Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Analitik Kimia

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

KIMIA ANALITIK II
PERCOBAAN II
IODOMETRI DAN IODIMETRI

NAMA

: AULIA PEBRINA

NIM

: J1B111047

KELOMPOK

: IB

ASISTEN

: ZULFIKURRAHMAN

PROGRAM STUDI S-1 KIMIA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2013

PERCOBAAN II
IODOMETRI DAN IODIMETRI
I.

TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan kadar tembaga
dalam kristal CuSO4.5H2O dengan metode iodometri.

II. TINJAUAN PUSTAKA


Untuk menentukan kadar tembaga dalam kristal CuSO4, dapat
dilakukan titrasi iodometri. Kalium iodida digunakan untuk penentuan secara
tidak langsung beberapa oksidator, salah satu diantaranya adalah tembaga
(Basset, 1994).
Iodin merupakan zat pengoksidasi yang jauh lebih lemah daripada
kalium permanganat, senyawa serium (IV) dan kalium dikromat. Di lain
pihak, ion iodida merupakan zat pereduksi yang termasuk kuat. Dalam proses
analisis, iodin dipergunakan sebagai sebuah agen pengoksidasi (iodimetri)
dan ion iodida dipergunakan sebagai agen pereduksi (iodometri). Dapat
dikatakan bahwa hanya sedikit saja substansi yang cukup kuat sebagai unsur
reduksi untuk titrasi langsung dengan iodin. Karena itu, jumlah dari
penentuan iodimetri adalah sedikit. Namun demikian, banyak agen
pengoksidasi yang cukup kuat untuk bereaksi secara lengkap dengan ion
iodida, dan aplikasi dari iodimetri cukup banyak. Kelebihan dari ion iodida
ditambahkan ke dalam agen pengoksidasi yang sedang ditentukan,
membebaskan iodin, yang kemudian dititrasi dengan larutan natrium
tiosulfat. Reaksi antara iodin dengan tiosulfat berlangsung sempurna (Day &
Underwood, 1999).
Sebagai oksidator lemah, iodin tidak dapat bereaksi terlalu sempurna.
Karena itu sering dibuat kondisi yang menggeser kesetimbangan kearah hasil
reaksi antara lain dengan mengatur pH (lihatlah standarisasi dengan As2O3
dibawah) atau menambahkan bahan pengompleks seperti dilakukan pada
titrasi Fe2+ dengan pemberian EDTA atau P2O7. Kedua zat ini mengompleks
ion Fe3+ maupun Fe2+ tetapi jauh lebih kuat mengompleks Fe3+ dari pada Fe2+.
I2 merupakan zat padat yang sukar larut dalam air, tetapi mudah larut dalam
larutan KI membentuk ion I3- yang merupakan kompleks lemah. Jadi KI yang

ditambahkan selain mereduksi juga melarutkan I2 hasil reaksi itu


(Harjadi, 1993).
Jika larutan iodium di dalam KI pada suasana netral maupun asam
dititrasi maka :
I3- + 2 S2O32-

3I- + S4O62-

Selama reaksi zat antara S2O3I- yang tidak berwarna adalah terbentuk sebagai:
S2O32- + I3-

S2O3I- + 2I-

Yang mana berjalan terus menjadi :


2 S2O3 I- + I-

S4O62- + I3-

warna indikator muncul kembali pada


S2O3 I- + S2O3 2-

S4O62- + I-

Penerapan dari titrasi iodometri ini antara lain dilakukan pada


penentuan klorida (Cl2), penentuan ion ClO3-, penentuan Cu2+ dan lain-lain.
Metode titrasi iodometri langsung (kadang-kadang dinamakan iodimetri)
mengacu kepada titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi
iodometri tak-langsung (kadang-kadang dinamakan iodometri), adalah
berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia
(Bassett, 1994).
Dalam titrasi iodometri menggunakan Na2S2O3 sebagai titran, analit
harus berupa oksidator yang cukup kuat.

Analit tersebut terlebih dahulu

direduksi dengan KI sehingga dihasilkan I2 yang kemudian dititrasi dengan


Na2S2O3. Dengan reaksi :
Oks analit + I-

Red analit + I2

2S2O32- + I2

S4O62- + 2I-

Titrasi ini dapat dilakukan tanpa penambahan indikator, karena warna I 2


coklat tua sehingga setelah titik akhir titrasi tercapai larutan berubah warna
menjadi tidak berwarna atau bening. Konsentrasi iodium 5 . 10-6 M masih
dapat dilihat dengan mata, dan dengan kontrol pada titik akhir titrasi jika
kelebihan 1 tetes titran. Perubahan warna yang terjadi pada larutan akan
semakin jelas dengan penambahan indikator amilum. Kekuatan oksidasi
ekivalen dari suatu permanganat dan titrasi iodometri akan berbanding lurus
dengan asam oksalat (De Loureiro & Janz).

III. ALAT DAN BAHAN


A. Alat
Alat-alat yang digunakan pada percobaan ini adalah gelas arloji,
erlenmeyer, neraca analitik, botol semprot, labu ukur 100 ml, pipet
volume 25 ml, buret 50 ml, pipet tetes, gelas ukur 10 ml, dan gelas beker.
B. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah kristal
KIO3, larutan H2SO4 2 N, larutan KI 10 %, larutan baku Na 2C2O3, larutan
amilum 1%, larutan K/NH4CNS 10%, garam, larutan baku thio, dan
akuades.
IV. PROSEDUR PERCOBAAN
A.

Pembuatan Larutan Baku KIO3 0,1N


0, 35 gram KIO3
- Ditimbang
- Dilarutkan
Akuades
- Dimasukkan secara kuantitatif kedalam labu ukur
100 ml
- Diencerkan sampai tanda batas
Hasil

B.

Pembakuan Larutan Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3


- Dipipet
25 ml larutan baku
KIO3 0,1N
- Dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250
ml
- Ditambahkan
3 ml H2SO4 2N + 10 ml larutan KI 10%

- Dikocok
- Dititrasi
Larutan baku Na2S2O3

Larutan berwarna kuning


Akuades

- Diencerkan sampai 40 ml

- Ditambahkan
2-4 ml larutan 1%
- Dititrasi sampai warna biru tepat hilang
Hasil

C.

Penentuan Kadar Cu dengan Larutan Baku Na2C2O4


1 gram garam
- Ditimbang
- Dilarutkan
Akuades
- Dimasukkan secara kuantitatif kedalam
labu ukur 100 ml
- Diencerkan sampai tanda batas
- Dikocok secara sempurna
- Dipipet
10 ml larutan sampel
- Dimasukkan kedalam Erlenmeyer 250
ml
- Ditambahkan
2 ml KI 10%
- Dikocok
I2
- Dititrasi
Larutan baku thio

Larutan berwarna kuning muda


- Ditambahkan
2 ml larutan amilum 1%

- Dititrasi sampai warna biru hilang


- Ditambahkan
2 ml larutan K/NH4CNS 10%
- Dititrasi dengan cepat sampai warna biru
tepat hilang
Hasil
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1.

Pembakuan Larutan Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3


No.
Langkah Percobaan
1. Ditimbang 0,35 gram KIO3

Hasil Pengamatan

diencerkan 100 ml
2.

Dipipet

25

ml

KIO3

ke Cokelat

Erlenmeyer 250 ml + 3 ml
H2SO4 2 N dan 10 ml larutan KI
1%, dikocok
3.

Dititrasi dengan Na2S2O3


Ditambahkan 2-4 ml amilum 1%

4.

Ditrasi kembali dengan Na2S2O3

5.

V1 titrasi = 18,5 ml
Larutan kuning bening
Larutan berwarna biru tua
V2 titrasi = 3,4 ml
Larutan berwarna bening
V rata-rata = 10,95 ml

2.

Penentuan Kadar Cu dengan Larutan Baku Na2S2O3


No.
Langkah Percobaan
1. Dilarutkan 1,0 gram garam dengan

Hasil Pengamatan

akuades
2.

Dimasukkan ke labu ukur 100 ml

3.

Diencerkan hingga batas mengocok

4.

Dipipet 10 ml dan dimasukkan ke


Erlenmeyer 250 ml

5.

Ditambahkan 2 ml KI 1%, dikocok

Larutan berwarna

cokelat kekuningan
6.

Dititrasi dengan Na2S2O3

V1 titrasi = 1,95 ml

7.

Ditambahkan 2 ml larutan amilum

V2 titrasi = 0,95
Larutan biru tua

8.

Ditambahkan 2 ml KCNS

V3 titrasi = 1 ml

9.

Dititrasi kembali

Larutan berwarna
bening
V rata-rata = 1,3 ml

B. Perhitungan
1. Pembuatan Larutan Baku KIO3 0,1N
Diketahui : Massa KIO3
BM KIO3

= 0,35 g
= 214,0064 g/mol

V pengenceran = 0,1 L
e KIO3

=6

Ditanya : N KIO3 = .........?


Jawab :
N KIO3

m KIO 3
x e KIO 3
Vp x BM KIO 3
0,35 g

= 0,1 L x 214,0064 g / mol x 6


= 0,1 N
2.

Pembakuan Larutan Na2S2O3 dengan Larutan Baku KIO3 0,1 N


Diketahui : N KIO3

= 0,1 N

V KIO3

= 25 ml

V Na2S2O3 = 10,95 ml
Ditanya :

N Na2S2O3 = ........?

Jawab :
N Na2S2O3 =

( N x V ) KIO 3
V Na 2 S 2 O 3

0,1N x 25 mL
10,95mL

= 0,2283 N
3.

Penentuan Kadar Cu dengan Larutan Baku Na2S2O3


Diketahui : V Na2S2O3
N Na2S2O3

= 1,3 ml
= 0,2283 N

Massa sampel = 1,0 g


Ditanya :

% Cu dalam sampel = ......?

Jawab :
2 S2O32- + I2

S4O62- + 2I-

2 mgrek S2O32-

= mgrek I2

2 (V x N) S2O32-

= mol I2 x e I2

mol I2

(V x N)S 2 O 3
=2
e I2
=2

2-

1,3 x 10 3 L x 0,2283 N
2

= 2,9679.10-4 mol
Reaksi :
2 Cu2+ + 4 Imol Cu2+

2 CuI- + I2
= 2 mol I2
= 2 x 2,9679.10-4 mol
= 5,9358.10-4 mol

massa Cu2+

= mol Cu2+ x BA Cu2+


= 5,9358.10-4 mol x 63,55 g/mol
= 0,0377 g

% Cu dalam sampel =
=

massa Cu 2
x 100%
massa sampel

0,0377 g
x 100%
1,0 g

= 3,77 %
B. Pembahasan
1.

Pembakuan larutan Na2S2O3 dengan larutan baku KIO3


Sebelum larutan Na2S2O3 digunakan untuk menentukan kadar
Cu2+, terlebih dahulu larutan tersebut di bakukan atau distandarisasi.
Pada proses pembakuan ini, diperlukan suatu larutan standar primer.
Larutan standar primer yang digunakan dalam percobaan ini adalah
KIO3. Larutan baku KIO3 0,1 N dibuat dengan melarutkan sebanyak
0,35 gram KIO3 dalam 100 ml akuades. Dari larutan tersebut diambil
sebanyak 25 ml larutan baku KIO3 kemudian ditambahkan 3 ml asam
sulfat 2 N, warna larutan menjadi bening. Penambahan ini dilakukan

untuk memberikan suasana asam sehingga titik akhir titrasi dapat


diketahui dengan jelas, yang ditandai dengan hilangnya warna biru
pada larutan.
Kemudian sebanyak 10 ml kalium iodida 10 % ditambahkan
ke dalam larutan, warna larutan berubah menjadi cokelat keruh.
Larutan yang terdiri dari kalium iodat dan kalium iodida berada dalam
kondisi netral atau memiliki keasaman rendah. Ion iodat akan
tereduksi menjadi iodium. Analat harus berupa suatu oksidator yang
cukup kuat. Oleh karena itu, pada titrasi iodometri, analat terlebih
dahulu direduksi menggunakan larutan KI sehingga terbentuk iodium.
Reaksi yang terjadi adalah :
IO3- + 5I- + 6H+ 3I2 + 3H2O
Reaksi di atas dilakukan dalam suasana asam dengan
penambahan asam sulfat pekat. Tujuannya adalah untuk mempercepat
reaksi. Dari reaksi di atas terlihat adanya iodium yang dibebaskan.
Iodium inilah yang akan bereaksi dengan ion tiosulfat dari larutan
Na2S2O3 dengan reaksi sebagai berikut:
2S2O32- + I2 S4O62- + 2ISaat ditambahkan amilum, warna larutan berubah menjadi
biru. Warna biru yang timbul merupakan warna kompleks dari
I2-amilum. Amilum dengan I2 membentuk suatu kompleks iod amilum
yang berperan sebagai uji kepekaan terhadap iodium. Kepekatan itu
lebih besar dalam larutan sedikit asam daripada dalam larutan netral
dan lebih besar dengan adanya ion iodida. Reaksi yang terjadi saat
penambahan amilum :
I2 + amilum I2-amilum
Proses titrasi harus dilakukan sesegera mungkin. Hal ini
disebabkan sifat I2 yang mudah menguap. Warna bening pada larutan
merupakan warna dari I- yang dibebaskan pada titik akhir titrasi, iod
yang terikat hilang bereaksi dengan titran sehingga warna biru atau
biru tua hilang secara tiba-tiba dan perubahan warnanya tampak
sangat jelas, yaitu dari biru tua menjadi bening (tak berwarna). Saat
titrasi berjalan terjadi reaksi :
2 S2O32- + I2

S4O62- + 2I-

Dari volume titrasi yang dihasilkan dari perhitungan, didapat


konsentrasi thiosulfat yaitu sebesar 0,2283 N.
2.

Penentuan Kadar Cu dengan Larutan Baku Na2S2O3


Penentuan kadar Cu2+ dalam sampel garam CuSO4.5H2O dapat
dilakukan dengan memakai larutan baku Na2S2O3 yang telah
distandarisasi. Pada penentuan ini digunakan 1 gram sampel
CuSO4.5H2O (berwarna biru) yang dilarutkan ke dalam akuades dan
diencerkan sampai 100 ml. Dari larutan tersebut diambil 10 ml, lalu
ditambahkan dengan 2 ml larutan KI 10%. Larutan menjadi berwarna
coklat yang terbentuk akibat adanya pembebasan ion iodium dari
larutan KI.
Larutan ini kemudian dititrasi dengan larutan baku natrium
thiosulfat sampai berwarna kuning. Saat larutan mendekati titik
ekivalennya maka ditambahkan 2 ml larutan amilum 1% dan warna
larutannya berubah. Penambahan amilum ini dimaksudkan sebagai
indikator tercapainya titik ekivalen titrasi. Meskipun iodium sendiri
memiliki warna yang cukup kuat, dengan penambahan amilum akan
terjadi kompleks antara amilum dengan iodium yang memberikan
warna biru tua, yang mana warna ini sangat peka untuk uji terhadap
iodium. Kepekaan ini menjadi lebih besar dengan adanya ion iodida
yang berasal dari KI. Penambahan dilakukan pada akhir titrasi karena
jika amilum ditambahkan di awal titrasi kemungkinan terjadinya
kompleks antara amilum dengan I2 akan semakin besar. Ini
mengakibatkan amilum sukar lepas kembali karena dibungkus oleh
iod berlebih. Reaksi yang terjadi adalah :
2Cu2+ + 4 I-

2 CuI + I2

I2 + amilum

I2-amilum

I2 -amilum + 2 S2O32biru tua

2I- + amilum + S4O62bening

Hal yang perlu diperhatikan setelah penambahan amilum


adalah adanya sifat adsorpsi pada permukaan endapan tembaga(I)
iodida. Sifat ini menyebabkan terjadinya penyerapan iodium dan
apabila iodium ini dihilangkan dengan cara titrasi, maka titik akhir
titrasi akan tercapai terlalu cepat. Oleh karena itu, sebelum titik akhir

titrasi tercapai, yaitu pada saat warna larutan yang dititrasi dengan
Na2S2O3 akan berubah dari biru menjadi bening, dilakukan
penambahan

kalium

tiosianat

KCNS.

Penambahan

KCNS

menyebabkan larutan kembali berwarna biru. Reaksi yang terjadi


adalah sebagai berikut:
2Cu2+ + 2I- + 2SCN- 2CuSCN + I2
Setelah larutan menjadi bening ditambahkan lagi dengan
larutan KCNS 10%. Penambahan ini menyebabkan terjadinya
perubahan warna yang tajam..
2Cu2+ + 2I- + 2CNS-

2 CuCNS (s) + I2

Tembaga (I) thiosianat dapat terbentuk pada permukaan


tembaga (I) iodida yang sudah terendapkan.
CuI (s) + CNS-

CuCNS(s) + I-

Karena iodium dapat mengoksidasi ion tiosianat, juga


penambahan ion tiosianat dari KCNS hanya dimaksudkan untuk
menentukan titik akhir titrasi dengan tepat. Ion thiosianat ini tidak
boleh ditambahkan sebelum sebagian atau lebih dari iod telah
tertitrasi, karena thiosianat itu dapat dioksidasi oleh iod. Pada
percobaan ini diperoleh kadar tembaga dalam sampel CuSO4.5H2O
adalah 3,77%.
VI. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diambil dari percobaan ini adalah sebagai berikut :
1. Metode yang digunakan pada percobaan penentuan kadar tembaga (II)
adalah metode iodometri (analisis secara tidak langsung).
2. Pada metode iodometri indikator yang digunakan adalah indikator amilum.
3. Titran yang digunakan pada metode ini adalah larutan baku natrium
thiosulfat dan idikator yang digunakan adalah indikator amilum.
4. Pada pembakuan larutan Na2S2O3 dengan larutan baku KIO3 diperoleh
konsentrasi tiosulfat sebesar 0,2283 N.
5. Kadar tembaga yang terkandung dalam sampel pada percobaan ini adalah
3,77%.
DAFTAR PUSTAKA

Basset, J. 1994. Buku Ajar Vogel, Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik. Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Day dan Underwood. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Erlangga. Jakarta.
De Loureiro, J.A and Janz, G.J. 1943. Iodometric and Colorimetric Methods For
The Estimation Of Calcium In Serum Based On The Use Of An Improved
Permanganate Solution.
http ://w3.biochemj.org/bj/038/0016/0380016.pdf
Diakses pada tanggal 15 April 2010.
Harjadi, W. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai