Laporan Akhir Kel Kulit Jeruk A1 2015
Laporan Akhir Kel Kulit Jeruk A1 2015
Laporan Akhir Kel Kulit Jeruk A1 2015
(1513015029)
(1513015049)
(1513015015)
LEMBAR PENGESAHAN
Sampel
Praktikum
Asisten
Dosen Pengampu
Praktikan
a. Fariana Nur Santi
b. Muhammad Fajar A.D
c. Wilujeng Cahya Arundina
d. Yinny Rahmani
(1513015029)
(1513015049)
(1513015035)
(1513015015)
Samarinda, 28 Desember 2016
Diperiksa oleh
Ketua
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................................1
Bab I Pendahuluan.......................................................................................................3
Bab II Tinjauan Pustaka.............................................................................................4
II. 1 Uraian Tumbuhan............................................................................................4
II. 2 Ekstraksi...........................................................................................................5
II. 3 Fraksinasi..........................................................................................................6
II. 4 Metoda Pemisahan...........................................................................................7
II. 4. 1 Kromatografi Lapis Tipis............................................................................7
II. 4. 4 Kromatografi Lapis Tipis Preparatif.......................................................11
II. 4. 5 Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON).................12
II. 4. 6 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi........................................................12
Bab III Metodologi.....................................................................................................14
Bab IV Alat dan Bahan..............................................................................................18
IV. 1 Alat..................................................................................................................18
IV. 2 Bahan..............................................................................................................18
Bab V Prosedur Percobaan.......................................................................................19
V. 1 Ekstraksi..........................................................................................................19
V. 2 Fraksinasi........................................................................................................19
V. 3 Kromatografi Lapis Tipis...............................................................................19
V. 4 Kromatografi Konvensional..........................................................................20
V. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi.............................................................21
Bab VI Pembahasan...................................................................................................22
VI. 1 Ekstraksi........................................................................................................22
VI. 2 Fraksinasi......................................................................................................25
VI. 3 Kromatografi Lapis Tipis.............................................................................27
VI. 4 Kromatografi Konvensional........................................................................30
Bab VII Kesimpulan dan Saran................................................................................36
VII. Kesimpulan.....................................................................................................37
1
VII. Saran................................................................................................................37
Daftar Pustaka............................................................................................................38
Bab I Pendahuluan
Dalam pembelajaran mengenal bahan alam yang melimpah di sekitar kita .
patatu sebagai mahasiswa farmasi memahami dan mengenal tentang proses
identifikasi senyawa aktif atau metabolit sekunder dalam suatu simplisia atau
tumbuhan. Berawal dari keingintauan akan manfaat yang terkandung dari suatu
tanaman menjadi awal pengenalan tentang bagaiman proses pemisahan digunakan
untuk mendapatkan dua atau lebih produk yang lebih murni dari suatu campuran
senyawa kimia (Rahman, 2009).
Secara mendasar, proses pemisahan dapat diterangkan sebagai proses
perpindahan massa. Proses pemisahan suatu campuran dapat dilakukan dengan
berbagai metode. Beberapa dasar pemisahan dalam suatu campuran antara lain titik
didih, ukuran partikel, kepolaran, kelarutan dan pengendapan. Hal inilah yang
membuat senyawa aktif dari simplisia dapat terisolasi (Iskandar, 2007).
Metode pemisahan sendiri mengalami proes panjang yang berawal dari
persiapan simplisia yang membutuhkan perlakuan perlakuan khusus untuk dapat
diproses ekstrak dengan berbagai macam metode ekstraksi seperti maserasi, perkolasi,
sokletasi dan refluks. Sedangkan untuk memisahkan ke dalam fraksi fraksinya
dilakukan dengan bermacam-macam metode seperti fraksinasi cair-cair, cair-padat
dan lainnya. Umumnya proses pemisahan ini dilakukan dengan bertingkat seperti
kromatografi yang kita ketahui ada beberapa jenis diantaranya yaitu kromatografi
lapis tipis, kromatografi kolom konvensional, dan kromatografi cair vakum (Gritter,
1991).
Pemisahan inilah yang ditujukan agar mendapatkan isolat senyawa murni dari
simplisia yang digunakan agar bisa dimanfaatkan sebagai bekal ilmu pengetahuan
tetang senyawa metabolit sekunder ataupun bisa dilakukan pengujian aktivitas agar
bisa dinikmati manfaatnya dan digunakan sebaik-baiknya dibidang pengobatan dan
teknologi ilmu pengetahuan. Olah karena itu, metode pemisahan ini mencakup proses
isolasi senyawa murni dari tanaman yang diujikan yaitu kulit jeruk. Dibeberapa
negara telah diproduksi minyak dari kulit dan biji jeruk, gula tetes, alkohol dan pektin
dari buah jeruk yang terbuang. Kulit jeruk yang merupakan salah satu sampah atau
limbah yang dapat diolah untuk menghasilkan produk bernilai tinggi lainnya, yaitu
minyak atsiri. Oleh karena itu, untuk mengetahui kadar atau kandungan dari minyak
atsiri perlu diuji dengan metode pemisahan (Iskandar, 2007).
3
angiospermae
(berbiji tertutup) dan berkeping dua (dicotyledonae), serta asal jeruk ini termasuk
dalam Rutales dan famili Rutaceae dengan marga citrus dan jenisnya adalah Citrus
sinensis (Steenis, 1992).
Jeruk manis (Citrus sinensis), yang mempunyai ciri tanaman perdu dengan
ketinggian 3- 10 meter, ranting berduri; duri pendek berbentuk paku. Tangkai daun
panjang 0,5 3,5 cm. helaian daun bulat telur, elliptis atau memanjang, dengan ujung
tumpul atau meruncing tumpul. Mahkota bunga putih atau putih kekuningan. Buah
bentuk bola, atau bentuk bola tertekan berwarna kuning, oranye atau hijau dengan
kuning. Daging buah kuning muda, oranye kuning atau kemerah-merahan dengan
gelembung yang bersatu dengan yang lain (Steenis, 1992).
Jeruk manis mempunyai rasa yang manis, kandungan air yang banyak dan
memiliki kandungan vitamin C yang tinggi (berkisar 27-49 mg/100 gram daging
buah). Vitamin C bermanfaat sebagai antioksidan dalam tubuh, yang dapat mencegah
kerusakan sel akibat aktivitas molekul radikal bebas. Sari buah jeruk manis
mengandung 40-70 mg vitamin C per 100 ml, tergantung jenis jeruknya. Makin tua
buah jeruk, umumnya kandungan vitamin C semakin berkurang, tetapi rasanya
semakin manis (Steenis, 1992).
Bagian utama buah jeruk dari luar sampai ke dalam adalah kulit (tersusun
atasflavedo, kelenjar minyak, albedo dan ikatan pembuluh), segmen-segmen (dinding
segmen, rongga cairan, biji), core( bagian tengah yang terdiri dari ikatan pembuluh
dan jaringan parenkim). Kulit jeruk secara fisik dapat dibagi menjadi dua bagian
utama yaitu flavedo dan albedo ( kulit bagian dalam yang beruoa jaringan busa).
Flavedo dicirikan dengan adanya warna hijau, kuning atau orange. Pigmen yang
terdapat pada flavedo adalah kloroplas dan karetenoid (Albrigo dan Carter, 1977).
II. 2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu proses penyarian senyawa kimia yang terdapat didalam
bahan alam atau berasal dari dalam sel dengan menggunakan pelarut dan metode yang
tepat. Sedangkan ekstrak adalah hasil dari proses ekstraksi, bahan yang diekstraksi
merupakan bahan alam. (Ditjen POM, 1986).Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip
perpindahan massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi
pada lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone, 1987).
Oleh karena itu, proses pengekstraksian komponen kimia dalam sel tanaman saat
ketika pelarut organik menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, maka zat aktif akan larut dalam pelarut organik di luar sel,
sehingga larutan terpekat akan berdifusi keluar sel dan proses ini akan berulang terus
sampai terjadi keseimbangan antara konsentrasi cairan zat aktif di dalam dan di luar
sel. (Rachman, 2009).
Metode yang umum digunakan dalam ekstraksi diantaranya maserasi yang
menggunakan pelarut yang cocok dengan beberapa kali pengadukan pada temperatur
ruangan (kamar) dimana dalam proses ini juga dilakukan remaserasi. Proses
remaserasi dilakukan dengan tujuan untuk memastikan bahwa zat aktif yang
terkandung di dalam sampel sudah terekstrak semua, perkolasi yang proses penyarian
simplisia lewat pelarut yang sesuai secara lambat pada simplisia dalam suatu
percolator. Adapun metode refluks yang digunakan apabila dalam sintesis bahan alam
menggunakan pelarut yang volatil. Pada kondisi ini jika dilakukan pemanasan biasa
maka pelarut akan menguap sebelum reaksi berjalan sampai selesai dan metode
sokletasi yang merupakan proses pemisahan dengan cara penyaringan berulang-ulang
dengan menggunakan pelarut tertentu, sehingga semua komponen yang diinginkan
akan terisolasi (Ditjen POM, 2000).
II. 3 Fraksinasi
Fraksinasi adalah proses pemisahan suatu kuantitas tertentu dari campuran
(padat, cair, terlarut, suspensi atau isotop) dibagi dalam beberapa jumlah kecil (fraksi)
komposisi perubahan menurut kelandaian. Pembagian atau pemisahan ini didasarkan
pada bobot dari tiap fraksi, fraksi yang lebih berat akan berada paling dasar sedang
fraksi yang lebih ringan akan berada diatas. Fraksinasi merupakan suatu proses
pemisahan senyawasenyawa berdasarkan tingkat kepolaran. Jumlah dan senyawa
yang dapat dipisahkan lewat proses fraksinasi hingga menjadi fraksi berbeda beda
tergantung pada jenis tumbuhan (Harborne, 1987).
Fraksinasi bertingkat biasanya menggunakan pelarut organik seperti eter,
aseton, benzena, etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut.Asam lemak,
asam resin, lilin, tanin, dan zat warna adalah bahan yang penting dan dapat diekstraksi
dengan pelarut organik (Adijuwana dan Nur, 1989).
Metode fraksinasi yang umum digunakan seperti fraksinasi padat-cair yang
dalam proses pemisahan untuk memperoleh komponen zat terlarut dari campurannya
dalam padatan dengan menggunakan pelarut yang sesuai. Pada umumnya metode ini
digunakan untuk sampel yang tidak larut dalam air.Fraksinasi bertujuan untuk
melakukan pemisahan senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya sehingga jumlah
senyawa dapat dipisahkan menjadi beberapa fraksi yang berbeda. Dalam pelaksanaan
percobaan fraksinasi dilakukan secara bertingkat, dimulai dari penarikan senyawa non
polar, lalu pelarut semi polar, dan terakhir dengan pelarut polar (Lestari, 1990).
Fraksinasi yang dilakukan dengan metode cair-cair yang merupakan
pemisahan komponen kimia diantara dua fase pelarut yang tidak dapat saling
bercampur.Prinsip kerja dari fraksinasi secara cair-cair (corong pisah) dengan
pemisahan komponen kimia yang sebagian komponen larut pada fase pertama dan
sebagiannya lagi larut pada fase kedua.Kedua fase yang mengandung zat terdispersi
dikocok, lalu didiamkan sampai terjadi pemisahan sempurna dan terbentuk dua
lapisan fase zat cair. Komponen kimia akan terpisah ke dalam dua fasa tersebut sesuai
dengan tingkat kepolarannya dengan perbandingan konsentrasi yang tetap (Sudjadi,
1986).
Fraksinasi zat-zat terlarut antara dua cairan yang tidak saling bercampur
menawarkan banyak kemungkinan yang menarik untuk pemisahan analitis.Bahkan
dimana tujuan primer bukan analitis namun preparatif, Fraksinasi dengan
menggunakan pelarut merupakan suatu langkah penting dalam mencari senyawa aktif
6
senyawamurni
dan
mengetahui
kuantitasnya
yang
menggunakan
kromatografi juga merupakan analisis cepat yang memerlukan bahan sangat sedikit,
7
baik menyerap maupun merupakan cuplikan KLT dapat digunakan untuk memisahkan
senyawa-senyawa yang sifatnya hidrofilik seperti lipid-lipid dan hidrokarbon yang
sukar dikerjakan dengan kromatografi kertas. KLT juga dapat digunakan untuk
mencari kromatografi kolom, identifikasi senyawa secara kromatografi dengan sifat
kelarutan senyawa yang dianalisis. Bahan lapis tipis seperti silika gel adalah senyawa
yang tidak bereaksi dengan pereaksi-pereaksi yang lebih reaktif seperti asam sulfat.
( Fessenden, 2003 )
Pertimbangan untuk pemilihan pelarut pengembang (aluen) umumnya sama
dengan pemilihan eluen untuk kromatografi kolom. Dalam kromatografi adsorpsi,
pengelusi eluen naik sejalan dengan pelarut (misalnya dari heksana ke aseton, ke
alkohol, ke air).Eluen pengembang dapat berupa pelarut tunggal dan campuran pelarut
dengan susunan tertentu.Pelarut-pelarut pengembang harus mempunyai kemurnian
yang tiggi.Terdapatnya sejumlah air atau zat pengotor lainnya dapat menghasilkan
kromatogram yang tidak diharapkan.
KLT merupakan contoh dari kromatografi adsorpsi.Fase diam berupa padatan
dan fase geraknya dapat berupa cairan dan gas.Zat terlarut yang diadsorpsi oleh
permukaan partikel padat.Prinsip KLT adalah adsorbsi dan partisi dimana adsorbsi
adalah penyerapan pada pemukaan, sedangkan partisi adalah penyebaran atau
kemampuan suatu zat yang ada dalam larutan untuk berpisah kedalam pelarut yang
digunakan. Kecepatan gerak senyawa-senyawa ke atas pada lempengan tergantung
pada (Soebagil,2002)
Sampel untuk pengujian KLT akan dilihat elusinya dengan menggunakan
sinar UV 254 nm dan 366 nm. Pada UV 254 nm, lempeng akan berflouresensi
sedangkan sampel akan tampak berwarna gelap.Penampakan noda pada lampu UV
254 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan indikator
fluoresensi yang terdapat pada lempeng. Fluoresensi cahaya yang tampak merupakan
emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang
tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi yang lebih tinggi kemudian
kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi. Sedangkan pada UV 366 nm
noda akan berflouresensi dan lempeng akan berwarna gelap. Penampakan noda pada
lampu UV 366 nm adalah karena adanya daya interaksi antara sinar UV dengan gugus
kromofor yang terikat oleh auksokrom yang ada pada noda tersebut. Fluoresensi
cahaya yang tampak merupakan emisi cahaya yang dipancarkan oleh komponen
tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat energi dasar ke tingkat energi
8
yang lebih tinggi kemudian kembali ke keadaan semula sambil melepaskan energi.
Sehingga noda yang tampak pada lampu UV 366 terlihat terang karena silika gel yang
digunakan tidak berfluororesensi pada sinar UV 366 nm (Sudjadi, 1994).
Kelarutan senyawa dalam pelarut, hal ini bergantung pada bagaimana besar
atraksi antara molekul-molekul senyawa dengan pelarut.Bagaimana senyawa melekat
pada fase diam, misalnya gel silika.Hal ini tergantung pada bagaimana besar atraksi
antara senyawa dengan gel silika. Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis
yang dilapisi dengan adsorben seperti silika gel, aluminium oksida (alumina) maupun
selulosa. Adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam Fasa gerak yang digunakan
dalam KLT sering disebut dengan eluen.Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas
senyawa dan biasanya merupakan campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas,
sehingga didapatkan perbandingan tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and
error. Kepolaran eluen sangat berpengaruh terhadap Rf (faktor retensi) yang diperoleh
(Gandjar,2007).
Derajat retensi pada kromatografi lempeng biasanya dinyatakan sebagai
faktor resensi.(Gritter,1991). Nilai Rf (faktor retensi) sangat karakterisitik untuk
senyawa tertentu pada eluen tertentu. Hal tersebut dapat digunakan untuk
mengidentifikasi adanya perbedaan senyawa dalam sampel. Senyawa yang
mempunyai Rf lebih besar berarti mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga
sebaliknya. Hal tersebut dikarenakan fasa diam bersifat polar. Senyawa yang lebih
polar akan tertahan kuat pada fasa diam, sehingga menghasilkan nilai Rf yang rendah.
Rf KLT yang bagus berkisar antara 0,2 - 0,8. Jika Rf terlalu tinggi, yang harus
dilakukan adalah mengurangi kepolaran eluen, dan sebaliknya (Gandjar,2007).
II. 4. 2 Kromatografi Cair Vakum
Kromatografi Cair Vakum (KCV) merupakan salah satu metode fraksinasi
yaitu dengan memisahkan crude extract menjadi fraksi-fraksinya yang lebih
sederhana. Pemisahan tersebut memanfaatkan kolom yang berisi fasa diam dan aliran
fasa geraknya dibantu dengan pompa vakum.Fasa diam yang digunakan dapat berupa
silika gel atau alumunium oksida (Ghisalberti, 2008).
Adapun cara kerja kromatografi cair vakum yaitu kolom kromatografi
dikemas kering (biasanya dengan penjerap mutu KLT 10-40 m) dalam keadaan
vakum agar diperoleh kerapatan kemasan maksimum. Vakum dihentikan, pelarut yang
kepolarannya rendah dituangkan ke permukaan penjerap lalu divakumkan lagi.Kolom
dipisah sampai kering dan sekarang siap dipakai (Hostettman, 1986).
9
meskipun waktu pengerjaannya lebih lama jika dibanding dengan kromatografi jenis
lain oleh karena itu kromatografi jenis ini masih banyak digunakan pada zaman
sekarang. Kelebihan dari metode ini jika dibandingkan dengan KLT adalah bahwa
dilakukannya pemisahan untuk sampel dengan jumlah yang lebih banyak. Di samping
itu, bisa memperoleh hasil pemisahan tersebut dan menampungnya (Khopkar, 2010).
Campuran pada kromatografi kolom, yang akan dipisahkan berupa pita pada
bagian atas penjerat yang berada pada kolom kaca, logam atau bahkan plastic. Eluen
(fase gerak) dibiarkan mengalir melalui fase diam dalam kolom dan hanya disebabkan
oleh gaya gravitasi. Bahan yang digunakan sebagai fase diam dapat adsorben yang
tidak larut dalam fasa gerak, ukuran partikel fasa diam harus seragam. Fase diam yang
umum digunakan seperti alumina , silica gel, arang, bauksit, kalsium karbonant,
magnesium karbonat, pati, talk, selulose, gula, tanah diatom. (Rohman, 2009).
Keuntungan kromatografi kolom yaitu dapat digunakan untuk analisis dan
aplikasi preparatif, digunakan unruk menentukan jumlah komponen campuran
digunakan untuk memisahkan dan purifikasi substansi.Kerugian kromatografi kolom
yaitu untuk mempersiapkan kolom dibutuhkan kemampuan teknik dan manual,
metode ini sangat membutuhkan waktu yang lama (time consuming) (Rohman, 2009).
10
mempunyai kemampuan koordinasi dan oleh karena itu sesuai untuk pemisahan
senyawa yang mengandung gugus fungsi yang berbeda.Aluminium oksida
mengandung ion alkali dan dengan demikian bereaksi sebagai basa dalam suspensi
air.Disamping kedua adsorben yang sangat aktif ini dalam hal tertentu dapat
digunakan kieselgur yang kurang aktif sebagai lapis absorpsi (Munson, 2010).
Pengembangan plat KLTP biasanya dilakukan dalam bejana kaca yang dapat
menampung beberapa plat. Keefisienan pemisahan dapat ditingkatkan dengan cara
pengembangan berulang. Harus diperhatikan bahwa semakin lama senyawa berkontak
dengan penyerap maka semakin besar kemungkinan penguraian (Nasution, 2010).
II. 4. 5 Kromatografi Lapis Tipis Sentrifugal (KROMATOTRON)
Kromatotron memiliki prinsip sama seperti kromatografi klasik dengan aliran
fase gerak yang dipercepatoleh gaya sentrifugal. Kromatografi jenis ini menggunakan
rotor yang dimiringkan dan terdapat dalam ruang tertutup oleh plat kaca kuarsa,
sedangkan lapisan penyerapnya berupa plat kaca yang dilapisi oleh silika gel. Plat
tersebut dipasang pada motor listrik dan diputar dengan kecepatan 800 rpm. Pelarut
pengelusi dimasukkan kebagian tengah pelarut melalui pompa torak sehingga dapat
mengalir dan merambat melalui lapis tipis karena gaya sentrifugal. Untuk mengetahui
jalannya proses elusi dimonitor dengan lampu UV. Gas nitrogen dialirkan kedalam
ruang plat untuk mencegah pengembunan pelarut pengelusi dan mencegah oksidasi
sampel. Pemasukan sampel itu diikuti dengan pengelusian menghasilkan pita-pita
komponen berupa lingkaran sepusat. Pada tepi plat, pita-pita akan terputar keluar
dengan gaya sentrifugal dan di tampung dalam botol fraksi, diidentifikasi dengan KLT
(Hostettmann et al., 1995).
II. 4. 6 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi
KLT 2 arah atau 2 dimensi ini bertujuan untuk meningkatkan resolusi sampel
ketika komponen-komponen solut mempunyai karakteristik kimia yang hampir sama,
karenanya nilai Rf juga hampir sama sebagaimana dalam asam-asam amino. Selain
itu, 2 sistem fase gerak yang sangat berbeda dapat digunakan secara berurutan
sehingga memungkinkan untuk melakukan pemisahan analit yang mempunyai tingkat
polaritas yang berbeda (Ibnu, 2008).
Sampel ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan satu sistem fase
gerak sehingga campuran terpisah menurut jalur yang sejajar dengan salah satu sisi.
Lempeng diangkat, dikeringkan dan diputar 90, dan diletakkan dalam bejana
kromatografi yang berisi fase gerak kedua, sehingga bercak yang terpisah pada
12
pengembangan
pertama
terletak
dibagian
bawah
sepanjang
lempeng,
lalu
13
foil . Lalu, dipanaskan plat KLT dalam termoliner dengan suhu 100 C dan setelah
dipanaskan maka dilakukan pemotongan plat KLT menjadi bagian-bagian kecil
dengan panjang 7 cm dan lebar 2 cm . Lalu, diberi garis batas bawah 1 cm dan batas
14
diberi label.
Diamati kenaikan pelarut pada plat KLT dan jika telah sampai pada batas atas,
diangkat plat KLT dan dingin-anginkan plat KLT hingga kering lalu diamati spot
warna yang timbul dibawah sinar UV 254, 366 nm dan sinar tampak.
Pengujian lebih lanjut untuk memastikan senyawa yang telah didapatkan dari
hasil KLT dilanjutkan dengan proses atau metode Kromatografi Konvensional
(KKK). Kromatografi kolom konvensional terlebih dahulu dengan proses
pengemasan kolom yang dilakukan dengan cara basah dimana terlebih dahulu fase
diam (silica gel) yang telah ditimbang disuspensikan dengan fase gerak (eluen) yang
sesuai saat uji KLT. Untuk preparasi kolom dengan letakkan kolom dalam posisi
tegak lurus.Pastikan bahwa kran pada dasar kolom tertutup atau aliran keluar tidak
dapat terjadi. Tuangkan suspensi dengan hati-hati dan perlahan-lahan ke dalam
kolom sambil diketuk-ketuk dinding kolom secara perlahan untuk mendorong
gelembung udara yang ada naik ke bagian atas kolom dan supaya tidak terjadi retak
dalam proses pemisahan. Tahap selanjutnya dengan penyiapan sampel yang sebanyak
1 g ekstrak untuk setiap 100 g fase diam kering dan larutkan dalam tidak lebih dari
100 ml pelarut (eluen) yang sebelumnya telah digunakan untuk KLT. Ekstrak telah
menjadi tersalut sempurna dengan fase diam dan menjadi kering serta menjadi
serbuk
kolom dan biarkan fase gerak mengalir hingga letak supernatan pada permukaan
kolom tepat diatas fase diam (kurang 3 mm).selama proses berlangsung ditambahkan
fase gerak pada bagian atas kolom hingga hasil pemisahan berwarna bening dan
kumpulan fraksi tersebut dikeringkan dan diamati apakah ada terbentuk kristal yang
menandakan bahwa terdapat senyawa murni atau tunggal.
Selanjutnya untuk pengujian senyawa tunggal atau murni dilakukan dengan
KLT dua dimensi dimana proses yang harus dilakukan adalah dengan melarutkan
hasil fraksi KKK dengan etil asetat. Sebelumnya dicari terlebih dahulu eluen untuk 2
sistem eluen dengan proses KLT biasa. Setelah didapatkan eluennya yaitu eluen
pertama yaitu kloroform dan etil asetat (9:1) dan eluen kedua yaitu n-heksan dan etil
asetat (5:5). Maka, ditotolkan pada lempeng yang telah diaktifkan dan dimasukkan ke
15
sistem eluen pertama (non polar), dielusi dan dikeringkan. Lalu, diamati dengan sinar
UV 254 dan 366 nM. Diputar 90o setelah mencapai batas atas, lalu dielusi lagi, setelah
elusi kedua mencapai batas atas, dikeluarkan dari chamber dan dikeringkan.
Pemutaran plat KLT 90o bertujuan untuk melihat hasil penotolan yang tertarik dengan
eluen atau pelarut yang bersifat polar yaitu n-heksan dan etil asetat (5:5). Kemudian,
dilihat penampakan nodanya pada UV 254 nm dan UV 366 nm lagi dan spot yang
terbentuk apakah menunjukkan senyawa tunggal atau masih dalam pemisahan yang
tidak bagus.
Bagan Kerja
16
Kulit jeruk
Dikeringkan dengan oven
Simplisia
Diekstraksi
Refluks
pelarut metanol hingga 5 siklus
Fraksinasi
Fraksi etil asetat
Fraksi n-heksan
Fraksi n-butanol
Diuapkan
Diuapkan
Diuapkan
Fraksi n-heksan
kering
Fraksi n-butanol
kering
Kromatogram
uji KLT
Noda
Vial
uji KLT
Bening
Vial
Vial
Orange
Kuning
Vial
Hitam
Noda
Kristal
Dilarutkan dengan etil
asetat
KLT 2 Dimensi
Ditotolkan di plat KLT
Eluen I
Kloroform: etil asetat (9:1)
Putar 90
Eluen II
n-Heksan: Etil asetat (5:5)
Sinar UV
Senyawa Tunggal
17
18
19
8:2, 7:3, 6:4, 5:5 dan 4:6. Kemudian, dilarutkan semua fraksi-fraksi ekstrak yang
terdapat dalam botol vial dengan kloroform/metanol dengan perbandingan 1:1
secukupnya hingga tercampur lalu tutup dengan alumunium foil . Lalu, dipanaskan
O
plat KLT dalam termoliner dengan suhu 100 C dan setelah dipanaskan maka
dilakukan pemotongan plat KLT menjadi bagian-bagian kecil dengan panjang 7 cm
dan lebar 2 cm . Lalu, diberi garis batas bawah 1 cm dan batas atas cm dengan
menggunakan pensil. Setelah siap maka dilakukan penotolan larutan fraksi-fraksi
dengan menggunakan pipa kapiler pada batas bawah lempeng (dua buah totol yang
berbeda sesuai dengan kedekatan tingkat kepolarannya), diberi label dan setelah
ditotolkan maka seluruh eluen dimsukkan kemasing-masing gelas bening sampai
kurang dari 1 cm dari permukaan dalam gelas dan diberi label. Diamati kenaikan
pelarut pada plat KLT dan jika telah sampai pada batas atas, diangkat plat KLT dan
dingin-anginkan plat KLT hingga kering lalu diamati spot warna yang timbul dibawah
sinar UV 254, 366 nm dan sinar tampak.
V. 4 Kromatografi Konvensional
Tahapan Kromatografi Kolom Konvensional (KKK) dilakukan pengemasan
kolom cara basah dimana terlebih dahulu fase diam (silica gel) yang telah ditimbang
disuspensikan dengan fase gerak (eluen) yang sesuai saat uji KLT. Untuk preparasi
kolom dengan letakkan kolom dalam posisi tegak lurus. Pastikan bahwa kran pada
dasar kolom tertutup atau aliran keluar tidak dapat terjadi.
Suspensi yang telah jadi dimasukkan ke dalam kolom sambil diketuk-ketuk
dinding kolom. Tahap selanjutnya dengan penyiapan sampel yang sebanyak 1 g
ekstrak untuk setiap 100 g fase diam kering dan larutkan dalam tidak lebih dari 100
ml pelarut
menjadi tersalut sempurna dengan fase diam dan menjadi kering serta menjadi serbuk
dimasukkan kedalam kolom. Dengan hati-hati bukalah kran pada ujung kolom dan
biarkan fase gerak mengalir hingga letak supernatan pada permukaan kolom tepat
diatas fase diam (kurang 3 mm).selama proses berlangsung ditambahkan fase gerak
pada bagian atas kolom hingga hasil pemisahan berwarna bening dan kumpulan fraksi
tersebut dikeringkan dan diamati apakah ada terbentuk kristal yang menandakan
bahwa terdapat senyawa murni atau tunggal.
20
21
Bab VI Pembahasan
VI. 1 Ekstraksi
Jeruk (Citrus sp) adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia.Sejak
ratusan tahun yang lalu, jeruk sudah tumbuh di Indonesia baik secara alami atau
dibudidayakan. Kulit jeruk memiliki kandungan senyawa yang berbeda-beda,
bergantung varietas, sehingga aromanya pun berbeda. Beberapa penelitan
menunjukkan kemanfaatan senyawa minyak atsiri sebagai bahan yang diminati
dimana terdapat manfaat beberapa minyak atsiri kulit jeruk dalam penyembuhan
penyakit diantaranya pada jeruk manis sebagai sedatif, antidepresi, tonik dan
antiseptik (Albrigo, 1977).
Pemanfaatan kulit jeruk ini dapat diawali mengetahui dan mengindentifikasi
senyawa aktif atau metabolit sekunder yang berpotensi untuk penyembuhan dan
pengobatan penyakit. Oleh karenai itu, dilakukan percobaan ini dengan tujuan agar
dapat mengetahui dan memahami teknik-teknik ekstraki dengan metode maserasi,
ektraksi dengan alat sokhlet, dan refluks. Selain itu, dengan metode ekstraksi maka
dapat dilakukan pemisahan senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terkandung
didalam kulit jeruk. Proses ekstraksi ini diawali dengan pembuatan simplisia.
Simplisia adalah bahan alam yang dogunakan sebagai obat dimana belum mengalami
pengolahan apapun kecuali pengerinngan yang bertujuan untuk mengurangi kadar air
dalam sampel.
Pengolahan ekstrak sendiri dilakukan dengan beberapa tahap diantaranya
pengumpulan bahan yang dilakukan dengan mengambil sampel yang ingin digunakan
dan dilakukan sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran atau bahan asing
isinya dari bahan simplisia. Misalnya pada simplisia yang digunakan dari akar, bahan
bahan asing seperti tanah, kerikil, batang, daun dan lainnya Selanjutnya pencucian
dan penghalusan bahan agar memudahkan dalam ekstraksi . Lalu, sortasi kering
dilakukan setelah pegeringan sebagai tahap akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi
sendiri untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian tanaman yang
tidak diinginkan dan pengotor pengotor lain yang masih tertinggal pada simplisia
kering.selain itu tujuan pengecilannya untuk mempermudah ekstraksi unsur tertentu
dan struktur komposisi, penyesuaian dengan kebutuhan spesifikasi produk atau
mendapatkan
bentuk
tertentu,untuk
menambah
luas
permukaan
padatan,
(a)
(b)
(c)
23
Gambar VI. 1 Proses ektraksi berawal dari gambar (a) merupakan pembuatan
simplisia kulit jeruk yang dikeringkan. (b) proses sokhletasi pada simplisia. (c) proses
penyaringan hasil sokhletasi
Setelah dilakukannya proses ekstraksi dengan metode sokhlet maka ekstrak
yang didapatkan dilanjutkan dengan proses pemekatan dengan menggunakan vakum
rotary evaporator. Dengan prinsip penguapan pelarut sehingga dari campuran ekstrak
tersebut akan lebih dipekatkan lagi ekstrak yang didapat dan pelarut yang mudah
menguap pun terpisah dengan dibantu pemanasan yang dipercepat oleh putaran dari
labu, sehinga cairan penyari atau pelarut dapat menguap 5- 10
di bawah titik
Sampel
Kulit Jeruk
Berat ekstrak
129
(g)
12,9
Rendemen
(% b/b)
10 %
24
VI. 2 Fraksinasi
Perlakuan fraksinasi cair-cair dilakukan dengan ekstraksi sampel kulit jeruk
Saat pelaksanaan praktikum berat jenis senyawa mempengaruhi posisi filtrat saat
dilakukan perlakuan. Pada pengerjaan semua ekstrak yang telah ditambahkan dengan
aquades memiliki berat jenis yang lebih berat dibandingkan dengan ketiga pelarut
lainnya yaitu n-heksan, etil asetat, dan n-butanol. Adanya perbedaan berat jenis ini,
akan membuat terbentuknya dua lapisan yang tidak dapat bercampur dan
memperlihatkan sifat kepolaran dari tiap pelarut yang digunakan.
Proses fraksinasi diawali dengan menimbang terlebih dahulu berat ekstrak
metanol dari kulit jeruk yang akan digunakan untuk menghitung nilai rendemen.
Menurut (Moelyono, 1996) tujuan perhitungan nilai rendemen adalah untuk
mengetahui besar persentase bagian bahan baku yang dapat digunakan
ataupun
dimanfaatkan dengan total bahan baku. Setelah ditimbang ekstrak kulit jeruk, lalu
dilarutkan dengan air terlebih dahulu, fungsi ekstrak dilarutkan dengan air adalah
untuk menguji apakah sampel yang digunakan bersifat larut air atau tidak, jika larut
air maka perlakuan dilanjutkan ke tahap ekstraksi cair-cair bila tidak larut air maka
dilanjutkan ke tahap ekstraksi cair-padat. Ekstrak yang sudah dilarutkan dengan air
dimasukkan ke dalam corong pisah
heksan merupakan senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14 (isomer
utama n-heksana memiliki rumus CH3(CH2)4CH3dan memiliki titik didih antara 50
dan 70C (Sutomo, 2013). N-heksan merupakan pelarut yang bersifat non-polar,
penggunaan pelarut non-polar terlebih dahulu dikarenakan jika pada pengerjaan awal
digunakan pelarut polar, maka dikhawatirkan adanya senyawa nonpolar yang ikut
terlarut, sebagaimana kita ketahui bahwa pelarut polar, selain mampu melarutkan
senyawa yang bersifat polar juga mampu melarutkan senyawa yang bersifat nonpolar.
Setelah penambahan n-heksan sebanyak 50 mL dihomogenkan dengan cara digojog
tujuan penggojokan ini agar pelarut n-heksan dapat masuk ke dalam sel-sel ekstrak
kulit jeruk ini, tidak lupa untuk dibuka keran dari corong pisah untuk mengeluarkan
udara yang terbentuk akibat hasil penggojogan. Setelah penggojogan didiamkan
beberapa saat sampai terbentuk dua fasa. Dua fasa yang terbentuk dikarenakan adanya
senyawa dalam ekstrak yang larut n-heksan dan ada yang tidak larut. Ekstrak yang
larut berada dilapisan atas dikarenakan berat jenis pelarut n-heksan lebih
ringansedangkan yang larut air akan berada di bawah. Fraksi n-heksan kulit jeruk
yang berada dibagian atas diambil menggunakan pipet volume hal ini dikarenakan
25
apabila diambil dengan membuka keran corong pisah akan lebih sulit karena adanya
endapan ekstrak kulit jeruk dibagian bawah dan kemungkinan besar akan menarik
larutan lain. Fraksi n-heksan kulit jeruk disimpan pada wadah mangkok untuk
menyimpan ekstrak larut n-heksan. Perlakuan ini diulangi sebanyak tiga kali yang
bertujuan untuk menarik semua senyawa nonpolar yang terkandung dalam ekstrak
kulit jeruk dengan pelarut nonpolar yaitu n-heksan.
Perlakuan kedua yaitu dengan melarutkan ekstrak tak larut n-heksan yang
berada dicorong pisah dengan pelarut baru yang kepolarannya lebih besar dari nheksan yaitu pelarut etil asetat. Etil asetat merupakan salah satu jenis solvent atau
pelarut yang memiliki rumus CH3COOC2H5. Cairan jernih tak berwarna dan berbau
harum atau aroma buah (khas ester) ini mempunyai kemurnian 99,8% dengan
kandungan impuritasnya berupa air maksimal 0,1% dan etanol maksimal 0,1%, serta
larut dalam alkohol dan mempunyai titik didih sebesar 77 C dengan berat jenis 0,8945
gr/ml (25 oC). Etil asetat yang ditambahkan sebanyak 50 mL dan dihomogenkan.
Setelah ditambahkan pelarut etil asetat, terbentuk dua fasa.Dua fasa yang terbentuk
karena adanya senyawa dalam ekstrak ada yang terlarut dalam pelarut etil asetat dan
ada yang tidak larut. Ekstrak yang larut pada etil asetat berada di atas sedangkan yang
larut air di bawah. Fraksi etil asetat kulit jeruk disimpan dalam wadah khusus untuk
menyimpan ekstrak.Perlakuan ini diulangi sebanyak tiga kali yang bertujuan untuk
menarik semua senyawa dengan kepolaran menengah yang terkandung dalam ekstrak
kulit jeruk dengan pelarut yang memiliki kepolaran menengah yaitu etil asetat.
Perlakuan ketiga yaitu dengan melarutkan sisa ekstrak yang ada didalam
corong pisah dengan n-butanol sebanyak 50 mL dan dihomogenkan. Lalu terbentuk
dua fasa lagi hal ini dikarenkan senyawa yang terkandung dalam ekstrak ada yang
larut dalam n-butanol dan ada juga yang tidak larut. Ekstrak yang larut pada n-butanol
berada di atas sedangkan yang larut air di bawah. Fraksi n-butanol kulit jeruk
disimpan diwadah khusus untuk menaruh sampel larut n-butanol. Perlakuan ini
diulangi sebanyak dua kali yang bertujuan untuk menarik semua senyawa polar yang
terkandung dalam ekstrak kulit jeruk dengan pelarut polar yaitu n-butanol.
Hasil fraksi n-heksan, etil asetat, dan n-butanol yang diangin- anginkan hingga
kering dapat dilakukan perhitungan rendemen. Dapat dilihat hasil fraksi dari ketiga
pelarut yang berbeda padagambar VI.2 berikut.
26
(a)
(b)
(c)
Gambar VI.2 hasil fraksinasi ekstrak kulit jeruk dengan (a) fraksi n-heksan (b) Fraksi
etil asetat (c) Fraksi n-butanol
Terlihat perbedaan hasil fraksi yang dipengaruhi oleh pelarut dengan
perbedaan kepolaran dari non polar, semi polar hingga polar . Data hasil rendemen
fraksinasi dapat dilihat pada tabel VI.2 berikut.
Tabel VI. 2 Rendemen Fraksi Kulit Jeruk
No
Sampel
Rendemen (% b/b)
N-Heksan
1,55
Etil asetat
24
N-Butanol
766,67
Nilai rendemen didapatkan dari perbandingan berat akhir (berat ekstrak yang
dihasilkan) dengan berat awal (berat biomassa sel yang digunakan) dikalikan 100%.
Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan fraksi n-heksan memiliki berat
0,2 gram , fraksi etil asetat sebesar
98,9 gram
3,1 gram
Maka, dapat ditentukan rendemen dari fraksi n-heksan sebesar 1,55 %, fraksi etil
asetat sebesar 24% dan n-butanol sebesar 766,67 %. Hasil galat yang didapatkan pada
fraksi n-butanol karena hasil fraksi yang telah dainginkan anginkan belum mengering
sempurna sehingga masih dalam keadaan basah.
VI. 3 Kromatografi Lapis Tipis
Selama proses kromatografi, komponen-komponen yang akan dipisahkan
antara dua fase yaitu fase diam dan fasegerak. Fase diam akan menahan komponen
campuran sedangkan fase gerak akan melarutkan zat komponen campuran.
27
yang
mudah
larut
dalam
fase
gerak
akan
bergerak
lebih
cepat..Kromatografi lapis tipis menggunakan plat tipis yang dilapisi dengan adsorben
dan adsorben tersebut berperan sebagai fasa diam. Fase diam yang digunakan pada
percobaan ini adalah Silica Gel 60 GF 254. Fasa gerak yang digunakan dalam KLT
atau eluen yang digunakan adalah campuran pelarut antara n-heksan dan etil asetat.
Pemilihan eluen didasarkan pada polaritas senyawa dan biasanya merupakan
campuran beberapa cairan yang berbeda polaritas, sehingga didapatkan perbandingan
tertentu. Eluen KLT dipilih dengan cara trial and error. Kepolaran eluen sangat
berpengaruh terhadap R (faktor retensi) yang diperoleh. Dapat dikatakan KLT dapat
digunakan untuk analisi dan identifikasi pemisahan komponen dengan cara perkolasi
warna, fluoresensi atau dengan radiasi sinar UV (Iskandar, 2007).
Pelarut yang digunakan dalam Kromatografi Lapis Tipis (KLT) diantaranya
Metanol berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah
terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol)
dimana fungsi metanol ini sebagai pelarut ekstrak agar memudahkan dalam proses
penotolan. Sedangkan n-heksan yang berupa cairan tak berwarna, dapat dibakar
digunakan sebagai campuran eluen. Begitu juga dengan pelarut Etil asetat berupa
cairan jernih, tidak berwarna, bau menusuk, rasa asam, tajam. Etanol berupa cairan
yang mudah menguap, mudah terbakar, tak berwarna, dan sebagai campuran eluen
dengan n-heksan (Dirjen POM,1972).
Perlakuan selama percobaan Kromatografi lapis Tipis diantaranya persiapan
fase diam dengan menaburkan silica gel
selama 15-30 menit. Setelah itu, dipotong sesuai ukuran jarak tempuh eluen dan
lebar lintasan. Sampel fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat yang telah dilarutkan
dalam pelarut. Kemudian dengan pipa kapiler akan ditarik larutan fraksi n-heksan
dan etil asetat dan ditotolkan pada lempeng lalu dikembangkan dengan fase gerak
(eluen) campuran pelarut yang ditentukan yaitu n-heksan dan etil asetat. Tujuan
dalam percobaan ini adalah untuk menentukan eluen terbaik yang mampu untuk
memberikan spot dengan pemisahan yang bagus. Dari percobaan yang dilakukan,
perbandingan eluennya adalah 5:5 dan 3:7. Kemudian eluennya dibuat dalam 2 ml .
Kemudian dimasukkan ke dalam Chamber yang berfungsi sebagai tempat
mengelusikan sampel sehingga sampel yang telah ditotolkan akan naik menurut jalur
yang sejajar. Setelah naik empeng diangkat, dikeringkan dan dilanjutkan dengan
28
Etil asetat
(a)
(b)
Gambar VI. 3.1 Kromatografi lapis tipis FEAKJ (Fraksi Etil Asetat Kulit
Jeruk),FNKJ (Fraksi N-heksan Kulit jeruk) (dari kiri ke kanan), fase diam silika gel
60 GF254, fase gerak N-heksan-Etil asetat
Etil
asetat
(a)
N-heksan
Etil
(b)
29
Gambar VI.3.2 KLT FEAKJ (Fraksi Etil Asetat Kulit Jeruk),FNKJ (Fraksi N-heksan
Kulit jeruk) dengan fase gerak N-heksan-Etil asetat dengan (a) perbandingan 3:7 dan
(b) perbandingan 5:5 dengan menggunakan sinar UV 366 nm
Jika dilihat dari nilai Rf pada plat KLT dengan perbandingan eluen n-heksan
dan etil asetat (5:5) kedua fraksi didapatkan pada fraksi n-heksan dan etil asetat
berturut-turut adalah 0,96 dan 0,925. Sedangkan pada plat KLT dengan perbandingan
eluen n-heksan dan etil asetat (3:7) kedua fraksi didapatkan pada fraksi n-heksan dan
etil asetat berturut-turut adalah 0,85 dan 0,9. Hasil Rf Selengkapnya dapat terlihat
pada tabel VI.3 berikut.
Tabel VI. 3 Hasil KLT
Nama
Sampel
Kulit
Jeruk
Jarak tempuh
noda
Fraksi Fraksi
etil
nasetat heksan
Jarak tempuh
eluen
Fraksi
Fraksi
etil
nasetat
heksan
5:5
5,3 cm
3,7 cm
5,5 cm
3:7
3,4 cm
3,6 cm
4 cm
Eluen
n-heksan :
etil asetat
Nilai Rf
Fraksi
etil
asetat
Fraksi
nheksan
4 cm
0,96
0,925
4 cm
0,85
0,9
Dari hasil nilai Rf ini dapat simpulkan bahwa dengan semakin tingginya nilai
Rf maka mempunyai kepolaran yang rendah, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut
dikarenakan bila fasa diam yang bersifat polar. Oleh karena itu, senyawa yang
terkandung dalam kedua fraksi dapat dimungkinkan memiliki sifat non polar. Namun,
tujuan dari KLT ini untuk memilih eluen terbaik oleh karena itu dapat disimpulkan
eluen terbaik yang memilik pola pemisahan spot bagus adalah eluen n-heksan.
VI. 4 Kromatografi Konvensional
Prinsip kerja kromatografi kolom adalah dengan adanya perbedaan daya serap
dari masing-masing komponen. Campuran yang akan diuji, dilarutkan dalam sedikit
pelarut lalu di masukan lewat puncak kolom dan dibiarkan mengalir kedalam hingga
zat menyerap. Senyawa yang lebih polar akan terserap lebih kuat sehingga turun lebih
lambat dari senyawa non polar terserap lebih lemah dan turun lebih cepat. Zat yang di
serap dari larutan secara sempurna oleh bahan penyerap berupa pita sempit pada
30
kolom. Pelarut lebih lanjut / dengan tanpa tekanan udara masin-masing zat akan
bergerak turun dengan kecepatan khusus sehingga terjadi pemisahan dalam kolom.
Fase diam yang digunakan pada percobaan ini adalah Silica gel 60 dimana
umumnya panjang kolom minimum 10x diameter pipa kaca yang digunakan dan labu
Erlenmeyer sebagai penampung eluen dan kolom sebagai gaya tarik bumi yang
memakai penjerap berukuran 60-230 mesh (63-250 m), umumnya laju aliran
sekitar 10-20 mL/cm 2 penampang kolom/jam. Untuk partikel yang lebih kecil dari
200 mesh diperlukan semacam pemompaan atau sistem bertekanan. Kemudian
laju
dapat
ditingkatkan sampai
mL atau
lebih
setiap
menitnya,
atau
sampai batas sistem tekanan (Sudjadi., 1994). Namun, pada percobaan ini kolom
yang digunakan berdiameter 2 cm dengan panjang kolom yang digunakan sekitar 10
cm.
Sampel yang digunakan pada kromatografi kolom konvensional ini yaitu
fraksi kulit jeruk dengan pelarut etil asetat. Penggunaan fraksi etil asetat karena dari
hasil pengamatan KLT bagian dari senyawa terpisah dengan merata dimana spot yang
ditimbulkan terpisah tanpa adanya yang mengekor. Fraksi etil asetat yang digunakan
hanya 0,2 gram karena sedikitnya hasil fraksi yang diperoleh.Sebelum digunakan
pada kromatografi kolom konvensional harus dilakukan preparasi terlebih dahulu agar
dapat digunakan dalam KKK.
Dalam preparasi kolom digunakan metode basah dengan fraksi etil asetat
kulit jeruk dicampurkan dengan silica gel (1: 1) dengan ditambahkan pelarut (eluen)
sedikit demi sedikit hingga didapatkannyatekstur serbuk dimana pencampuran ini
dinamakn dengan imprect. Sedangkan kolom diisi dengan silica gel yang sudah
bercampur dengan eluen.Sambil diketuk-ketuk agar silica padat dan tidak terdapat
retakan.Setelah dipastikan sudah siap maka dimasukkan sampel sambil keran yang
dibuka dibagian bawah dan sedikit demi sedikit tetasan ditampung dalam wadah botol
vial. Dari hasil percobaan ini, dengan sampel kulit jeruk didapatkan hasil pemisahan
dalam botol vial sebanyak 62 vial. Dapat dilihat dari gambar VI.4.1 dan gambar
VI.4.2 untuk hasil dari kromatografi KolomKonvensional berikut.
31
(a)
(b)
Gambar VI.4.1 Hasil fraksi KKK (a) dan proses KKK yang sedang berlangsung (b)
Gambar VI.4.2 Hasil Kromatografi Kolom Konvensional (KKK) pada botol vial
yang terdapat kristal dengan FEAKJ (Fraksi Etil Asetat Kulit Jeruk).
Dari pengamatan botol vial tersebut terlihat setelah selang beberapa hari
terdapat kirstal-kristal yang terbentuk dibeberapa botol vial dan terhitung jumlahnya
terdapat sebanyak 4 vial. Kristal ini terbentuk menjadi bukti atau tanda bahwa ada
senyawa murni yang terisolat. Hasil Kristal tersebut didapatkan setelah didiamkan
beberapa hari dengan sendirinya etil asetat akan menguap dan membentuk kristal.
Dari hasil kromatografi kolom konvensional ini bisa dilanjutan pengujian KLT 2
dimensi untuk memastikan senyawa yang diperoleh dari pemurnian hasil fraksi etil
asetat kulit jeruk tersebut.
VI. 5 Kromatografi Lapis Tipis 2 Dimensi
32
ikatan rangkap tak jenuh lebih dari satu yang berada berselang-seling dengan ikatan
tunggal. Flouresensi warna yang tampak tersebut merupakan emisi cahaya yang
dipancarkan oleh komponen tersebut ketika elektron yang tereksitasi dari tingkat
energi dasar ke tingkat energi tinggi. Perbedaan energi emisi yang dipancarkan pada
saat kembali ke energi dasar inilah yang menyebabkan perbedaan flouresensi warna
yang dihasilkan oleh tiap noda. Penampakan noda setelah lempeng disemprot dengan
H2SO4 10% disebabkan karena H2SO4 ini bersifat reduktor yang dapat memutuskan
ikatan rangkap sehingga panjang gelombangnya bertambah dan warna noda dapat
dilihat pada cahaya tampak.
Mekanisme penampakan noda ini dapat disebabkan juga karena gugus OH
yang dimiliki H2SO4 sehingga berfungsi sebagai ausokrom, dimana ausokrom ini
dapat menyebabkan pergeseran batokromik yaitu pergeseran ke arah panjang
gelombang yang lebih panjang sedangkan pergeseran hipsokromik ke arah panjang
gelombang yang lebih pendek (ke arah UV hampa). Konsentrasi H2SO4 yang
digunakan adalah 10% karena jika konsentrasinya terlalu pekat maka dapat merusak
lempeng. Namun, pada percobaan ini tidak dilakukan penyemprotan dikarenakan
faktor waktu yang tidak mencukupi.
Keberhasilan
pemisahan
akan
tergantung
pada
kemampuan
untuk
34
(a)
(b)
Gambar VI.5.1 Penampakan dua dimensi Replikasi I dengan eluen kloroform: etil
asetat (9:1) pada UV 254 nm (a) dan UV 366 nm (b).
(a)
(b)
Gambar VI.5.2 penampakan dua dimensi Replikasi I dengan eluen n-heksan: etil
asetat (5:5) pada UV 254 nm (a) dan UV 366 nm (b).
(a)
(b)
35
(a)
(b)
Gambar VI.5.2 Penampakan dua dimensi Replikasi II dengan eluen n-heksan: etil
asetat (5:5) pada UV 254 nm (a) dan UV 366 nm (b)
Sedangkan pada replikasi kedua terlihat hasil elusi yang pada UV 366 nm
terlihat spot yang lebih tampak. Dari hasil elusi tersebut terlihat masih ada spot yang
bergradasi dengan warna biru, orange, hijau. Walaupun dengan sinar UV 254 nm
hanya terlihat 1 spot saja namun dengan sinar UV 366 nm dapat terlihat bila dilihat
dengan visual mata terdapat 3 komponen warna yang berbeda. Kemungkinan besar
hal tersebut terjadi karena pemilihan eluen yang belum tepat sehingga didapatkan
pemisahan yang kurang baik.
36
Daftar Pustaka
37
Adijuwana, Nur M.A. (1989). Teknik Spektroskopi dalam Analisis Biologi. Pusat
Antar Universitas IPB. Bogor.
Albrigo, L. G dan R. D Carter. (1977). Structure of Citrus Fruit in Reaction to
Processing Citrus Science and Technology Volume I. The AVI Publishing
Company Inc. West Point. Connecticut.
Dirjen POM. (1972). Farmakope Indonesia. Edisi Ke-I. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta
Ditjen POM. (1986).Sediaan Galenik. Departemen Kesehatan Republik Indonesia,
Jakarta.
Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan
Pertama. Departemen Kesehatan RI. Jakarta
Fessenden R.J dan J.S Fessenden.(2003).Dasar-dasar kimia organik. Erlangga.
Jakarta.
Gandjar, Ibnu Gholib dan Abdul Rohman. (2007) Kimia Farmasi Analisis, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Ghisalberti, E.L. (2008). Detection and Isolation of Bioactive Natural Products in
Bioactive
Natural
Products:
Detection,
Isolation,
and
Structural
39
LAMPIRAN
Berat ekstrak(g)
Berat sampel (g)
x 100%
40
12 ,9 gram
x 100%
129 gram
= 10 %
Lampiran 2. Perhitungan Rendemen Fraksinasi
=
Rendemen =
a. N-Heksan
Rendemen
= 1,55 %
b. Etil Asetat
Rendemen
0 ,2 gram
12 ,9 gram
x 100%
3 ,1 gram
12 ,9 gram
x 100%
x 100%
= 24 %
c. N-Butanol
98 ,9 gram
12 ,9 gram
= 766,67 %
Rendemen
x 100%
3 ,7 cm
4 cm
=0,925
2. Eluen n-heksan dan etil asetat (3:7)
41
Rf =
3 ,6 cm
4 cm
=0,9
42