Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

LP Ctev

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN CTEV

(Congenital Talipes Wquino Varus)

2.1 Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal


Menurut Suratun, dkk (2008), sistem muskuloskeletal terdiri dari
tulang, sendi, otot, dan struktur pendukung lainnya (tendon, ligamen, fasia,
dan bursae). Pertumbuhan dan perkembangan struktur ini terjadi selama
masa kanak-kanak dan remaja.

2.1.1 Struktur Tulang


Struktur tulang dan jaringan ikat menyusun kurang lebih 25%
berat badan dan otot menyusun kurang lebih 50%. (Suratun, dkk, 2008)
Pembagian skeletal yaitu :
1. Axial skeleton, terdiri dari kerangka tulang kepala dan leher,
tengkorak, kolumna vertebrae, tulang iga, tulang hioid sternum
2. Apendikular skeleton, terdiri dari
a. Kerangka tulang lengan dan kaki
b. Ekstremitas atas (skapula, klavikula, humerus, ulna, radial) dan
tangan (karpal, metakarpal, falang)
c. Ekstremitas bawah (tulang pelvik, femur, patela, tibia, fibula) dan
kaki (tarsal, metatarsal, falang)
2.1.2 Anatomi Kaki
Kaki adalah suatu kesatuan unit yang kompleks dan terdiri dari 26
buah tulang yang dapat menyangga berat badan secara penuh saat berdiri
dan mampu memindahkan tubuh pada semua keadaan tempat berpijak.
Ke-26 tulang itu terdiri dari: 14 falang, 5 metatarsal dan 7 tarsal. Kaki dapat
dibagi menjadi 3 segmen fungsional
a. Hindfoot (segmen posterior)
Bagian ini terletak langsung dibawah os tibia dan berfungsi
sebagai penyangganya. Terdiri dari:
Talus yang terletak di apeks kaki dan merupakan bagian dari
sendi pergelangan kaki
Calcaneus yang terletak dibagian belakang dan kontak dengan
tanah
b. Midfoot (segmen tengah)
Terdiri dari 5 tulang tarsal yaitu:
3 cuneiforme: medial, intermedium dan lateral
Cuboid
Navikulare ke-5 tulang tersebut membentuk persegi empat
ireguler dengan dasar medial dan apeks lateral. 3 cuneiforme
dan bagian anterior cuboid serta naviculare dan bagian
belakangtulang cuboid membentuk suatu garis.
c. Forefoot (segmen anterior)
Bagian ini terdiri dari:
5 metatarsal: I, II, III, IV, V
14 falang. Dimana ibu jari kaki mempunyai 2 falang sedangkan
setiap jari lainnya 3 falang

Gambar 1. Anatomi kaki

Struktur Persendian dan Ligamen tulang-tulang tersebut diatas membentuk


persendian-persendian sebagai berikut:
a . Ar t i k u l a t i o t a l o c r u r a l i
Merupakan sendi antara tibia dan fibula dengan trachlea talus. Sendi ini
distabilkan oleh ligamen-ligamen:
Sisi medial: lig. Deltoid yang terdiri dari:
Lig. Tibionavikularis, Lig. Calcaneotibialis, Lig. talotibialis
anterior dan posterior
Sisi Lateral:
Lig. talofibularis anterior dan posterior, Lig. Calcaneofibularis
Gerak sendi ini:
Plantar fleksi, dorsofleksi, sedikit abduksi dan adduksi pergelangan kaki
b. Artikulatio talotarsalis
Terdiri dari 2 buah sendi yang terpisah akan tetapi secara fisiologi
keduanya merupakan 1kesatuan, yaitu:
- Bagian belakang: artikulatio talocalcanearis/subtalar. Ligamen yang
memperkuat adalah: Lig. Talocalcanearis anterior, posterior,
medial dan lateral
- Bagian depan: artikulatio talocalcaneonaviculari.
Ligamen yang memperkuat adalah: Lig. Tibionavikularis, Lig.
Calcaneonaviculare plantaris, Lig. bifurcatum: pars
calcaneonavicularis (medial) dan pars calcaneocuboid (lateral)
berbentuk huruf V
Gerak sendi ini:
Inversi pergelangan kaki, eversi pergelangan kaki
c. Articulatio tarsotransversa (CHOPART)
Disebut juga sendi midtarsal atau surgeons tarsal joint
yang sering menjadi tempat amputasi kaki. Terdiri dari 2 sendi,
yaitu:
- Articulatio talonavicularis
- Articulatio calcaneocuboid, yang diperkuat oleh:
Pars calcaneocuboid lig. bifurcati di medial
Lig. calcaneocuboid dorsalis di sebelah dorsal
Lig. calcaneocuboid di sebelah plantar
Gerak sendi ini:
Rotasi kaki sekeliling aksis, memperluas inversi dan eversi art. Talotarsalis
d.Artikulatio tarsometatarsal (Lisfranc)
Adalah sendi diantara basis os metatarsal I-V dengan
permukaan sendi distal pada os cuneiformis I-III. Rongga sendi ada 3
buah, yaitu:
Diantara os metatarsal I dan cuneoformis I
Diantara os metatarsal II dan III dengan cuneiformis II dan III
Diantara os metatarsal IV dan V dengan cuboid
Ligamentum pengikatnya adalah:
Lig. Tarsi plantaris, Lig. Tarsi dorsalis, Ligg. Basium os metatarsal dorsalis, interosea
dan plantaris
e.Articulatio metacarpofalangeal
Ligamen pengikatnya adalah lig. collateralia pada kedua sisi tiap sendi
Gerak sendi ini:
Fleksi-ekstensi sendi metacarpal, abduksi-adduksi sendi metacarpal
f.Artculatio interfalangea
Ligamen pengikat: lig. colateral di sebelah plantar pedis
Gerak sendi ini:
Fleksi-ekstensi interfalang, abduksi-adduksi interfalang

Gambar 2. Lateral kaki kanan

2.2 Definisi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


Congenital Talipes Equino Varus (CTEV) atau club foot berasal
dari bahasa latin talipes yaitu tulang talus, dan pes yaitu kaki, serta
equinovarus yang berarti fleksi dan inversi. Kelainan ini dapat terjadi pada
satu atau kedua kaki, ditandai dengan fleksi plantar/equinus pada angkle
(pergelangan kaki), inversi/ varus pada sendi subtalar (tungkai) dan adduksi
pada kaki depan (Koswal & Natarajam, 2005). Sedangkan menurut
Cahyono (2008), CTEV adalah kelainan kongenital tulang sehingga terjadi
fiksasi kaki pada posisi adduksi, supinasi dan varus. Tulang calcaneus,
navicular dan cuboid terrotasi ke arah medial terhadap talus, dan tertahan
dalam posisi adduksi serta inversi oleh ligamen dan tendon. Sebagai
tambahan, tulang metatarsal pertama lebih fleksi terhadap daerah plantar.
Dari pengertian-pengertin di atas dapat kita simpukan bahwa
CTEV adalah kelainan kongenital tulang yang ditandai dengan fleksi pada
tulang talus, sehingga tumit menjadi lebih tinggi dan terjadi deviasi ke arah
medial. Kelainan ini mengakibatkan pasien tidak dapat berdiri dengan
telapak kaki yang rata menapak tanah, tumit terbalik, dan kaki depan
bengkok.

Gambar 4. TulangGambar 3. Clubfoot


pedis normal dan clubfoot
Sumber:Sumber:http://s63.photobucket.com/
http://clubfoot_help.tripod.com/
Gambar 5. Perbandingan kaki normal dan clubfoot
Sumber: Abnormal Skeletal Phenotypes: From Simple Signs to Complex Diagnoses

2.3 Klasifikasi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


CTEV dibagi menjadi dua, yaitu:
1. CTEV postural atau posisional
Bukan CTEV sebenarnya sebab bisa terkoreksi sendiri seiring masa
tumbuh kembang bayi.
2. CTEV rigid atau fixed, dibagi menjadi:
a. CTEV rigid fleksibel. Jenis ini mudah atau dapat dikoreksi secara
non- operasional
b. CTEV rigid resisten. Jenis ini seringkali memerlukan tindakan
operasi.

Dilihat dari tempat bengkoknya tulang, talipes terbagi menjadi


beberapa jenis seperti talipes equinus, kalkaneus, valgus, varus, dan
kavus.
Deformitas clubfoot disebabkan karena disrotasi posisi kaki. Dua
tipe yang paling umum adalah equinus dan kalkaneus. Equinus berarti
seperti kuda dengan ujung kaki ke bawah dan telapak kakinya fleksi.
Kalkaneus berarti tumit menonjol dengan ujung kaki ke atas dan kaki dalam
posisi plantar. Setiap tipe mungkin varus (bengkok ke dalam) atau valgus
(bengkok ke luar). Jumlah tapiles equinavarus sekitar 95% dari semua
kelainan clubfoot. Talipes kalkaneus adalah tipe yang lebih umum. (Persis
Mary Hamilton, 1995)
Gambar 6. Talipes; A. Equinus; B. Kalkaneus; C. Valgus;
D. Varus; E. Kavus

2.4 Etiologi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


Deformitas talipes (clubfoot) adalah deformitas kongenital
ortopedik paling sering dari ekstremitas bawah, terjadi dengan frekuensi
paling besar pada anak laki-laki dengan perbandingan 2:1 dengan anak
perempuan. Talipes dapat disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan.
Umumnya, titik talus turun dan telapak kaki teraduksi. (Jan Tambayong,
2000)
Menurut Persis Mary Hamilton (1995), Penyebab yang pasti dari
clubfoot tidak diketahui. Sebagian orang berkeyakinan bahwa hal tersebut
diakibatkan karena gangguan perkembangan atau posisi abnormal dalam
uterus. Karena beberapa keluarga memiliki kecenderungan lebih tinggi dari
keluarga yang lain, hereditas merupakan salah satu faktornya.
Faktor resiko terjadinya CTEV adalah faktor mekanis dalam
uterus (misalnya adanya tekanan dari luar akibat trauma atau akibat
tekanan dari dalam seperti pada kehamilan kembar, oligohidramnion),
gangguan neuromuskular, kelainan genetik, pengaruh di sekitar rahim,
faktor herediter, kombinasi antara faktor herediter dan lingkungan

2.5 Patofisiologi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


Penyebab pasti dari CTEV sampai sekarang belum diketahui
tetapi beberapa ahli berpendapat bahwa kelainan ini timbul karena:
1. Kondisi janin saat dalam kandungan, meliputi posisi abnormal seperti
posisi sungsang atau lintang, atau pergerakan janin yang terbatas
misalnya akibat Oligohydroamnion, yaitu kondisi jumlah cairan ketuban di
dalam rahim sangat rendah (Amniotic Fluid Index: <5), yang
mengakibatkan posisi abnormal pada kaki janin sehingga menimbulkan
kontraktur dan deformitas tulang.
2. Terhambatnya perkembangan fetus pada fase fibular. Fase fibular terjadi
pada bulan ke-7 kehamilan, yaitu saat perkembangan kaki ke arah fleksi
dan eversi. Pertumbuhan yang terganggu pada fase tersebut akan
menimbulkan deformitas yang dipengaruhi pula oleh tekanan intrauterine.
Normalnya kaki akan mengalami koreksi pada fase berikutnya.
3. Peningkatan jaringan fibrosa di otot dan ligamen, Zimny dkk
mengemukakan hipotesa bahwa hal inilah yang menyebaban kontraktur
medial (Cahyo, 2008)
4. Abnormalitas histokimia pada kelompok otot peroneus, terjadi
pengecilan otot-otot betis dan peroneus sehingga kaki tidak dapat
digerakkan secara pasif pada batas eversi dan dorsofleksi normal
(Muttaqin, 2008).

2.6 Manifestasi klinis CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


1. Pergelangan kaki jinjit, telapak kaki dan bagian depan kaki menghadap
ke arah dalam.
2. Tumit kecil, teraba kosong dan lunak.
3. Colum tulang talus mudah diraba.
4. Mata kaki bagian dalam sulit diraba.
5. Bagian pangkal kaki berputar ke dalam, lengkung kaki tinggi (cavus).
6. Tulang kering seringkali mengalami perputaran kearah dalam.
Derajat keparahan ditentukan oleh derajat displacement tulang-
tulang kaki, sedangkan resistensi terhadap koreksi ditentukan oleh rigiditas
dari kontraktur jaringan lunak.

2.7 Pemeriksaan Diagnostik CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


1. Foto polos
Metode evaluasi radiologis yang standar digunakan adalah foto
polos. Pemeriksaan harus mencakup gambaran tumpuan berat karena
stress yang terlibat dapat terjadi berulang-ulang. Pada infant, tumpuan
berat dapat disimulasikan dengan pemberian stress dorsal flexy. Gambaran
standar yang digunakan adalah gambaran dorsoplantar (DP) dan lateral.
Untuk gambaran dorsoplantar, sinar diarahkan dengan sudut 15o terhadap
tumit untuk mencegah overlap dengan struktur tungkai bawah. Gambaran
lateral harus mencakup pergelangan kaki, dan bukan kaki, untuk
penggambaran yang lebih tepat dari talus.
Foto polos mempunyai kerugian yaitu tereksposnya pasien
terhadap radiasi. Ditambah lagi, pengaturan posisi yang tepat juga akan
sulit dilakukan. Pemosisian yang tidak tepat dapat menghasilkan gambaran
seperti deformitas sehingga ada kemungkinan adanya kesalahan diagnosa.
Lebih jauh lagi, karena CTEV adalah kondisi kongenital, kurangnya osifikasi
pada beberapa tulang yang terlibat merupakan salah satu keterbatasan
lainnya. Pada neonates, hanya talus dan calcaneus yang terosifikasi.
Navikular tidak terosifikasi sampai anak berusia 2-3 tahun.
Posisi oblique tumit pada gambaran dorsoplantar (DP) dapat
menstimulasikan varus kaki belakang. Bila gambaran lateral hanya meliputi
salah satu kaki dan tidak termasuk pergelangan kaki, maka akan terlihat
gambaran palsu dari lengkungan talus yang mendatar.
Equinus kaki belakang adalah plantar fleksi dari calcaneus
anterior (mirip kuku kuda) dimana sudut antara axis panjang tibia dan axis
panjang calcaneus (sudut tibiocalcaneal) lebih besar dari 90o.
Pada varus kaki belakang, talus diperkirakan terfiksasi secara
relatif terhadap tibia. Calcaneus berputar mengitari talus menuju posisi
varus (ke arah garis tengah). Pada gambaran lateral, sudut antara axis
panjang talus dan axis panjang calcaneus (sudut talocalcaneal) kurang dari
25o, dan kedua tulang tersebut lebih paralel dibandingkan kondisi normal.
Pada gambaran DP, sudut talocalcaneus kurang dari 15 derajat,
dan dua tulang terlihat lebih tumpang tindih daripada pada kaki normal.
Selain itu, aksis longitudinal yang melalui pertengahan talus (garis midtalar)
melintas secara lateral ke arah dasar metatarsal pertama, karena garis
depan terdeviasi secara medial.
Varus kaki depan dan supinasi meningkatkan konvergensi dari
basis metatarsal pada gambaran DP, jika dibandingkan dengan sedikit
konvergensi pada kaki normal
2. CT-Scan
Pada penelitian pendahuluan mengenai CT dengan rekonstruksi
3 dimensi, johnston et al menunjukkan bahwa kerangka kawat luar yang
dapat memantau tulang pada CTEV bisa diterapkan dan aksis inersia dapat
ditentukan di sekitar pusat massa dengan 3 bidang perpendikuler untuk
setiap tulang yng terlibat.
Kawat ini dapat dirotasi secara manual untuk mengurai
deformitas dan kelainan susunan tulang yang tidak jelas karena overlapping
pada foto polos. Hubungan antara tulang kaki belakang dan pergelangan
kaki dapat dinilai dengan cara ini. Begitu pula dengan aksis vertical dari
talus dan lubang kalkaneus dapat dibandingkan dengan acuan
perpendicular terhadap dasar pada rekostruksi koronal dari tumit.
Analisis tersebut menunjukkan bahwa pada kaki normal, baik
talus maupun kalkaneus relatif terotasi secara medial terhadap garis
perpendicular pada lubang di bidang transversal, namun rotasi di kalkaneus
sangat kecil. Perbedaan ini merupakan divergensi normal dari aksis
panjang 2 tulang. Pada CTEV, talus terotasi secara lateral dan kalkaneus
terotasi lebih medial daripada kaki normal.
Pemakaian CT Scan juga memiliki bebrapa kerugian, yaitu risiko
ionisasi, kurangnya osifikasi pada tulang tarsal, suseptibilitas dari artifak
gambar dan gerakan, dan membutuhkan peralatan mahal dan aplikasi
software untuk rekonstruksi multiplanar.
3. MRI
Saat ini MRI tidak banyak dilakukan untuk pemeriksaan radiologi
CTEV karena berbagai kerugiannya, diantaranya dibutuhkan alat khusus
dan sedasi pasien, besarnya pengeluaran untuk software yang digunakan,
hilangnya sinyal yang disebabkan oleh efek feromagnetik dari alat fiksasi,
dan waktu tambahan yang dibutuhkan untuk transfer data dan
postprocessing. Namun, di sisi lain, keuntungan penggunaan MRI jika
dibandingkan dengan foto polos dan CT scan adalah kapabilitas imaging
multiplanar dan penggambaran yang sangat baik untuk nucleus osifikasi,
kartilago anlage (primordium) serta struktur jaringan lunak disekitarnya.
Dengan menggunakan resonansi magnetic rekonstruksi
multiplanar menunjukkan bahwa metode ini dapat digunakan untuk
menjelaskan patoanatomi kompleks pada kelainan ini. Gambaran
intermediate dan gambaran T2-weighted spin-echo dapat menggambarkan
secara jelas anlage (primordium) kartilago dan permukaan articular secara
berurutan. Ketika akusisi gradient-echo 3 dimensi digunakan untuk
membentuk rekonstruksi multiplanar, pusat dari massa dan axis utama dari
inersia tiap tulang atau struktur kartilago dapat ditentukan. Axis ini dapat
dibandingkan satu sama lain atau dapat dirumuskan standar referensi
mengenai pengukuran objektif dari deformitas ini yang dapat digunakan
secara menyeluruh
4. Ultrasonografi (USG)
Penelitian menunjukkan bahwa gambarn reproducible dan
penilaian objektif dari beberapa hubungan antartulang (interosseous) pada
kaki normal dan pada CTEV dapat dilakukan dengan USG. Untuk
selanjutnya, USG mungkin dapat digunakan dalam operasi tertuntun dan
terapi konservatif untuk CETV dalam menilai hasilnya.
Gambaran dinamis/dynamic imaging yang bisa dilakukan
dengan USG dapat melengkapi pemeriksaan fisik untuk menilai rigiditas
dari kaki. Sehingga, USG ini dapat membantu memilah pasien yang harus
dilakukan operasi dan tidak bisa dengan terapi konservatif saja.
Kekurangan dari USG adalah ketidakmampuan gelombang
suara untuk menembus seluruh tulang, terutama jika terdapat bekas luka
post operasi. Keuntungan ultrasonografi termasuk tidak ada/kurangnya
radiasi pengion, tidak membutuhkan obat sedative, kemampuannya untuk
menggambarkan bagian tulang yang tidak terosifikasi, dan kapasitasnya
dalam hal imaging dynamics.
5. Angiografi
Angiogram dapat menunjukkan abnormalitas ukuran dan
distribusi pembuluh darah kecil pada CTEV, namun temuan ini masih
terbatas dalam kegunaan secara klinis.

2.8 Penatalaksanaan CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


1. Terapi
a. Terapi Medis
Tujuan dari terapi medis adalah untuk mengoreksi deformitas yang ada
dan mempertahankan koreksi yang telah dilakukan sampai terhentinya
pertumbuhan tulang.
Saat ini terdapat suatu sistem penilaian yang dirancang oleh prof. dr.
Shafiq Pirani, seorang ahli ortopaedist di Inggris. Sistem ini dinamakan The
Pirani Scoring System. Dengan menggunakan sistem ini, kita dapat
mengidentifikasi tingkat keparahan dan memonitor perkembangan suatu
kasus CTEV selama koreksi dilakukan. Sistem ini terdiri dari 6 kategori,
masing-masing 3 dari hindfoot dan midfoot. Untuk hindfoot, kategori
terbagi menjadi tonjolan posterior/posterior crease (PC), kekosongan
tumit/emptiness of the heel (EH), dan derajat dorsofleksi yang
terjadi/degree of dorsiflexion (DF). Sedangkan untuk kategori midfoot,
terbagi menjadi kelengkungan batas lateral/curvature of the lateral border
(CLB), tonjolan di sisi medial/medial crease (MC) dan tereksposnya kepala
lateral talus/uncovering of the lateral head of the talus.
b. Penatalaksanaan non operatif
Dengan penatalaksanaan tradisional non operatif, maka pemasangan
splint dimulai pada bayi berusia 2-3 hari. Urutan dari koreksi yang akan
dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Adduksi dari forefoot
2. Supinasi forefoot
3. Equinus
Usaha-usaha untuk memperbaiki posisi equinus di awal masa
koreksi dapat mematahkan kaki pasien, dan mengakibatkan terjadinya
rockerbottom foot. Tidak boleh dilakukan pemaksaan saat melakukan
koreksi. Tempatkan kaki pada posisi terbaik yang bisa didapatkan,
kemudian pertahankan posisi ini dengan cara menggunakan strapping
yang diganti tiap beberapa hari sekali, atau dipertahankan menggunakan
gips yang diganti beberapa minggu sekali. Hal ini dilanjutkan hingga dapat
diperoleh koreksi penuh atau sampai tidak dapat lagi dilakukan koreksi
selanjutnya.
Posisi kaki yang sudah terkoreksi ini kemudian dipertahankan
selama beberapa bulan. Tindakan operatif harus dilakukan sesegera
mungkin saat nampak adanya kegagalan terapi konservatif, yang antara
lain ditandai dengan deformitas yang menetap, deformitas berupa
rockerbottom foot atau kembalinya deformitas segera setelah koreksi
dihentikan. Setelah pengawasan selama 6 minggu biasanya dapat
diketahui jenis deformitas CTEV, apakah termasuk yang mudah dikoreksi
atau tipe yang resisten. Hal ini dikonfirmasi dengan menggunakan X-ray
dan dilakukan perbandingan penghitungan orientasi tulang. Dari laporan
didapatkan bahwa tingkat kesuksesan dengan menggunakan metode ini
adalah sebesar 11-58%.
c. Metode Ponseti
Metode ini dikembangkan oleh dr. Ignacio Ponseti dari Universitas Iowa.
Langkah-langkah yang harus diambil adalah sebagai berikut :
1. Deformitas utama yang terjadi pada kasus CTEV adalah adanya rotasi
tulang kalkaneus ke arah intenal (adduksi) dan fleksi plantar pedis. Kaki
berada dalam posisi adduksi dan plantar pedis mengalami fleksi pada
sendi subtalar. Tujuan pertama adalah membuat kaki dalam posisi
abduksi dan dorsofleksi. Untuk mendapatkan koreksi kaki yang optimal
pada kasus CTEV, maka tulang kalkaneus harus bisa dengan bebas
dirotasikan kebawah talus. Koreksi dilakukan melalui lengkung normal
dari persendian subtalus. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
meletakkan jari telunjuk operator di maleolus medialis untuk
menstabilkan kaki dan kemudian mengangkat ibu jari dan diletakkan di
bagian lateral dari kepala talus, sementara kita melakukan gerakan
abduksi pada forefoot dengan arah supinasi.
2. Cavus kaki akan meningkat bila forefoot berada dalam posisi pronasi.
Apabila ditemukan adany cavus, maka langkah pertama dalam koreksi
kaki adalah dengan cara mengangkat metatarsal pertama dengan
lembut, untuk mengoreksi cavusnya. Setelah cavus terkoreksi, maka
forefoot dapat diposisikan abduksi seperti yang tertulis dalam langkah
pertama.
3. Saat kaki diletakkan dalam posisi pronasi, hal tersebut dapat
menyebabkan tulang kalkaneus berada di bawah talus. Apabila hal ini
terjadi, maka tulang kalkaneus tidak dapat berotasi dan menetap pada
posisi varus. Seperti tertulis pada langkah kedua, cavus akan
meningkat. Hal ini dapat menyebabkan tejadinya bean-shaped foot.
Pada akhir langkah pertama, maka kaki akan berada pada posisi
abduksi maksimal tetapi tidak pernah pronasi.
4. Manipulasi dikerjakan di ruang khusus setelah bayi disusui. Setelah
kaki dimanipulasi, maka langkah selanjutnya adalah memasang long
leg cast untuk mempertahankan koreksi yang telah dilakukan. Gips
harus dipasang dengan bantalan seminimal mungkin, tetapi tetap
adekuat. Langkah selanjutnya adalah menyemprotkan benzoin tingtur
ke kaki untuk melekatkan kaki dengan bantalan gips. Dr. Ponsetti lebih
memilih untuk memasang bantalan tambahan sepanjang batas medial
dan lateral kaki, agar aman saat melepaskan gips menggunakan
gunting gips. Gips yang dipasang tidak boleh sampai menekan ibu jari
kaki atau mengobliterasi arcus transversalis. Posisi lutut berada pada
sudut 90 selama pemasangan gips panjang. Orang tua bayi dapat
merendam gips ini selama 30-45 menit sebelum dilepas. Dr. Ponsetti
memilih melepaskan gips dengan cara menggunakan gergaji yang
berosilasi (berputar). Gips ini dibelah menjadi dua dan dilepas,
kemudian disatukan kembali. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
perkembangan abduksi forefoot, selanjutnya hal ini dapat digunakan
untuk mengetahui dorsofleksi serta megetahui koreksi yang telah
dicapai oleh kaki ekuinus.
5. Adanya usaha untuk mengoreksi CTEV dengan paksaan melawan
tendon Achilles yang kaku dapat mengakibatkan patahnya midfoot dan
berakhir dengan terbentuknya deformitas berupa rockerbottom foot.
Kelengkungan kaki yang abnormal (cavus) harus diterapi secara
terpisah, seperti yang digambarkan pada langkah kedua, sedangkan
posisi ekuinusnya harus dapat dikoreksi tanpa menyebabkan patahnya
midfoot..
Secara umum dibutuhkan 4-7 kali pemasangan gips untuk mendapatkan
abduksi kaki yang maksimum. Gips tersebut diganti tiap minggu. Koreksi
yang dilakukan (usaha untuk membuat kaki dalam posisi abduksi) dapat
dianggap adekuat bila aksis paha dan kaki sebesar 60
Setelah dapat dicapai abduksi kaki maksimal, kebanyakan kasus
membutukan dilakukannya tenotomi perkutaneus pada tendon Achilles.
Hal ini dilakukan dalam keadaan aspetis. Daerah lokal dianestesi dengan
kombinasi antara lignokain topikal dan infiltrasi lokal minimal
menggunakan lidokain. Tenotomi dilakukan dengan cara membuat irisan
menggunakan pisau Beaver (ujung bulat). Luka post operasi kemudian
ditutup dengan jahitan tunggal menggunakan benang yang dapat
diabsorbsi. Pemasangan gips terakhir dilakukan dengan kaki yang berada
pada posisi dorsofleksi maksimum, kemudian gips dipertahankan hingga
2-3 minggu.
6. Langkah selanjutnya setelah pemasangan gips adalah pemakaian sepatu
yang dipasangkan pada lempengan Dennis Brown. Kaki yang bermasalah
diposisikan abduksi (rotasi ekstrim) hingga 70. with the unaffected foot
set at 45 of abduction. Sepatu ini juga memiliki bantalan di tumit untuk
mencegah kaki terselip dari sepatu. Sepatu ini digunakan 23 jam sehari
selama 3 bulan, kemudian dipakai saat tidur siang dan malam selama 3
tahun.
7. Pada kurang lebih 10-30% kasus, tendon dari titbialis anterior dapat
berpindah ke bagian lateral Kuneiformis saat anak berusia 3 tahun. Hal ini
membuat koreksi kaki dapat bertahan lebih lama, mencegah adduksi
metatarsal dan inversi kaki. Prosedur ini diindikasikan pada anak usia 2-
2.5 tahun, dengan cara supinasi dinamik kaki. Sebelum dilakukan operasi
tersebut, pasangkan long leg cast untuk beberapa minggu.
d. Terapi Operatif
1. Insisi
Beberapa pilihan untuk insisi, antara lain :
- Cincinnati : jenis ini berupa insisi transversal, mulai dari sisi
anteromedial (persendian navikular-kuneiformis) kaki sampai ke sisi
anterolateral (bagian distal dan medial sinus tarsal), dilanjutkan ke bagian
belakang pergelangan kaki setinggi sendi tibiotalus.
- Insisi Turco curvilineal medial atau posteromedial : insisi ini dapat
menyebabkan luka terbuka, khususnya pada sudut vertikal dan medial
kaki. Untuk menghindari hal ini, beberapa operator memilih beberapa
jalan, antara lain :
Tiga insisi terpisah - insisi posterior arah vertikal, medial, dan
lateral
Dua insisi terpisah - Curvilinear medial dan posterolateral
Banyak pendekatan bisa dilakukan untuk bisa mendapatkan terapi
operatif di semua kuadran. Beberapa pilihan yang dapat diambil, antara
lain :
Plantar : Plantar fascia, abductor hallucis, flexor digitorum brevis, ligamen
plantaris panjang dan pendek
Medial : struktur-struktur medial, selubung tendon, pelepasan
talonavicular dan subtalar, tibialis posterior, FHL, dan pemanjangan FDL
Posterior : kapsulotomi persendian kaki dan subtalar, terutama pelepasan
ligamen talofibular posterior dan tibiofibular, serta ligamen kalkaneofibular
Lateral : struktur-struktur lateral, selubung peroneal, pesendian
kalkaneokuboid, serta pelepasan ligamen talonavikular dan subtalar
Pendekatan manapun yang dilakukan harus bisa menghasilkan paparan
yang adekuat. Struktur-struktur yang harus dilepaskan atau diregangkan
adalah sebagai berikut :
1. Tendon Achilles
2. Pelapis tendon dari otot-otot yang melewati sendi subtalar.
3. Kapsul pergelangan kaki posterior dan ligamen Deltoid.
4. Ligamen tibiofibular inferior
5. Ligamen fibulocalcaneal
6. Kapsul dari sendi talonavikular dan subtalar.
7. Fasia plantar pedis dan otot-otot intrinsik
Aksis longitudinal dari talus dan kalkaneus harus dipisahkan sekitar 20
dari proyeksi lateral. Koreksi yang dilakukan kemudian dipertahankan
dengan pemasangan kawat di persendian talokalkaneus, atau
talonavikular atau keduanya. Hal ini juga dapat dilakukan menggunakan
gips. Luka paska operasi yang terjadi tidak boleh ditutup dengan paksa.
Luka tersebut dapat dibiarkan terbuka agar membentuk jaringan
granulasi atau bahkan nantinya dapat dilakukan cangkok kulit.
Penatalaksanaan dengan operasi harus mempertimbangkan usia dari
pasien :
a. Pada anak kurang dari 5 tahun, maka koreksi dapat dilakukan hanya
melalui prosedur jaringan lunak.
b. Untuk anak lebih dari 5 tahun, maka hal tersebut membutuhkan
pembentukan ulang tulang/bony reshaping (misal, eksisi dorsolateral dari
persendian kalkaneokuboid [prosedur Dillwyn Evans] atau osteotomi
tulang kalkaneus untuk mengoreksi varus).
c. Apabila anak berusia lebih dari 10 tahun, maka dapat dilakukan
tarsektomi lateralis atau arthrodesis.).
Harus diperhatikan keadaan luka paska operasi. Apabila penutupan kulit
paska operasi sulit dilakukan, maka lebih baik luka tersebut dibiarkan
terbuka agar dapat terjadi reaksi ganulasi, untuk kemudian
memungkinkan terjadinya penyembuhan primer atau sekunder. Dapat
juga dilakukan pencangkokan kulit untuk menutupi defek luka paska
operasi. Perban hanya boleh dipasang longgar dan harus diperiksa
secara reguler.

2.9 Prognosis CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


Prognosis bergantung pada waktu pengobatan dan keparahan
penyakit. Asalkan terapi dimulai sejak lahir, deformitas sebagian besar
dapat diperbaiki. Namun walaupun demikian, keadaan ini sering tidak
sembuh secara sempurna dan sering kambuh kembali, terutama pada bayi
dengan kelumpuhan otot yang nyata atau disertai penyakit neuromuskuler.
Kurang lebih 50% kasus CTEV bayi baru lahir dapat dikoreksi tanpa
tindakan operatif. Teknik Ponseti (termasuk tenotomi tendon Achilles)
dilaporkan memiliki tingkat kesuksesan sebesar 89%. Peneliti lain
melaporkan rerata tingkat kesuksesan sebesar 10-35%. Sebagian besar
kasus melaporkan tingkat kepuasan 75-90%, baik dari segi penampilan
maupun fungsi kaki. Beberapa kasus menunjukkan respon yang positif
terhadap penanganan, sedangkan beberapa kasus lainnya menunjukkan
respon yang lama atau tidak berespon sama sekali terhadap treatment.
Orang tua harus diberikan informasi bahwa hasil dari treatment tidak selalu
dapat diprediksi dan tergantung pada tingkat keparahan dari deformatis,
umur anak saat treatment, perkembangan tulang, otot dan syaraf

2.10 Komplikasi CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)


Komplikasi penanganan non-operatif CTEV dapat terjadi di
setiap tahap. Di tahap manipulasi dengan peregangan dapat timbul nyeri
pada kaki bayi karena manipulasi secara force-full, tidak gentle. Di tahap
serial casting bisa terjadi ulkus tekan, kemerahan, pembengkakan jari-jari
kaki dan gangguan neurovaskular. Komplikasi pada kulit berupa iritasi,
lepuh atau lecet karena pemakaian strapping adhesive atau splinting.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN
CTEV (Congenital Talipes Equino Varus)

3.1 Pengkajian
3.1.1 Anamnesa
1. Data Demografi Klien :
Berupa nama, usia, jenis kelamin, suku / bangsa, alamat, agama,
tanggal MRS, jam MRS, diagnosa. CTEV pada umumnya sering
terjadi pada bayi dengan jenis kelamin perempuan.
2. Keluhan Utama
Keluhan utama yang dikeluhkan oleh sebagian besar klien adalah
bentuk kaki bayi terlihat tidak normal
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Merupakan gangguan yang berhubungan dengan gangguan yang
dirasakan saat ini.
4. Riwayat Kesehatan Masa Lalu :
Tanyakan pada klien apakah klien pernah mengalami penyakit
serupa sebelumnya atau penyakit lain yang berhubungan dengan
penyakit klien saat ini.
5. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita
penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit
bawaan atau keturunan.
6. Riwayat Imunisasi
Meliputi imunisasi: BCG, DPT, Hepatitis, Polio
7. Riwayat Kehamilan
Meliputi prenatal, natal dan postnatal yang berkaitan dengan faktor
resiko penyebab CTEV

3.1.2 Pemeriksaan Fisik


1. Kondisi Umum : menjelaskan mengenai keadaan yang ada
sekarang serta pemeriksaan tanda-tanda vital.
2. Menghitung Pirani's Score
a. CLB (Curvature of the lateral border of the foot)
b. MC (Medial crease of the foot)
c. PC (Posterior crease of the ankle)
d. LHT (Lateral part of the head of the Talus)

3.1.3 Pemeriksaan Head to Toe


Kepala dan leher : tidak ditemukan adanya masalah
Thorax : tidak ditemukan adanya masalah
Abdomen : tidak ditemukan adanya masalah
Ekstremitas atas : tidak ditemukan adanya masalah
Ekstremitas bawah : Adanya keterbatasan aktivitas karena bentuk kaki
yang abnormal, adanya keterlambatan atau
kesulitan berjalan. Biasanya timbul tanda iritasi kulit,
seperti kemerahan apabila kaki terpasanga gips dan
jarang diganti.

3.2 Diagnosa Keperawatan Umum


1. Resiko gangguan pertumbuhan b/d kelainan kongenital
muskuloskeletal: CTEV ditandai dengan deformitas kaki
2. Kurang pengetahuan tentang proses pengobatan b/d kurang
informasi
3. Nyeri akut b/d luka post operasi
4. Resiko infeksi b/d tindakan invasif, insisi post pembedahan
5. Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik pemasangan gips
6. Ansietas b/d ancaman integritas biologis aktual atau yang dirasa
sekunder akibat prosedur invasif yang akan dijalani
7. Hambatan mobilitas fisik b/d kekuatan dan ketahanan sekunder
akibat kerusakan muskuloskeletal: CTEV dan alat eksternal
berupa gips
8. Gangguan citra tubuh b/d perubahan dalam penampilan
sekunder akibat kehilangan fungsi tubuh
9. Risiko jatuh b/d gips dan perubahan mobilitas sekunder akibat
tidak dapat berdiri dengan telapak kaki rata diatas tanah
3.3 Rencana Keperawatan
1. Risiko gangguan perkembangan b/d kelainan kongenital
muskuloskeletal: CTEV ditandai dengan deformitas kaki
Tujuan: Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 4x24 jam, klien
terhindar dari risiko gangguan perkembangan
NOC
Anak akan mencapai penanda perkembangan yaitu tidak mengalami
keterlambatan 25% atau lebih pada salah satu atau lebih area sosial atau
perilaku pengaturan diri atau keterampilan kognitif, bahasa, motorik kasar,
atau motorik halus misal klien yang berumur 3 bulan bisa berguling,
mengenggam, mengangkat, memasukkan sesuatu ke mulut.
NIC
a. Lakukan pengkajian kesehatan yang seksama (misal riwayat anak,
lingkungan keluarga, riwayat pranatal dan pascanatal, skrining
perkembangan)
b. Identifikasi harapan orangtua kepada anak di masa depan
c. Bantu keluarga untuk menemukan sumber-sumber dan dukung
usaha koping
d. Bantu klien untuk mencapai tingkat perkembangan selanjutnya
melalui penugasan tugas-tugas spesifik yang sesuai dengan
tingkatnya
e. Bina hubungan terapeutik dan saling percaya dengan pengasuh anak
f. Berikan aktivitas bermain yang sesuai, dukung aktivitas dengan anak
lain
g. Ajarkan pada keluarga tentang penanda perkembangan yang normal
dan perilaku yang sesuai dengan usia anak
h. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi dan orthopedik

2. Kurang pengetahuan tentang proses pengobatan b/d kurang informasi


Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1x24 jam,
klien mengetahui tentang proses penyakit
NIC
a. klien dapat mendeskripsikan perjalanan penyakit
b. klien dapat mendeskripsikan tindakan untuk menurunkan
progresifitas penyakit
NOC
a. Gambarkan proses penyakit
b. Sediakan informasi tentang kondisi pasien
c. Diskusikan pilihan terapi
d. Gambarkan rasional rekomendasi manajemen terapi
e. Eksplorasi kemungkinan sumber dukungan

3. Nyeri akut b/d luka post operasi


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
pasien dapat mengontrol nyeri
NOC
a. Klien dapat mengenali faktor penyebabnya
b. Klien dapat menggunakan metode pencegahan
c. Klien melaporkan nyeri berkurang atau sudah terkontrol
NIC
a. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi,
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
b. Ajarkan tentang teknik non farmakologis, misalnya teknik distraksi
c. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri bila diperlukan
d. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

4. Resiko infeksi b/d tindakan invasif, insisi post pembedahan


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam
pasien mengetahui cara-cara mengontrol infeksi dan terhindar dari
infeksi
NOC
a. Klien dapat mendeskripsikan tanda dan gejala infeksi
b. Klien dapat melakukan penatalaksanaan yang tepat untuk
mencegah terjadinya infeksi
c. Tidak terjadi infeksi pada klien
NIC
a. Pertahankan teknik isolasi
b. Gunakan universal precaution dan gunakan sarung tangan selama
kontak dengan kulit yang tidak utuh
c. Kaji warna kulit, turgor, dan tekstur. Cuci kulit dengan hati-hati
d. Pastikan teknik perawatan luka yang tepat
e. Ajari pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi. Apabila terjadi
diharap melapor pada perawat
f. Ajarkan klien dan anggota keluarga bagaimana mencegah infeksi

5. Kerusakan integritas kulit b/d trauma mekanik pemasangan gips


Tujuan :Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam
diharapkan integritas kulit klien intake dan terhindar dari kerusakan
NOC
a. Menunjukkan integritas jaringan kulit yang dibuktikan oleh
indikator:
1) Suhu hangat, kulit elastis, kelembapan terjaga, dapat
merasakan sensasi
2) Perfusi jaringan dalam kondis baik
3) Keutuhan kulit terjaga
b. Keluarga menunjukkan rutinitas perawatan area yang di gips
yang optimal
c. Eritema kulit dan eritema di sekitar area yang di gips minimal
NIC
a. Observasi adanya kemerahan, pembengkakan, atau tanda-
tanda dehisensi atau eviserasi pada area yang di gips dan
sekitarnya
b. Skin care: graft site
1) Pastikan bahwa semua tepi gips halus dan bebas dari
proyeksi pengiritasi
2) Jangan membiarkan anak memasukkan sesuatu ke dalam
gips
3) Waspadai anak yang lebih besar untuk tudak memasukkan
benda-benda kedalam gips, jelaskan mengapa ini penting
4) Jaga agar kulit yang terpajan tetap bersih dan bebas dari
iritan
5) Lindungi gips selama mandi, kecuali jika gips sintetik tahan
terhadap air
6) Selama gips dilepas, rendam dan basuh kulit dengan
perlahan
c. Swallonging therapy
1) Dorong untuk ambulasi sesegera mungkin
2) Ajarkan penggunaan alat mobilisasi seperti kurk untuk kaki
yang di gips
3) Dorong anak dengan alat ambulasi untuk berambulasi
segera setelah kondisi umumnya memungkinkan
4) Dorong aktivitas bermain dan pengalihan
5) Dorong anak untuk menggunakan sendi-sendi di atas dan di
bawah gips
d. Ajarkan keluarga tentang perawatan area yang di gips, termasuk
tanda dan gejala abnormal, serta menghindari penekanan pada
area tersebut.
e. Pressure management
1) Tinggikan ekstremitas yang di gips
2) Kaji bagian gips yang terpajan untuk mengetahui adanya
nyeri, , nyeri bengkak, perubahan warna (sianosis atau
pucat), pulsasi, hangat, dan kemampuan untuk bergerak
3) Rawat gips basah dengan telapak tangan, hindari
penekanan gips dengan ujung jari (gips plester)
4) Tutupi tepi gips yang kasar dengan petal adesif
5) Jangan menutupi gips yang masih basah
6) Jangan mengeringkan gips dengan kipas pemanas atau
pengering
7) Gunakan kipas biasa di lingkungan dengan kelembaban
tinggi
8) Bersihkan area yang kotor dari gips dengan kain basah dan
sedikit pembersih putih yang rendah abrasive

6. Ansietas b/d ancaman integritas biologis aktual atau yang dirasa


sekunder akibat prosedur invasif yang akan dijalani
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1x24 jam,
tingkat ansietas klien menurun atau ansietas menghilang
NOC
a. Klien mengatakan sudah siap menghadapi operasi demi
kesembuhannya
b. Klien tidak menangis dan tidak lagi mengeluarkan keringat dingin
c. Klien terlihat tenang
NIC:
a. Mengkaji tingkat kecemasan termasuk aktifitas fisik setiap 4 jam
sekali
b. Gali bersama klien tentang teknik yang berhasil dan tidak berhasil
menurunkan ansietas di masa lalu
c. Dampingi klien, bicara dengan tenang, dan berikan ketenangan
serta rasa nyaman
d. Dorong klien untuk mengungkapkan secara verbal pikiran dan
perasaan untuk mengeksternalisasi ansietas
e. Jelaskan pada klien bahwa apa yang akan dihadapinya untuk
kebaian dan kesembuhannya
f. Ajarkan teknik imajinasi terbimbing dan relaksasi progresif
g. Berikan reinforcement positif ketika klien mampu mengatasi ansietas
h. Berikan permainan yang disukai klien
i. Meminta keluarga untuk memberi support dan memenuhi kebutuhan
klien

7. Hambatan mobilitas fisik b/d kekuatan dan ketahanan sekunder akibat


kerusakan muskuloskeletal: CTEV dan alat eksternal berupa gips
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 5x24 jam, klien
siap
dan mampu berimobilisasi
NOC
a. Klien mampu berimobilisasi tanpa menggunakan perantara atau alat
bantu
b. Kaki klien normal (tidak bengkok)
c. Klien dapat berdiri dengan telapak kaki rata diatas tanah
NIC
a. Lakukan ROM aktif untuk mencegah kontraktur terutama ekstremitas
bawah
b. Siapkan kondisi fisik dan emosi anak akan dilakukannya tindakan
operasi
c. Kolaborasi dengan dokter terkait pelaksanaan tindakan operasi kaki
klien
d. Kolaborasi pemberian analgesik untuk mengurangi nyeri pasca
tindakan operasi
e. Dorong untuk ambulasi sesegera mungkin setelah kondisi umumnya
memungkinkan
f. Bantu anak untuk belajar berjalan dengan posisi yang benar mulai
dari mengelilingi kamar sampai berhasil berjalan di lingkungan luar
g. Dorong aktivitas bermain dan pengalihan
h. Beritahu keluarga untuk mencegah aktifitas yang berat selama
proses penyembuhan agar tidak terjadi dislokasi

ubuh b/d perubahan dalam penampilan sekunder akibat kehilangan


Tujuan: Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5x24 jam, klien
mengungkapkan penerimaan terhadap penampilan yang baru
NOC
a. Mendemonstrasikan keinginan dan kemampuan untuk mengambil
perawatan diri/ tanggung jawab peran
b. Memantapkan kembali sistem pendukung yang ada
NIC
a. Dorong klien untuk mengekspresikan perasaan khususnya mengenai
penampilan dirinya
b. Gunakan bermain peran untuk membantu pengungkapan
c. Fokuskan anak pada perubahan tubuh
d. Siapkan orang terdekat terhadap perubahan fisik dan emosional.
Dukung keluarga dalam upaya beradaptasi
e. Dorong kunjungan dari teman sebaya dan keluarga (surat, telepon)
f. Beri kesempatan berbagi rasa dengan individu yang mengalami
pengalaman yang sama
g. Bantu resolusi melalui pembedahan yang membuat perubahan citra
tubuh

9. Risiko jatuh b/d gips dan perubahan mobilitas sekunder akibat tidak
dapat berdiri dengan telapak kaki rata diatas tanah
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 5x24 jam klien
terhindar dari risiko jatuh
NOC
a. Bentuk kaki klien normal
b. Klien dapat menapakkkan telapak kakinya diatas tanah dan
berdiri serta berjalan tanpa alat bantu
c. Lingkungan terhindar dari faktor-faktor yang meningkatkan risiko
jatuh
NIC
a. Identifikasi faktor yang mempengaruhi kebutuhan keamanan
misalnya defisit sensorik dan motorik (berjalan dan keseimbangan)
b. Identifikasi faktor lingkungan yang memungkinkan risiko terjatuh
(misal lantai licin, karpet sobek, anak tangga tanpa pagar
pengamanan)
c. Berikan edukasi pada orang tua berhubungan dengan strategi
dan tindakan untuk mencegah kemungkinan jatuh
d. Meminta keluarga untuk membantu klien terhadap aktifitas yang
dirasa berat dilakukannya sendiri
e. Anjurkan keluarga untuk menyiapkan lingkungan yang aman
DAFTAR PUSTAKA

Apley Graham A. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley. Ed


7. Jakarta: PenerbitWidya Medika, 1995.
Ribes Ramon. Learning Diagnostic Imaging . Heidelberg: Springer, 2008
Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. EGC. Jakarta.3.Salter,
Robert B. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal
system.Edisi 3, 2008. Jakarta : FKUI RSCM
Rasjad, Chairuddin. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Edisi 3, 2009. Jakarta :
PT.Yarsif Watampone
Crenshaw AH.Campbells Operative Orthopaedics. 7th ed. Missouri: Mosby Co,
1987.
Clubfoot . T a k e n f r o m http://emedicine.medscape.com/article/12370
77-overviewonJanuary 1, 2012.
C l u b f o o t I m a g i n g . Tak e n f r o m http://emedicine.medsca
pe.com/article/407294-overview#showallon January 1, 2012.5.Orto-
CTEV. Taken
from www.staff.undip.ac.id/FK/tantiajoe/files/2016/01/orto-
ctev.doc
C a m p b e l l S u z a n n a K . Physical Therapy in Children. P h i l a d e l p h i a :
W . B . S a u n d e r s Company, 1995.
Lovell Wood W, Winter Robert B. Pediatric Orthopaedics. 2nd ed.
Philadelphia: J.B.Lippincott company; 1986.
Ferner H, J. Staubesand. T h e S o b o t t a A t l a s o f H u m a n A n a t o m y ,
Vol I I , E d . B a h a s a Indonesia. Jakarta: EGC Penerbit Buku
Kedokteran, 1985.

Anda mungkin juga menyukai