Agen Asuransi
Agen Asuransi
Agen Asuransi
Pada jam-jam
sibuk tentu saja macet total. Langit agak mendung, tapi dugaanku sore sampai malam ini tidak
akan turun hujan. Dengan langkah sedang aku keluar kantor dan berjalan ke arah Juanda,
rencana naik bis dari sana saja. Maklum karyawan baru, jadi masih naik Mercy dengan kapasitas
besar.
Sampai di Juanda aku cari bis kota tujuan ke Senen. Sebentar kemudian datang bis kota yang
sudah miring ke kiri. Aku naik dan menyelinap ke dalam. Aroma di dalam bis sungguh rruarr
biasa. Segala macam aroma ada di sana. Mulai dari parfum campur keringat sampai bau asap
dan lain-lainnya.
Tak lama aku sampai di Senen. Turun di Pasar Senen dan masuk ke dalamnya. Ada beberapa
barang yang harus kucari. Putar sana putar sini nggak ketemu juga yang kucari. Malahan
digodain sama kapster-kapster di salon lantai 2. Dengan kata-kata yang menjurus mereka
merayuku untuk masuk ke salonnya. Kubalas saja godaan mereka, toh aku juga lagi nggak ada
keperluan ke salon. Sekedar membalas dan menyenangkan mereka yang merayu untuk sekedar
gunting, facial atau creambath.
Akhirnya kuputuskan untuk cari di Atrium saja. Aku nyeberang di dekat jembatan layang.
Memang budaya tertib sangat kurang di negara ini. Senangnya potong kompas dengan
mengambil resiko.
Baru saja kakiku melangkah masuk ke dalam Atrium, mataku tertuju pada seorang wanita
setengah baya, kutaksir umurnya tiga puluh lima tahun. Ia mengenakan blazer hijau dengan
blouse hitam. Pandangannya kesana kemari dan gelisah seolah-olah menunggu seseorang. Aku
lewat saja di depannya tanpa ada suatu kesan khusus. Sampai di depannya dia menyapaku.
“Maaf Mas mengganggu sebentar. Jam berapa sekarang?” tanyanya halus. Dari logatnya
kutebak dia orang Jawa Tengah, sekitar Solo.
“Aduh, sorry juga Mbak, saya juga tidak pakai jam,” sambil kulihatkan pergelangan
tanganku.”Mbak mau kemana, kok kelihatannya gelisah?” tanyaku lagi.
“Lagi tunggu teman, janjian jam setengah lima kok sampai sekarang belum muncul juga”
jawabnya.
“Ooo..” komentarku sekedar menunjukkan sedikit perhatian.
“Mas mau kemana, baru pulang kantor nih?” dia balik bertanya.
“Iya, mau beli sesuatu, tadi cari di Proyek nggak ada, kali-kali aja ada di Atrium”.
“Oh ya dari tadi kita bicara tapi belum tahu namanya, saya Vera,” katanya sambil mengulurkan
tangan.
“Anto,” sahutku pendek, “OK Vera, saya mau jalan dulu cari barang yang saya perlukan”.
“Silakan, saya masih tunggu teman di sini, barangkali dia terjebak macet atau ada halangan
lainnya”.
Kami berpisah, saya masuk ke dalam dan langsung ke Gunung Agung. Kulihat Vera masih
menunggu di pintu Atrium. Setengah jam keliling Gunung Agung ternyata tidak ada barang yang
kucari. Kuputuskan pulang saja, besok coba cari di Gramedia atau Maruzen. Aku keluar dari
pintu yang sama waktu masuk, arah ke Proyek. Kulihat Vera masih juga berdiri di sana.
Kuhampiri dia dan kutanya.
Waktu itu, 1994, HP masih menjadi barang mewah yang tidak setiap orang dapat memilikinya.
“Mbak naik apa?”
“Oh, saya bawa mobil sendiri, meskipun butut”.
“OK, kalau begitu saya pulang, saya naik Mercy besar ke Kampung Melayu”.
Dia kelihatan agak berpikir. Baru pada saat ini aku mengamati dia dengan lebih teliti. Tingginya
kutaksir 158 cm, kulitnya kuning kecoklatan, khas wanita Jawa dengan perawakan seimbang.
Rambutnya berombak sebahu, matanya agak lebar dan dadanya standar, 34.
Kami menuju basement tempat parkir mobilnya. Dia memberikan kunci mobilnya padaku.
Aku terkejut, karena aku memang bisa nyetir mobil tapi masih belum lancar sekali dan tidak
punyai SIM.
“Aduh, so.. Sorry, jangan aku yang bawa. Aku nggak punya SIM,” kataku mengelak.
“Baiklah kalau begitu, biar aku sendiri yang bawa,” katanya sambil tersenyum.
Vera naik mobil dan membukakan pintu sebelah kiri depan dari dalam. Mobilnya Suzuki Carry
warna merah maron. Kulihat di atas jok tengah berserakan map dan kertas.
Karena dia mengenakan rok span selutut, jadinya waktu duduk menyetir agak ketarik ke atas,
pahanya terlihat sedikit. Aku menelan ludah.
Monas terlihat sepi sore ini, jam di dashboard menunjukkan 17.55. Hanya ada beberapa mobil
yang parkir di pelataran parkir. Vera memarkir mobilnya agak jauh dari mobil lainnya. Ia
mematikan kontak dan membuka jendela. Kami tetap duduk di dalam mobil.
“Uffh, hari yang melelahkan”. Vera menyandarkan tubuh dan kepalanya pada jok mobil.
Blazernya tidak dikancingkan sehingga dadanya kelihatan menonjol.
Ternyata taksiranku tepat, taksirannya meleset. Waktu itu umurku sendiri baru dua puluh lima.
Mungkin karena warna kulitku agak gelap dan berkumis maka wajahku kelihatan lebih tua. Tapi
menurut teman-temanku baik perempuan ataupun laki-laki, dengan wajah cukup ganteng, tinggi
170 cm, perawakan tegap, berkumis dan dada berbulu aku termasuk idaman wanita.
Vera ternyata seorang janda dengan satu anak. Ketika kutanya kenapa dia bercerai, air mukanya
berubah dan ia menghela napas panjang.
“Sudahlah, itu kenangan buruk dari masa laluku, tak usah dibicarakan lagi” katanya.
“Baiklah, maaf kalau sudah menyinggung perasaanmu,” kataku.
Senja semakin merambat, lampu jalan sudah mulai dinyalakan mengalahkan temaram senja. Di
bawah lampu merkuri wajah Vera terlihat pucat. Tiba-tiba saja kami bertatapan. Vera terlihat
sangat lelah, tapi bibirnya dipaksakan tersenyum. Entah bagaimana mulanya tiba-tiba saja
tangan kananku sudah kulingkarkan di lehernya dan kurengkuh ia ke dalam pelukanku. Kucium
bibir tipisnya dan ia membalasnya dengan melumat bibirku lembut. Kami saling memandang dan
tersenyum.
Kucium bibirnya lagi dan ia membalas lebih panas dari ciuman yang pertama tadi. Tanpa
kujawab mestinya ia sudah tahu.
Dari Monas kami menuju ke Tanah Abang. Kami sempat terjebak kemacetan di sekitar Stasiun
Tanah Abang. Akhirnya kuarahkan dia ke Petamburan. Kulihat dia ragu-ragu untuk masuk ke
halaman sebuah hotel.
“Ayolah masuk saja, nggak apa-apa kok. Hotelnya cukup bersih dan murah” kataku
meyakinkannya.
“Bukan apa-apa. Aku hanya tidak ingin mobilku terlihat secara mencolok di halaman hotel”
sahutnya. Akhirnya kami mendapatkan tempat parkir yang cukup terlindung dari jalan umum.
Setelah membereskan urusan di front office, kami masuk ke dalam kamar. Kuamati sejenak
keadaan di dalam kamar. Di dinding sejajar dengan arah ranjang dipasang cermin selebar 80 cm
memanjang sepanjang dinding. Aku tersenyum dan membatin rupanya hotel ini memang
dipersiapkan khusus untuk pasangan yang mau kencan.
“Kamu sering masuk ke sini, To? Kelihatannya sudah familiar sekali” tanyanya.
“Nggak juga. Namanya nginap di hotel kan tahapannya standar aja. Lapor ke front office,
serahkan ID, bayar bill untuk semalam lalu ambil kunci kamar. Beres kan?”
“Kalau lagi prospek, bagaimana pengalamanmu. Sering dijahili klien nggak” tanyaku memancing.
“Yahh, ada juga yang iseng. Tapi kalau orangnya oke, boleh juga sih. Sudah dapat komisi plus tip
plus enak gila”.
Ternyata beginilah salah satu sisi dunia asuransi. Saya nggak menghakimi, tetapi semua itu
kembali tergantung pada orangnya.
“Aduh, kalau begitu saya nggak bisa kasih tip. Kita pulang saja yuk” kataku pura-pura serius.
“Huussh.. Kamu kok nganggap saya begitu sih”.
Kami berbaring berjejer di ranjang yang empuk. Vera tengkurap di sebelahku dan menatapku
sejenak, lalu ia mendekatkan mukanya ke mukaku dan mencium bibirku. Aku membalas dengan
perlahan. Vera terus menciumiku sambil melepas blazernya. Kaki kirinya membelit kakiku.
Tangannya merayap di atas kemejaku dan mulai melepas kancing serta menariknya sehingga
dadaku terbuka. Vera semakin terangsang melihat dadaku yang berbulu. Ia membelai-belai
dadaku dan sekali-sekali menarik perlahan bulu dadaku.
“Simbarmu iku lho To, bikin aku.. Serr” bisiknya. Simbar adalah sebutan bulu dada dalam bahasa
Jawa.
“Mandi dulu yuk” kataku.
“Nggak usah, nanti aja. Bau tubuhmu lebih merangsang daripada bau sabun bahkan parfum”
katanya.
Bibirnya bergeser ke bawah dan kini ia menciumi leherku. Aku menggelinjang kegelian sekaligus
nikmat. Napas kami mulai berat dan memburu. Sambil terus menciumi dadaku, Vera melepaskan
blousenya. Kulihat buah dadanya yang masih kenyal dan padat terbungkus bra warna merah
jambu. Seksi sekali. Tangannya bergerak ke bawah, membuka kepala ikat pinggangku, melepas
kancing celana dan menarik ritsluitingku dan langsung menariknya ke bawah. Aku sedikit
mengangkat pantatku membantu gerakan tangannya membuka celanaku. Kini tangannya
bergerak ke belakangnya, tidak lama kemudian roknya sudah merosot dan hanya dengan
gerakan kakinya rok tersebut sudah terlepas dan terlempar ke lantai.
Tangan kananku bergerak ke punggungnya dan terdengar suara “tikk” kancing pengait branya
sudah terlepas. Aku melepas branya dengan sangat perlahan sambil mengusap-usap bahu dan
lengannya. Vera mengangkat tangannya dari tubuhku dan akhirnya terlepaslah bra merah jambu
yang dipakainya. Buah dadanya berukuran sedang, taksiranku 34 saja, terlihat kenyal dan padat.
Urat-uratnya yang membiru di bawah kulit terlihat sangat menarik seperti alur sungai di
pegunungan. Putingnya yang merah kecoklatan menantangku untuk segera mengulumnya.
Payudara sebelah kanan kuisap dan kukulum, sementara sebelah kirinya kuremas dengan
tangan kananku, demikian berganti-ganti. Tangan kiriku mengusap-usap punggungnya dengan
lembut.
Vera mengerang dan merintih ketika putingnya kugigit kecil dan kujilat-jilat.
“Oukhh, Vera.. Yachh.” aku mengerang ketika mulutnya menjilati puting kiriku. Kini bibirnya
pindah ke puting kananku. Aku mendorong tubuhnya, tak tahan dengan rangsangan pada puting
kananku.
Vera semakin ke bawah, ke perut dan terus ke bawah. Digigitnya meriamku yang masih
terbungkus celana dalam. Tangannya juga bergerak ke bawah, menarik celanaku sampai ke lutut
dan akhirnya menariknya ke bawah dengan kakinya. Aku tinggal memakai kemeja saja yang
kancingnya juga terbuka semua.
Vera memandangku dan mengangguk ketika kepalanya ada di atas selangkanganku. Aku juga
mengangguk. Aku memang tidak pernah meminta wanita yang kutiduri untuk melakukan oral sex.
Aku sendiri tidak terlalu suka melakukan oral sex pada setiap wanita. Ada type-type wanita
tertentu yang kuberikan service khusus ini. Jika mereka mau melakukannya biarlah mereka yang
berinisiatif. Kepalanya kemudian bergerak ke bawah. Ia mengisap-isap buah zakarku dan
menjilatinya sampai ke titik 2 cm di dekat anusku. Aku baca titik itu adalah titik Kundalini. Aku
tidak tahan dengan perlakuannya. Kututup mukaku dengan bantal. Kugigit bibir bawahku sampai
terasa sakit.
Tiba-tiba meriamku seperti kena setrum yang besar ketika lidah Vera menjilat kepalanya. Secara
refleks kukencangkan otot perutku sehingga meriamku juga ikut bergerak-gerak. Punyaku
memang tidak terlalu besar. Rata-rata saja untuk ukuran umum, namun ternyata beberapa wanita
yang pernah merasakannya sangat puas. Kulepas bantal yang menutup mukaku dan kubuka
mataku. Kulihat Vera dengan asyiknya menjilat, menghisap dan mengulum meriamku. Kadang-
kadang ia melihat ke arahku dan tersenyum kecil. Aku terpekik kecil setiap lidahnya yang runcing
menjilat lubang kencingku. Syaraf-syarafku di sana terasa mau putus.
Vera melepaskan kepalanya dari selangkanganku dan tangannya melepas celana dalamnya
sendiri dengan cepat. Kembali bibirnya menyambar bibirku. Kubalas dengan ganas dan kudorong
lidahku menggelitik rongga mulutnya. Lidahku kemudian diisapnya dengan kuat. Aku hampir
tersedak. Tangannya mengembara ke selangkanganku dan kemudian meremas dan mengocok
meriamku. Meriamku semakin tegang dan keras.
Tidak lama kemudian tangannya memegang erat meriamku dan kurasakan pantat dan pinggul
Vera bergerak-gerak menggesek meriamku. Dan kemudian.. Blesshh. Kepala meriamku masuk
ke dalam gua kenikmatannya. Terasa lembab namun masih kering dan sempit. Kurasakan
dinding guanya berdenyut-denyut meremas kemaluanku.
“Akhh.. Oukkhh” Vera mendongakkan kepalanya dan kujilati lehernya yang berada di depan
wajahku. Ia terus menggoyangkan pantatnya sehingga sedikit demi sedikit makin masuk dan
akhirnya semua batang meriamku sudah terbenam dalam guanya.
Vera menahan tubuhnya dengan kedua tangannya di sampingku. Pantatnya bergerak maju
mundur untuk menangguk kenikmatan. Kadang gerakannya berubah kadang menjadi ke kanan
ke kiri dan kadang berputar-putar. Sesekali gerakannya menjadi pelan dan pantatnya naik agak
tinggi sehingga hanya kepala meriamku berada di bibir guanya dan bibir guanya kemudian
berkontraksi mengurut kepala meriamku. Kemudian ia hanya pelan menggesek-gesekkan bibir
guanya pada kepala meriamku sampai beberapa kali dan kemudian dengan cepat ia
menurunkan pantatnya hingga seluruh batang meriamku tenggelam seluruhnya. Ketika batang
meriamku terbenam seluruhnya badannya bergetar dan kepalanya bergoyang ke kanan dan
kekiri. Napasnya mulai tersengal-sengal dan memburu.
Kunaikkan punggungku dengan bertopang pada siku. Kuisap puting buah dadanya yang sudah
membatu. Gerakannya semakin liar dan berat. Tanganku kini memeluk punggungnya seolah-olah
seperti menggantung pada badannya. Kulengkungkan bagian atas tubuhku mendekat ke
tubuhnya. Berat badanku kutumpukan pada punggungku.
Tangannya yang menahan berat badanya kemudian dilepaskan dan memeluk diriku rapat-rapat.
Kini gerakannya pelan namun sangat terasa. Pantatnya naik ke atas kadang sampai meriamku
lepas, namun kemudian ia menurunkan lagi dengan pelan dan kusambut dengan gerakan
pantatnku ke atas. Kembali meriamku menembus guanya, guanya berdenyut sehingga seluruh
batang meriamku mulai dari pangkal hingga ke ujung seperti diurut. Baru kali ini aku merasakan
denyutan dinding vagina yang begitu kuat. Ada beberapa wanita yang bisa melakukannya namun
kali ini benar-benar luar biasa. Melebihi wanita Madura yang pernah kurasakan. Aku sendiri
belum mengerahkan otot kemaluanku untuk berkontraksi, kubiarkan saja sampai ia mencapai
puncak terlebih dahulu.
“Anto.. Ouhh Anto, aku mau nyampai, aku mau kelu.. ar”
“Sshh.. Shh”
“Anto sekarang ouhh.. Sekarang” ia memekik.
Tubuhnya mengejang rapat diatasku dan kakinya membelit kakiku. Mulutnya mencari-cari bibirku
dan kusambar agar ia tidak merintih terlalu keras lagi. Vaginanya berdenyut kuat sekali dan
pantatnya menekan ke bawah dengan keras hingga meriamku terasa sakit. Vaginanya terasa
becek, namun tidak menyembur seperti yang banyak diceritakan orang. Kupikir mereka itu
pembohong kalau menceritakan orgasme wanita yang sampai memancar seperti air mani.
Kupeluk punggungnya dan kuurut dengan kuat mulai dari belakang leher sampai ke
pinggangnya.
Tubuh Vera mulai melemas di atas badanku. Keringatnya menitik di sekujur pori-porinya.
Kemaluanku yang masih menegang keras di dalam vaginanya. Vera sepertinya sengaja
membiarkannya dalam posisi seperti itu.
“Terima kasih Anto. Kau sungguh hebat sekali. Aku nggak tahan lagi” ia berbisik di telingaku.
Aku diam saja sambil mengelus-elus punggungnya. Kuciumi rambutnya. Kupikir akan kupuaskan
dia sampai tak bertenaga.
Akhirnya Vera bangun setelah napasnya teratur menghela napas dalam-dalam. Ia masuk ke
dalam kamar mandi dan kudengar suara shower. Namun kedengarannya ia tidak mandi, hanya
membasuh vaginanya saja. Sementara aku mencoba memejamkan mata sebentar untuk
berkonsentrasi dan mengumpulkan tenaga. Ia keluar sambil menenteng gayung, sabun dan
handuk. Dengan perlahan ia membasuh dan membersihkan kemaluanku yang masih agak
tegang karena belum mencapai puncaknya. Karena terkena air, maka kemaluanku kontan saja
mengkeret dan mengecil ke ukuran normal. Vera kembali ke dalam kamar mandi mengembalikan
gayung dan sebentar keluar lagi.
Aku duduk menyelonjorkan kaki di atas ranjang dan merapikan kemeja yang tetap kupakai
selama bercinta babak pertama tadi. Vera memelukku dari belakang dan menciumi tengkukku.
Aku merinding oleh ciumannya. Tangannya mempermainkan bulu dadaku. Kelihatannya ia
sangat suka.
Vera menarik kemeja yang kukenakan dan akhirnya sekarang aku bugil 100%. Dadanya yang
keras menekan punggungku. Kuputar tubuhnya sedemikian sehingga kami berhadapan. Kucium
bibirnya dan kuremas buah dadanya. Ia merintih, nafsunya mulai bangkit. Kubalikkan lagi
tubuhnya sehingga membelakangiku. Kuciumi tengkuk, cuping telinga dan leher belakangnya.
“Ouhh jangan kau siksa aku.. Ayo kita lanjutkan lagi say..”
Kami kembali berbaring miring ke kiri dalam posisi Vera tetap membelakangiku. Kuremas
dadanya dengan kuat, kupilin putingnya. Kemaluanku yang belum menembakkan pelurunya
dengan cepat mengeras kembali. Mulutnya mencari bibirku ketika bibirku menjilati lehernya pada
bagian samping. Kami berciuman dalam posisi miring.
Kuangkat kaki kanannya dan kucoba memasukkan kemaluanku ke dalam vaginanya dari
belakang. Beberapa kali kucoba dan gagal. Akhirnya Vera mencondongkan pantatnya dan
menjauhkan tubuh bagian atasnya dari tubuhku. Dalam posisi demikian aku bisa menembus
guanya meskipun dengan berjuang keras.
Kudorong pantatku maju mundur dengan pelan tapi bertenaga. Meskipun tanpa kontraksi dalam
posisi demikian terasa sempit sekali vaginanya. Kuputar tubuhnya hingga ia berada di atasku.
Dari bawah kugenjot vaginanya. Kupikir tadinya akan mudah, ternyata sangat sulit. Tubuhku tidak
bisa bergerak dengan leluasa. Vera mengerti kesulitanku. Ia melepaskan pelukanku dan
berjongkok tetap membelakangiku. Tak berapa lama kembali ia memainkan kontraksi otot
vaginanya. Aku tetap membiarkannya ia kontraksi sendirian.
Vera menaikturunkan pantatnya dan rasa nikmat menjalari tubuh kami berdua. Kadang pantatnya
menggantung dan giliranku untuk memompa dari bawah. Demikian dalam posisi ini kami
bertahan beberapa saat sampai akhirnya.
Ia berteriak dan melengkungkan badannya, lalu merebahkan badannya telentang dan menekan
kemaluanku sampai amblas. Tangannya mencengkeram sprei. Sunyi sejenak tanpa ada suara
apapun kecuali napas Vera yang terengah-engah. Vera memutarkan tubuhnya tanpa
melepaskan kemaluanku, sehingga ia dapat berada dalam posisi berhadapan di atasku.
Kugulingkan badannya sehingga kini aku yang berada di atas mengendalikan permainan.
Kusodokkan kemaluanku ke dalam kemaluannya dengan satu hentakan keras sehingga ia
melenguh.
Aku tak pedulikan permintaannya, tetap kusodokkan kemaluanku dengan pelan dan mantap
sampai akhirnya kemaluanku menjadi sangat keras. Vera akhirnya kembali terangsang setelah
beberapa saat kugerakkan kemaluanku. Kucabut kemaluanku, kutahan dan kukeraskan ototnya
kemudian pelan-pelan kugesekkan dan kemudian kumasukkan kepalanya saja ke bibir guanya
yang lembab dan merah. Vera terpejam menikmati kontraksi kemaluanku pada bibir
kemaluannya.
Dia menjerit tertahan ketika tiba-tiba kusodokkan kemaluanku sampai mentok ke rahimnya.
Kumaju mundurkan dengan pelan setengah batang sampai beberapa hitungan kemudian
kusodokkan dengan kuat sampai semua batangku amblas. Vera menggerakkan pinggulnya
memutar dan naik turun sehingga kenikmatan yang luar biasa sama-sama kami rasakan.
Kusedot payudaranya sampai ke pangkalnya dan kumainkan putingnya dengan lidahku.
Dalam posisi kemaluanku terbenam seluruhnya aku diam di atas tubuhnya, menciumi bibir, leher
dan payudaranya serta menggerakkan otot kemaluan. Hasilnya luar biasa. Vera seperti orang
yang mau menangis menahan kenikmatan hubungan ini. Vera mengimbanginya dengan
kontraksi pada dinding vaginanya. Ia meringis dan memukul-mukul dadaku seperti histeris.
Kini kakiku berada di luar kedua kakinya sehingga kedua kakiku menjepit kakinya. Masih tetap
dalam posisi diam, hanya otot kemaluan yang bekerja. Ternyata vaginanya memang luar biasa,
meskipun sudah becek namun cengkeramannya masih sangat ketat.
Aku menghentikan kontraksiku dan mulai menggenjot lagi. Vera seperti seekor kuda betina yang
melonjak-lonjak tubuhnya dan sukar dikendalikan. Akhirnya tidak ada suara apapun di dalam
kamar itu selain desah napas kami yang memburu beradu dengan suara paha bertemu dan derit
ranjang. Keringat sudah membanjir di tubuh kami. Kupacu kuda binalku mendaki lereng terjal
yang penuh kenikmatan. Kami saling memagut, mencium dan menjilat bagian tubuh lawan
bergumul.
Kubuka lagi kedua kakinya, kini kakinya yang membelit pinggangku. Matanya kadang terpejam
kadang terbeliak. Badannya seperti menggantung di tubuhku. Kini aku siap untuk menembakkan
peluruku.
“Sekarang Ver sekarang.. Ouuhh” Aku mengejang ketika lahar kepuasan membersit dari
kepundan kejantananku.
“Anto.. Agghh” kakinya menjepit kakiku dan mengejang sehingga kejantananku seperti tertarik
mau keluar.
Aku tetap menahan agar kemaluanku tetap berada dalam vaginanya. Matanya terpejam,
tangannya meremas rambutku, mulutnya menggigit dadaku. Kemaluan kami saling berdenyut
sehingga kenikmatan puncak ini terasa sampai beberapa detik. Setelah beberapa saat kemudian
keadaan menjadi tenang.
Akhirnya kami membersihkan diri dan check out. Sebelum keluar kamar kami saling bertukar
nomor telepon. Aku menumpang mobilnya sampai di Gatot Subroto dekat Hilton. Vera ke arah
Blok M dan aku ke kawasan Jakarta Timur.
Beberapa hari kemudian di kantor aku dikejutkan suara operator yang nongol di ruanganku.
Nanti sore kupikir boleh juga. Hari ini nggak banyak pekerjaan kok. Cerita kejadian nanti sore
pikir dan bayangkan saja sendiri.