Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Referat Penatalaksanaan Skizofrenia

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
I.1

Latar Belakang
Skizofrenia merupakan gangguan psikotik yang paling sering. Hampir 1%

penduduk di dunia menderita skizofrenia selama hidup mereka. Di Amerika Serikat


prevalensi skizofrenia seumur hidup dilaporkan secara bervariasi terentang dari 1 sampai
1,5 %; konsisten dengan angka tersebut, penelitian Epidemological Catchment Area (ECA)
yang disponsori oleh National Institue of Mental Helath (NIHM) melaporkan prevalensi
seumur hidup sebesar 1,3% 1.
----Prevalensinya Skizofrenia antara laki-laki dan wanita sama, tetapi berbeda dalam onset
dan perjalanan penyakit, laki-laki mempunyai onset lebih awal daripada wanita. Usia
puncak onset untuk laki-laki adalah 15 sampai 25 tahun; untuk wanita usia puncak adalah
25 sampai 35 tahun. Onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau sesudah 50 tahun adalah
sangat jarang 1.
Di indonesia penderita dengangangguan jiwa jumlahnya mengalami peningkatan
terkait dengan berbagai macam permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia, mulai
dari kondisi perekonomian yang memburuk, kondisi keluarga atau latar belakang atau pola
asuh anak yang tidak baik sampai bencana alam yang melanda negara kita. Kondisi seperti
ini dapat menimbulkan masalah-masalah psikososial maupun ekonomi, maka ada
kecenderungan seseorang untuk mengalami skizofrenia

. Orang yang mengalami

skizofrenia berarti kesehatan jiwanya terganggu, padahal kesehatan jiwa adalah salah satu
unsur kehidupan yang terpenting 3.
Gejala skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa muda.
Skizofrenia adalah gangguan yang paling lazim dan paling penting. Gangguan skizotipal
memiliki banyak ciri khas dari gangguan skizofrenik dan mungkin berkaitan secara genetik
dengan skizofrenia, namun demikian, halusinasi, waham dan gangguan perilaku yang
besar dari skizofrenia. Gangguan skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan
persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang tidak wajar atau tumpul 4.
Penanganan pasien skizofrenia dibagi secara garis besar menjadi, terapi biologik
atau obat anti psikotik, terapi psikososial, dan perawatan rumah sakit (Hospitalize).
Walaupun medikasi antipsikotik adalah inti dari pengobatan skizofrenia, penelitian telah
menemukan bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis. Modalitas
psikososial harus diintegrasikan secara cermat ke dalam regimen terapi obat dan harus
1

mendukung regimen tersebut. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat


dari pemakaian kombinasi pengobatan antipsikotik dan psikososial1.
I.2

Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang penatalaksanaan Skizofrenia baik secara terapi

biologik maupun terapi psikososial.


I.3

Tujuan
1. Sebagai referensi untuk menambah sumber bacaan mengenai penatalaksanaan
Skizofrenia
2. Sebagai pembelajaran untuk penatalaksanaan Skizofrenia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Skizofrenia
2.1.1 Definisi
Skizofrenia merupakan suatu gangguan jiwa yang memiliki karakteristik khusus.
Dalam Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III, definisi skizofrenia
dijelaskan sebagai gangguan jiwa yang ditandai dengan distorsi khas dan fundamental
dalam pikiran dan persepsi yang disertai dengan adanya afek yang tumpul atau tidak
wajar4.
2.1.2 Diagnosis
Harus ada sedikitnya satu gejala berikut yang amat jelas (dan biasanya dua gejala
atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas)4:

Thought echo (isi fikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam
kepalanya, dan isi fikiran ulangan walaupun isinya sama namun kualitasnya

berbeda); atau
Thought insertion or withdrawal: Isi fikiran yang asing dari luar masuk kedalam

fikirannya atau isi fikirnya di aambil oleh sesuatu dari luar; dan
Thought broadcasting: isi fikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau

umumnya mengetahuinya.
Delusion of control: waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau


Delusion of influence: waham tentang dirinya di pengaruhi oleh suatu kekuatan

tertentu dari luar; atau


Delusional perception: Pengalaman inderawi yang tak wajar, yang bermakna sangat

khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat


Halusinasi

Atau paling sedikit 2 gejala di bawah ini yang harus ada secara jelas:

Halusinasi yang menetap dari panca indera


Arus fikir yang terputus
Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh gelisah
Gejala-gejala negative seperti sikaap sangat apatis, bicaara yang jarang dan respons
emosionaal yang menumpul dan tidak wajar biasanya penarikan diri dari pergaulan
3

social dan menurunnya kinerja social, tetapi harus jelas tidak di sebabkaan karena
depresi
Adanya gejala khas tersebut diatas telah berlangsung dalam kurun waktu satu bulan
atau lebih.
Tabel 2.1 Gejala skizofrenia1
Gejala Negatif
Pendataran afektif

Gejala Positif
Halusinasi

Eskpresi wajah yg tidak berubah

Dengar

Penurunan spontanitas gerak

Suara yg mengomentari

Alogia

Suara yg bercakap-cakap

Kemiskinan bicara

Somatik-taktil

Kemiskinan isi bicara

Cium

Tidak ada kemauan

Lihat

Anhedonia

Waham

Tidak memiliki atensi sosial

Kejar
Cemburu
Bersalah, dosa
Kebesaran
Keagamaan
Dikendalikan
Insertion
Perilaku aneh
Berpakaian, penampilan
Perilaku agresif
Gangguan pikiran formal positif
Tangensial
Inkoherensia
Sirkumtansia

2.2

Penatalaksanaan Skizofrenia
Tiga pengamatan dasar tentang skizofrenia yang memerlukan perhatian saat

mempertimbangkan

pengobatan

gangguan.

Pertama,

terlepas

dari

penyebabnya,
4

skizofrenia terjadi pada seseorang yang mempunyai sifat individual, keluarga dan sosial
psikologis yang unik. Pendekatan pengobatan harus disusun sesuai bagaimana pasien
tertentu telah terpengaruhi oleh gangguan dan bagaimana pasien tertentu akan tertolong
oleh pengobatan. Kedua, kenyataan bahwa angka kesesuaian untuk skizofrenia pada
kembar monozigot adalah 50 persen telah diperhitungkan oleh banyak peneliti untuk
menyarankan bahwa faktor lingkungan spesifik telah berperan dalam perkembangan
gangguan. Jadi, seperti agen farmakologis digunakan untuk menjawab ketidakseimbangan
kimiawi yang diperkirakan, strategi nonfarmakologis harus menjawab masalah non
biologis. Ketiga, skizofrenia adalah suatu gangguan yang kompleks, dan tiap pendekatan
teraupetik tunggal jarang mencukupi untuk menjawab secara memuaskan gangguan yang
memiliki berbagai segi1.
2.2.1

Perawatan di Rumah Sakit


Indikasi utama untuk perawatan di rumah sakit adalah untuk tujuan diagnostik,

menstabilkan medikasi, keamanan pasien karena gagasan bunuh diri atau membunuh dan
perilaku yang sangat kacau atau tidak sesuai, termasuk ketidakmampuan untuk memenuhi
kebutuhan dasar, seperti makanan, pakaian dan tempat berlindung. Tujuan utama
perawatan di rumah sakit yang harus ditegakkan adalah ikatan efektif antara pasien dan
sistem pendukung masyarakat1.
Perawatan di rumah sakit menurunkan stress pada pasien dan membantu mereka
menyusun aktivitas harian mereka. Lamanya perawatan di rumah skit tergantung pada
keparahan penyakit pasien dan tersedianya fasilitas pengobatan rawat jalan. Penelitian
telah menunjukkan bahwa perawatan singkat di rumah sakit (empat sampai enam minggu)
adalah sama efektifnya dengan perawatan jangka panjang di rumah sakit dan bahwa rumah
sakit dengan pendekatan perilaku yang aktif adalah lebih efektif dari pada institusi yang
biasanya dan komunitas terapeutik berorientasi tilikan1.
Rencana pengobatan di rumah sakit harus memiliki orientasi praktis ke arah
masalah kehidupan, perawatan diri sendiri, kualitas hidup, pekerjaan, dan hubungan sosial.
Perawatan dir rumah sakit hatus diarahkan unttuk mengikat pasien dengan fasilitas
pascarawat, termasuk keluarganya1.
2.2.2 Terapi Biologi
Pemakaian terapi biologi yang menggunakan antipsikotik pada skizofrenia harus
mengikuti lima prinsip utama yaitu1:
5

1. Klinisi harus secara cermat menentukan gejala sasaran yang akan diobati.
2. Suatu antipsikotik yang telah bekerja dengan baik di masa lalu pada pasien harus
digunakan lagi. Jika tidak ada informasi tersebut, pemilihan antipsikotik biasanya
didasarkan pada sifat efek samping. Data yang sekarang tersedia menyatakan bahwa
risperidon, remoxipride, dan obat-obat yang mirip dengannya yang akan
diperkenalkan di tahun-tahun mendatang mungkin menawarkan suatu sifat efek
samping yang unggul dan kemungkinan kemanjuran yang unggul.
3. Lama minimal percobaan antipsikotik adalah empat sampai enam minggu pada dosis
yang adekuat. Jika percobaan tidak berhasil, suatu antipsikotik, yang biasanya dari
kelas lain, dapat dicoba. Tetapi, pengalaman yang tidak menyenangkan yang dirasakan
pasien pada dosis pertama obat antipsikotik adalah berhubungan erat dengan respons
buruk dan ketidakpatuhan di masa depan. Pengalaman negatif dapat termasuk
perasaan negatif subjektif yang aneh, sedasi berlebihan, atau suatu reaksi distonik
akut. Jika reaksi awal yang parah dan negatif ditemukan, klinisi dapat
mempertimbangkan untuk mengganti obat menjadi obat antipsikotik yang berbeda
dalam waktu kurang dari empat minggu.
4. Pada umumnya, penggunaan lebih dari satu medikasi antipsikotik pada satu waktu
adalah jarang diindikasikan, walaupun beberapa dokter psikiatrik menggunakan
thioridazine untuk mengobati insomnia pada pasien yang mendapatkan antipsikotik
lain untuk pengobatan gejala skizofrenia. Pada pasien yang diikat pengobatan secara
khusus, kombinasi antipsikotik dan obat lain sebagai contoh carbamazepine mungkin
diindikasikan.
5. Pasien harus dipertahankan pada dosis efektif yang serendah mungkin yang
diperlukan untuk mencapai pengendalian gejala selama episode psikotik.
2.2.2.1 Obat Antipsikosis
Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Obat ini dibagi dalam dua
kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonis (DRA)
atau antipsikotika generasi 1 (APG-1) dan serotonin-dopamine antagonis (SDA) atau
antipsikotika generasi II (APG-II)5.
Obat antipsikotik generasi I dan II bermanfaat pada fase akut pengobatan
skizofrenia (gejala dalam beberapa minggu atau bulan) yang didiagnosis episode psikotik
akut, mencegah beratnya gejala psikosis (agitasi, agresif, gejala negatif, dan gejala afek) 6.

a. Antipsikosis Psikosis Generasi I (APG-I)


Obat APG-I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipikal. berguna terutama
untuk mengontrol gejala-gejala positif sedangkan untuk gejala negatif hampir tidak
bermanfaat. Obat-obat Tipikal yang sering di gunakan adalah Klorpromazine dan
Haloperidol.
1. Klorpromazine
Farmakodinamik. Efek farmakologik klorpromazin dan antipsikosis lainnya
meliputi efek pada susunan saraf pusat, sistem otonom, dan sistem endokrin. Efek ini
terjadi karena antipsikosis menghambat berbagai reseptor diantaranya dopamin, reseptor adrenergik, muskarinik, histamin H1 dan reseptor serotonin 5HT2 dengan afinitas yang
berbeda. Klorpromazin misalnya selain memiliki afinitas terhadap reseptor dopamin, juga
memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor -adrenergik, sedangkan risperidon
memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin 5HT2 7.
Susunan Saraf Pusat. CPZ menimbulkan efek sedasi yang disertai sikap acuh tak
acuh terhadap rangsang dari lingkungan. Pada pemakaian lama dapat timbul toleransi
terhadap efek sedasi. Timbulnya sedasi amat tergantung dari status emosional pasien
sebelum minum obat 7.
Neurologik. Pada dosis berlebihan, semua derivat fenotiazin dapat menyebabkan
gejala ekstrapiramidal serupa dengan yang terlihat pada parkinsonisme. Dikenal 6 gejala
sindrom neurologik yang karakteristik dari obat ini. Empat diantaranya biasa terjadi
sewaktu obat diminum, yaitu distonia akut, akatisia, parkinsonisme dan sindrom
neuroleptic malignant, yang terakhir jarang terjadi. Dua sindrom yang lain terjadi setelah
pengobatan berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, berupa tremor perioral (jarang) dan
diskinesia tardif 7.
Efek Endrokrin. CPZ dan beberapa antipsikosis lama lainnya mempunyai efek
samping terhadap sistem reproduksi. Pada wanita dapat terjadi amenorea, galaktorea, dan
peningkatan libido, sedangkan pada pria dilaporkan adanya penurunan libido dan
ginekomastia. Efek ini terjadi karena efek sekunder dari hambatan reseptor dopamin yang
menyebabkan hiperprolaktinemia, serta kemungkinan adanya peningkatan perubahan
androgen menjadi estrogen di perifer. Pada antipsikosis yang batu misalnya olanzapin,
quetiapin dan aripriprazol, efek samping ini minimal karena afinitasnya yang rendah
terhadap reseptor dopamin 7.
Kardiovaskular. Hipotensi ortostatik dan peningkatan denyut nadi saat istirahat
biasanya sering terjadi dengan derifat fenotiazin. Tekanan arteri rata-rata, resistensi perifer,
7

curah jantung menurun dan frekuensi denyut jantung meningkat. Efek ini diperkirakan
karena efek otonom dari obat antipsikosis. Abnormalitas EKG dilaporkan terjadi pada
pemakaian tioridazin berupa perpanjangan interval QT, abnormalitas segmen ST dan
gelombang T. Perubahan ini biasanya bersifat reversibel 7.
Farmakokinetik. Kebanyakan antipsikosis diabsorpsi sempurna, sebagian
diantaranya mengalami metabolisme lintas pertama. Bioavabilitas klorpromazin dan
tioridazin berkisar antara 25-35%, sedangkan haloperidol mencapai 65%. Kebanyakan
antipsikosis bersifat larut dalam lemak dan terikat kuat dengan protein plasma (92-99%) 7.
Sediaan. CPZ tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg. Selain itu juga
tersedia dalam bentuk larutan suntik 25 mg/ml. Larutan CPZ dapat berubah warna menjadi
merah jambu oleh pengaruh cahaya 7.
2. Haloperidol
Haloperidol berguna untuk menenangkan keadaan mania pasien psikosis yang
karena hal tertentu tidak dapat diberi fenotiazin. Reaksi ekstrapiramidal timbul pada 80%
pasien yang diobati haloperidol 7.
Farmakodinamik. Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin. Pada orang
normal, efek haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif untuk fase
mania penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek haloperidol selain menghambat efek
dopamin, juga meningkatkan turn over ratenya 7.
Susunan saraf pusat. Haloperidol menenangkan dan menyebabkan tidur pada
orang yang mengalami eksitasi. Efek sedatif haloperidol kurang kuat dibanding dengan
CPZ. Haloperidol dan CPZ sama kuat menurunkan ambang rangsang konvulsi.
Haloperidol menghambat sistem dopamin dan hipotalamus, juga menghambat muntah
yang ditimbulkan oleh apomorfin 7.
Sistem kardiovaskular. Haloperidol menyebabkan hipotensi, tetapi tidak sesering
dan sehebat akibat CPZ. Haloperidol menyebabkan takikardia meskipun kelainan EKG
belum pernah dilaporkan 7.
Farmakokinetik. Haloperidol cepat diserap di saluran cerna. Kadar puncaknya
dalam plasma tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam
dan masih dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun
dalam hati dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi
haloperidol lambat melalui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 4 hari sesudah
pemberian dosis tunggal 7.
8

Efek samping. Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insidens


yang tinggi, terutama pada pasien usia muda. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan
mania atau sebagai efek samping yang sebenarnya. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan
pada wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek
teratogenik 6.
Sediaan. Haloperidol tersedia dalam benttuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg 7.
b. Antipsikosis Generasi -II (APG-II)
APG-II disebut juga antipsikotika baru atau atipikal. Sebaiknya skizofrenia diobati
dengan APG-II. Pemeliharaan dengan dosis rendah antipsikotika diperlukan, setelah
kekambuhan pertama. Dosis pemeliharaan sebaiknya diteruskan untuk beberapa tahun.
Obat APG-II bermanfaat baik untuk gejala positif maupun negatif . Beberapa Obat APG-II
yang sering di gunakan adalah Clozapine dan Resperidone yang mempunyai efek klinis
yang besar dengan efek samping yang minimal 5.
1. Clozapine
Clozapine merupakan antipsikotika pertama yang efek samping ekstrapiramidalnya
dapat diabaikan. Dibandingkan dengan obat-obat generasi pertama, semua APG-II
mempunyai rasio blokade serotonin (5 hidroksitriptamin) (5-HT) tipe 2 (5-HT2) terhadap
reseptor dopamin tipe 2 (D2) lebih tinggi. Ia lebih banyak bekerja pada sistem dopamin
mesolimbik daripada striatum. Semua obat-obat baru, kecuali clozapine karena efek
samping dan butuh pemeriksaan darah tiap minggu, adalah obat pilihan pertama (first-line
drug). Sebaliknya, clozapine, efektivitasnya sudah tercapai meskipun hanya 40%-60% D2
yang dihambat. Ada dugaan bahwa efektivitas clozapine sebagai antipsikotika di dapat
karena ia juga bekerja pada reseptor lain terutama 5-HT2A 7.
Clozapine efektif untuk mengontrol gejala-gejala psikosis dan skizofrenia baik
yang positif (iritabilitas) maupun yang negatif (social disinterest dan incompetence,
personal neatness). Efek yang bermanfaat terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti
perbaikan secara bertahap pada minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk
pengobatan pasien refrakter terhadap obat standar. Selain itu, karena efek samping
ekstrapiramidal yang sangat rendah, oobat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan
gejala ekstrapiramidal berat pada pemberian antipsikosis tipikal. Namun karena klozapin
memiliki risiko timbulnya agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan antipsikosis
yang lain, maka penggunaannya dibatasi hanya pada pasien yang resisten atau tidak dapat
9

mentoleransi antipsikosis yang lain. Pasien yang diberi klozapin perlu dipantau jumlah sel
darah putihnya setiap minggu 7.
Farmakokinetik. Clozapine diabsorbsi secara cepat dan sempurna pada pemberian
per oral, kadar puncak plasma tercapai pada kira-kira 1,6 jam setelah pemberian obat.
Klozapin secara ekstensif diikat protein plasma (> 95%), obat ini dimetabolisme hampir
sempurna sebelum diekskresi lewat urin dan tinja, dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam.
Sediaan. Klozapin tersedia dalam bentuk tablet 25 mg dan 100 mg 7.
2. Risperidon
Farmakodinamik. Risperidon yang merupakan derivat dari benzisoksazol
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap reseptor serotonin (5HT2), dan aktivitas
menengah terhadap reseptor dopamin (D2), alfa 1 dan alfa 2 adrenergik dan reseptor
histamin. Aktivitas antipsikosis diperkirakan melalui hambatan terhadap reseptor serotonin
dan dopamin 7.
Farmakokinetik. Bioavabilitas oral sekitar 70%, volume distribusi 1-2 L/kg. Di
plasma risperidon terkait dengan albumin dan alfa 1 glikoprotein. Ikatan protein plasma
sekitar 90%. Risperidon secara ekstensif di metabolisme di hati oleh enzim CYP 2D6
menjadi metabolitnya 9-hidroksirieperidon. Risperidon dan metabolitnya dieliminasi lewat
urin dan sebagian kecil lewat feses 7.
Indikasi. Indikasi risperidon adalah untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala
negatif maupun positif. Di samping itu diindikasikan pula untuk gangguan bipolar, depresi
dengan ciri psikosis 7.
Efek samping. Secara umum risperidon dapat ditoleransi dengan baik. Efek
samping yang dilaporkan adalah insomnia, agitasi, ansietas, somnolen, mual, muntah,
peningkatan berat badan, hiperprolaktinemia dan reaksi ekstrapiramidal umumnya lebih
ringan dibanding antipsikosis tipikal 7.

Tabel 2.1 Sediaan obat Antipsikosis generasi I dan II 5.


Golongan

Obat

Potensi

Toksisitas

Efek

Efek

Klinik

ekstrapiramidal

Sedatif

hipotensi

Fenotiazin
10

Alifatik

Klorpromazin + +

+++

++++

+++

Piperazin

Flufenazin

++++

++++

++

Tioxanten

Thiotixene

++++

+++

+++

+++

Butirofenon

Haloperidol

++++

+++++

++

Dibenzodiazepin

Klozapin

+++

++

+++

Benzisoksazol

Risperidon

++++

++

++

++

Tienobenzodiazepin Olanzapin

++++

+++

++

Dibenzotiazepin

Quetiapin

++

+++

++

Dihidroindolon

Ziprasidon

+++

++

Dihidrokarbostiril

Aripriprazol

++++

++

Untuk pasien dengan serangan sindrom psikosis yang multi episode, terapi
pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit 5 tahun. Pemberian yang cukup lama
ini dapat menurunkan derajat kekambuhan 2,5 5 kali. Efek obat antipsikosis secara relatif
berlangsung lama, sampai beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek
klinis. Sehingga tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan.
Biasanya satu bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali. Hal ini
disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat, metabolit-metabolit masih
mempunyai keaktifan antipsikosis 8.
c. Antipsikosis Long Acting Injection
Obat anti-psiksosis long acting (Fluphenazine Decanoat 24 mg/cc atau
Haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2-4 minggu, sangat berguna untuk pasien yang
tidak mau atau sulit teratur makan obat ataupun yang tidak efektif terhadap medikasi oral.
Dosis dimulai dengan 0,5 cc setiap 2 minggu pada bulan pertama, kemudian baru
ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan 7. Dari hasil penelitian penatalaksanaan jangka
panjang pada pasien skizofrenia di Canada menunjukkan bahwa pasien yang diberikan
antipsikosis long acting injeksi menunjukkan perbaikan klinis signifikan, perbaikan fungsi
sosial dan menurunkan hospitalisasi pasien 9.
2.2.3

Efek samping dan obat yang di gunakan untuk mengatasi efek samping dari
Antipsikotik
Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antipsikotik adalah sebagai

berikut8:
11

1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja


psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun)
2. Gangguan otonomik hipotensi, antikolinergik/parasimpatololitik, mulut kering,
kesulitan defekasi, mata kabur, gangguan irama jantung
3. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson: tremor,
bradikinesia, rigiditas)
4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynecomastia), metabolik (jaundice), hematologik
(agranulositosis) biasanya pada pemakaian jangka panjang.
Bia terjadi efek samping sindrom ekstra piramida seperti distonia akut, akhitasia
atau parkinsonism, biasanya terlebih dhuu di lakukan penurunan dosis dan bila tidak dapat
di tanggulangi di berikan obat-obat antikolinergik seperti triheksifinidil, benztropin, sulfas
atropine atau definhidramin, yang paing sering di gunakan adalah triheksilfenidin dengan
dosis 3 kali 2 mg per hari. Jika tetap tidak berhasil mengatasi efek samping tersebut maka
di saranan untuk mengganti jenis anti psikotik lainnya 8.
2.2.4

Interaksi Obat

1. Antipsikosis + atipsikosis = potensiasi efek samping dan tidak ada bukti lebih
efektif.
2. Antipsikosis + antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik meningkat
3. Antipsikosis + antianxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus
dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat
4. Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan
kejang meningkat. Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah
haloperidol
5. Antipsikosis + antasida = efektifitas antipsikosis menurun karena gangguan
absorbsi

2.2.5

Terapi Psikososial

Terapi psikosoial terdiri dari terapi perilaku dan terapi berorientasi keluarga.
1. Terapi Perilaku.
Rencana pengobatan untuk skizofrenia harus ditujukan pada kemampuan dan
kekurangan pasien. Teknik perilaku menggunakan latihan keterampilan sosial untuk
12

meningkatkan kemampuan sosial, kemampuan memenuhi diri sendiri, latuhan praktis dan
komunikasi interpersonal. Perilaku adaptif adalah di dorong dengan pujian atau hadiah
yang dapaat ditebus untuk hal-hal yang diharapkan seperti hak istimewa dan pas jalan di
rumah sakit. Dengan demikian, frekuensi perilaku maladapatif atau menyimpang seperti
berbicara lantang, berbicara sendirian di masyarakat, dan postur tubuh yang aneh dapat
diturunkan 1.
Latihan keterampilan perilaku (behavioral skills training) sering kali dinamakan
terapi keterampilan sosial (social skills therapy), terlepas dari namanya, terapi dapat secara
langsung membantu dan berguna bagi pasien dan merupakan tambahan alami bagi terapi
farmakologis. Di samping gejala personal dari skizofrenia, beberapa gejala skizofrenia
yang paling terlihat adalah menyangkut hubungan pasien dengan orang lain, termasuk
kontak mata yang buruk, keterlambatan respons yang tidak lazim, ekspresi wajah yang
aneh, tidak adanya spontanitas dalam situasi sosial, dan persepsi yang tidak akurat atau
tidak adanya persepsi emosi terhadap orang lain. Perilaku tersebut secara spesifik
dipusatkan di dalam latuhan keterampilan perilaku. Latihan keterampilan perilaku
melihatkan penggunaan kaset video orang lain dan pasien, permainan simulasi (role
playing) dalam terapi, dan pekerjaan rumah tentang keterampilan yang telah dilakukan 1.
2. Terapi berorientasi keluarga.
Berbagai terapi berorientasi keluarga cukup berguna dalam pengobatan skizofrenia.
Karena pasien skizofrenia sering kali dipulangkan dalam keadaan remisi parsial, keluarga
di mana pasien skizofrenia kembali sering kali mendapatkan manfaat dari terapi keluarga
yang singkat tetapi intensif (setiap hari). Pusat dari terapi harus pada situasi segera dan
harus termasuk mengidentifikasi dan menghindari situasi yang kemungkinan menimbulkan
kesulitan. Jika masalah memang timbul pada pasien di dalam keluarga, pusat terapi harus
pada pemecahan masalah secara cepat.

Tabel 2.2 Tujuan dan Perilaku Sasaran untuk Terapi Keterampilan sosial 1.
Fase

Tujuan

Perilaku Sasaran

Stabilitasi dan penilaian

Menegakkan ikatan terapeutik

Empati dan rapport

Menilai kinerja sosial dan

Komunikasi

keterampilan persepsi

nonverbal

verbal

dan

13

Menilai perilaku yang


memprovokasi emosi yang
diekspresikan
Kinerja

sosial

dalam

keluarga

Mengekspresikan perasaan

Kepatuhan, penghargaan, minat

positif dalam keluarga

pada yang lain

Mengajarkan strategi efektif

Respons menghindar terhadap

untuk menghadapi konflik

kritik, menyatakan kesukaan


dan penolakan
Membaca pesan

Persepsi

soaial

dalam

keluarga

Hubungan di luar keluarga


Pemeliharaan

2.2.6

Mengidentifikasi isi, konteks,

Melabel suatu gagasan

dan arti pesan secara benar

Meningkatkan maksud orang

Meningkatkan keterampilan

lain

sosial

Keterampilan bercakap-cakap

Meningkatkan keterampilan

Bersahabat

perakejuruan dan kejuruan

Aktivitas rekresional

Generalisasi keterampilan ke

Wawancara

dalam situasi baru

kerja

kerja,

kebiasaan

Perawatan Skizofrenia di Rumah


Lingkungan dan keluarga mempunyai andil yang besar dalam mencegah terjadinya

kekembuhan pada penderita dengan gangguan, oleh karena itu pemahaman keluarga
mengenai kondisi penderita serta kesediaan keluarga dan lingkungan menerima penderita
apa adanya dan memperlakukannya secara manusiawi dan wajar merupakan hal yang
mendasar dalam mencegah kekambuhan penderita..
Beberapa hal yang perlu di perhatikan oleh keluarga dan lingkungan dalam merawat
penderita gangguan jiwa di rumah:
1. Memberikan kegiatan/kesibukan dengan membuatkan jadwal sehari-hari.
2. Berikan tugas yang sesuai dengan kemampuan penderita dan secara bertahap tingkatkan
sesuai perkembangan
3. Menemani dan tidak membiarkan penderita sendiri saat melakukan kegiatan, mis:
makan bersama, reksreasi bersama, bekerja bersama.
4. Minta keluarga dan teman menyapa saat bertemu penderita dan jangan mendiamkan
penderita berbicara sendiri
5. Mengajak dan mengikut sertakan penderita dalam kegiatan bermasyarakat misal; kerja
bakti
6. Berikan pujian yang realitas terhadap keberhasilan penderita atau dukungan untuk
keberhasilan sosial penderita
14

7. Mengontrrol dan mengingatkan dengan cara yang baik dan empati untuk selalu minum
obat untuk prinsip benar, benar nama obat, benar dosis, benar cara pemberian.
8. Mengenali adanya tanda-tanda kekambuhan seperti: suit tidur, bicara sendiri, marahmarah, senyum sendiri, menyendiri, murung , bicara kacau.
9. Kontrol suasana lingkungan yang dapat memancing terjadinya marah.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1.

Kesimpulan

1. Penatalaksanan skizofrenia tidak hanya berfokus pada terapi somatik atau terapi
obat-obatan tetapi juga berfokus pada terapi psikososial.
15

2. Skizofrenia diobati dengan antipsikotika (AP). Antipsikotika generasi 1 (APG-1)


dan antipsikotika generasi II (APG-II). Obat APG-I disebut juga antipsikotika
konvensional atau tipikal sedangkan APG-II disebut juga antipsikotika baru atau
atipikal.
3. Sebagian besar pasien skizofrenia mendapatkan manfaat dari pemakaian kombinasi
pengobatan antipsikotik dan psikososial.
4. Beberapa terapi psikososial yang dapat dilakukan adalah terapi perilaku, terapi
berorientasi keluarga, terapi kelompok.
5. Terapi psikososial mempengaruhi proses perbaikan dan peningkatan kualitas hidup
pasien skizofrenia.
3.2

Saran
Perlu adanya integrasi antara terapi biologis atau terapi obat-obatan antipsikotika

dengan terapi psikososial secara cermat demi perbaikan dan peningkatan kualitas hidup
pasien skizofrenia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan & Sadock. 2010. Buku Ajar Psikiatri klinis. Jakarta: EGC
2. Jarut Y M, Fatimawali, Weny I. 2013. Tinjauan penggunaan antipsikotik pada
pengobatan skizofrenia di rumah sakit Prof. Dr. V.L Ratumbulysang Manado Periode

16

Januari 2013 Maret. 2013. Pharmacon Jurnal Ilmiah Farmasi-Unsrat. 2(3);23022493.


3.

Maramis WF. 2004. Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Universitas Airlangga

4.

Depkes RI. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia
III, Cetakan pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan R.I Direktorat Jendral
Pelayanan Medik.

5. Utama H. 2010. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Badan Penerbit FKUI


6. Syarif A, Zunilda D S. 2009. Obat malaria. Dalam: Gunawan S, Setiabudy R,
Nafrialdi, Elysabeth. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI,
pp: 556-570.
7. Thibaut F. 2014. Acute treatment of schizophrenia:

introduction to the word

federation of societies of biological psychiatry guidelines. Psychiatric Danubina.


26(1): 2-11.
8. Maslim R. 2007. Panduan praktis penggunaan klinis obat psikotropik. Edisi Ketiga.
Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK-Unika Atma Jaya.
9. Williams R, dkk. 2014. Risperidone long-acting injection in the treatment of
schizophrenia: 24-month results from electronic schizophrenia treatment adherence
registry in Canada. Neurophyschiatric Disease and Treatment. 10; 417-425.

17

Anda mungkin juga menyukai