Paper Perbankan
Paper Perbankan
Paper Perbankan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank adalah suatu lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan mutlak dari para nasabahnya yang mempercayakan dana dan jasa-jasa lainnya yang dilakukan mereka melalui bank pada khususnya dan dari masyarakat luas pada umumnya.1 Oleh karena itu, bank sangat berkepentingan agar kadar kepercayaan masyarakat, yang sudah maupun yang akan menyimpan dananya, maupun yang telah atau akan menggunakan jasa-jasa bank lainnya terpelihara dengan baik dalam tingkat yang tinggi. Mengingat bank adalah bagian dari sistem keuangan, masyarakat luas berkepentingan atas kesehatan dari sistemsistem tersebut. Adapun kepercayaan masyarakat kepada bank merupakan unsur paling pokok dari eksistensi suatu bank sehingga terpeliharanya kepercayaan masyarakat kepada perbankan adalah juga kepentingan masyarakat banyak.2 Di Indonesia, undang-undang yang mengatur mengenai kerahasiaan bank yang terlalu ketat telah menyebabkan industri perbankan nasional menjadi tempat persembunyian dan pencucian hasil kejahatan KKN dan penggelapan pajak.3 Namun dalam perkembangannya, sehubungan dengan keadaan politik dalam negeri dan keadaan sosial, terutama yang menyangkut timbulnya kejahatan di bidang money laundering (pencucian uang) dan kebutuhan akan adanya stabilitas ekonomi, terutama stabilitas moneter, timbul kebutuhan akan perlunya pelonggaran terhadap kewajiban rahasia bank yang mutlak itu. Fakta menunjukkan bahwa pencucian uang paling dominan dilakukan dengan menggunakan sistem keuangan, terutama melalui industri perbankan karena
Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 22. 2 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Di Indonesia, Edisi Revisi Cet. 4, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 7. 3 Retnowulan Sutantio, Rahasia Bank: Suatu Tinjauan Dari Segi Hukum Perdata Dan Pidana, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 1994), hal. 67.
1
industri perbankan merupakan channel yang paling menarik dan mudah digunakan dalam pencucian uang. Di Indonesia, masalah money laundering kini menjadi perhatian utama dalam hubungannya dengan lembaga perbankan, mengingat kejahatan pencucian uang telah mencapai 2% - 5% dari Gross Domestic Product dunia.4 Oleh karena itu pemerintah telah berupaya membentuk Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang merupakan langkah antisipasi terhadap tekanan masyarakat internasional yang melihat Indonesia sebagai lahan luas yang subur untuk kejahatan pencucian uang. Oleh karena itu, diperlukannya suatu sistem pada bank untuk mengidentifikasi nasabah agar dapat mengetahui profil nasabahnya dan diperlukannya juga kepatuhan bank terhadap kewajiban rahasia bank. Dengan adanya ketentuan mengenai rahasia bank dimana bank berkewajiban tunduk pada ketentuan tersebut menimbulkan kesan bagi masyarakat, bahwa bank sengaja untuk menyembunyikan keadaan keuangan yang tidak sehat dari nasabah yang berada di suatu bank tertentu, sehat atau tidak, bermasalah atau tidak. Tetapi, apabila bank bersungguhsungguh melindungi kepentingan nasabahnya yang jujur dan bersih, maka hal itu merupakan suatu keharusan atau kepatutan. Ketentuan mengenai rahasia bank merupakan suatu hal yang sangat penting bagi Nasabah Penyimpan dan simpanannya maupun bagi kepentingan dari bank itu sendiri, sebab apabila Nasabah Penyimpan ini tidak mempercayai bank dimana ia menyimpan simpanannya tentu ia tidak akan mau menjadi nasabahnya. Oleh karena itu, sebagai suatu lembaga keuangan yang berfungi menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan, sudah sepatutnya bank menerapkan ketentuan rahasia bank tersebut secara konsisten dan bertanggung jawab. Dengan adanya upaya pemerintah untuk menanggulangi kejahatan pencucian uang, maka penulis tertarik untuk menelitinya lebih lanjut mengenai keamanan
Muhammad Djumhana, Memerangi Pencucian Uang, (Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 16, November 2001), hal. 4.
4
dana nasabah yang disimpan pada suatu bank dan tanggung jawab bank karena adanya pemberlakuan ketentuan rahasia bank. B. Pokok Permasalahan Dalam penulisan ini akan dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana prinsip kerahasiaan bank dapat disimpangi ketika terdapat indikasi pencucian uang? 2. Bagaimana penanggulangan pencucian uang dalam kerahasiaan bank? C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penulisan ini adalah : 1. Untuk mengetahui bagaimana prinsip kerahasiaan bank dapat disimpangi ketika terdapat indikasi pencucian uang;
2. Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan pencucian uang dalam
kerahasiaan bank.
D. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian Untuk menganalisis objek penelitian ini, metode yang digunakan adalah sebagai berikut: a. Tipe penelitian Penelitian tentang Penyimpangan Prinsip Kerahasiaan Bank Terkait dengan Indikasi Pencucian Uang merupakan suatu penelitian normatif. Sebagai suatu penelitian normatif maka penelitian ini sepenuhnya mempergunakan data sekunder.5 b. Sifat Penelitian
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press), 2007), hal. 53.
Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian deskriptif analitis dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Dimana fakta atau teori tentang kasus yang akan dibahas oleh penulis telah tersedia dan penulis ingin memberikan gambaran tentang objek penelitian.6 c. Data dan Sumber Data Berdasarkan jenis dan bentuknya, data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Data kepustakaan digolongkan dalam dua bahan hukum, yaitu bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat. Sedangkan bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.7 Sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu dengan melakukan studi kepustakaan terhadap: 1) Bahan hukum primer, yang terdiri dari: undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan);
b) Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan a) Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-
Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (PBI No. 5/21/PBI/2003);
d) Surat Edaran Bank Indonesia No. 5/32/DPNP Perihal Perubahan atas
Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/29/DPNP perihal Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah tertanggal 4 Desember 2003 (SE BI No. 5/32/DPNP);
6 7
e) Keputusan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan No. 2/1/KEP.PPATK/2003 tentang Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Bagi Penyedia Jasa Keuangan (Keputusan Kepala PPATK No. 2/1/KEP.PPATK/2003). 2) Bahan hukum sekunder Yakni bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yaitu terdiri dari buku-buku, jurnal hukum dan media-media yang terkait dengan penulisan ini. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik Pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research), yaitu melalui penelusuran dokumendokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoritis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti. 3. Analisis Data Data hasil penelitian ini dianalisis secara kualitatif, artinya data yang sudah ada kemudian dianalisis sesuai dengan sifat penelitian yang deskriptif untuk menjawab permasalahan dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 4. Cara Penarikan Kesimpulan Pengambilan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan metode induktif, artinya adalah berdasarkan data yang bersifat khusus ditarik kesimpulan yang bersifat umum. E. Sistematika Penulisan BAB I : PENDAHULUAN Bab pertama akan menguraikan mengenai latar belakang, pokok permasalahan, tujuan penelitian, metode penelitian yang digunakan dan sistematika penulisan.
BAB II
:TINJAUAN UMUM PRINSIP KERAHASIAAN BANK DAN PRAKTIK PENCUCIAN UANG DALAM PERBANKAN Bab kedua akan menguraikan hasil kajian pustaka berupa penelusuran literatur mengenai pengertian dan dasar hukum rahasia bank, serta pengertian, proses dan jenis-jenis transaksi yang dikategorikan pencucian uang.
BAB III
: PEMBAHASAN Bab ketiga merupakan pembahasan mengenai Penyimpangan Prinsip Kerahasiaan Bank Terkait Dengan Indikasi Pencucian Uang dan Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang Di Dalam Kerahasiaan Bank meliputi Prinsip Mengenal Nasabah Pada Bank serta Pemantauan dan Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
BAB II TINJAUAN UMUM PRINSIP KERAHASIAAN BANK DAN PRAKTIK PENCUCIAN UANG DALAM PERBANKAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum Rahasia Bank Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan (UU Perbankan) telah mengatur mengenai rahasia bank dengan segala pengecualian dan sanksinya. Menurut Pasal 1 angka 28 UU Perbankan, yang dimaksud dengan rahasia bank adalah: segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya Terdapat dua teori tentang kekuatan berlakunya asas rahasia bank ini, yaitu: 8 1. Teori Mutlak Dalam hal ini rahasia keuangan dari nasabah tidak dapat dibuka kepada siapapun dan dalam bentuk apapun. Namun dewasa ini hampir tidak ada lagi Negara yang menganut teori mutlak ini. 2. Teori Relatif Menurut teori ini, rahasia bank tetap diikuti, tetapi dalam hal-hal khusus, yakni dalam hal yang termasuk luar biasa, prinsip kerahasiaan bank tersebut dapat diterobos, misalnya untuk kepentingan perpajakan dan kepentingan perkara pidana. Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan menyebutkan bahwa Bank wajib merahasiakan keterangan Nasabah Penyimpan dan simpananya. Dalam penjelasan atas Pasal 40 UU Perbankan dinyatakan keterangan mengenai nasabah selain sebagai Nasabah Penyimpan, bukan merupakan keterangan yang wajib dirahasiakan bank. Bahkan disebutkan bahwa apabila nasabah bank adalah Nasabah Penyimpan yang sekaligus juga sebagai Nasabah Debitur, bank tetap merahasiakan keterangan tentang nasabah dalam kedudukannya sebagai Nasabah Penyimpan. Yang dimaksud dengan keterangan adalah informasi, sehingga yang wajib dirahasiakan oleh bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan informasi mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, hanya saja ditegaskan
Munir Fuady, Hukum Perbankan Di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 91.
8
dalam penjelasan Pasal 40 UU Perbankan tersebut bahwa apabila Nasabah Penyimpan juga sebagai Nasabah Debitur, maka segala sesuatu informasi mengenai Nasabah Penyimpan tersebut dalam kedudukannya sebagai Nasabah Debitur bukan merupakan hal kebetulan juga sebagai Nasabah Debitur maka informasi seperti nama dan alamat serta jumlah simpanannya, jaminan pinjaman yang diserahkan kepada Bank, sejak kapan pinjaman diberikan, kelancaran/kemacetan pinjamannya, bukanlah merupakan informasi (keterangan yang wajib dirahasian bank). Berdasarkan Pasal 40 UU Perbankan disebutkan pihak-pihak yang dilarang membuka rahasia bank, yaitu pihak bank sendiri dan atau Pihak Terafiliasi. Yang dimaksud dengan Pihak Terafiliasi berdasarkan Pasal 1 angka 22 UU Perbankan adalah:
1.
karyawan bank, khusus bagi bank yang berbentuk hukum koperasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3.
publik, penilai, konsultan hukum dan konsultan lainnya; 4. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut serta mempengaruhi
pengelolaan bank, antara lain pemegang saham dan keluarganya, keluarga Komisaris, keluarga pengawas, keluarga Direksi, keluarga pengurus. Terhadap Pihak Terafiliasi tersebut yang dengan sengaja memberikan keterangan yang wajib dirahasiakan oleh Bank, sesuai dengan ketentuan Pasal 47 UU Perbankan, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp
4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 8.000.000.000,00 (delapan miliar rupiah). Tindak pidana sebagaimana dimaksud dikategorikan sebagai kejahatan. Sebagai peraturan pelaksana dari UU Perbankan, pengecualian rahasia bank juga diatur dalam Peraturan Gubernur Bank Indonesia No. 2/19/PBI/2000 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pemberian Perintah atau Izin Tertulis Membuka Rahasia Bank. Lahirnya peraturan ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa rahasia bank yang diperlukan sebagai salah satu faktor untuk menjaga kepercayaan Nasabah Penyimpan, dimungkinkan dibuka untuk kepentingan perpajakan, penyelesaian piutang bank, kepentingan peradilan dalam perkara pidana, dalam perkara perdata antara bank dengan nasabahnya, dalam rangka tukar menukar informasi antarbank, atas permintaan, persetujuan atau kuasa dari nasabah, dan permintaan ahli waris yang sah dari nasabah yang telah meninggal dunia.
Pengertian Pencucian Uang Sutan Remi Sjahdeni sebagai salah seorang pakar di bidang hukum perbankan, mendefinisikan pencucian uang atau money laundering sebagai:9 Rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pemerintah atau otoritas yang berwenang melakukan penindakan terhadap tindak pidana dengan cara terutama memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga uang tersebut kemudian dapat dikeluarkan dari sistem keuangan itu sebagai uang yang halal.
Sutan Remy Sjahdeni, Pencucian Uang: Pengertian, Sejarah, Faktor-faktor Penyebab Dan Dampaknya Bagi Masyarakat, (Majalah Hukum Bisnis, Vol. 22, No. 3, 2003), hal. 6.
10
Sementara itu Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) memberikan definisi pencucian uang dalam Pasal 1 angka 1 sebagai berikut: Pencucian Uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Yang dimaksud tindak pidana dalam ketentuan UU TPPU tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam:
a. Pasal 3 UU TPPU
Menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
b. Pasal 4 UU TPPU
Menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana
c. Pasal 5 UU TPPU
Menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
d. Pasal 10 UU TPPU
Turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana pencucian uang. Adapun yang dimaksud dengan Hasil Tindak Pidana dalam ketentuan pasalpasal diatas, menurut Pasal 2 ayat (1) UU TPPU adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana: 1) korupsi; 2) penyuapan; 3) narkotika; 4)
11
psikotropika; 5) penyelundupan tenaga kerja; 6) penyelundupan migran; 7) di bidang perbankan; 8) di bidang pasar modal; 9) di bidang perasuransian; 10) kepabeanan; 11) cukai; 12) perdagangan orang; 13) perdagangan senjata gelap; 14) terorisme; 15) penculikan; 16) pencurian; 17) penggelapan; 18) penipuan; 19) pemalsuan uang; 20) perjudian; 21) prostitusi; 22) di bidang perpajakan; 23) di bidang kehutanan; 24) di bidang lingkungan hidup; 25) di bidang kelautan dan perikanan; atau 26) tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih; yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Secara umum pencucian uang merupakan metode untuk menyembunyikan, memindahkan, menggunakan dan menggunakan hasil dari suatu tindak pidana, kegiatan organisasi kejahatan, kejahatan ekonomi, korupsi, perdagangan narkotika dan kegiatan-kegiatan lainnya yang merupakan aktivitas kejahatan. Money laundering atau pencucian uang pada intinya melibatkan aset (pendapatan/kekayaan) yang disamarkan sehingga dapat dipergunakan tanpa terdeteksi bahwa aset tersebut berasal dari kegiatan yang ilegal. Melalui money laundering pendapatan atau kekayaan yang berasal dari kegiatan yang melawan hukum diubah menjadi aset keuangan yang seolah-olah berasal dari sumber yang sah/legal. 2. Proses Pencucian Uang Ada 3 tahap dalam proses pencucian uang atau money laundering dalam perbankan, yaitu:10
a. Placement, yaitu upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu
kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain dengan menempatkan dana pada bank (terkadang diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan), menyetorkan uang pada bank atau
10
12
perusahaan jasa keuangan lain sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail, menyelundupkan uang tunai dari suatu Negara ke Negara lain, membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan dan membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk kepentingan pribadi atau membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai hadiah/penghargaan kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank.
b. Layering, yaitu suatu proses pemindahan dana dari beberapa rekening
atau lokasi sebagai hasil placement ke tempat lainnya melalui transaksi kompleks yang didesain untuk menyamarkan sumber dana tidak halal tersebut. Layering dapat dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin rekening fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.
c. Integration, atau adakalanya disebut juga repatriation and integration,
pada tahap ini uang yang telah dicuci dibawa kembali ke dalam sirkulasi dalam bentuk pendapatan yang bersih, bahkan merupakan objek pajak (taxable). Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana.
3.
Macam-macam jenis transaksi yang dapat dikategorikan sebagai pencucian uang dalam perbankan, adalah:
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan (Suspicious Transaction)
Yang dimaksud dengan istilah Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah transaksi yang menyimpang dari kebiasaan atau tidak wajar dan tidak selalu terkait dengan tindak pidana tertentu. Istilah transaksi yang
13
mencurigakan atau suspicious transaction dalam terminologi anti pencucian uang digunakan pertama kali oleh The Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) dalam The Forty Recommendation tentang pemberantasan pencucian uang. Dalam prakteknya setiap Negara dapat menggunakan istilah yang berbeda. Istilah yang digunakan tidak hanya transaksi yang mencurigakan, tetapi juga dengan istilah lainnya seperti transaksi yang menyimpang dari kebiasaan atau unusual transaction. Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU TPPU, yang dimaksud dengan Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah: 1) Transaksi Keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola Transaksi dari Pengguna Jasa yang bersangkutan; 2) Transaksi Keuangan oleh Pengguna Jasa yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan Transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Pihak Pelapor sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; 3) Transaksi Keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau 4) Transaksi Keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Terdapat beberapa contoh yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan dan kondisi yang sering digunakan dalam rangka pencucian uang. Apabila tidak diperoleh penjelasan yang memuaskan maka transaksi-transaksi di bawah ini harus dipandang sebagai transaksi keuangan mencurigakan:11 1) Setoran tunai yang cukup besar dalam satu transaksi atau kumpulan dari transaksi, khususnya apabila:
11
14
nasabah tidak tunai tetapi dalam bentuk lain seperti cek, bank draft, letter of credit, bills of exchange atau instrumen lain;
b) Setoran ke dalam suatu rekening semata-mata agar nasabah
dapat melakukan transaksi bank draft, transfer atau instrumen pasar uang yang dapat diperjualbelikan. 2)
3)
Nasabah
atau
kuasanya
berupaya
menghindari
untuk
berhubungan secara langsung dengan Penyedia Jasa Keuangan; Penggunaan nominee accounts, trustee accounts dan client accounts yang sebenarnya tidak perlu dilakukan dan tidak konsisten dengan kegiatan usaha nasabah; 4) 5)
6)
Penggunaan banyak rekening dengan alasan yang tidak jelas; Penyetoran dalam nominal kecil dengan frekuensi yang cukup Sering melakukan pemindahan dana antar rekening pada Adanya jumlah yang hampir sama antara dana yang ditarik
tinggi, dan kemudian dilakukan penarikan secara sekaligus; negara/wilayah yang berbeda; 7) dengan yang disetor secara tunai pada hari yang sama atau hari sebelumnya; 8) aktif; 9) 10) Penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang baru Nasabah yang memperlihatkan kehati-hatian yang berlebihan menerima dana yang tidak diduga dan tidak biasa dari luar negeri; terutama terhadap kerahasiaan identitas atau kegiatan usahanya, atau nasabah yang menunda-nunda untuk memberikan informasi dan dokumen pendukung mengenai identitasnya; Penarikan dalam jumlah besar terhadap rekening yang tidak
15
11)
negara yang dikenal sebagai tempat pencucian uang atau negara yang kerahasiaan bank nya sangat ketat; 12) Adanya transfer dana ke dalam suatu rekening dengan frekuensi yang sangat tinggi dan secara tiba-tiba padahal sebelumnya rekening tersebut tergolong tidak aktif; 13) Pembayaran atas pembelian saham yang dilakukan melalui transfer dari rekening atas nama pihak lain. b. Transaksi Keuangan Yang Dilakukan Secara Tunai Berdasarkan Pasal 1 angka 6, yang dimaksud dengan Transaksi Keuangan Tunai adalah: Transaksi Keuangan yang dilakukan dengan menggunakan uang kertas dan/atau uang logam. Transaksi yang dilakukan secara tunai tersebut dilakukan oleh nasabah atau pengguna jasa keuangan dengan Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank. Dalam transaksi tunai pada perbankan, praktik pencucian uang memiliki indikasi seperti: 1)
2)
adanya transaksi dalam jumlah besar; adanya penyetoran tunai untuk deposito dan penarikan yang adanya penyetoran tunai terhadap deposito oleh beberapa orang adanya penyetoran uang tunai melalui night safe locker dimana membeli secara tunai atau mencairkan secara tunai terhadap deposito dalam jumlah besar untuk ditransfer ke luar negeri;
terhadap rekening pihak ketiga; pemilik uang berusaha mengelak bertemu dengan pihak bankir;
5)
16
7)
adanya kegiatan transaksi tunai secara kolektif pada waktu yang nasabah yang melakukan transaksi di bawah supervisi atau BAB III PEMBAHASAN
Pencucian Uang Prinsip kerahasiaan pada awalnya menjadi rintangan utama peran perbankan dalam upaya pelaporan terkait dengan adanya indikasi pencucian uang. Salah satu keluhan para penegak hukum adalah berkaitan dengan hukum kerahasiaan bank yang seringkali dijadikan perisai untuk melindungi para pelaku pencucian uang tersebut. Akan tetapi kini, dalam konteks globalisasi perbankan dan perdagangan, kerahasiaan bank tersebut sudah tidak perlu dipermasalahkan lagi, karena dapat disimpangi dengan beberapa pengecualian untuk dapat membukanya, baik dalam undang-undang nasional maupun dalam hukum internasional. Ketentuan pengecualian yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan menjelaskan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali ada izin membuka rahasia bank dari Gubernur Bank Indonesia atau ada persetujuan dari Nasabah Penyimpan. Untuk memudahkan pelacakan terhadap pelaku kejahatan, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundangan yang mengatur beberapa terobosan mengenai ketentuan membuka rahasia bank. Ketentuan tersebut dikeluarkan untuk meningkatkan pemberantasan terhadap kejahatan pencucian uang (money laundering), terorisme dan korupsi. UU Perbankan memberikan pengecualian terhadap rahasia bank, yakni sebagai berikut:
17
1. Untuk kepentingan perpajakan, Pimpinan Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan perintah memberikan berwenang tertulis kepada mengeluarkan bank agar dan
keterangan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan keuangan Nasabah Penyimpan tertentu kepada pejabat pajak (Pasal 41); 2. Untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang Indonesia dan Lelang Negara/Panitia izin kepada Urusan Piutang Negara, Pimpinan Bank memberikan pejabat Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan Nasabah Debitur (Pasal 41A); 3. Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana, Pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada bank (Pasal 42);
4. Dalam
18
bersangkutan dapat menginformasikan kepada Pengadilan tentang keadaan keuangan nasabah yang bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan dengan perkara tersebut tanpa harus memperoleh izin Pimpinan Bank Indonesia (Pasal 43);
5. Dalam rangka tukar menukar informasi
antar
bank,
direksi
bank
dapat
keadaan
keuangan Bank
nasabahnya kepada bank lain tanpa harus Pimpinan Indonesia (Pasal 44);
6. Atas permintaan, persetujuan atau kuasa
dari Nasabah Penyimpan yang dibuat secara tertulis, bank wajib memberikan keterangan mengenai simpanan Nasabah Penyimpan pada bank yang bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah Penyimpan memperoleh tersebut izin tanpa Pimpinan harus Bank
Indonesia (Pasal 44A). Dalam UU TPPU selanjutnya ditegaskan bahwa pelaksanaan kewajiban pelaksanaan pelaporan oleh Penyedia Jasa Keuangan yang berbentuk bank dikecualikan dari ketentuan rahasia bank. Pasal 72 UU TPPU menyatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor (bank) untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari orang
19
yang telah dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada penyidik sebagai tersangka atau terdakwa. Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud, terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lainnya. Begitu pula terhadap PPATK, sebagai lembaga independen yang mempunyai tugas dan fungsi mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dalam menjalankan semua kewenangannya sesuai fungsi nya sebagai berikut: a) pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam UU TPPU; b) pengelolaan data dan informasi yang diperoleh oleh PPATK; c) pengawasan terhadap kepatuhan Pihak Pelapor; dan d) analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang dan/atau tindak pidana lain, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 45 UU TPPU, tidak berlaku ketentuan perundang-undangan dan kode etik yang mengatur kerahasiaan. Setelah adanya UU TPPU, tentunya Negara akan mempunyai instrumen yang jauh lebih ampuh. Dalih untuk menolak pembeberan penyimpangan uang nasabah berdasarkan ketentuan rahasia bank (Pasal 40 UU Perbankan), tidak lagi dapat digunakan sebagai benteng yang sangat ampuh. Akan tetapi manakala penegak hukum mengalami kesulitan dalam menegakkan UU TPPU, ketentuan tentang kerahasiaan bank akan tetap menjadi hambatan besar. Keadaan semacam ini dapat diatasi apabila kerahasiaan bank tidak dijadikan sebagai perlindungan yang tanpa syarat kepada hak-hak nasabah. Kerahasiaan bank lebih mengedepankan akses yang harus diberikan kepada penegak hukum agar secara mudah (tanpa persetujuan dari otoritas yang terlalu tinggi seperti Pimpinan BI atau Menteri Keuangan) dapat mengakses pencatatan dan laporan jika terdapat transaksi yang mencurigakan. B. Penanggulangan Kejahatan Pencucian Uang Di Dalam Kerahasiaan Bank
20
Kiprah perbankan dalam upaya menciptakan sistem yang kuat dari infiltrasi pencucian uang dapat dimulai dari pelaksanaan kewajiban perbankan itu sendiri, dimana salah satunya adalah keharusan menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer/ KYC) dan melaporkan transaksi keuangan mencurigakan serta transaksi tunai. Menurut Peraturan Bank Indonesia, yang dimaksud dengan Know Your Customer Principle adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan.12 Di samping itu, penerapan prinsip ini dimaksudkan untuk mencegah dipergunakannya bank sebagai sasaran atau sarana pencucian uang, terutama dari hasil korupsi, oleh nasabah bank.
1.
Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) Pada Bank Untuk melindungi nasabah dari berbagai resiko terutama resiko hukum, resiko reputasi dan resiko operasional, sekaligus mengantisipasi terjadinya kejahatan pencucian uang di dalam kerahasiaan bank, maka bank harus mengenal dengan baik setiap nasabah dan memonitor transaksi nasabah melalui penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles/ KYC) yang meningkatkan peran bank dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang. Peranan perbankan dalam KYC adalah dalam pemberantasan praktik pencucian uang. Dengan penerapan prinsip KYC dapat mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan untuk melakukan pencucian uang melalui bank (preventif) dan dapat mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang kemudian dilaporkan oleh bank kepada PPATK untuk selanjutnya dilakukan langkahlangkah penyidikan dan penuntutan oleh penegak hukum (represif). Pokok-pokok ketentuan KYC adalah: a. Bank wajib memiliki dan menerapkan kebijakan dan prosedur penerimaan nasabah, identifikasi nasabah, pemantauan rekening dan transaksi nasabah serta manajemen resiko;
b. Direksi bertanggungjawab atas pelaksanaan penerapan KYC;
12
21
nasabah (UKPN) atau menunjuk pejabat bank yang bertanggungjawab atas penerapan KYC;
d. UKPN dan atau Pejabat tersebut bertanggungjawab kepada Direktur
Kepatuhan. Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) mengacu pada Peraturan PBI No. 5/21/PBI/2003 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dan Undang-undang No. 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantas Tindak Pidana Pencucian Uang, yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang No. 15 tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang dan Undang-undang No. 25 tahun 2003 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 15 tahun 2002. Menurut PBI No. 5/21/PBI/2003, Prinsip Mengenal Nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang mencurigakan. Yang dimaksud dengan nasabah disini adalah pihak yang menggunakan jasa bank dan meliputi perorangan, perusahaan, lembaga pemerintah, lembaga internasional dan perwakilan Negara asing serta bank. Untuk penerapan Prinsip Mengenal Nasabah ini, Bank wajib menerapkan beberapa hal, yaitu:13 a. b. menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah; menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah; c. menetapkan kebijakan dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi Nasabah; d. menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang berkaitan dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah.
13
22
Berdasarkan PBI tersebut, sebelum melakukan hubungan dengan nasabah, bank wajib meminta informasi mengenai:14 a. identitas calon Nasabah; b. maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon Nasabah dengan Bank; c. informasi lain yang memungkinkan Bank untuk dapat mengetahui profil calon Nasabah; dan d. identitas pihak lain, dalam hal calon Nasabah bertindak untuk dan atas nama pihak lain. Bank juga wajib melakukan pengkinian data nasabah terhadap setiap perubahan yang berkaitan dengan identitasnya15 dan harus memiliki salinan dokumen tersebut dan memelihara profil nasabah dengan baik.16 Profil nasabah sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai: a. b. c. d. e. pekerjaan atau bidang usaha; jumlah penghasilan; rekening lain yang dimiliki; aktivitas transaksi normal; dan tujuan pembukaan rekening. Prinsip Mengenal Nasabah ini wajib diterapkan oleh semua Penyedia Jasa Keuangan selambat-lambatnya 2 bulan sejak ditetapkannya Peraturan Bank Indonesia No. 3/10/PBI/2001 yaitu pada tanggal 13 Desember 2001 dan Peraturan Bank Indonesia No. 5/21/PBI/2003 yaitu pada tanggal 17 Oktober 2003. Apabila Penyedia Jasa Keuangan tidak menetapkan dan tidak menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah selambatlambatnya 2 bulan sejak ditetapkannya PBI No. 5/21/PBI/2003; tidak melaporkan setiap perubahan terhadap Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip
14 15 16
Pasal 4 ayat (1) PBI No. 5/21/PBI/2003. Pasal 8 PBI No. 5/21/PBI/2003. Pasal 10 PBI No. 5/21/PBI/2003.
23
Mengenal Nasabah kepada Bank Indonesia selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut; serta tidak menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Bank mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan maka akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a dan huruf b UU Perbankan, yaitu berupa teguran tertulis dan kewajiban membayar sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).17 Terhadap bank yang terlambat menetapkan dan menyampaikan Pedoman Pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah setelah melewati waktu 2 bulan sejak ditetapkannya PBI No. 5/21/PBI/2003; terlambat melaporkan setiap perubahan terhadap Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada Bank Indonesia setelah melewati waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak ditetapkannya perubahan tersebut; serta terlambat menyampaikan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan kepada PPATK setelah melewati waktu 3 (tiga) hari kerja setelah Bank mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan, maka akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf a UU Perbankan berupa kewajiban membayar Rp 1.000.000,00 perhari kelambatan dan setinggi-tingginya Rp 30.000.000,00.18 Selanjutnya terhadap bank yang: a. Tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah; b. Tidak membentuk unit khusus atau menunjuk pejabat bank yang bertanggungjawab atas pelaksanaan Prinsip Mengenal Nasabah;
c. Tidak meminta informasi mengenai identitas nasabah, maksud dan
tujuan hubungan usaha, informasi lain yang terkait profil nasabah serta identifikasi pihak lain (beneficial owner) dalam hal nasabah membuka rekening untuk dan atas nama pihak lain;
17 18
Pasal 18 ayat (1a) PBI No. 5/21/PBI/2003. Pasal 18 ayat (1) PBI No. 5/21/PBI/2003.
24
d. Tidak meminta keberadaan dokumen-dokumen pendukung untuk dapat membuktikan identitas calon nasabah; e. Tidak meneliti kebenaran dokumen pendukung identitas calon Nasabah;
f.
Nasabah bertindak sebagai perantara dan/atau kuasa pihak lain (beneficial owner) untuk membuka rekening dan hubungan hukum, penugasan, serta kewenangan bertindak sebagai perantara dan/atau kuasa pihak lain;
g. Tidak memperoleh bukti atas identitas dari beneficial owner, sumber
dana dan tujuan penggunaan dana, serta informasi lainnya mengenai beneficial owner dari Nasabah, dalam hal calon Nasabah sebagaimana merupakan bank lain di dalam negeri atau bank lain di luar negeri yang menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah yang sekurang-kurangnya setara dengan PBI No. 5/21/PBI/2003;
h. Tidak
menolak
untuk
membuka calon
rekening Nasabah
dan/atau yang:
menolak diketahui
melaksanakan
transaksi
dengan
menggunakan identitas dan atau memberikan informasi yang tidak benar; berbentuk shell banks atau dengan Bank yang mengizinkan rekeningnya digunakan oleh shell banks;
i.
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak Nasabah menutup rekening pada Bank serta tidak melakukan pengkinian data dalam hal terdapat perubahan identitas nasabah atau beneficial owner;
j.
menganalisa, memantau, dan menyediakan laporan efektif mengenai karakteristik transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank serta tidak melakukan pemantauan atas transaksi yang dilakukan oleh Nasabah Bank, termasuk mengidentifikasi terjadinya Transaksi Keuangan Mencurigakan
25
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya PBI No. 5/21/PBI/2003; k. Tidak memelihara profil nasabah yang sekurang-kurangnya meliputi informasi mengenai pekerjaan atau bidang usaha, jumlah penghasilan, rekening lain yang dimiliki, aktivitas transaksi normal serta tujuan pembukaan rekening;
l.
berkaitan dengan penerapan prinsip mengenal nasabah yang mencakup: pengawasan oleh pengurus Bank (management oversight); pendelegasian wewenang; pemisahan tugas; sistem pengawasan intern termasuk audit intern; dan program pelatihan karyawan mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah;
m. Tidak menunjuk petugas khusus yang bertanggung jawab untuk
menangani Nasabah yang dianggap mempunyai risiko tinggi, termasuk penyelenggara negara dan/atau transaksi-transaksi yang dapat dikategorikan sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan;
n. Tidak menyusun kebijakan dan prosedur penerapan Prinsip Mengenal
Nasabah yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah dengan mengacu pada Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang ditetapkan dalam Surat Edaran Bank Indonesia;
o. Tidak menerapkan kebijakan mengenal Nasabah bagi Nasabah baru
sejak ditetapkannya pedoman tersebut oleh Bank; p. Tidak menerapkan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Nasabah yang sudah ada, dan tidak melakukan pengkinian database Nasabah, selambatlambatnya 6 (enam) bulan sejak diberlakukannya PBI No. 5/21/PBI/2003;
26
mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sejak diberlakukannya PBI No. 5/21/PBI/2003;
r.
dalam PBI No. 5/21/PBI/2003, dalam hal di Negara tempat kedudukan kantor Bank berbadan hukum Indonesia yang berada di luar negeri belum berlaku ketentuan Prinsip Mengenal Nasabah atau berlaku Prinsip Mengenal Nasabah namun dengan standar yang lebih longgar dari yang diatur dalam PBI No. 5/21/PBI/2003;
s.
kantor pusat Bank dan Bank Indonesia dalam hal penerapan Prinsip Mengenal Nasabah sebagaimana diatur dalam PBI No. 5/21/PBI/2003 mengakibatkan pelanggaran terhadap ketentuan perundang-undangan yang berlaku di negara tempat kedudukan kantor bank berada; akan dikenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 ayat (2) huruf b, c, e, f, atau g UU Perbankan yaitu berupa:19 a. Teguran tertulis; b. Penurunan tingkat kesehatan bank;
c. Pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor cabang tertentu
maupun untuk bank secara keseluruhan; d. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota Koperasi mengangkat pengganti yang tetap dengan sepersetujuan Bank Indonesia; atau e. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham dalam daftar orang tercela di bidang perbankan. Disamping sanksi administratif tersebut diatas, terhadap anggota Dewan Komisaris, Direksi, atau pegawai bank yang dengan sengaja tidak
19
27
melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan dalam UU Perbankan dan peraturan perundangundangan lainnya yang berlaku bagi bank (termasuk PBI No. 5/21/PBI/2003), diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 3 (tiga) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).20 2. Pemantauan dan Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan Sistem pemantauan transaksi dapat dilakukan secara manual ataupun otomatis agar petugas Bank dapat mengidentifikasi transaksi yang mencurigakan. Dalam melakukan tugas operasional sehari-hari petugas Bank wajib melakukan pemantauan dan melaporkan kegiatan yang mencurigakan untuk dievaluasi lebih lanjut.21
termasuk perantara dan/atau kuasa pihak lain (beneficial owner), dalam jangka waktu sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak nasabah menutup rekening; Penatausahaan dokumen untuk nasabah yang tidak memiliki rekening di Bank (walk-in customer) sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sejak transaksi dilakukan;
b. Pengkinian (up-dating) data dalam hal terdapat perubahan terhadap
28
1)
Melakukan
pemeriksaan
data/dokumen
nasabah
secara
menyeluruh, yakni dengan membandingkan data/dokumen nasabah yang ada dengan yang harus ada sesuai dengan Prinsip Mengenal Nasabah; 2) Apabila dari hasil pemeriksaan tersebut terdapat beberapa data nasabah yang belum lengkap atau dokumen yang telah jatuh tempo maka agar segera dimintakan kepada nasabah untuk dilengkapi atau diperbaharui;
c. Pengembangan sistem informasi yang secara efektif dapat membantu
petugas Bank dalam melakukan identifikasi, analisis, pemantauan dan penyediaan laporan mengenai transaksi yang dilakukan oleh nasabah. Sistem informasi ini memungkinkan Bank untuk menelusuri setiap transaksi (individual transaction), baik untuk keperluan intern Bank dan/ atau Bank Indonesia maupun dalam kaitannya dengan kasus peradilan;
d. Pemeliharaan profil nasabah yang sekurang-kurangnya mencakup informasi
mengenai : Identitas nasabah; Pekerjaan atau bidang usaha; Jumlah penghasilan; Rekening yang dimiliki; Aktivitas transaksi normal; dan Tujuan pembukaan rekening. Kegiatan pemantauan sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai berikut:23
a. Pemantauan Rekening
Meliputi pemantauan terhadap mutasi rekening secara periodik untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya mutasi yang tidak sesuai dengan profil nasabah. Khusus terhadap rekening nasabah yang mempunyai risiko tinggi diperlukan pemantauan yang lebih intensif.
b. Pemantauan Transaksi
23
Ibid.
29
Meliputi pemantauan terhadap setiap transaksi baik tunai maupun non tunai pada saat transaksi tersebut dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya transaksi yang tidak sesuai dengan profil nasabah.
c. Pemantauan Transaksi walk-in customer
Meliputi pemantauan terhadap transaksi yang dilakukan oleh walk-in customer dengan nilai lebih dari Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau setara dengan itu untuk mengidentifikasi kemungkinan adanya Transaksi Keuangan Mencurigakan. Bank wajib melakukan evaluasi terhadap hasil pemantauan rekening dan transaksi nasabah untuk memastikan ada tidaknya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan. Dalam rangka memastikan Transaksi Keuangan Mencurigakan, UKPN atau pejabat yang ditunjuk dapat melakukan analisis untuk menemukan adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan terhadap berbagai laporan berkala yang dibuat oleh unit kerja terkait atau kantor cabang. Suatu transaksi termasuk sebagai Transaksi Keuangan Mencurigakan apabila sekurang-kurangnya memenuhi salah satu unsur sebagai berikut: a. Transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan; b. Transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Bank sesuai dengan ketentuan dalam UU TPPU;
c. Transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan
menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana. Sesuai ketentuan UU TPPU, Penyedia Jasa Keuangan wajib menyampaikan laporan kepada PPATK yang meliputi:24
a. Transaksi Keuangan Mencurigakan paling lama 3 (tiga) hari kerja
setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan;
24
30
b. Transaksi
Keuangan
Tunai
dalam
jumlah
paling
sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau dengan mata uang asing yang nilainya setara, yang dilakukan baik dalam satu kali Transaksi, maupun beberapa kali Transaksi dalam 1 (satu) hari kerja paling lama 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan ; dan/atau
c. Transaksi Keuangan transfer dana dari dan ke luar negeri paling lama
14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal Transaksi dilakukan. Untuk menganalisis suatu transaksi antara lain dapat dilakukan dengan beberapa pertanyaan, misalnya: a. Apakah jumlah nominal dan frekuensi transaksi konsisten dengan kegiatan normal yang selama ini dilakukan oleh nasabah? b. Apakah transaksi yang dilakukan wajar dan sesuai dengan kegiatan usaha, aktivitas, dan kebutuhan nasabah? c. Apakah pola transaksi yang dilakukan oleh nasabah tidak menyimpang dari pola transaksi umum untuk nasabah sejenis? Sebagai tindak lanjut dari pemantauan rekening dan transaksi nasabah, Bank wajib melaporkan Transaksi Keuangan Mencurigakan baik untuk keperluan internal maupun untuk keperluan pelaporan kepada PPATK. Yang dimaksud dengan laporan internal adalah laporan dari unit kerja yang terkait dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah kepada UKPN atau pejabat yang ditunjuk. Penyedia Jasa Keuangan harus membuat pedoman intern sebagai acuan untuk mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan, karena timbulnya kecurigaan terhadap suatu transaksi sangat bergantung pada profil nasabah, bentuk layanan dan produk dari masing-masing Penyedia Jasa Keuangan. Setiap Penyedia Jasa Keuangan seyogyanya memantau kasus-kasus transaksi keuangan mencurigakan, karena dapat digunakan sebagai bahan untuk
31
melakukan
pengkinian
ketentuan
internal
dan
pedoman
secara
berkesinambungan. Selanjutnya Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan intern tersebut disusun oleh UKPN untuk disampaikan kepada PPATK oleh Direktur Kepatuhan Bank, paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Bank mengetahui adanya unsur Transaksi Keuangan Mencurigakan dengan berpedoman pada ketentuan PPATK mengenai Prosedur Pelaporan Transaksi Keuangan mencurigakan yang berlaku. Bank juga wajib menatausahakan hasil pemantauan dan evaluasi rekening dan transaksi nasabah, baik yang dilaporkan maupun yang tidak dilaporkan kepada PPATK. Penyedia Jasa Keuangan wajib bekerjasama dengan aparat berwenang dan melaporkan segala transaksi keuangannya kepada PPATK. Hal ini berdasarkan UU TPPU. Kewajiban pelaporan ini disertai dengan penjelasan dan alasan yang menyebabkan suatu transaksi dicurigai, identitas pihak yang melakukan transaksi, serta keterangan atau keadaan yang melatarbelakangi dan menyebabkan transaksi dicurigai. Laporan Transaksi Mencurigakan adalah dokumen yang bersifat sangat rahasia. Kerahasiaan laporan transaksi mencurigakan merupakan tanggung jawab bank. Kerahasiaan laporan transaksi keuangan mencurigakan juga menjadi tanggungjawab PPATK sejak laporan tersebut diterima oleh PPATK. Direksi, komisaris, pengurus atau pegawai Pihak Pelapor dilarang memberitahukan kepada Pengguna Jasa atau pihak lain, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan cara apa pun mengenai laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang sedang disusun atau telah disampaikan kepada PPATK (anti tipping off). Begitupun terhadap Pejabat atau pegawai PPATK atau Lembaga Pengawas dan Pengatur dilarang memberitahukan laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang akan atau telah dilaporkan kepada PPATK secara langsung atau tidak langsung dengan cara apa pun kepada
32
Pengguna Jasa atau pihak lain. Pelanggaran terhadap ketentuan ini dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).25 Tujuan adanya anti tipping-off tersebut adalah:
a. untuk mencegah pihak yang dilaporkan (nasabah) mengalihkan dananya
dan/atau melarikan diri sehingga mempersulit aparat penegak hukum dalam melakukan pelacakan kasus tersebut; b. untuk menjaga efektivitas penyelidikan dan penyidikan tindak pidana pencucian uang.
Prinsip kerahasiaan bank dapat disimpangi ketika terdapat indikasi pencucian uang. Ketentuan pengecualian kerahasiaan bank tersebut diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan yang menjelaskan bahwa bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, kecuali ada izin membuka rahasia bank dari Gubernur Bank Indonesia atau ada persetujuan dari Nasabah Penyimpan. Untuk memudahkan pelacakan terhadap pelaku kejahatan, pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan perundangan yang mengatur beberapa terobosan mengenai ketentuan membuka rahasia bank. Ketentuan tersebut dikeluarkan untuk meningkatkan pemberantasan terhadap
25
Pasal 12 UU TPPU.
33
kejahatan pencucian uang (money laundering), terorisme dan korupsi. Pasal 72 UU TPPU menyatakan bahwa untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana pencucian uang, penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang meminta Pihak Pelapor (bank) untuk memberikan keterangan secara tertulis mengenai Harta Kekayaan dari orang yang telah dilaporkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada penyidik sebagai tersangka atau terdakwa. Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud, terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur rahasia bank dan kerahasiaan Transaksi Keuangan lainnya.
2. Penanggulangan kejahatan pencucian uang dalam kerahasiaan bank dilakukan
dengan penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your Customer Principles) dan pemantauan dan pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. Sebagai lembaga yang berpotensi menjadi sarana dan sasaran utama kegiatan money laundering, perbankan perlu melindungi dirinya dan berperan aktif dalam penanggulangan money laundering dengan cara menerapkan KYC secara memadai dan konsisten. Dengan prosedur KYC, bank dapat mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk melaporkan transaksi yang mencurigakan. Dengan penerapan KYC, perbankan memiliki peranan sangat besar dalam penanggulangan tindak pidana money laundering, baik preventif maupun represif. Aspek preventif (pencegahan), yaitu semakin komprehensif dan efektif penerapan sistem KYC oleh bank, maka semakin sempit ruang gerak para pelaku kejahatan untuk melakukan pencucian uang melalui bank. Demikian pula dengan aspek represif (penghukuman), yaitu semakin komprehensif dan efektif penerapan sistem KYC oleh bank, maka terjadinya transaksi keuangan mencurigakan akan semakin mudah diidentifikasi dan dilaporkan oleh bank kepada pihak yang berwenang, sehingga dapat menjadi sumber informasi yang memungkinkan langkah penegakan hukum
34
terhadap tindak pidana pencucian uang. Informasi mengenai transaksi keuangan mencurigakan yang disampaikan oleh bank kepada pihak yang berwenang merupakan sumber informasi yang pertama dan utama bagi upaya menemukan dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang. B. Saran Pemerintah dan Bank Indonesia perlu melakukan sosialisasi intensif kepada Penyedia Jasa Keuangan dan masyarakat tentang diberlakukannya peraturan mengenai Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah maupun Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang agar memupuk kesadaran hukum dari seluruh Penyedia Jasa Keuangan dan masyarakat dalam rangka mematuhi ketentuan KYC dan TPPU mengingat kerahasiaan bank merupakan salah satu faktor maraknya tindak pidana pencucian uang.