantaranya. Ia menjadi
sukarelawati di 1962. Latihan militer yang diperolehnya di Jakarta dibiayai oleh Front
Nasional, sebuah koalisi yang didirikan oleh pemerintah. Namun, biaya lainnya
ditanggung oleh masing-masing organisasi yang mengirimkan anggotanya. Karena dana
yang diberikan tidak mencukupi, Ibu Ramdinah masih harus bekerja di jawatan listrik
untuk memenuhi kebutuhan enam orang temannya.
Di Kodim ada pengumuman bahwa dibutuhkan sukarelawan-sukarelawati
untuk masuk ke Irian Barat. Karena saya belum punya anak begitu ya, saya
ingin nyari pengalaman. Waktu itu umur saya baru 26 tahun. Saya nanya ke
suami saya boleh nggak, ternyata suami saya memperbolehkan, hanya
saudara-saudara nggak setuju. Jadi saya berangkat ke Jakarta, tinggal di
asrama Front Nasional. Di asrama itu tiap sore mesti ikut kursus atau
pertemuan-pertemuan untuk mendapatkan penjelasan. Tiap partai
memberikan bahan-bahan bahasan, ada yang dari PKI juga. Kalau siang
dipergunakan untuk organisasi, lalu kalau sore ya itu, latihan bagaimana
menghadapi Belanda, latihan baris-berbaris, latihan bawa senapan. Saya di
asrama selama satu bulan. Banyak yang ikut Front Nasional, ada yang dari
Tuban, Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Waktu itu kan pemerintah menyetujui
adanya Front Nasional ini.
Lalu ada pemberitahuan tanggal 6 Juni 62 diberangkatkan. Saya pulang
memberitahu suami. Rombongan saya terdiri dari tiga perempuan, prianya
sembilan orang. Masih muda-muda semua. Kebanyakan yang menjadi guru,
dan dari Pemuda Rakyat atau Gerwani. Waktu di kapal ada interlokal dari
Jakarta, bahwa kondisi belum memungkinkan kita untuk masuk ke Irian.
Kapal dibelokkan ke Ambon. Selama di Ambon kita juga bekerja. Ada yang
ke Pertual, Saparua. Kita memberikan pembelajaran mengenai organisasi,
pendidikan, dan lainnya. Di Ambon hampir satu tahun, pindah lagi. Jadi
kita punya pengalaman tidur nggak enak, makan nggak enak, ya begitulah
orang perjuangan. Tapi karena kita dapat didikan, bimbingan bahwa
beginilah cara kerja kita. Pokoknya kita bisa makan, bisa bekerja dan
memberikan sedikit-sedikit apa yang kita punyai, kita salurkan ke teman-
teman kita yang masih terbelakang.
Tahun 1964 diberangkatkan ke Irian. Sampai di sana, saya mengikuti
Jawatan Sosial. Karena memang kita harus bekerja sama dengan Jawatan
Sosial di daerah yang kita tinggali. Di situ melakukan kegiatan sosial di
3
Wieringa, Penghancuran, h. 329.
94 Josepha Sukartiningsih
4
Wieringa, Penghancuran, h. 341.
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 95
Suatu hari di bulan Oktober, Ibu Sunarti di Solo, melarikan diri dari rumah bersama tiga
orang anaknya. Sudah beberapa hari ia tidak mendengar kabar dari suaminya. Suatu
pagi suaminya berangkat ke kantor dan tidak pernah kembali lagi. Banyak tetangga,
bahkan pembantunya sendiri, sudah ditangkap. Ia mendengar desas-desus bahwa
rumahnya akan diserang dan dibakar.
Saya mempunyai anak tiga orang, yang satu laki-laki, perempuan, laki-laki.
Waktu itu masih kecil-kecil, tahun 65 itu yang sulung baru saja dimasukkan
ke SD, SD kelas 1 … Terjadi peristiwa itu, suami saya jarang di rumah karena
dia di kantornya, ya. Sebagai anggota DPRD dia mempunyai rasa tanggung
jawab terhadap pemerintahan daerah sini. Jadi, saya sendiri sudah ndak
pikirkan lah, ya saya cuma dengan ngurusi anak-anak itu. Tapi, ternyata
juga, saya pun dicari sebelumnya. Saya setelah dicari itu saya disuruh pergi.
Lho saya pergi ke mana? Ya sudah saya pergi ke saudara-saudara gitu aja …
Waktu itu pikiran saya cuma bingung, bagaimana anak-anak saya? … Saya
dipesan oleh suami saya untuk hati-hati, supaya memimpin dan mendidik
anak-anak saya, saya cuma gitu. Lah orang-orang Gerwani juga ditangkapi,
lah saya kan jadi bingung.
Ia kemudian lari ke rumah mertuanya. Beberapa hari sesudahnya, saat sedang berjalan
kaki, ia ditangkap sekelompok orang sipil.
Mereka, ya cuma beberapa orang, bawa kendaraan roda empat, gitu. Terus
saya diambil, pertama kali saya dibawa ke polisi, serahkan ke polisi di
Banjarsari ... Kemudian pagi harinya saya dibawa ke Balai Kota. Kalau di
Balai Kota itu katanya sudah lebih aman, gitu. Terus, ternyata saya waktu
itu, di Balai Kota itu, saya malah diinterogasi lagi, ditakut-takuti … [Untuk
interogasi] saya hanya seorang dibawa ke Loji Gandrung itu malam-malam,
tengah malam, kalau nggak salah jam 12 malam itu … terus pernah dibon
(dibawa keluar tahanan) ke CPM. Dibon ke CPM itu saya dipukuli sama,
anu, kaki meja itu [yang ada di depannya] lebih besar lagi [alat
pemukulnya], terus kaki saya diinjak-injak sama sepatu orang-orang CPM.
‘Lha saya suruh bilang apa Pak, kalau saya nggak tau?’ saya bilang gitu.
Ibu Sunarti adalah salah seorang yang agak beruntung karena nyawanya selamat selama
penahanan. Di Balai Kota ia ditahan bersama empat perempuan lain yang dikenalnya.
Suatu malam, keempatnya dibawa keluar untuk dieksekusi. Selama beberapa minggu ia
juga merasa akan dibawa keluar untuk ‘di-game-kan.’
Terus malam hari lagi, ada teman saya empat wanita, sudah dibon itu ndak
pulang. Saya untung ada yang memberi tau, penjaganya itu ada yang baik.
‘Bu, maaf ya Bu. Empat ibu yang dibon tadi sudah tidak pulang. Karena
mereka dibawa pergi, ya kalau orang bilang, katanya sudah di-game gitu,’ di-
game-kan gitu istilahnya dulu. ‘Lha di-game-kan itu apa?’ ‘Dibunuh,’ gitu.
Oh, saya baru tau itu kalau di-game itu dibunuh.
Saat ditahan, Ibu Sunarti mendengar dari mertuanya, suaminya ditahan oleh CPM. Lalu
tak lama kemudian, ia mendengar kabar suaminya hilang. Sampai hari ini ia tidak tahu
persis apa yang sesungguhnya terjadi pada suaminya, tapi ia menduga nasibnya serupa
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 97
boaattt ... plek, ini rambut habis copot. ‘Oh, kamu ketua Gerwani ya? GTM
kamu ya?’ Apa nama GTM saya nggak ngerti. ‘Kamu Gerakan Tutup Mulut,’
gitu … Mukul aja dia pintarnya ya, rambut dia copot habis, ditendang,
disundut sama rokok. Habis ini [ia menunjuk lengannya] hitam-hitam kena
rokok kan. Habis rokoknya mati, diambil lagi rokoknya, tentara lain
diambil dimatiin semut-semut itu. Kuruuuus sekali ibu, nggak makan-
makan, nggak makan-makan, nggak kuat dada makan. Mikir ini, mikir
keadaan anak-anak, mana suami nggak ada, anak-anak di luar bagaimana.
Saya diperiksa beberapa bulan dari Januari [1966]. Pada waktu itu saya
rebah, akhirnya stres nggak ingat diri. Waktu diperiksa, dipukul itu diam,
orang nggak punya perasaan apa-apa lagi. Orang sudah nggak sadar. Bulan
April Ibu dipindah ke lembaga, ke penjara. Ibu sudah nggak sadar. Teman-
teman yang ngurusi. Saya makan saja didulang, mandi, dimandiin.
Setelah para interogator tidak lagi menganggapnya perlu sebagai sasaran pukulan, ia
dipindahkan ke Penjara Denpasar. Sementara itu, keenam anaknya diasuh oleh beberapa
saudara. Anak perempuannya yang sudah duduk di kelas empat suatu saat berkunjung ke
penjara dan mengatakan ayahnya hilang dari kantor polisi pada 4 Januari 1966. Ibu
Jermini terdampar di penjara, suaminya hilang, rumahnya dibakar, dan anak-anaknya
harus hidup terpisah darinya.
Ia akhirnya bisa kembali bergabung bersama anak-anaknya saat dilepas dari penjara
pada Agustus 1966. Tapi, namanya sudah berada di tangan militer sehingga sewaktu-
waktu dapat ditangkap lagi. Pada 1968, ketika militer melancarkan penangkapan massal
kedua terhadap orang-orang yang dicurigai sebagai PKI, lagi-lagi ia disekap di Kodim dan
ditahan tanpa proses apa pun selama tiga bulan. Saat kerusuhan Malari meletus di
Jakarta pada 1974, militer kembali menangkap semua orang yang tertera pada daftar
‘pengacau ketertiban’ yang mereka susun. Ibu Jermini kembali ditangkap dan disekap di
Penjara Denpasar selama empat tahun. Tidak ada tuduhan dan dakwaan apa pun
terhadapnya selama ditahan.
Banyak perempuan yang saya wawancarai mengalami penyiksaan saat interogasi.
Seorang mantan tapol mengatakan dirinya tidak disiksa secara fisik, tapi mengalami
siksaan mental karena harus melihat perempuan lain sedang disiksa. Perempuan ini, Ibu
Riani, adalah anggota organisasi mahasiswa, CGMI, yang ditahan di Tulung Agung pada
1968 dan kemudian dipindah ke Surabaya. Karena ia adalah istri dari pimpinan PKI
terkemuka yang belum tertangkap, para interogator rupanya ingin menyiksanya secara
khusus: ‘Di situ asal ada orang disiksa, saya dipanggil, ‘Mana Nyonya Riani? Panggil!’’
Setelah dimasukkan ke penjara, malam-malam saya dibon. Tengah malam,
lha di situ saya sudah menggigil kedinginan, sudah itu saya menerawang saja,
nggak bisa bicara apa-apa. Cuma apa, gedeg (menggeleng) dan manthuk
(mengangguk) saja di situ saya.
‘Umurnya berapa?’
‘28.’
Acep [interogator] wah sudah omongannya sudah celometan, akhirnya saya
100 Josepha Sukartiningsih
tempatnya dia, karena alamat saya itu, tapi dia itu anak sekolah, saya cuma
di kamar, saya nggak pernah keluar. Jadi dia nggak tau saya, kalau saya
keluar kalau dia sudah berangkat sekolah,’ saya bilang begitu. Jadi saya
nggak tau, dia dengan saya nggak tau. Jadi, sudah dibenarkan itu, ‘Mau saya
besok pagi sekolah, saya besok pagi sekolah Pak,’ gitu. Jadi dengan saya bela
begitu, dia memang tidak tau saya.
Dia masuk akal begitu, anak itu terus langsung dipulangkan, tapi dia sudah
disiksa duluan. Padahal memang saya nggak pernah bertempat tinggal di
situ, saya memang cuma bikin alamat palsu saja. Jadi entah nggak tau orang
tuanya apa diambil apa nggak, tapi yang saya lihat cuma dia, yang diambil
kok jadi sampai anak itu yang diambil. Saya merasa berdosa sampai
sekarang kalau ingat masih wajahnya itu, matanya merah buntet (merah
pekat).
Peristiwa keji yang juga tak bisa dilupakan Ibu Riani adalah apa yang dia lihat terjadi
pada seorang perempuan muda yang baru melahirkan di pusat interogasi Surabaya. Ibu
muda itu tidak punya pilihan lain kecuali mengirim bayinya keluar dari penjara untuk
hidup bersama neneknya. Dan, para perwira militer pun tetap menyiksanya.
Antara lain teman saya Ibu M. itu. Dia habis melahirkan masih teteknya
masih harusnya disusu, teman saya Ibu M. namanya, dia baru melahirkan,
dia dilecehkan toh, diremet-remet (diremas dengan kasar) teteknya kan sakit
sekali kalau orang baru melahirkan, dia sampai misuh (mengumpat), apa
dia ‘Bajingaaan!’ gitu, terus misuh gitu, lantas terus mulutnya dibakar. Pakai
kertas-kertas itu mbakarnya, pakai kertas-kertas di ruangan itu, dibakar.
Sampai di sana saya lihat itu gosong-gosong semua, sampai nggak bisa
makan, mulutnya dibakar itu. Jadi dia itu sampai anaknya ditinggal
dipelihara oleh neneknya itu.
Beberapa tahun kemudian, Ibu Riani akhirnya bertemu dengan nenek dan anak itu.
Mereka mencari sang ibu di penjara perempuan di Plantungan sekitar 1974. Ibu Riani
adalah salah seorang tahanan di sana. Mereka tidak pernah mengatakan bahwa Ibu M.
setelah disiksa, dibawa keluar pada malam hari, dan dieksekusi pada 1968.
Setelah neneknya, itu kira-kira umur enam tahun, mencari ibunya,
kemungkinan ibunya ada di Plantungan itu. Nah itu terus mengharukan
sekali, semua terharu. Dia dengan neneknya mencari Ibu M. apakah di situ,
tau-tau tidak ada yang di situ. M. tidak ada, karena M. dibawa ke penjara
tengah malam, dibon, sudah habis dengan teman-temannya, sudah dibunuh.
Tapi yang namanya keluarga itu masih belum, nggak ada yang memberi tau,
jadi dia masih mengharapkan kalau masih hidup, gitu. Padahal dia sudah
bersama lima orang, kalau nggak salah, di penjara, dibon tengah malam. Di
penjara itu asal tengah malam dibon sudah game, mesti dibunuh.
Ketika seorang ibu ditangkap, maka yang akan langsung menjadi korban adalah anak-
anaknya. Proses penangkapan yang sama sekali tidak mengikuti prosedur hukum,
dilakukan secara tiba-tiba dan tidak manusiawi membuat seorang ibu bahkan tidak
sempat mencarikan tempat aman untuk sang anak. Bayi-bayi yang membutuhkan
102 Josepha Sukartiningsih
perhatian khusus tidak bisa ditinggalkan oleh sang ibu. Maka, tak ada pilihan lain selain
membawanya masuk tahanan. Perempuan yang sedang hamil juga tidak mendapat
perlakuan khusus di dalam tahanan. Dalam segala kekurangan: makanan yang buruk,
ruang gerak yang terbatas, dan aparat yang represif, seorang ibu masih berusaha untuk
memberikan kasih sayang dan perlindungan pada sang anak. Ibu Ramdinah, seorang
sukwati untuk pembebasan Irian Barat, ditahan ketika sedang hamil tua.
Setelah ada peristiwa ini [G-30-S] saya selalu dipanggil. Dalam keadaan
mengandung sering dibawa, dipanggil. Pokoknya dibawa, surat panggilan
nggak ada. Dari pagi sampai jam lima sore, baru dipulangkan. Yang
menginterogasi saya ada sembilan orang. Mengapa saya ditangkap, saya
nggak tahu. Katanya bikin rapat, katanya masalah mau berontak
pemerintah, dan sebagainya. Salah satu interogatornya bilang, ‘Kalau kamu
nggak mau ngaku, kamu nggak boleh pulang, biar kamu tidur di sini,
beranak di sini.’ Saya bentak, ‘Biar saja saya beranak, saya nanti melahirkan
di tangga, nggak apa-apa.’ Penahanan itu sampai saya melahirkan. Saya
melahirkan tanggal 26 November 1965. Suami saya harus lapor ya bahwa
saya melahirkan di Rumah Sakit. Rumah sakitnya dijaga aparat. Jadi teman-
teman yang mau nengok harus lapor dulu. Polisinya nanya, ‘Bagaimana Bu,
sehat?’ ‘Sehat!’ Satu minggu di rumah sakit, begitu pulang besoknya
dipanggil. Itu pertanyaannya sebetulnya sama saja, mungkin untuk
menandaskan supaya ngaku. Jadi pemeriksaan itu sehabis saya melahirkan
sampai 10 Desember 1965.
Lama-lama kita diberitahu bahwa kita harus dibawa ke Jakarta. Sampai di
Jakarta 11 Maret 1966, wong kita orang daerah nggak bisa ketemu saudara.
Kita ditaruh di mess Koreri Tanah Abang. Setelah di mess itu suami saya
nggak ikut turun, hanya ibu-ibu dan anak-anak. Kita di mana, suami kita
bagaimana, nggak ada yang tahu. Tiga hari kemudian saya nanya petugas,
‘Kita di mana sih Pak?’ Anak saya kan masih bayi. Bapaknya mungkin
pengen lihat.’
‘Nggak tahu Bu, nggak tahu.’
Lama-lama ada yang mbilangin kalau suami saya ada di mess. Dari mess
Tanah Abang, saya dipindah ke jalan Tambak. Di sana satu bulan, lalu
dipindah ke Penjara Bukit Duri. Saya sangka, kalau sudah ditahan nggak ada
apa-apa lagi. Ternyata masih ada pemeriksaan. Terus-menerus pertanyaan
itu, nggak ada habisnya. Padahal anak saya masih bayi waktu itu. Setelah saya
masuk Bukit Duri, suami masuk Salemba. Jadi nggak bisa ketemu lagi, nggak
bisa nengok sana-sini. Jadi anak saya nggak tahu rupa bapaknya kayak apa
gitu karena memang pisah sejak bayi.
Bayi saya besar di Bukit Duri sampai usia tiga tahun. Kata komandannya,
‘Anakmu harus keluar.’ Mau dibawa ke panti asuhan, saya nggak bolehin.
Saya mau cari teman yang mau pelihara anak saya. Lalu ada teman dari
Irian, yang suaminya ditahan, tapi istrinya tidak. Mereka punya dua putra,
yang satu masih SD, yang satu lagi sudah kelas dua SMA. Saya serahkan anak
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 103
saya, ‘Ini Bu saya serahkan anak saya untuk dipelihara. Nanti kalau saya
sudah pulang, kita bisa rundingan lagi.’
(jagung), bukan nasi jagung tapi gatot. Tahu gatot? Itu singkong yang hitam.
Gatot di luar sih enak saja ya, pakai kelapa. Nah tapi itu rupanya gatot yang
entah sudah berapa tahun di gudang terus dimasak. Apek baunya dan kalau
wanita, tidak segera atau malah tidak dimakan. Malah banyak yang
menangis, nelangsa (menderita) ya, karena mau Lebaran diberi makanan
kok seperti ini katanya. Jadi tidak dimakan semua … Oh gerontol-nya kami
hitung. Di tempat pria kira-kira 100-150 butir, di tempat wanita malah 250.
Jadi aneh, malah lebih banyak ya. Jadi mereka kan kelaparan terus. Apalagi
yang petani itu kan biasa makan meskipun dua kali atau sekali tapi kan
makannya kenyang ya. Ada yang sudah meninggal kelaparan. Ada yang
punya penyakit jadi kambuh. Di sebelah pagar sana rupanya mereka
langsung dimakan itu ya. Tidak lama kemudiam terdengar muntah-muntah,
‘Huek…huek…huueeek.’ Makin lama makin banyak, beracun rupanya itu
gatotnya.
Plantungan, sebuah tempat pengasingan terletak di lereng pegunungan Dieng, dekat kota
kecil, Weleri, dibuka pada 1971 untuk menahan tapol perempuan dari berbagai kamp
penjara di seluruh Jawa. Di zaman kolonial, tempat itu digunakan sebagai pengasingan
penderita kusta. Mungkin bagi rezim Soeharto, perempuan ‘komunis’ tidak ada bedanya
dengan penderita kusta, dan tempat itu dianggap ideal untuk menahan mereka.
Rombongan perempuan pertama dibawa ke sana untuk membersihkan tempat itu dari
debu dan jaring laba-laba.
Karena Plantungan jauh dari kota, maka keluarga para tapol tidak bisa rutin berkunjung
dan menyediakan makanan maupun obat-obatan. Tahanan perempuan sangat
bergantung pada jatah yang mereka terima dari penjara. Berbagai usaha dilakukan oleh
tapol-tapol perempuan ini untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas makanan. Ibu
Riani mengenang bagaimana tahanan perempuan dibagi ke dalam empat unit kerja: ‘Ada
peternakan, pertanian, kerajinan tangan, menjahit. Karena saya itu suka hewan, jadi saya
pilih unit peternakan. Di situ memelihara ayam, kandangnya di atas, mesti jalan ke atas,
gitu.’ Salah satunya dengan menanam berbagai macam tanaman sayuran. Plantungan
adalah penjara terbuka dengan lahan berlembah di daerah Wonokambang. Karena
tempatnya cukup luas, penjara ini memungkinkan tapol-tapol untuk mengadakan
kegiatan semacam pertanian. Ibu Andhika, seorang tahanan dari Blitar yang dikurung di
penjara itu, bercerita:
Saya ke bagian pertanian. Nanam ubi jalar itu, jagung, gitu. Ada yang di
kesehatan, ada yang di batikan, penjahitan, begitu, ada yang ternak, gitu.
Saya di pertanian. Tapi di pertanian itu lumayan lho. Hasil itu bisa
dinikmati semua. Jadi kalau panen itu ya, untuk seasrama gitu. Yang saya
masih terkesan itu anu, cuthik (pengungkit) saya itu masih saya bawa
pulang, cuthik kecil itu. Ampas kambil (kelapa) itu lho, dari dapur minta
dibagi. Untuk sambel, saya nanem, bikin kebun itu di belakang sedikit.
Nanam pisang, nanam cabe, kalau nyambel itu, ambil itu. Teman-teman,
‘Apa Bu lauknya?’ ‘Sambel ampas’. [tertawa] ‘Itu sana, ambil sedikit!’ Lalu,
daun ubi jalar itu lho, namanya gandur kalau di sana itu, ya. Saya bawa dari
kebun itu buanyak gitu, satu pethet (keranjang) itu. Lalu dicuci, nanti minta
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 105
air panas ke dapur waktu jarang anu itu. Hanya dipanasi gitu saja. Lalu
urunan gula, cabe, garam gitu. Disambel kan. Nanti teman-teman saya itu
liwat, akan mandi. Kan kamar mandinya di sebelah utara saya. Sama anu,
menggok (belok), nyowel (mencicipi). Lucu-lucu kok pokoknya. Makanan itu
saja berharga sekali, gandur itu saja, di Plantungan itu. Kan makannya
sedikit sekali. Satu hari itu diberi dua kali .... Pagi singkong, jadinya nasinya
siang untuk dua kali makan. Tapi ya kalau dijadikan satu, kalau dinet-net
(dipadatkan) itu setengah rantang. Sayurnya ya sedikit, satu irus (sendok
sayur), lauknya satu tempe untuk sehari.
Para penguasa penjara tahu bahwa jatah makanan untuk para tapol itu jauh dari cukup.
Seperti di penjara-penjara lainnya, para penjaga biasanya memberi makanan lebih
banyak beberapa hari sebelum ada kunjungan dari orang atau lembaga asing. Palang
Merah, Amnesti Internasional, dan pejabat pemerintah Eropa mulai berkunjung ke
penjara-penjara sejak pertengahan 1970an. Sebelum orang asing datang, makanan yang
disediakan menjadi beragam, mulai dari nasi, telur, sampai daging yang ditata dengan
apik. Tujuannya adalah supaya tamu yang datang melihat bahwa tapol-tapol itu
diperlakukan dengan baik. Ibu Sunarti dari Solo, yang telah kita dengar ceritanya di atas,
disekap di Plantungan sampai 1979. Ia mengingat bagaimana para penjaga penjara
bahkan meminta para tapol berbohong mengenai mutu makanan.
Sudah mendekat tahun pemulangan itu, itu baru nasi. Dulu ada
pemeriksaan dari Palang Merah, itu dilihat kok, dilihat waktu itu diberi nasi.
Kita malah terkejut ya, kok diberi nasi, diberi susu, gitu. ‘Ini nanti
selanjutnya apa?’ kita biasa tanya sama bosnya situ. ‘Ya, nanti biar ibu-ibu
gemuk-gemuk,’ gitu. Terus padahal di situ, di Plantungan kita kan pada bisa
memanam-nanam gitu, sayur-sayuran itu sudah bisa dari kita sendiri. Terus,
‘Nanti kalau ditanya, ini nanti kan ada pemeriksaan, ini kalau ditanya ini
sejak dulu sudah diberi nasi sama susu, cuma ibu-ibu dulu ya gimana ya, ya
mungkin ada kesalahan ya, karena yang sampai di sini kok bulgur [sejenis
gandum]. Itu nanti kalau ditanya supaya bilang kalau sejak dulu itu sudah
nasi, ya kadang-kadang diberi susu, kacang ijo,’ gitu. Nah, sudahnya ya ada
teman-teman sarjana itu yang mereka pemikirannya lebih anu ya, ‘Sudah
nanti kalau ditanya bahasa Inggris saya yang jawabnya ya apa adanya saja,’
gitu. Ha ternyata sampai mereka tau, ternyata ha ya, jadi apa itu, banyak
yang ngontrol itu, kalau waktunya nggak ada bosnya yang teman-teman
sarjana itu yang terus bisa langsung dengan bahasa Inggris itu dia ngomong.
‘Baru kali ini diberi nasi sama susu, ndak pernah diberi,’ gitu.
Walaupun tahanan perempuan terisolasi di Plantungan dan dijaga oleh laki-laki, tidak
banyak kasus serangan seksual yang dilakukan penjaga. Para tahanan sangat berhati-hati
tidak mau bersendiri dan saling menjaga satu sama lain. Dengan kata lain, mereka
menjadi penjaga bagi sesama, seperti dikatakan Ibu Sunarti.
Kita mengatur diri to untuk setiap malam itu ada yang jaga, ibu-ibu ini ada
yang jaga. Kita ini karena sudah biasa hidup, kita ini hidup maju ya di dalam
kemasyarakatan itu, sehingga kita itu selalu berjaga-jaga. Yang dapat
dihamili, itu anak yang dibon untuk jadi pelayan di komplek itu [perumahan
106 Josepha Sukartiningsih
staf penjara], di komplek atas itu, ya bisa dihamili. Ya kalau yang di daerah
ini ndak bisa. Jadi kalau misalnya penjaga mau keliling kita juga keliling, jadi
ibu-ibu ini ya karena dididik untuk sendiri kok ya akhirnya kita jadi berani,
gitu lho.
Selama di Penjara Plantungan, hubungan tapol dengan anggota keluarganya terputus
sama sekali. Banyak di antara tapol yang telah menjadi seorang ibu dipaksa berpisah dari
anak-anaknya. Ibu-ibu itu kehilangan saat-saat di mana ia dapat merawat dan
membesarkan anak-anak, memberikan yang terbaik untuk buah hatinya. Dalam kondisi
terbelenggu di penjara, kerinduan itu terpapas. Jika ada kesempatan bagi sang anak untuk
mengunjungi ibunya, seringkali sang ibu tidak mengenali anaknya karena telah berpisah
begitu lama. Ibu Andhika bercerita:
Anak saya ke Plantungan. Anak saya disuruh diam saja, dan memang tidak
ditunjukkan mana anak saya. Memang ada teman saya yang juga besuk, tapi
dia diam saja. Setelah lama saya tanya petugas, ‘Mana Pak anak saya?’ ‘Lho,
anak ibu ada apa ngga?’ Anak saya masih diammm saja [tertawa]. Lama-
kelamaan saya ingat-ingat, saya lihat dahinya, kok seperti aku semua. Waktu
kecil begini bentuknya, tapi sudah besar kok lain. Jadi begitu anak saya
pulang, saya lupa rupanya, karena ketemunya hanya sebentar. Ada lagi
teman saya yang dari Jakarta anaknya nggak diakui. ‘Bukan. Itu bukan anak
saya.’ Anaknya sampai nangis, ‘Ini saya, anak Mami.’ Ibunya masih bilang,
‘Bukan, saya nggak punya anak itu.’
Di samping Plantungan, penjara besar lain yang digunakan untuk menahan tapol
perempuan adalah Penjara Bulu di Semarang. Karena penjara itu di tengah kota,
keluarga para tahanan lebih sering menjenguk dan membawakan makanan. Ketika Ibu
Rukmini dipindahkan ke Penjara Bulu pada Mei 1966, ia mengetahui salah seorang
penjaga di sana adalah saudaranya sendiri.
Jadi saya punya saudara kakak, tapi puteranya Pak De [kakak lelaki dari ibu/
bapak], kerja itu, pegawai Bulu itu. Ya memang saya datang saya melihat ya,
saya tidak berani ngomong. Sana juga nggak berani tanya ya tho, kan takut
pada waktu itu. Setelah dinas malam dia datang ke sel saya, ‘Butuh apa
kamu?’ ‘Butuh ini, ini, sabun, odol,’ saya bilang begitu. Terus malamnya lagi
dia membawakan gitu. Terus banyak yang titip, keluarganya-keluarganya
ini, ini, ini, lewat kakak saya itu. Tapi ya kita harus hati-hati, ketahuan ya dia
pasti dipecat.
Salah seorang saudarinya tinggal di Semarang dan juga membawakan barang-barang
keperluannya. Saudarinya menyampaikan kepada ayah mereka di Wonosobo bahwa Ibu
Rukmini ditahan di Bulu. Ayahnya semula tidak percaya karena selama ini menyangka ia
telah dibunuh, atau mengikuti istilah yang lazim digunakan saat itu, sudah ‘digame.’ Sang
ayah pun mulai berkunjung ke penjara membawa keempat anaknya: ‘kalau anak-anak itu
libur sekolah semua dibawa ke Semarang sama bapak saya.’ Ia senang menerima
kunjungan dari keluarganya. Ayah dan ibunya yang harus bertahan hidup dari uang
pensiun (sebagai bekas perwira polisi) juga harus mengurus anak-anaknya di Wonosobo.
Tapi, keadaan itu tidak bertahan lama. Anak yang paling kecil meninggal karena sakit
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 107
ketika masih bayi pada 1969. Ibunya meninggal pada tahun yang sama, sementara
ayahnya yang berusia 74 tahun, ditangkap dan ditahan tahun berikutnya. Kejahatan yang
dilakukannya adalah tinggal di sebuah rumah yang ingin dikuasai seorang perwira
Kodim.
Nah bapak saya diambil, karena tahu masih itu rumah saya mau disita,
rumah yang ditempati bapak dan anak-anak saya. Tapi yang
mempertahankan anak saya, ‘Pokoknya Pak, kalau Bapak mau menempati di
sini boleh disilahkan, tapi kamar yang besar ini untuk saya dan adik-adik
saya. Saya mempertahankan ini.’ Itu rumah, dilock (dikunci) dan disegel.
Karena ayahnya ditahan, rumah yang semula mereka tinggali pun diambil alih oleh
perwira Kodim itu. Tiga anaknya yang masih tersisa dipencar ke sejumlah keluarganya
karena tidak ada saudara yang punya cukup uang untuk merawat ketiganya. ‘Jadi ya
berantakan itulah setelah bapak diambil. Terus anak saya nomor satu dikirim ke Jakarta
ikut adik saya yang laki-laki, dan nomor dua ikut adik saya lagi yang paling kecil. Dan
yang satu kan sudah meninggal, dan yang satu lagi ikut adik saya yang di Semarang.’
ini belum, ini belum, gitu. Ya masih memikirkan yang lain-lain yang belum
bebas.
Para tapol umumnya ditahan selama 13-14 tahun. Saat dilepas, anak-anak mereka sudah
beranjak dewasa dan terbiasa dengan propaganda hitam dan lembaga-lembaga politik
ciptaan rezim Soeharto. Banyak eks-tapol perempuan yang mengungkapkan kesedihan
mereka karena tidak dapat berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Anak-anak yang
telah tumbuh dewasa tanpa kehadiran sang ibu cenderung mengambil jarak. Lebih
menyedihkan lagi, ada anak-anak yang merasa malu orang tuanya berstatus eks-tapol,
dan menyalahkan orang tua mereka atas penderitaan yang mereka alami. Saat Ibu
Sunarti ditanya, ‘Ketika ibu kumpul dengan keluarga lagi bagaimana?’ Ia menjawab:
Bagaimana ya, ndak enak, karena kita harus membenahi semua, sudah
berantakan dan anak-anak juga seolah-olah menyalahkan pada orang
tuanya ya. Karena mereka kan masih ya anak-anak sekian kan belum tau.
Kemudian di sekolah bagaimana pendidikannya mengenai sejarah yang
sebetulnya kan ndak diberitau. Mereka taunya, ‘yang tersangkut di G-30-S/
PKI itu jelek,’ kalau anak-anak ditanya cuma itu. Kalau yang kecil-kecil
seperti itu, saya sudah 14 tahun di kamp ya, jadi mereka sudah, ya di
universitas gitu to, jadi setelah kita pulang ini cuma, ‘Bu anu kowe ya ndadak
melu-melu kuwi to Bu, wong sing terlibat G-30-S/PKI jelek?’(Bu mengapa
kamu ikut-ikutan itu sih Bu, orang yang terlibat G-30-S/PKI jelek?)
‘Kuwi sing kandha ngono sapa?’ (Itu yang mengatakan begitu siapa?)
‘Ya sekolahan, sejarah,’ gitu. Ya sudah saya mau apa lagi. Waktu itu
pemerintahan kan masih begitu, ndak ada demokrasi ya to. Saya sudah ndak
bisa memberikan, mereka sudah besar-besar itu, sudah universitas. Itu kalau
nanti saya mbanggel malah (membantah akan), ya to. Saya sedih ya, sedih
sekali. Mengapa mereka tidak mengerti perjuangan orang tua, apalagi seperti
saya yang sejak kecil sudah ikut bergerilya gitu. Saya sejak SMP sudah ikut
begini, saya belum pernah berbuat salah terhadap masyarakat tetangga
sekitar, kami nggak pernah. Ya tetangga-tetangga sendiri yang memberi tau
begitu. ‘Ngomong apa to Bu kowe kok ya nganti dilebokke 14 tahun kuwi kowe
nang ngapa?’ (Kamu mengatakan apa toh Bu kamu kok ya sampai dipenjara
14 tahun itu kamu berbuat apa?) Ya artinya semua teman-teman yang ada di
lingkungan saya yang terkena itu.
Banyak ibu yang tidak mau berdebat dengan anak-anak mereka tentang masalah G-30-S
atau membujuk mereka agar berpikir lain. Mereka tidak mau membuat anak-anak
kesulitan menyesuaikan diri dengan kebudayaan Orde Baru. Dan mereka berpikir saat
itu, jika anak-anak mereka semakin dewasa dan memahami masalah politik lebih jauh,
mereka tentunya akan berubah pikiran. Seperti dikatakan Ibu Murni, seorang guru TK
Mardi Putra dan anggota Gerwani dari Klaten:
Saya punya pandangan, nanti kalau anak-anak sudah kerja, sudah selesai
sekolah biar bisa memikirkan sendiri, begitu. Kalau saya cerita sekarang
nanti dia patah semangat, lebih-lebih situasi masih begini. Jadi saya
rahasiakan soal itu. Takutnya itu, nanti kalau anak-anak nggak kuat
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 109
mentalnya bisa toh sama ibunya malah dendam. Atau dendam dengan
keadaan kan. Yang penting anak-anak sekolahnya pandai, dia baik dengan
teman-teman, dengan sesama, begitu saja.
Di samping rasa sedih karena tidak dapat berhubungan dengan anak-anak mereka, para
eks-tapol perempuan juga menghadapi kesulitan mencari nafkah untuk bertahan hidup.
Anak-anak harus tetap bersekolah, butuh makanan, pakaian, dan perhatian, sementara
sebagian di antara mereka tidak tahu lagi kabar suaminya. Ibu Rukmini bekerja sebagai
penjahit di rumah sakit di Semarang selama enam bulan – ‘saya menjahit sprei, sarung
bantal, baju dokter, pokoknya karena baru belum ada semua’ – tapi tidak bisa menjadi
pegawai karena pernah ditahan. Ia kembali ke Wonosobo setelah kerja serabutan selama
satu setengah tahun di Semarang. Di kota asalnya, ia menjual makanan kepada guru-guru
sekolah yang menjadi muridnya ketika masih mengajar di sekolah guru sebelum 1965.
Karena saya jualan laris ya, saya kan jualan tempe kemul (tempe dibungkus
tepung), bubur. Mustinya orang yang pada melihat tetangganya begitu kan
kasihan ya. Beli. Terus saya nggoreng tempe, nggoreng pisang saya titipkan di
sekolah-sekolah. Kan saya kenal sama guru-guru itu kok, guru-guru itu
keluaran SGA, ‘Ini nolong Bu Rukmini, nolong Bu Rukmini,’ gitu.
Ibu Jermini, di Denpasar, bekerja sebagai penjahit dan hidup pas-pasan. Anak-anaknya
juga bekerja. Ia membelikan pakaian anaknya dengan cara mencicil:
Bagaimana saya menghidupi anak enam? Ya, cari sendiri. Sayur saya minta
sama adik, yang penting ada beras. Anak-anak kan nggak bisa makan bulgur.
Waduh, mana pakaiannya anak-anak kan harus pakaian putih, itu saya
ngebon (berhutang): untuk pakaian anak-anak ini saya cicil satu rupiah per
hari. Saya sisihkan uang dagangan saya, untuk nyicil bajunya anak-anak.
Anak-anak semua sekolah, kontan kita nggak bisa, kita bon, terpaksa cicil-
cicil.
Setelah belasan tahun di penjara, para ibu mantan tapol ini tidak lama menghirup udara
kebebasan. Kesulitan hidup sehari-hari segera menghadang mereka selepas gerbang
penjara. Ada dari mereka yang memiliki sanak-saudara yang berkecukupan dan bersedia
membantu meringankan beban hidup mereka sekeluarga, seperti menanggung biaya
sekolah anak-anak dan mencarikan pekerjaan. Tapi, sebagian besar tidak seberuntung ini
nasibnya. Sementara negara membatasi gerak mereka dengan aturan-aturan yang
diskriminatif, mereka harus bekerja apa saja, termasuk menjadi pembantu rumah tangga,
atau membuka warung kecil-kecilan, agar bisa melanjutkan kehidupan mereka dan anak-
anak mereka. Banyak pula dari mereka yang kehilangan suami, atau kalaupun suaminya
masih hidup, biasanya juga berstatus eks-tapol sehingga tidak mudah beroleh pekerjaan.
Yang lebih mengenaskan, sampai berusia lanjut dan mulai sakit-sakitan, mereka masih
harus bekerja keras. Mereka tidak selalu bisa bergantung pada anak-anak yang sudah
dewasa dan bekerja karena kebanyakan anak-anak tapol hidupnya juga pas-pasan. Dalam
keadaan seperti inilah solidaritas antar sesama eks-tapol benar-benar terbangun dan
berfungsi sebagai jaring pengamanan sosial yang efektif. Seandainya saja pemerintahan
yang berkuasa setelah Soeharto dipaksa mundur pada 1998 berpikir lebih serius tentang
nasib para korban kekerasan Orde Baru, mungkin para ibu ini – perempuan-perempuan
110 Josepha Sukartiningsih
yang ikut berjuang merebut kemerdekaan negeri ini – bisa menikmati kehidupan yang
lebih layak.
10
Istilah ‘tragedi yang senyap’ diutarakan oleh Karlina Supelli dalam salah satu diskusi persiapan awal riset ini
pada 28 Februari 2000.
Ketika Perempuan Menjadi Tapol 111
buat kita untuk ‘mempersetankan’ orang-orang yang menembaki Ade Irma Suryani, putri
Jenderal Nasution, dan melupakan ribuan anak yang menjadi korban ketika rumahnya
diserbu dan dibakar, anak-anak yang terlunta-lunta ketika ayah-ibunya ditahan? Ribuan
anak harus menanggung ‘dosa’, padahal ketika ‘kejahatan’ itu terjadi mereka baru atau
belum lahir. Sebagai orang Indonesia, kita perlu berpikir tentang bagaimana sebuah
pemerintahan militer, melalui kampanye propaganda yang intensif, mengacaukan
persepsi kita mengenai warga yang lain, khususnya perempuan, dan bahkan menganggap
mereka jahat. Padahal, mereka adalah orang biasa seperti kita juga.
Kaum perempuan yang kehidupannya saya gambarkan secara singkat di atas – Ibu
Sunarti, Ibu Rukmini, Ibu Jermini dan lainnya – adalah perempuan-perempuan yang
menjadi korban kesewenang-wenangan rezim Soeharto. Mereka ditangkap tanpa
dakwaan, disiksa saat interogasi, disekap di penjara tanpa batas waktu yang jelas, dan
dipisahkan dari anak-anak mereka selama bertahun-tahun. Satu-satunya kejahatan
mereka adalah menjadi anggota organisasi politik yang sepenuhnya legal dan pro-
Soekarno sampai 1965. Tidak ada alasan kiranya yang dapat membenarkan kekerasan
negara seperti ini. Jika ada pembaca yang berkesimpulan bahwa tindakan semacam itu
dapat dibenarkan, maka pembaca itu dapat pula merobek-robek Konstitusi Indonesia dan
semua buku tentang hukum, dan menggantinya dengan satu kalimat saja: di Indonesia,
pemerintah dan militer dapat melakukan apa saja yang mereka kehendaki. Tapi, para
pendukung hukum sewenang-wenang semacam ini juga harus memahami bahwa itu
artinya mereka pun tidak memiliki perlindungan hukum dan hak-hak sipil juga; mereka
juga dapat menjadi korban sewaktu-waktu. Kita tidak perlu terlalu jauh mencari bukti.
Sebagian orang yang semula mendukung kekerasan terhadap PKI – termasuk PNI dan
NU – akhirnya menjadi korban dari rezim yang sama. Banyak orang mendukung
pengabaian hukum seandainya yang menjadi musuh adalah orang lain, tapi jika mereka
sendiri yang menjadi korban, maka mereka akan menjerit-jerit meminta hukum
ditegakkan.
Rezim Soeharto sudah membangun bentuk pemerintahan yang patriarkal dan militeristik.
Dalam era reformasi ini – jika masih ada yang tersisa darinya – kita harus mencoba
mengubahnya. Kita dapat, misalnya, mempersoalkan Undang-Undang Perkawinan No. 1/
1974 yang ‘mengembalikan’ perempuan pada tempatnya, yaitu hanya berkisar pada
wilayah ‘kerumahtanggaan’ yang dinyatakan oleh Pasal 31 ayat 3: ‘Suami adalah kepala
keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.’ Atau menentang pembatasan terhadap or-
ganisasi perempuan. Setelah 1965, organisasi perempuan yang masih bertahan hanyalah
organisasi keagamaan dan organisasi ‘isteri-isteri.’ Usaha-usaha pembungkaman terus
dilakukan dengan memberi stigma kepada perempuan yang berjuang di wilayah politik
sebagai perempuan-perempuan liar dan jahat, seperti anggota Gerwani. Bagaimanapun,
sejumlah cita-cita Gerwani dan organisasi perempuan lainnya sebelum 1965 masih absah
sampai saat ini; perempuan masih memerlukan undang-undang perkawinan yang lebih
adil; perempuan di tempat kerja berhak atas upah yang sama seperti pekerja laki-laki
untuk pekerjaan yang sama; dan, perempuan memerlukan kebebasan bergerak, baik dari
suami maupun negara, agar dapat aktif secara politik di luar rumah tangga. Perempuan
yang berjuang saat ini harus merenung sesaat tentang bagaimana rezim Soeharto
memukul mundur perjuangan hak-hak perempuan di Indonesia dan secara brutal
112 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
Daftar Wawancara
1. Ibu Andhika, Blitar, 26 Juli 2000 and 8 Desember 2000
2. Ibu Anita, Jakarta, 15 Juni 2000
3. Ibu Jermini, Denpasar, 17 Agustus 2000
4. Ibu Marni, Ambarawa, 28 Juli 2000
5. Ibu Murni, Klaten, 24 Juli 2000
6. Ibu Ramdinah, Jakarta, 2 Juni 2000
7. Ibu Riani, Solo, 20 Juli 2000
8. Ibu Rukmini, Jakarta, 4 Juni 2000
9. Ibu Sumiati, Jakarta, 11 Juni 2000
10.Ibu Sunarti, Solo, 19 Juli 2000
113
Ratusan ribu orang yang ditahan selama periode 1965-68, ketika penangkapan semakin
gencar dilakukan, umumnya menghadapi kejutan psikologis saat mereka disekap di
rumah tahanan atau penjara. Hampir semua tapol bercerita tentang penyekapan di sel
kecil yang dihuni lusinan tapol lain; mereka hanya mendapat jatah makanan begitu sedikit
sehingga banyak dari mereka kekurangan gizi dan kelaparan, dan juga tentang siksaan
yang mereka alami selama proses interogasi. Kondisi fisik tempat-tempat penahanan itu
memang mengerikan. Penjara-penjara seperti Salemba di Jakarta, Kebonwaru di
Bandung, dan Kalisosok di Surabaya, seperti neraka di bumi. Para tahanan yang kadang
tinggal tulang berbalut kulit, terus-menerus menderita penyakit dan masih harus
mengalami pukulan dan sengatan listrik dari para petugas pemeriksa. Di tengah malam,
para tahanan dibangunkan oleh sipir penjara yang datang ke sel-sel untuk menjemput
sejumlah tahanan keluar. Mereka dibawa dengan truk ke tempat-tempat sepi untuk
dieksekusi dan kemudian dilemparkan ke dalam kuburan massal tak bertanda.
Coba bayangkan, apa reaksi Anda seandainya tiba-tiba dibawa paksa oleh aparat
keamanan dan mengalami mimpi buruk semacam itu? Apakah Anda dapat bertahan dari
siksaan badan dan derita jiwa semacam itu? Apakah Anda bisa tetap berpikiran waras?
Kami meminta Anda membayangkan diri sebagai tapol justru karena rezim Soeharto
melatih kita untuk tidak mengidentifikasi diri dengan mereka. Kita dilatih untuk
menganggap mereka sebagai ‘PKI’ saja. Karena yang kita ketahui tentang ‘PKI’ itu hanya
sebatas bahwa mereka adalah setan, maka penderitaan apa pun yang mereka alami bisa
kita benarkan. Menjadi orang Indonesia yang baik di bawah rezim Soeharto berarti
bahwa kita harus menganggap tapol sebagai spesies manusia yang berbeda, semacam
makhluk setengah manusia yang tidak punya kaitan apa pun dengan kita. Kita
membangun tembok yang memisahkan kita dari penderitaan mengerikan yang mereka
alami. Kita bukan hanya tidak tahu apa yang mereka alami, tapi juga tidak mau tahu.
Untuk memahami apa yang sesungguhnya dialami para tapol dan cara mereka bertahan
dalam situasi itu, kami memilih cerita dari tiga orang tapol. Cerita-cerita ini
menggambarkan perjuangan para tapol untuk bertahan waras di tengah kegilaan dan
bertahan sebagai manusia di tengah perlakuan yang tidak manusiawi. Dalam wawancara
dengan kami, ketiga orang ini tidak hanya mengungkapkan pengalaman mereka tapi juga
menawarkan analisis tentang masalah-masalah yang dihadapi oleh semua tapol.
114 Aquino W. Hayunta dan John Roosa
maju lagi.
‘Coba lihat lagi yang betul, ini tanda tangan siapa?’
‘Tanda tangan saya.’
‘Betul?’
‘Betul.’
‘Duduk!’ Setelah duduk mulai nadanya tinggi.
‘Sekarang jelaskan mulai pembangunan kembali PKI!’
‘Sekali lagi saya mohon Bapak tolong jelaskan maksud pertanyaan Bapak
saya tidak mengerti.’
‘Kamu menyatakan kamu tidak tahu lalu bagaimana ini bisa di atas tanda
tangan kamu!’
‘Oh, itu, mengenai masalah tanda tangan, itu bisa saja.’
‘Artinya bagaimana? Kamu menandatangani?’
‘Artinya kan karena saya masih pingin hidup. Saya kan membubuhkan
tanda tangan tidak ada maksud apa-apa, kecuali saya masih kepingin hidup.’
‘Apa kamu kepingin hidup! Dengan kata lain kamu mengatakan kamu
pada waktu itu kamu terancam mati?’
‘Betul. Saya terancam mati.’
‘Kenapa? Disiksa?!’
‘Betul. Saya disiksa.’
Terus sidang itu sepi semua. Terus si hakim juga tidak nyangka bahwa
akan mendapat jawaban begitu. Dia tergagap sehingga akhirnya dia bilang
setelah hilang gagapnya: ‘Hai gimana Saudara [Oditur] begitu ini?’
Si oditur juga nggak bisa langsung tanya saya, diam lama. Akhirnya dia
tanya: ‘Apa betul Saudara disiksa?’
‘Betul.’
‘Di mana Saudara disiksa?’
‘Di setiap tempat saya diperiksa.’
‘Termasuk di Tim Pemeriksa Pusat?
‘Iya.’
Akhirnya terdiam oditur itu diambil oper lagi sama hakimnya.
Hakimnya tanya: ‘Jadi sekarang bagaimana maunya Saudara?’
‘Saya ini orang perantaian [pesakitan, tawanan]. Saya datang ke sini
dengan penuh kesediaan untuk diperiksa.’
118 Aquino W. Hayunta dan John Roosa
1
Wawancara dengan Benedict Anderson, September 1996, pewawancara Ben Abel. Transkripsi wawancara itu
disiarkan melalui jaringan internet.
‘Riungan’ dan Tegar Hati: Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan 119
dengan membantu tapol lain yang menerima jatah dari keluarga mereka. Para tapol ini
membentuk kelompok-kelompok untuk membagi makanan yang datang dari luar.
Nah muncul solidaritas, solidaritas itu tentunya ya riil, kebutuhan yang
paling pokok di dalam penjara yaitu cara makan. Siapa yang terima kiriman
makanan dari keluarganya dibagi dimakan bersama. Caranya para tahanan
ini dikelompok. Kelompok ini namanya riungan. Riungan ini bisa berisi 6
bisa sampai berisi sampai 9 gitu ya. Nah di situ nanti terdiri dari orang-
orang seperti saya yang tidak pernah dikirim dicampur dengan orang yang
dikirim, nah di situ makanan biasanya yang dikirim satu memikul dua atau
tiga yang tidak dikirim. Sementara kekuatan ekonomi keluarga makin lama
bukannya makin tangguh tapi makin lama makin tipis. Tapi sementara
pertumbuhan solidaritas sesama tahanan makin tinggi. Jadi bentuknya
misalnya dari semula itu makanan yang khusus untuk yang dikirim dan
sebagainya, sampai akhirnya mereka rela. Dengan contoh misalnya kalau
telur itu cuma satu, telur itu satu di situ jumlah kelompoknya enam ya
dibelahlah jadi enam. Jadi keikhlasan yang punya kiriman itu begitu nyata
solidaritasnya demi supaya teman-teman yang lainnya yang tidak dikirim
juga sama-sama hidup, dia rela makannya itu dibagi. Nah ini adalah satu
rasa kemanusiaan yang luar biasa, yang tidak mungkin ya kita temukan di
dalam kondisi lain dan mungkin pada kelompok lain.
Tan tetap merasa berterima kasih kepada semua kawan tapolnya dan keluarga mereka
yang membuatnya tetap bisa bertahan hidup selama mendekam di penjara Salemba.
Bagaimana saya yang tidak dikirim oleh keluarga bisa hidup belasan tahun
di dalam penjara dan masih bisa sempat keluar dan relatif masih normal? Itu
semua adalah jasa dari para keluarga. Inilah yang saya pernah nyatakan
setelah beberapa tahun yang lalu saya diundang silahturahmi lebaran, saya
merasa perlu untuk mengucapkan terima kasih. Sebab tanpa bantuan
keluarga mereka nggak mungkin saya bisa bertahan hidup.
Perjuangan untuk bertahan hidup di penjara bukan sekadar masalah kesehatan fisik.
Seperti yang ditekankan Tan dalam beberapa wawancaranya dengan kami, perjuangan
itu juga berarti usaha agar tetap waras dan bersemangat hidup. Ia menyampaikan cerita
seorang tapol, mayor Angkatan Udara, untuk melukiskan akibat dari hilangnya
keseimbangan jiwa bagi kesehatan fisik.
Tentunya seorang mayor lapangan itu tegap, tangkas, memerintah. Tapi
setelah dia divonis mati, kemudian terjadi pertarungan batin yang dahsyat
pada dirinya dan sejak itu segala ketangkasannya, segala ketegapannya
sebagai seorang militer, itu hilang. Bisa saya gambarkan jalannya, sudah
mulai membungkuk kayak kakek-kakek 90 tahun padahal dia umurnya
paling 30an tahun pada waktu itu, terus matanya kayak orang kena penyakit
cacingan, kriyep-kriyep orang Jawa bilang, terus rambutnya botak, terus jari-
jarinya gemetar, orang Jawa bilang buyutan.
Tak seorang tapol pun kiranya yang menduga akan ditahan begitu lama, apalagi dalam
situasi yang begitu memilukan. Bagi mereka, mimpi buruk itu sangat sulit dihadapi.
122 Aquino W. Hayunta dan John Roosa
Sebagian dari mereka mencoba bertahan dengan tampil tegar untuk menyembunyikan
rasa takut yang lekat dalam dirinya.
Orang-orang ini tidak pernah mimpi bahwa pada suatu hari akan dilempar
ke penjara. Karena itu dia tidak siap. Tapi dia mengalami. Jadi wajar kalau
ketika dia melalui proses itu ada kelemahan-kelemahan tertentu, itu sangat
manusiawi, sangat wajar. Tapi ada orang di dalam memahami kelemahan diri
ini tidak sehat. Dia memerlukan persembunyian. Persembunyian ini ngambil
bentuk, dia kaya tukang copet yang mencopet, dia teriak
‘copet…copet…copet,’ gitu ya. Umumnya mereka berlindung di dalam
kelompok ini, ngomongnya sok besar, sok revolusioner, tapi itu adalah cuma
alibi, pelarian.
Para tapol ini tidak pernah tahu kapan sesungguhnya mereka akan dilepas. Mereka tidak
pernah dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Mereka terus ditahan tanpa batas waktu jelas
oleh militer. Karena itu, sungguh sulit bagi mereka untuk berharap tentang masa depan.
Tan terus meyakinkan dirinya, bahwa ia masih muda dan jika baik-baik mengurus diri,
maka akan punya sisa hidup cukup di luar penjara. Ia dan beberapa tapol lainnya hanya
bisa berharap bahwa rezim Soeharto akan melemah atau jatuh saat mereka masih hidup.
Mengapa saya ditahan? Ya karena ada perubahan kondisi dan situasi politik.
Nah, karena itu sejak semula saya ditahan saya menyadari saya bisa bebas
lagi itu tergantung kalau pada perubahan kondisi dan situasi politik. Selama
tidak terjadi perubahan kondisi dan situasi politik nggak ada tahanan politik
bisa bebas.
Perubahan politik semacam itu terjadi pada 1977, setelah Jimmy Carter terpilih sebagai
presiden Amerika Serikat. Soeharto adalah diktator yang sangat bergantung pada
bantuan ekonomi, investasi, bantuan militer, dan persetujuan diplomatik Amerika
Serikat. Pemerintahan Carter, bekerja sama dengan beberapa negara lain, seperti negara
Eropa Barat, menekan Soeharto agar memperbaiki kondisi para tahanan dan mulai
melepas sebagian dari mereka. Pejabat-pejabat asing mulai melakukan kunjungan ke
penjara-penjara. Kondisi di Salemba pun mulai membaik karena adanya tekanan asing
ini.
Sejak Presiden Carter terpilih itu pengaruhnya terasa sekali. Karena begitu
Jimmy Carter menang, kemudian berkunjunglah Palang Merah
Internasional. Palang Merah Internasional berkunjung dan itu melakukan
penelitian segala macam, di samping itu tadi membagikan alat tidur, alat
makan dan sebagainya. Kemudian periksa ruang, diukur segala macam itu.
Nah pada saat itu mulai longgar. Terus pada saat longgar itu orang mulai
boleh membaca. Membaca buku-buku ringan, buku-buku pengetahuan.
Kalau tadinya kan cuma Al Quran dan Alkitab, bacaan lain nggak ada.
Kemudian televisi ada. Televisi itu digilir orang menonton televisi. Yang
menonton televisi itu misalnya di dalam situ ada 16 barak ya. Ya kita kena
bagiannya begitulah setiap kali 16 hari kita menonton. Kemudian, kita
punya keleluasaan melakukan kegiatan. Kegiatan itu misalnya kita bikin
kerajinan. Kerajinan itu ada tukang kayu, ada pipa rokok dari batok kelapa,
‘Riungan’ dan Tegar Hati: Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan 123
terus kerajinan bikin alat-alat musik seperti bikin gitar dan sebagainya. Itu
berawal. Sejak itu, kondisi mulai berubah itu, dan pada saat itu pun kita
mulai longgar bisa diperbolehkan memelihara hewan peliharaan, paling
tinggi ayam dan kelinci.
Saat Tan akhirnya dibebaskan pada Desember 1979, bersama kebanyakan tapol lainnya,
ia merasa beruntung. Bagaimanapun, sulit baginya untuk merasa gembira karena 13
tahun hidupnya dihabiskan sia-sia di penjara. Ia bukan lagi orang yang sama. Ia merasa
terluka dan hancur secara fisik maupun mental, walau jika dibandingkan tapol yang lain
ia tergolong ‘relatif normal’.
Yang ditahan peristiwa 65 itu yang bisa selamat sampai akhirnya bisa
pulang, termasuk diri saya, masih bisa keluar dari penjara, itu termasuk
orang yang betul-betul beruntung. Karena apa? Karena mestinya menurut
ketentuan nggak ada tahanan itu bisa keluar hidup. Nah, kalau toh bisa
keluar hidup, tentu dia sudah tidak bisa lagi diharapkan sebagai normal.
Segala sesuatunya, bayangin, yang namanya orang dipenjara oleh peristiwa
65 itu, itu ibarat orang dilontarkan ke dalam ruang hampa, ini kita vakum
selama masa yang panjang. Karena kita tidak bisa begini, tidak bisa baca,
tidak apa, tidak ada kegiatan apa-apa, sehingga sejak sementara yang
namanya otak itu hanya bisa dipertahankan apabila terjadi ada diasah. Jadi
kayak pisau itu diasah baru bisa tajam, sementara pisau yang tidak diasah,
lama-lama dihinggapi karat, ya tumpul.
Ia harus hidup dengan ingatan akan penderitaan itu – penderitaannya sendiri dan juga
orang lain yang dikenalnya dengan baik. Rasa sakit karena siksaan fisik tidak terlalu
mengganggu ingatannya, tapi penghinaan rasis anti-Tionghoa yang menyertainya,
melekat sungguh dalam: ‘siksaan yang saya alami sekarang saya sudah lupa rasanya,
kecuali penghinaannya.’
Kata-katanya segala macam, misalnya kalau saya diperiksa itu saya tidak
selembar benang nempel di tubuh saya. Kalau kita dengar ada aktivis
perempuan diperiksa ditelanjangi itu kan karena ada unsur pornonya. Tapi
kalau mereka menelanjangi saya itu kan karena Cinanya. Jadi itu yang
teringat betul sama saya. Karena apa? Karena dalam penyiksaan itu sendiri
juga ada unsur ke-Cina-annya itu tadi. Dia pingin tahu betul Cina atau
tidak, nah terus setiap kali pemeriksaan ditelanjangi bulat kemudian
dipermalukan yaitu yang saya ingat dan itu salah satu yang akhirnya
merupakan satu obsesi untuk mendorong saya berpikir: sebetulnya apa sih
urusannya orang-orang ini anti-Cina ini? Itulah salah satu yang mendorong
saya lebih terdorong untuk mengurusi soal-soal yang berkaitan dengan ke-
Tionghoa-an ini.
Saat ini, Tan hidup bersama isteri dan anaknya. Ia menganggap kehidupan sekarang yang
sederhana dan bagi banyak orang mungkin diterima jadi begitu saja, sebagai mukjizat
yang tak terjelaskan.
Itu bukan berlebihan kalau saya selama di dalam penjara itu ya tidak
kebayang bahwa suatu ketika saya masih bisa berkeluarga. Suatu ketika ada
124 Aquino W. Hayunta dan John Roosa
anak kecil panggil, ‘Papa, Papa,’ itu tidak kebayang. Tapi sekali ini semua saya
pikir inilah rupanya yang namanya kehidupan. Kehidupan ternyata
terbungkus misteri. Nggak ada orang yang bisa menjelaskan sendiri, nggak
ada yang bisa menyimpulkan sendiri. Misalnya satu contoh, saya sudah
yakin akan mati dua kali ya. Ketika sakit itu saya sudah yakin sebetulnya
walaupun merasa belum rela itu kan subyektif. Tapi obyektifnya kan saya
pada waktu itu mati. Kemudian pada saat awal-awal pertama ditangkap itu
pun saya sudah merasa mati. Tapi ternyata tidak, ternyata masih bisa keluar
dari penjara. Jadi ternyata hidup ini seperti ada rahasia, hidup ini ada
rahasia, tidak ditentukan oleh si pelaku hidup itu sendiri.
2
Kami mendengar dari banyak tapol di wilayah yang berlainan bahwa militer menyita gedung dan bangunan
milik orang Tionghoa, beberapa di antaranya adalah anggota Baperki, dan menggunakannya sebagai tempat
penahanan. Hal seperti itu tampaknya lazim dilakukan.
126 Aquino W. Hayunta dan John Roosa
resmi, legal, patriotik, dan pro-pemerintah, dan akhirnya disekap di penjara. Ia tidak
pernah didakwa melakukan kejahatan dan pemeriksaan pun tidak menunjukkan indikasi
ia pernah berbuat jahat. Satu-satunya alasan yang membuatnya ditahan adalah
hubungannya dengan sebuah organisasi pelajar yang punya hubungan longgar dengan
PKI. Menjadi anggota sebuah organisasi adalah ‘kejahatannya’, sekalipun pada usia 18
tahun ia tentu tidak punya pengertian politik yang dalam.
Kehidupan di penjara antara 1965 sampai 1969, seperti kita lihat dalam uraian Tan di atas,
penuh ketidakpastian. Banyak tahanan yang meninggal karena kelaparan atau dibawa
keluar untuk dieksekusi. Bayangkan diri Anda sebagai seorang remaja, yang sedang
menempuh kehidupan yang tenang dan menyenangkan, lalu tiba-tiba disekap di penjara
yang penuh ancaman kematian.
Saya pernah di sel, di penjara di dalam sel itu delapan orang. Lalu satu
persatu tiap malam diambil, katanya sih dipindah. Kemudian semakin lama
semakin berkurang, tinggal saya berdua dengan salah seorang yang katanya
tokoh di kota itu, yang pada akhirnya orang ini juga mati disiksa. Orang ini
sebetulnya oom saya [bukan oom yang aparat desa]. Nah ketika itulah saya
merasa tertekan. Saya harus minta tolong siapa? Tiap kali yang datang
dalam bayangan saya adalah teman-teman kecil, keluarga, adik, kakak, ibu,
bapak. Saya nggak tahu harus bagaimana.
Sejumlah saudaranya dari kampung cukup berani untuk mengunjunginya sekali
seminggu dan mengantarkan makanan. Dengan makanan itu ia berhasil bertahan hidup
dan membaginya dengan tiga orang lain dalam sebuah kelompok makan.
Nah kelompok saya ini kelompok yang minus, jadi seminggu sekali saya
dikirim, nah saya punya anggota kelompok itu tiga orang yang nggak
pernah dikirim. Karena mereka dari luar kota, dari Lampung, Jakarta, dari
mana, saya nggak tahu, karena pengakuan kan nggak jelas ya. Karena kita
nggak tahu mereka siapa, karena yang tahu kan biasanya anu, pemeriksa
saja. Kita nggak peduli dia siapa, pokoknya kita sama-sama di situ, kita
saling bantu-membantu.
Saat menggambarkan penderitaannya di penjara, Mulyadi tidak terlihat emosional. Hal
yang membuatnya sedih, bahkan sampai hari ini, adalah penderitaan keluarganya yang
tinggal di luar penjara. Ia tidak tahan dan menangis saat bercerita tentang saudarinya
yang jatuh miskin dan terpaksa memotong rambutnya yang indah untuk dijual.
Kerabatnya yang membawakan makanan hanya bisa membeli jenis makanan paling
sederhana dan murah, termasuk nasi sisa makan mereka sendiri.
Bahkan pada suatu hari, saya pernah bertanya sama keluarga saya, ‘Uang
dari mana sih ngirim-ngirim saya?’ – padahal waktu itu kirimannya juga
nggak banyak, mungkin segaking, segaking itu tahu? Nasi yang dikeringin,
nasi yang nggak habis, barangkali dari tetangga-tetangga itu diminta gitu,
terus dijemur, ya kan? Kemudian setelah kering itu dikirim ke penjara. Nah
lalu di sana itu disiram dengan air panas, direbus, itu sudah bisa dimakan
gitu ya? Nah itu segaking. Kami kirimannya seperti itu, garam, sederhana
‘Riungan’ dan Tegar Hati: Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan 127
sekali.
Saat di penjara, ia mengalami tekanan psikologis yang mendalam. Ia dipisahkan dari
orang tua, saudara, dan teman-teman lamanya di Salemba. Tidak jelas berapa lama ia
akan ditahan. Mungkin untuk selamanya. Ia tidak pernah tahu kenapa sampai ditahan di
penjara dan apa kesalahan yang dilakukannya. Salah seorang pamannya mati karena
disiksa. Ia tahu bahwa tahanan yang dibawa keluar tidak ‘dipindahkan’, tapi dibunuh.
Seperti banyak orang lain dalam keadaan serupa ia menderita krisis kejiwaan. Sebagai
seorang Muslim, ia berharap dapat menemukan ketenangan dalam agama. Tapi para
ulama yang bertugas di penjara kerjanya hanya memaki-maki para tahanan:
Keadaan kami sebenarnya kan patut ditolong. Tapi sebaliknya apa yang
kami terima dalam rangka Santiaji di penjara – kita selalu dikumpul di situ.
Kemudian mereka – biasanya yang paling menonjol itu dari kelompok Islam
itu saya lihat - bapak-bapak yang atas nama Islam itu banyak mengkritik
kita, mengkafir-kafirkan kita. Kita dianggap orang sesat, dianggap orang tak
bertuhan.
Banyak tahanan lain yang menggambarkan sikap para ulama yang tidak memberi
kenyamanan secara emosional atau memberi bantuan material.3 Sementara itu, para
rohaniwan Kristen dan Katolik lebih simpatik dan juga mau memberikan bantuan
kemanusiaan.
Dari kelompok Kristen tidak pernah mengkritik. Tidak pernah misalnya
ngatain kita ini kafir dan sebagainya, tidak pernah. Paling-paling
memberikan semacam pengertian bahwa tidak ada dosa yang tidak
terampuni. Tuhan selalu datang kepada kita dan mengetuk hati kita untuk
menjadi orang-orang baru dengan darah dan tubuh Yesus semua akan
diselamatkan. Seperti itu saja. Tidak pernah bicara misalnya ada, ‘Lu PKI’,
‘Lu semua sesat, setan, patut masuk neraka,’ gitu misalnya. Jadi tumbuhlah
rasa simpati. Karena di dalam kesulitan ini, orang itu batinnya, itu jiwanya
itu berkembang, mencari jalan untuk kedamaian gitu kan.
Pada 1969, Mulyadi dipindahkan ke Pulau Buru. Di sana ia melihat banyak tapol Muslim
yang berpindah agama.4 Mereka tidak menghadiri pelajaran agama yang disampaikan
oleh para ulama, tapi malah ikut dalam kelas bagi tahanan Kristen dan Katolik.
Setelah saya pindah di Pulau Buru dengan teman-teman, itu barangkali dua
pertiga dari semua – tanpa ‘Kristenisasi’ ya, artinya kesadaran kita sendiri –
kita itu mulai mencantumkan agamanya itu mulai berubah. Kebanyakan itu
3
H. Achmadi Moestahal, seorang tapol yang ditahan di Salemba dan Pulau Buru, misalnya, dalam memoarnya
mencatat hanya sedikit ustadz yang simpatik dan baik hati, sementara kebanyakan tidak demikian: ‘siraman rohani
para perwira Binroh (Pembina Rohani) Islam yang lain, Masya Allah.’ Cara mereka menyelenggarakan pelajaran
agama, ‘justru menimbulkan antipati terhadap Islam, karena cara-cara yang tidak mendidik dan vulgar, penuh
dengan cacian dan makian terhadap penganut faham Komunisme dan atheisme ... Bahwa semua tapol adalah al-
kuffaar musyrikin dan orang yang sesat.’ Moestahal berasal dari keluarga santri dan lulus dari Pondok Pesantren
Gontor. Dari Gontor ke Pulau Buru (Yogyakarta: Syarikat, 2002), h. 252.
4
Mengenai pendidikan agama di Pulau Buru, lihat I.G. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru 1969-1979 (Jakarta:
LP3ES, 2001), h. 136-146.
128 Aquino W. Hayunta dan John Roosa
5
Kejadian ini juga digambarkan oleh beberapa tapol yang lain.
‘Riungan’ dan Tegar Hati: Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan 129
KTP yang menandakan dirinya beragama Kristen. Beberapa anggota keluarganya, saat
menerima kembali, agak keberatan dengan kenyataan bahwa ia telah pindah agama:
Sampai di rumah, begitu keluarga saya sebetulnya fanatik gitu. Ayah saya,
gitu kan, tapi ayah saya cuma diam-diam saja. Dia bilang, ‘Agama itu yang
penting itu. Ya saya nggak bisa bilang apa, kalau kamu mau masuk agama
Nasrani, baik, jadi Nasrani yang baik seperti apa yang diajarkan oleh
Nasrani, Nabi Isa kamu.’ Gitu ayah saya. Ibu saya bilang, ‘Ya ialah, agama di
mana-mana sama, yang penting baik, rukun,’ kata ibu saya. Tentu saja yang
lain seperti kakak saya, ‘Ya nggak, orang Islam ya harus kembali.’ Gitu,
murtad dan sebagainya. Dan teman-teman kecilku ketika saya temui setelah
saya bebas, teman saya ngaji, itu juga diam-diam protes, ‘Gimana sih kamu,
apa nggak sayang sama guru kamu Haji Masruni?’ Nah seperti itu.
Tapi, masalah terpenting bagi Mulyadi saat kembali ke Jakarta bukanlah identitas
keagamaannya, tapi cara bertahan hidup secara ekonomi. Ia perlu mencari pekerjaan.
Ada tetangga yang nyupir, dan saya nawari diri gimana kalau saya jadi
keneknya. Saya mulai jadi kenek Metromini S63, Pasar Minggu-Depok.
Makan satu hari sekali, ya kan. Ketika istirahat kita sama-sama makan di
warung Padang bersama-sama dengan kondektur yang lain. Kemudian
malamnya pembagian upah gitu kan, ya sebetulnya sedikit, tapi daripada
nol. Tapi lama-lama ya nggak betah, karena ya bahaya ya, jadi kenek ya,
main di terminal, penuh dengan preman.
Ia ingin mencari pekerjaan lain. Di Buru, ia sempat belajar akupunktur6. Pada awal
1980an, Mulyadi memutuskan untuk melanjutkan pelajaran akupunktur di Yogyakarta.
Saya masuk organisasi akupunktur, gitu. Di mana organisasi itu pun
digosipkan sebagai organisasi tempat penampungan orang-orang eks
[tapol]. Jadi harus hati-hatilah, gitu. Jadi gimana? Repot juga kan? Didesas-
desuskan bahwa organisasi akupunktur ini nggak lebih dari organisasi dari
orang-orang tahanan PKI. Tapi nyatanya masyarakat yang saya datangi
tidak peduli ya, artinya kami mulai praktek di masyarakat, tentu saja
berurusan dengan pemerintah, terutama dalam minta ijin itu bukan main
sulitnya. Harus begini, harus begitu, harus bayar ini, bayar itu. Padahal
kami ini benar-benar pennyless, artinya ndak punya apa-apa.
Di sini memang pemerintah ada semacam maksud yang ganda ya, mendua.
Pertama kami dianjurkan untuk bersosialisasi, tapi di pihak lain kepada
masyarakat dia memberikan warning [peringatan] kepada masyarakat, ‘Awas
jangan sampai kesusupan orang-orang eks-tahanan politik.’ Jadi ya gimana?
Gitu kan? Kalau kita misalnya ngumpul dengan orang-orang di mesjid,
6
Menarik bahwa ratusan tapol dari berbagai penjara di seluruh Indonesia akhirnya menjadi ahli akupunktur.
Mereka biasanya belajar dari tapol Tionghoa yang lebih dulu mempelajari ilmu itu. Di Pulau Buru, seorang tapol
menerjemahkan manual akupunktur ke dalam bahasa Indonesia. Putu Oka Sukanta, yang sekarang menjadi
penulis terkemuka, adalah salah satu eks-tapol yang setelah bebas dari tahanan menyambung hidup sebagai
seorang akupunkturis.
‘Riungan’ dan Tegar Hati: Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan 131
orang-orang ini mengatakan, ‘Awas ada orang eks di sini.’ Gitu kan? Jadi
gimana? Maunya apa saya nggak tahu.
Ia menempuh sekolah tinggi untuk tenaga akupunktur dan akhirnya membuka praktek
sebagai akupunkturis. Ia bahkan pernah diundang mengajar oleh tenaga-tenaga medis
profesional di Jawa Tengah: ‘saya ngajar akupunktur di rumah sakit-rumah sakit, di
kalangan dokter. Saya ngajar kelas dokter dan paramedis, ya.’ Di sebuah rumah sakit, ia
jatuh hati pada seorang perempuan yang bekerja di sana, tapi ragu-ragu
menyampaikannya. Ia merasa pasti akan ditolak karena latar belakangnya sebagai eks-
tapol.
Saya ketika mau melamar ya sangat ragu-ragu sekali. Gimana? Bisa diterima
atau nggak nih? Apa saya perlu berbohong? Tapi kalau berbohong, apa
akibatnya di kemudian hari? Gitu. Maka saya putuskan saya akan bilang
terus terang siapa saya.
Perempuan itu bersedia menerimanya sebagai pacar dan juga mau menikahinya. Tapi ia
berkata akan berbicara dengan keluarganya lebih dulu. Dalam keluarga perempuan itu
ada banyak pegawai negeri, dan ayahnya adalah seorang hakim. Mulyadi pertama kali
menjumpai pamannya.
Ketika saya menghadap ke oomnya, oomnya itu rasanya menolak dengan
memberi jalan alternatif supaya saya mau mengawini pembantunya, karena
pembantunya ini katanya masih saudara dengan keluarga ini. Ya saya bilang
bahwa, ‘Ya memang pembantu yang ditawari itu cantiklah, ia baik dengan
saya. Tetapi saya ingin anak bapak. Kalau soal pembantu ya nantilah urusan
belakangan. Gimana nanti.’ Lalu tiba-tiba kami disuruh menunggu jawaban
tiga bulan. Karena apa? Karena keluarga harus berkonsultasi dulu, antara
lain dengan salah satu jenderal yang ada di Semarang. Saya ndak tahu nih
jenderal siapa. Mungkin… jenderal siapa sih? Saya nggak tahu. Dan salah
satu dari keluarganya pun ada jenderal yang menjadi korban Gerakan 30
September. Saya nggak begitu ingat dan nggak ada hubunganlah dengan
saya, gitu kan? Boleh dikata garis besarnya ditolak.
Walau ditolak oleh keluarga itu, keduanya memutuskan untuk menikah. Mereka pindah
ke Jakarta untuk menghindari pengaruh keluarga calon isterinya dan mendaftarkan
pernikahan mereka di catatan sipil. Satu-satunya halangan saat itu adalah perbedaan
agama. Mulyadi beragama Kristen sementara calon isterinya beragama Islam. Calon
istrinya meminta Mulyadi kembali pindah agama dan menjadi Muslim.
‘Ya kamu harus pindah ke Islam dong. Masa udah keluarga saya kehilangan
saya karena kawin sama tapol sekarang harus kehilangan agama saya,
gimana? Kamu harus berkorban dong untuk saya karena saya sudah
berkorban untuk kamu. Apa untungnya kawin sama tapol sih? Kerjaan
nggak menentu, macam- macam.’
‘Tapi kesetiaannya ada lho.’
‘We belum tentu.’
132 Aquino W. Hayunta dan John Roosa
‘Ya udah, okelah, saya oke deh. Saya menghargai pengorbanan kamu,
saya juga harus berkorban untuk kamu.’
Dan suatu malam saya pikir-pikir, memang harus berkorban. Dan serasa
bahwa ini saya atas dasar kasih ya, atas dasar prinsip cinta kasih gitu … Dari
pengertian ini kan, saya kemudian masuk Islam.
Dan begitulah, sampai saat ini Mulyadi adalah seorang Muslim.
malam di Oktober 1968, polisi mendatangi rumahnya bersama kepala desa, setahun
setelah ia menikmati ‘kebebasan’.
Mungkin lho ini – saya tidak menuduh – ada laporan dari desa, ‘Lho, orang
ini kok masih hidup?’ Dulu kan memang pekerjaan saya, ya, tukang nyanyi,
tukang pementasan Janger, satu drama lakon tuan tanah itu, penyebaran
Undang-Undang Perjanjian Bagi Hasil dan Perjanjian Pokok Agraria. Itu kan
banyak orang yang benci sama saya. Pasti itu. Jadi dia gunakan kesempatan
itu mungkin untuk lapor. Nah, betul, saya diambil.
Ada banyak orang yang ditangkap militer pada 1968, termasuk mereka yang hanya punya
hubungan sedikit dengan PKI. Mereka umumnya adalah orang yang belum pernah
ditangkap, atau sempat ditangkap, tapi cepat dibebaskan kembali, seperti Wayan. Banyak
dari mereka yang sebelumnya berafiliasi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat),
misalnya, tidak dianggap perlu untuk ditangkap pada 1965-66. Tapi, saat militer
melancarkan operasi pembersihan kedua pada 1968, tak seorang pun yang dianggap
‘kurang penting’ oleh militer. Saat itu pula militer menggelar operasi penumpasan sisa-sisa
PKI di Blitar Selatan. Militer percaya PKI memiliki jaringan bawah tanah yang terus
berkomplot melawan pemerintah. Wayan yang saat itu berusia 25 tahun, dituduh
menjadi pemimpin jaringan bawah tanah PKI, yang oleh militer disebut dengan ‘PKI
malam.’ Pada 1968, militer bertindak sebagai penulis naskah sekaligus sutradara, dan
memaksa para tahanan untuk memainkan peran-peran yang mereka tetapkan:
Itu sudah disiapkan satu skenario seperti bahan cerita gitu lho. Karena pada
waktu itu saya dituduh PKI malam. Jadi sudah disiapkan: pimpinannya ini,
terus anggotanya ini. Nah, saya termasuk pimpinan, gitu lho. Di sana itu
dikelompokkan – ada ‘trio,’ istilahnya bagi mereka. Saya sendiri nggak
pernah tau itu. Pada waktu itu ada istilah OTB, Organisasi Tanpa Bentuk.
Kita sendiri tidak pernah tau namanya OTB. Pada waktu itu kita diistilahkan
GTM, istilahnya Gerakan Tutup Mulut. Jadi kalau kita tidak mau
menjawab, ‘Oh, kamu, kan memang sudah diinstruksikan untuk GTM.’ Ya,
macam-macam. Seperti saya katakan tadi, ada satu trio.
‘Lho, kamu kan masuk trio ini.’
‘Ya, nggak tau saya.’
‘Memang betul kamu bilang begitu’ [ketawa].
Bisa-bisanya gitu lho, bisa-bisanya gitu lho, memberikan satu nama. Jadi
Organisasi Tanpa Bentuk, kayaknya. ‘Pantas aja kamu nggak tahu memang.
Itu memang OTB, Organisasi Tanpa Bentuk. Siapa yang ngaku kalau
memang kamu gerak malam, namanya aja PKI malam.’ Ya, sudah dibikin
satu skenario seperti itu. Nah, kalau kita tidak tanda tangani, tau saja yang
namanya rotan, namanya kemaluannya sapi itu, itu alat penyiksaan, itu
agak berat. Terus ekornya pari, alat penyiksaan pada waktu itu.
Setelah disiksa berulangkali, Wayan akhirnya mengalah dan mengikuti skenario militer.
Ia menandatangani berkas interogasi yang mengatakan bahwa ia adalah pimpinan ‘PKI
malam’, sekalipun saat menikmati ‘kebebasan’ selama setahun ia tidak pernah terlibat
‘Riungan’ dan Tegar Hati: Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan 135
kegiatan politik, dan tidak mungkin melakukan sesuatu karena terus diawasi oleh
penduduk desa yang lain.
Ia akhirnya diadili pada 1975 – tujuh tahun setelah ditangkap. Tidak jelas mengapa
militer masih merasa perlu menggelar pengadilan sandiwara karena proses penangkapan
dan penahanannya sejak awal sudah berlawanan dengan hukum. Bagaimanapun,
pengadilan terhadap dirinya digelar dan Wayan akhirnya dijatuhi hukuman penjara
delapan tahun. Karena ia telah menjalani hukuman selama tujuh tahun, ia seharusnya
dibebaskan pada 1976. Tapi militer sudah punya rencana lain. Wayan dikategorikan
sebagai golongan X, yakni kategori misterius yang membuat nasib para tapol seperti
menggantung.
Setelah menjalani delapan tahun, bukan bebas tetapi datang surat
penahanan dari Kopkamtib lagi, bahwa orang ini tidak lagi sempat keluar,
tetapi ditahan kembali. Menjadi golongan, istilahnya Golongan X, gitu lho.
Kalau pada waktu divonis kita menjadi Golongan A, terus waktu ditahan
kembali menjadi Golongan X sampai sekarang, ya sampai bebas itu.
Desember ’77 tanggal 20 saya bebas. Massal pada waktu itu, baik yang tidak
diadili maupun yang diadili pada waktu itu keluar sama-sama.
Sekeluar dari penjara, Wayan kembali ke desanya. Dan, lagi-lagi ia kesulitan menempuh
hidup yang normal. Militer melarangnya keluar dari kecamatan tanpa izin, dan izin
semacam itu sangat sulit diperoleh. Ia terus diawasi oleh Babinsa (Bintara Pembina Desa),
kepala desa, dan penduduk desa yang menderita PKI-fobia. Orang lain yang semula
ramah tidak mau lagi berbicara dengannya karena takut dituduh menjadi bagian dari
persekongkolan bawah tanah. Terlebih lagi karena Wayan adalah saksi hidup dari
kekerasan 1965-66 yang justru ingin dilupakan oleh penduduk desa.
Jadi begitu saya keluar, karena tidak boleh keluar dari kota kecamatan, saya
kerjakan apa yang bisa saya kerjakan di rumah. Saya pernah kerja macam-
macam, ya, piara babi, piara ayam, setelah itu jadi tukang sepeda. Jadi
tukang rumah, tukang mebel, macam-macam lah. Pokoknya yang penting
saya bisa makan dan saya tidak memberatkan orang lain, itu tekad saya.
Sebab siapa yang mau membantu kita yang baru dari sana? Kita bicara ke
tetangga aja, tetangga takut, trauma. Traumanya malah di situ, kalau
menurut penglihatan saya, traumanya masyarakat melihat pembunuhan
secara nyata pada waktu 65 itu. Itu yang mereka menjadi trauma, takut
kalau seperti itu terjadi lagi. Karena mereka waktu itu ditanya sama orang
yang dianggap PKI sudah bisa diindikasikan bahwa dia adalah keluarga ini.
Maka itu, orang tanya sama kita, musti melirik kiri-kanan ada orang atau
nggak. Begitu sampai sistim pengawasannya dibikin oleh militer itu. Bukan
main, di desa ada Babinsa yang selalu mengawasi kita. Orang kita kencing aja
dia tau kok, apa lagi yang lain. Selalu dimata-matai.
Bali, dalam pengalaman Wayan selama 1980an dan 1990an, adalah sebuah penjara besar.
Ia terkena wajib lapor tiap minggu selama belasan tahun, tidak boleh meninggalkan
kecamatan tempat tinggalnya, terus-menerus diawasi, dan berulangkali dipanggil ke
kantor polisi.
136 Aquino W. Hayunta dan John Roosa
Saya pada waktu itu piara babi. Kan ada orang beli babi bawa mobil. Bawa
mobil itu saja kok dilaporkan orang, ‘Wah, dia ini ada tamu lho. Ada mobil
di luar rumahnya. Gimana itu?’ Panggil polisi, beberapa kali saya bolak-balik
dipanggil polisi. Katanya saya bikin kegiatan lagi. Apalagi kita bicara-bicara
ke tetangga. Wong kita di rumah aja sendiri ada orang belanja, beli babi gitu
kok, kita diisukan, atau dikatakan. Mau bangkit, apa istilah mereka. Berapa
kali saya dipanggil polisi, sampai bosan rasanya polisi itu, manggil karena
dilaporkan. Jadi begitu, dari mana-mana kita kok ditekan.
Bali adalah pulau damai dan indah yang terkenal di seluruh dunia, semacam surga di
bumi. Namun reputasi ini sepenuhnya bergantung pada kebungkaman mengenai
pembunuhan dan pemenjaraan massal yang berlangsung selama 1965-66. Sementara
banyak orang Bali yang berusaha melupakan masa teror itu dan berbuat seolah-olah
tidak pernah terjadi sesuatu, para korban justru tidak mampu lepas dari ingatan itu.
Hidup mereka hancur karena kekerasan itu, dan dalam banyak hal terus berpengaruh
terhadap mereka sampai hari ini. Agar citra Bali sebagai surga bisa bertahan, seseorang
tidak boleh mengingat bahwa pulau itu pernah menjadi penjara raksasa bagi ribuan eks-
tapol.
Pengalaman Wayan dengan ketidakadilan dan kekejaman ini memberinya pemahaman
baru mengenai ‘kebudayaan Bali’ yang sangat berbeda dari pikiran yang ingin
dipromosikan oleh para penguasa Bali dan yang selama ini dilihat oleh turis. Sebagai
bekas penyanyi dan seniman panggung yang dipaksa bungkam, ia sangat merasakan
perubahan kebudayaan Bali di bawah rezim Soeharto. Kebudayaan Bali menjadi
komoditi dan sekadar tontonan ketimbang kekuatan yang hidup dan dinamis untuk
memberdayakan orang secara politik seperti dilakukan kelompoknya sebelum 1965. Saat
ini, para seniman pertunjukan Bali hanya menjadi buruh dalam industri yang masif –
kumpulan buruh miskin yang tak berdaya.
Saya sering ngangkut kesenian ini, baru-baru ini, saya sering ngangkut
kesenian Legong dari desa ini, pakai truk ini. Sampai di sana orang yang
perias ini, seniman ini, perias di lapangan rumput itu yang biasa payah.
Kalau hujan, mereka kehujanan, dengan naik truk begini. Harganya berapa,
orang kesenian itu? Anda tahu? Mereka cuman dibayar Rp 5.000 per orang.
Apa ini suatu pelestarian budaya? Apa ini tidak pemerasan? Mereka tidak
pernah mau tau kalau mereka kehujanan, atau apa pulang, atau bagaimana.
Bagaimana kita bisa perkenalkan budaya tetapi di satu sisi mereka memperas
seperti itu? Hal-hal beginilah, ya, dari dulu saya melihat tidak suka. Saya
melihat yang begitu-begitu, kan nggak adil. Bagaimana orang yang sekitar
‘Eh, Legong-mu bawa sini, saya bayar!’ Yang ini dapat Rp 10.000, kita yang
dibayar Rp l.000 misalnya. Gimana logikanya? Cuman itu aja mereka dapat
jauh berlipat-lipat daripada yang melakukan seni itu sendiri. Saya sering
bawa ke hotel bintang lima, di pinggir pantai. Bayangkan dari sini ke hotel
itu, paling ndak dua jam, dua setengah jam malah, dengan naik truk, seperti
sapi gitu. Lima ribu rupiah itu bayar penarinya!
Sama seperti kebanyakan orang Bali, Wayan lahir dari orang tua yang juga berasal dari
Bali, menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa ibu. Ia menghabiskan seluruh hidupnya di
‘Riungan’ dan Tegar Hati: Bekal Bertahar di Tengah Kegilaan 137
Bali. Ia pertama kali keluar dari pulau itu beberapa tahun lalu saat berkunjung ke
Jakarta. Tapi, sekaligus ia merasa terasing dari kebudayaan Bali setelah menjadi saksi
kekejaman orang Bali pada 1965-66 dan cara mereka memperlakukan eks-tapol sampai
saat ini.
Orang-orang luar memuja Bali itu begitu indah, begitu ramah tamah,
begitu baik hatinya. Kok waktu 65 itu ndak punya belas rasa kasih terhadap
sesama? Jangankan terhadap orang lain, terhadap keluarga sendiri kok bisa
berbuat seperti itu? Apa ini harus tetap dihargai sebagai pemeluk Hindu
yang benar? Tetapi ini bukan berarti saya tidak beragama lho, bukan berarti
saya bukan Hindu. Saya masih tetap agama Hindu. Tetapi saya merasa
sedikit tersinggung dengan masalah-masalah itu.
Perjuangan kejiwaannya menyangkut identitas dirinya sebagai orang Bali. Ia tidak mau
menjadi bagian dari masyarakat yang justru membuatnya menjadi korban. Sebagai
bentuk protes halus dan personal, ia tidak memberi nama Bali kepada anak-anaknya.
Tapi sekarang, ia sudah bisa bergaul bebas dengan orang sedesanya tanpa rasa curiga dan
hati-hati seperti di zaman Soeharto.
Pergaulan dengan warga sekitar nggak jadi masalah. Bahkan saya
mempelopori kalau ada upacara-upacara adat. Saya dengan senang hati
menyumbang sesuatu, bahkan saya dijadikan salah satu pengurus desa adat
di sini. Jadi, kalau ada apa-apa, saya musti ikut rembuk desa, begitu. Saya
menyesuaikan diri, apa yang menjadi kebutuhan kita apa yang bisa saya
kemukakan, saya kemukakan.
Walau sudah dapat ‘menyesuaikan diri’ dengan masyarakat sekitarnya, ia tetap berjaga-
jaga. Ia mengatakan sampai sekarang belum ada rekonsiliasi sejati di antara mereka yang
dicap ‘kiri’ dan yang ikut milisi. Mereka yang dulu terlibat pembunuhan tidak pernah
mengaku dan tidak pernah meminta maaf kepada para korban. Di Bali sendiri, di balik
segala keselarasan dan keindahan, ada ketegangan yang tersembunyi. Para eks-tapol dan
keluarga mereka masih merasa sakit, diperlakukan tidak adil, terhina, sementara para
pelaku berbuat seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.
Daftar Wawancara:
1. Mulyadi, Jakarta, 22 Februari 2001
2. Tan Swie Ling, Jakarta, 16 Juni 2000 dan 16 Maret 2001
3. Wayan, Bali, 18 Agustus 2000
138 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
139
Razif
1
M.D. Poesponegoro and N. Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia, vol. VI (Jakarta: Balai Pustaka, 1984), h. 37.
140 Razif
2
Tentang Blitar Selatan, lihat pula esai André Liem dalam buku ini.
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politik untuk Rezim Soeharto 141
yang dicurigai sebagai PKI oleh tentara mulai mereda pada akhir 1960an. Para tapol
biasanya diambil dari penjara pada siang hari untuk membangun proyek-proyek
infrastruktur seperti jalan, jembatan, bendungan, dan kanal. Banyak yang dipaksa
mengeruk pasir dan kerikil, bahan baku untuk membuat semen. Sampai pertengahan
1970an, puluhan ribu tapol dilibatkan dalam kerja keras tanpa menerima upah sepeser
pun. Seringkali mereka juga tidak mendapat jatah makan. Pola semacam ini berlaku di
seluruh negeri dan saya akan menggambarkannya berdasarkan pengalaman para tapol di
Jawa dan Sumatera.
Mari kita mulai dari Lampung Selatan dengan cerita Ngatmin yang ditahan pada 1967
karena ia dicurigai sebagai anggota ‘PKI malam’. Setelah kira-kira satu setengah tahun
dipenjara di Kodim setempat, ia dialihkan ke sebuah kamp penahanan di bekas pabrik
beras tua. Ia dan tapol-tapol lainnya yang ditahan di tempat itu dipaksa mengeruk pasir
di sebuah sungai dekat kamp yang disebut Sungai Bulug. Mereka paling-paling diberi
jatah beras, tapi tanpa lauk-pauk.
Kita tidak dibayar. Ya jadi hidupnya itu selama cari pasir itu, umpama cari
pasir itu ada orang 20 [tapol], yang dua itu bikin kalo (penyaring santan dari
anyaman bambu), bikin bakul (wadah makanan dari anyaman bambu),
bikin kukusan (alat menanak nasi berbentuk kerucut dari anyaman bambu),
itu dijual untuk membeli garam, cabe itulah. Jadi ngurangi, seandainya
pekerjaan orang 10 ya dikurangi dua itu. Ya kerjanya memang di situ, cuman
lain, untuk hidup kita sendiri.
Ngatmin bekerja di Sungai Bulug selama kira-kira setahun. Lalu ia dipindahkan ke
perkebunan karet bernama Rilau, menjadi buruh penyadap karet. Tak lama kemudian, ia
dipindahkan lagi ke perkebunan lain bernama Berken. Di sana, Ngatmin dan tapol-tapol
lain sering tidak mendapat makanan sama sekali sehingga mereka harus mengemis dari
orang-orang desa di sekeliling perkebunan.
Tidak dibayar Pak, sama sekali tidak dibayar. Kasih makan pun nggak ajeg
itu, kalau ada, ya dikasih, kalau nggak ada, ya sudah. Sudah pernah Pak,
orang satu bulan atau tiga bulan itu tidak ada rangsum dari pemerintah, itu
orang-orang suruh bantu ke kampung-kampung itu, suruh minta makan …
siapa saja datang ke kampung dia mau. Karena apa? Kasihan. Waktu itu saya
suruh nggesek kayu jati itu ke kampung, ya sampai sebulan waktu itu, [di]
kasih makan. Ya tiap sore musti apel pulang, ke tahanan. Selain [di] kasih
[makan], juga dikasih baju, dikasih celana gitu.
Dari cerita ini tampak kontras luar biasa antara kemurahan hati dan kebaikan penduduk
desa, yang sebetulnya juga tidak memiliki banyak harta, dengan eksploitasi tenaga tapol
oleh tentara dan pemerintah.
Cerita serupa disampaikan oleh Rojali, bekas anggota Sarbupri di Lampung. Selama tiga
tahun setelah G-30-S, ia harus melaksanakan wajib lapor setiap minggu di kantor tentara.
Lalu, pada 1968, ia ditahan dengan tuduhan memberi perlindungan kepada seorang
anggota PKI yang sedang dicari tentara. Hampir segera setelah ditahan, ia diperintahkan
bekerja. Sampai pembebasannya pada 1973, ia terus-menerus dipaksa bekerja. Selama
tiga tahun terakhir sebelum dibebaskan, Rojali dan sekitar 90 orang tapol lainnya bekerja
142 Razif
di sebuah perkebunan kelapa Berken. Perkebunan ini sebelumnya adalah milik rakyat,
tapi kemudian dirampas oleh Korem Lampung.
Kalau waktu di Berken ya, istilahnya kan, kita bikin kebun kelapa. Jadi kalau
nggak salah banyaknya orang itu atas 90 orang. Itu tanah itu punya rakyat
dulunya. Jadi pokoknya istilahnya dihapus sama orang Korem itu kan. Jadi
yang punya kebun itu kan orang Korem. Kalau nggak salah sampai – berapa
hektar gitu ya? – 1.800 hektar semuanya itu … Kerjanya ya mbabat, kadang-
kadang nanam kelapanya itu. Kalau malam, ya menjaga tanaman kelapa itu.
Soalnya banyak babi Pak, dulu.
Perampasan tanah rakyat oleh tentara dan penggalangan tapol untuk menjadi buruh di
perkebunan tersebut merupakan hal yang lazim terjadi di masa itu. Santo Haryadi dari
Lampung melalui pengalaman yang sama di daerah Banjar Agung. Para perwira dari
Polisi Militer, atau POM, setempat menuduh kelompok petani pemilik tanah sebagai PKI,
merampas tanah mereka, lalu menggunakan tapol untuk menggarap tanah tersebut
menjadi perkebunan.
Pada tahun 72, saya dikirimkan ke proyek. Proyek itu adalah, ya katakanlah
perampasan tanah-tanah petani yang terlibat [G-30-S] oleh oknum ABRI …
ladang orang dirampas, orangnya dituduh terlibat, orangnya ditahan, atau
setidak-tidaknya walap [wajib lapor], tanahnya dirampas, ya, sampai
sekarang juga masih. Saya disuruh ngolahnya, tidak dikasih apa-apa, makan
aja juga nggak dikasih. Hasil kebunnya untuk dia, sebagian banyak yang
sudah dijual, ya. Tapi yang punya garapan pada waktu itu ya, nggak dikasih
apa-apa. Hanya dikasih cap aja dia, cap orang PKI.
Ketika Santo Haryadi diperintahkan bekerja di tanah itu, perwira CPM yang menjadi
pemilik tanah menjanjikan sebagian tanah akan menjadi milik Santo. Tapi, setelah empat
tahun bekerja, ia malah dikirim untuk memburuh di perkebunan lain yang dimiliki
perwira CPM juga.
Pada waktu itu saya dipindahkan ke Banjar Agung … untuk mengolah
ladang di sana. Menurut perjanjian pada waktu itu, ‘Olahlah tanah ini,
buatlah kebun. Kalau sudah jadi kebunnya nanti dibagi dua lah kemudian,
kalau kamu nyetak sawah, saya tidak minta, ambil sama kamu untuk hidup
bersama keluarga kamu.’ Janjinya. Tapi apa yang terjadi? Di sana itu disuruh
kerja, jatahnya yang saya diterima tadinya kalau di kamp itu, di lembaga,
saya menerima jatah, di sana nggak dikasih, ya suruh cari sendiri, tapi kalau
siang, mengerjakan ladang dia. ‘Nggak taulah usahanya gimana, yang
penting kamu bisa hidup, bisa makan, tapi ladang itu digarap.’ Itulah kira-
kira … Tahun 76 saya dipindahkan dari Wai Kalih [daerah Banjar Agung]
dipindahkan ke Babatan, Kalianda, karena di sana di Babatan Kalianda, itu
ada salah satu lahan yang tidak bisa dirambah manusia.
Bersama sejumlah tapol lain Santo membuka hutan di Babatan, Kalianda selama satu
tahun, menghadapi penyakit dan macan, lalu dibawa kembali ke penjara pada 1977. Santo
tidak termasuk dalam sebagian besar tapol di Lampung yang dibebaskan pada 1977.
Perwira-perwira CPM masih ingin menggunakannya sebagai buruh tanpa upah di kantor
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politik untuk Rezim Soeharto 143
mereka: ‘Jadi masukkan lembaga [penjara] tapi saya menjadi pembantu di POM itu.
Kalau siang, ya suruh bersih-bersih, mengetik dan lain sebagainya.’ Pada 1979, Santo
dibawa keluar oleh salah satu perwira untuk dipekerjakan di peternakan ayam milik
perwira itu. Setelah tujuh tahun bekerja tanpa upah bagi Polisi Militer, Santo dibebaskan
pada akhir 1979.
Potret kerja paksa di Jawa Barat tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi di Lampung.
Para tapol digunakan untuk membangun berbagai proyek infrastruktur pada akhir
1960an. Suratna, bekas fungsionaris Pemuda Rakyat di Cipanas, menceritakan kepada
saya tentang pengalamannya ditahan di Kodim dan di kamp penahanan yang terletak di
sebuah gedung bernama Gedung Karet di akhir 1960an dan awal 1970an. Ia dan tapol-
tapol lainnya diambil di siang hari untuk kerja paksa. Ia dipekerjakan di Jawa Barat selama
tiga tahun sebelum dikirim ke Pulau Buru.
[Kami] dikerjakan membangun jalan, membangun terminal, kadang-kadang
perbaiki mesjid dan sebagainya. Kalau ada pekerjaan-pekerjaan umum itu
tahanan-tahanan itu yang mengerjakan. Kemudian membangun jembatan
Cisokan, Citarup – semua itu tenaganya tenaga yang dinamakan karyawan
waktu itu, bukan karyawan, tahanan sebetulnya … Yang dikerjakan dijatah
harus menghasilkan batu sekian kalau di proyek, ha kemudian pasir sekian
itu dijatah setiap harinya.
Karena tidak mendapat jatah makanan, mereka terpaksa bekerja melebihi kuota yang
diminta dan menjual bahan-bahan bangunan yang berlebih. Dengan uang hasil kerja
ekstra dan penjualan itulah mereka bisa membeli makanan untuk mereka sendiri: ‘Jadi
kalau umpamanya jatah setengah kubik itu pasir, kita harus tiga perempat, ya yang satu
perempat jual untuk makan.’ Untuk makan sehari-hari saja mereka harus ‘mencuri’ dari
tuan-tuan tentara yang ternyata tidak terlalu awas juga.
Selain menggarap kerja-kerja konstruksi, para tapol juga direkrut sebagai tenaga
pembantu di rumah-rumah perwira militer. Simak cerita Daryono, bekas anggota Serikat
Buruh Gula di Pati, Jawa Tengah. Ia ditahan pada November 1965. Dari 1968 sampai
dibebaskan pada 1973, Daryono diperlakukan sebagai budak oleh tentara:
Pertama kali saya itu dikerjabaktikan di Juana … Bikin jembatan, jembatan
yang sekarang itu lho, ngebruk (membuat jembatan) itu saya pernah kerja di
situ, tapi hanya dua minggu itu … Lalu saya pindah lagi di Swaduk. Swaduk
tempat mengambil krokol (kerikil) itu. Ha, itu juga tidak mendapat jaminan
[makanan], ya tidak mendapat upah. Hasilnya dijual sama Koramilnya. Jadi
orang-orang ndak anu, ndak dapat apa-apa … Belum bebas saya. Sebab tiap
sore mesti dikontrol kok dari Koramil Wedari … Kalo pagi ke sungai ambil
krokol itu. Setelah dari Swaduk itu saya dipindah lagi ke Tayu, di Tendas. Saya
ditempatkan di Tendas pada waktu itu … Itu juga kerja bakti. Pertama kali
ambil pasir di sungai Tayu, ambil pasir. Padahal saya itu nggak pernah sobo
(main di) kali [ketawa]. Terpaksa ambil pasir itu … Setelah itu, saya ada
panggilan dari Kodim. Ada panggilan supaya saya kembali ke Kodim
[ketawa]. Terus karena ada perintah ya terpaksa, itu saya sendiri itu,
terpaksa saya kembali ke Kodim. Ha di Kodim itu juga dikerjabaktikan.
144 Razif
Kerja bakti, tapi hanya sebentar saya. Kalau hanya [ketawa] resik-resik
(bersih-bersih) rumahnya ndoro-ndoro [sebutan untuk majikan Jawa]
tentara itu [ketawa]. Pokoknya suruh apa ya, semaunya mereka itulah, apa
kebutuhan mereka itu saya suruh mengerjaken.
Seorang tapol dari Banten, Rusyana, mengenang saat tapol-tapol di sana dipanggil untuk
merenovasi masjid utama di Banten meskipun mereka dituduh atheis.
[Tapol] bikin mesjid, jalan, jembatan. Dan karena banyak juga tenaga-
tenaga ahli ya, arsitek, insinyur itu banyak yang – jadi pembangunan daerah
Banten itu banyak yang oleh tapol itu, termasuk mesjid, mesjid Banten ya.
Yang jadi kebanggaan Banten itu. Yang merehab itu tapol.
Begitu anehnya permintaan ini bagi Rusyana hingga dengan jahilnya ia bercanda tentang
Mesjid Agung di Banten, ‘kalau kau naik ke atas itu, itu ada Palu Arit di atas.’
Bukan hanya tapol yang dipekerjakan paksa oleh tentara, tapi juga mantan tapol yang
sudah kembali ke rumah mereka. Rahmadin, seorang petani yang bertempat tinggal di
Cipanas, Jawa Barat, dipenjarakan dua kali untuk kurang lebih 200 hari total. Tapi setelah
dibebaskan di akhir 1960an, ia masih dipanggil untuk kerja paksa. Sementara tapol-tapol
lain dari kecamatannya dikirim ke penjara Kebon Waru di Bandung, ke Nusakambangan,
atau ke Pulau Buru, mereka yang dilepaskan lebih dini seperti Rahmadin tetap harus
melayani perbudakan oleh tentara. Setiap Senin dan Kamis, ia harus membersihkan
kantor Koramil di Cianjur:
[Saya] membersihkan apa saja. Misalnya, ada gelas yang bekas mereka itu,
harus bapak cuci, ya. Ada bekas rokok, puntung-puntung itu kotoran, bapak
harus nyapu. Rumput-rumput bara itu, harus bapak nyapu, ya. Nyabutin
rumput itu, ya gitu aja kerjanya, ‘Udah selesai, kamu pulang!’ Walaupun kita
udah capek misalnya, udah capek, kepanasan dan sebagainya, nggak boleh
pulang sebelum selesai beres – apa itu, misalnya tadi mencabutin rumput,
sebelum selesai nggak boleh pulang.
Di awal 1970an, Rahmadin dan sekitar 200 orang mantan tapol di kecamatannya direkrut
petugas-petugas Koramil dan pejabat pemda setempat untuk membangun jalan dan
jembatan.
Yang di kampung yang dikatagorikan yang dituduh PKI, yang dituduh PKI
itu, apa saja menurut kehendak pemerintah desa dan Danramil. Misalnya
mau bikin jembatan, ya undang aja itu, yang disebut PKI itu, suruh bikin
jembatan … Misalnya dari jam 8.00 pagi sampai jam 4.00 sore, baru boleh
pulang. Terus-terus itu, sebelum selesai nggak boleh ditinggalin. Satu
jembatan Jeprah, dua jembatan di Kulung Luwu. Nah, kemudian bikin jalan,
dari Pasir Bumi sampai Angke, kurang lebih tiga kilometer. Bikin jalan, gali,
ya, digali, dibuang tanahnya.
Tak ada imbalan pengganti tenaga tapol yang dikeluarkan: mereka tidak mendapat
upah, makanan, apalagi perawatan kesehatan. Pejabat pemerintah dan perwira militer
tak berbeda pandangan dalam menjalankan sistem perbudakan ini. Seperti dituturkan
Rahmadin:
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politik untuk Rezim Soeharto 145
Mau sakit kek, mau meninggal kek, nggak adalah, nggak ada perhatian dari
pemerintah, nggak ada. Dari desa sampai camat, sampai Danramil, itu
nggak ada. Dari Dan [Komandan] Kepolisian, nggak ada.
Di Jawa Tengah, kondisi para tapol sama saja. Sugondo, bekas anggota Pemuda Rakyat,
ditahan pada 1965 dan dibebaskan pada 1972. Selama bertahun-tahun di tahanan, ia
bekerja untuk macam-macam proyek pembangunan di Klaten. Bersama teman-temannya
ia menggarap proyek tanggul untuk keperluan irigasi sawah di Desa Mbayat: ‘Nah ada
sungai buatan, pedot (putus) gitu kan mengairi [membanjiri] sawah dan desa. Ini
tanggul, ketika pertama nglangut (tersendat-sendat).’ Selama mengerjakan proyek ini,
para tapol disuruh tinggal ‘di rumah penduduk, dekat sungai itu, tapi rumahnya jembar
(luas) itu.’ Karena tentara maupun lurah desa itu tidak menyediakan jatah makan,
mereka terpaksa bergantung pada penduduk desa: ‘Itu kalau di Mbayat itu setelah mahal
beras, ya ndak dijamin … Jadi di sana itu sistemnya di Melian Mbayat itu masyarakat
disuruh bikin penakan nasi itu. Siang satu penak, sore satu penak.’3
Banyak jalan utama di Jawa dibangun oleh para tapol. Sambil menunggu keberangkatan
menuju Nusakambangan dan/atau ke Pulau Buru, para tapol dikerahkan untuk
membangun jalan berkilo-kilometer panjangnya. Hal ini diungkapkan oleh Purwanto,
bekas anggota Pemuda Rakyat di Rembang, Jawa Tengah:
Saya habis lebaran kurang lebih tiga bulan saya diambil keluar. Diambil
keluar pada waktu itu terus dipindahkan ke daerah sini, kecamatan Seluke
juga, eh di Pandangan. Di Pandangan dulu kita diserahkan oleh sipur [zeni
tempur] untuk bekerja melaksanakan pekerjaan perbaikan jalan antara
Lasem sampai Sarang … Sarang sini mungkin 35 kilometer. Itu perbaikan
selama kurang lebih, ya lama mungkin, ada dua atau tiga bulan, itu saya di
Seluke.
Catatan pekerjaan yang harus dilakukan Purwanto selama dua tahun luar biasa beragam.
Tentara memindahkannya dari satu tempat ke tempat lain di seluruh kabupaten untuk
melakukan berbagai macam proyek. Dan yang juga mengagumkan adalah ia masih
mengingat setiap kerja penindasan ini dengan jelas, setelah kurang lebih tiga puluh tahun
berlalu.
Terus pindah di Sarang. Setelah pindah di Sarang saya dipindahkan
mengambil batu di Sumur Tawang selama satu setengah bulan. Setelah itu
saya dipindahkan lagi ke Ngandang, yaitu menggali batu bara. Jadi areng
setingkul (arang batu), itu batu bara … Lalu saya dipindahkan ke Gunem
untuk menebang kayu. Kayu itu namanya kayu bule kethek (kayu belang-
belang seperti monyet putih) itu. Menebang demi kepentingan Kodim. Di
sana selama – makan juga cari sendiri kok ... Jadi makan cari sendiri. Jadi di
Ngandang itu makan diberi oleh bosnya, di Ngandang. Kalau di ngGunem
itu mencari sendiri. Dengan setelah nebang kayu kita pulang membawa kayu
bakar, kita pikul, kita jual. Siapa yang mau beli itu kita jual. Setelah itu kita
diambil pulang ke Kodim lagi. Setelah di Kodim saya di Gudang Kapuk
selama satu minggu, saya diambil diminta membantu di kantin – pada
3
penakan : bungkusan dari daun pisang yang diberi penutup dan dikunci lipatan pada dua ujungnya dengan lidi
146 Razif
waktu itu kantin Kodim. Setelah di kantin Kodim kita berjalan satu bulan,
anu, dua bulan terus saya diminta oleh Kasdimnya untuk membantu rumah
tangga.
Tapol-tapol yang kerja paksa di luar tidak berani melarikan diri karena sudah mendapat
ancaman dari aparat militer. Jika mereka lari, maka anggota keluarga merekalah yang
menggantikannya. Situasi seperti ini diceritakan oleh Ramto, bekas pemimpin Pemuda
Rakyat Jawa Tengah. Waktu pewawancara bertanya padanya, ‘Kalau kerja di luar Pak, itu
kan bebas. Apa ada pikiran buat kabur?’ Ia menjawab:
Nggak. Karena ancamannya kalau kabur keluarganya yang harus mengganti.
Sandera. Keluarganya yang kena, daripada keluarganya yang kena ya kita
bertahan, gitu.
Ia dipindahkan dari Yogyakarta, tempat ia ditahan pada akhir 1965, ke penjara Magelang
di 1968.
Saya ke Magelang, di Magelang agak bebas, keluar, kerja luar, dikerjakan
ngaspal jalan dan sebagainya. Boleh dikatakan seluruh Magelang itu diaspal
oleh tapol, yang mengaspal itu tapol. Perbaikan jalan itu, sampai selokan
bersih dan sebagainya. Ya kita lebih senang karena dikerjakan di luar,
daripada ya di dalam.
Bagi sebagian tapol, dibandingkan tinggal di sel penjara yang gelap, lembab, dan penuh
sesak sepanjang hari, melakukan kerja paksa di jalanan memang masih lebih baik.
Seperti sudah kita perhatikan, baik tapol maupun mantan tapol dipaksa bekerja oleh
tentara dari akhir 1960an sampai akhir 1970an. Namun, menurut Sudarna, bekas aktivis
BTI yang tinggal di Desa Ciranjang, Jawa Barat, di beberapa daerah kerja paksa bagi para
eks-tapol berlanjut sampai 1990an. Ia masuk penjara akhir 1965 dan bebas pada 1992.
Jadi, ia tinggal di Penjara Sukamiskin selama 27 tahun. Setelah bebas, ia masih diharuskan
kerja paksa oleh lurah desanya.
Setengah bulan satu kali, saya harus kerja bakti. Nggak tau alasannya itu.
Setiap setengah bulan, satu kali aja, kerja bakti. Itu semua, di antara yang
ditahan yang pernah dituduh G-30-S, jadi nggak, nggak saya sendiri. Yang
dari Buru, yang ditahan di sini, dari Sukamiskin, semua harus kerja bakti. Itu
anehnya, jalan propinsi harus dibabat sama kita [babat rumput]. Dari batas
Desa Ciranjang, sampai batas Desa Cibiung. Itu anehnya. Saya memang
mendengar dari kecamatan-kecamatan yang lain, di desa-desa yang lain
sudah tidak ada. Tapi mengapa Desa Cibiung memang lurahnya nih yang
punya kerjaan, ya, lurahnya yang kurang ngajar … [Kerja bakti
berlangsung] sampai kemarin waktu kejadian itu, waktu kejadian apa, waktu
reformasi.
Para tapol yang sudah mengalami kerja paksa bertahun-tahun di Pulau Buru pun tak
bebas dari kewajiban ini. Ketika mereka dibebaskan dan kembali ke Jawa, mereka harus
melakukan ‘kerja bakti’ di daerah masing-masing. Suparno, bekas anggota Pemuda
Rakyat di Pati, diperintahkan kerja bakti oleh tentara di tingkat lokal waktu ia kembali ke
rumahnya pada 1977.
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politik untuk Rezim Soeharto 147
Saya bebas dari Buru itu tahun 77. Jadi tanggal 20 Desember tahun 77, itu
saya bebas dari Buru. Dan saya bebas dari Buru, terus kita kena wajib lapor
dan kerja paksa masih. Seminggu sekali kerja paksa. Terus wajib lapor selama
satu tahun. Kerja paksanya sana di Koramil, ya bersih-bersih halaman
Koramil, terus di Kodim, ya bersih-bersih halaman Kodim, di CPM juga
begitu. Jadi diatur bergiliran menurut kebutuhan mereka. Jadi teman-
teman, istilahnya itu wajib lapor diendeg (dihentikan) sementara untuk
dimintai bantuan untuk kerja.
Untuk memahami betapa kejamnya meminta Suparno melakukan kerja paksa di Pati, kita
harus memahami kondisi di Pulau Buru, dari mana Suparno baru dibebaskan.
4
Luas Pulau Buru seluruhnya 9.100 kilometer persegi atau 910.000 hektar. Di antaranya yang merupakan kawasan
Instalasi Rehabilitasi Pulau Buru (selanjutnya disebut Inrehab Buru) meliputi areal 2.350 kilometer persegi atau
235.000 hektar. Berdasarkan Surat Keputusan Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
(Pangkopkamtib) No. 013/KOPKAM/V/1974 tanggal 11 Mei 1974.
148 Razif
Dengan ransum yang sangat terbatas – sebagian hilang dicuri petugas pengawas kamp –
dan belum adanya hasil dari lahan yang mereka olah, para tapol makan apa saja yang
bisa diperoleh dari lingkungan sekitar kamp. Kamaluddin menjelaskan:
Nah, segala sesuatu yang kira-kira bisa dimakan dulu itu, waktu itu kan –
kalau di kapal makan nasi biasa, kalau datang ke sana bulguuur (sejenis
gandum) makan itu dengan gereh (ikan asin), dengan ikan asin peda yang
busuk itu. Jadi makan bulgur di sana itu, makan. Nah di sana, kemudian
kalau teman-teman ada tikus, ya diambil dimakan, ada ular, ada telur cicak,
makan gitu, jadi apa saja. Ada kura-kura, terus dimakan gitu, untuk
menambah umur mungkin, kata orang [ketawa].
Pekerjaan yang banyak mengeluarkan energi tapol itu tidak diseimbangkan dengan
makanan yang cukup, sehingga banyak dari mereka yang menderita penyakit hepatitis,
terutama tapol yang berumur 50 tahun ke atas.
Ransum yang dibagikan termasuk bulgur, yang memuakkan bagi para tapol yang terbiasa
makan nasi. Bulgur diperoleh dari pemerintah Amerika Serikat yang pada saat itu
kelebihan produksi. Sukartono, yang masih berumur 17 tahun ketika ditahan pada 1965,
mengenang betapa sebalnya ia harus makan bulgur:
Saya di Unit 5, Unit 5 terus tahun 70 ya dikerjakan dengan paksa, dikerjakan
dengan paksa. Jatah makannya itu, kalau ingatan saya itu namanya
dikatakan bulgur – tapi sekarang sudah ndak pernah lihat itu, bulgur itu apa,
seperti apa, sekarang itu nggak pernah lihat. Jadi bulgur itu sebenarnya
bukan makanan manusia. Kalau di Amerika itu untuk makan kuda, itu
sebenarnya. Tapi di situ untuk makanan para tahanan-tahanan itu, teman-
teman itu, bulgur itu.
Sukartono mengingat bahwa kelompoknya, setelah tiba pada 1970, diharapkan mulai
memproduksi makanan dalam waktu delapan bulan. Tapi, ransum yang ada sudah
menipis sebelum delapan bulan itu berakhir.
Masa konsolidasi katanya itu delapan bulan. Jadi kita untuk membuka
lahan, tanam, berhasil gitu, perhitungannya mereka seperti begitu. Tapi
ternyata itu dua bulan atau tiga bulan itu ndak keluar bahan makan itu.
Wah, ya kita terpaksa mengalami lapar lagi. Lapar lagi. Lapar. Pada waktu
itu datang digerakkan menanam itu, singkong, waktu itu tiga bulan mroses
bikin lahan itu kan lama. Jatah dari pemerintah itu sudah nipis, singkong itu
baru satu jari jempol tangan ini yang besar sejempol kaki, sudah dicabut,
cabut, untuk makan. Karena di situ yang mimpin adalah militer. Jadi kalau
diserahkan kepada orang-orang tahanan itu malah bagus sebenarnya, karena
tahu seluk-beluknya tanaman ini harus begini-begini. Ini tidak. Tapi selalu
diperintah oleh militer dan harus ditaati perintah militer itu.
Setelah menyiangi padang dari alang-alang dan pepohonan, para tapol harus
menemukan cara untuk mengairi ladang. Banyak unit yang membangun bendungan di
sungai terdekat dan membuat kanal untuk mengalirkan air ke ladang. Suman, bekas
pemimpin redaksi Warta Bandung, menggambarkan bagaimana unit tempat ia tinggal
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politik untuk Rezim Soeharto 149
Akh itu orang yang muda-muda. Biasanya itu, yang kuat-kuat, itu yang
biasanya, ya yang biasa kerja kasarlah.
Para tapol bekerja mati-matian di bawah ancaman siksa dan todongan senjata. Dan begitu
kerja mereka menampakkan hasil, mereka masih harus menyerahkan sebagian besar ke
petugas pengawas. Misalnya, tentara sangat ‘rakus’ dalam memperdagangkan kayu yang
ditebang para tapol untuk mengisi kantong mereka sendiri. Caranya, mereka menyuruh
tapol untuk menggergaji kayu. Setiap tapol per harinya diperintahkan menggergaji
empat batang kayu yang kemudian diapungkan ke Sungai Wai Apo, dan sampai di
Markas Komando (Mako) kemudian diangkut ke atas dan dijual oleh militer. Maksum,
bekas anggota Serikat Buruh Pos dan Telekomunikasi dari Pati, menceritakan
pengalamannya itu sebagai berikut:
Umumnya komendan-komendan CPM yang datang di sana itu rakus. Kita
masih begitu hidupnya itu masih juga apa tegel (tega), Mas ya, tegel, diisep
tulang dan dagingnya, serta darahnya di sana itu. Kita dijatah, satu pasang
gergaji itu empat lembar. Tapi untuk kita, bukan untuk kita jual dan untuk
kita beli garam sendiri atau gula, bukan. Tapi, untuk dikintirkan
(dihanyutkan) di Wai Apo itu untuk dijual di Kaki Air [kampung/dermaga
di muara Wai Apo] sana uangnya komendan yang menerima itu. Jadi
umumnya tahun pertama tahun 70 sampe 78, itu komendan-komendan yang
dari Pulau Buru itu pulang mesti bisa beli mobil. Mesti bisa beli mobil.
Karena itu kerakusannya. Dia tidak tanggung-tanggung menjatah satu barak
itu 10 orang, berarti 5 pasang gergaji kali 10 barang, berarti 50 pasang. Eh,
5, eh 10 kali 10, 100 orang untuk gergaji saja. Yang hasilnya kita tidak makan
… Kadang-kadang orang suruh mbabat hutan selebar-lebarnya, tanemi
kacang, cabuti kacang ada 25 hektar. Oh, kalo malam disetelkan tep (tape)
sambil mretesi (memereteli dari tangkai) itu kacang. Macam sapi perahan
saja. Itu dibagori (dikarungi), yo dikenterkan Wai Apo, masuk kaki air, jadi
uang untuk komendan. Itulah, jadi di sana itu masih dikrokoti balunge
(digerogoti tulangnya), diisep darah, orang tahanan itu.
Petugas-petugas militer di Buru, untuk memastikan mereka bisa memperoleh panen
seutuhnya, tidak memperbolehkan para tapol mengambil apa pun dari ladang. Setiap
tapol dari Buru yang saya wawancarai punya cerita tentang bagaimana mereka ‘mencuri’
hasil kerja keras mereka sendiri. Karena para tapol ini kelaparan, mereka tidak tanggung-
tanggung mengambil resiko setiap saat. Mereka menemukan metode yang cukup canggih
untuk ‘mencuri’ makanan dan menyembunyikannya dari tonwal. Salah satu contohnya
adalah cerita Sutaryono, bekas anggota PGRI non-Vak Central dari Pati, yang
menggambarkan bagaimana mereka mencuri kacang tanah dari ladang:
Bekerja mendapat hasil, padi dikumpulkan, dijual oleh komandan unit.
Menanam kacang, kacang hijau, kedelai, kumpulkan, panen dijual, masih
disiksa oleh penopang pengawal. Sampe ingin makan namanya kacang
tanah, itu dengan upaya teman-teman: cari bambu, kemudian dipotong-
potong kira-kira tiga meter, kemudian ruasnya itu dideblongi (dilubangi
ruasnya) begitu, sehingga nanti kan bisa sepanjang tiga meter dilubangi terus
bisa. Nah, itu dimasuki kacang rebusan yang direbus di ladang, direbus di
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politik untuk Rezim Soeharto 151
ladang. Kemudian ditutup.5 Kalau ditanya pengawal, ‘Itu untuk apa?’ ‘Untuk
ganti anu Pak, ganti tiang barak,’ tapi isinya adalah kacang. Kemudian
dimasukkan ke barak. Kemudian cara makannya sendiri pakai cara. Mereka
sambil tiduran begini, tertelungkup. Andaikata nanti ada tonwal, mereka
tidak bicara. Dan kulit dikumpulkan serapi-rapinya agar mereka tidak tahu.
Sebab kalau tahu mereka dipukuli dan dihancur-leburkan.
Tapol-tapol ini sebetulnya sangat marah, terutama di tahun-tahun awal mereka tiba di
Buru, karena pelaparan yang dipaksakan itu. Sudah cukup buruk nasib mereka dibuang
ke Pulau Buru dan dipaksa bekerja. Tetapi mungkin penderitaan itu masih bisa mereka
tahankan seandainya mereka tidak dipaksa terus-menerus berada dalam keadaan
kelaparan. Sudah jelas terjadi ketidakadilan luar biasa ketika mereka dibuat kelaparan,
sementara makanan yang mereka hasilkan diambil dan dijual tentara. Lebih buruk lagi:
sudah bekerja sedemikian keras, mereka masih sering dipukuli sebagai hukuman.
Sukartono yang disebut di atas, dengan pahit mengingat bagaimana para tapol dipukuli
seperti binatang liar oleh para penjaga kamp: ‘Terus 70, 71 itu prosesnya pukulan itu
tidak ada hari-hari yang kosong tanpa pukulan. Jadi satu unit itu 500 orang, setiap hari
itu pasti ada orang dipukuli.’
Mengherankan mengapa para tapol di Buru tidak melawan perlakuan biadab yang
mereka derita lebih sering. Sebagian besar bertahan dengan menerima saja ketidakadilan
dan penghinaan oleh tentara karena mereka merasa tidak bisa berbuat apa-apa. Ada satu
kasus di mana seorang tonwal dibunuh oleh para tapol. Pada Oktober 1972, tiga tapol di
Unit 5 menyerang seorang tonwal bernama Pelda Panita Umar dan membunuhnya.
Sukartono berada di Unit 5 saat pembunuhan ini terjadi dan berteman dengan seorang
tapol yang ikut membunuh. Ia menggambarkan apa yang terjadi sebagai akibat
kemarahan mereka terhadap situasi yang menekan mereka itu.
Ya justeru karena teman saya itu, ya karena ditindas. Ditindas, diperas, lagi
kesalahan sedikit dipukuli, itu dia tidak tahan, dia tidak kuat. ‘Daripada,’ ya
pikiran mereka, ‘daripada saya dipukuli terus-terusan, dikerjapaksakan terus-
terusan sama tentara-tentara itu, biar saya mati, saya harus membunuh itu
tentara-tentara itu,’ gitu. Mestinya begitu, karena dia itu memangnya sama
tentara itu benci. Ha, karena benci ini ya, yang menyebabkan bukan kita,
yang menyebabkan ya, tentara-tentara itulah yang perlakukan-perlakuan
dengan teman-teman itu nggak senonoh, tanpa ada perikemanusiaan kalau
saya pikir itu. Terus timbullah peristiwa.
Pada waktu itu teman saya itu bertiga. Namanya itu Sadino, Sapari,
Samiono, ha itu bergerak membunuh tentara. Namanya tentaranya itu
Anumertanya Pelda Panita Umar. Ha terjadilah di situ bunuh. Dibunuh oleh
bertiga itu, teman-teman saya itu tadi yang saya sebutkan, ha sesudah
5
Keterangan tambahan dari Hersri Setiawan: ‘Bambu dilubangi ruasnya sehingga bambu yang panjang itu bisa
menjadi tabung panjang, dan dengan begitu bisa diisi beras, kacang, kedelai, gula, dll. curian lebih banyak.
Caranya: pada satu ujungnya diruncingi seperti take-ari atau bambu runcing, dan pada ujung lain dipotong tepat
di bawah ruas yang dibiarkan tidak dilubangi. Melalui ujungnya yang runcing itu, jika tapol korve dengan
gerobak, isi muatan dalam karung kami ‘sedot’ ke dalam tabung-tabung itu! Kalau mencurinya di ladang, tinggal
mengisinya ketika tonwal sedang meleng.’ Korespondensi surel (surat elektronik), 24 Desember 2003.
152 Razif
tinggal di rumah. Yang kedua adalah tapol yang di penjara, tetapi pada saat terbit hingga
terbenamnya matahari, mereka harus dipekerjakan.
Tidak seperti di Jawa atau Sumatera, para tapol di Sulawesi Tengah segera dipekerjakan
setelah mereka ditangkap. Hampir setiap tapol direkrut untuk membangun bendungan
Sungai Palu setelah banjir melanda kota Palu pada 1966. Pemerintah memutuskan untuk
menggunakan tenaga para tapol dalam membangun bendungan, tak pelak lagi untuk
menghemat dana. Rifai, bekas salah satu pimpinan Pemuda Rakyat di Sulawesi Tengah,
menceritakan: ‘Pada waktu itu menanggulangi bahaya banjir di kota Palu ini itu di Sungai
Palu di sana di jembatan pertama itu ke atas. Itu bikin tembok di situ. Itu istilahnya
Komando Kali Palu.’
Ketika bekerja untuk membangun bendungan Sungai Palu, para tapol mendapatkan
makanan yang minim, sementara mereka bekerja dari pukul delapan hingga empat sore.
Jatah makan mereka hanya satu gelas beras. Mereka rata-rata berumur 20 hingga 50
tahun. Sedangkan mereka yang telah berusia lanjut, atau yang menolak karena alasan
fisik yang tidak memadai, diharuskan bekerja di penjara untuk kepentingan tentara,
misalnya menjahit seragam militer. Seperti dikatakan Rifai, ‘orang yang tinggal [di
penjara] orang-orang yang tua nggak bisa kerja. Selama masih bisa bekerja dikasih
keluar.’
Nurwahid adalah bekas anggota CGMI yang masih berumur 20 tahun pada 1965 dan
menjadi mahasiswa di IPB (Institut Pertanian Bogor). Ia kembali ke Palu pada
pertengahan Oktober karena kuliah-kuliah di IPB terhenti. Sesampainya di Palu ia
ditangkap dan tak lama kemudian ia sudah bekerja memikul batu di bawah ‘Komando
Kali Palu.’ Ia mengenang paling tidak pemerintah memberinya makan. Keluhannya adalah
pemerintah tidak menyediakan pakaian – dan, tentu saja, tidak membayar tapol
sehingga mereka bisa membeli pakaian.
Tidak ada pernah dapat pakaian. Jadi, kita punya pakaian persiapan itu,
kalau kita berjalan ya sama dengan pengemis, Pak. Karena compang-
camping sudah robek ini, jadi kalau berjalan di umum itu, ya tinggal seperti
orang anu saja, karena kita tidak punya pakaian yang sopan artinya, tidak.
Tapol harus bergantung pada sanak-keluarga mereka untuk mendapat pakaian yang
layak. Persoalannya, keluarga mereka bukan saja miskin, tapi juga ketakutan
berhubungan dengan tapol. Banyak pula dari mereka yang takut datang ke tempat tapol
bekerja, karena khawatir akan dikait-kaitkan dengan masalah tapol. Keluarga Nurwahid
mengirimkan beberapa potong pakaian melalui seorang pegawai penjara yang kebetulan
kawan keluarganya.
Ya pernah saya satu kali itu diberikan anu, dikirimkan satu celana. Karena
saudara-saudara saya juga orang susah dan dalam keadaan yang mencekam
takut, sampai dikatakan ada hubungan ini, hubungan itu. Sehingga semua
keluarga takut … Tapi saya karena dititipkan satu celana, satu sarung, itu
hampir satu tahun sudah. Jadi tidur malam tidak pakai baju karena pakai
sudah robek lagi. Apa dipakai besok?
Pada 1966, Nurwahid dan sekelompok tapol juga dikirim ke sebuah tempat yang jauh dari
154 Razif
hidup seperti yang dilakukan para tapol di Sumatera dan Jawa: mereka secara sembunyi-
sembunyi memproduksi lebih dari yang diminta dan menjualnya ke pasar. Misalnya,
Sanube, seorang petani yang pernah menjadi pimpinan PKI di tingkat kecamatan pada
1965, diperintahkan menggergaji kayu di hutan dengan sekelompok kecil tapol. Mereka
diizinkan tidur di tepi hutan selama beberapa hari sebelum kembali ke penjara dengan
membawa kayu hasil penggergajian – yang akan dijual oleh perwira militer. Karena
bekerja tanpa pengawasan penuh dari petugas militer, mereka berhasil menjual sebagian
kayu yang mereka tebang dan menyimpan uang untuk mereka sendiri.
Berbulan-bulan kita orang di sana itu kita orang yang kerja kayu gergaji ini
… Umpamanya pintar kita itu, 20 hasil pekerjaan, dibilang itu 15, jadi 5 kita
jual; ya biasa gula, biasa rokok. Kemudian, biasa itu juga kita curi waktu,
sebab dia orang tidak ikut sama kita orang. Bikin kayu api, baru dijual …
Biasa juga kalau kami di sana kalau memang jauh diberikan tiga empat hari
tidur di sana. Jadi kelima harinya harus lapor dan berapa hasil pekerjaan.
Jadi tinggal pandai-pandai kami, pandai-pandai kami itu biasa. Ada 30
pakap, dibilang ya 15 pakap, kita sesuaikan juga, dibilang ada panas, hujan.7
Seperti sudah disampaikan di atas, hampir semua tapol di Sulawesi Tengah pada saat-saat
yang berbeda diberi tugas bekerja sebagai pembantu di rumah-rumah perwira militer.
Dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Komandan Korem 132 Tadulako disebutkan:
para tahanan politik dipekerjakan di rumah perwira dan di tempat lain agar mereka bisa
bergaul dengan orang lain yang berasal bukan dari keluarga tahanan politik.8 Pernyataan
ini merupakan suatu eufemisme, bahwa kerja paksa di rumah perwira merupakan
tindakan rehabilitasi, bukan sebagai eksploitasi dan isolasi dari keluarga dan
lingkungannya. Bukannya dibiarkan mencari kerja sendiri dan memperoleh imbalan
untuk menghidupi keluarganya, para tapol justru harus bekerja sebagai pembantu gratis,
yang jelas bukan cara terbaik untuk bergaul dengan masyarakat luas.
Sebagian besar tapol di Sulawesi Tengah memiliki tanah pertanian. Sementara mereka
mendekam di penjara atau bekerja sebagai kuli di salah satu kamp, perwira militer
menjarah tanah mereka dengan alasan: tanah dengan status in absentia (dalam
ketidakhadiran -- dalam konteks ini, si pemilik tanah). Mereka yang dituduh PKI dua kali
dirampok: sementara waktu mereka dicuri untuk kerja paksa, tanahnya pun diambil.
Romli, seorang petani yang bergabung dengan BTI pada 1964, menggambarkan apa
yang dia saksikan di Donggala:
[Tanah tapol diambil] mulai tahun 67 itu. Artinya pemerintah sudah
mengeluarkan peraturan, ada itu peraturan tanah itu, ditinggalkan selama
berapa ya tiga tahun, peraturan itu. Tanah itu ditinggalkan, yang punya
7
pakap : istilah atau sandi yang sering digunakan para tapol pada saat itu. Istilah ini berasal dari kata pakapande
(bahasa Kaili) yang berarti harus pandai bila bertemu atau berhadapan dengan tentara. Misalnya, jika mereka
diperintahkan tentara untuk mencari kayu bakar di hutan sebanyak 30 ikat per orang, mereka akan laporkan
bahwa mereka hanya berhasil mendapatkan 15 ikat saja. Separonya mereka berikan ke keluarga mereka sendiri.
Kalau ditanyai tentara mengapa mereka tidak berhasil mengumpulkan lebih banyak, para tapol mengatakan, ‘Itu
adalah karena pengaruh hujan dan terik matahari.’ Informasi dari Ewin, LBH Bantaya-Palu, lewat korespondensi
surel, 9 Januari 2004.
8
Periksa berkas tertulis komando Korem Tadulako mengenai rehabilitasi para tahanan politik, 5 Oktober 1978.
156 Razif
tidak pernah diolah lagi, terpaksa berhak orang lain atau siapa pun
mengambilnya. Di situ dasar mereka ambil. Sebab kita sudah lama ditahan,
tidak sempat lagi bekerja … mana kesempatan kerja kita, nanti pulang sore,
nanti pulang sore. Ah di situ kesempatan mereka ambil itu. Bukan hanya dari
ABRI, dari ABRI memang sudah ambil, dia polisi, tentaranya, pegawai sipil
juga, pegawai sipil, ada yang ambil … ada dia, tapi dia kerja, atau dia sibuk
apel, apel, apel. Ah di situlah kesempatan mereka.
Sebelum 65, Romli memiliki tanah sebanyak empat hektar. Tanah itu dicuri ketika ia
berada di dalam penjara.
Saya punya tanah sendiri, masih tanah yang ayah punya itu. Itu empat
hektar lebih, satu tempat itu. Itu polisi yang ambil, dia jadikan kebunnya.
Sampai sekarang kelapa sudah 4.000 di kebun dia. Tapi kita coba tuntut, kita
hanya diancam: ‘Ah jangan macam-macam orang terlibat [sebutan untuk
mereka yang dianggap PKI]. Mau dikasih masuk di penjara kami?’ Terpaksa
kita ya, biarlah.
Penyerobotan tanah milik para tapol terjadi hampir serentak antara 1967 sampai
pertengahan 1970an. Para keluarga tapol yang ingin mempertahankan tanah miliknya
diberi stigma oleh tentara bahwa mereka akan mendirikan partai komunis baru. Keadaan
ini membuat mereka lari pontang-panting, dan beberapa di antara mereka dikenakan
tahanan sekitar satu hingga dua bulan, agar para sanak saudara tidak lagi berani
menempati tanah-tanah tersebut.
Tapol di kamp-kamp Sulawesi Tengah bukan hanya diperintahkan kerja corvee
membangun infrastruktur, tetapi juga dipaksa bergerak untuk memenangkan Golkar
dalam pemilu. Menjelang berlangsungnya Pemilihan Umum pertama Orde Baru pada
1971, militer memaksa semua eks-tapol dan keluarga mereka memilih Golkar. Seorang
tapol, Nurman, yang menjalankan ‘kerja bakti’ – menggarap administrasi dan menjadi
pesuruh – di kantor Koramil setempat, setuju menjalankan kampanye untuk Golkar
dengan harapan dia akan dibebaskan lebih awal. Sebelum ditahan di akhir 1965, ia adalah
anggota setia Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Ia dituduh terlibat PKI karena
mengajar di sekolah yang didukung PKI, yaitu Bapera (Balai Pendidikan Rakyat).
Pada waktu pemilu tahun 71, Pak, saya itu tinggal di Desa Karavana. Saya
dapat panggilan, Pak, untuk memilih. Saya perlihatkan sama Koramil, Pak,
‘Apa memilih diam?’ ‘Hai sudah! Kamu itu sudah anggota Koramil, di mana
tentara di situ kamu. Tapi, kamu kampanye.’ Dikasih sepeda saya Pak, satu,
tapi sepeda bukan dikasih untuk diambil, cuma dipakai buat kampanye. Saya
bilang, ‘Pak, bagaimana ini mau kampanye tinggal empat hari lagi pemilu
ini?’ ‘Sudah, tidak usah kamu membantah, kampanye ya. Bagaimana cara
kamu supaya orang-orang wajib lapor, di Kecamatan Dolo Timur semua
harus mendukung kepada Golkar.’
Nurman pergi dari satu desa ke desa lain dengan mengendarai sepeda pinjaman itu dan
memanggil kawan-kawan eks-tapol yang masih berstatus wajib lapor. Strategi yang ia
pakai adalah membujuk kawan-kawannya mencari 10 orang lain untuk memilih Golkar;
ia menyebutnya strategi ‘satu sepuluh’. Dan ia mengancam mereka bahwa Koramil akan
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politik untuk Rezim Soeharto 157
tahu partai apa yang mereka pilih karena kertas suara untuk para eks-tapol sudah diberi
tanda rahasia.
Baru saya dikasih sepeda. Saya dijatahkan Langaleso, kota Lendau, kota Pulu,
Karavana, Soulove, Tuva, ini enam desa. Saya bilang, ‘Siap Pak!’ Sudah saya
masuk dulu ke Langaleso, Pak. Saya masuk ke Langaleso saya panggil teman-
teman, panggil 10 orang, saya undang. Ha teman-teman saya bilang begini,
‘Kita kerja sama. Kawan-kawan ini saya panggil ke sini untuk kerja sama.
Jadi saya butuhkan kawan-kawan punya bantuan supaya Bapak-bapak
harus kampanye. Satu orang harus dapat 10,’ saya bilang begitu. Satu orang
harus dapat 10. Jadi, caranya ‘satu sepuluh’. Nah ini saya panggil penuh 10
orang. ‘Jadi kalau di sini kita punya keluarga jangan sampai tusuk partai
lain, semua Golkar, itu dari Koramil ya. Ini tahu sendiri ada kodenya nanti,’
saya bilang begitu … Kita sudah catat yang 10 orang ini kita sudah catat,
dalam buku saya, tanda tangan.
Ternyata, walaupun hasil perolehan suara Golkar di daerahnya mengagumkan, Nurman
tidak dibebaskan dari penjara dan kerja paksa sampai 1978:
Begitu di tahun 71 itu, sudah dikatakan, ‘Ha Nurman, sudah bisa bebaslah.
Sudah. Kamu sudah tidak lama lagi bebas.’ Tapi buktinya tahun 78 baru
bebas, lebih dahulu di Pulau Buru baru saya. Saya bilang ini ya begitulah,
pengharapan-pengharapan diberikan pada kita. Ha ini.
Meskipun dalam aturan pemerintah tapol tidak diperbolehkan memilih, militer ingin
mereka memilih untuk mendongkrak suara Golkar. Hal ini dikemukakan oleh Syalim,
bekas anggota Pemuda Rakyat yang ayahnya adalah bekas pimpinan BTI di Palu:
Itu begitu Pemilihan Umum tahun 71, tahun 71, akh itu seluruh kader-kader
partai, teman-teman itu dikasih keluar, cuma kita waktu itu yang tidak
dikasih keluar, pimpinan-pimpinan daerah itu. Dengan pimpinan-pimpinan
kecamatan itu dikasih ke luar, karena mereka yang punya massa, yaitu
disuruh, pokoknya dibawa oleh Korem, di tempat, atau militer yang bawa,
kampanye, supaya tusuk Golkar ... Ah itulah yang dia orang giring untuk
kampanye itu, perintahkan itu massa itu yang ada di kecamatan supaya
menusuk Golkar semua. Jadi lahirnya Golkar itu sebenarnya dipaksakan,
karena orang-orang PKI juga yang mereka paksakan untuk masuk Golkar
itu.
Segera setelah pemilu, banyak tapol di sekitar Palu dikarantina selama empat hari di
sebuah gudang kopra tua. Korem tampaknya ingin memastikan mereka tidak akan
mensabotase proses penghitungan suara. Romli kembali menjelaskan:
Dari tahun 71 menghadapi Pemilu 71 satu bulan lagi pemilihan itu kita sudah
diberikan pekerjaan luar biasa, artinya untuk membantu kantor-kantor
pemerintah … tapi kita tidak ada dikasih kerja satu hari pol, hanya jam 10.00
sebab itu persiapan pemilu toh. Akh sesudah waktunya sudah pemilihan,
sudah ada instruksi dari Palu bahwa tapol itu, tahanan politik itu, ditahan
disatukan tempat, digudangkan, ada satu gudang kopra di sana itu, di situ,
158 Razif
disatukan di situ kita. Kita di situ, itu ada 600 barangkali, dengan kantornya
dua itu. Nah, di situ kita dijamin oleh pemerintah, beras, beras itu dikasih
bekal kita di sana itu pertama kita bawa satu ton itu. Akh kita di sana empat
hari, empat malam. Nanti sesudah selesai perhitungan suara, baru kita
dibebaskan. Artinya tiga hari lagi, eh dua hari lagi pemilihan, sudah ada kita
di sana. Akh dijamin kita di situ. Ada dari Palu itu, dari Korem yang datang
itu membawakan kita punya jaminan beras, beras dengan gula, itu saja.
Kerja paksa secara formal berhenti di Sulawesi Tengah pada 1979. Tetapi, kerja paksa
secara informal terus berlanjut hingga jatuhnya diktator Soeharto. Sanube dari
Donggala, misalnya, dibebaskan pada 1978. (Sebenarnya, surat pembebasannya
dikeluarkan pada 1977 tapi penguasa militer lokal rupanya ingin memanfaatkan
tenaganya secara cuma-cuma untuk jangka waktu lebih panjang. Mereka tidak
memberikan surat itu dan membebaskannya sampai setahun sesudahnya.) Setelah
dibebaskan dari penjara, ia harus wajib lapor, dan setiap kali ia melapor ke Koramil
setempat, dia dan tapol-tapol lain disuruh lagi bekerja tanpa upah selama sehari penuh.
Bahkan setelah sistem wajib lapor ini pelahan-lahan ditiadakan, ia masih sering dipanggil
untuk melakukan kerja gratisan untuk keuntungan pejabat-pejabat lokal. Sanube adalah
salah satu budak semacam itu di desanya.
Akh sewaktu-waktu diperlukan tenaga untuk hari-hari nasional, maka kami
dipanggil suruh bekerja, pembersihan … Itu bukan hanya sewaktu-waktu
kok. Setiap hari nasional. Dan bukan hanya kami, kawan-kawan di kampung
ini, itu utamanya. Jangankan hari-hari nasional, pesta pribadi mereka,
umpamanya camat, polisi, eh tentara, eh jaksa, bahkan ada sahabat-sahabat
mereka itu, dan pemerintah minta ini, minta tolong ambil tenaga dari wajib
lapor.
Walaupun Sanube masih punya waktu untuk mencari nafkah, tugas-tugas tambahan ini
tetap saja mengganggu pekerjaannya sehari-hari. Selain itu, perintah kerja paksa ini
menjadi semacam metode penghinaan permanen karena hanya eks-tapol yang dipanggil
untuk bekerja. Ini berlangsung sampai rezim Soeharto berakhir.
Sewaktu-waktu kita diberikan juga kesempatan mencari nafkah, tapi
sewaktu-waktu dia orang perlukan, babikin (membuat) pintu gerbang [di
Koramil]. Dan khusus orang-orang terlibat, dan tidak ada dicampur orang
lain. Dan kalau di masyarakat wajib lapor di desa, di kampung, kalau kerja
bakti itu tidak bisa bersatu dengan umum mereka dipisahkan. Nanti di era
reformasi ini baru tidak ada lagi dia orang. Nanti sesudah peralihan
kekuasaan, nanti reformasi pemerintahan, reformasi ini, baru tidak ada dia
orang.
Yang menyakitkan pula, para tapol berulangkali dipanggil aparat keamanan untuk difoto
tanpa alasan yang jelas. Tentara di Palu cukup kreatif menciptakan metode mengeruk
keuntungan dari orang-orang yang pernah mereka jadikan tapol, dan mungkin juga
untuk tetap mengingatkan mereka bahwa mereka diawasi terus-menerus. Alatnya
sederhana saja, sebuah kamera. Nurdin, anak seorang anggota PKI yang dipenjarakan
dari 1965-67, mengingat kembali bagaimana seluruh keluarganya pernah dipaksa berfoto
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politik untuk Rezim Soeharto 159
Penutup
Kerja paksa yang berlaku di Sumatera, Jawa, Pulau Buru, dan Sulawesi adalah kejahatan
serius terhadap tahanan-tahanan politik di masa lalu. Ini bertentangan dengan
pernyataan umum hak-hak asasi manusia, khususnya pasal 4: ‘Tiada seorang jua pun
boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam
bentuk apapun mesti dilarang.’ Aparat militer sudah memperlakukan para tapol ini
seperti budak belian. Rezim Soeharto melakukan dua kejahatan sekaligus: pertama,
menahan ratusan ribu orang selama bertahun-tahun tanpa dakwaan dan proses hukum
yang jelas; kedua, memaksa para tahanan itu bekerja tanpa upah. Para perwira militer
bisa sewenang-wenang menggunakan tenaga tapol untuk keperluan apa saja, sekaligus
merampok hasil jerih payah mereka untuk kepentingan institusi dan pribadinya.
Kerja paksa tapol berdampak pada penghancuran fisik mereka secara bertahap. Untuk
memperoleh makanan sehari-hari pun mereka bergantung pada kreativitas mereka
sendiri. Seakan-akan pemerintah Orde Baru dengan sengaja ingin membuat para tapol
tersebut mati kelaparan secara perlahan-lahan. Banyak eks-tapol yang sampai saat ini
masih mengidap penyakit akibat melakukan kerja paksa tanpa makanan yang cukup.
Isteri dan anak-anak mereka harus bertahan hidup sementara pencari nafkah utama
dalam keluarga ditahan bertahun-tahun. Pada saat bersamaan, tak jarang mereka juga
harus menunjang kelangsungan hidup anggota keluarga mereka yang ditahan di kamp-
kamp kerja paksa itu. Mereka harus menyediakan makanan, pakaian, dan uang. Dengan
160 Razif
kata lain keluarga para tapol harus membayar agar saudara-saudara mereka dapat
dieksploitasi sepuasnya oleh militer.
‘Proyek kolosal’ kerja paksa tapol dari rezim Orde Baru terjadi merata di seluruh wilayah
Indonesia. Lebih dari dua puluh tahun basis ekonomi tapol dan keluarganya
dihancurkan, sehingga bentuk perjuangan mereka adalah usaha untuk bangkit dari
keterperosokan ekonomi dan melupakan masalah-masalah politik kekuasaan. Bagi
mereka, politik adalah bagaimana bisa hidup mandiri dalam hal menyediakan kebutuhan
pokok, kesehatan, dan pendidikan. Tiga hal inilah yang diabaikan rezim Orde Baru.
Dari cerita-cerita tapol di atas tampak bahwa militer berusaha menggunakan sistem kerja
paksa ini selama mungkin. Sistem ini memang tidak ditetapkan secara formal. Tak
seorang pun tapol yang pernah diberitahu kapan masa kerja paksa mereka dimulai dan
berakhir. Pengadilan pun tidak memberikan keputusan mengenai berapa lama orang-
orang ini harus ditahan di penjara. Militer dengan begitu memberlakukan hukuman
sewenang-wenang terhadap sekelompok besar orang di Indonesia atas kehendaknya
sendiri. Hal ini bisa berlangsung tanpa ada kebijakan dari penguasa militer pusat, tetapi
lebih ditentukan oleh kebijakan penguasa lokal. Kebanyakan tapol tidak mengetahui
bahwa kerja paksa ini akan selesai pada akhir 1980an. Para tapol menduga bahwa mereka
akan dikenakan hukuman kerja paksa sepanjang hidupnya, atau bahkan ada yang
menduga bahwa kerja paksa merupakan salah satu cara pemberian hukuman mati bagi
mereka. Bahwa mereka berusaha bertahan hidup, di tengah penindasan dan
ketidaktahuan, selayaknya dicatat sebagai salah satu bentuk perjuangan memanusia di
hadapan kebiadaban.
Kalaupun di dalam negeri rezim Soeharto boleh dikatakan tidak mendapat perlawanan
yang berarti atas pemberlakuan kerja paksa ini, mereka menghadapi tekanan kuat dari
pemerintah asing dan lembaga internasional. Perlu dicatat bahwa salah satu faktor yang
melatari pembebasan para tapol adalah tekanan internasional pada 1970an. Dengan
mendirikan Pulau Buru sebagai kamp kerja paksa bagi para tapol, rezim Orde Baru
sesungguhnya memperlihatkan bahwa mereka membuat sistem perbudakan baru. Pada
1976, Indonesia terancam akan diskors dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) di
Jenewa karena masalah ini.9 Tapi rezim Soeharto berhasil mengatasinya dengan berjanji
bahwa para tapol akan dibebaskan dalam waktu dua tahun.10
Menurut saya, kerja paksa yang dilakukan para tapol tidak bisa dianggap sepele atau
semacam catatan kaki dalam kisah pembangunan ekonomi di masa Soeharto. Pengerahan
tenaga kerja paksa ini sesungguhnya mencerminkan hakekat era pembangunan ekonomi
Soeharto. Pembangunan itu dipaksakan terhadap masyarakat dari atas dan berakibat
meluasnya ketidakadilan. Pemerintah secara paksa merampas milik rakyat untuk proyek
pembangunan dan militer menindas semua perlawanan terhadap proyek semacam itu.
Dengan melihat fakta bahwa militer memaksa para tahanan untuk bekerja tanpa
bayaran, kita bisa menangkap apa yang ada di benak rezim Soeharto: mereka pada
dasarnya tidak jauh berbeda dari pikiran pemerintah Jepang saat menduduki Indonesia
dan mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Rezim Soeharto bersifat parasit, yang
9
Tapol, Treatment of Indonesian Political Prisoners: Forced Labour and Transmigration (London, 1978).
10
“Setelah Wawancara Sudomo,” Tempo, 10 Juli 1976, h. 7.
Romusha dan Pembangunan: Sumbangan Tahan Politi 161
hanya mungkin bertahan hidup sekian lama dengan merampas kerja, tanah, aset, dan
uang milik rakyat pekerja. Soekarno pernah menyatakan bahwa Indonesia menjadi
bangsa kuli, dan kuli di antara bangsa-bangsa. Kediktatoran Soeharto, dengan strategi
pembangunan yang dipaksakan dan pemerintahan kleptokratik, memastikan bahwa pola
dari zaman kolonial ini tetap bertahan. Kerja paksa yang dibebankan kepada para tapol
adalah sebuah gambaran dari watak umum strategi rezim ini dalam membangun
perekonomian.
Daftar Wawancara
1. Daryono, Pati, Jawa Tengah, 5 September 2000
2. Kamaluddin, Tasikmalaya, Jawa Barat, 11 April 2001
3. Maksum, Pati, Jawa Tengah, 4 September 2000
4. Ngatmin, Batu Lungguh, Lampung Selatan, 15 Maret 2001
5. Nurdin, Palu, Sulawesi Tengah, 20 Januari 2001
6. Nurman, Amaranta, Sulawesi Tengah, 20 Januari 2001
7. Nurwahid, Parigi, Sulawesi Tengah, 19 Januari 2001
8. Purwanto, Rembang, Jawa Tengah, 9 September 2000
9. Rahmadin, Cipanas, Jawa Barat, 16 Maret 2001
10. Ramto, Yogyakarta, 12 Juli 2000
11. Rifai, Palu, Sulawesi Tengah, 17 Januari 2001
12. Rojali, Umbul Janda, Lampung, 27 Februari 2001
13. Romli, Donggala, Sulawesi Tengah, 24 Januari 2001
14. Rusyana, Gunung Putri, Jawa Barat, 11 Juli 2001
15. Safaruddin, Palu, Sulawesi Tengah, 24 Januari 2001
16. Santo Haryadi, Lampung, 25 Februari 2001
17. Sanube, Donggala, Sulawesi Tengah, 23 Januari 2001
18. Sudarna, Ciranjang, Jawa Barat, 15 Maret 2001
19. Sugondo, Klaten, Jawa Tengah, 23 Juli 2000
20. Sukartono, Pati, Jawa Tengah, 5 September 2000
21. Suman, Tasikmalaya, Jawa Barat, 16 April 2001
22. Suparno, Pati, Jawa Tengah, 7 September 2000
23. Suratna, Cipanas, Jawa Barat, 15 Maret 2001
24. Sutaryono, Pati, Jawa Tengah, 5 September 2000
25. Syalim, Palu, Sulawesi Tengah, 25 Januari 2001
162 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
163
André Liem
Ketika militer di bawah pimpinan Soeharto mulai menangkapi dan membunuh ratusan
ribu orang di seluruh Indonesia pada 1965, beberapa pemimpin PKI yang selamat
memutuskan bahwa partai harus melawan. Padahal sebelum G-30-S terjadi, partai tidak
punya rencana melancarkan perjuangan bersenjata. PKI sangat dekat dengan Presiden
Soekarno dan bekerja dalam sistem politik yang berlaku. Baru setelah dituduh
mendalangi G-30-S dan kemudian dilarang, partai di bawah pimpinan Sudisman, yang
menggantikan D. N. Aidit yang sudah ditembak mati, memutuskan untuk mengubah
strateginya. Selama 1966, Sudisman membuat strategi baru yang didasarkan pada prinsip
perjuangan bersenjata. Sebuah buku yang diterbitkan Kodam Brawijaya secara tepat
menjelaskan bahwa strategi perjuangan bersenjata lebih merupakan reaksi terhadap
represi dan upaya PKI untuk mempertahankan diri:
Akibat dari pada lebih intensipnya penumpasan-penumpasan G-30-S/PKI
oleh alat-alat kekuatan Negara bersama-sama rakyat, maka pada akhirnya
para pimpinan-pimpinan PKI beserta kader-kader mereka yang belum dapat
ditangkap telah banyak melakukan pemindahan tempat-tempat sembunyi
mereka untuk menyelamatkan diri agar dapat mengkonsolidir kembali
partainya secara ilegal. Dalam rangka konsolidasi itulah, maka para
pimpinan-pimpinan yang masih dapat menyelamatkan diri, baik dari tingkat
pusat maupun daerah, telah membuat evaluasi tentang daerah-daerah
manakah yang kiranya tepat dapat dijadikan proyek basis untuk
melaksanakan taktik dan strategi PKI Gaya Baru dengan dalih ajaran Mao
Tse-tung yang terkenal ‘Dari Desa Mengepung Kota.’1
Seperti diperlihatkan kutipan di atas, gerakan bersenjata itu sama sekali bukanlah sesuatu
yang direncanakan sejak awal, melainkan sebuah upaya menyelamatkan diri oleh
pemimpin dan anggota PKI yang lolos dari pembantaian. Gerakan itu adalah upaya
terakhir untuk membangun perlawanan saat hampir semua anggota PKI mendekam di
penjara atau tergeletak tewas dalam kuburan-kuburan massal. Mereka yang selamat dari
represi di Jawa kemudian berkumpul di Blitar Selatan pada 1966-67, karena daerah itu
sangat terpencil dan sulit ditembus oleh militer. Ada beberapa penduduk setempat yang
membantu menyediakan makanan dan tempat berteduh. Pimpinan PKI di Jakarta tidak
1
Kodam VIII/Brawijaya, Operasi Trisula (Surabaya: Yayasan Taman Candrawilwatikta, 1969), h. 2.
164 André Liem
melakukan persiapan apa pun untuk menjadikan wilayah itu sebagai basis perjuangan
bersenjata sampai awal 1967. Menurut versi resmi rezim Soeharto, partai baru mulai
membentuk kompro (Komite Proyek Basis) di Blitar Selatan pada Oktober 1967.2
Untuk menyerang pendukung PKI yang menjadikan Blitar Selatan sebagai basis
perjuangan bersenjata, Kodam Brawijaya pada 1968 mengerahkan ribuan pasukan
dengan peralatan tempur. Operasi militer di Blitar Selatan yang bernama Operasi Trisula
ini boleh dibilang sukses kalau kita melihat kekuatan tempur yang digunakan dan
kecepatan pasukan pemerintah mematahkan gerakan perlawanan PKI. Merujuk catatan
resmi tentang hasil-hasil dari operasi ini, sejak penyerangan secara efektif dimulai pada
Mei sampai dengan Juli, pasukan pemerintah Soeharto berhasil menangkap 257 orang,
menembak mati beberapa tokoh-tokoh kunci, dan menyita sejumlah senjata api yang
digunakan dalam gerakan perlawanan di Blitar Selatan.3
Sejauh ini, informasi mengenai kejadian di Blitar Selatan hampir seluruhnya berpijak
pada keterangan militer. Surat kabar dan sumber informasi lainnya saat itu sudah
sepenuhnya dikontrol oleh militer. Versi militer dalam beberapa hal ada benarnya, tapi
jelas tidak mencakup keseluruhan cerita. Untuk mengetahui lebih banyak tentang apa
yang terjadi saat itu, saya berkunjung ke Blitar Selatan dan mewawancarai sejumlah
orang di sana. Saya ingin tahu apa yang mereka ingat, dan menemukan banyak cerita
mengenai perjuangan bersenjata PKI dan represi yang dilakukan Angkatan Darat, yang
tidak masuk dalam catatan sejarah resmi.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengemukakan beberapa hal berdasarkan wawancara
sejarah lisan yang saya lakukan di Blitar Selatan. Pertama, bahwa saat Operasi Trisula
dimulai pertengahan 1968, kader dan pendukung setia PKI baru memasuki tahap
persiapan dan belum memulai perjuangan bersenjata yang sesungguhnya. Mereka masih
sibuk dengan perjuangan untuk bertahan hidup di wilayah yang begitu miskin. Seperti
yang diungkap catatan Angkatan Darat, mereka menggunakan strategi Maoisme. Mereka
bermaksud melancarkan perjuangan bersenjata yang berbasis di desa. Tapi dalam
prakteknya, mereka tidak berbuat banyak di Blitar Selatan dan belum mencapai
kemajuan berarti dalam upaya tersebut. Di dalam partai sendiri ada banyak orang yang
tidak setuju dengan strategi menggunakan Blitar Selatan sebagai basis perjuangan
bersenjata. Mereka menolak meninggalkan kota-kota dan menjadi gerilyawan di sana.
Anggota yang selamat dan para pemimpin partai tidak sepenuhnya mendukung strategi
Maois tersebut.
Kedua, Angkatan Darat tidak hanya memerangi pendukung PKI ketika memasuki Blitar
Selatan. Walaupun berusaha tampil sebagai pelindung rakyat kecil dari terorisme PKI,
Angkatan Darat menganggap semua penduduk Blitar Selatan adalah musuh.
Keberhasilan Angkatan Darat mengalahkan pejuang PKI ternyata mahal harganya:
penduduk desa yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban kekerasan militer.
Operasi Trisula adalah perang anti-gerilya pertama yang dilancarkan militer Indonesia
pasca-1965 di bawah pimpinan Soeharto. Pengorbanan orang yang tidak ikut bertempur
2
Sekretariat Negara, Gerakan 30 September Pemberontakan Partai Komunis Indonesia (Jakarta: Sekretariat Negara,
1994), h. 162.
3
Kodam VIII/Brawijaya, Operasi Trisula, h. 127.
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 165
(non-combatants) menjadi pola yang terus berulang dalam operasi anti-gerilya di Timor
Leste, Papua Barat, dan Aceh.
Ketiga, versi Angkatan Darat mengenai penggal sejarah itu tidak berbicara apa pun
mengenai kejahatan yang terjadi selama operasi itu. Saya menemukan bukti-bukti di
Blitar Selatan bahwa Angkatan Darat mengeksekusi para tahanan dan mencampakkan
para korban di dalam kuburan-kuburan massal. Kita perlu melakukan penelitian lebih
jauh untuk menentukan detil-detil pembantaian tersebut. Tempat-tempat yang diklaim
sebagai kuburan massal oleh penduduk setempat perlu dibongkar oleh ahli forensik yang
kompeten. Penggalian kuburan massal di Lorejo, Kecamatan Bakung, baru-baru ini
adalah langkah awal yang tepat.4
Penulisan ini sepenuhnya mengandalkan wawancara yang saya lakukan selama tahun 2000
di Jawa Tengah dan Timur, serta beberapa dokumen militer mengenai Operasi Trisula
sebagai perbandingan. Saya juga mendengarkan sejumlah wawancara yang dibuat
teman-teman saya dengan bekas pemimpin PKI lain yang juga terlibat dalam peristiwa
Blitar Selatan. Melalui wawancara-wawancara tersebut saya bisa mendapatkan
gambaran lebih jelas mengenai apa yang terjadi sekaligus menyelami pikiran dan
perasaan orang-orang yang terlibat di dalamnya.
Blitar Selatan
Blitar Selatan adalah sebuah kecamatan di wilayah Kabupaten Blitar, yang lama dikenal
sebagai daerah miskin di Jawa Timur. Seperti daerah lainnya, kesuburan tanahnya sangat
beragam; ada beberapa tempat yang cukup baik untuk dijadikan sawah, sementara
lainnya sama sekali kering. Mayoritas penduduknya hidup dari pertanian dan
peternakan, sementara industri dan perdagangan masih sangat terbatas. Mereka
mengandalkan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan menyimpan
sebagian besar sebagai persediaan pangan, sementara menjual kelebihannya ke pasar.
Beberapa keluarga yang cukup berhasil biasanya memiliki sejumlah ternak seperti
kambing atau sapi yang mereka anggap sebagai ‘celengan’ (tabungan) yang sewaktu-waktu
dapat dijual jika mengalami kekurangan.
Keadaan ini tidak berubah selama puluhan tahun. Sebelum 1965, Blitar Selatan adalah
daerah yang terbelakang dan tidak banyak diperhatikan. Di zaman Belanda pun
perkebunan besar tidak menjangkau wilayah ini, dan sepertinya sengaja dibiarkan
terbengkalai. Beberapa pejabat bahkan menyebutnya sarang perampok yang sulit dan
memang tidak perlu dijangkau. Selama perang kemerdekaan Blitar Selatan sering
menjadi tempat perlindungan gerilyawan republik seperti Pasukan Brantas yang
dipimpin seseorang bernama Nata. Ibu Andhika, yang sejak 1940an tinggal di wilayah
itu, mengenang:
Saya sudah rumah tangga, tahun 48 itu baru. Saya kan usia 17 tahun sudah
kawin, tahun 47. Ya, 48 saya punya anak. Anak saya masih satu lalu, tapi
4
Pada September 2002, Solidaritas Nusa Bangsa melakukan ekskavasi di sebuah gua di Blitar Selatan yang disebut-
sebut sebagai kuburan massal bagi 41 orang oleh penduduk setempat. Menurut keterangan, mayat mereka
dicampakkan ke gua tersebut setelah dieksekusi oleh militer. Tim ekskavasi itu berhasil menemukan sisa tulang-
belulang, tapi tidak dapat sepenuhnya masuk untuk mengangkat semua jasad yang masih tersisa.
166 André Liem
meninggal karena lari-lari waktu agresi itu lho. Ya kan terus ngungsi-
ngungsi, kan hidupnya ndak karuan, hidupnya ke gunung juga he-eeng.
Meninggal anak yang pertama, yang lahir 48 itu. Namanya Agrariani, waktu
itu kan adanya Undang-undang Agraria … Ya, Undang-undang Agraria. Itu
yang memberi nama juga Pak Nata itu tokoh perjuangan … Ya Pak Nata,
orang Sunda ... Pak Noto kalau di sini ya [tertawa] ... Orang Blitar to, dia
hidupnya di Blitar, kenanya di Blitar Selatan waktu ngungsi-ngungsi, dia kan
ada Pasukan Brantas yang melawan Belanda ... Ya Pasukan Brantas yang
dipimpin Pak Nata melawan Belanda yang datang agresi itu. Jadi rakyat,
pasukan rakyat itu he-eeng ... Tentara rakyat, bukan dari tentara asli, he-
eeng. Lha kalau bapaknya anak-anak memang tentara, tetapi juga ikut di
Brantas itu.
Pada Maret 1948, terjadi pertentangan antara pemerintah pusat dan laskar-laskar rakyat
yang menentang Program Reorganisasi dan Rasionalisasi.5 Alasannya, program itu
berarti melucuti kekuatan rakyat bersenjata dan menciutkannya sehingga tercipta tentara
yang ‘profesional.’ Ketegangan antara laskar dan pasukan TNI reguler terus berlanjut
sampai bulan-bulan berikutnya. Pada awal September, terjadi pertempuran di Solo
antara laskar Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dengan Divisi Siliwangi yang dipimpin
perwira eks-KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Rewang,6 yang bergabung dengan
Pesindo di Solo di masa itu mengatakan:
Persetujuan seperti Linggarjati isinya lebih merugikan karena ada tuntutan
TNI, Tentara Nasional Indonesia, yang berada di kantong-kantong yang
diduduki oleh Belanda, seperti di Jawa Barat, Jawa Timur harus ditarik
keluar dari kantong-kantong itu. Ini berarti mensahkan wilayah-wilayah
Republik yang berada di dalam pendudukan Belanda. Dengan itu terjadi
yang disebut hijrah. Jadi tentara Siliwangi yang berada di kantong-kantong
daerah Jawa Barat ditarik masuk Jawa Tengah, masuk daerah Republik.
Begitu juga yang di Jawa Timur. Ini lebih merugikan lagi karena kita
kehilangan basis-basis untuk melawan di daerah yang diduduki oleh
Belanda. Saya masih ingat waktu Siliwangi masuk Solo, ya masuk itu karena
resmi toh, itu resmi persetujuan dengan Belanda tadi, ditampung di kamp-
kamp yang disediakan. Nah, kemudian konflik-konflik terjadi dengan
tentara setempat. Dan akhirnya dalam peristiwa Madiun itu, Siliwangi
menjadi pemukul pemerintah Hatta.
Puncak dari konflik ini terwujud dalam Peristiwa Madiun pada September 1948, saat
kekuatan kiri mengambil alih kota dan mengumumkan penolakan mereka terhadap
5
Program itu diusulkan oleh Kabinet Hatta pada Februari 1948 untuk ‘menertibkan’ pasukan-pasukan gerilya yang
tersebar di berbagai tempat. Penertiban itu memakai tolok ukur pendidikan militer sehingga banyak pemimpin
laskar dan aktivis politik yang angkat senjata pada masa revolusi tersingkir dari tubuh militer, termasuk pasukan di
bawah Jenderal Soedirman. Lihat, misalnya, Ann Swift, The Road to Madiun: The Indonesian Communist Uprising
of 1948 (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1989), h. 44-48, 67-73; Hersri Setiawan, Negara Madiun?:
Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan (FuSPAD, 2003).
6
Rewang adalah tokoh PKI yang sangat terkenal dan sulit disembunyikan identitasnya. Karena alasan itu, dalam
artikel ini saya menggunakan nama sesungguhnya.
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 167
sekarang dibubarkan. Itu yang menulis siapa itu saya tidak tahu, itu ada di
Kademangan … [Tapi] di desa sini masih tenang.
Saat memutuskan akan menggelar operasi anti-PKI di Blitar Selatan, Angkatan Darat
membawa serta sejumlah milisi sipil dari Blitar. Salah satu di antaranya bernama Sakera.
Di Blitar Selatan sendiri tidak ada pasukan milisi yang bekerja sama dengan Angkatan
Darat. Operasi anti-PKI itu berlangsung singkat, sehari-semalam, menunjukkan bahwa
Blitar Selatan bukanlah prioritas bagi Angkatan Darat. Tapi operasi selama 24 jam itu
diingat oleh penduduk Blitar Selatan sebagai masa teror yang hebat. Serdadu dan milisi
Sakera yang datang dari luar wilayah terlibat pembakaran, penjarahan, dan
pembunuhan selama operasi berlangsung. Paijo melanjutkan kisahnya:
Saya itu ya ikut-ikut lari, begitu to. Lari menghindar dari rumah. Karena
Sakera itu dikawal sama tentara, kalau ada orang tidak pandang itu PKI,
tidak pandang bukan PKI, kalo berjumpa itu dibacok … Tapi kalau di sini
ndak ada [yang kena bacok], tapi kalau di sini itu ndak ada. Di Surowadang
itu ada. [Desa] kosong, dioperasi itu kosong. Orang laki … semua lari.
Operasi di Blitar Selatan dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata tajam yang berpakaian
seperti pendekar Madura dengan pakaian hitam dan kaos loreng. Mereka datang
membakari rumah-rumah penduduk yang dituduh PKI dan membunuh beberapa orang.
Kabar tentang operasi itu dengan cepat menyebar sehingga penduduk mulai melarikan
diri. Wagiman, yang saat itu berusia 16 tahun menceritakan pengalamannya:
Ya sedikit-sedikit tahu [G-30-S], tapi tidak puas [tidak mengetahui secara
jelas]. Pada saat sekarang ada operasi itu yang saya tahu, ada operasi Sakera
gabungan dengan tentara … Saya pada tahun itu umur 16 tahun … Tidak
melihat, tapi sudah takut, saya lari ke hutan ... orang tua saya itu di rumah,
karena sudah tua. Saya ya ikut dengan teman-teman itu ... Ya takut itu, sebab
kalau ada orang muda itu dipegang, dipukuli atau dibunuh. Saya ikut takut,
ikut lari … Saudara saya lima … Saya nomer tiga … Saudara saya itu
perempuan dan di rumah pada waktu itu … Tidak [diapa-apakan] …. Saya
lari ke hutan selama satu malam satu hari ... Banyak, itu semua orang lari
semua … Kebanyakan anak muda dan ada juga orang yang sudah tua ...
[Sakera yang datang] banyak, saya kira ya ada satu peleton, satu mobil …
Sama tentara … [Penduduk yang lari] banyak, tapi tidak lama itu. Setelah
itu sudah pulang, baru yang lari itu ya pulang ke rumahnya masing-masing
… Tidak ada kejadian apa-apa pada waktu itu.
Menurut penuturan korban dan saksi lainnya, Blitar Selatan tidak terlalu terpengaruh
oleh represi militer terhadap PKI antara akhir 1965 dan awal 1966. Angkatan Darat
menghimpun sejumlah pemuda Banser dari Blitar kota selama sehari-dua, tapi setelah itu
tidak pernah masuk ke Blitar Selatan lagi. Operasi pembersihan sepenuhnya digerakkan
dari luar. Histeria anti-PKI tidak mendapat sambutan di Blitar Selatan sendiri sehingga
militer dan organisasi pemuda seperti Ansor, KAPPI, dan KAMI harus mendatangkan
massa dari luar.
Angkatan Darat memusatkan represinya di Blitar kota dan sekitarnya. Banyak orang
yang ditangkap dan dibunuh di kota itu karena diduga anggota PKI. Teror dalam kota
172 André Liem
dan sekitarnya berlangsung sangat intens. Harsono yang saat itu masih bersekolah di
Blitar kota menceritakan pengalamannya di masa itu:
Sering sekali saya melihat mayat tergeletak di perempatan. Seperti ada satu
orang pemain bass drum dari Pemuda Rakyat. Dia dibunuh di perempatan,
mayatnya ditaruh di perempatan dan selama dua hari tidak satu orang pun
yang berani mengambil mayat itu. Keluarganya sendiri pun nggak berani.
Sampai kemudian membusuk dan diambil oleh Kodim, dikubur di mana
saya nggak tahu.10
Pembunuhan di Blitar kota dan sekitarnya berlangsung dengan cepat dan kerap tanpa
pemeriksaan apa pun. Harsono menuturkannya:
Di daerah Blitar banyak sekali guru-guru yang dibunuh. Ada satu daerah di
Blitar namanya Kampung Meduran, di sana memang orang Madura semua.
Di Kampung Meduran itu isinya cuma dua, Ansor dan PKI, Pemuda Rakyat
atau PKI lah. Jadi mereka saling membunuh. Dan kemudian ada satu orang
dari pekerja Jawatan Kereta Api, yang dicari dan dibunuh. Tetapi ternyata
salah bunuh, yang dibunuh adalah guru. Dan kemudian besoknya dia cuma
minta maaf, begitu saja.11
Awalnya, operasi itu terarah khusus pada anggota PKI dan orang yang diduga berafiliasi
dengan partai tersebut. Tapi lama-lama banyak orang yang tidak punya kaitan apa pun
dengan kegiatan politik menjadi sasaran. Banyak kasus pertengkaran yang kemudian
berlanjut menjadi pembantaian ketika salah satu pihak mendapat legitimasi dengan
mencap lawannya sebagai ‘komunis.’ Sugondo, seorang asisten dosen di Institut Teknologi
10 November Surabaya (ITS) yang ketika terjadi Peristiwa 65 pulang ke desanya, Krisik,
dekat Blitar kota, mengutarakan:
Dulu pernah ada orang Ansor datang ke Krisik dan kena juga. Dia
sebenarnya anak sini tapi dibesarkan di tempat lain, dan di tempat lain itu
dia masuk ke organisasi Ansor. Namanya Sarjuni yang masih misan saya, itu
dikait-kaitkan dengan keluarga ayah saya yang orang PKI, sudah tidak ambil
pusing ikut organisasi apa saja … [Yang tertangkap] juga ada Ansor, PNI
juga ada. Ada yang namanya Sukardi dan Sukirin. Yang namanya Sukirin itu
karena konflik dengan oknum militer waktu itu rebutan wanita, akhirnya ya
enggak pulang sampai sekarang. Entah di mana dia dibunuh, atau mati
enggak ada yang tahu. Jadi mayoritas sini itu enggak tahu di mana mereka
itu dibunuh sekian banyak, karena sebagian besar itu mati setelah melalui
proses dimasukkan di penjara Blitar itu … Tidak ada [yang dibunuh] di sini.
Cuma satu, namanya Karnadi. Kalau yang lain-lainnya itu diambil dan
dibawa ke Penjara Blitar. Mungkin tercecer atau ada yang dibunuh di tempat
lain saya ndak mengerti, tapi waktu itu diambil.
10
Harsono mengungkapkan pengalaman ini dalam sebuah pertemuan terbuka. Rekaman pertemuan itu telah
ditranskripsi dan diterbitkan dalam bentuk buku, Jaringan Kerja Budaya, Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000
(Jakarta, 2000), h. 129.
11
Jaringan Kerja Budaya, Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000, h. 128.
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 173
Para pemimpin operasi pembersihan ini kadang menetapkan target jumlah orang yang
harus mereka habisi sebagai bukti keberhasilan. Sugondo, yang juga anak seorang Kepala
Desa Krisik, menceritakan apa yang dia dengar mengenai ‘sistem target’ pada waktu itu:
[Target], ya pernah itu. Jadi di daerah Kawi Sari, posko. Pos Komando Kawi
Sari namanya itu. Setiap ditarget harus memasukkan sejumlah orang,
misalkan empat atau lima orang. Kalau tiga, ya dia terus disiksa … Akhirnya
karena dia itu memang tidak tahu siapa yang Pemuda Rakyat, siapa yang
PKI, akhirnya ngawur (sembarangan), siapa pun ditunjuk … Ya kalau sudah
di Posko itu umumnya militer, hanya di situ ada juga relawannya dari
ormas-ormas itu, KAPPI-KAMI juga. Jadi rata-rata yang di daerah ini
orang atau anak yang tidak mengerti apa-apa, banyak sekali yang buta huruf
juga kena. Karena ditarget itu tadi.
Orang Tionghoa juga menjadi sasaran karena selama ini dianggap menyokong PKI dan
berhubungan dengan Republik Rakyat Tiongkok. Harsono menceritakan pengalamannya
di Blitar kota:
Meskipun saya tidak terlibat, tetapi sebagai keturunan Cina, saya merasakan
bahwa ada semacam trauma. Karena Baperki [Badan Permusyawaratan
Kewarganegaraan Indonesia] pada waktu itu sebagai salah satu organisasi,
meskipun saya bukan Baperki dan saya tidak sekolah di sekolah Baperki,
tetapi etnis Cina itu sudah melekat dengan komunis. Sehingga kemudian,
ingat sekali ketika itu semua orang Cina di Blitar dikumpulkan di satu
gedung bioskop, namanya gedung Bioskop Dipoyono. Kemudian dilakukan
briefing dan di situ dikatakan bahwa orang-orang Tionghoa di sini harus
membantu pemerintah terutama militer dengan memberikan dana. Dan
saya ingat sekali bahwa semenjak itu orang-orang Cina di Blitar, itu berhak
untuk, istilahnya diperas. Misalnya mobilnya bisa dipinjam beberapa hari
dengan alasan untuk melakukan operasi, meskipun itu tidak. Kemudian
mereka bisa dimintai dana berapa saja untuk operasi, tapi sebetulnya kita
juga tidak tahu. Pada akhirnya ada semacam persepsi dari kelompok Cina di
Blitar, kalau kita ingin selamat dan kalau bisnis kita ingin selamat, maka kita
harus menyumbang kepada Kodim. Nah, persepsi ini terus berjalan sampai
sekarang.12
Kekerasan dan intimidasi di Blitar hanyalah bagian dari kampanye teror yang berskala
nasional terhadap semua orang yang berkaitan dengan organisasi progresif dan
nasionalis. Banyak orang yang khawatir akan menjadi korban, lari dari rumah-rumah
mereka dan mencari tempat berlindung di kota atau desa lain. Mereka memilih
bersembunyi sambil bertahan, terus-menerus berpindah untuk menghindari operasi.
Salah satu tempat tujuan mereka adalah Blitar Selatan.
12
Jaringan Kerja Budaya, Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000, h. 128.
174 André Liem
evakuasi itu. Penduduk dengan mudah menerima para pelarian dan berinteraksi karena
memang mengenal sebagian sebagai mantan anggota Laskar Rakyat atau aktivis yang
berkunjung ke tempat mereka. Dari beberapa wawancara terungkap bahwa penduduk
memang melihat orang-orang yang belum pernah mereka kenal sebelumnya masuk ke
daerah mereka agak tergesa dan terkesan tanpa persiapan. Tapi, mereka menganggapnya
sebagai orang yang ‘ndelik’ (sembunyi), liar, dan mencari selamat saja. Karena teror dan
ancaman, banyak pelarian yang tidak membawa barang apa pun, dan akhirnya
meminta-minta dari penduduk desa yang dilewatinya. Propaganda militer mengatakan
bahwa para pelarian itu merampok, menjarah, dan membunuh. Tapi Paijo, seorang
petani dan penabuh gendang di kelompok ludruk di Blitar Selatan, berkata lain:
Pelarian itu tidak membawa barang, mereka makannya minta-minta. Waktu
banyak pelarian orang PKI, di desa ini tidak pernah ada kejadian apa-apa
seperti kecurian. Orang-orang PKI itu hanya cari selamat dan tidak buat
kerusuhan di sini … Saya seringkali ketemu kalau berjumpa, tapi ndak bisa
bicara-bicara begini, ndak bisa. Cuma dia bilang, ‘Saya ini orang yang
diuber-uber (dikejar-kejar).’ Begitu. Dan saya ndak tahu asalnya dari mana,
ndak. Wong saya ini ndak mengetahui jelas begitu, hanya orang itu banyak
yang lari ke sini dan lantas lari lagi, itu saja. Mereka juga ndak bawa barang,
hanya orang. Kalau ketemu ya saling menyapa dan baik tanggapannya.
Orang sama orang di sini ndak pernah mengganggu apa-apa. Mereka itu
hanya butuh cari selamat, hanya mereka itu makannya minta-minta, tapi
saya ndak pernah kedapatan karena rumah saya itu di tepi jalan ini. Waktu
banyak pelarian orang PKI itu di desa ini ndak ada kejadian apa-apa. Orang-
orang PKI itu hanya cari selamat dan ndak buat kerusuhan di sini.
Muyatno yang bersembunyi ke Blitar Selatan berbicara tentang hubungan para pelarian
dengan penduduk setempat:
Selama di Blitar Selatan saya itu membaur pada massa Blitar Selatan, yang
pada waktu itu melindungi kami, melindungi orang-orang PKI yang di Blitar
Selatan. Melindungi, apa itu, memelihara, mengasih makan dan sebagainya
dengan tidak minta imbalan apa-apa. Cuma imbalan yang kami berikan
pada mereka adalah kerja sama dengan mereka, yaitu mencangkul, ikut
bertanam, ikut momong (mengasuh) anak-anaknya, bahkan kalau perlu
menceboki (membersihkan setelah buang air besar) anak-anaknya. Lalu ikut
mereka berdagang dan sebagainya. Di samping pada waktu-waktu tertentu
kami membangun partai.
Rupanya pengalaman buruk melihat pembantaian dan operasi militer pada 1965 tidak
menghalangi masyarakat Blitar Selatan membantu para pelarian. Cukup lama gerakan
itu tidak diketahui oleh siapa pun dan para pelarian bersama masyarakat setempat hidup
seperti biasa.
Membangun Basis
Ketika mulai berbasis di Blitar Selatan pada 1967, pimpinan partai mulai melakukan
pembagian tugas: menyusun kembali organisasi partai, menyiapkan perjuangan
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 177
bersenjata, dan mendidik kader-kader yang tersisa. Struktur itu direncanakan dari
kabupaten sampai ke desa, yang dikelola oleh komite-komite proyek. Menurut dokumen-
dokumen yang kemudian disita oleh pihak militer, organisasi komite proyek ini sudah
cukup berkembang dengan sistem ‘sel’ yang tertata rapi, detasemen gerilya atau pasukan
bersenjata, dan perlengkapan organisasi lainnya. Muyatno juga menjelaskan bahwa
gerakan tidak hanya terbatas di daerah pedesaan, tapi juga mencapai beberapa wilayah
kota, yang bergantung pada jumlah orang dan kesiapan untuk melakukan penyergapan
dan merebut senjata.
Untuk meningkatkan pengetahuan ideologi kadernya, setiap kompro melakukan
pendidikan khusus dengan mengajarkan teori Marxisme-Leninisme, ajaran Mao Tse-tung,
dan pemikiran para tokoh dunia yang melakukan perjuangan melawan imperialisme.
Pendidikan itu dianggap sangat penting, karena menurut Muyatno, ‘orang komunis tanpa
ajaran-ajaran komunis itu ndak ada gunanya.’ Dalam rencana, para pemimpin partai
bermaksud membangun Sekolah Tentara Perlawanan Rakyat (STPR) dan
menyelenggarakan Kursus Kader Perang Rakyat (KKPR) di daerah Malang Selatan. Para
instrukturnya berasal dari anggota ABRI yang desersi dan simpatisan PKI yang memiliki
pengalaman sebagai militer.
Dengan kekuatan sembilan orang anggota CC-PKI, sejumlah tokoh CDB, dan kader
partai dari berbagai daerah, komite proyek mulai berjalan. Namun tidak semuanya
semudah yang dibayangkan di atas kertas. Rewang mengenang:
Waktu itu belum ada perhitungan bisa tahan berapa lama. Sebab dalam
pikiran kami perjuangan itu belum mulai, baru mempersiapkan. Jadi
persiapan itu terdiri atas pembentukan pimpinan CC Darurat, sudah
dilakukan. Terus pembentukan pimpinan propinsi, dilakukan. Terus
pembentukan pimpinan komite proyek-proyek yang nanti akan dijadikan
daerah basis, sudah dilakukan. Terus pembentukan pasukan gerilya, sudah
dimulai. Tapi ada ketentuan kapan perjuangan senjata itu dimulai? Lha itu
kami diskusikan.
Rewang lebih jauh menjelaskan bahwa perjuangan bersenjata oleh PKI sebenarnya baru
memasuki fase rencana dan hanya akan dijalankan setelah komite proyek benar-benar
siap, dan setelah ada hasil konferensi tingkat nasional yang akan diadakan untuk menata
kembali kehidupan partai. Menurut program yang sudah ditetapkan, pimpinan CC
Darurat berada di atas komite proyek, dan aksi perjuangan bersenjata dilakukan dengan
kesadaran penuh dan taktik serta strategi yang matang. Keterangan lebih lanjut tentang
susunan komite proyek dan personelnya sangat terbatas, karena banyak anggota yang
tidak mengenal satu sama lain dan banyak tokoh yang sudah meninggal dunia.
Bagaimanapun, Muyatno yang pada waktu itu ikut terlibat dalam kompro Blitar Selatan
mencoba memberikan gambaran siapa yang berperan penting di dalam kompro ini:
Yang saya tahu cuma, ya itu, apa itu, Gatot Taryo, Joko Untung, yang di
Blitar Selatan lho – Joko Untung, yang di Blitar Selatan. Dan masih banyak
lagi yang saya juga ndak tahu, apa itu anggota, apa itu pimpinan komite
proyek apa ndak, karena satu sama lain kan ndak tahu. Yang boleh tahu itu
komite proyek yang menghubungi saya, cuma Gatot Taryo, yang lain ndak
178 André Liem
boleh … Jadi pada waktu itu orang-orang yang dari CDB yang lari ke situ,
itu paling nggak ya diangkat jadi anggota kompro. Seperti Gatot Taryo itu
kan orang CDB, bukan ketua CDB tapi anggota CDB, anggota komisi CDB,
di situ ditugaskan menjadi, apa itu, ketua kompro.
Sistem organisasi yang tertutup ini dipilih untuk melindungi jaringan komite proyek jika
ada salah satu anggota yang tertangkap. Orang-orang yang diwawancarai umumnya
sulit mengingat dengan tepat susunan maupun personel komite proyek. Sebaliknya,
pihak militer dalam terbitannya mengenai Operasi Trisula selalu menggambarkan bagan
organisasi dengan jelas seolah memang ada susunan yang pasti dan berjalan efektif.
Namun dari wawancara yang dilakukan dengan beberapa pelaku sejarahnya, gambaran
tentang struktur yang jelas dan rapi versi tentara itu terasa berlebihan. Pihak militer
memang berkepentingan membuat musuhnya tampil sebagai kekuatan yang rapi dan
baik untuk membenarkan tindak kekerasan yang kemudian mereka lakukan. Rewang
sendiri mengatakan persiapan untuk perjuangan bersenjata sebenarnya masih sangat
terbatas:
Nah kalau teori militer konvensional, satu kekuatan yang bisa mengambil
inisiatif, kedudukan inisitatif itu, tiga banding satu. Itu teori konvensional,
tiga banding satu. Jadi kalau mau menghancurkan musuh harus punya
kekuatan tiga, musuhnya satu. Tapi kalau teori perang gerilya, perang
rakyat, 10 banding satu itu baru bisa berkedudukan inisiatif. Karena apa?
Tentara rakyat itu secara kualitatif lebih rendah. Kualitas kemiliternya lebih
rendah, persenjatannya juga lebih jelek. Ha, maka itu harus mengandalkan
keunggulan manusia. Musuhnya satu kita 10, itu baru mutlak bisa
menghancurkan. Tapi kalau kurang dari itu, belum dianu, menghancurkan.
Ini teori perang rakyat Mao Tse-tung. Jadi kalau mau berkedudukan inisiatif
harus unggul kekuatannya itu. Ha, menurut pimpinan jenderal-jendral
Vietnam juga begitu
Muyatno sendiri mengatakan bahwa pelatihan perjuangan bersenjata baru menyangkut
teori dan beberapa ketrampilan seperti lempar pisau, penyergapan, dan bela diri. Para
pemimpin sering mendiskusikan pengalaman gerakan bersenjata di negara lain, terutama
Tiongkok. Mereka menganggap pemikiran Mao Tse-tung mengenai ‘desa mengepung
kota’ sebagai sesuatu yang relevan. Pengalaman Vietnam juga menjadi pembahasan,
khususnya yang berkaitan dengan pembangunan lorong-lorong bawah tanah dan gua
persembunyian yang efektif menghadapi pasukan Amerika Serikat. Muyatno, seorang
sarjana geologi yang ikut bersembunyi di Blitar Selatan, mengenang:
Kader muda-muda itu, yang bisa ditarik sebagai detasemen gerilya,
tentaranya kompro, anda tahu Detga [Detasemen Gerilya] tadi? Nah itulah
yang di Detga. Dididik soal kemiliteran. Nah bagi kami, militer yang tidak
dibekali teori yang baik, apa itu, teori partai yang baik, itu malah bisa
membahayakan bagi kita, bahkan kecuali dididik kemiliteran juga diisi
otaknya dengan teori-teori Marxis-Leninis, teori kawan Mao Tse-tung … Ya
anu, desa ngepung kota. Jadi di desa dulu baru di kota, teori-teori yang, teori
mengabdi jangka panjang. Ndak bisa kita menghancurkan musuh dengan
sekaligus atau dipreteli dari pinggir dulu, dari pinggir kan cepet. Itu secara
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 179
dulu.
Untuk mengamankan jaringan, para aktivis juga menggunakan bantuan orang dekat atau
masyarakat sekitar yang kecil kemungkinannya dicurigai oleh militer, seperti anak kecil
atau orang lanjut usia. Mereka bekerja sebagai kurir, pemberi informasi atau peringatan
tentang keadaan di luar kompro. Rewang mengatakan bahkan anak sekolah dasar pun
membantu memberitahu seandainya ada polisi yang datang. Menurutnya, massa di
Blitar Selatan memberikan perlindungan tanpa paksaan, karena aktivis PKI tidak
membawa apa-apa. Banyak juga yang mendapat bantuan dari anak-anaknya sendiri. Ibu
Andhika menjelaskan:
Anak saya kembali ke gunung, tapi dia bisa jadi, anu, dikerjakan untuk kalau
ada tentara patroli bisa memberi tahu kepada kita. Jadi saya mesti harus
menyelamatkan diri itu dari anak saya itu. ‘Ada tentara datang, bu, ibu harus
pergi,’ gitu kehidupan di gunung … Ya di Gunung Kidul itu. Jadi setiap ada
patroli anak saya itu kerjanya ya memang bagaimana mengawasi, kalau ada
menjaga ibunya, supaya ibunya mencari selamat.
Adanya dukungan rakyat bagi para pelarian itu disadari oleh pasukan pemerintah yang
kemudian diterjunkan ke Blitar Selatan. Mereka seringkali mengalami kesulitan
menjalankan operasi penyisiran maupun patroli. Menurut para petinggi militer sendiri,
keadaan tersebut dapat menimbulkan frustrasi di kalangan pasukan, sehingga dalam
salah satu briefing (pemberian petunjuk singkat), Pangdam VIII/Brawijaya mengatakan
bahwa rakyat di daerah operasi satuan tugas harus dianggap sebagai lawan.14 Dan
ditegaskan lagi dalam catatan tambahan rencana operasi, ‘yang sebenarnya kita hadapi
adalah daya tempur lawan termasuk rakyat seluruh Blitar Selatan yang mutlak
membantu gerombolan bersenjata G-30-S/PKI dan bukan detasemen gerilya PKI saja.’15
14
Kodam VIII/Brawijaya, Operasi Trisula, h. 63.
15
Kodam VIII/Brawijaya, Operasi Trisula, h. 40.
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 181
kita membalas begitu.’ Ini tidak, ya tidak ilmiah. Artinya cuma perasaan saja.
Perasaan kalau kita itu belum melawan terus dikejar, kita sembunyi saja, kita
ilegal terus. Tapi kalau kita melawan sekali-kali, kita pukul musuh, mengejar
musuh. Ini kan subyektif, namanya subyektif, pandangan subyektif. Jadi
melakukan aksi tidak didasarkan apa tinjauan yang luas, apa akibatnya
kalau ada gerakan begini.
Walaupun PKI bermaksud melancarkan perjuangan bersenjata, kenyataannya mereka
hampir tidak punya senjata sama sekali. Setelah Operasi Trisula berakhir dan hampir
semua anggota PKI berhasil ditangkap, Angkatan Darat mengumumkan bahwa mereka
hanya merebut 37 pucuk senjata, yakni 10 pistol, 13 bren, 2 senapan AK, 2 senapan Tjung
dan bermacam senjata tua dari masa Belanda dan Jepang.16 Dengan senjata seperti ini PKI
jelas tidak mempersiapkan diri untuk melancarkan perjuangan bersenjata melawan rezim
Soeharto.
Operasi Trisula
Menjelang akhir 1967, gerakan di Blitar Selatan mulai tercium oleh militer karena operasi
yang dilakukan oleh detasemen kompro tidak jauh dari wilayah itu. Beberapa personel
militer diturunkan untuk melakukan penjajakan dan selanjutnya laporan intelijen
menegaskan bahwa memang ada gerakan bersenjata di Blitar Selatan. Masyarakat
setempat sejak awal didatangi oleh militer dan didesak memberikan bantuan. Seperti
dituturkan Ruslan, seorang petani:
Sebelum Operasi Trisula, itu setahu saya, karena lurahnya di sini kan lurah
lama, belum diganti ABRI. Itu lurahnya masih paman saya, jadi suaminya
Bulik (bibi) saya, gitu. Saya pernah oleh Pak lurah itu, karena Paklik
(paman) saya, saya disuruh ke kelurahan karena di kelurahan itu ada tamu
tentara-tentara. Saya disuruh membawa ranselnya itu sampai ke Desa
Tumpakoyot. Saya bawa ransel tentara dengan perbekalan tentara itu,
mikul dengan teman-teman yang lain, mbantu gitu. Pak lurah kan dimintai
orang supaya membawakan ini, gitu. Lalu saya ini oleh Pak lurah disuruh
itu. Tentaranya kalau ndak salah itu 40 orang. Rencananya dia [tentara]
hanya, anu saja, hanya jalan saja sambil menggambar Desa Ngrejo. Sini
terus selatannya. Sambil berjalan itu dia memperkirakan berapa kilo Desa
Ngrejo-Bakung terus Sumber Dadi. Setelah datang di Tumpakoyot, datang
di rumahnya kepala desa, eh, Pak Dirjo. Tumpakoyot itu belum jadi desa,
masih dukuhan, kamituwo. Habis itu saya disuruh pulang.
Untuk mengatasi dukungan rakyat terhadap gerakan di Blitar Selatan, militer mengambil
inisiatif mengganti para pamong desa dengan seorang caretaker (penanggung jawab) dari
ABRI yang terdaftar sebanyak 234 orang.17 Dari posisi ini militer berhasil mengumpulkan
keterangan lebih banyak tentang keadaan di Blitar Selatan. Sementara itu, beberapa
aktivis yang terlibat aksi penyergapan pun tertangkap dan dari mereka diperoleh
16
Redaktur Skets Masa, Operasi ‘Trisula’ Brawidjaja Menghantjurkan PKI-Gaja Baru (Surabaya: GRIP, 1968), h. 14-
15.
17
Kodam VIII/Brawijaya, Operasi Trisula, h. 243.
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 183
tahanan yang ditangkap lebih dulu, untuk mengidentifikasi orang yang dicurigai. Tidak
ada jaminan bahwa orang yang kemudian ditahan benar-benar berhubungan dengan
PKI atau aktivitas bersenjata di wilayah itu.
Untuk melancarkan operasi ini, Angkatan Darat berusaha melibatkan sebanyak mungkin
orang sipil. Pasukan Hansip dikerahkan dari seluruh Jawa Timur. Orang sipil di Blitar
Selatan, termasuk mereka yang ditahan, diminta atau dipaksa bergabung dalam operasi
tersebut.
Ketika memasuki Blitar Selatan, Angkatan Darat sebenarnya tidak mengharapkan kerja
sama dengan penduduk lokal. Mereka justru menganggap semua penduduk setempat
sebagai musuh. Dalam sebuah konferensi pers, Mayjen Jasin mengatakan bahwa rencana
awal untuk mengganti semua camat dan kepala desa dengan personel militer pada awal
1968, ‘tidak dapat mencapai hasil sebagaimana diharapkan. Karena Rakyat di daerah itu
adalah praktis sudah berfihak pada mereka.’20 Ia mengatakan bahwa Angkatan Darat
harus menggelar operasi militer karena ‘operasi teritorial’ tidak berhasil dengan baik.
Karena semua orang di wilayah itu dianggap pendukung PKI, maka pasukan militer tidak
dapat mengandalkan dukungan mereka dalam Operasi Trisula. Dalam kenyataannya,
militer memang memperlakukan penduduk dengan buruk dan membuat mereka merasa
diteror.
Perhatikan cerita Wagiman yang saat itu tinggal di Blitar Selatan. Ia tidak pernah terkait
dengan PKI, tapi saat pasukan militer tiba, ia lari ke hutan karena takut.
Sampai tahun 68 mulai ada operasi, operasi saya ya juga takut saya lari lagi
sampai ke pantai … takut kalau ada orang dipegang, dipukuli itu …
kebanyakan di sini ini takut … kalau dipegang dipukuli, diurus-diurus itu …
bukan PKI kebanyakan itu … tapi kebanyakan yang takut itu juga disangka
PKI saja … Saya lari ke hutan-hutan dekat pantai itu [Pantai Selatan] …
saya ikut ke hutan itu kiranya hanya satu malam satu hari, lantas saya di
rumah, terus di rumah ada perintah dari Pamong Desa supaya semua
masyarakat berkumpul di desa pada waktu itu jam gangsal – jam lima sore
… terus itu pada jam lima sore semua masyarakat berkumpul di sini. Terus
ada perintah lagi, ‘Besok berkumpul di Bakung.’ Terus semua masyarakat
berkumpul di Bakung … Iya semua masyarakat, laki-perempuan … [desa]
kosong, yang mengisi itu tentara-tentara yang operasi itu … Dikumpulkan di
Bakung, jadi – skrining (screening, penyaringan) itu, skrining lima-lima
lantas saya itu diambil, ada salah seorang yang menunjuk saya, saya
dimasukan ke tempat pengurusan … Lima orang diurus satu-satu. Yang
cocok namanya dengan yang diperlukan dengan tentara itu diambil … Saya
kena, ada salah seorang yang nunjuk saya kira-kira. Saya ya tidak tahu
[salahnya]. Saya dimasukan tempat pemukulan itu – diikat semua orang-
orang yang diambil itu, pada jam lima sore itu sudah habis urusan dialihkan
ke tempat tahanan, tempatnya di lapangan Bakung, lantas di situ
dimasukkan ke tempat tahanan saya masih diikat – diikat dulu dan
dimasukkan ke tempat tahanan, saya ini dikasih itu lho, ketela godok (ketela
20
Redaktur Skets Masa, Operasi ‘Trisula’ Brawidjaja Menghantjurkan PKI-Gaja Baru, h. 12.
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 185
tengahnya operasi, kalau di muka itu pak tentara saya itu di belakangnya,
terus lantas di belakang saya itu hansip, tentara campur-campur …
Membuat tenda di hutan itu ya diberikan tengah saya ini, jadi kanan kiri
saya itu tenda hansip, tenda tentara itu … Dikasih [makan] sama dengan
tentara, setiap hari itu dikasih tiga bungkus. Rokoknya tiga cepet (batang),
jatahnya tentara sama … Ya bunyinya [radio] kalau saya dengar itu,
‘caprak-caprak badak satu ganti’, ‘ya apa ganti’ gitu … Kira-kira [beratnya]
ada 30 kilo … Saya dikembalikan ke pos sini … Lantas saya dipegang rambut
saya, saya diadukan pada tiang rumah itu … Ya tidak mengerti saya, urusan
apa saya tidak ngerti … Hanya kata-kata tentaranya, ‘Mula’no (makanya)
jangan ikut-ikut PKI, gini ini jadinya.’ Saya diadukan (dibenturkan) ke tiang
rumah itu. Terus hansip-hansip itu, klewang itu, apa, kenthes (baton) itu,
dipukulkan kepada punggung saya, malah saya itu mpun (sudah) luar biasa.
Klewang itu ngerti? Di leher saya itu sudah pernah.
Menurut orang-orang yang saya wawancarai, Angkatan Darat kelihatannya secara rutin
menyiksa para tahanan, termasuk orang setempat yang tidak menjadi bagian dari gerakan
bersenjata PKI. Militer seringkali menahan penduduk dan memaksa mereka mengakui
tempat persembunyian gerilya PKI atau tempat penyimpanan senjata mereka. Salah satu
korban penyiksaan ini adalah Gunarto, seorang penduduk Blitar Selatan.
Saya ndak ditahan, sore suruh pulang. Tapi siangnya itu saya juga dianu,
dipukul sama anu itu lho, tentara yang pulang dari operasi, saya masih
ditanyai, dipukul di sini … Geger (badan) saya ini. Di punggung belakang,
dengan anu itu, pelepahnya kelapa. Ya yang muda itu kan gini, sampai
beberapa hari ini seperti anu itu, ndak gandeng dengan punggung tulangnya,
anu kulitnya. Sakit … [Sebelum dipukul] sempat distrum … supaya ngaku
… Saya nggak punya apa-apa kok ngaku. Yang saya akui apa? … [Alat
setrumnya] itu lho, yang diputer itu … Ini diikat, jempol diikat, suruh kaki
bersilang itu duduk di bawah … [Diikat] pakai anu itu lho, benang. Tapi
ndak dapat anu itu, jadi saya distrum juga, ‘Hau …! Hau…!’ gitu. Ini seperti
anu itu, bulu-bulu itu … Dulu dianu dengan benang, lalu diikat lagi dengan
itu. Lalu itu diputar … Ditanya anu, senjata. Tanyanya juga anu, ‘Kowe wong
PKI? Kowe weruh senjata?(Kamu orang PKI? Kamu tahu senjata?)’
Kula nggih ngaku mboten gadhah napa-napa. Ora nduwe anu kok e.(Saya
mengaku tidak mempunyai apa-apa. Tidak punya anu kok ya.) Ndak punya
apa-apa, ndak punya senjata, nggak ngerti senjata. Juga anu itu, yang
mengaku teman saya. Teman saya ngaku-ngaku tapi ndak tahu. Tapi itu yang
malah diurus, terus-terusan, sampai menemukan temannya itu di Bakung
itu. Yang ndak apa-apa diikut-ikutkan. Katanya tahu di sana tempatnya. Dia
dari hutan kok tahu tempatnya di rumah, di dalam rumah itu, apa
mungkin? … Ya distrum lalu diulangi lagi … Pertanyaannya sama, tapi saya
juga ndak ngaku, ya juga ndak punya … Sakit itu, itu mutarnya itu cepat.
Kalau pelan-pelan itu ndak anu.
Walau tidak selalu disiksa secara fisik, intimidasi terhadap penduduk terus berlangsung
dan menjadi beban batin selama puluhan tahun. Bagi banyak orang, trauma pengalaman
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 187
Pagar Betis
Setelah semua desa yang dianggap rawan dan dinilai berpihak pada PKI berhasil dikuasai
militer dengan menempatkan personel dan mengambil alih kepemimpinan desa, orang
pelarian di Blitar Selatan tidak lagi bersembunyi di desa. Hubungan dengan masyarakat
setempat pun tidak lagi terang-terangan dan leluasa seperti sebelumnya. Mereka
akhirnya bersembunyi di hutan dan tempat yang sulit dijangkau, atau hidup di ruba-ruba
yang baru dibangun. Ruba yang dibangun pun sangat sederhana dan ternyata tidak efektif
untuk bersembunyi. Militer menggunakan taktik pagar betis itu untuk memojokkan
gerilyawan.
Muyatno menceritakan tentang cara kerja taktik tersebut.
Pagar Betis yang jaraknya antara orang satu dan orang lain itu satu meter.
Itu berlangsung lama sekali, lalu kita itu makin selatan, makin selatan, makin
selatan, sehingga kami itu terpepet (terjepit) di lautan. Pada waktu itu banyak
dari kami yang tertangkap, yang lolos cuma sedikit. Sedang orang-orang
penduduk sana itu dikumpulkan tersendiri di satu, apa itu, pendopo
pendatang, pendopo kelurahan. Yang tidak kumpul di pendopo kelurahan
dianggap orang pendatang dan ikut orang, orang PKI. Mereka ikut
tertangkap bahkan juga ada yang dibunuh.
Seorang lain yang terlibat dalam perjuangan bersenjata, Ruslan, menggambarkan
bagaimana ia dan kawan-kawannya dipaksa mundur ke selatan, dan akhirnya terpaksa
menjadikan sebuah gua di dekat pantai sebagai tempat persembunyian terakhir mereka.
21
Jaringan Kerja Budaya, Kumpulan Hasil Diskusi Tahun 2000, h. 127.
188 André Liem
Pagar Betis itu begini. Setelah masyarakat yang tidak lari itu ditampung di
satu tempat, di Bakung, desa dikosongkan. Itu terus desa di Operasi Pagar
Betis, setiap rumah ditengok. Akhirnya ya, mungkin ada nangkap orang
atau tidak saya ndak ngerti. Akhirnya terus ke hutan, ke hutannya juga
begitu. Jadi diantaranya masyarakat yang sudah tertangkap diajak operasi
atau hansip bawaan atau Ansor dan Sakera-Sakera yang dari utara, bawaan
tentara tadi, dibariskan. Dibariskan, potong kompas dengan jarak dekat-
jarak dekat terus, namanya pagar betis, ke selatan semua. Digiring ke selatan,
supaya ngumpul di selatan, akhirnya tertangkap, hasilnya begitu. Ternyata
di situ ya juga ada yang tertangkap, juga ada yang lari, ya ada memang
orang larinya ke selatan semua, ya kena, mati, gitu … Jadi jalan kalau
malam, kalau siang itu takut kalau ada operasi pagar betis ya ngumpet
(bersembunyi) masuk air, ngumpet di gerowongan kayu, kayu yang berlubang
itu di hutan.
Muyatno lalu menceritakan pengalamannya ketika mencoba keluar dari tempat
persembunyiannya dan nekat menerobos kepungan Operasi Pagar Betis:
Operasi Trisula dibawa massa hansip dari bawah, atau massa yang pro-
Soeharto diajak operasi pagar betis. Ha, kita dikirim mepet (dekat) ke laut,
Laut Selatan, kalau sudah nepi ke laut itu kan musti gampang ketangkap. Ha
sekalipun ada pagar betis, tapi banyak di antara kita itu yang bisa
menggunakan peluang-peluang yang sehingga pagar betis itu sudah bisa
diterobos. Seperti saya itu dipagar betis masih bisa lolos ke barat. Itu
memang ya – apa itu, ya keuntungan. Setelah akhirnya tertangkap, tapi
sesama teman-teman yang dulu pernah sama-sama berjuang, ada yang
namanya Bu Andhika itu, ketangkap tanggal 11 atau berapa, saya tanggal
songo likur (duapuluh sembilan), tanggal 29, tahun 69. Ha ceritanya pada
waktu sama Bu Andhika, itu kami kumpul di suatu Gua Parang di dekat
Laut Selatan. Itu Parang kelihatannya juga didapat dari laut … Nah, terus
ada seorang pengkhianat yang keluar dari Parang itu, dari gua itu, mungkin
menceritakan pada pihak Angkatan Darat, pihak operasi itu. Ha kami sudah
terkepung di situ, termasuk Bu Andhika dan sebagainya. Kami masih punya
senjata ya, mereka menggunakan senjata kita lawan dengan senjata dari gua
itu, tapi ya dari satu arah. Lalu dengan senjata mereka, mereka ndak bisa
menghancurkan kita atau menangkap kita, lalu menggunakan helikopter.
Helikopter lewat itu, lewat laut, dan nembaki di situ. Sampai yang namanya
gua itu dulu – apa itu, carang-nya (rantingnya) itu, banyak pohon-pohonan
itu, tumbang semua. Dan mereka masih belum bisa memaksa kita untuk
keluar dari gua. Terus dia sangka kalau dengan demikian mereka ndak bisa
menangkap kita, mereka bikin ngebor, ngebor dari atas. Dari atas, terus
nanti digranat atau apa, dibunuh di situ. Oh pada waktu itu, termasuk saya
ini, yang ikut menentukan, ‘Ini kami di dalam gua ini musti mati, sebab –
tapi kalau keluar dari gua yang ditanya mati atau hidup.’
Terus Bu Andhika pada waktu itu ndak ikut karena dia pindah di dalam
sama anaknya. Ha terus pikiran saya begini, ‘Bagi mereka yang pindah
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 189
karena tidak ada kemampuan kekuatan untuk lari, itu kalau yang lari itu
sudah – sudah apa itu - yang akan lari bisa diketahui oleh musuh – dan
mereka ndak akan ngebom gua ini’. Nah terus, satu kasus dihadapi. Kita
tetap tinggal di gua ini musti mati. Tapi kalau kita melarikan tugas dua ini,
mungkin masih bisa hidup dan berjuang.’ Nah, saya bersama-sama dengan
berapa teman-teman, jam duabelas malam itu naik ke atas. Wah itu sudah,
massa Angkatan Darat sama Hansip, Ansor dan sebagainya sudah
mengepung situ … Tepat pada jam satu dikomando, lari. Sudah lari semua.
Lari sudah nerobos itu barisan – barisan massa, barisan pagar betis. Sudah
itu lah ada seorang pahlawan yang namanya Paryadi, itu dia megang AK,
seorang murid – anak murid. Dia paling akhir, kemudian AK itu menembak-
nembak, sehingga pada perhatiannya Angkatan Darat, pihak operasi itu ke
Paryadi. Lha kami, kami-kami ini, diuber oleh massa rakyat. Saya hampir
ketangkap, tapi masih kuat saya lolos. Ha setelah lolos itu ditembak
dor…door…door! Ditembak dari belakang, terus saya pura-pura
nggelundhung (menggelinding) itu. ‘Rasain mati lo!’ Diuber, terus saya bisa
melewati massa, massa pagar betis. Saya dengan beberapa teman bisa lolos.
Seperti disebutkan dalam kutipan di atas, orang yang berada di gua bersama Muyatno
adalah Ibu Andhika. Ia menggambarkan bagaimana ia dan anaknya terus masuk ke
dalam gua untuk menyelamatkan diri dari serangan militer:
Ha, terakhir setelah kena pendadakan itu, jam dua siang, kita lapar sekali
cari makanan gitu lho, keluar gua dengan teman-teman itu. Lalu ada teman
yang tertembak, sekarang masih ada itu, kena jeren itu namanya Warsimin.
Sekarang masih jadi saksi itu … Pendadakan he-eeng. Saya dengan Soeroso
itu, anak Angkatan Laut yang desersi. Itu naik, jadi semua lari, kan kita di
jundangan gitu, pokoknya di lembah, itu ada gunung yang terjal itu, kita
naik ke atas itu. Lalu saya mundur, tapi merangkak, suruh Suroso itu ke
depan gitu, selisih barang kali dua meter dengan kepala saya kakinya itu.
Lalu ada pembersihan dari tentara yang, pokoknya tentara yang akan
mengepung kita itu. Kan teman-teman, kan kita nggerombol cari makanan
itu, itu kan ketahuan tentara yang operasi … [Tentara] di ujung sana gitu
tadinya, di atas lembah sana. Tahu itu kan terus datang, mendatangi ke arah
kita, itu anak saya yang masih hidup di Jambi itu, itu lari ke mana saya ndak
tahu, saya dengan Soeroso itu naik yang terjal itu, saya mengikuti. Ha,
setelah di atas, Dik Roso itu ke depan, saya mundur, pokoknya abstan-nya
(afstaand, jarak) satu setengah meter atau kurang lebih dua meter. Itu lalu
ada pembersihan tentara yang dari bawa dreeeel, deeel, dreeel, tembakan
pokoknya barang kali di situ masih ada orang begitu ya, itu yang kena
Soeroso itu … Jadi manjat begini ya, terjal manjat, saya ke sini, situ ke sini
ya to, lalu tembakan draaal, draaal, draaal, dari bawah, dari lembah itu.
Kita kan ada barang-barang di situ, kita ada bawa bentis, soal makanan,
singkong mentah, gitu. Ya hanya dua, satu gitu dapat makanan belum
dimakan itu. Jadi, lalu ada tembakan, saya dengar napas, ‘hhheegggrrr’ tiga
kali. Eh, Dik Soeroso itu meninggal. Setelah kita lihat, tengok sana, tengok
190 André Liem
Saat keluar dari gua dan menjadi tahanan militer, ia menyaksikan beberapa kawannya
ditembak oleh militer. Ibu Andhika melanjutkan kisahnya:
Saya tertangkap di Gua Gayas. Pada waktu itu warga yang masuk. Orang-
orang itu melihat ada kaki perempuan. ‘Orang perempuan, keluar!’
‘Kalau mau ditembak, ditembak saja dari luar,’ kata saya. ‘Kalau mau
dimatiin, tembak saja dari luar.’
‘Oh, ndak. Ndak dimatiin. Keluar!’
Lalu saya keluar. Itu ndak dimatiin. Anak saya masih di dalam, lalu ada lelaki
yang kena dulu memang. Jadi yang melaporkan bahwa ada temannya, itu
lelaki yang ketangkap duluan. Karena dia mau masuk ke tempat saya itu
tahu ada kaki saya, kaki wanita. Karena gelap saya nggak tahu dia. Tahu saya
namanya Pak Seran. Orangnya kurus, bentuknya itu saya masih ingat. Lalu
ditembak di situ lalu dibuang ke laut. Yang menembak itu, ya tentara. Tapi
siapa saya nggak jelas dari kesatuan mana. Saya nggak hapal anunya, saya
ndak sampai melihat. Pak Seran itu kan keluar dulu, lalu bilang kalau masih
ada orang perempuan di dalam, gitu. Jadi kan masuknya dulu orang
sembilan, katanya rakyat. Itu dapat orang laki-laki, ya Pak Seran itu. Lalu
Pak Seran ditanya, ‘Apa masih ada teman-temannya?’
‘Saya ada, itu seperti kaki wanita di lubang yang satunya,’ gitu. Lalu saya
dipanggil, suruh keluar dan dia itu ditembak di samping saya. ‘Ini teri,
tembak!’ Pak Seran itu ditembak di kepalanya, dekat ubun-ubun pake pistol.
Waktu itu posisinya jongkok karena sedang sakit. Dia hanya pakai celana
pendek dan kaos. ‘Ah, ini teri. Ini kakap,’ gitu. Terinya ditembak, ‘Tar!’ terus
dilempar ke laut.
Menurut Ibu Andhika, istilah ‘kakap’ (orang besar) dan ‘teri’ (orang kecil) digunakan
sebagai petunjuk. Dalam Operasi Trisula ‘kakap’ yang tertangkap dianggap berharga
karena dibutuhkan untuk dikorek keterangannya. Mereka tidak langsung dibunuh di
tempat. Dari mereka biasanya diperoleh keterangan. Orang-orang ini biasanya
dikonfrontasi dengan ‘kakap-kakap’ yang lain untuk mencocokkan keterangan.23 Dengan
cara itu, militer membongkar jaringan ruba dan gua yang digunakan oleh para pelarian
dan mulai melakukan pengepungan.
Lokasi Blitar Selatan yang terkurung oleh laut sebenarnya menjadi masalah bagi PKI.
Saat diserang, tidak ada tempat melarikan diri lagi. Pemilihan Blitar sendiri sebagai lokasi
bersembunyi bukan melulu karena pertimbangan strategis. Rewang mengenang:
Kalau aksi seperti Blitar Selatan itu misalnya dilakukan di Sulawesi, mungkin
akibatnya tidak separah Blitar. Karena Sulawesi itu wilayahnya luas sekali,
luas sekali. Daerah manuvernya juga luas, cukup bagus. Sehingga misalnya di
sini ada aksi, terus dicurigai ini ada pencuatan-pencuatan kekuatan.
Dilakukan operasi masih bisa bergerak ke lain tempat. Tapi di Blitar Selatan
ternyata dikurung begitu ndak bisa keluar. Dikepung kira-kira 13 ribu
23
Kolonel Acub Zainal menggunakan istilah ‘kakap’ dan ‘teri’ untuk menggambarkan hasil operasi anti-PKI di
Surabaya pada 1968. Redaktur Skets Masa, Operasi ‘Trisula’ Brawidjaja Menghantjurkan PKI-Gaja Baru, h. 36.
192 André Liem
kekuatan bersenjata TNI sama Hansip. Setiap 50 meter itu satu pos-pos itu,
pagar betis artinya. Ini taktik menghancurkan DI [Darul Islam] digunakan
untuk menghancurkan Blitar Selatan. Lha, ini seandainya terjadi di
Kalimantan atau Sulawesi, mungkin tidak akan sefatal Blitar.
Gerakan perlawanan itu semakin rapuh menghadapi operasi pagar betis. Perlawanan
hanya berlangsung singkat, itu pun atas inisiatif beberapa orang saja, bukan sebuah
keputusan yang jelas dengan struktur yang kuat. Strategi yang coba diterapkan para
pemimpin kompro di Blitar Selatan maupun jaringan lainnya morat-marit dalam waktu
singkat, yang membuktikan bahwa gerakan kompro itu masih sangat lemah.
foto-foto di Sanggrahan itu banyak, saya tidak tahu untuk penangkapan itu,
katanya dulu di lapangan itu banyak orang yang dikudungi tikar dan
sebagainya, ya saya tidak tahu. Di rumah saya ada yang ngeringkuk mati
disetrum, saya tidak tahu, katanya orang perempuan itu ada.
Saya waktu itu termasuk enak, saya bekerja membangun sekolahan. Tapi
kawan-kawan kita banyak yang disetorkan ke ilik-ilik (aparat desa)
Suruwadang dan sebagainya, mau bikin jalan … [Membangun sekolah] kira-
kira satu bulan lebih lah. Bahan bangunannya kayu jati dari Dolok dan
sudah disediakan dan saya tinggal mengerjakan. Untuk mengerjakan itu
dengan teman-teman campur. Campur yang eks tapol dan yang tidak …
Dulu dapat upah, tidak dapat makan, tapi upahnya paling, ya sederhana
banget lah … [Upahnya] harian … Lupa itu, dulu masih ripisan (recehan)
lah, masih rendah dalam perhitungan uang … Teman-teman ini banyak yang
dikerjakan kemana-mana, tapi khususnya saya terus berkecimpung di
pertukangan, tukang kayu.
Gerakan perlawanan yang dibayangkan sebagian orang pun kandas. Sebagian besar
pemimpinnya, seperti Oloan Hutapea, tewas dibunuh sementara lainnya disekap di
penjara selama belasan sampai puluhan tahun. Mereka yang dianggap ‘terlibat’– oleh
sesama tahanan disebut ‘pasukan gundul’– dikerahkan untuk bekerja di proyek-proyek
pembangunan pemerintah dan terus mengikuti indoktrinasi tentang kejahatan dan
kekejian PKI.24
Di antara ‘pasukan gundul’ juga terdapat penduduk yang tidak punya kaitan apa pun
dengan gerakan perlawanan. Sebagian dari mereka menerima upah yang sangat kecil
jumlahnya. Bagi mereka, situasinya tidak jauh berbeda dari heerendiensten di zaman
Belanda atau romusha di zaman Jepang.
Gunarto, salah seorang penduduk yang pengalamannya ketika disiksa telah kita lihat di
atas, mengatakan bahwa dia dikerahkan untuk kerja paksa pada 1968 dan selama
beberapa tahun selanjutnya.
Lalu setelah sore, lalu disuruh pulang dengan wakil komandan itu …
[Namanya] Badrun, Pak Badrun. Lettu … Disuruh pulang, ‘Ndak apa-apa
wis sudah pulang.’ Tapi saya dipotong rambutnya di tengah sini (menunjuk
ke kepala bagian atas), lalu sini [ketawa]. ‘Besok anu, cukur gundul!’ …
Setelah itu ndak apa-apa lagi saya … Kalau wajib lapor itu selama berapa
tahun itu, sampai pemilu. Pemilu itu, jaman Soeharto itu. Pemilu pertama itu
masih anu, sampai 77 itu masih wajib lapor … Dulu itu seminggu sekali. Di
sana juga anu, katanya sana aku karo mlaku-mlaku (sambil jalan-jalan)
bawa teken (tongkat), usuk githok (kaso). Dulu itu [bawa] kaso kalau [ke]
sana … Ya untuk teken(tongkat), tapi untuk bangunan sana … Ya untuk
nyumbang. Ya suruh bawa … Diharuskan membawa … Entah kayu apa itu,
saya buat juga saya bawa ke sana.
[Melapornya ke] Bakung … Jalan kaki … Jauhnya sih tiga kilo, tapi
24
Kodam VIII Brawijaya, Operasi Trisula, h. 206.
194 André Liem
Pembantaian
Militer yang dipimpin Soeharto mendapat pembenaran hukum dan moral untuk
menghancurkan PKI di Blitar Selatan karena adanya gerilya bersenjata di wilayah itu.
Bagi tentara, operasi pembasmian itu adalah perang, karena ada dua kelompok
bersenjata yang ingin mengalahkan satu sama lain. Walaupun pihak gerilyawan jauh
lebih lemah, tetap tidak ada yang salah dengan operasi TNI di Blitar Selatan. Operasi itu
secara teori sama seperti operasi melawan DI/TII dan PRRI/Permesta pada 1950an dan
1960an. Tapi yang tidak dapat dibenarkan dari Operasi Trisula adalah kejahatan yang
dilakukan militer selama operasi berlangsung. Setiap orang bersenjata yang terlibat
dalam perang, terlepas apakah itu pasukan pemerintah atau pemberontak, terikat pada
aturan-aturan perang tertentu. Salah satu perangkat aturan yang terpenting adalah
perlakuan terhadap tawanan perang. Seperti telah kita lihat di atas, pihak militer saat
memerangi gerilyawan PKI di Blitar Selatan memperlakukan tawanan dengan buruk.
Beberapa di antara mereka disiksa dan dipaksa bekerja tanpa upah. Kejahatan lain yang
belum saya gambarkan adalah pembunuhan terhadap tawanan perang.
Di Blitar Selatan, saya mendengar cerita tentang beberapa pembunuhan massal yang
dilakukan oleh militer. Korbannya adalah orang-orang yang sudah ditahan sebelumnya.
Salah satu cerita itu disampaikan Paijo, penduduk Blitar Selatan waktu itu:
Saya dikumpulkan lagi, orang laki-laki itu kan ada sebelas orang
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 195
[Saya] ndak kena itu, karena saya itu invalid (cacat) ini lho. Invalid itu
didakwa tentara itu ndak ikut-ikutan … [Setelah ngubur] pulang. Setelah
pulang, datang di pos itu. Rumahnya Pak Gun itu kan untuk pos itu. Saya
habis itu pulang ke rumah saya sendiri. Tapi ya suruh ngantarkan tentara itu,
saya pulang ke rumah saya sendiri. Ndak berani kalau malam berjalan
sendiri, lantas saya datang ke rumah ya, lantas anu, ngaso (istirahat) …
[Tentaranya] ya hanya di anu itu, ‘Jangan bicara apa-apa, kalau bocor ya
orang sebelas ini saya tangkap.’ … Ndak, ndak pernah saya [cerita-cerita],
ndak pernah. Karena anak saya itu setelah selesai di bangku sekolah itu lantas
pergi semua mencari pekerjaan sendiri-sendiri. Sampai sekarang ini anak
saya itu, lima itu ndak ada yang di rumah kalau tidak hari raya … Waktu itu
ya, kalau menangisnya ndak menangis, tapi pikiran ini takut, keronto-ronto
(menyayat hati). Terharu … [Diantara yang dibunuh itu] iya kawan sendiri
… [Kenal] baik, ya namanya kalau ludrukan itu kan situ yang main saya
yang nabuh itu.
Maryono, yang juga ikut menggali lubang untuk 40 orang itu, dalam kesempatan
terpisah menceritakan hal yang sama. Ingatan keduanya sangat kuat sampai ke hal-hal
yang sangat detil:
Itu ada orang PKI yang dibawa ke Ngrejo sini, yang akan dibunuh. Kalau
ndak salah yang sebanyak 40 orang itu. Nah, itu yang ngrumat (merawat) ya
bala (teman) saya orang sebelas. Waktu itu Pak Paijo, saya sendiri, terus yang
lainnya sudah ndak ada, sudah mati. Sudah itu, saya ditodong dengan
tentara itu supaya mbantu tentara, mbantu maksudnya mbantu ngrumat
bangke (merawat mayat) 40 [orang] tadi – mayat-mayat yang sudah
dibunuh pak tentara tadi … [Orang-orang PKI] masih ditumpakkan
(dinaikkan) truk, dibawa ke pinggir lepen (kali), di sana ditembak … Itu
bukan dengar tapi ya tau. Tahu sendiri maksudnya. Sudah ada di situ, saya
dibawa ke situ, lalu yang dibunuh itu ya saya tau sendiri. Ditembak …
Sebagian kenal, yang banyak tidak … Yang saya kenal ya, sing (yang) banyak
orang Ngrejo. Kalau orang lain daerah, ya saya belum kenal … Yang saya
kenal kalau ndak keliru namanya Sani, Senen Parjono, terus Wagimin, Suro
Kempleng, terus Gentong, Kamto, Sonto … Kalau [alasan ditembak] itu
saya ndak ngerti. Tapi sasarannya yang pokok, adanya dibunuh dan
ditangkap itu, sasarannya itu kan dianggap orang PKI. Mestinya gitu.
Soalnya nangkapnya itu saya itu ndak mengerti … Ya saya amati ya
kebanyakan ya orang tani … Waktu itu mestinya [organisasinya] ya itu, ya
anu kuwi (itu), PKI kuwi ya … Saya sendiri ya belum puas, ndak ngerti kalau
itu BTI kah, apa itu PKI. Tapi ternyata yang menjadi korban ya orang-orang
itu. Maksud saya itu …
Di waktu itu saya sendiri itu di sungai, di kali itu lho. Terus suaranya yang 32
[orang] itu ditembak semua. Nyatanya yang luka itu yang banyak sini, dada
sini. Kalau di sungai itu delapan [orang]. Soalnya kan jadi dua bagian lah,
yang delapan itu dikembalikan ke gua, kalau yang 32 itu saya beri lubang,
dua lubang. Yang dirumat (dirawat) … Tentaranya itu ya boleh dikatakan
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 197
sebagian 511, sebagian lek dhoreng kuwi iku apa to kesatuan ne, apa 512?
(sebagian kalau yang loreng itu apa ya kesatuannya, apa 512?) – yang
dhoreng satu regu, yang 511 satu regu … Kalau perempuannya kok tidak
ada. Laki-laki semua … Ya masih muda ya ada, yang tua ya banyak. Tapi
kebanyakan yang tua … Yang banyak itu sudah diberi tanda-tanda dadanya
itu diselempang merah, ya. Tapi kebanyakan sudah ndak memakai,
maksudnya apa ini – baju … Waktu belum ditembak itu ndak boleh dekat …
He-eeng, tembakan itu dengar … Yang nembak ndak tau. Saya kan di sungai,
yang ditembak itu kan di atas sana. Jadi saya ndak mengerti masalah yang
nembak berapa-berapa. Tapi nyatanya suaranya itu suara tembakan ramai,
gitu … Terus ditodong, dengan tentara yang regu lain itu nodong orang
yang sebelas itu … Umpamanya di atas ya terus diikuti dengan pak tentara
dan ditodong, tidak dibiarkan saja. Kalau dibiarkan ya lari ya, kalau
dibiarkan …
Nah [saya] di waktu berjalan ya jalan, nanti datang sungai, jongkok semua
… Kalau tangan [saya] tidak diikat, tapi terus ditodong dengan pak tentara,
disuruh jongkok. Nanti kalau ndak ditodong terus, kan nyamar – melayu
(lari) maksude (maksudnya) – gitu. Sedangkan mengubur mayat-mayat itu
ditodong terus sampai selesai itu ditodong terus. Tidak sampai dibiarkan
dengan tentara itu … [Perintahnya tentara]
‘Kowe gelem bantu ABRI apa ora?’ (Kamu mau bantu ABRI atau tidak?)
‘Purun Pak.’ (Mau Pak)
‘Lek gelem bantu ABRI, ngenteni niku.’ (Kalau mau bantu ABRI tunggu itu)
Kula ditodhong wonten lurung mriki takiyan kula. Ditodong mriki kira-kira
dangune seperapat jam. Sing ajeng dibunuh dibeto teng kali, niku kula ken
ngetutno teng burine ditodong. Sampe dugi sungai diberondong, saya datang ke
sungai jongkok, carane ngenteni leh mateni maksude. Ngenteni leh mateni
kuwi mau, bareng wis mati kon njenggelek meneh, ngrangkuli sing mati-mati,
nglebokno ning jero ruba – sing nglebokno ruba aku, Mas. Sampe selesai orang
delapan. Selesai orang delapan kon munggah to, golek pacul dingge gawe
lubang, rong lubang nggih ngubur meneh wong sing 32. (Saya ditodong di
lorong sini. Ditodong di sini kira-kira selama seperempat jam. Yang akan
dibunuh dibawa ke kali. Itu saya disuruh mengikuti sambil ditodong dari
belakang. Sampai di tempat diberondong. Saya datang ke sungai, jongkok.
Istilahnya disuruh menunggu bagaimana caranya mati maksudnya.
Menunggu kapan matinya itu tadi. Setelah mati disuruh bangun lagi,
memeluk yang mati-mati. Memasukkan ke dalam ruba, yang memasukkan ke
dalam ruba aku, Mas. Sampai selesai orang delapan. Selesai orang delapan
disuruh naik, cari cangkul untuk membuat lubang. Dua lubang untuk
mengubur yang 32 orang lagi.)
Delapan itu sudah saya masukkan ke dalam gua dekat sungai. Guanya dekat
sungai, tapi yang 32 orang itu di atas sana, di sawah atas itu … Selesai yang
delapan itu saya ke atas mencari cangkul, membuat lubang – dua lubang.
198 André Liem
Jadi, 32 orang itu saya jadikan dua lubang – ndak satu lubang, dua lubang
… Ya di waktu itu lihat [mayatnya], Mas … Antara mayatnya itu ya tiga
meter lah dengan lubangnya itu … Ya sambil ditodong terus. Sampai selesai,
itu pulang saja masih ditodong dengan pak tentara sampai datang di rumah.
Ya, yang melakukan [penguburan] 11 orang … [Tentaranya] melihat.
Hanya nodong saja tentaranya itu. ‘Hayo ndang diselesekne lak wengi!’ (Hayo
cepat diselesaikan nanti kemalaman). Selesainya kalo ndak keliru jam tujuh
malam, selesai sudah peteng (gelap) … Oh, [saya] dengar ya tapi, aduh.
Kalau yang namanya entah ndak tau, sudah saya – apa itu – pendam itu,
masih ada yang bicara, ‘Jangan menyia orang PKI. Orang PKI makin hidup
yang sempurna.’ … Ya entah ndak tau, sudah saya kubur … Kira-kira apa
hidup apa tidak, itu ndak tau, tapi masih ada yang sombong gitu. ‘Jangan
menyia orang PKI. Orang PKI makin hidup, makin lama makin hidup yang
sempurna.’ Malah saya, ‘Masih bicara pak.’ ‘Sudah diurugi (ditimbun) saja!’
tentaranya itu … ‘Masih ada yang bicara Pak.’ Niki nggih tapuk kula getih
thok pak. Getih thok niki kula damel napuk cangkem. Darah. (Ini telapak saya
darah semua pak. Darah semua ini saya pakai untuk menampar mulut)
‘Sudah diurugi saja!’ tentaranya gitu … Ya terus, sampai selesai. ‘Pripun Pak,
mpun mantun.’ ‘Mpun Pak, mpun mantun adus teng ngriko.’ Disenteri to,
byur-byur. Iki banyune banyu banjir, kon ngge adus. Niki dalam kenyataan dan
nyoto, Pak. (‘Gimana Pak, sudah selesai.’ – ‘Sudah Pak, ya sudah mandi di
sana.’ – Disenteri, byur-byur [bunyi air mandi]. Itu airnya air banjir,
disuruh pakai mandi. Ini dalam kenyataan dan nyata, Pak) …
Sudah itu sekitar jam tujuh malam, selesai itu orang sebelas itu disuruh
pulang, ditodong dengan pak tentara itu supaya pulang ke rumahnya
sendiri-sendiri. Pak Paijo ya pulang ngriki (ke sini). Saya pulang ke rumahnya
Mbah Sajinah. Kumpul di situ ndak berani, apa itu, di rumahnya sendiri-
sendiri ndak berani. Kalau kelompok saya itu di rumahnya Mbah Sajinah,
kumpul. Sebelas orang dengan isteri, dengan ibu, itu ya ada 15 orang …
Sebelum pulang, ‘Pak kamu jangan bicara apa-apa. Yang nanya siapa, jangan
ngaku kalau kamu itu disuruh ngubur orang sekian banyaknya ya. Kalau
kamu bicara nanti kamu saya tembak sendiri,’ gitu kata pak tentara, yang
dulu dipesan begitu dengan pak tentara … Perasaannya ya wedi, takut terus.
Di rumah takut, makan ya ndak mau, soalnya ya jenenge konceh getih, ya
ngono kae. (namanya berlumuran darah, ya begitu itu) … Sekaligus belum
berani. Kalau lain hari, lain hari itu berani cerita dengan isteri itu. Tapi,
kalau sekaligus belum berani. Kalau, yaitu, janji dengan tentara kalau
bilang-bilang siapa pun, akan ditembak sendiri, jadi sini tutup mulut ndak
berani bilang.
Cerita dari Paijo dan Maryono ini mengenai pembantaian terhadap 40 tahanan. Ada
beberapa pembantaian lain yang juga saya dengar. Tapi, saya tidak mengumpulkan cerita
yang sama rincinya seperti cerita mereka di atas. Kita perlu melakukan penelitian lagi
untuk mengumpulkan cerita-cerita mengenai kejahatan perang yang dilakukan oleh
militer dan memetakan semua kuburan massal yang ada.
Perjuangan Bersenjata PKI di Blitar Selatan dan Operasi Trisula 199
Selatan karena perbuatan militer: penyiksaan, kerja paksa, dan pembunuhan. Angkatan
Darat menganggap semua penduduk wilayah itu sebagai musuh, dan karena itu
memperlakukan mereka sebagai musuh pula. Walaupun mengklaim diri sebagai
pelindung, yang dilakukan adalah sebaliknya: menyerang penduduk. Seperti yang kita
baca dalam masa setelah 1965, Angkatan Darat tidak pernah belajar tentang cara
menggelar operasi anti-gerilya yang bisa memperoleh dukungan dari penduduk setempat.
Cerita para korban mengungkapkan bahwa Angkatan Darat gagal memenangkan hati
dan pikiran rakyat Blitar Selatan. Lebih banyak cerita semacam ini kita perlukan untuk
memahami apa yang sesungguhnya terjadi dalam sejarah Indonesia modern. Cerita para
korban dan saksi tidak semata melengkapi penulisan, tapi juga memberi perspektif baru
bagi kita mengenai masa lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang.
Daftar Wawancara
1. Ibu Andhika, Blitar, 26 Juli dan 8 Desember 2000
2. Gunarto, Bllitar, Maret 2001
3. Maryono, Blitar, Maret 2001
4. Muhaimin, Blitar, Maret 2001
5. Muyatno, Blitar, 12 Desember 2000
6. Paijo, Blitar, Maret 2001
7. Rewang, Solo, 19 Juli 2000 dan 27 Juni 2001
8. Ruslan. Blitar, Maret 2001
9. Sugondo, Blitar, Maret 2001
10. Wagiman, Blitar, Maret 2001
202 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
Gumelar adalah seorang seniman yang menjadi tapol di bawah rezim Soeharto. Lahir
pada 1943 dan besar di Magelang dan Jakarta, ia belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia
di Yogyakarta pada awal 1960an. Ketika masih mahasiswa, ia bergabung dengan Sanggar
Bumi Tarung, tempat banyak seniman muda berbakat bekerja, seperti Amrus Natalsya
dan Joko Pekik. Ia kembali ke Jakarta pada 1964 dan bekerja di studio seni Panitia Negara.
Studio ini bertanggung jawab untuk mendekorasi ruangan tempat upacara-upacara resmi
diselenggarakan dan melukis foto-foto tamu-tamu negara yang berkunjung di panel-panel
raksasa yang didirikan di jalan-jalan utama.
Sebagai seniman yang tidak memiliki hubungan erat dengan Lekra, apalagi PKI, Gumelar
tidak melihat ada alasan kuat untuk bersembunyi selama penangkapan massal yang
berlangsung di akhir 1965. Ia tetap bekerja di Panitia Negara meski beberapa seniman
yang ia kenal ditangkap. Ia tidak mengganti namanya atau pindah ke alamat lain. Ia
melanjutkan hidup sebagaimana biasanya. Begitu studio Panitia Negara ditutup pada
1966, ia menjadi pengangguran. Melalui seorang teman di daerah Setiabudi, ia
memperoleh pekerjaan di Gedung Kebudayaan Uni Soviet di Jl. Diponegoro. Ia bekerja di
sana selama dua tahun tanpa menghadapi masalah apa-apa. Kehidupannya yang tenang
tiba-tiba dihancurkan sama sekali ketika ia dijemput dari rumahnya pada November
1968 oleh tentara. Satu-satunya ‘bukti’ yang dipakai untuk mempersalahkan dia adalah
ucapan seorang kenalan yang melontarkan namanya ketika disiksa. Selama sebelas tahun
berikutnya ia ditahan tanpa dakwaan, terutama di Penjara Salemba dan Pulau Buru.
Sekarang, Gumelar hidup bersama istrinya yang juga pelukis, Sarah, di Jakarta, dan
masih tetap melukis.
Sketsa-sketsa di bawah ini menggambarkan suasana dari tahun-tahun pemenjaraan yang
dia lalui. Teks yang mengikuti sketsa-sketsa ini ditulis kembali berdasarkan wawancara
kami dengan Gumelar.
203
SKETSA GUMELAR
1.
Saya ditangkap pada Desember 1968. Saya dijemput di rumah kira-kira jam 11 malam
dengan jip tentara. Di dalam jip itu sudah ada teman saya yang menunjukkan
keberadaan saya, padahal saya tidak pernah berurusan dengan kegiatan politik apa
pun. Saya tidak menyalahkan dia. Memang pada waktu itu semua tahanan terpaksa,
karena siksaan, menunjuk orang lain. Saya dibawa ke rumah tua ini di Gunung Sahari
dan ditahan sampai 8 bulan. Tentara mengambil rumah ini dari seorang Tionghoa yang
menyewakan becak. Mereka menggunakannya sebagai markas ‘Operasi Kalong’
dengan komandan Mayor Suroso.
204 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
2.
Ada kira-kira 120 orang yang
ditahan di rumah interogasi
ini bersama saya. Penuh.
Satu kamar kecil saja dihuni
12 orang. Kami tidur di lantai
seperti ikan sarden. Saya
ditugaskan memasak air tiap
malam, dari jam 12 sampai
jam 5 pagi, dan membagikan
air minum. Orang-orang ini
ditahan dengan alasan yang
bermacam-macam, tapi
banyak yang tidak tahu apa-
apa, seperti salah satu haji
yang berzikir terus tiap
malam.
3.
Waktu saya diinterogasi ada seorang wanita yang disetrum. Saya kagum terhadap dia karena dia
tidak goyang. Dia tetap tenang. Hebat perempuan ini. Saya tidak tahu bagaimana dia bertahan.
Yang lain kalau disetrum, langsung tumbang. Saya sendiri terkencing-kencing waktu disetrum.
Saya lama disetrum dan dipukuli karena ada yang menganggap saya banyak tahu. Mereka tidak
percaya bahwa saya tidak punya jaringan. Tujuh orang memukul saya, ramai-ramai, sampai saya
bilang, ‘Apa yang Bapak inginkan dari saya tulis sajalah.’ Saya sakit sampai babak belur dan
berdarah-darah. Sebagai interogator, selain tentara, ada beberapa oknum-oknum CC PKI.
Umumnya, mereka terpaksa melakukan hal ini karena tekanan luar biasa. Tapi, ada satu eks-CC
yang kejam sekali, sampai dia dapat pangkat kapten dari tentara.
Sketsa Gumelar 205
4.
Ada seorang perwira polisi yang jadi
tahanan politik juga. Jagoan benar
dia, secara fisik. Tapi waktu
disetrum, jatuh dia, ‘blak!’ Biasanya,
kabel alat setrum dipasang di ibu jari
yang sudah diikat. Alat itu manual,
diputar dengan tangan. Orang mau
tidak mau mengaku kalau sudah
dibegitukan. Saya mengaku juga,
tapi masih punya akal. Saya sebut
nama orang yang saya tahu sudah
ditangkap. Di dalam kamar
interogasi, selain penanya, biasanya
ada tukang pukul (figur di sebelah
kiri). Otaknya tidak ada, kalau
disuruh, dia langsung laksanakan
tugas. Komandan tukang pukul di
sana, seorang Sersan Mayor
RPKAD, namanya Bob. Tinggi, besar
dia. Waktu kami pulang, kami lihat
dia jadi tukang parkir di Glodok.
Nasib baik banget!
5.
Setelah delapan bulan di Markas Kalong, saya dipindah ke
Kodam Jaya di Lapangan Banteng dan ditahan di sana selama
21 hari. Setelah itu saya dipenjara di Salemba selama 14 bulan.
Di Salemba, saya ditempatkan di Blok L. Tapol lain di blok ini
sudah mendekam di sana sejak 1965. Pakaian mereka
compang-camping dan penuh kutu. Tubuh mereka jamuran dan
budukan (kurapan). Baunya bikin orang mau muntah. Awalnya
saya tidak bisa tahan tapi lama-lama jadi biasa dan tahan juga.
206 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
6.
Nusakambangan, 1970. Saya
dipindah dari Salemba ke Pulau
Buru akhir 1970. Rombongan
tapol yang pertama dikirim ke
Buru, 1969. Saya masuk
rombongan kedua. Kami pertama
dibawa dengan kereta api ke
Nusakambangan, penjara pulau di
lepas pantai Cilacap. Penjara itu
jadi tempat transit sebelum naik
kapal ke Buru. Di pulau itu ada
tujuh penjara yang terpisah. Salah
satunya disebut Gliger. Saya
ditahan di sana selama tiga bulan.
Petugas di sana sangat
tradisional, kayak kembali ke
zaman kolonial. Bangunan
7.
memang dari zaman itu, tidak ada
Di Nusakambangan, kondisi fisik
renovasi.
para tapol sangat cepat merosot
karena jarang ada kiriman dari
keluarga. Saya masuk kamar, kira-
kira 12 m x 5 m, yang kapasitas
resminya sebetulnya 25 orang.
Tetapi ternyata diisi dengan 125
orang. Kami tidak bisa tidur. Mandi
pun seminggu dua kali. Di dalam
penjara itu ada sumur yang tidak
berfungsi lagi. Mandinya di luar.
Ada sebuah mata air yang berjarak
kira-kira satu kilometer lewat jalan
setapak. Kesempatan kami bukan
untuk mandi, tetapi untuk cari
makanan.
Sketsa Gumelar 207
8.
Nusakambangan, 1970. Dalam
rombongan kedua ke Pulau
Buru, ada sekitar 5.000 tapol.
Kami dikumpulkan dalam
kelompok-kelompok kecil untuk
naik perahu ke kapal besar.
Kapal yang bernama Tobelo ini
setidaknya beberapa kali
pulang-pergi dari
Nusakambangan ke Buru. Saya
tidak merasa sedih maupun
gembira saat berangkat ke
Buru. Kami tidak tahu apakah
keadaan di sana akan lebih baik
atau buruk. Apalagi, kami tidak
punya pilihan lain kecuali ikut
perintah.
9.
Unit 4, Pulau Buru. Saya ditempatkan di Unit 4, yang disebut
Savanajaya. Ada sepuluh barak di unit itu (dibangun oleh tapol
yang datang lebih dulu). Setiap barak menampung 50 orang, jadi
seluruhnya ada 500 orang. Dalam sketsa ini, di sebelah kiri
gerbang adalah pos penjagaan. Ada peleton yang beranggotakan
dua belas tentara, yang disebut tonwal di sana. Di sebelah kanan
gerbang adalah wisma untuk komandan unit.
208 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
10.
Saat tiba, tanah di sana belum diolah. Kami harus membersihkan lahan, bikin
pematang sawah, dan membangun saluran irigasi. Komandan unit memilih seorang
tapol menjadi koordinator kerja. Koordinator ini akan bekerja sama dengan sepuluh
kepala barak untuk memutuskan pembagian kerja. Beberapa tapol bekerja di ladang,
lainnya di dapur, dan ada juga yang di hutan. Setiap pagi kami apel pukul 06.00 lalu
kerja di luar sampai pukul 06.00 sore. Di sawah, kalau tidak ada pengawas kami diam
saja. Kalau dia mulai datang, ada kode, seperti, ‘lalat hijau, lalat hijau,’ itu berarti
tentara datang. Kami kerja lagi. Karena beras yang kami makan berasal dari sawah ini,
maka kami pun terpaksa kerja. Tapi, kami tidak mau bekerja dengan aturan yang
ditetapkan tonwal.
11.
Beberapa tapol bekerja di hutan menebang pohon meranti dan membuat
papan. Pekerjaan itu sulit dan berbahaya. Kayu itu lalu dijual oleh tentara
dan tapol hampir tidak mendapat apa pun dari hasil kerjanya. Tapi,
kadang-kadang, ada tapol yang menyembunyikan papan itu dan
menjualnya sendiri. Mereka bisa mendapat uang banyak dari berjualan
minyak kayu putih. Di sana juga ada pasar gelap.
Sketsa Gumelar 209
12.
Setiap unit punya dapur yang akan memasak makanan bagi seluruh unit,
biasanya nasi, sayur rebus, dan ubi. Dapur umum langsung dapat jatah dari
pusat di Namlea: beras, untuk satu warga, sekian; minyak tanah, sekian.
Karena kami pelan-pelan mulai menanam tanaman sendiri dan memelihara
ayam, tiap barak dan tiap individu juga bisa, istilahnya, upgrade
(meningkatkan mutu) makanan dari dapur umum. Ada tapol yang malam-
malam menyelinap keluar untuk mengumpulkan kelapa. Kalau menemukan
satu cabe liar saja, gila bukan main. Di gunung-gunung di dekat kamp, kami
berburu babi liar, kijang, dan ular.
13.
Saat jam makan di barak.
Kami agak ragu bicara dan
mengungkapkan perasaan
karena khawatir ada rekan
tapol yang jadi informan
untuk komandan unit. Kami
hanya bicara soal-soal di
dalam kamp sendiri. Hampir
semua tapol di sana orang
Jawa, sehingga bahasa Jawa
jadi bahasa yang lebih sering
dipakai daripada bahasa
Indonesia.
210 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
14.
Pada 1972, beberapa orang istri dan
anak-anak tapol tiba di Pulau Buru.
Sebenarnya pemerintah bermaksud
mengirim semua keluarga mereka ke
Buru dan menahan para tapol di sana
selamanya. Tapi, hanya ada beberapa
keluarga yang datang. Di Unit 4, kami
membangun rumah-rumah bagi
mereka yang datang. Kami
menyiapkan 250 rumah. Begitu
keluarga-keluarga itu mulai tinggal di
sana, Unit 4 ditutup, dan kita semua
dipindah ke unit lain. Saya dikirim ke
Unit 1.
15.
Pada awalnya, kami dan penduduk asli saling mencurigai. Kami jaga jarak. Mereka
jarang mandi, bawa tombak, tidak bisa berbahasa Indonesia. Di antara mereka ada
yang terkena penyakit kusta. Lewat proses panjang, akhirnya kami berhasil
membangun rasa saling percaya. Misalnya, waktu kami kerja di sawah, ada dua tiga
tapol yang ditugaskan keluar dan cari makan. Saya, kalau cari makan, masuk desa
penduduk asli. Saya mengajar bagaimana cara mencangkul dan menanam. Ada yang
mengajar baca dan tulis. Kami bekerja di desa mereka. Sebagai imbalan, mereka
memberi kami pisang atau ikan. Kami keluar dari sawah itu secara rahasia – kalau
tonwal tahu, waduh, hukumannya berat. Demi perut, kami sering ambil resiko besar.
Sketsa Gumelar 211
16.
Para tonwal sering berlagak seperti
bos. Tahun-tahun permulaan,
mereka mencari-cari kesalahan
terus. Mereka seringkali tanpa
alasan menjatuhkan hukuman
massal pada kami. Suatu hari, saat
apel pagi, seorang tapol kentut dan
tonwal merasa dihina. Karena tidak
ada yang mengaku kentut, kami
semua dihukum.
17.
Pada 1972, seorang tonwal di Unit V dibunuh, namanya Umar. Saya tidak tahu apa
yang sesungguhnya terjadi. Ada yang bilang bahwa ada tiga tapol yang
membunuhnya lalu melarikan diri. Tapi apa pun cerita sesungguhnya, semua tapol di
Unit V juga yang akhirnya dihukum. Sebagai balasan atas kematian itu, para tonwal
menggebuki semua tapol di unit itu, satu per satu. Pemukulan itu begitu hebatnya
sehingga sebelas orang tapol meninggal dunia. Mereka dikubur di dekat Unit V.
Sebelum kembali ke Jawa, beberapa dari kami membuat nisan yang pantas untuk
makam mereka.
212 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
18.
Pemerintah mulai melepas kami pada 1977. Mereka yang pertama dikirim
pulang ke Jawa adalah orang tua dan yang punya penyakit kambuhan. Saya
termasuk rombongan yang pulang 1979. Kami meninggalkan tanaman
singkong, pepaya, ternak sapi, bebek, begitu saja. Kita serahkan kepada yang
tinggal di sana, kepada petugas-petugas LP, juga kepada warga yang menikah
dan tinggal di sana. Ini adalah gambaran salah satu rombongan orang Jawa
Tengah saat tiba di pelabuhan Surabaya.
19.
Kapal dari Buru membawaku ke Jakarta.
Sampai di Tanjung Priok, ada acara
penjemputan resmi oleh pemerintah DKI.
Kemudian kami dibawa ke Gelanggang Remaja
Jakarta Timur. Sampai di sana sudah banyak
sekali penjemput. Saya sendiri lihat-lihat, apa
ada yang menjemput. Umpamanya ada,
mungkin saya juga sudah lupa, karena sudah
berpisah sebelas tahun. Saya sudah berpikiran,
kalau tidak ada yang jemput, saya akan kembali
ke Pulau Buru. Saya takut kedatangan saya
malah mengganggu. Rupanya ada keluarga
yang mencari saya. Wah, kami langsung
bersalaman dan berpeluk-pelukan di situ.
Mereka dari keluarga tante saya, tempat saya
menumpang ketika ditangkap.
214 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
Transkripsi Wawancara 215
PENGANTAR
Untuk memberi gambaran kepada pembaca tentang wawancara-wawancara yang kami
pakai sebagai basis esai-esai di dalam buku ini, kami lampirkan transkripsi lengkap dari
dua wawancara yang kami lakukan. Pembaca bisa melihat dari kedua transkrip ini bahwa
kami tidak menggunakan kuesioner standar untuk mengajukan sederet pertanyaan
kepada orang-orang yang kami wawancarai. Metode yang kami pakai adalah
mengajukan pertanyaan terbuka yang bisa memancing orang bercerita panjang lebar.
Kami memulai setiap wawancara dengan maksud memahami riwayat hidup seseorang
dan kami membiarkan si pencerita untuk menentukan bagaimana ia akan menceritakan
pengalamannya. Selama si pencerita berbicara, kami mengajukan beberapa pertanyaan
khusus untuk memperjelas ceritanya, seperti waktu atau tempat terjadinya suatu
peristiwa. Dengan demikian, setiap wawancara memiliki ciri tersendiri, unik.
Pewawancara yang berbeda akan melakukan dialog yang berbeda pula dengan yang
diwawancarai. Disamping itu, pewawancara yang sama pun, ketika mendengarkan
rekaman wawancara yang sudah dilakukan atau membaca hasil transkrip, seringkali
menyesal tidak sempat mengajukan pertanyaan tertentu atau tidak cukup berusaha
memperjelas bagian-bagian cerita yang dianggap penting. Tak ada wawancara yang
sempurna atau lengkap.
Kami memutuskan untuk menerbitkan wawancara dengan Pak Kasmin karena cerita yang
ia sampaikan sedikit banyak mewakili pengalaman tapol pada umumnya. Ia adalah
seorang guru di sebuah desa terpencil di Jawa Tengah pada 1965. Pada suatu hari ia
dipanggil ke kantor polisi, dan tanpa ada peringatan atau penjelasan terlebih dahulu, ia
diseret ke sebuah truk untuk diangkut ke penjara. Ia menghabiskan 13 tahun berikutnya
dalam penyekapan, tanpa tuduhan resmi, tanpa pengadilan, tanpa tahu apakah ia akan
pernah dibebaskan. Satu-satunya ‘kejahatan’nya adalah menjadi anggota PKI. Begitu ia
dibebaskan dari Pulau Buru pada Desember 1978, ia tidak punya rumah untuk pulang. Ia
harus memulai hidupnya dari nol. Ia bekerja sebagai buruh bangunan di berbagai proyek
pembangunan gedung dan jalan raya di Jakarta hingga krisis ekonomi 1997 memaksa dia
menjadi pengangguran. Sekarang ia tinggal di desa asalnya, tanpa pekerjaan dan miskin.
Inilah warisan dari pengalamannya direnggut dari pekerjaannya sebagai guru, dijadikan
seorang tapol, dan direndahkan menjadi buruh harian tanpa serikat selama masa
pemerintahan Soeharto.
216 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
IBU SUGIANTI
31 Agustus 2000
Jawab: Mbak Asih itu kan nanya, apa yang musti saya omongkan?
Tanya: Masa kecilnya, sebelum hari ulang tahun Bu Sugianti itu.
J:Iya, ya,ya, saya ulang tahun kan waktu itu, tanggal 30 September. Nah
terus, sore-sore, biasa anak-anak kecil. Nah, tempat saya itu, apa ya,
banyak calon bu guru-bu guru yang … apa, sekolahnya itu di tempat, di
rumah gitu lho, seperti kayak kost-kost-an gitu. Terus, di rumah itu
hampir kayak semacam kursus. KG TK Melati kalau nggak salah. Kursus
Guru Taman Kanak-Kanak Melati, gitu.
T: Oh Melati.
J: Ah itu, gurunya itu ibu saya yang sudah meninggal. Biasa ya, karena kita
biasa hidup di lingkungan yang familier, hidup biasa di lingkungan yang
kayaknya aman, kayaknya seneng gitu ya, yang banyak temen gitu ya.
Suatu saat saya ulang tahun, ulang tahun itu pas tanggal itu kan ya, 30
September 65 itu, kok malamnya habis ulang tahun rame-rame gitu, kok
ada itu, apa bukan polisi gitu, kayak semacam kayak tentara deh, kayaknya
deh ya, kayak tentara gitu. Terus, habis itu, rame ya, saya lihat itu, ‘Bakar!
Bakar! Bakar!’1 Tempat saya itu deket dengan daerah Pecinan. Kalau di
tempat saya Pecinan itu apa ya? Toko-toko, gitulah. Toko-toko.
T: Itu di mana bu?
J: Di daerah Kebumen.
T: Oh Kebumen.
J: He-em, toko-toko di situ. Lah, dekat deretan situlah, tapi agak, agak
masuk sedikit gitu. Ah itu terus, ‘Bakar! Bakar! Bakar!’ Oh, ngeri deh,
termasuk rumah saya. Saya pating slebar (tercerai berai), gitu. Saya pating
slebar waktu itu. Beeennnner-bener trauma, ya ampuuunnn. Itu tetangga
1
Menarik bahwa Ibu Sugianti mengingat munculnya kerusuhan pada malam 30 September. Kerusuhan di kotanya,
Kebumen di Jawa Tengah, tidak mungkin mulai sampai pertengahan ke akhir Oktober. Tanggal 30 September
rupanya begitu berkesan baginya sehingga ia mungkin tanpa sadar menempatkan ingatan tentang kerusuhan di
kotanya pada tanggal tersebut.
218 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
semua, nggak ada yang mau nolongin. Itu dateng orang segitu banyaknya,
nggak tahu darimana. Yang dibilang, ‘Allahhu akbar. Allahhu akbar.’ Tapi
bawa klewang, gitu.
Terus akhirnya bapak saya dibawa. Bapak saya dibawa, cuma pesen, ‘Ya,
ati-ati aja di rumah, ya?’ ‘Iya.’ Dibawa, terus nggak pulang. Terus nggak
tahu kemana, nggak pulang. Terus nggak pulang. Nah, saya dengan ibu-
ibu, dengan ibu, dengan adik-adik, ya udah habis itu terus rumahku, terus
di, dikroyok gitu ya. Yah, kita sudah pating slebar deh. Nggak sempet bawa
apa … ya yang nempel di badan ini aja.
Ya, disangka saya itu udah meninggal, disangkanya. Karena rumah saya
kan karena waktu itu terus dikroyok begitu, dibakar ya. Saya itu mlipir-
mlipir, mlipir (berjalan mengendap-endap) antara got itu kan ada, ini got
ya, itu kan ada begininya nih, aku mlipir-mlipir-mlipir akhirnya sampe ke
ujung gang sana. Itu kalo jatuh, itu kan jatuh kecemplung air ya, saya
sudah bayangkan, anu, musti saya sakit anu. Yah wis boro-boro (Ya sudah
jangankan) pake sendal, udah apa yang ada di sana. Uuuuuh, udah
belepotan nggak karuan. Terus saya tanya, ‘Aduh, saya musti kemana?’ Kan
waktu itu saya kelas berapa SD, kelas tiga deh kalau nggak salah, kelas tiga.
‘Lho, saya mau ke mana?’ Wong tengah malam kayak gitu. Orang udah
sibuk, udah dibakar-bakar, langitnya sampe merah. Saya bilang,
‘Aduuuuuhh. Saya udah, ibu saya sudah ke mana, wah, udah, udah nggak
tahu.’ Saya mlipir-mlipir, mlipir, kok ada yang ngasih tahu, ‘Eh, udah, coba
deh ini putranya anu ya?’ Gitu. ‘Oh, iya.’ ‘Di anu aja, di tangsi aja.’ Ada
tangsi polisi gitu. ‘Di tangsi aja deh, ke sana deh.’
Ya, udah deh, saya ke sana. Saya ke sana, di situ banyak orang, nggak
tahunya orang yang seperti kayak keluarga saya. Uuuhhh … di situ ketemu
dengan temen-temen ibu saya, dengan murid-murid bapak saya. ‘Lho,
waduh kok ada di sini? Lik (bibi) ini, lik itu. Manggilnya kan Bu lik, Bu lik.
Lik itu, lik ini. ‘Lho, nang kene kabeh (di sini semua),’ saya gitu. Oh iya,
saya itu disangka, saya itu udah nggak ada, pasti itu sudah kena api itu
tadi. ‘Aku kok, aku, aku’. ‘Oh, ya. Lha, ibumu pundi (mana)?’ ‘Belum
ketemu ibu.’ Belum. Adik saya itu, belum ketemu. Belum.
Haa, dua hari baru ngumpul di situ semua, barulah kita ketemu. Ibu, ada
adik di situ, ‘Oh, kowe karo sapa (kamu dengan siapa?),’ kata ibu.
‘Iya aku di sini.’
‘Sama siapa. Terus gimana?’ Ibu saya nggak bisa ngomong apa-apa. Ibu
saya itu Kepala Sekolah SD, bapak saya Kepala Sekolah SMA. ‘Bapak nggak
ke sini?’
‘Nggak.’
‘Bapakmu nggak ke sini?’
‘Nggak.’
Transkripsi Wawancara 219
‘Ya, udahlah.’
‘Waktu itu nggak pesen apa-apa?’
‘Ya, nggak tau. Wong masih pake piyama, pake sarung gitu kok, terus
dibawa truk.’
‘Iya udah.’
Terus, ibu juga tau, bapak pergi itu juga. Ya nggak pulang sampe lama,
gitu. Lha, terus habis itu, ibu saya, waktu itu masih sempet ngajar sekolah.
Ngajar sekolah, ehhh … dapat surat apa itu, eeh, apa kae (apa itu)? Dapat
surat, dari, dari atasannya, dari penilik sekolahnya, non-aktif, diskors,
dapat non-aktif. Langsung, ibu saya dapat non-aktif, nggak boleh ngajar
lagi. Berarti kita hanya tinggal di situ, di tangsi-tangsi itu dengan, kayak
orang-orang, kayak gembel itulah.
Wiis ... kita makan nasi, ingeeettt aku itu dijatah bulgur (sejenis gandum),
segini-segini. Bulgur itu, ya wis. Ya apa adanya, memang adanya itu, ya kita
makan. Ada yang ngempani (memberi makan) aja sudah terima kasih.
Udah makan di situ.
T: Yang ngasih siapa tuh?
J: Kayaknya, kalau saya perhatikan, kayaknya itu, ini lho, dari pihak gereja
gitu lho.
T: Oh dari pihak gereja.
J: Kayaknya deh, kayaknya dari pihak gereja kayaknya. Ya wis bareng gitu
(Ya sudah setelah itu), terus kita masih seneng ngumpul sama ibu, saya ini
berempat bersaudara, saya nomor dua, sering ngumpul. Itu saudara saya,
tetangga saya, kenalan ibu saya, itu nggak ada yang mau kenal. Kalau
ketemu saya, atau ketemu ibu, atau ketemu siapa, dilemparin batu.
T: Di tangsi itu?
J: Di luar tangsi begitu, di dalam tangsi aman. Dalam penjara aku aman.
Lho, aneh to? Di penjara aku serasa surga, karena banyak temenku, ada
enem ratusan, buanyak banget! Di dalem tangsi itu aku aman. Tapi kalo di
luar, wah wis nggak tau. ‘Wah! Gestok! Gestok!’ pasti begitu kan.
T: Gestok apa?
J: Katanya Gestok itu, Gerakan 30 S, gitu lho.2
T: Ohhh…
J: ‘Gestok lo! Gestok lo!’ gitu. ‘Ya udahlah, aku ini wong Gestok.’ Sampai
sekarang trauma. Aku ini orang Gerpol [gerakan politik]. Padahal waktu
itu, mana saya tahu, Gestok apa, Gerpol apa. Lho ya ngga tau.
T: Bapak aktif dimana?
2
Gestok: Gerakan Satu Oktober.
220 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
J: Kepala Sekolah.
T: Tapi nggak ikut organisasi apa gitu?
J: Ya, nggak, nggak, ya dibilang ... Oh, ikut itu, guru-guru. Saya ingat itu
majalahnya, guru-guru PG ... apa ... PGRI Non-vak Central. Guru apa sih
tuh, apa sih ya? Ya guru-guru itulah. Ibuku ya, kayak gitu. Persatuan Guru-
Guru kayak gitu-gitulah. Ya wis pokoknya. Mana saya tahu, wong umur itu
ya, waktu itu ya … Terus udah gitu, ya enaklah masih walaupun makan
bulgur, makan seadanya. Udah nggak pernah mandi ya, masih enaklah kalo
masih ngumpul.
Nah, suatu saat ini, ibuku diambil juga. Ibuku diambil juga, masuk. Tapi
nggak di daerah Kebumen. Kalau masih di Penjara Kebumen, masih
melihat satu kota, masih mending. Ibuku, di mana coba dibuangnya? Di
Purworejo. Lha, kalo aku mau besuk (menengok) ibu – tapi ibu pernah
pesen, ‘Ati-ati kowe ya.’(Hati-hati kamu ya) Terus komunikasi-komunikasi
gimana, ilang itu jejak sama ibu, sama bapak juga ilang. Tapi ibu nggak
lama. Ibu kira-kira tiga tahun setengahlah.
Ibu tiga tahun setengah, kok pulang. Nah, selama ditinggal ibu tiga tahun
setengah itu aku mangane piye (makannya bagaimana)? Aku makannya
gimana? Lha terus ... akhirnya ya, pembagian. Pating slebar. Akhirnya
kakak saya yang di Tangerang itu, kakak saya yang di Tangerang itu
dipelihara orang, ikut orang. ‘Iya wis, nderek sapa?’ (Ya sudah, ikut siapa)
Gitulah. Ya, kasarane, baturlah, babu, babu (Ya kasarnya, pembantulah,
babu, babu). ‘Wis ikutlah sana.’ Adik saya yang nomer – terus saya, saya
tetep tinggal di situ. Adik saya perempuan yang nomer tiga, si T. itu, ada
yang, ada yang, ini, dipelihara juga sama orang, gitu. Pisah, mencar-
mencar.
Terus, tinggal saya berdua adik saya laki. Saya memang, waktu itu kok
sudah punya inisiatif, ‘Nanti kalau aku ikut dibawa orang, aku terus
gimana komunikasinya sama ibuku, sama bapakku?’ Aku itu udah punya
pemikiran gitu, padahal waktu itu aku umur 9 tahun, belum tahu malah.
Adikku yang kecil itu, adik saya yang paling kecil, si Budi itu, laki-laki, tak
tenteng (gandeng) aja. Ya umur empat tahunlah, gitu. Kemana-mana
berdua aja, kayak wong ... Ya, ya, gimana?
Habis, udah gitu, setelah itu, selama ibu nggak ada yah, itulah saya
merasakan, ‘Ya, ampuuun saya nih ya, dosa apa?’ Tapi ya wong namanya
anak umur waktu itu ya. Ini apa yang namanya kiamat? Saya nanya ibu,
ibu saya ada di mana? Ini belum pulang, jadi selama tiga tahun setengah
itu, saya betul-betul saya itu dalam posisi yang susah, gitu.
Akhirnya kita ini, anak-anak kayak saya ini pating slebar. Tidak mungkin
mau mbantu terus, mau ngasih makan terus, itu duit dari mana, gableke
sapa (punyanya siapa), nggak mungkin ya. Pating slebar, ada yang larinya
ke mana? Ke pasar, pasar. Aku jadi anak pasaaarrrr. Yakin. Makanya kalau
Transkripsi Wawancara 221
di pasar itu saya lihat, eh, ada ‘kali bangsa enem ratusan anak yang kayak
saya ini di pasar itu. Pating trempel (berjubel-jubel) ya. Ya, apa yang bisa
dimakan, dimakan. Apa yang ini, ya se ... se... seininya aja. Tidur ya di situ,
lah mau ke mana?
T: Nama pasarnya masih ingat?
J: Masiiiiiiih. Pasar Gede.
T: Pasar Gede?
J: Ya. Masih. Terus di situ aku, yaah ... sekolah, boro-boro mikir sekolah. Ya
membaur sama anak-anak pasar itu. Tapi saya kenal, orang-orang tuanya
temen-temenku itu tadi. Jadi kalau ada orang mati itu di pasar, anak kecil
itu, misalnya, kayak teman saya itu: ‘Eh, putranya Bu Kardi kan
meninggal, si Trimurti.’
‘Di mana?’
‘Itu, tuh, tuh. Di lincak (bangku panjang dari bambu). Di lincak.’ Itu sudah
biasa.
‘Oh, kae to (itu to)?’ Udah, kita nggak tahu, kita ninggalin aja. Tahu? Tahu
kalau itu temenku. Dia juga umurnya sepantar sama aku, kelasnya sama.
‘Mati to?’ ‘He’eh.’ Itu sering yang kayak begitu, itu. Tega-teganya ya. Lha,
ini dosane sapaaa (dosanya siapa)?
Terus ibu waktu itu pulang, udah tiga tahun setengah. Kok pulang?
dinyatakan kok pulang? Pulang ke mana? Ya, otomatis nyari’in ..ketemu
saya di pasar. ‘Lho, kowe nduk?’
‘Iya bu.’
‘Ibu pulang.’
‘Terus ibu mau kemana?’
‘Sudahlah, kita prihatin aja.’ Kan banyak mamah-mamah Cina itu, tante-
tante Cina itu, akhirnya ibuku ngajarin bahasa Indonesia. Sama ibuku kan
guru ngajarin bahasa Indonesia, ngajarin bahasa Belanda ke Indonesia,
Indonesia-Belanda ngajarin orang-orang Cina-Cina itu. Apa ya namanya?
Namanya apa sih itu yang nama orang Cina itu? Wis, pokoknya orang-
orang Cina yang belum fasih ngomong bahasa Indonesia. Ibuku itu
ngajarin bahasa Indonesia. Ya, itu sedikit-sedikit, kita makan dari situ.
Mending honornya ..ya... mending kita bisa makan, itu aja. Keluar dari
penjara ibuku itu ya susah, kurus.
Terus, masuk lagi. Masuk lagi, tapi aku boleh tinggal satu ruangan dengan
ibu, di dalam penjara, tapi aku boleh tinggal di situ. Namanya Gedung
Gembira.
T: Itu ditangkapnya gimana tuh?
J: Hah?
222 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
3
Kemungkinan ibu dari Ibu Sugianti ditangkap kembali pada 1974 setelah kerusuhan Malari terjadi. Beberapa
tapol yang dibebaskan pada akhir 1960an atau awal 1970an mengalami penahanan sewenang-wenang sekali lagi
pada 1974 semata-mata karena nama mereka tercatat dalam daftar tentara sebagai orang-orang yang berpotensi
menimbulkan masalah.
Transkripsi Wawancara 223
kalau aku di luar, mati mungkin. Temen-temenku yang di luar, yang di luar
panti asuhan itu sudah jadi apa, udah nggak tahu. Ya, untung aja, ya
sampai sekarang ini. Sudah gitu, ya diajarin sekolah Sunday School,
Sekolah Minggu. Nanti kalau pembantu gereja itu mandiin asu (anjing),
aku ikut mandiin anjing. Ya, ampuuun bener, ya gitu rasanya. Kadang-
kadang makanan yang untuk anjing aja, aku yang makan. Wong enakan dia
[tertawa]. Pake sup, enak, kebul-kebul (masih hangat, dengan uap yang
masih mengepul). Aku makannya bulgur. Ya, mendingan aku yang untuk
makanan anjing tak makan. Tak ganti bulgur, anjinge emoh (anjingnya
tidak mau) [tertawa]. Ya, di situlah ya, aduhhh, susahnya jadi orang.
Aduhhh, aku termasuk anak yang bandel.
Sudah gitu, sampe akhirnya dibaptis. Ibuku nggak tau. Ya, nggak ngerti.
Ditanya, tapi komunikasi sama ibu terus. ‘Betah?’
‘Ya, dibetah-betahin.’
‘Yang nurut ya sama ibu asrama, sama suster.’
‘Ya, aku nurut.’
‘Sekolahmu pinter kan? Kamu itu orang nggak punya,’ gitu. ‘Andelan kamu
kan kalo kamu pinter, kamu dihargain.’
‘Iya bu, iya bu.’ Terus, saya dikasih ini, kesempatan, apa? dagang es
mambo. Dagang es mambo. Sama suster dikasih modal suruh dagang es
mambo, nanti uangnya dikumpulin untuk bayar sekolah, gitu. Untuk
nabung, ditabung. Ya, aku gitu tiap hari. Pulang sekolah, bilang sama ibu
asrama, ‘Mana esnya?’ Jual. Iya, kan tante-tanteku tadi itu, yang yang yang
oom-oomnya masih pada di dalem, tante-tante Cina-Cina itu tadi, harus
beli esku. Gantian [tertawa] beli dia. Aduh… wis. Beli. Lumayan itu.
Lama-lama, lama, lama, di situ aku dididik ketrampilan, dididik agama,
dididik dagang, dididik menjahit kristik itu. Waduhhh … wis, bikin kue. Ya
pokoknya keterampilan. Jadi aku pinter. Sampe mbantuin di rumah sakit
bersalin apa itu, Pius itu lho. Bantu di rumah sakit. Terus, ya di situ, ya
otomatis yang ditolong yang orang-orang yang nggak punya.
Tidak lama ibu keluar. Ibu keluar. Yah, kecil-kecilanlah, ibu dagang. Yah,
dagangnya bangsa (seperti) makanan-makanan kecil gitulah. Kripik
singkong diiris-iris itu lho, singkong diiris-iris, kasih gula. Ya ibu dagang.
Kita ngontrak kecil-kecilan, ibu keluar itu. Bapak belum tau kabar
beritanya di mana.
T: Itu dimana itu?
J: Apanya?
T: Daerahnya?
J: Ya, di daerah Kebumen.
T: Oh masih di Kebumen?
Transkripsi Wawancara 225
J: Masih … Tapi bagus dalam lingkungan asrama panti asuhan itu. Kita
masih dikasih makan, walaupun bulgur. Tapi seadanya, pakaian ya masih
bagus, daripada kita di luar, keluyuran (berkeliaran) yang nggak karuan.
Setelah itu, gede, gede, gede, gede, udah dewasa. SMA ya, belum ketemu
[bapak], waktu itu belum ketemu. Terus, tahun berapa ya? Tahun 70anlah,
tahun 70an itu. Oh, kan ada berita tuh, ‘Bapak ini pulang.’ ‘Oh, bapakku
kapan pulangnya?’
T: Ibu udah tahu ada di mana?
J: Nggak tahu. ‘Pulang-pulang, bapak pulang, lama juga di sana itu. Bapak
pulang dalam keadaan tangannya cengkrong (bengkok). Terus ada yang
ngasih tahu. Pegawai kelurahan ngasih tahu, pegawai kelurahan bekas
murid, bekas muridnya ibu, ‘Itu, bapak pulang.’ Pulang, cuk, ucuk, ucuk
pulang, yah, kita keadaan gitu. Tapi pulangnya nggak terus pulang ke
rumah. Pulangnya ditampung di suatu tempat di situ yang mana setiap
minggu dapat indoktrinasi. Jadi nggak langsung pulang, setiap minggu itu
apel. Ke ... apa jenenge (apa namanya)? Koramil. Danramil apa Koramil …
Sampe bertahun-tahun dijalani begitu. Lama, lama, lama, lama, sebulan
sekali. Sampe kita pada kawin, yah ... susah terus. Sampe sekarang ini anak-
anak udah gede, kok lama-lama ngumpul gitu, lho.
Bapak saya pulang, ibu, ya, otomatis ya, ibu sambil dagang-dagang apa
yang bisa dijual, ya jualan. Bapak ya, sambil mbuka-mbuka bengkel
sepeda. Kecil-kecilan bengkelnya, ndandani (memperbaiki) sepeda. Ya,
gitulah rasanya.
Saya ditanya, ‘Mau ikut ibu atau mau ikut, tetep di sini?’ ‘Ya, seenak-
enaknya ya mendingan ikut ibu.’ Iya kan? Udah gede itu, udah tamat SMA.
Adik udah STM waktu itu. Keluar, ya itu kita udah ngumpul. Terus adik
yang, adik saya kandung yang sapa iku (siapa itu) kok pulang, gitu. Nyari,
kita cariin, tak cariiii … ketemu. Ada di kota Purwokerto. Di salah satu
keluarga. Yah, nyarinya kan bertahun-tahun itu. Eh Budi, pulang. Kakak
saya yang satu kan, tinggal kakak saya. Akhirnya ketemu juga, pulang.
Ngumpul, ya udah. Ya nggak nyangka kalau sampai bisa kayak gitu, sampai
bisa ngumpul kembali. Sehingga pating slebar lagi karena buat apa ya, aku
tinggal di kotaku sendiri sana, di tempat kelahiranku sendiri udah nggak
ada tempat untuk berlindung, semua orang itu nggak bisa menerima ya.
Yang lebih kasihan lagi bapak saya. Apakah setelah keluar, setelah pulang
itu, pulangnya bapak itu langsung bisa diterima di masyarakat? Nggak.
Bapak itu masih tetap sebulan sekali itu, sampai mau mati kemarin, mau
meninggal, itu masih apel. Padahal umur udah tua, ibu ini juga begitu. Di
KTP-nya, di pojoknya ada ‘ET’-nya.
Yah, udah kita jalanin berpuluh-puluh tahun, ya kayak begitu. Apakah
enak, terus dengan pulangnya bapak itu terus kita seneng? Nggak.
Malapetaka buat saya. Malah, ‘Anaknya si Gerpol itu tadi, Gestok itu tadi.
Anaknya pengkhianat Pancasila, merongrong kewibawaan, bahaya laten.’
226 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
Jadi setelahnya itu begitu. Di kota kecil, lebih tersiksa lagi ruang
lingkupnya, makanya kita hijrahlah ke Jakarta. Terus aku tak nang Jakarta
wae (mau ke Jakarta saja). Nang Jakarta mau ngapain? Ngumpul,
ngumpul, ngumpul begitu, mau makan apa? Siapa yang mau kasih makan?
Ngumpul tapi kalo nganggur, perutnya lapar. Mau kerja, kerja apa di situ?
Mau usaha, usaha apa? Modal nggak gablek (punya), apa-apa nggak
punya. Rumah aja nggak punya. Apa? Yang tersisa apa? Cuma PD [percaya
diri] aja yang kita punyai.
Wis, keadaan yang memang harus begitu, ya pergi hijrahlah aku ke Jakarta.
Ketemu sama yang dulu memelihara, yang dulu waktu sebelum peristiwa
65 ini, ketemu sama Mas Har, paman, masih paman itu. Nah, sekarang jadi
suaminya kakakku. Ketemu sama itu. ‘Lho, lik, ada di sini?’
‘Iya.’
‘Lha iya. Kamu ngapain ada di sini?’
‘Kerja.’
Lama, lama, lama, lama … Mas Har ini juga dulu bekas Pemuda Rakyat,
bekas Pemuda Rakyat. Dia lari ke Jakartalah. Di sini dia kerja di … apa kae
(apa itu)?, dagang warung. Pertama kali. Warung, warung, warung …
warung rokok kecil-kecilan gitu. Aku numpang di situ. Lama, lama, lama,
lama, yah, kawinlah sama kakak saya. Dibawa pulang, ketemu sama bapak,
sama ibu. Kawin aja, kawin diem-diem. Tapi bapak masih seminggu di luar,
seminggu di dalam, begitu. Nggak, langsung dilepas begitu. Nggak
langsung. Lama, lama, lama, lama, sampe yang ngasih indoktrinasi itu,
sampe bosen. ‘Udahlah,’ katanya, ‘udahlah. Mau apel nggih? Sampun-lah
(sudah), pak. Udah,’ gitu. Tapi namanya persyaratan. Sampe bosen itu
yang, yang, yang itu, tuh, yang nerima apel itu, yang ngasih tanda-tangan.
Alaaaahhh…
Ya udah. Ya sampe sekarang ini, akhirnya kita tinggalkanlah kota kecil itu.
Akhirnya ibu, bapak, terus kita boyong (bawa) semua ke sini. Terus, untuk
apa? Di sana juga mau ngapain. Pensiun? Pensiun dari mana? Terus, ‘Di
Jakarta piye (bagaimana)? Wah, diuthik-uthik (ditanya-tanya) nggak
masalah itu?’
‘Mboten (tidak) kok Pak.’
Tanya sama mantu, kan punya mantu bapak, tanya sama kakak ipar,
‘Gimana dik?’
‘Pokoke (pokoknya) aman-aman aja.’
‘Yah, aku titip adik-adikmu ya.’ Yah, titiplah. Saya dititipin, adik saya ya
dititipin sini. Ya, akhirnya ya pada cari kerja di sini, sudah.
Lama, lama, lama, lama, ya udah sampe sekarang ini. Sampe bapak ibu itu
meninggalnya di sini [di Jakarta]. Ya nggak ada yang peduli, nggak ada
yang nanya, nggak ada yang nggubris, udah lha itu, udah. Seperti sekarang
Transkripsi Wawancara 227
lagu apa kae (apa itu)? Lagunya lagu [bersenandung], saya inget itu. Dan
anak TK tahu semua itu, jaman saya itu [tertawa].
T: Ya, saya ingat ceritanya Ibu Sugianti yang waktu perkawinan terus
bapaknya datang?
J: Oh itu. Oh itu kan bapak masih di dalem.
T: Di dalam di mana maksudnya?
J: Kan nggak dilepas terus pulang, terus langsung dilepas gitu. Ya masih di
dalem, belum keluar, gitu lho.
T: Itu di Koramil apa?
J: Iya. He-em, di LP, gitu. Itu kan kawin [tertawa], kawin. Jadi, besok mau
kawin itu, kurang enam bulan mau kawin itu udah ngomong dulu, bapak
saya, ‘Lho nanti kalau saya kawin nggak ada walinya, ya susah. Di catatan
sipil harus ada wali. Kalau dibilang walinya nggak ada, wong masih punya
bapak. Nggak bisa. Aku mau kawin secara Islam, aku nggak mungkin.’ Lha,
jadi kan amannya apa ya? Kawin hakim, kawin catatan sipil itu. Dulu
belum ada kawin – ya biro sipil ada ya – itu buat saya memudahkan,
karena kan nggak bertele-tele. Ngga pake ... Yang wali’in aku siapa? Nggak
ada yang mau. Kawin aja susah. Lewat gereja bertele-tele. Ya sudahlah,
kawin catatan sipil aja, kawin hakim. Itu mau kawin kurang enam bulan
itu udah harus ngasih tau, ‘Bisa nggak jadi wali?’ ‘Bisa. Tapi hanya satu
jam.’ Jadi mau kawin, ya dijemput. Saya mau kawin, bapak saya ya
dijemput mobil tahanan itu. Turun. Saya disumpah kawin, itu resmi
disumpah nikah, akad nikah itu resmi sama hakim itu. Nggak taunya,
hakimnya itu ya muridnya bapak juga, waktu di SMA itu. ‘Lho…alah,
kowe toh le, le.’ ‘Iya udah deh, he’eh udah tanda-tangan.’ Ya itu.
T: Dijaga bapaknya?
J: He’eh. Wong timbang, timbang cuma saknyukan (sebentar) lima menit
gitu. Tanda tangan ‘utek-utek’, gitu. Udah gitu ya, masuk lagi. Mending
kalau yang dijaga itu keker, tinggi gede, atau jenderal, atau… ya alah, alah,
lah, lah. Coba, sampe ke Biro Sipil sana, ke kantor sana ke Catatan Sipil,
bapak saya ya, dieret-eret (diseret-seret) ke sana. Ya iya, makanya, jadi
orang itu bukan pingin lihat mantennya (pengantinnya), bukan [tertawa],
pingin lihat bapak saya. Aduhhhh... Ya begitu. Habis itu tanda tangan,
masuk lagi. Salaman sama suami. Udah, masuk lagi.
Saya pikir, mau jadi suami itu, saya pikir sudah siap segalanya, ternyata
suamiku mungkin bisa, tapi saudaranya, sampe sekarang. Poko‘e angger
(pokoknya jika) ada masalah sedikit itu, dikutik itu. Keluar ‘Wooh…’ Nah,
makanya saya lebih baik saya, ya menyendiri ajalah. Beginilah. Aku
wiraswasta, buka salon kecil-kecilan sambil laundry (binatu).
Saya juga bilang sama bapaknya anak-anak. ‘Terserah kamu deh,’ saya
bilang gitu. Iya kan?
Transkripsi Wawancara 229
T: Terus, yang ibu baru keluar, terus nyewa satu tempat tinggal ...
J:Waduh, itu di emperan keciiil, cuma satu bale-bale begini, bale-bale
bambu punyanya. Itu aja dikasih. ... Ya udah cuma emperan itu aja, aku
bolehnya dagang es itu. Ibu tinggal di situ, kan ibu sendirian. Ya di situ ibu
mulai ngajarin orang Cina-Cina itu bahasa Indonesia itu lho. Kan mereka
kan bahasanya itu masih bahasa Kuo’ie [Hokkian] istilahnya. Ah itulah
buat makan. Ya ngga gede. Yaah, ada yang ngasih, diterima, ngga, ya udah.
Ngasih makanan, ya dimakan, ngga ya matur nuwun, gitu aja.
T: Waktu sering berkunjung ke ibu itu, Bu Sugianti kenal sama tahanan
yang lain?
J: Ooh, banyaaakk! Baaanyaakk! Mereka ya mungkin anak-anaknya ya
pada berkunjung. Mungkin. Kalau yang masih hidup, keluarganya masih.
Kalau yang ngga punya keluarga ya mungkin udah dibantai, atau mungkin
itu ya ngga ada yang ngunjungi. Tapi serasa aman di dalam di situ. Aman
tentrem, gitu ya, mereka merasa senasib sepenanggungan gitu. Malahan
kalau saya ngga dateng mungkin kangen dengan mereka yang punya anak
sepantar-pantar saya. Seneng di dalem situ, waduuh wis .. kumpul ibu-ibu
banyak, bapak-bapak juga banyak.
Jadi, keluar dari penjara bukannya enak, malah susah mbak Asih! Kayak
kita ini penderita lepra gitu yang orang itu takut ketularan, di kota kecil
itu. Hukuman dari masyarakat itu. Nek (kalau) maling karuan! ‘Oh maling
metu, ya wis sadar. (Oh maling keluar, ya sudah sadar.)
T: Terus, kalau yang di gedung itu bentuknya kayak penjara ya bu?
J: Kayak, dulunya itu bekas pabrik gula, tapi nggak dipake. Tempatnya
paling angker, katanya. Lha itu di situ itu ibu-ibu bapak-bapak dimasukin
di situ.
T: Jadi satu?
J: Oh ngga. Kan anu jadi disekat gitu. Bapak sebelah sini, keluar emperan
itu, ibu yang di dalem. Tapi ya gedung-gedung tua begitu, gedung tua,
gedung jaman Belanda.
T: Terus, yang ibunya Bu Sugianti sering omongin waktu ibu dateng
berkunjung apa aja?
J: ‘Terima ini dengan sabar, dengan tabah. Ngga selamanya itu kayak gini
terus.’
T: Waktu kecil kehidupan Bu Sugianti kayak gimana sih sebelum kejadian
65?
J: Ooh, jan (sangat) aman tentrem semua! Seneeng, seneeng, seneeng gitu
ya! Ya kalo pagi sekolah, ibu kan ngajarnya kan deket. Sekolahan sini,
sekolahan situ ... eh ... rumahnya sini, sekolahnya situ. Deket. Nah, kalo
pagi bareng-bareng bapak, ibu, anak tu pembantu rumah tangga,
230 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
PAK KASMIN
8 September 2000
Kemudian tahun 1948 Belanda masuk lagi, aksi kolonial kedua atau berapa
itu, waktu pergolakan Belanda masuk dan keluar masuk kampung.
Penderitaannya, derita ibu saya sekeluarga itu tidak sebatas sampai di situ
saja. Karena pada saat itu pendudukan Belanda, dan Belanda wataknya
memang demikian kasarnya. Pas masuk ke rumah saya, sedang mbakyu
saya sedang sakit, istilah Jawanya kaget atau terkejut, dan derita yang
dialami oleh kakak perempuan saya itu akhirnya sampai pada puncaknya,
yaitu meninggal. Tinggal satu-satunya anak adalah saya, yang harus
dididik oleh seorang ibu yang sebenarnya tidak mampu.
Dari kecil baru sekolah SD, saya pernah sama sekali tidak punyai pakaian,
cuma hanya selembar kain yang melekat di tubuh saya. Dan pernah saya
diajak cari jagung untuk nantinya dijual ke pasar, dan kulakannya itu
cukup jauh, antara lain dari kampung saya ada enam kilometerlah, ke
sebelah selatan. Saya pernah ndak pakai baju, telanjang dada, ngikutin
orangtua saya dalam keadaan panas dingin. Dan ketabahan itu akhirnya
saya bisa dididik, diteruskan oleh ibu saya menjadi buruh Tionghoa, yaitu
buruh batik. Batik-batik tulis, tulis tangan itu. Tapi dengan hasil yang
sangat minim itulah ibu saya dengan tabah, selalu mendidik, supaya
benar-benar saya menjadi anak yang baik, berguna. Akhirnya saya bisa
meneruskan sekolah sampai ke sekolah SD.
Pada tahun 48 itu, sekolah di SD itu, ada Belanda datang itu. Saya ramai-
ramai ikut membakar gedung sekolahan – memang pada waktu itu
pemerintah Republik Indonesia itu memerintahkan politik bumi hangus –
sehingga sekolahan, kantor-kantor, jembatan-jembatan, banyak yang
dihancurkan oleh bangsa kita sendiri, menggunakan politik bumi hangus
itu. Setelah sekolahan saya dibakar, dan kami ikut melaksanakannya, dan
sebagai petugas rombongan dengan anak-anak sekolah semua itu,
akhirnya saya terpaksa ndak bisa sekolah lagi, mandeg (berhenti). Pada
waktu itu saya kelas empat SD, SR [Sekolah Rakyat] pada waktu dulu.
Pada tahun 49, setelah Belanda agak mundur, sekolahan dibangun lagi,
dan bertempat di suatu gedung bekas rumah Tionghoa, itulah ditempati
sekolahan-sekolahan. Jadi sekolah-sekolah kami kan itu adalah bertempat
di rumah-rumah, atau pada umumnya memang begitu, sebab sekolah-
sekolahan sudah banyak yang hancur. Kemudian dilanjutkan dengan
pembangunan fisik di atas pemerintah Indonesia. Akhirnya satu, dua,
sekolah itu bisa berdiri. Setelah ada satu sekolahan yang bisa didiriken,
saya bisa menempati fasilitas atau sekolahan baru itu, sampai ke kelas
enam SR. Dari situ saya berpikir, kalau saya meneruskan sekolah umum,
sekolah menengah, sekolah manakah kami harus kemana? Biaya dari mana
harus kami dapat? Padahal orangtua saya untuk makan aja pas-pasan.
Bahkan boleh dikatakan kurang. Maka dari itu terpaksa saya mengambil
jalan pintas mencari sekolahan yang mendapatkan ikatan dinas untuk
meringankan beban, itu sekolah SGB [Sekolah Guru tingkat Bawah], SGB
empat tahun.
Transkripsi Wawancara 233
Dengan adanya sekolah SGB itu, beban orangtua kami agak ringan sedikit,
sebab sudah tidak begitu membiayai kebutuhan kami. Kami bisa
mencukupi diri atas dasar ikatan dinas yang diberikan pemerintah kepada
kami pada saat sekolah di SGB. Sebenarnya bukan kami termasuk orang
anak yang pandai, tapi karena ketekunan mengingat orangtua latar
belakangnya dari orangtua miskin, keluarga miskin, saya tetap berusaha
untuk jangan sampai sekolah saya itu gagal. Malu bagi diri saya kalau
sampai sekolah saya itu gagal.
Justru itu, pada waktu itu, meskipun anak-anak orang yang berada dan
mampu, yaitu bisa ya pergi ke mana-mana, saya dengan kondisi yang ada
pada waktu itu, tetap saya manfaatkan. Dan mulailah tanda kehidupan ini
mulai berubah pula, sebab kalau saya dari SGB kelas satu itu uang ikatan
dinas cukup saya gunakan untuk makan, beli pakaian dan untuk kos, tapi
setelah menginjak kelas tiga karena harga-harga mulai sudah merambat
naik, terpaksa kurang cukup. Namun demikian saya paksakan untuk bisa
cukup-cukup dan saya tidak boleh mengganggu atau minta pertolongan
kepada orangtua atau famili-famili. Sebab saya anggap famili-famili saya
juga dari lingkungan orang yang tidak mampu. Sebenarnya kelas tiga itu
kami berkeinginan untuk bisa melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi,
yaitu SGA [Sekolah Guru tingkat Atas]. Dan di situ ada peraturan yang
nilainya rata-rata tujuh ke atas itu bisa meneruskan ke SGA. Kami
berusaha untuk mencapai nilai yang cukup memadai.
Cuma karena situasi, di SGA itu sendiri juga nantinya juga tidak ada di
Rembang dan harus di Semarang, maka kami terpaksa dengan hati yang
berat kami tidak bisa meneruskan dan hanya bisa melanjutkan SGB sampai
di kelas empat. SGB saya lanjutkan sampai di kelas empat, lulus pada
tahun 1958. Agustus 58 lulus. Dengan membawa predikat lulusan SGB,
saya bercita-cita menjadi seorang pendidik atau guru yang baik. Saya
tunggu-tunggu, kalau tidak salah bulan Januari 59, saya sudah
mendapatkan perintah untuk mengajar di satu desa, di daerah satu
kecamatan dan di puncak gunung. Di situlah.
T: Daerah mana itu Pak?
J: Daerah mBendo, Seluke, daerah Bendo, Kecamatan Seluke. Di puncak
gunung inilah. Saya berkenalan dengan orang-orang desa. Orang-orang
desa. Dan orang-orang desa itu, oh ya saya juga dengar ini peradabannya
agak primitif. Namun demikian juga tidak terlalu kasar terhadap orang-
orang pendatang, dengan dibuktikan setelah kami berada di sana, bisa
bergaul dengan masyarakat di sana, dan tokoh-tokoh masyarakat,
pamong desa, dan sebagainya, termasuk pemuda-pemuda, akhirnya kami
bisa melakukan suatu komunikasi yang baik, kerukunan bisa kami ciptakan
antar pemuda. Akhirnya ada satu kemajuan, dengan dibentuknya koperasi
pada waktu itu di desa, Koperasi Tenun. Kami juga ikut berkecimpung
menangani di Koperasi Tenun. Ya ditinjau ikut cawe-cawe-lah (terlibat) di
dalam kepengurusan.
234 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
Kemudian ada sensus pada tahun 1961, kalau ndak salah. Sensus itu kami
juga bisa bertugas, ditunjuk sebagai badan pemeriksa yang menguasai
beberapa lingkungan. Nah, tenaga sensus inilah membuat saya agak
seneng. Sebab gaji guru pada waktu itu sudah tidak cukup lagi dengan
harga yang makin meningkat. Gaji guru tidak digunakan untuk apa-apa,
kecuali hanya sekedar untuk bisa makan satu bulan.
Kemudian, umur merambat menjadi, sudah menjadi dewasa dan sudah
berkepala dua ke atas, sekitar 25 tahun. Akhirnya, mungkin Tuhan sudah
menciptakan bahwa saya harus segera mendapatkan jodoh. Tapi, apa yang
saya gunakan untuk biaya perjodohan saya? Padahal saya hanya seorang
guru SD, pegawai kecil, dan gajinya cuma pas-pasan. Lewat hasil dari
Badan Pemerintah Sensus itulah, akhirnya honor dari sensus itu, bisa saya
gunakan untuk sekedar membiayai biaya perkawinan.
Sayang, derita tiada akhir. Setelah saya kawin, selisih satu bulan lebih
sedikit, ibu saya sakit keras dan meninggal. Tinggal sebatang kara saya,
inilah yang saya katakan derita tiada akhir. Sebagai seorang laki-laki yang
baru saja melaksanakan perkawinan dan mestinya kalau menurut orang
yang berada harus berbulan madu ke sana-sana. Tapi bulan madu saya ada
di makam ibu saya, dengan perasaan berat dengan menangis saya
laksanakan derita kehidupan saya, pada tahun 1962.
Kemudian di tempat yang tinggi, itu, oleh karena saya, kalau saya
bertempat berdua dengan isteri saya, itu tidak memungkinkan, karena
biaya yang cuma pas-pasan, maka isteri itu, isteri saya, saya suruh berada
di rumah. Dan saya pergi ke sekolahan itu dengan, apa itu istilah bahasa
Jawanya nglaju, yaitu pulang pergi naik sepeda pancal (kayuh). Padahal
jaraknya yang bisa dinaiki sepeda cukup jauh, sekitar 15 kilometer lebih,
kemudian naiknya yang harus jalan kaki ada lima kilometer lebih. Namun
demikian itu, saya laksanakan tugas itu dengan penuh ketabahan, dan saya
laksanakan dengan baik.
Memang pada tahun itu, itu gejolak perekonomian kita makin meningkat.
Pada saat Bung Karno mencanangkan Trikora, itu saja kehidupan guru-
guru sudah makin ndak karu-karuan. Dan ada sebagian guru-guru sudah
tidak disiplin lagi. Sebab kalau hanya disiplin saja, kita sebagai seorang
guru tidak bisa dimakan hasilnya. Akhirnya banyak guru-guru juga yang
menyambi (melakukan kerja sambilan). Ada yang jual, tidak masuk
sekolah jual apa itu? Jual ikan. Ada yang jual sepeda, ya makelaran, dan
sebagainya dan sebagainya. Calo apa, calo ini, calo itu, yang pokoknya
halal lah pada waktu itu.
Namun gejolak apapun yang diderita oleh kami, dengan kawan-kawan
senasib seprofesi, seperti guru pada waktu itu, tidak ada gejolak batin yang
sangat menyolok. Sebab kehidupan pada waktu pemerintahan Bung Karno
itu bener-bener damai, tenang. Sudah itu, meskipun kami makan nasi
gaplek atau beras singkong kering, nasi jagung. Itu rasanya damai,
Transkripsi Wawancara 235
kehidupan itu hidup rukun, antar teman, antar kelompok, antar suku. Jadi
di Indonesia itu saya kira merupakan satu kedamaian yang boleh
dibanggakan pada waktu itu. Partai-partai politik hidup subur
berdampingan, berlomba, melakukan pendidikan politik sampai di desa-
desa.
Pada pemilu, pada tahun 55 itu, ada seratus partai, ada buanyak partai,
dan salah satu partai yang menarik bagi saya adalah Partai Komunis
Indonesia. Sebab mengapa saya tertarik masuk PKI? Sebab PKI
programnya adalah ingin mengentaskan rakyat kecil, memperjuangkan
nasib kaum yang tertindas dan terampas haknya. Dus, dengan jelas saya
mempunyai obsesi, mempunyai harapan kalau toh nanti kami bisa
menyalurkan aspirasi politik saya ke PKI, dan PKI mendapatkan tempat di
hati rakyat, mungkin bisa mengubah situasi yang sangat menderita itu
menjadi tujuan yang lebih baik.
Kerukunan antara partai politik, antar organisasi massa, maupun
organisasi apa saja pada waktu Bung Karno sebelum 65 itu benar-benar
terjalin satu kerukunan, sampai-sampai tercipta satu ikatan yang
dinamakan Nasakom. Bung Karno membuat Nasakom: Nasionalis, Agama
dan Komunis hidup berdampingan secara damai. Untuk di daerah-daerah,
nggak tahu kalau di kota, di pusat pemerintahan sana, nggak tahu. Orang-
orang elit politik di sana mau cakar-cakaran atau nggak, saya nggak tahu.
Tapi yang jelas, setahu saya, elit politik di tingkat kecamatan sampai di
kabupaten itu tidak ada yang cakar-cakaran atau saling menjatuhkan.
Namun, ketenteraman yang kami terima, kami derita, kami laksanakan
kami hayati, kembali lagi mencapai puncak kekelabuannya. Sebab tanggal
29 September 1965 meletuslah G-30-S. Kami nggak tahu siapa yang
membuat ide G-30-S itu? Dan tujuannya sebenarnya apakah? Apakah
bener G-30-S ini mau menjatuhkan Bung Karno? Padahal PKI itu satu-
satunya partai yang paling setia kepada Bung Karno. Setiap ada perintah
dari Bung Karno, setiap ada komando pidato-pidato yang dulu itu
terkenal dengan pidato tiap-tiap tanggal 17 Agustus, dengan judul apa pun
baik itu Usdek, Tavip, dan lain sebagainya itu.1 Banyak sekali, ada
Berdikari segala itu. Setelah dikomandokan oleh Bung Karno, dipidatokan
Bung Karno itu, besok harinya, setelah turun ke daerah-daerah,
disosialisasikan oleh PKI ke daerah-daerah lewat Front Nasional. Dengan
menggunakan media Front Nasional itu PKI bekerja memasyarakatkan
pidatonya Bung Karno. Dan kenyataannya memang PKI pada waktu itu
dicintai oleh rakyat. Enam lima, namun sampai bulan September jatuhnya
Bung Karno dengan adanya G-30-S itu, Bung Karno sengaja posisinya
makin terancam. Terancam.
Dengan terancamnya Bung Karno itu, sasaran pokoknya adalah PKI. PKI
1
Usdek: Undang-undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin,
Kepribadian Indonesia. Tavip: Tahun Vivere Pericoloso.
236 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
orang-orang wajib lapor sudah selesai, semua dinyatakan naik truk. Tapi,
situasi pada waktu itu sudah geger (heboh), di daerah Lasem sudah terjadi
demonstrasi yang dilakukan oleh pemuda-pemuda Islam, tujuannya
adalah anti-Soekarno. Dan terjadi clash (pertempuran) antara aparat,
terutama adalah dari – kalau dulu Buterpra, kalau sekarang Koramil –
kalau dulu kalau nggak Buterpra ya PODM, itu Koramil, sekarang
Koramil, yaitu terjadi clash antara aksi massa dilaksanakan oleh pemuda-
pemuda Islam dengan Koramil. Namun dari pihak kami tidak tahu persis
adanya aksi itu, sebab kami sudah ada di kota Seluke dan sebentar lagi
sudah naik kendaraan, dari kendaraan itulah kami turun sebentar di
Kantor Polisi Lasem, dari Kantor Polisi Lasem setelah dihitung diterusken
ke Penjara Rembang, langsung masuk Penjara Rembang.
Dari Penjara Rembang itulah kami merasa tenang. Kenapa kok di dalam
penjara kok tenang? Ha ini faktornya banyak sekali. Karena selama di
rumah, kami mendengar gejolak yang terjadi di masyarakat, terjadi
tembak-tembakan, terjadi pembunuhan dan lain sebagainya. Kemudian
kami setelah diangkut ke penjara bisa bertemu dengan teman-teman dari
seluruh desa, seluruh kecamatan, se-Kabupaten Rembang di situ. Itu
tumplek blek (tumpah ruah). Tempatnya saja ndak cukup, ribuan.
Nah, setelah beberapa hari di sana, menangis, melihat orang-orang yang
dimasukkan di dalam penjara. Hati saya merintih, menangis. Sebab apa?
Sebab ada orang yang sedesa dengan saya, desa asalnya ya di Lasem itu, ya
sebenarnya orang sudah tua. Boleh dikatakan sudah lumpuh, dan tidak
tahu apa-apa memang, kenyataannya begitu, dibawa ke penjara. Masuk
penjara. Di mana letak kemanusiaannya? Diambil pemerintah pada waktu
itu. Namun demikian ini memang merupakan suatu kenyataan, sehingga
kami tidak bisa berbuat apa-apa di dalam penjara, hanya merenung,
merenung, merenung, dan sekali lagi merenung.
Setelah dipenjara, kemudian kami ditampung, dan mulai ada pemeriksaan.
Pemeriksanya dilakukan oleh Timperda, atau Pemeriksa Daerah. Ini saya
dengar dan saya lihat, banyak sekali perlakuan-perlakuan yang dilakukan
oleh aparat daerah itu tidak manusiawi sama sekali.
T: Bisa diceritakan, Pak?
J: Sebab setiap ada teman yang dipanggil dari penjara untuk diperiksa di
satu tempat, di tempat pemeriksaan, pulangnya pasti lumpuh. Itu karena
pukulan yang tidak manusiawi lagi. Ada juga yang telinganya juga sobek,
karena memang ada satu polisi yang terkenal yang namanya, kalau ndak
salah … Lupa saya … Lan … Lan … Das … Darlan apa sapa ya? Polisinya.
Kasilan! Namanya Kasilan. Itu polisi terkenal sebagai satu tim, petugas
yang doyan kuping. Jadi setiap teman ke sana, giliran dia yang meriksa
jangan diharepkan telinganya akan utuh pulang.
T: Itu diapain?
238 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
J: Pasti digigit. Jadi digigit sengaja. Maka dari itu sebagai binatang buas
atau apa saya ndak tahu aja, kenyataannya begitulah. Kemudian pukulan
juga begitu, bertubi-tubi. Ada juga sehabis dari periksa sampai di penjara,
dia semaput. Jadi tidak siuman lagi, karena pukulan yang terlalu parah.
Sesudah itu, begitulah teruuuus, saya lihat tiap hari begitu. Jadi kami di
penjara ini disuguhi oleh atraksi atau kenyataan-kenyataan yang begitu,
yang mengerikan. Sebagai orang Jawa, saya hanya pasrah, memohon
kepada yang Maha Kuasa, semoga saya mendapatkan perlindungan. Dan
satu ketika, lupa saya tanggal pemeriksaannya, sebab tidak tahu.
Pemeriksaan itu saya lupa, tapi ya sekitar tahun 66. Itu sebenarnya saya
sudah mendapat panggilan, dan panggilan setelah menghadap tim saya
suruh menunggu di ruang tunggu. Di ruang tunggu itu yang meriksa saya
tidak datang, sebab saya harus kembali. Paginya dipanggil lagi. Saya
dengar, yang akan meriksa saya itu adalah polisi Kasilan yang doyan
kuping tadi. Tapi mungkin Tuhan memberi pertolongan kepada saya.
Kami tidak jadi diperiksa oleh Kasilan, dan diganti oleh petugas lain,
polisinya, kalau tidak salah namanya Pak Karjan. Lupa saya, sudah sekian
tahun.
Di situ memang saya diinterogasi, dan saya menjawab. Pertanyaannya apa
saya jawab dengan jelas. Nah, di situlah saya mendapat perlakuan yang
baik, dengan dibuktikan saya tidak mendapatkan bentakan apalagi
pukulan itu tidak dapat. Sehingga saya pulang dengan selamat di penjara.
Setelah masuk penjara banyak teman yang meragukan. ‘Ada apa? Kok
pulangnya dengan badan yang utuh?’ Padahal teman-teman masih banyak
yang ancur. Namun di situlah kenyataannya. Jadi mungkin saja kalau
ditinjau dari segi agama, permohonan saya dikabulkan, buktinya saya
masih mendapat perlindungan. Selanjutnya mulai tahun 60, eh, selama di
dalam penjara itu saya ulang lagi, ini, penderitaan bentuk makanan,
bentuk makanan, minuman yang diberikan. Minuman, apalagi minuman
manis, minuman air putih itu aja tidak mencukupi. Makanannya lebih
susah lagi. Cukup diberi makan omprengan. Omprengan itu piring seng.
T: Makannya sehari?
J: Sehari yang tadinya dua kali, akhirnya menjadi satu kali.
T: Isinya apa Pak?
J: Isinya nasi merah dan kasar sekali, cuma satu centong (sendok nasi) itu.
Itu aja tidak selamanya, selama kami di dalam penjara. Dan yang sangat
mengerikan sendiri selama di penjara adalah makan jagung. Jagung yang
direbus hanya beberapa gelintir diberiken sekali, itu saya bagi menjadi tiga
kali. Artinya setiap jam dua saya mendapat rangsum, pembagian makan,
saya makan sore itu. Malamnya saya makan juga beberapa biji, paginya
saya makan lagi, meskipun cuma sepuluh butir saya sisakan untuk pagi-
pagi sebagai sarapan. Dan setelah pagi itu tidak ada jagung yang sehat,
sudah keluar liurnya itu lho. Sudah lekat keluar liurnya dan basi. Tapi
Transkripsi Wawancara 239
Angkatan Darat. ADRI Lima atau ADRI berapa, lupa saya. Saya nggak
ikut, saya adalah angkatan kedua tahun 70. Tanggal sembilan Agustus 70
saya diberangkatkan ke Pulau Buru. Tapi tidak langsung ke Pulau Buru.
Umpama dari Rembang masuk ke Nusakambangan. Dari Nusakambangan
masuk ke sel Nusakambangan di Limus Buntu, itu menderita lagi. Tidak
ubahnya orang-orang yang dipenjarakan lagi meskipun pernah menikmati
udara luar lewat dikaryakan kerja di daerah-daerah dan bisa berhubungan
dengan keluarga dengan leluasa, meskipun dalam keadaan terbatas cuma
setelah di Nusakambangan kami-kami itu dipenjarakan lagi. Di situ kalau
ndak salah 42 hari atau 50. Sekitar itulah, sekitar 40 sampai 50 hari itu. Di
situlah giliran saya kapal yang akan memberangkatkan saya sudah siap di
pantai Nusakambangan itu, dan diberangkatkan ke Pulau Buru.
T: Itu Bapak bisa ceritakan fenomena yang ada di Nusakambangan, Pak?
J: Ya itu, kalau di Nusakambangan itu ya kami selamanya cuma di dalam
penjara, kemudian menerima jatah makan dan bisa diberi waktu untuk
keluar dari pintu, kira-kira jam sembilan dilatih oleh tentara untuk lari-
lari, olahraga. Di situlah di penjara saya, karena penjara saya di Limus
Buntu berhadapan dengan laut, itu merupakan kenikmatan tersendiri bagi
orang yang tertindas, sebagai orang yang terkurung, sebab kalau sudah
mulai senja, itu tampak kapal di laut itu. Dari kami semuanya berkerumun
di belakang pintu itu, lihat dari jeruji-jeruji besi itu, lihat kapal,
pemandangan laut.
Apa itu, di Nusakambangan itu hanya merupakan tempat transit
sementara, saya tidak tahu persis perlakuan orang-orang yang ada di
Nusakambangan. Tapi menurut cerita, menurut cerita memang deritanya
adalah tidak kalah susahnya dari pada derita yang dialami di penjara-
penjara yang lain. Bahkan di penjara Nusakambangan itu adalah
mayoritas atau tempat orang-orang buangan dari narapidana. Ha itulah,
tapol-tapol itu menjadi mangsa daripada narapidana itu, dari napi-napi
itulah memperalat tapol-tapol itu untuk kesenangan dia, itu. Kalau dari
sana, orang-orang yang ditahan di Nusakambangan itu diwajibkan
menanam singkong, tapi setelah keluar singkongnya dia mau makan
sepotong aja harus ijin, ijin petugas dan napi yang diserahi tugas jaga. Jadi
bisa nanam, bisa menciptakan hasil, tetapi tidak bisa makan sesuai dengan
bidangnya. Untuk mendapatkan, mencicipi apa hasil kerjanya itu saja
harus minta ijin. Dan sesuai dengan pemberian yang diberikan oleh
petugas.
Ha ini kami sekali lagi tidak lama di Nusakambangan terus berangkat ke
Pulau Buru. Dari Pulau Buru naik kapal Tobelo sampai di Namlea, itu di
pelabuhan Pulau Buru itu kan berada di Transito. Transito itulah tempat
penampungan kami sementara. Dari Transito kami harus melalui aturan-
aturan tentara yang menjaga di sana sangat ketat, dan akhirnya dengan
susah payah, penderitaan, kami menempati tempat yang baru, yaitu di
Unit 6.
242 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
Pada waktu itu kami membawa barang-barang. Ada tikar, ada pakaian
beberapa lembar, namun karena badan sudah kurus capek, jalan licin lagi,
membawa dengan perjalanan kaki dari ini, dari dermaga ke unit yang
jaraknya cukup jauh, dan lewat jalan setapak, akhirnya jatuh bangun. Dan
sudah malam, gelap sekali, kami tidak bisa mencapai unit. Kami sebagian
teman-teman terpaksa harus tidur tanpa kawalan tentara, kami tidur di
hutan, hampir-hampir jatuh di pinggiran sungai. Di hutan itu lho, untung
ada satu kepala adat yang baik hati, mempersilahkan kami-kami itu berada
di situ dan membakar bekas rumah yang sudah kosong untuk dijadikan,
dibakar untuk penghangat badan. Dari situlah paginya kami dengan udara
yang sangat dingin kami terpaksa tidur beberapa jam. Paginya, kami
setelah kelihatan jalan, berangkat ke Unit 6. Dari Unit 6, setelah sampai di
unit kami sangat terkejut sekali. Di situlah ada barak-barak yang
rumputnya menjulang tinggi, dan rumput itu alang-alang, dan istilahnya
rumput alang-alang dan gerisan.
Di dalam unit itulah kami mendapat bagian parang baru. Namun parang-
parang itu tidak bisa kami gunakan karena memang tumpul sekali, belum
pernah kena asah. Terpaksa kami untuk bisa masuk ke rumah barak, itu aja
kami mencabutin pakai tangan. Mencabut pakai tangan, dan oleh karena
ada rumput yang tajam, seperti rumput gerisan itu yang tajamnya bukan
main, sehingga tangan itu beberapa kali mengeluarkan darah dan
pedasnya bukan main. Tiap hari beberapa hari cuma begitu dengan
pengawasan tentara sangat ketat. Kalau kami kendor sedikit bekerja wahh
… pasti kena dampratan dan pukulan. Setelah kami bisa membabat dan
membersihkan rumput-rumput itu, kemudian kami menempati barak-
barak itu cukup dengan apa itu? bale-bale bambu. Bale-bale bambu itulah
kami bisa tidurkan diri dan paginya harus bekerja. Bekerja, diatur yaitu
berupa bekerja untuk membabat alang-alang, membabat hutan untuk
pertanian dan membuat irigasi. Ha, dengan pengalaman yang tadinya
kosong, terus tidak pengalaman babat hutan, tidak punya pengalaman
babat rumput, akhirnya bersama-sama dengan teman-teman dari desa
yang sudah pernah mengalami itu akhirnya bisa kami laksanakan tugas.
Selama kami dalam masa, istilahnya transisi ya, sebelum kami bisa
menciptakan makanan sendiri itu memang dapat bantuan dari
pemerintah, yaitu kami lupa sendiri makanannya bentuk nasi dalam
ompreng yang dimasak sendiri, jadi dapat jatah beras. Namun kecewanya
pernah juga pengalaman yang kami alami. Makanan yang ada di situ
cukup nasi, pakai ikan asin. Ikan asinnya habis, ndak dapat jatah, pakai
garam melulu. Nasi ada, ikan asinnya habis, garamnya juga ndak ada,
pernah cuma makan nasi doang. Inilah penderitaan yang kami alami.
Sehingga tidak heran bahwa pada awalnya kami berada di pulau Buru itu
segala apa yang kami dapat dari hutan itu, dari lingkungan itu terpaksa
kami makan. Misalnya kami nggali-nggali, di situ ada ular kecil satu
kelingking saja itu merupakan satu santapan yang nikmat. Teman-teman
Transkripsi Wawancara 243
itu mengatakan, ‘Hayo, ini kita nikmati bersama-sama. Ini karunia Tuhan.’
Haa… ada rejeki, teman-teman kalau dapat ular kecil itu saja: ‘Protein’
gitu. Ngomong bareng-bareng, ‘Dapat protein,’ senangnya bukan main.
Dibakar. Bakar itu ndak punya korek, dari mana dapat korek? Akal
kembali jaman sebelum 45, teman-teman pakai bambu. Bambu digosok-
gosok saking kerasnya, disitu ada sejenis kapuk dan sebagainya, keluar
apinya. Itulah, kita beriken kayu-kayu yang kering, yang tipis-tipis, kita
pilah-pilah sampai tipis-tipis, akhirnya bisa untuk menciptakan api dan
kita gunakan untuk membakar apa saja. Dan kita nanam. Tidak hanya itu
saja penderitaan yang kami alami di sana. Di Pulau Buru juga deritanya
lebih bahaya, lebih gawat daripada di Jawa.
Di samping pernah juga makan cuma nasi doang, itu juga pernah ada satu
kasus, ya. Ada satu kasus di unit lain, terjadi suatu kesalahpahaman atau
bagaimana sehingga akhirnya teman-teman di unit itu dikatakan
melakukan suatu pemberontakan, kemudian terjadi penyiksaan. Ha,
penyiksaan dan lain sebagainya. Ada yang terpaksa saking ndak kuatnya
melarikan diri. Tapi kita ingat, kayak hutan Pulau Buru adalah hutan yang
tidak mau bersahabat, di sana isinya cuma pohon-pohon sagu dan rotan
yang tajam-tajam. Nah, ini. Ha karena tidak tahannya, akhirnya orang itu
yah ketangkap juga, mau kemana? Bisa lama bertahan? Nggak mungkin,
dan dikirim, setelah disiksa lalu dikirim kembali ke tempat Transito lagi.
Tempat neraka bagi orang-orang yang ditahan. Jadi Transito adalah
tahanan di dalam tahanan.
Kemudian agak lumayan itu setelah derita kita alami beberapa tahun, kita
sudah akhirnya berkesimpulan, ‘Kalau pemerintah Indonesia macam gini,
mungkinkah kita bisa kembali ke tanah Jawa?’ Pada waktu itu
berkesimpulan, ‘Sulit untuk bisa kembali ke Pulau Jawa.’ Akhirnya kami
semua berkesimpulan, ‘Daripada mati kelaparan di sini, lebih baik
meninggalkan makanan yang luar biasa banyaknya di sini, daripada mati
kelaparan.’ Justeru itu kami bertani dengan bersemangat yang tinggi.
Kerukunan dan bahu-membahu, gotong-royong dengan bersama-sama
teman. Ikan kita bisa swadaya dengan .. di sana itu tiap-tiap air ada mujair
kita buat lubang, empang, kita tanam ikan itu. Akhirnya, ikan itu kita
gunakan untuk makanan. Dapat bantuan sapi dari pemerintah. Sapi ini
kita gunakan, kita pelihara.
Setelah kita bisa memproduksi, bertani dengan baik, kemudian makan bisa
cukupi, sapi merupakan bantuan dari pemerintah bisa kita ternak, dengan
kita bisa memperbanyak, akhirnya yang tadinya kita membuat sawah
cukup dengan cangkul, kita cangkuli sepenuhnya, sekarang bisa kita bajak
pakai sapi. Transportasi di unit, ada dokar. Atau apa ya? Ada dokar, pakai
kuda. Nah, itu juga ada, tapi cuma satu. Itu fasilitas untuk komandan atau
tentara. Nggak ada fasilitas, kecuali kadang-kadang akhir-akhir itu bagi
koordinatornya mungkin mendapat tugas ke Mako atau apa, kadang-
kadang itu bisa pinjam kalau nggak ada kepentingan untuk komendan,
244 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
bisa dipakai. Tapi yang paling banyak di situ kami bisa beli sepeda. Sepeda,
sepeda apa adanya itu lho. Sepeda kita ramai-ramai, dari yang jelek itu
lho, meskipun jelek-jelek kita gunakan untuk hubungan ke tempat
komando.
Jadi begitulah penderitaan. Kemudian tahun menjelang tahun 77, kami
mendapatkan informasi bahwa akan ada pembebasan. Dan pembebasan
pertama suatu kenyataan memang tahun 77. Itu adalah orang-orang yang
menderita sakit parah. Orang yang menderita sakit paru-paru, penyakit
TBC, kulit. Pokoknya penyakit-penyakit yang parah. Mungkin pengobatan
di sana sudah tidak akan bisa melaksanakan dengan baik, justeru itu
mendapatkan prioritas untuk kembali dulu. Kemudian tahun 78 juga ada
dan bertahap. Akhirnya kami mendapat kesempatan untuk bulan
Desember tanggal 18. Jadi 18 Desember 1978 itu kita bebas. Ha setelah
bebas, kami pulang. Di perjalanan kami berpikir. Ke mana kami harus
menempatkan diri? Ke mana kami harus menginap? Rumah sudah tidak
punya, orangtua sudah ndak punya. Ke mana?
Tapi setelah pulang di Rembang tahu-tahu ada memang paman saya ada
yang menjemput. Paman dan bulik (bibi) saya. Itu ada yang menjemput
saya, dan masing-masing punya baik hati untuk nawari silahkan untuk
tidur di tempat dia. Sehingga saya terpaksa memilih satu tempat di paman
saya, yang tidak jauh dari rumah saya. Dari situlah kami melihat, eeh apa
itu, keadaan-keadaan yang sangat menyolok sekali. Di satu pihak kami
menderita sebagai orang yang sudah tahu dunia, dunia luar, lepas dari
penjara, tapi situasi tetap masih mencekam kepada kami. Intimidasi selalu
ada. Intimidasi dari aparat pemerintah selalu ada.
T: Misalnya, Pak?
J: Misalnya kami tidak bisa melakukan pekerjaan sebelum dilakuken
santiaji, santiaji dari kabupaten. Setelah kami tunggu, kami diam saja,
sambil ya ada petugas yang tanya dan lain sebagainya. Namun demikian
kami sudah berbekal dari komandan Inrehab Pulau Buru, bahwa setelah
dibebas dari sana kita harus berbangga hati, dan tidak perlu minder dan
takut. Tanyakan, katakan saja kita adalah ‘alumni Pulau Buru’ gitu
[tertawa]. Jadi dengan gitu kebanggaan tetap ada, yaitu kita sudah
terbebas dengan derita. Namun saya kira, saya pikir, penderitaan itu sudah
cukup kami alami di penjara sampai di pembuangan di Pulau Buru. Tahu-
tahu tidak cukup itu saja. Derita masih harus kami lakukan. Kami tidak
bisa secara bebas untuk bekerja, artinya kalau saya terus leeeng …
misalnya begitu bablas (lari) ke Jakarta kek, atau ke Surabaya, atau ke
pulau-pulau lain, tidak bisa. Kami harus lapor lalu melalui litsus. Jadi
melalui laporan-laporan sebagai … setiap mau pergi harus laporan. Model
apa ini? Akhirnya saya memaksakan diri demi saya harus bisa mencari
nafkah untuk menghidupi anak saya, pada waktu itu anak saya sudah dua.
Ha, saya harus bisa menghidupi diri saya dan anak saya.
Transkripsi Wawancara 245
sekali, karena apa? Pasar itu sebagai penjualan kecil saja kehidupannya atas
dasar hasil dari desa-desa, kalau di desa-desa tidak ada penghasilan, jelas
pasar ya repot, sepi.
T: Dulu, Pak, waktu itu Bapak ditahan, Ibu dari mana hidupnya?
J: Ya pada waktu ditahan Ibu itu nggak punya penghasilan.
T: Apa jual rumah, apa jual…?
J: Ya apa yang punya. Apakah juga sepeda dijual. Ada sepeda, sepeda
dijual. Ada kursi, meja kursi dijual, lemari dijual, untuk ngirim. Kemudian
habis, isteri saya ikut orangtuanya. Saya ya biarkan ndak bisa ngirim,
gimana. Jadi isteri saya ikut orangtuanya, saya nggak bisa ngirim, tidak
bisa dikirimi. Akhirnya hidup saya ya sudah, apa adanya, kalau ada belas
kasihan daripada teman-teman yang punya makanan lebih, atau
kesadaran teman, ya saya dapat. Tapi memang ya kehidupan di dalam
penjara yang senasib itu memang rukun. Jadi andaikan teman-teman itu
punya singkong satu aja, ya dibagi-bagilah. Jadi kehidupan terpaksa gitu.
T: Bapak waktu kerja paksa bisa pulang ke rumah?
J: Pada waktu ditahan di daerah?
T: Iya.
J: Pulang ke rumah, ya harus ijin.
T: Tapi bisa?
J: Pada waktu kami dikaryakan, itu memang bisa pulang ke rumah harus
ada ijin. Dan surat ijin itu harus laporan kepada kepala desa. Bahwa nggak
tahu surat ijin itu pakai kebijaksanaan ditugaskan mencari apa, apa …
supaya untuk mempermudah saja untuk tidak ada rasa curiga dari
masyarakat. Namun demikian, sebenarnya kami kalau dipulangkan itu
juga masyarakat tidak ada yang menaruh curiga kepada saya. Hanya
aparat yang mencurigai, ndak tahu. Sebenarnya masyarakat itu sudah
lama nggak ada apa-apa. Ya memang ada satu, dua orang-orang yang, ada
berapa gelintir orang yang memangnya dulu itu pernah berbuat jahat
terhadap orang yang ditahan itu kalau orang yang ditahan mungkin
dianggapnya balas dendam. Padahal sampai detik ini kami tidak
mempunyai perasaan ingin balas dendam. Bahkan saya mempunyai
‘Sudahlah!’ Maksud saya, kalau yang sudah, sudah. Kita bangun Indonesia
ini menjadi Indonesia yang baru, hilangkan sifat-sifat diskriminasi, kita
bisa hidup rukun kembali seperti jaman-jaman keemasan kita, jaman
kedamaian kita. Ha, kita supaya bisa hidup dengan damai rukun kembali.
Sebab kami tidak mempunyai rasa untuk ingin balas dendam. Kita ingin
kehidupan Indonesia ini Indonesia yang damai, syukur bisa menciptakan
masyarakat yang madani.
T: Tapi ketika Bapak pulang tetangga-tetangga sini bagaimana, Pak? Waktu
Bapak pulang itu?
Transkripsi Wawancara 247
dia juga dasar punya modal yang banyak atau bagaimana. Tapi
penghidupan saya dari hari ke hari dari dulu setelah bebas itu dari hasil
kerja sebagai karyawan, buruh. Sudah nggak ada apa-apa jadi
pengangguran.
T: Bapak sekarang nganggur?
J: Sekarang nganggur, sudah berapa … tiga tahun nganggur. Saya tadi kan
cuma main-main di pasar, gitu, lihat ibunya. Tentu sampai saat ini saya
masih mencari peluang, mungkin ada ya belas kasihan daripada tenaga
lain atau orang teman-teman, atau orang saudara, sahabat, yang bisa ada
peluang kami bisa mencari nafkah, akan kami laksanakan meskipun tidak
harus ada di daerah tempat tinggal saya. Saya sudah mencoba
menghubungi teman-teman yang di Jakarta, di anu lagi, baik di proyek
maupun di mana aja. Tapi kenyataannya sampai saat sekarang sama-sama
masih menderita.
T: Bapak waktu melaksanakan pernikahan anak Bapak nggak ada masalah
Pak, karena Bapak sebagai eks tapol?
J: Pernikahan. Nikah itu kan … saya gini ya, nikah saya itu dua kali.
Pernikahan pertama itu masih jaman Bung Karno, tidak ada masalah.
Setelah saya dipenjara, isteri saya menikah. Ya, menikah. Mungkin ya
karena tekanan ekonomi yang jelas. Tekanan ekonomi harus menghidupi
anak saya, anak saya. Terpaksa isteri saya menikah. Setelah saya pulang,
saya ndak punya apa-apa, akhirnya saya kenal dengan ibunya anak-anak
sekarang itu, dan dia bersedia kawin, rumah tangga dengan saya. Pada
waktu itu juga ndak ada masalah apa-apa, kami kawin yang terakhir ini,
kami rumah tangga secara Kristen. Jadi, nikah Katolik, secara Katolik, jadi
lewat catatan sipil. Kalau dulu masih Islam, pada waktu itu.
T: Tapi anak Bapak yang kedua ini, yang terakhir tahu Bapak sebagai eks
tapol mungkin?
J: Anak saya yang mana? Untuk yang pertama, kedua, tahu. Tapi untuk
yang ketiga ini kami kurang jelas. Lebih-lebih yang terakhir, sebab sampai
saat ini kami belum pernah menceritakan hal ini untuk daripada anak
saya. Saya anggap belum waktunya, nanti jangan-jangan ini mengganggu
sekolahnya. Jadi memang ibunya anak-anak sendiri saya tekankan untuk
tidak menceritakan kepada anak-anak. Ya yang gede-gede tahu biarlah, dia
kan sudah bisa mencari nafkah sendiri. Yang ini jangan dulu, sebab ini
nanti sekolahnya terganggu. Nah itu. Namun saya pikir, yang sudah SMU
itu saya pikir tahu. Sudah merasakan. Buktinya dia tahu kalau dari saya
dulu guru, gitu. Anak yang kecil, yang kecil ini juga tahu, ‘Bapak mbiyen
guru, kenapa saiki kok prei ya Pak? Kok gak entuk pensiun?’ tanya gitu.
(Bapak dahulu guru, kenapa sekarang kok tidak lagi, ya Pak? Tidak dapat
pensiun?)
T: Tahunya dari mana Pak?
Transkripsi Wawancara 249
Budiardjo, Carmel, Surviving Indonesia’s Gulag (London: Cassell, 1995). Terjemahan: Bertahan
Hidup di Gulag Indonesia (Kuala Lumpur: Wira Karya, 1997)
Dani, Omar, Tuhan Pergunakanlah Hati, Pikiran dan Tanganku: Pledoi Omar Dani (Jakarta: ISAI,
2001).
Hanafi, A.M., A.M. Hanafi Menggugat (Lile, France: Edition Montblanc, 1998).
Havelaar, Ruth (Jitske Mulder), Selamat Tinggal Indonesia (Jakarta: Lentera, 1995; Pustaka Utan
Kayu, 2003). Diterjemahkan dari Quartering: A Story of a Marriage in Indonesia During the
Eighties (Monash Papers on Southeast Asia, no. 24, 1991).
Krisnadi, I.G., Tahanan Politik Pulau Buru, 1969-1979 (Jakarta: LP3ES, 2001).
Latief, Kol. Abdul, Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G-30-S (Jakarta: ISAI, 2000).
Marni, Ibu, “I am a Leaf in a Storm,” diedit dan diterjemahkan oleh Anton Lucas, Indonesia 47 (April
1989).
Moestahal, H. Achmadi, Dari Gontor ke Pulau Buru (Yogyakarta: Syarikat, 2002).
Oei Tjoe Tat, Memoar Oei Tjoe Tat: Pembantu Presiden Soekarno (Jakarta: Hasta Mitra, 1995).
Nusa, Pandu, “The Path of Suffering: The Report of a Political Prisoner on his Journey through
Various Prison Camps in Indonesia,” Bulletin of Concerned Asian Scholars 19: 1 (1987).
Prayitno, Suyatno; Hasibuan, Astaman; Buntoro, Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman,
Prajurit (Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2003).
Raid, Hasan, Pergulatan Muslim Komunis (Yogyakarta: LKPSM/Syarikat, 2001).
Reksosamodra, Pranoto, Memoar Major Jenderal Raden Pranoto Reksosamodra (Yogyakarta:
Syarikat, 2002).
Saroso, Kresno, Dari Salemba ke Pulau Buru: Memoar Seorang Tapol Orde Baru (Jakarta: Pustaka
Utan Kayu, 2002).
Sasongko, H.D. Haryo, Anak Bangsa Terpidana: Catatan Harian (Jakarta: Pustaka Utan Kayu, 2003).
Setiawan, Hersri, “Dua Wajah dalam Satu Haribaan: Warna-warna Pendewasaan di Pulau Buru,”
Prisma (Oktober 1979).
——— “Keeping Your Head: Memoir of Detention in Prison,” Inside Indonesia (October 1984).
——— “Art and Entertainment in the New Order’s Jails,” penerjemah Keith Foulcher, Indonesia 59
(April 1985).
——— Dunia yang Belum Sudah (Kockengen, 1993).
——— “Behind Bars,” Manoa 12: 1 (2000).
252 Tahun yang Tak Pernah Berakhir
TENTANG PENULIS
André Liem lahir di Jakarta 1979. Lulus D3 Manajemen Informasi, Fakultas Ilmu Komputer,
Universitas Gunadarma. Tertarik mempelajari sejarah Indonesia, khususnya tentang peristiwa 1965.
Minat lainnya adalah mempelajari budaya pengobatan tradisional dan mendukung gerakan kesehatan
mandiri alami. Aktif di Jaringan Kerja Budaya dan Komunitas Sekitarkita. Saat ini masih berkuliah di
Jurusan Filsafat, STF Driyarkara.
Aquino W. Hayunta menyelesaikan kuliahnya di Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Atma Jaya,
Jakarta, pada 1999. Pernah aktif di Tim Relawan untuk Kemanusiaan sejak 1998 sampai 2000. Setelah
itu, menjadi peneliti di Elsam dan sekarang bekerja di sebuah lembaga pemerhati pendidikan, The
Centre for the Betterment of Education, Jakarta. Yang bersangkutan juga aktif menjadi redaksi di
www.sekitarkita.com, sebuah situs informasi HAM dan budaya.
John Roosa Asisten Profesor di bidang Sejarah Asia Tenggara dan Hubungan Internasional di
University of British Columbia, Vancouver, Kanada. Ia menerima gelar doktor untuk bidang Sejarah
Asia Selatan dari University of Wisconsin-Madison (1998). Pada 2001-2002, ia menerima beasiswa
penelitian pasca-doktor dari Institute of International Studies, University of California-Berkeley.
Josepha Sukartiningsih lulus D3 Jurusan Akuntansi Universitas Nasional pada 1999. Saat ini sedang
mengikuti Program Extension Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia dan bekerja sebagai karyawati
sebuah perusahaan swasta di Jakarta. Dia juga aktif di Tim Relawan untuk Kemanusiaan.
Yayan Wiludiharto pernah kuliah di Fakultas Biologi, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta. Sekarang aktif
di Tim Relawan untuk Kemanusiaan dan Jaringan Kerja Budaya. Dia pernah ke Timor Timur dan
Ambon untuk menjalankan misi kemanusiaan. Pada 2003, dia menyutradarai film dokumenter Bunga
dan Tembok.
Razif lulus dari Jurusan Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia pada 1989. Semenjak lulus, ia
tertarik dengan penelitian sejarah sosial. Ia pernah menulis artikel di jurnal Prisma tentang buruh
perkebunan di Sumatra Timur dan jurnalis zaman 1920an Mas Marco Kartodikromo. Ia juga menulis
buku Sejarah Pemikiran Serikat Buruh di Indonesia. Sejak 1999, menjadi koordinator redaktur Media
Kerja Budaya. Sekarang, ia sedang melakukan penelitian sejarah tentang buruh di Tanjung Priok dan
Kampoeng Manggarai untuk Institut Sejarah Sosial Indonesia.
Rinto Tri Hasworo lulus S1 dari Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi pada 1996. Pernah aktif di Divisi
Pendampingan Korban, Tim Relawan untuk Kemanusiaan. Sekarang aktif di Jaringan Kerja Budaya.
Sedang berkuliah di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Program Extension.