Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Laporan Akhir Kel Kulit Jeruk A1 2015

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN AKHIR

PRAKTIKUM METODE PEMISAHAN


KULIT JERUK (Citrus sinensis)
Kelas: A1 S1 2015
Kelompok: 2
1. Fariana Nur Santi

(1513015029)

2. Muhammad Fajar A.D

(1513015049)

3. Wilujeng Cahya Arundina (1513015035)


4. Yinny Rahmani

(1513015015)

LABORATORIUM KIMIA FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2016

LEMBAR PENGESAHAN

Sampel
Praktikum
Asisten
Dosen Pengampu

: Kulit Jeruk (Citrus sinensis)


: Metode Pemisahan Kimia
: 1.Angga Gusti Saputra ( 1313015114)
2. Herlina Ekapratama Dewi
: 1.Akhmad Jaizzur Rijai, S.Farm, M.Si.
2. Viriyanata Wijaya, S.Farm., M.Farm., Apt.
3.

Praktikan
a. Fariana Nur Santi
b. Muhammad Fajar A.D
c. Wilujeng Cahya Arundina
d. Yinny Rahmani

(1513015029)
(1513015049)
(1513015035)
(1513015015)
Samarinda, 28 Desember 2016

Diperiksa oleh

Ketua

Angga Gusti Saputra


NIM. 1313015114

Fariana Nur Santi


NIM. 1513015029
Mengetahui

Akhmad Jaizzur Rijai, S.Farm, M.Si.

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI.................................................................................................................1
Bab I Pendahuluan.......................................................................................................3
Bab II Tinjauan Pustaka.............................................................................................4
II. 1 Uraian Tumbuhan............................................................................................4
II. 2 Ekstraksi...........................................................................................................5
II. 3 Fraksinasi..........................................................................................................6
II. 4 Metoda Pemisahan...........................................................................................7
II. 4. 1 Kromatografi Lapis Tipis............................................................................7
II. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif.......................................................11
II. 4. 5 Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON).................12
II. 4. 6 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi........................................................12
Bab III Metodologi.....................................................................................................14
Bab IV Alat dan Bahan..............................................................................................18
IV. 1 Alat..................................................................................................................18
IV. 2 Bahan..............................................................................................................18
Bab V Prosedur Percobaan.......................................................................................19
V. 1 Ekstraksi..........................................................................................................19
V. 2 Fraksinasi........................................................................................................19
V. 3 Kromatografi Lapis Tipis...............................................................................19
V. 4 Kromatografi Konvensional..........................................................................20
V. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi.............................................................21
Bab VI Pembahasan...................................................................................................22
VI. 1 Ekstraksi........................................................................................................22
VI. 2 Fraksinasi......................................................................................................25
VI. 3 Kromatografi Lapis Tipis.............................................................................27
VI. 4 Kromatografi Konvensional........................................................................30
Bab VII Kesimpulan dan Saran................................................................................36
VII. Kesimpulan.....................................................................................................37
1

VII. Saran................................................................................................................37
Daftar Pustaka............................................................................................................38

Bab I Pendahuluan
Dalam pembelajaran mengenal bahan alam yang melimpah di sekitar kita .
patatu sebagai mahasiswa farmasi memahami dan mengenal tentang proses
identifikasi senyawa aktif atau metabolit sekunder dalam suatu simplisia atau
tumbuhan. Berawal dari keingintauan akan manfaat yang terkandung dari suatu
tanaman menjadi awal pengenalan tentang bagaiman proses pemisahan digunakan
untuk mendapatkan dua atau lebih produk yang lebih murni dari suatu campuran
senyawa kimia (Rahman, 2009).
Secara mendasar, proses pemisahan dapat diterangkan sebagai proses
perpindahan massa. Proses pemisahan suatu campuran dapat dilakukan dengan
berbagai metode. Beberapa dasar pemisahan dalam suatu campuran antara lain titik
didih, ukuran partikel, kepolaran, kelarutan dan pengendapan. Hal inilah yang
membuat senyawa aktif dari simplisia dapat terisolasi (Iskandar, 2007).
Metode pemisahan sendiri mengalami proes panjang yang berawal dari
persiapan simplisia yang membutuhkan perlakuan perlakuan khusus untuk dapat
diproses ekstrak dengan berbagai macam metode ekstraksi seperti maserasi, perkolasi,
sokletasi dan refluks. Sedangkan untuk memisahkan ke dalam fraksi fraksinya
dilakukan dengan bermacam-macam metode seperti fraksinasi cair-cair, cair-padat
dan lainnya. Umumnya proses pemisahan ini dilakukan dengan bertingkat seperti
kromatografi yang kita ketahui ada beberapa jenis diantaranya yaitu kromatografi
lapis tipis, kromatografi kolom konvensional, dan kromatografi cair vakum (Gritter,
1991).
Pemisahan inilah yang ditujukan agar mendapatkan isolat senyawa murni dari
simplisia yang digunakan agar bisa dimanfaatkan sebagai bekal ilmu pengetahuan
tetang senyawa metabolit sekunder ataupun bisa dilakukan pengujian aktivitas agar
bisa dinikmati manfaatnya dan digunakan sebaik-baiknya dibidang pengobatan dan
teknologi ilmu pengetahuan. Olah karena itu, metode pemisahan ini mencakup proses
isolasi senyawa murni dari tanaman yang diujikan yaitu kulit jeruk. Dibeberapa
negara telah diproduksi minyak dari kulit dan biji jeruk, gula tetes, alkohol dan pektin
dari buah jeruk yang terbuang. Kulit jeruk yang merupakan salah satu sampah atau
limbah yang dapat diolah untuk menghasilkan produk bernilai tinggi lainnya, yaitu
minyak atsiri. Oleh karena itu, untuk mengetahui kadar atau kandungan dari minyak
atsiri perlu diuji dengan metode pemisahan (Iskandar, 2007).
3

Bab II Tinjauan Pustaka


II. 1 Uraian Tumbuhan

Kedudukan taksonomi tanaman dari

jeruk manis merupakan bagian dari

plantae, dan tumbuhan berbiji (Spermatophyta). Bijinya tergolong

angiospermae

(berbiji tertutup) dan berkeping dua (dicotyledonae), serta asal jeruk ini termasuk
dalam Rutales dan famili Rutaceae dengan marga citrus dan jenisnya adalah Citrus
sinensis (Steenis, 1992).
Jeruk manis (Citrus sinensis), yang mempunyai ciri tanaman perdu dengan
ketinggian 3- 10 meter, ranting berduri; duri pendek berbentuk paku. Tangkai daun
panjang 0,5 3,5 cm. helaian daun bulat telur, elliptis atau memanjang, dengan ujung
tumpul atau meruncing tumpul. Mahkota bunga putih atau putih kekuningan. Buah
bentuk bola, atau bentuk bola tertekan berwarna kuning, oranye atau hijau dengan
kuning. Daging buah kuning muda, oranye kuning atau kemerah-merahan dengan
gelembung yang bersatu dengan yang lain (Steenis, 1992).
Jeruk manis mempunyai rasa yang manis, kandungan air yang banyak dan
memiliki kandungan vitamin C yang tinggi (berkisar 27-49 mg/100 gram daging
buah). Vitamin C bermanfaat sebagai antioksidan dalam tubuh, yang dapat mencegah
kerusakan sel akibat aktivitas molekul radikal bebas. Sari buah jeruk manis
mengandung 40-70 mg vitamin C per 100 ml, tergantung jenis jeruknya. Makin tua
buah jeruk, umumnya kandungan vitamin C semakin berkurang, tetapi rasanya
semakin manis (Steenis, 1992).
Bagian utama buah jeruk dari luar sampai ke dalam adalah kulit (tersusun
atasflavedo, kelenjar minyak, albedo dan ikatan pembuluh), segmen-segmen (dinding

segmen, rongga cairan, biji), core( bagian tengah yang terdiri dari ikatan pembuluh
dan jaringan parenkim). Kulit jeruk secara fisik dapat dibagi menjadi dua bagian
utama yaitu flavedo dan albedo ( kulit bagian dalam yang beruoa jaringan busa).
Flavedo dicirikan dengan adanya warna hijau, kuning atau orange. Pigmen yang
terdapat pada flavedo adalah kloroplas dan karetenoid (Albrigo dan Carter, 1977).
II. 2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat didalam
bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang
tepat. Sedangkan ekstrak adalah hasil dari proses ekstraksi, bahan yang diekstraksi
merupakan bahan alam. (Ditjen POM, 1986).Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi
pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone, 1987).
Oleh karena itu, proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman saat
ketika pelarut organik menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, maka zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel,
sehingga larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus
sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar
sel. (Rachman, 2009).
Metode yang umum digunakan dalam ekstraksi diantaranya maserasi yang
menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar) dimana dalam proses ini juga dilakukan remaserasi. Proses
remaserasi dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa zat aktif yang
terkandung di dalam sampel sudah terekstrak semua, perkolasi yang proses penyarian
simplisia lewat pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam suatu
percolator. Adapun metode refluks yang digunakan apabila dalam sintesis bahan alam
menggunakan pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan biasa
maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai dan metode
sokletasi yang merupakan proses pemisahan dengan cara penyaringan berulang-ulang
dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan
akan terisolasi (Ditjen POM, 2000).

II. 3 Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran
(padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil (fraksi)
komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan
pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedang
fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi merupakan suatu proses
pemisahan senyawasenyawa berdasarkan tingkat kepolaran. Jumlah dan senyawa
yang dapat dipisahkan lewat proses fraksinasi hingga menjadi fraksi berbeda beda
tergantung pada jenis tumbuhan (Harborne, 1987).
Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter,
aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut.Asam lemak,
asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diekstraksi
dengan pelarut organik (Adijuwana dan Nur, 1989).
Metode fraksinasi yang umum digunakan seperti fraksinasi padat-cair yang
dalam proses pemisahan untuk memperoleh komponen zat terlarut dari campurannya
dalam padatan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Pada umumnya metode ini
digunakan untuk sampel yang tidak larut dalam air.Fraksinasi bertujuan untuk
melakukan pemisahan senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya sehingga jumlah
senyawa dapat dipisahkan menjadi beberapa fraksi yang berbeda. Dalam pelaksanaan
percobaan fraksinasi dilakukan secara bertingkat, dimulai dari penarikan senyawa non
polar, lalu pelarut semi polar, dan terakhir dengan pelarut polar (Lestari, 1990).
Fraksinasi yang dilakukan dengan metode cair-cair yang merupakan
pemisahan komponen kimia diantara dua fase pelarut yang tidak dapat saling
bercampur.Prinsip kerja dari fraksinasi secara cair-cair (corong pisah) dengan
pemisahan komponen kimia yang sebagian komponen larut pada fase pertama dan
sebagiannya lagi larut pada fase kedua.Kedua fase yang mengandung zat terdispersi
dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua
lapisan fase zat cair. Komponen kimia akan terpisah ke dalam dua fasa tersebut sesuai
dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap (Sudjadi,
1986).
Fraksinasi zat-zat terlarut antara dua cairan yang tidak saling bercampur
menawarkan banyak kemungkinan yang menarik untuk pemisahan analitis.Bahkan
dimana tujuan primer bukan analitis namun preparatif, Fraksinasi dengan
menggunakan pelarut merupakan suatu langkah penting dalam mencari senyawa aktif
6

suatu tumbuhan, dan kadang-kadang digunakan peralatan yang rumit namun


seringkali diperlukan hanya sebuah corong pisah (Underwood, 1986).
II. 4 Metoda Pemisahan
Suatu metode yang digunakan untuk memisahkan dan atau memurnikan
senyawa tunggal, kelompok senyawa dengan susunan yang berkaitan. Metode
pemisahan ini dilakukan secara bertahap dan dengan berbagai metode diantaranya
Kromatografi

Lapis Tipis (KLT), Kromatografi Kolom Konvensional (KKK),

Kromatografi Cair Vakum (KCV), Kromatografi lapis Tipis Preparatif (KLTP),


Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON) dan Kromatografi Lapis
Tipis 2 Dimensi.
II. 4. 1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi lapis tipis (KLT) adalah salah satu metode pemisahan
komponen menggunakan fasa diam berupa plat dengan lapisan bahan adsorben inert.
KLT merupakan salah satu jenis kromatografi analitik.KLT sering digunakan untuk
identifikasi awal, karena banyak keuntungan menggunakan KLT, di antaranya adalah
sederhana dan murah.KLT termasuk dalam kategori kromatografi planar, Selain
kromatografi kertas.Kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan
bahan sangat sedikit, baik penyerap maupun cuplikannya.KLT dapat digunakan untuk
memisahkan senyawa senyawa yang sifatnya hidrofobik seperti lipida lipida dan
hidrokarbon yang sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat
berguna untuk mencari eluen untuk kromatografi kolom, analisis fraksi yang
diperoleh dari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi, dan
isolasi senyawa murni skala kecil (Fessenden,2003).
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) adalah suatu teknik yang sederhana yang
banyak digunakan, metode ini menggunakan empeng kaca atau lembaran plastik
yang ditutupi penyerap atau lapisan tipis dan kering. Untuk menotolkan karutan
cuplikan pada kempeng kaca, pada dasarnya menggunakan mikro pipet atau pipa
kapiler. Setelah itu, bagian bawah dari lempeng dicelup dalam larutan pengelusi di
dalam wadah yang tertutup (Soebagio,2002).
Kromatografi lapis tipis merupakan cara pemisahan campuran senyawa
menjadi

senyawamurni

dan

mengetahui

kuantitasnya

yang

menggunakan

kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit,
7

baik menyerap maupun merupakan cuplikan KLT dapat digunakan untuk memisahkan
senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofilik seperti lipid-lipid dan hidrokarbon yang
sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat digunakan untuk
mencari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi dengan sifat
kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapis tipis seperti silika gel adalah senyawa
yang tidak bereaksi dengan pereaksi-pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat.
( Fessenden, 2003 )
Pertimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (aluen) umumnya sama
dengan pemilihan eluen untuk kromatografi kolom. Dalam kromatografi adsorpsi,
pengelusi eluen naik sejalan dengan pelarut (misalnya dari heksana ke aseton, ke
alkohol, ke air).Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran pelarut
dengan susunan tertentu.Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai kemurnian
yang tiggi.Terdapatnya sejumlah air atau zat pengotor lainnya dapat menghasilkan
kromatogram yang tidak diharapkan.
KLT merupakan contoh dari kromatografi adsorpsi.Fase diam berupa padatan
dan fase geraknya dapat berupa cairan dan gas.Zat terlarut yang diadsorpsi oleh
permukaan partikel padat.Prinsip KLT adalah adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi
adalah penyerapan pada pemukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau
kemampuan suatu zat yang ada dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang
digunakan. Kecepatan gerak senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung
pada (Soebagil,2002)
Sampel untuk pengujian KLT akan dilihat elusinya dengan menggunakan
sinar UV 254 nm dan 366 nm. Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi
sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV
254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator
fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan
emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang
tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian
kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Sedangkan pada UV 366 nm
noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada
lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus
kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi
cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen
tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi
8

yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.
Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang
digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm (Sudjadi, 1994).
Kelarutan senyawa dalam pelarut, hal ini bergantung pada bagaimana besar
atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut.Bagaimana senyawa melekat
pada fase diam, misalnya gel silika.Hal ini tergantung pada bagaimana besar atraksi
antara senyawa dengan gel silika. Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis
yang dilapisi dengan adsorben seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun
selulosa. Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam Fasa gerak yang digunakan
dalam KLT sering disebut dengan eluen.Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas
senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas,
sehingga didapatkan perbandingan tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and
error. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh
(Gandjar,2007).
Derajat retensi pada kromatografi lempeng biasanya dinyatakan sebagai
faktor resensi.(Gritter,1991). Nilai Rf (faktor retensi) sangat karakterisitik untuk
senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang
mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga
sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih
polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah.
Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus
dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).
II. 4. 2 Kromatografi Cair Vakum
Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi
yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih
sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan aliran
fasa geraknya dibantu dengan pompa vakum.Fasa diam yang digunakan dapat berupa
silika gel atau alumunium oksida (Ghisalberti, 2008).
Adapun cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi
dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 m) dalam keadaan
vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang
kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi.Kolom
dipisah sampai kering dan sekarang siap dipakai (Hostettman, 1986).
9

II. 4. 3 Kromatografi Konvensional


Kromatografi kolom konvensional adalah metode kromatografi klasik yang
sampai saat ini masih banyak digunakan.Kolom konvensional digunakan untuk
memisahkan senyawa-senyawa dalam jumlah banyak. Prinsip dari kromatografi
kolom jenis ini adalah kecendrungan komponen kimia untuk terdistribusi ke dalam
fase diam atau fase gerak dengan proses elusi berdasarkan gaya gravitasi (Rohman,
2009).
Dengan adanya perubahan tingkat kepolaran secara bertahap, keterikatan
komponen terhadap pelarut dan keterikatan masing-masing komponen terhadap fase
diam akan berubah-ubah, sesuai dengan sifat-sifat masing-masing komponen.
Komponen ini dibawa oleh pelarut dan tertampung pada vial penampung. Hasil
pemisahan dapat diakumulasikan dan masih dalam keadaan terlarut dalam
pelarut.mendapatkan komponen murninya dengan pemekatan, meskipun hasilnya
tidak terlalu banyak.Proses pemisahan pada kromatografi kolom ini bisa dikatakan
sebagai bentuk sederhana dari teknik kromatografi yang dilakukan dengan instrument
kinerja tinggi.Kolom hanya sebatas berfungsi sebagai wadah. Oleh karena itu,
kromatografi ini merupakan kromatografi yang

cukup mudah untuk dilakukan

meskipun waktu pengerjaannya lebih lama jika dibanding dengan kromatografi jenis
lain oleh karena itu kromatografi jenis ini masih banyak digunakan pada zaman
sekarang. Kelebihan dari metode ini jika dibandingkan dengan KLT adalah bahwa
dilakukannya pemisahan untuk sampel dengan jumlah yang lebih banyak. Di samping
itu, bisa memperoleh hasil pemisahan tersebut dan menampungnya (Khopkar, 2010).
Campuran pada kromatografi kolom, yang akan dipisahkan berupa pita pada
bagian atas penjerat yang berada pada kolom kaca, logam atau bahkan plastic. Eluen
(fase gerak) dibiarkan mengalir melalui fase diam dalam kolom dan hanya disebabkan
oleh gaya gravitasi. Bahan yang digunakan sebagai fase diam dapat adsorben yang
tidak larut dalam fasa gerak, ukuran partikel fasa diam harus seragam. Fase diam yang
umum digunakan seperti alumina , silica gel, arang, bauksit, kalsium karbonant,
magnesium karbonat, pati, talk, selulose, gula, tanah diatom. (Rohman, 2009).
Keuntungan kromatografi kolom yaitu dapat digunakan untuk analisis dan
aplikasi preparatif, digunakan unruk menentukan jumlah komponen campuran
digunakan untuk memisahkan dan purifikasi substansi.Kerugian kromatografi kolom
yaitu untuk mempersiapkan kolom dibutuhkan kemampuan teknik dan manual,
metode ini sangat membutuhkan waktu yang lama (time consuming) (Rohman, 2009).
10

II. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif


Salah satu metode pemisahan yang memerlukan biaya paling murah dan
memakai peralatan sangat sederhana ialah kromatografi lapis tipis preparatif
(KLTP).Walaupun KLTP dapat memisahkan dalam jumlah gram, sebagian besar
pemakaian hanya dalam jumlah miligram.KLT preparatif dilakukan dengan
menggunakan lapisan tebal (sampai 1 mm) sebagai pengganti lapisan penyerap yang
tipis (Nasution, 2010).
Meski banyak terdapat metode, metode Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
(KLTP) yang pembiayaannya paling murah dan memakai peralatan paling dasar.
Adsorben yang paling banyak digunakan yaitu silika gel yang dipakai untuk
pemisahan campuran lipofil maupun senyawa hidrofil. ketebalan adsorben yang
paling sering digunakan ialah 0,5 2 mm. pembatasan ketebalan lapisan dan ukuran
plat sudah tentu mengurangi jumlah bahan yang dapat dipisahkan dengan KLTP.
Ukuran partikel dan porinya kurang lebih sama dengan ukuran tingkat mutu
KLT (Hostettmann, 2006).
Proses isolasi kromatografi lapis tipis preparatif terjadi berdasarkan perbedaan
daya serap dan daya partisi serta kelarutan dari komponen-komponen kimia yang akan
bergerak mengikuti kepolaran eluen, oleh karena daya serap adsorben terhadap
komponen kimia tidak sama, maka komponen bergerak dengan kecepatan yang
berbeda sehingga hal inilah yang menyebabkan pemisahan (Nasution, 2010).
Cuplikan yang akan dipisahkan ditotolkan berupa garis pada salah satu sisi
pelat lapisan besar dan dikembangkan secara tegak lurus pada garis cuplikan sehingga
campuran akan terpisah menjadi beberapa pita. Pita ditampakkan dengan cara yang
tidak merusak jika senyawa itu berwarna, dan penyerap yang mengandung senyawa
pita dikerok dari pelat kaca. Kemudian cuplikan dielusi dari penyerap dengan pelarut
polar.Cara ini berguna untuk memisahkan campuran reaksi sehingga diperoleh
senyawa murni untuk telaah pendahuluan, untuk menyiapkan cuplikan analisis, untuk
meneliti bahan alam yang lazimnya berjumlah kecil dan campurannya rumit dan
untuk memperoleh cuplikan yang murni untuk mengkalibrasi kromatografi lapis tipis
kuantitatif (Nasution, 2010).
Adsorben yang paling banyak digunakan dalam kromatografi lapis tipis adalah
silika gel dan aluminium oksida.Silika gel umumnya mengandung zat tambahan
Kalsium sulfat untuk mempertinggi daya lekatnya.Zat ini digunakan sebagai adsorben
universal untuk kromatografi senyawa netral, asam dan basa.Aluminum oksida
11

mempunyai kemampuan koordinasi dan oleh karena itu sesuai untuk pemisahan
senyawa yang mengandung gugus fungsi yang berbeda.Aluminium oksida
mengandung ion alkali dan dengan demikian bereaksi sebagai basa dalam suspensi
air.Disamping kedua adsorben yang sangat aktif ini dalam hal tertentu dapat
digunakan kieselgur yang kurang aktif sebagai lapis absorpsi (Munson, 2010).
Pengembangan plat KLTP biasanya dilakukan dalam bejana kaca yang dapat
menampung beberapa plat. Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara
pengembangan berulang. Harus diperhatikan bahwa semakin lama senyawa berkontak
dengan penyerap maka semakin besar kemungkinan penguraian (Nasution, 2010).
II. 4. 5 Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON)
Kromatotron memiliki prinsip sama seperti kromatografi klasik dengan aliran
fase gerak yang dipercepatoleh gaya sentrifugal. Kromatografi jenis ini menggunakan
rotor yang dimiringkan dan terdapat dalam ruang tertutup oleh plat kaca kuarsa,
sedangkan lapisan penyerapnya berupa plat kaca yang dilapisi oleh silika gel. Plat
tersebut dipasang pada motor listrik dan diputar dengan kecepatan 800 rpm. Pelarut
pengelusi dimasukkan kebagian tengah pelarut melalui pompa torak sehingga dapat
mengalir dan merambat melalui lapis tipis karena gaya sentrifugal. Untuk mengetahui
jalannya proses elusi dimonitor dengan lampu UV. Gas nitrogen dialirkan kedalam
ruang plat untuk mencegah pengembunan pelarut pengelusi dan mencegah oksidasi
sampel. Pemasukan sampel itu diikuti dengan pengelusian menghasilkan pita-pita
komponen berupa lingkaran sepusat. Pada tepi plat, pita-pita akan terputar keluar
dengan gaya sentrifugal dan di tampung dalam botol fraksi, diidentifikasi dengan KLT
(Hostettmann et al., 1995).
II. 4. 6 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel
ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama,
karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain
itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan
sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat
polaritas yang berbeda (Ibnu, 2008).
Sampel ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satu sistem fase
gerak sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi.
Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90, dan diletakkan dalam bejana
kromatografi yang berisi fase gerak kedua, sehingga bercak yang terpisah pada
12

pengembangan

pertama

terletak

dibagian

bawah

sepanjang

lempeng,

lalu

dikromatografi lagi (Ibnu, 2008).


Hasil elusi diamati menggunakan penampak noda sinar ultra violet 254 nm
dan 366 nm. Hasil pengamatan yang menunjukkan satu spot atau bercak tunggal
menandakan senyawa ekstrak yang diperoleh merupakan senyawa kimia tunggal atau
murni dan pemisahan KLT 2 dimensi yang terbaik adalah ketika semua komponen
dipisahkan dan didistribusikan pada seluruh permukaan dari pelat kromatografi
(Harborne, 1984).

13

Bab III Metodologi


Proses ekstraksi dimulai dengan pembuatan simplisia. Pembuatan simplisia
pada sampel kulit jeruk dipotong kecil-kecil.Kemudian, dibersihkan terlebih dahulu
agar sisa kotoran tidak ada lagi.Lalu, diangin-anginkan serta dibuang bagian yang
berjamur untuk mencegah rusaknya simplisia yang ingin diujikan dan dioven apabila
belum kering dengan suhu 50 0C. Dilanjutkan dengan proses sokhletasi yang
dilakukan dengan simplisia kering yang telah dipotong kecil-kecil, dibungkus dengan
kertas saring lalu dimasukkan kedalam kelonsong tabung sokhlet.Masukkan pelarut
metanol di labu alas bulat dan dinyalakan penangas, atur suhu sesuai dengan sifat
pelarut.Hitung waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus Setelah sampai 5 siklus,
keluarkan pelarut dari dalam labu ukur yang tertampung.Uapkan larutan ekstrak
dengan menggunakan evaporator atau waterbath dan ditampung dalam wadah.Setelah
ekstrak yang diperoleh sudah kering maka ditimbang dan dihitung rendemen ekstrak.
Selanjutkan untuk proses fraksinasi yang digunakan adalah ektraksi Cair-cair
yang dilakukan dengan ekstrak kering Sampel yang telah ditimbang kurang lebih 3-5
gram, kemudian ditambah dengan 50 mL air, dilarutkan. Dimasukkan campuran air
dan ekstrak ke dalam corong pisah dengan keran dalam keadaan tertutup kemudian
ditambahkan dengan n-hexan sebanyak 50 mL. Ditutup lalu dikocok kuat sambil
sesekali membuka keran dalam keadaan terbalik untuk maembuang gas yang
bertekanan.Didiamkan hingga membentuk 2 lapisan (air berada dibawah larutan nhexan).Lalu, dimasukkan ekstrak air yang berada dibawah kedalam labu Erlenmeyer
dengan membuka keran dan ditampung kedalam wadah mangkok.Diulangi langkah
tersebut dengan menggunakan pelarut etil asetat kemudian dilanjutkan dengan pelarut
n-butanol sebanyak 3 kali.Dimasukkan masing-masing fraksi yang telah diolah pada
wadah mangkok.
Proses pemurnian yang sebelumnya sudah didapatkan hasil fraksi dilanjutkan
dengan metode Kromatografi Lapis Tipis. Terlebih dahulu dibuat eluen yang sesuai
dengan ekstrak sampel, eluen yang sesuai dengan kulit jeruk yaitu n-hexan/etil asetat
dengan beberapa perbandingan 9:1, 8:2, 7:3, 6:4, 5:5 dan 4:6. Kemudian, dilarutkan
semua fraksi-fraksi ekstrak yang terdapat dalam botol vial dengan kloroform/metanol
dengan perbandingan 1:1 secukupnya hingga tercampur lalu tutup dengan alumunium
O

foil . Lalu, dipanaskan plat KLT dalam termoliner dengan suhu 100 C dan setelah
dipanaskan maka dilakukan pemotongan plat KLT menjadi bagian-bagian kecil
dengan panjang 7 cm dan lebar 2 cm . Lalu, diberi garis batas bawah 1 cm dan batas
14

atas cm dengan menggunakan pensil. Setelah siap maka dilakukan penotolan


larutan fraksi-fraksi dengan menggunakan pipa kapiler pada batas bawah lempeng
(dua buah totol yang berbeda sesuai dengan kedekatan tingkat kepolarannya), diberi
label dan setelah ditotolkan maka seluruh eluen dimsukkan kemasing-masing gelas
bening sampai kurang dari 1 cm dari permukaan dalam gelas dan

diberi label.

Diamati kenaikan pelarut pada plat KLT dan jika telah sampai pada batas atas,
diangkat plat KLT dan dingin-anginkan plat KLT hingga kering lalu diamati spot
warna yang timbul dibawah sinar UV 254, 366 nm dan sinar tampak.
Pengujian lebih lanjut untuk memastikan senyawa yang telah didapatkan dari
hasil KLT dilanjutkan dengan proses atau metode Kromatografi Konvensional
(KKK). Kromatografi kolom konvensional terlebih dahulu dengan proses
pengemasan kolom yang dilakukan dengan cara basah dimana terlebih dahulu fase
diam (silica gel) yang telah ditimbang disuspensikan dengan fase gerak (eluen) yang
sesuai saat uji KLT. Untuk preparasi kolom dengan letakkan kolom dalam posisi
tegak lurus.Pastikan bahwa kran pada dasar kolom tertutup atau aliran keluar tidak
dapat terjadi. Tuangkan suspensi dengan hati-hati dan perlahan-lahan ke dalam
kolom sambil diketuk-ketuk dinding kolom secara perlahan untuk mendorong
gelembung udara yang ada naik ke bagian atas kolom dan supaya tidak terjadi retak
dalam proses pemisahan. Tahap selanjutnya dengan penyiapan sampel yang sebanyak
1 g ekstrak untuk setiap 100 g fase diam kering dan larutkan dalam tidak lebih dari
100 ml pelarut (eluen) yang sebelumnya telah digunakan untuk KLT. Ekstrak telah
menjadi tersalut sempurna dengan fase diam dan menjadi kering serta menjadi
serbuk

dimasukkan kedalam kolom.Dengan hati-hati bukalah kran pada ujung

kolom dan biarkan fase gerak mengalir hingga letak supernatan pada permukaan
kolom tepat diatas fase diam (kurang 3 mm).selama proses berlangsung ditambahkan
fase gerak pada bagian atas kolom hingga hasil pemisahan berwarna bening dan
kumpulan fraksi tersebut dikeringkan dan diamati apakah ada terbentuk kristal yang
menandakan bahwa terdapat senyawa murni atau tunggal.
Selanjutnya untuk pengujian senyawa tunggal atau murni dilakukan dengan
KLT dua dimensi dimana proses yang harus dilakukan adalah dengan melarutkan
hasil fraksi KKK dengan etil asetat. Sebelumnya dicari terlebih dahulu eluen untuk 2
sistem eluen dengan proses KLT biasa. Setelah didapatkan eluennya yaitu eluen
pertama yaitu kloroform dan etil asetat (9:1) dan eluen kedua yaitu n-heksan dan etil
asetat (5:5). Maka, ditotolkan pada lempeng yang telah diaktifkan dan dimasukkan ke
15

sistem eluen pertama (non polar), dielusi dan dikeringkan. Lalu, diamati dengan sinar
UV 254 dan 366 nM. Diputar 90o setelah mencapai batas atas, lalu dielusi lagi, setelah
elusi kedua mencapai batas atas, dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan.
Pemutaran plat KLT 90o bertujuan untuk melihat hasil penotolan yang tertarik dengan
eluen atau pelarut yang bersifat polar yaitu n-heksan dan etil asetat (5:5). Kemudian,
dilihat penampakan nodanya pada UV 254 nm dan UV 366 nm lagi dan spot yang
terbentuk apakah menunjukkan senyawa tunggal atau masih dalam pemisahan yang
tidak bagus.

Bagan Kerja

16

Kulit jeruk
Dikeringkan dengan oven

Simplisia
Diekstraksi

Refluks
pelarut metanol hingga 5 siklus

Ekstrak Cair di duapkan dengan Rotary


Evaporator hingga kental

Fraksinasi
Fraksi etil asetat

Fraksi n-heksan

Fraksi n-butanol

Diuapkan

Diuapkan

Diuapkan

Fraksi Etil asetat


kering

Fraksi n-heksan
kering

Fraksi n-butanol
kering

Kromatogram
uji KLT

Noda

Vial

uji KLT

Bening

Vial

Vial

Orange

Kuning

Vial
Hitam

Noda

Kristal
Dilarutkan dengan etil
asetat

KLT 2 Dimensi
Ditotolkan di plat KLT

Eluen I
Kloroform: etil asetat (9:1)
Putar 90

Eluen II
n-Heksan: Etil asetat (5:5)
Sinar UV
Senyawa Tunggal

17

Bab IV Alat dan Bahan


IV. 1 Alat
Peralatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah: batang pengaduk;
botol cokelat; botol semprot; botol vial; chamber/staining; corong; corong pisah;
desikator;Erlenmeyer; gelas kimia; gelas ukur; kolom kromatografi; kolom
sokhlet; kondensor; labu alas bulat; lampu UV 254 dan 366 nm; mangkok;
pipas kapiler; pipet tetes; botol vial; pisau pemotong; rotary evaporator statif
dan klem ; oven.
IV. 2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah kulit jeruk (Citrus sp)
aquadest; ekstrak kulit jeruk; etil asetat; fraksi ekstrak; kertas saring; N-butanol;
n-hexan; plat KLT; silica gel 60; plat silica gel 60 GF254.

18

Bab V Prosedur Percobaan


V. 1 Ekstraksi
Proses ekstraksi dimulai dengan pembuatan simplisia. Pembuatan simplisia
pada sampel kulit jeruk dipotong kecil-kecil.Kemudian, dibersihkan terlebih dahulu
agar sisa kotoran tidak ada lagi.Lalu, diangin-anginkan serta dibuang bagian yang
berjamur untuk mencegah rusaknya simplisia yang ingin diujikan dan dioven apabila
belum kering dengan suhu 50 0C. Dilanjutkan dengan proses Sokhletasi yang
dilakukan dengan simplisia kering yang telah dipotong kecil-kecil, dibungkus dengan
kertas saring lalu dimasukkan kedalam kelonsong tabung sokhlet.Masukkan pelarut
metanol di labu alas bulat dan dinyalakan penangas, atur suhu sesuai dengan sifat
pelarut.Hitung waktu yang dibutuhkan untuk satu siklus Setelah sampai 5 siklus,
keluarkan pelarut dari dalam labu ukur yang tertampung.Uapkan larutan ekstrak
dengan menggunakan evaporator atau waterbath dan ditampung dalam wadah.Setelah
ekstrak yang diperoleh sudah kering maka ditimbang dan dihitung rendemen ekstrak.
V. 2 Fraksinasi
Pemisahan dengan fraksinasi yang digunakan adalah ektraksi Cair-cair .
Pemisahan ini dilakukan dengan ekstrak kering hasil ekstraksi soklet sebanyak 10
gram, ditambah dengan 50 mL air, dilarutkan. Dimasukkan campuran air dan ekstrak
ke dalam corong pisah dengan keran dalam keadaan tertutup kemudian ditambahkan
dengan n-hexan sebanyak 50 mL. Ditutup lalu dikocok kuat sambil sesekali membuka
keran dalam keadaan terbalik untuk maembuang gas yang bertekanan.Didiamkan
hingga membentuk 2 lapisan (air berada dibawah larutan n-hexan). Lalu, dimasukkan
ekstrak air yang berada dibawah kedalam labu Erlenmeyer dengan membuka keran
dan ditampung kedalam wadah mangkok. Diulangi langkah tersebut dengan
menggunakan pelarut etil asetat kemudian dilanjutkan dengan pelarut n-butanol
sebanyak 3 kali.Dimasukkan masing-masing fraksi yang telah diolah pada wadah
mangkok.
V. 3 Kromatografi Lapis Tipis
Terlebih dahulu dibuat eluen yang sesuai dengan ekstrak sampel, eluen yang
sesuai dengan kulit jeruk yaitu n-hexan/etil asetat dengan beberapa perbandingan 9:1,

19

8:2, 7:3, 6:4, 5:5 dan 4:6. Kemudian, dilarutkan semua fraksi-fraksi ekstrak yang
terdapat dalam botol vial dengan kloroform/metanol dengan perbandingan 1:1
secukupnya hingga tercampur lalu tutup dengan alumunium foil . Lalu, dipanaskan
O

plat KLT dalam termoliner dengan suhu 100 C dan setelah dipanaskan maka
dilakukan pemotongan plat KLT menjadi bagian-bagian kecil dengan panjang 7 cm
dan lebar 2 cm . Lalu, diberi garis batas bawah 1 cm dan batas atas cm dengan
menggunakan pensil. Setelah siap maka dilakukan penotolan larutan fraksi-fraksi
dengan menggunakan pipa kapiler pada batas bawah lempeng (dua buah totol yang
berbeda sesuai dengan kedekatan tingkat kepolarannya), diberi label dan setelah
ditotolkan maka seluruh eluen dimsukkan kemasing-masing gelas bening sampai
kurang dari 1 cm dari permukaan dalam gelas dan diberi label. Diamati kenaikan
pelarut pada plat KLT dan jika telah sampai pada batas atas, diangkat plat KLT dan
dingin-anginkan plat KLT hingga kering lalu diamati spot warna yang timbul dibawah
sinar UV 254, 366 nm dan sinar tampak.
V. 4 Kromatografi Konvensional
Tahapan Kromatografi Kolom Konvensional (KKK) dilakukan pengemasan
kolom cara basah dimana terlebih dahulu fase diam (silica gel) yang telah ditimbang
disuspensikan dengan fase gerak (eluen) yang sesuai saat uji KLT. Untuk preparasi
kolom dengan letakkan kolom dalam posisi tegak lurus. Pastikan bahwa kran pada
dasar kolom tertutup atau aliran keluar tidak dapat terjadi.
Suspensi yang telah jadi dimasukkan ke dalam kolom sambil diketuk-ketuk
dinding kolom. Tahap selanjutnya dengan penyiapan sampel yang sebanyak 1 g
ekstrak untuk setiap 100 g fase diam kering dan larutkan dalam tidak lebih dari 100
ml pelarut

(eluen) yang sebelumnya telah digunakan untuk KLT. Ekstrak telah

menjadi tersalut sempurna dengan fase diam dan menjadi kering serta menjadi serbuk
dimasukkan kedalam kolom. Dengan hati-hati bukalah kran pada ujung kolom dan
biarkan fase gerak mengalir hingga letak supernatan pada permukaan kolom tepat
diatas fase diam (kurang 3 mm).selama proses berlangsung ditambahkan fase gerak
pada bagian atas kolom hingga hasil pemisahan berwarna bening dan kumpulan fraksi
tersebut dikeringkan dan diamati apakah ada terbentuk kristal yang menandakan
bahwa terdapat senyawa murni atau tunggal.

20

V. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi


KLT dua dimensi dilakukan dengan disiapkan alat dan bahannya yaitu hasil
fraksi KKK, hasil fraksi ini dipilih yang terdapat kristal atau yang dimungkinkan
dalam botol vial terdapat senyawa tunggal lalu dilarutkan dengan etil asetat.
Pemilihan etil asetat sebagai pelarut karena etil asetat termasuk dalam larutan yang
mudah menguap dan mampu untuk membantu dalam mengelusikan penotolan.
Sebelumnya dicari terlebih dahulu eluen untuk 2 sistem eluen dengan proses KLT
biasa. Setelah didapatkan eluennya yaitu eluen pertama yaitu kloroform dan etil asetat
(9:1) dan eluen kedua yaitu n-heksan dan etil asetat (5:5). Maka, ditotolkan pada
lempeng yang telah diaktifkan dan dimasukkan ke sistem eluen pertama (non polar),
dielusi dan dikeringkan. Lalu, diamati dengan sinar UV 254 dan 366 nM. Diputar 90o
setelah mencapai batas atas, lalu dielusi lagi, setelah elusi kedua mencapai batas atas,
dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan. Kemudian, dilihat penampakan nodanya
pada UV 254 nm dan UV 366 nm lagi dan spot yang terbentuk apakah menunjukkan
senyawa tunggal atau masih dalam pemisahan yang tidak bagus.

21

Bab VI Pembahasan
VI. 1 Ekstraksi
Jeruk (Citrus sp) adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia.Sejak
ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau
dibudidayakan. Kulit jeruk memiliki kandungan senyawa yang berbeda-beda,
bergantung varietas, sehingga aromanya pun berbeda. Beberapa penelitan
menunjukkan kemanfaatan senyawa minyak atsiri sebagai bahan yang diminati
dimana terdapat manfaat beberapa minyak atsiri kulit jeruk dalam penyembuhan
penyakit diantaranya pada jeruk manis sebagai sedatif, antidepresi, tonik dan
antiseptik (Albrigo, 1977).
Pemanfaatan kulit jeruk ini dapat diawali mengetahui dan mengindentifikasi
senyawa aktif atau metabolit sekunder yang berpotensi untuk penyembuhan dan
pengobatan penyakit. Oleh karenai itu, dilakukan percobaan ini dengan tujuan agar
dapat mengetahui dan memahami teknik-teknik ekstraki dengan metode maserasi,
ektraksi dengan alat sokhlet, dan refluks. Selain itu, dengan metode ekstraksi maka
dapat dilakukan pemisahan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terkandung
didalam kulit jeruk. Proses ekstraksi ini diawali dengan pembuatan simplisia.
Simplisia adalah bahan alam yang dogunakan sebagai obat dimana belum mengalami
pengolahan apapun kecuali pengerinngan yang bertujuan untuk mengurangi kadar air
dalam sampel.
Pengolahan ekstrak sendiri dilakukan dengan beberapa tahap diantaranya
pengumpulan bahan yang dilakukan dengan mengambil sampel yang ingin digunakan
dan dilakukan sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran atau bahan asing
isinya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang digunakan dari akar, bahan
bahan asing seperti tanah, kerikil, batang, daun dan lainnya Selanjutnya pencucian
dan penghalusan bahan agar memudahkan dalam ekstraksi . Lalu, sortasi kering
dilakukan setelah pegeringan sebagai tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi
sendiri untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang
tidak diinginkan dan pengotor pengotor lain yang masih tertinggal pada simplisia
kering.selain itu tujuan pengecilannya untuk mempermudah ekstraksi unsur tertentu
dan struktur komposisi, penyesuaian dengan kebutuhan spesifikasi produk atau
mendapatkan

bentuk

tertentu,untuk

menambah

luas

permukaan

padatan,

mempermudah pencampuran bahan secara merata. Kemudian dilanjutkan dengan


22

proses mengekstrak yang dapat dilakukan dengan bermacam-macam metode (Sudjadi.


1994).
Metode yang digunakan dengan metode sokhlet. Pemilihan metode sokhlet
disesuaikan pada sampel yang digunakan yaitu kulit jeruk.Karena dari karakteristik
kulit jeruk yang bertekstur keras dalam bentuk simplisia terutama saat dikeringkan.
Oleh karena itu, metode yang cocok untuk mengekstrak kulit jeruk yaitu sokhlet.
Kelebihan dari metode sokhlet tersebut adalah metode ini secara tidak langsung tidak
akan merugikan sampel karena panas tidak melalui serbuk simplisia, tetapi melalui
pipa samping. Selain itu, tidak membuang-buang pelarut karena sistem sokhlet yang
berkesinambungan.
Pelarut yang digunakan adalah metano dimana penggunaan metanol dilakukan
karena pelarut ini bersifat mudah menguap dengan titik didih yang rendah dan
merupakan pelarut yang dapat melarutkan minyak atau lemak dengan baik sehingga
cocok digunakan pada isolasi lemak/minyak yang terkandung di dalam buah. Sebelum
melakukan pemanasan, penambahan batu didih harus dilakukanterlebih dahulu agar
tidak terjadi bumping pada saat proses pemanasan berlangsung. Pemanasan pelarut
organik dilakukan selama 5 kali sirkulasi atau sampai pelarut tidak berwarna lagi yang
berarti bahwa pelarut sudah tidak membawa komponen yang ingin diisolasi. Siklus
adalah tahapan dimana 1 siklus terhitung apabila pelarut yang berada di labu alas
bulat saat proses sokhlet berlangsung masuk ke bagian simplisia dan telah mengisi
seluruh tabung alat soxhlet kemudian melalui tabung kecil keluar membasahi labu
alas bulat. Umumnya tergantung pada sampel yang digunakan hingga berapa tahap
siklus yang digunakan hingga didapatkan ekstrak yang banyak. Sedangkan dari
sampel kulit jeruk membutuhkan 5 siklus untuk menyelesaikan proses ekstraksi secara
sokhlet. Selama proses ektraksi berlangsung dapat terlihat pada gambar VI.1 berikut.

(a)

(b)

(c)

23

Gambar VI. 1 Proses ektraksi berawal dari gambar (a) merupakan pembuatan
simplisia kulit jeruk yang dikeringkan. (b) proses sokhletasi pada simplisia. (c) proses
penyaringan hasil sokhletasi
Setelah dilakukannya proses ekstraksi dengan metode sokhlet maka ekstrak
yang didapatkan dilanjutkan dengan proses pemekatan dengan menggunakan vakum
rotary evaporator. Dengan prinsip penguapan pelarut sehingga dari campuran ekstrak
tersebut akan lebih dipekatkan lagi ekstrak yang didapat dan pelarut yang mudah
menguap pun terpisah dengan dibantu pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari
labu, sehinga cairan penyari atau pelarut dapat menguap 5- 10

di bawah titik

didh pelarutnya disebabkanadanya penurunan tekanan. Dengan bantuan pompa


vakum, uap larutan penyari akan menguap naik ke kondesor dan mengalami
kondensasi menjadi molekul-molekucairan pelarut murni yang ditampung dalam labu
penampung. Setelah proses selesai maka diangin-anginkan agar sisa-sisa pelarut
metanol dapat menguap hingga ekstrak yang didapat tinggal berupa filtrat. Setelah
kering dapat dihitung rendemen dari hasil ekstrak sampel.Rendemen adalah
perbandingan berat akhir (berat ekstrak yang dihasilkan) dengan berat awal (berat
biomassa sel yang digunakan) dikalikan 100% (Rahayu, 2015). Tujuan perhitungan
rendemen adalah untuk mengetahui besarnya ekstrak yang diperoleh berdasarkan
berat keringnya dan dengan diketahuinya rendemen maka dapat diketahui persentase
bagian bahan baku yang dapat digunakan ataupun dimanfaatkan dengan total bahan
baku (Septiani, 2012).
Hasil pengamatan yang didapatkan dari ekstrak didapatkan pada kulit jeruk
berat awalnya (sampel) 129 gram dan setelah menjadi ekstrak sebesar 12,9 gram.
Berdasarkan hasil ekstrak tersebut dapat disimpulkan rendemen dari kulit jeruk adalah
10 %. Hasil rendemen ini didapatkan dari rumus perhitungan rendemen dimana dari
berat awal berupa sampel yang telah dikeringkan kemudian dibagi dengan berat atau
banyaknya ekstrak yang didapatkan. Data hasil rendemen ekstrak dapat dilihat pada
tabel VI.1 berikut.
Tabel VI. 1 Rendemen Ekstrak Kulit Jeruk
No
.
1

Sampel
Kulit Jeruk

Berat sampel (g)

Berat ekstrak

129

(g)
12,9

Rendemen
(% b/b)
10 %

24

VI. 2 Fraksinasi
Perlakuan fraksinasi cair-cair dilakukan dengan ekstraksi sampel kulit jeruk
Saat pelaksanaan praktikum berat jenis senyawa mempengaruhi posisi filtrat saat
dilakukan perlakuan. Pada pengerjaan semua ekstrak yang telah ditambahkan dengan
aquades memiliki berat jenis yang lebih berat dibandingkan dengan ketiga pelarut
lainnya yaitu n-heksan, etil asetat, dan n-butanol. Adanya perbedaan berat jenis ini,
akan membuat terbentuknya dua lapisan yang tidak dapat bercampur dan
memperlihatkan sifat kepolaran dari tiap pelarut yang digunakan.
Proses fraksinasi diawali dengan menimbang terlebih dahulu berat ekstrak
metanol dari kulit jeruk yang akan digunakan untuk menghitung nilai rendemen.
Menurut (Moelyono, 1996) tujuan perhitungan nilai rendemen adalah untuk
mengetahui besar persentase bagian bahan baku yang dapat digunakan

ataupun

dimanfaatkan dengan total bahan baku. Setelah ditimbang ekstrak kulit jeruk, lalu
dilarutkan dengan air terlebih dahulu, fungsi ekstrak dilarutkan dengan air adalah
untuk menguji apakah sampel yang digunakan bersifat larut air atau tidak, jika larut
air maka perlakuan dilanjutkan ke tahap ekstraksi cair-cair bila tidak larut air maka
dilanjutkan ke tahap ekstraksi cair-padat. Ekstrak yang sudah dilarutkan dengan air
dimasukkan ke dalam corong pisah

kemudian ditambahkan pelarut n-heksan. n-

heksan merupakan senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14 (isomer
utama n-heksana memiliki rumus CH3(CH2)4CH3dan memiliki titik didih antara 50
dan 70C (Sutomo, 2013). N-heksan merupakan pelarut yang bersifat non-polar,
penggunaan pelarut non-polar terlebih dahulu dikarenakan jika pada pengerjaan awal
digunakan pelarut polar, maka dikhawatirkan adanya senyawa nonpolar yang ikut
terlarut, sebagaimana kita ketahui bahwa pelarut polar, selain mampu melarutkan
senyawa yang bersifat polar juga mampu melarutkan senyawa yang bersifat nonpolar.
Setelah penambahan n-heksan sebanyak 50 mL dihomogenkan dengan cara digojog
tujuan penggojokan ini agar pelarut n-heksan dapat masuk ke dalam sel-sel ekstrak
kulit jeruk ini, tidak lupa untuk dibuka keran dari corong pisah untuk mengeluarkan
udara yang terbentuk akibat hasil penggojogan. Setelah penggojogan didiamkan
beberapa saat sampai terbentuk dua fasa. Dua fasa yang terbentuk dikarenakan adanya
senyawa dalam ekstrak yang larut n-heksan dan ada yang tidak larut. Ekstrak yang
larut berada dilapisan atas dikarenakan berat jenis pelarut n-heksan lebih
ringansedangkan yang larut air akan berada di bawah. Fraksi n-heksan kulit jeruk
yang berada dibagian atas diambil menggunakan pipet volume hal ini dikarenakan
25

apabila diambil dengan membuka keran corong pisah akan lebih sulit karena adanya
endapan ekstrak kulit jeruk dibagian bawah dan kemungkinan besar akan menarik
larutan lain. Fraksi n-heksan kulit jeruk disimpan pada wadah mangkok untuk
menyimpan ekstrak larut n-heksan. Perlakuan ini diulangi sebanyak tiga kali yang
bertujuan untuk menarik semua senyawa nonpolar yang terkandung dalam ekstrak
kulit jeruk dengan pelarut nonpolar yaitu n-heksan.
Perlakuan kedua yaitu dengan melarutkan ekstrak tak larut n-heksan yang
berada dicorong pisah dengan pelarut baru yang kepolarannya lebih besar dari nheksan yaitu pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan salah satu jenis solvent atau
pelarut yang memiliki rumus CH3COOC2H5. Cairan jernih tak berwarna dan berbau
harum atau aroma buah (khas ester) ini mempunyai kemurnian 99,8% dengan
kandungan impuritasnya berupa air maksimal 0,1% dan etanol maksimal 0,1%, serta
larut dalam alkohol dan mempunyai titik didih sebesar 77 C dengan berat jenis 0,8945
gr/ml (25 oC). Etil asetat yang ditambahkan sebanyak 50 mL dan dihomogenkan.
Setelah ditambahkan pelarut etil asetat, terbentuk dua fasa.Dua fasa yang terbentuk
karena adanya senyawa dalam ekstrak ada yang terlarut dalam pelarut etil asetat dan
ada yang tidak larut. Ekstrak yang larut pada etil asetat berada di atas sedangkan yang
larut air di bawah. Fraksi etil asetat kulit jeruk disimpan dalam wadah khusus untuk
menyimpan ekstrak.Perlakuan ini diulangi sebanyak tiga kali yang bertujuan untuk
menarik semua senyawa dengan kepolaran menengah yang terkandung dalam ekstrak
kulit jeruk dengan pelarut yang memiliki kepolaran menengah yaitu etil asetat.
Perlakuan ketiga yaitu dengan melarutkan sisa ekstrak yang ada didalam
corong pisah dengan n-butanol sebanyak 50 mL dan dihomogenkan. Lalu terbentuk
dua fasa lagi hal ini dikarenkan senyawa yang terkandung dalam ekstrak ada yang
larut dalam n-butanol dan ada juga yang tidak larut. Ekstrak yang larut pada n-butanol
berada di atas sedangkan yang larut air di bawah. Fraksi n-butanol kulit jeruk
disimpan diwadah khusus untuk menaruh sampel larut n-butanol. Perlakuan ini
diulangi sebanyak dua kali yang bertujuan untuk menarik semua senyawa polar yang
terkandung dalam ekstrak kulit jeruk dengan pelarut polar yaitu n-butanol.
Hasil fraksi n-heksan, etil asetat, dan n-butanol yang diangin- anginkan hingga
kering dapat dilakukan perhitungan rendemen. Dapat dilihat hasil fraksi dari ketiga
pelarut yang berbeda padagambar VI.2 berikut.

26

(a)

(b)

(c)

Gambar VI.2 hasil fraksinasi ekstrak kulit jeruk dengan (a) fraksi n-heksan (b) Fraksi
etil asetat (c) Fraksi n-butanol
Terlihat perbedaan hasil fraksi yang dipengaruhi oleh pelarut dengan
perbedaan kepolaran dari non polar, semi polar hingga polar . Data hasil rendemen
fraksinasi dapat dilihat pada tabel VI.2 berikut.
Tabel VI. 2 Rendemen Fraksi Kulit Jeruk
No

Sampel

Rendemen (% b/b)

N-Heksan

1,55

Etil asetat

24

N-Butanol

766,67

Nilai rendemen didapatkan dari perbandingan berat akhir (berat ekstrak yang
dihasilkan) dengan berat awal (berat biomassa sel yang digunakan) dikalikan 100%.
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan fraksi n-heksan memiliki berat
0,2 gram , fraksi etil asetat sebesar
98,9 gram

3,1 gram

dan fraksi n-butanol sebesar

. Bila dibandingkan dengan berat ekstrak yang sebesar 12,9 gram.

Maka, dapat ditentukan rendemen dari fraksi n-heksan sebesar 1,55 %, fraksi etil
asetat sebesar 24% dan n-butanol sebesar 766,67 %. Hasil galat yang didapatkan pada
fraksi n-butanol karena hasil fraksi yang telah dainginkan anginkan belum mengering
sempurna sehingga masih dalam keadaan basah.
VI. 3 Kromatografi Lapis Tipis
Selama proses kromatografi, komponen-komponen yang akan dipisahkan
antara dua fase yaitu fase diam dan fasegerak. Fase diam akan menahan komponen
campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran.
27

Komponen yang mudah tertahan pada fase diamakan tertinggal. Sedangkan


komponen

yang

mudah

larut

dalam

fase

gerak

akan

bergerak

lebih

cepat..Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben
dan adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam. Fase diam yang digunakan pada
percobaan ini adalah Silica Gel 60 GF 254. Fasa gerak yang digunakan dalam KLT
atau eluen yang digunakan adalah campuran pelarut antara n-heksan dan etil asetat.
Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan
campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan
tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen sangat
berpengaruh terhadap R (faktor retensi) yang diperoleh. Dapat dikatakan KLT dapat
digunakan untuk analisi dan identifikasi pemisahan komponen dengan cara perkolasi
warna, fluoresensi atau dengan radiasi sinar UV (Iskandar, 2007).
Pelarut yang digunakan dalam Kromatografi Lapis Tipis (KLT) diantaranya
Metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah
terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol)
dimana fungsi metanol ini sebagai pelarut ekstrak agar memudahkan dalam proses
penotolan. Sedangkan n-heksan yang berupa cairan tak berwarna, dapat dibakar
digunakan sebagai campuran eluen. Begitu juga dengan pelarut Etil asetat berupa
cairan jernih, tidak berwarna, bau menusuk, rasa asam, tajam. Etanol berupa cairan
yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan sebagai campuran eluen
dengan n-heksan (Dirjen POM,1972).
Perlakuan selama percobaan Kromatografi lapis Tipis diantaranya persiapan
fase diam dengan menaburkan silica gel

pada lempeng aluminium dan dioven

selama 15-30 menit. Setelah itu, dipotong sesuai ukuran jarak tempuh eluen dan
lebar lintasan. Sampel fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat yang telah dilarutkan
dalam pelarut. Kemudian dengan pipa kapiler akan ditarik larutan fraksi n-heksan
dan etil asetat dan ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan fase gerak
(eluen) campuran pelarut yang ditentukan yaitu n-heksan dan etil asetat. Tujuan
dalam percobaan ini adalah untuk menentukan eluen terbaik yang mampu untuk
memberikan spot dengan pemisahan yang bagus. Dari percobaan yang dilakukan,
perbandingan eluennya adalah 5:5 dan 3:7. Kemudian eluennya dibuat dalam 2 ml .
Kemudian dimasukkan ke dalam Chamber yang berfungsi sebagai tempat
mengelusikan sampel sehingga sampel yang telah ditotolkan akan naik menurut jalur
yang sejajar. Setelah naik empeng diangkat, dikeringkan dan dilanjutkan dengan
28

pengamatan pada sinar UV 254 nm dan UV 366 nm.


Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan pada perbandingan eluen nheksan dan etil asetat (5:5) kedua fraksi setelah diamati dengan sinar UV 254 dan 366
nm spot yang dihasilkan pada fraksi n-heksan memiliki pemisahan yang lebih bagus
dibandingkan dengan etil asetat yang spotnya masih berekor. Sedangkan pada
perbandingan eluen n-heksan dan etil asetat (3:7) ketika diamati sinar UV 254 dan
366 nm didapatkan spot masih berekor dan pemisahan dari kedua fraksi masih kurang
terpisah. Hasil pengamatan dengan sinar UV 254 dan 366 nm dapat dilihat dari
gambar VI.3.1 dan VI.3.2

N-heksan Etil asetat

Etil asetat

(a)

(b)

Gambar VI. 3.1 Kromatografi lapis tipis FEAKJ (Fraksi Etil Asetat Kulit
Jeruk),FNKJ (Fraksi N-heksan Kulit jeruk) (dari kiri ke kanan), fase diam silika gel
60 GF254, fase gerak N-heksan-Etil asetat

dengan (a) perbandingan 3:7 dan (b)

perbandingan 5:5 dengan menggunakan sinar UV 254 nm

Etil
asetat
(a)

N-heksan
Etil

(b)

29

Gambar VI.3.2 KLT FEAKJ (Fraksi Etil Asetat Kulit Jeruk),FNKJ (Fraksi N-heksan
Kulit jeruk) dengan fase gerak N-heksan-Etil asetat dengan (a) perbandingan 3:7 dan
(b) perbandingan 5:5 dengan menggunakan sinar UV 366 nm
Jika dilihat dari nilai Rf pada plat KLT dengan perbandingan eluen n-heksan
dan etil asetat (5:5) kedua fraksi didapatkan pada fraksi n-heksan dan etil asetat
berturut-turut adalah 0,96 dan 0,925. Sedangkan pada plat KLT dengan perbandingan
eluen n-heksan dan etil asetat (3:7) kedua fraksi didapatkan pada fraksi n-heksan dan
etil asetat berturut-turut adalah 0,85 dan 0,9. Hasil Rf Selengkapnya dapat terlihat
pada tabel VI.3 berikut.
Tabel VI. 3 Hasil KLT

Nama
Sampel
Kulit
Jeruk

Jarak tempuh
noda
Fraksi Fraksi
etil
nasetat heksan

Jarak tempuh
eluen
Fraksi
Fraksi
etil
nasetat
heksan

5:5

5,3 cm

3,7 cm

5,5 cm

3:7

3,4 cm

3,6 cm

4 cm

Eluen
n-heksan :
etil asetat

Nilai Rf
Fraksi
etil
asetat

Fraksi
nheksan

4 cm

0,96

0,925

4 cm

0,85

0,9

Dari hasil nilai Rf ini dapat simpulkan bahwa dengan semakin tingginya nilai
Rf maka mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut
dikarenakan bila fasa diam yang bersifat polar. Oleh karena itu, senyawa yang
terkandung dalam kedua fraksi dapat dimungkinkan memiliki sifat non polar. Namun,
tujuan dari KLT ini untuk memilih eluen terbaik oleh karena itu dapat disimpulkan
eluen terbaik yang memilik pola pemisahan spot bagus adalah eluen n-heksan.
VI. 4 Kromatografi Konvensional
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan daya serap
dari masing-masing komponen. Campuran yang akan diuji, dilarutkan dalam sedikit
pelarut lalu di masukan lewat puncak kolom dan dibiarkan mengalir kedalam hingga
zat menyerap. Senyawa yang lebih polar akan terserap lebih kuat sehingga turun lebih
lambat dari senyawa non polar terserap lebih lemah dan turun lebih cepat. Zat yang di
serap dari larutan secara sempurna oleh bahan penyerap berupa pita sempit pada

30

kolom. Pelarut lebih lanjut / dengan tanpa tekanan udara masin-masing zat akan
bergerak turun dengan kecepatan khusus sehingga terjadi pemisahan dalam kolom.
Fase diam yang digunakan pada percobaan ini adalah Silica gel 60 dimana
umumnya panjang kolom minimum 10x diameter pipa kaca yang digunakan dan labu
Erlenmeyer sebagai penampung eluen dan kolom sebagai gaya tarik bumi yang
memakai penjerap berukuran 60-230 mesh (63-250 m), umumnya laju aliran
sekitar 10-20 mL/cm 2 penampang kolom/jam. Untuk partikel yang lebih kecil dari
200 mesh diperlukan semacam pemompaan atau sistem bertekanan. Kemudian
laju

dapat

ditingkatkan sampai

mL atau

lebih

setiap

menitnya,

atau

sampai batas sistem tekanan (Sudjadi., 1994). Namun, pada percobaan ini kolom
yang digunakan berdiameter 2 cm dengan panjang kolom yang digunakan sekitar 10
cm.
Sampel yang digunakan pada kromatografi kolom konvensional ini yaitu
fraksi kulit jeruk dengan pelarut etil asetat. Penggunaan fraksi etil asetat karena dari
hasil pengamatan KLT bagian dari senyawa terpisah dengan merata dimana spot yang
ditimbulkan terpisah tanpa adanya yang mengekor. Fraksi etil asetat yang digunakan
hanya 0,2 gram karena sedikitnya hasil fraksi yang diperoleh.Sebelum digunakan
pada kromatografi kolom konvensional harus dilakukan preparasi terlebih dahulu agar
dapat digunakan dalam KKK.
Dalam preparasi kolom digunakan metode basah dengan fraksi etil asetat
kulit jeruk dicampurkan dengan silica gel (1: 1) dengan ditambahkan pelarut (eluen)
sedikit demi sedikit hingga didapatkannyatekstur serbuk dimana pencampuran ini
dinamakn dengan imprect. Sedangkan kolom diisi dengan silica gel yang sudah
bercampur dengan eluen.Sambil diketuk-ketuk agar silica padat dan tidak terdapat
retakan.Setelah dipastikan sudah siap maka dimasukkan sampel sambil keran yang
dibuka dibagian bawah dan sedikit demi sedikit tetasan ditampung dalam wadah botol
vial. Dari hasil percobaan ini, dengan sampel kulit jeruk didapatkan hasil pemisahan
dalam botol vial sebanyak 62 vial. Dapat dilihat dari gambar VI.4.1 dan gambar
VI.4.2 untuk hasil dari kromatografi KolomKonvensional berikut.

31

(a)

(b)
Gambar VI.4.1 Hasil fraksi KKK (a) dan proses KKK yang sedang berlangsung (b)

Gambar VI.4.2 Hasil Kromatografi Kolom Konvensional (KKK) pada botol vial
yang terdapat kristal dengan FEAKJ (Fraksi Etil Asetat Kulit Jeruk).
Dari pengamatan botol vial tersebut terlihat setelah selang beberapa hari
terdapat kirstal-kristal yang terbentuk dibeberapa botol vial dan terhitung jumlahnya
terdapat sebanyak 4 vial. Kristal ini terbentuk menjadi bukti atau tanda bahwa ada
senyawa murni yang terisolat. Hasil Kristal tersebut didapatkan setelah didiamkan
beberapa hari dengan sendirinya etil asetat akan menguap dan membentuk kristal.
Dari hasil kromatografi kolom konvensional ini bisa dilanjutan pengujian KLT 2
dimensi untuk memastikan senyawa yang diperoleh dari pemurnian hasil fraksi etil
asetat kulit jeruk tersebut.
VI. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi
32

KLT 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel ketika


komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama,
karenanya nilai Rf juga hampir sama yang menggunakan 2 sistem fase gerak yang
sangat berbeda untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat polaritas
yang berbeda (Ibnu, 2008).
Metode 2D-KLT hanya menjadi menarik jika reaksi telah terjadi antara dua
eluen, dan penyimpangan dari garis diagonal dapat diamati setelah elusi kedua (Hahn,
2007). Dalam hal untuk mendapatkan resolusi yang baik, penting untuk memilih dua
campuran pelarut yang berbeda, meskipun dengan kekuatan pelarut yang sama ini
cukup sulit tetapi penting. Oleh karena itu pada KLT 2 Dimensi pda eluen pertaman
sifatnya non polar dan eluen kedua lebih polar.
Hasil pengerjaan Kromatografi Kolom Konvensional (KKK) didapatkan fraksi
sebanyak 62 vial dan dari vial tersebut ada beberapa vial yang diperoleh kristal yang
menunjukkan hasil pemisahan KKK yang dapat dimungkinkan sebangai senyawa
tunggal. Untuk menguji lebih lanjut dilakukannya Kromatografi lapis Tipis 2 Dimensi
(KLT 2D).
Secara singkat pengerjaan KLT dua dimensi ialah sampel hasil KKK dilarutkan
dalam etil asetat karena dengan etil asetat yang sifatnya semi polar sehingga pada
proses elusi yang dilakukan dua kali dapat terlihat perbedaan antara eluen yang non
polar dan polar dan karena pelarut tersebut baik untuk penotolan pada lempeng sebab
memenuhi syarat pelarut yang bisa digunakan untuk melarutkan ekstrak dan mudah
menguap. Kemudian diambil dengan pipa kapiler dan ditotolkan pada lempeng
berukuran 5x5 cm yang telah digarisi lalu dikembangkan dengan satu sistem fase
gerak (non polar) sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah
satu sisi. Lempeng diangkat, dikeringkan (diangin-anginkan) diamati dengan sinar UV
254 dan 366 nm kemudian diputar 90, dan diletakkan dalam chamber yang berisi
fase gerak kedua (polar), sehingga bercak yang terpisah pada pengembangan pertama
terletak dibagian bawah sepanjang lempeng, lalu diamati dengan sinar UV 254 dan
366 nm.
Penampakan noda pada sinar UV 254 nm dan 366 nm disebabkan karena
adanya interaksi antara sinar UV dengan gugus kromofor yang terikat oleh ausokrom
yang terdapat pada noda tersebut. Gugus kromofor adalah gugus atom yang dapat
menyerap radiasi elektromagnetik (sinar UV) dan mempunyai ikatan rangkap tak
jenuh (terkonyugasi). Sedangkan gugus terkonyugasi adalah struktur molekul dengan
33

ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan
tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat
energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi yang dipancarkan pada
saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan perbedaan flouresensi warna
yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan
H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan
ikatan rangkap sehingga panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat
dilihat pada cahaya tampak.
Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH
yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini
dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang
gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang
gelombang yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang
digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak
lempeng. Namun, pada percobaan ini tidak dilakukan penyemprotan dikarenakan
faktor waktu yang tidak mencukupi.
Keberhasilan

pemisahan

akan

tergantung

pada

kemampuan

untuk

memodifikasi selektivitas eluen kedua dibandingkan dengan selektivitas dari eluen


pertama. Dari eluen yang digunakan pada eluen pertama digunakan perbandingan
pelarut kloroform dan etil asetat 9:1 sedangkan untuk eluen kedua digunakan
campuran pelarut n-heksan dan etil asetat 5:5.dan dari kedua eluen masing masing
dibuat larutan sebanyak 2 mL. Dari kedua eluen ini dapat ditentukan pada eluen
pertama sifatnya lebih non polar dibandingkan dengan eluen kedua yang lebih polar.
Digunakan dua eluen yang rentang tingkat kepolarannya berbeda sedikit agar bisa
dilihat pergerakan noda atau hasil dari elusinya, apakah noda yang ingin dibuktikan
tunggal atau bisa dilihat kenaikannya sedikit demi sedikit sehingga jelas hasilnya.
Karena itu dipilih perbandingan eluen non polar ke polar. Setelah terelusi dengan
menggunakan kedua eluen dari non polar hingga polar, dilihat penampakan nodanya
pada UV 254 dan 366 nm berikut.
Setelah didapatkan eluen maka dapat dilakukan pengerjaan KLT 2 dimensi. Dari
hasil pengerjaan dapat dilihat spot yang ditimbulkan pada replikasi I dari kedua eluen
sebagai berikut.

34

(a)

(b)

Gambar VI.5.1 Penampakan dua dimensi Replikasi I dengan eluen kloroform: etil
asetat (9:1) pada UV 254 nm (a) dan UV 366 nm (b).

(a)

(b)

Gambar VI.5.2 penampakan dua dimensi Replikasi I dengan eluen n-heksan: etil
asetat (5:5) pada UV 254 nm (a) dan UV 366 nm (b).

(a)

(b)

35

Gambar VI.5.1 penampakan dua dimensi Replikasi II dengan


eluen kloroform: etil asetat (9:1) pada UV 254 nm (a) dan UV 366
nm (b)

(a)

(b)

Gambar VI.5.2 Penampakan dua dimensi Replikasi II dengan eluen n-heksan: etil
asetat (5:5) pada UV 254 nm (a) dan UV 366 nm (b)
Sedangkan pada replikasi kedua terlihat hasil elusi yang pada UV 366 nm
terlihat spot yang lebih tampak. Dari hasil elusi tersebut terlihat masih ada spot yang
bergradasi dengan warna biru, orange, hijau. Walaupun dengan sinar UV 254 nm
hanya terlihat 1 spot saja namun dengan sinar UV 366 nm dapat terlihat bila dilihat
dengan visual mata terdapat 3 komponen warna yang berbeda. Kemungkinan besar
hal tersebut terjadi karena pemilihan eluen yang belum tepat sehingga didapatkan
pemisahan yang kurang baik.

36

Bab VII Kesimpulan dan Saran


VII. Kesimpulan
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa:
1. Metode yang digunakan untuk ekstraksi adalah sokhlet. Prinsip dasar sokhlet
adalah penyaringan yang berulang-ulang (kontinue), sehingga hasil yang
diperoleh sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit.
2. Fraksinasi merupakan suatu proses pemisahan senyawasenyawa berdasarkan
tingkat kepolaran.Metode yang digunakan pada tahap fraksinasi sampel
ekstrak kulit jeruk adalah fraksinasi cair-cair.
3. Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pilihan pemisahan semua
kandungan yang larut lemak
4. Rendemen yang didapatkan dari ekstrak kulit jeruk adalah 10 %,
5. Hasil rendemen yang diperoleh untuk fraksi n-heksan, etil asetat, dan nbutanol berturut-turut adalah 1,55 %, 24 %, dan 766,67 %
6. Nilai Rf pada fraksi n-heksan dan etil asetat berturut-turut adalah 0,96 dan
0,925
7. Hasil KLT menunjukkan bahwa sifat senyawa padafraksi n-heksan dan etil
asetat adalah non polar sehingga didapatkan nilai Rf yang terlalu tinggi
8. Hasil pola KLT menunjukkan spot yang terpisah dengan baik terdapat pada
fraksi n-heksan
9. Hasil KKK diperoleh kristal yang terdapat di dinding vial yang bisa
menandakan adanya senyawa tunggal.
10. Hasil KLT 2 Dimensi masih terdapat spot atau bercak yang bergradien atau
tidak tunggal yang menandakan senyawa dari fraksi yang diperoleh masih
tidak terpisah dengan baik.
VII. Saran
Sebaiknya selama proses pembelajaran lebih dilajari tentang pemahaman
mendasar metode pemisahan sehingga saat praktikum menjadi jelas. Harapan untuk
kedepannya agar semua percobaa praktikum metode pemisahan bisa dilakukan atau
dipraktikumkan dan bisa dikembangkan lagi untuk peralatan dan metode yang
digunakan agar bisa diaplikasikan untuk penelitian.

Daftar Pustaka

37

Adijuwana, Nur M.A. (1989). Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Pusat
Antar Universitas IPB. Bogor.
Albrigo, L. G dan R. D Carter. (1977). Structure of Citrus Fruit in Reaction to
Processing Citrus Science and Technology Volume I. The AVI Publishing
Company Inc. West Point. Connecticut.
Dirjen POM. (1972). Farmakope Indonesia. Edisi Ke-I. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Ditjen POM. (1986).Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan
Pertama. Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Fessenden R.J dan J.S Fessenden.(2003).Dasar-dasar kimia organik. Erlangga.
Jakarta.
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. (2007) Kimia Farmasi Analisis, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Ghisalberti, E.L. (2008). Detection and Isolation of Bioactive Natural Products in
Bioactive

Natural

Products:

Detection,

Isolation,

and

Structural

Determination, Taylor & Francis Group Inc., U.S.A


Gritter, R, J., (1991), Pengantar Kromatografi Edisi II, Institut Teknologi Bandung,
Bandung
Hahn-Deinstrop, Elke.(2007). Applied Thin-Layer Chromatography,Best Practiceand
Avoidanceof Mistakes.Second, Revised andEnlarge Edition. WILEY-VCH.
Jerman.
Harborne, J. B. (1987). PhytochemicalMethods. Terj. Kosasi Padmawinata, Metode
Fitokimia Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. ITB. Bandung.
Hostettmenn, K, dkk. (1986). Cara Kromatografi preparatif. ITB: Bandung.
Ibnu, Widiyanto, (2008). Pointers : Metodologi Penelitian. Semarang: BP Undip
Iskandar, M.J. (2007).Pengantar Kromatografi Edisi Kedua. Penerbit ITB. Bandung
J. B. Harbone. (1987). Metode Fitokimia : Penuntun Cara Modern Menganalisis
Tumbuhan. Penerbit ITB. Bandung.
Khopkar, S.M. (2010). Konsep Dasar Kimia Analitik. UI Press. Jakarta
Lestari, S.B. & Pari, G., (1990).Analisis Kimia Beberapa Jenis Kayu Indonesia.Jurnal
Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan,
VII (3), 96-100.
38

Moelyono, (1996).PanduanPraktikum Analisis Fitokimia. Laboratorium Farmakologi


Jurusan Farmasi FMIPA. Universitas Padjajaran.Bandung.
Nasution, (2007). Metode Research: Penelitian Ilmiah, Bumi Aksara Jakarta.
Rahayu, Siti.(2015). Ekstraksi dan Identifikasi Senyawa Flavonoid Limbah Kulit
Bawang Merah sebagai Antioksidan. Jurnal fitokimia. V (1).
Rahman, A. (2009). Kromatografi untuk Analisis Obat. Graha Ilmu. Yogyakarta.1023.
Raymond, Et al.(2006). Kimia Dasar Edisi Ketiga Jilid I. Penerbit Erlangga . Jakarta
Rohman, A. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Cetakan I. Pustaka Pelajar.
Yogyakarta.467.
Roy J. Gritter, James M. Bobbit, Arthur E. S., (1991). Pengantar Kromatografi.
Penerbit ITB. Bandung.
Sani.(2014). Analisis Rendemen dan Skrining Fitokimia Ekstrak Etanol Mikroalga
Laut.Jurnal pangan dan agroindustri, II (2)
Septiana, Aisyah. (2012). Kajian Sifat Fitokimia Ekstrak Rumput Laut Coklat
Menggunakan Berbagai Pelarut dan Berbagai Metode Ekstraksi. Agrointek
VI (1).
Soebagio., (2002). Kimia Analitik, Universitas Negeri Makassar Fakultas MIPA,
Makassar.
Sudjadi. (1994). Metode Pemisahan. Kanisius.Yogyakarta.
Sutomo, A. (2013).Antioksidan Alami dan Radikal Bebas.Kanisius.Yogyakarta.
Underwood, A.L. (1986). Analisis kima kuantitatif. Erlangga. Jakarta
Van Steenis,C.G.G.J. (1992). Flora. Penerjemah : M Soeryowinoto,dkk. Cetakan 5.
PT.Pradnya Paramita. Jakarta.

39

LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Rendemen Ekstraksi


Rendemen

Berat ekstrak(g)
Berat sampel (g)

x 100%

40

12 ,9 gram
x 100%
129 gram
= 10 %
Lampiran 2. Perhitungan Rendemen Fraksinasi
=

Rendemen =

Berat fraksi yang diperoleh (g)


Berat ekstrak yang digunakan (g)

a. N-Heksan
Rendemen

= 1,55 %
b. Etil Asetat
Rendemen

0 ,2 gram
12 ,9 gram

x 100%

3 ,1 gram
12 ,9 gram

x 100%

x 100%

= 24 %
c. N-Butanol

98 ,9 gram
12 ,9 gram
= 766,67 %

Rendemen

x 100%

Lampiran 3. Perhitungan nilai Rf hasil KLT


1. Eluen n-heksan dan etil asetat (5:5)
a. Nilai Rf Fraksi etil asetat
Jarak tempuh noda
Rf =
jarak tempuh pelarut
5,3 cm
= 5,5 cm
=0,96
b. Nilai Rf fraksi n-heksan
Rf =

Jarak tempuh noda


jarak tempuh pelarut

3 ,7 cm
4 cm
=0,925
2. Eluen n-heksan dan etil asetat (3:7)

a. Nilai Rf Fraksi etil asetat


Jarak tempuh noda
Rf =
jarak tempuh pelarut
3,4 cm
= 4 cm
=0,85
b. Nilai Rf fraksi n-heksan

41

Rf =

Jarak tempuh noda


jarak tempuh pelarut

3 ,6 cm
4 cm
=0,9

42

Anda mungkin juga menyukai