Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Cerita Tentang Munculnya Lingga

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

CERITA TENTANG MUNCULNYA LINGGA

Kata Nandikeshwara:
Suatu kali, ketika penciptaan dimulai Brahma, ia yang memiliki lima wajah duduk diatas
lotus, hingga datanglah Wisnu. Wisnu yang sangat tampan tidur diatas lingkaran ular besar
Adisesha menyambutnya dengan berbagai upachara.
Penciptaan terjadi begitu saja tanpa ada yang membuat Brahma bangga. Ketika harga-diri
memenuhinya muncullah Siwa Maya, penggoda Siwa. Itulah yang terjadi pada Brahma. Ia marah
pada Wisnu karena tidak menunjukkan rasa hormat dan karena ia tertidur. Ia berpikir, Ialah
pencipta, ayah dari semuanya. Ia mendekati Wisnu dan membangunkannya dan mengatakan
bahwa ia akan mendapat balasan atas kelalaiannya itu.
Wisnu sangat marah karena ia berpikir bahwa Brahma yang lahir dari pusarnya harus
menghormatinya. Apalagi, kemudian ia berpikir, bahwa ia adalah penjaga semuanya, pemelihara
semuanya. Dengan bibir tersenyum, tanpa menunjukkan amarahnya, Wisnu berkata pada
Brahma bahwa ialah yang akan mendapatkan balasannya. Setelah berkata seperti itu iapun
memuji dirinya.
Keduanya bertikai. Ini menjadi semakin sengit dan menjadi perang. Brahma dan Wisnu
kemudian keduanya terbelenggu oleh Siwa Maya. Masing-masing pendukungnya mendukung
junjungannya. Masing-masing mengaku ada dimana mana dan sangat kuat.
Sebagai akhirnya, Wisnu menggunakan senjata Maheswaranya. Brahma menggunakan
senjata Pashupatanya. Kedua rsi dan para bidadari tercengang. Mereka semua pergi ke Kailsasha
mencari perlindungan pada Siwa untuk mendapatkan kedamaian.
Siwa menghilang setelah memberikan mereka perlindungan dan berdiri sebagai pillar api
yang besar dan bercahaya. Dengan cahaya sucinya senjata Brahma dan Wisnu terserap. Dalam
cahaya yang gemerlap itu baik Brahma atau Wisnu sangat terpukau. Semua yang hadir disana
terkesima. Cahaya ini tak tertahankan olehnya. Pilar cahaya ini juga adalah pilar api. Tidak
berawal dan tidak berakhir. Untuk menemukan pangkalnya Wisnu menjadi Sweta Varaha, babi
hutan putih, dan pergi menyelami awal semuanya. Brahma dalam pencarian yang sama juga
mencari ujung pillar itu. Keduanya gagal menjalankan misinya. Ketika itu pula Brahma melihat
bunga Ketaki yang jatuh, ia meminta bunga untuk menjadi saksi bahwa ia melihat ujung pilar itu.
Bunga Ketaki dan Brahma menuju medan perang. Wisnu disana dengan muka yang malu.
Brahma telah mendapatkan kemenangan dengan bunga Ketaki sebagai saksinya. Wisnu
menerimanya dan menerima kesuperioran Brahma. Kemudian Wisnu memberikan hormat serta
menghaturkan upacara pada Brahma.

Siwa bermanifestasi untuk memberkahi Wisnu


Saat ahamkara, keegoisan dan kesuperioran Wisnu hilang, demikian juga dengan
penggoda Siwa, yang juga menghilang. Wisnu mengulangi nama Siwa dengan ketetapan hati
(Chitta). Dengan pemujaan yang dilakukan Wisnu, Siwa menjadi berkenan dan mengampuni.
Dari pilar api itu Ia bermanifestasi dengan satu mata pada dahinya selain mata yang ada pada
wajahnya, dengan tenggorokan yang berwarna biru dan sebuah bulan sabit pada rambutnya yang
bergelung. Ia memandangi Wisnu dengan mata yang lembut. Dengan pikiran dan hati yang
dipenuhi kebahagiaan Wisnu menyanyikan lagu suci Siwa.

Siwa yang memiliki tubuh bagaikan kristal menjanjikan Sri Hari dengan tubuh berkilai
bagai safir.
Wahai Narayana! Seandainya engkau berbohong seperti Brahma, engkau akan menang.
Tetapi kau tidak mau melakukan kebohongan itu. Dengan kebenaran engkau membuatku sangat
berkenan. Kebenaran itu abadi. Ia yang memagang teguh Kebenaran akan abadi. Mulai saat ini
engkau akan dipuja di ketiga dunia, di surga, di bumi dan di alam bawah, seperti Aku. Banyak
tempat suci dipersembahkan padamu seperti aku sebagai kshetra. Pemujaan juga akan banyak
diadakan untukmu. Siwa memberkahi Wisnu dan menghukum Brahma untuk dipenggal.
Bhava, yang juga disebut sebagai Sambasiwa, menciptakan Bhairawa untuk memberikan
pelajaran pada Brahma. Ia memerintahkan:
Bhairawa! Hukum Brahma dengan memenggal kepalanya!
Bhairawa kemudian menajamkan pedangnya dan memegang kepala Brahma. Ia
memotong kepala pertamanya. Ketika kepalanya yang lain juga akan menemui nasib yang sama,
Brahma memohon ampun pada Siwa.
Kesedihan pencipta Brahma sangat menyentuh hati karena ia juga lahir dari pusar Wisnu.
Brahma memohon hidup pada Siwa. Wisnu juga memohon pada Siwa. Siwa mengabulkan
permohonan itu.
Siwa mengijinkan Brahma menjalankan kewajibannya sebagai pencipta tetapi
mengutuknya bahwa ia tidak akan dipuja lagi. Pada akhirnya Brahma juga mendapatkan
pengampunan lain. Pada semua upacara api Brahma dihormati sebagai pencipta. Ritual yang
tidak memberikan penghormatan pada Brahma tidak akan mendatangkan hasil.

Siwa menghukum Ketaki


Ketaki berdiri dihadapan Siwa dengan tubuh gemetar. Siwa mengutuknya bahwa ia tidak
akan digunakan lagi pada pemujaan manapun. Para bidadari dan dewa yang menggunakan ketaki
pada rambut mereka, membuangnya. Kemudian bunga itupun memohon ampun pada Siwa.
Tersentuh hatinya, Dewa Siwa mengatakan bahwa Ketaki bisa digunakan sebagai payung oleh
pemujanya saat memuja Siwa.

Keagungan Siwaratri
Setelah Siwa melakukan itu semua, Iapun menjadi dewa yang dipuja bahkan oleh Sang
Pencipta, Brahma dan juga dewa pemelihara, Wisnu. Mereka semua menghaturkan sembah
padanya.
Siwa sangat berkenan. Ia mengumumkan bahwa hari hari tertentu akan di ingat
selamanya sebagai Siwaratri. Malam itu akan diingat sebagai Siwaratri (Malam Siwa). Pada hari
itu, siapun yang memuja Nya dan juga berpuasa serta begadang (melakukan jagarana) akan
mendapatkan pahala yang setara dengan pemujaan biasa yang dilakukan dalam setahun. Hari itu
adalah hari suci bagi pratishtha (pengukuhan) Lingga Siwa dan merayakan Siwa Kalyana, utuk
membangun kuil. Hari keempat belas, bulan Margashira dibawah naungan bintang Arudra akan
sangat baik untuk memuja Siwa. Tempat dimana Siwa berubah wujud menjadi sebuah linggam
api dan cahaya akan dikenal dengan nama Linggastanatempat lingga. Tempat api itu menyala
juga akan menjadi Lingga Siwa. Tempat darimana api itu keluar atau berkobar akan disebut
dengan Arunacala- yang berarti gunung merah. Ini akan menjadi peziarahan terkemuka diantara
Kshetra Siwa (peziarahan suci Siwa). Bagi mereka yang memuja Siwa tentu akan mendapatkan
tempat si Siwaloka misalnya di Sallokya, Samipya dan Sayujya (tempat pada loka yang sama,
kedekatan dan penyatuan. Pada saat akhir pemujaan pada hari Siwaratri, Siwa memberitahu
Brahma dan Wisnu bahwa ia bemanifestasi menjadi pilar api yang besar hanya untuk
memperlihatkan pada mereka Parama Tatwa- sifat Kenyataan Mutlak. Ia juga bisa bermanifestasi
dengan sifat atau bahkan tanpa wujud, tidak bisa dibandingkan dengan apapun dan dalam wujud
yang tidak terbatas. Dualitas kualitas dengan apa yang disebut dengan Nirakara Nirguna dan
Sakara Nirguna. Yang pertama adalah Niskala dan yang kedua adalah Sekala. Dewa Siwa adalah
keduanya. Ia kemudian lebih jauh lagi mengatakan pada mereka bahwa tidak ada bedanya antara
Ia dan lingga. Ia menyarankan kepada mereka berdua untuk melanjutkan tugasnya tanpa saling
bertikai lagi. Ia berkata bahwa Ia akan tinggal disebuah tempat. Ia menyerap dalam segala hal.
Mereka yang memasang lingga Siwa akan tinggal di Kailasa seperti Siwa sendiri. Itulah
Sayujya. Hal yang paling banyak mendatangkan pahala adalah memasang Lingga Siwa. Ini
disebut dengan Pratisthana. Jika tidak memiliki lingga, maka patungnyapun bisa dipasang, dan
tempat dimana patung itu dipasang akan menjadi Siwa Kshetra.

Panchakritya

Baik Wisnu dan Brahma, mendengarkan dengan penuh perhatian semua yang telah
dijelaskan oleh Dewa Siwa mengenai lima perbuatan atau Kriya.

Dewa Siwapun menjelaskan pada Brahma dan Wisnu hal berikut ini:

Penciptaan berarti bertumbuh dengan ikatan dan aturan. Menjaga semuanya teratur dan
melindungi semua ciptaan dari ketidakteraturan adalah bisa dilakukan dengan menjaganya.
Membagi dunia makro dan menjadikannya dalam bentuk mikro adalah samhara- penghancuran.
Dan kemudian menjaganya hingga penciptaan yang berikutnya adalah thirodhana, atau terkadang
disebut dengan thirodhana sankalpa (mengalami kemunduran, atau kembali). Keempat kriya ini
saling berhubungan. Yang paling akhir dan paling utama adalah Anugraha berkah suci yang
membebaskan persembahan mukti (pembebasan). Hanya Siwa yang mampu memberikan
anugraha- berkah. Semuanya terlahir dari bumi, hanya dengan air semuanya bisa tumbuh. Hanya
melalui cahaya dan kehangatan mereka akan pergi. Dengan udara dan kedalam udara mereka
akan menghilang. Hanya akashalah yang nyata- yang berarti ia dengan wujud Dewa Siwa.
Untuk menjalankan kelima fungsi ini, Ia memiliki lima wajah. Dengan berkahnya,
sementara Dewa Brahma dan Wisnu menciptakan dan menjaga, penghancuran dan penarikan
kembali penciptaan dilakukan oleh Dewa Rudra atau Maheswara. Dewa Siwa sendiri mampu
melakukan rangkaian kriya yang kelima- Anugraha. Karena Rudra dan Maheswara melampaui
Ahamkara dan mentransendenkan egoisme- mereka tidak memiliki bentuk atau wujud selain
Siwa. Mereka memiliki kendaraan (wahana) yang sama, tempat duduk yang sama (asana) dan
juga wujud eksternal yang sama (vesha).
Dengan bertikai, Dewa Brahma dan Wisnu telah merendahkan diri mereka sendiri. Siwa
menyarankan agar Dewa Brahma dan Wisnu memberikan Shivapanchakshari mantra Om
Namahsiwaya dan Pranawa, Om yang berada dalam diri Siwa dan Shakti. Dari keduanya
muncullah pengucapan mantra. Dengan mengucapkan dan melakukan pengulangan mantra,
manfaat tertentu akan diperoleh. Semua mantra memberikan kebahagiaan dan juga kesenangan.
Tetapi Panchaksari mantra akan memberikan semua kesenangan dan kenyamanan dan bahkan
mukti (pelepasan diri).
Dengan menyuruh Dewa Brahma dan Wisnu menghadap ke utara, Dewa Siwa
memberikan mantra kepada mereka. Kemudian Ia juga memberkahi mereka dengan yantra dan
juga tantra. Yantra mengacu pada cara pemujaan dengan rancangan geometris dan juga aturan
tertentu yang sesuai dengan tantranya.
Kemudian keduanya Brahma dan Wisnu menyimpan Vrushakapi (perlambangan Siwa) di
tempat guru (guru sthana). Sebagai persembahan pada guru, mereka melakukannya dengan
sepenuh jiwa.
Kata Muni Suta:

Wahai Para rsi dan orang suci sekalian!


Mengucapkan mantra Panchakshari pada hari keempat belas bulan Marghashirsa dibawah
naungan Arudra akan memberikan manfaat yang tak terhitung. Tidak ada yang lebih bermanfaat
selain memuja Siwa dengan memasang Lingga Siwa baik dilakukan sendiri atau dilakukan oleh
brahmana dan memujanya dengan enam belas upachara, akan memastikan orang yang
melakukannya mencapai kediaman Dewa Siwa.

Berbagai Jenis pemujaan Lingga


Pada waktu yang suci (muhurta) waktu yang sangat nyaman bagi semua pemuja, ditepi
sungai suci, lingga harus dipasang (pratishthana). Lingga ini bisa dibuat dari tanah liat atau bisa
berupa tejo lingga. Jika bisa dibawa kemana-mana, haruslah kecil. Apapun bentuknya, sebuah
lingga harus memiliki sebuah dasar- panapatta. Bisa berbentuk segi empat atau segi tiga. Harus
terbuat dari bahan yang sama dengan lingga. Untuk lingga yang bisa dibawa kema-mana, lingga
dan panapattanya harus menyatu. Bagi mereka yang melepaskan diri dari ketetarikan duniawi, ia
yang mencari pembebasan, sebuah lingga dengan tinggi satu inci akan mencukupi. Mereka yang
membuat sebuah pratishtana haruslah membuat kanopi juga. Pahatan dewa-dewi, dewatagana,
harus mengelilingi tembok seperti yang disebutkan dalam shastra. Pintu masuk tempat ini harus
dihias dengan batu permata. Di bawah dasar lingga, pada sebuah lubang, batu berharga juga
harus diletakkan disana. Harus terdapat sebuah havana dan pemujaan dengan ucapan mantra
yang telah disebutkan. Orang yang melakukan ritual ini harus dihormati. Setelah pemujaan,
orang miskin harus diberi sedekah berupa makanan dan juga baju baru. Bahkan utsawa murti
yang dibawa pada saat prosesi bisa diletakkan pada sebuah tempat.

Penjelasan mengenai Lingga yang berbeda


Lingga ada dua jenis: yang tidak bisa berpindah, tetap ada disuatu tempat dan lingga yang
bisa dibawa kemana-mana, dinamis. Lingga yang dinamis bisa terbuat dari tanah-liat atau jaggeri
(gud), mentega atau tepung dan diletakkan pada ibu jari tangan kiri dan bisa dipuja dengan
mengucapkan mantra seperti yang disebutkan dalam buki suci.
Mereka yang tidak bisa melakukan upacara secara lengkap da menyeluruh bisa
memberikan danasedekah , yang juga adalah sebuah lingga.
Pranawa harus diucapkan berulang-ulang paling sedikit 1000 kali. Ini bisa dilakukan oleh
pemuja sendiri atau dengan bantuan pandit (Brahmana). Ini dianggap sebagai sebuah diksha
(komitmen suci) dari pemuja yang telah mengetahui dan juga telah mengetahui hal ini. Mereka
yang ingin mendapatkan berkah Siwa harus tinggal di Siwa Kshetra.

Dengan mengulangi Panchakshari lima crore kali maka manusia akan menjadi sama
dengan Dewa Siwa.
Dengan empat crore maka manusia akan sama dengan seorang Brahmana; jika seseorang
mengulangi mantra Gayatri seribu kali Siwa akan berkenan, dan akan menghadiahkan tempad di
kediamannya Kailasha.
Haruslah diingat bahwa pemujaan Siwa pada malam hari akan menghasilkan buah pahala
yang amat baik.
Setelah mendengar semua ini semua suta, pencerita purana (pauranik), para rsi dan juga
para orang suci ingin mendengar dan mengetahui lebih jauh lagi tentang Siwa Kshetra, kediaman
Dewa Siwa.

Sungai Dan Kshetra

Setelah mendengarkan perintah Dewa Siwa, Bumi telah menyangga berat ribuan gunung
dan juga sungai-sungai yang sangat banyak. Untuk memberkahi mereka yang hidup di bumi,
Siwa membuat Kshetranya, tempatnya, di suatu tempat. Dari kshetra-kshetra itu ada yang
muncul sendiri atau yang didirikan oleh para pemuja (para bidadari dan dewa) dan juga oleh
orang suci atau para rsi. Terdapat banyak pantai di lautan dan tepian sungai.
Kashi, misalnya, berada di tepian Sungai Gangga. Bagi mereka yang mandi di Narmada
dan melakukan puasa, maka ia akan menjadi pemimpin yang baik.
Sungai yang lain, yang juga dipuja adalah Govadari. Hanya dengan mengucapkan
namanya saja, Govadari akan menghancurkan dosa-dosa mereka. Varanasi telah menjadi tempat
yang terkenal karena menjadi Siwa Kshetra. Mandi di sungai Gangga akan menghasilkan pahala
ratusan Sandhya wandana (pemujaan pada saat matahari terbenam dan matahari terbit). Mandi
ratusan kali akan menjadi langkah pertama untuk belajar yoga. Tidak ada yang mampu
menggambarkan pahala kebajikan yang bisa diperoleh dengan mandi setiap hari di sungai
Govadari. Sungai Govadari memiliki kekuatan untuk membebaskan seseorang dari semua dosa-
dosanya dan memberkahinya dengan tinggal di Kailasha.
Pada semua kshetra, kediaman mulia, sangatlah penting untuk selalu berbakti dan tulus.
Dosa apapun yang dilakukan di tempat ini akan membuat seseorang menderita di neraka.
Baik punia (pahala yang baik) atau neraka (dosa) memiliki tiga aspek:
1. Aspek benih (bija)- ini bisa dihancurkan dengan jnana (pengetahuan dan kebijaksanaan).
2. Aspek pertumbuhan (vriddhi) ketertarikan untuk berbuat dosa dengan hal ini bisa dikendalikan
dengan melakukan perbuatan yang mendatangkan pahala.
3. Aspek pengalaman (anubawa) dengan Jnananamsa dan vriddhayamsa walaupun dosa sudah
sudah dihapus, beberapa pahala baik dan juga dosa harus dinikmati harus dilalui oleh orang
yang melakukannya. Itulah anubawa.

Untuk menghindari buah dosa, empat cara yang disarankan adalah:


1. Memuja Siwa
2. Memberikan sedekah bagi mereka yang pantas mendapatkannya.
3. Melakukan meditasi dan juga perenungan ( juga dsebut dengan tapasya).
4. Mengingat bahwa akan mendapatkan penderitaan yangb luar biasa dengan melakukan perbuatan
yang salah.
Karena yang keempat bukan cara untuk menghindari dosa, maka seseorang itu harus
melakukan banyak kebaikan untuk menghalangi papa (dosa). Mendengarkan Muni Suta yang
menjelaskan hal ini para rsi menanyakan cara menerapkan (sadachara) semua itu dengan baik.

Melakukan kebaikan dan juga penerapan yang sesuai

Kata Rsi Suta:


Seseorang harus bangun pagi. Ia harus bermeditasi pada dewa pilihannya. Ia harus
menjaga diri dan penghasilannya serta semua yang ia keluarkan. Ia harus menggunakan
waktunya dengan baik untuk menghasilkan uang dan melakukan perbuatan yang baik. Seseorang
itu harus memikirkan kesehatannya, kekuatannya, kemampuaanya, penghasilannya dan juga
pengeluarannya.
Ia kemudian harus mandi sebelum melakukan doa hariannya dan melakukan anusthan
seperti Gayatri atau yang lainnya, mengucapkan mantra yang tepat. Ini bisa dilakukan di rumah
atau kuil. Sampai berumur tujuh puluh tahun, seseorang harus mengurusi rumah-tangganya (jika
berumah-tangga) dan setelah itu ia harus menjalani hidup suci (sanyasin). Seorang Sanyasin
harus mengulangi pranawa mantra paling tidak dua belas kali sehari.
Hanya dengan mengikuti dharma (hukum suci) uang bisa diperoleh. Dharma harus
membentuk dasar semua tindakan. Uang bisa dicari dan dihabiskan sesuai dengan dharma.
Bahkan kesenanganpun harus dinikmati berdasarkan pada dharma.
Dharma ada dua jenis: yang pertama dharma yang dilakukan dengan bantuan uang-
seperti ritual, kratu, yajna dan yaga, dan dharma yang kedua adalah dengan tubuhsecara fisik,
misalnya pergi ke peziarahan, mandi di sungai suci atau laut, mengucapkan Gayatri Mantra dan
yang lainnya. Yang melibatkan pengetahuan, kebijaksanaan dan juga kecerdasan harus
melibatkan kedua jenis dharma ini. Dengan melakukan dharma, apapun yang bersifat duniawi
atau yang lainnya harus dimiliki.
Apakah itu dharma? Semua kekerasan adalah adharma. Membuat orang lain bahagia
adalah dharma. Adharma membuat kita sengsara dan dharma memberikan kita kedamaian dan
kesenangan.

Jenis-jenis Yadnya

Menghaturkan samagri (benda atau materi) pada api dalam havana disebut dengan
yadnya. Havana yang dilakukan untuk menghormati dewa tertentu misalnya Indra disebut
dengan dewa yagna. Brahma yadnya adalah ilmu yang mempelajari weda. Selain dari Agni (api)
ada dewa lain juga yang dipuja pada saat yadnya.
Tujuh hari yang ada memiliki dewa tersendiri. Memuja mereka akan mendatangkan
pahala seperti berumur panjang, kesehatan, kekayaan dan juga ilmu pengetahuan. Mantra, japa,
havana adalah ketiga hal yang berkaitan dengan ritual api. Dana (sedekah) dan memberikan
makanan pada pemuja dan orang yang tak punya juga adalah yadnya. Ada tiga jenis yadnya yang
berbeda untuk mencapai hasil tertentu. Semua ini dilakukan sesuai dengan prosedur dalam kitab
suci, akan meningkatkan kesehatan seseorang. Bahkan dengan mendengarkan pada cerita tetang
yadnya ini akan menghasilkan pahala saat melakukan dewa yadnya.

Waktu dan tempat untuk melaksanakan Dewayadnya


Para rsi dan para orang suci meminta Suta untuk memberitahu mereka tempat yang
mana- desa, waktu- kaala, jaman yang tepat melakukan dewayadnya. Sebuah rumah yang bersih,
tepian sungai, pohon Bilva (bel), tumbuhan basil dan Aswatha (pipal) adalah tempat yang tepat.
Tepi laut sepuluh kali lebih baik daripada sebuah sungai dan puncak gunung sepuluh kali lebih
baik daripada tepi laut. Pada masa Kaliyuga, buah yadnya datang lebih cepat dibandingkan
dengan jaman Kritayuga. Sebuah hari yang suci yang sesuai dengan almanak (panchanga) adalah
hari yang baik. Prosedur pemujaan mungkin berbeda antara satu rumah dengan rumah yang lain,
karena tiap rumah atau keluarga memiliki cara yang sedikit berbeda untuk pemujaan. Memuja
Parthiwa lingga, atau lingga yang terbuat dari tanah liat, akan melindungi kepala rumah tangga
dan juga keluarganya dari kematian atau bahaya.

Memuja Parthiwa Lingga


Lingga harus terbuat dari tanah liat yang diambil dari dasar sungai dan mencampurnnya
dengan bubuk cendana dan susu. Karena percikan air akan membuat lingga ini rusak (meleleh),
maka hanya bunga yang digunakan pada saat puja (pemujaan). Di rumah pemujaan seharusnya
diikuti dengan annadaana (memberikan makanan pada orang yang tidak punya selain juga teman
dan sanak keluraga. Dhupa, deepa dan naivedya serta japa harus dilakukan. Untuk menghasilkan
tujuan puja tertentu, terdapat hari tertentu dalam seminggu dan tithis pada malam tertentu yang
bersifat khusus.

BinduNada Lingga
Bindu adalah titik, atau tetes adalah shakti. Nada adalah suara yang adalah Siwa- dan
seluruh jagat raya menyerap ke dalam nada. Nada adalah dasar dari penciptaan dan lingga adalah
kesatuan dari keduanyaShiva dan Shakti. Maka tidak ada bedanya antara Siwa dan Shakti.
Lingga Siwa bermanifestasi dalam enam cara dan masing-masing memiliki dua aspek.
Suara A adalah lingga achara dan Lingga Guru; suara u adalah guru lingga dan chara
lingga. Suara m adalah suara dari Lingga Siwa dan Lingga Yantra. Bindu adalah Lingga Chara
dan Lingga Bindu. Nada adalah prasada mantra lingga dan lingga pranawa. Terdapat empat cara
kunci untuk mendapatkan berkah: memakai rudraksha, menggunakan abu suci, mengulangi
panchakshari Siwa dan memuja Siwa ( di kuil, di rumah atau di Khsetra). Pemuja yang
sebenarnya memuja dengan tulus. Orang yang seperti itu akan mencapai mukti dan mendapatkan
Sayujya Siwa.

Akibat Pengucapan pranawa dan Panchaksari

Para rsi dan orang suci bertanya pada Maharsi Suta untuk memberikan mereka
pencerahan tentang Siwa Panchakshari.
Kata Suta Pauranik:
Hanya Siwa yang bisa menjelaskan tentang Panchaksari secara lengkap tetapi aku akan
berusaha sebaik mungkin.
Siwa sendiri adalah yang bisa membantu kita untuk melewati lautan kehidupan duniawi.
Nava adalah perahu; Pranawa itu ada dua jenis: yang makro (sthula) dan mikro (suksma).
Suksma memiliki satu huruf dan sthula memiliki lima huruf. Terdapat tiga tahap, tingkatan yaitu:
kriya yoga, tapa yoga dan japa yoga. Satu tapoyogi lebih agung dari sepuluh kriya yogi dan
sebuah japa yogi lebih agung daripada sepuluh tapoyogi. Bagi mereka yang adalah pemuja Siwa,
walaupun ada grihasta (tahap hidup berumahtangga), Panchakshari sendiri adalah sthula
pranawa, wujud makro pranawa seseorang.

Bandha Moksha (Ikatan dan pembebasan)


Suta menjelaskan lebih jauh lagi apa yang dimaksud dengan Bandha dan Moksha.
Prakirthi (alam), buddhi (intelek) dan ahamkara (kebodohan) dan panchabutha (lima
unsur) inilah ikatan. Ia yang terikat dengan semua ini adalah yang terikat. Pada saat seseorang
hidup maka seseorang itu secara literal terikat oleh delapan ikatan ini.
Ia yang mengerti hal ini adalah orang yang terbebaskan Ia yang mencapai pembebasan
atau moksha.
Jiwa adalah ikatan dan tubuh akan mengalami siklus seperti sebuah roda. Hanya Siwa
yang melampaui prakirti. Untuk bebas dari ikatan ini seseorang harus mencari perlindungan
terhadap Siwa sendiri. Dengan cara seperti itu, maka berkahnya akan diperoleh. Bahkan, untuk-
Nya yang sempurna dan tanpa kesadaran (Siwa adalah yang tidak memiliki spruha- kesadaran; Ia
adalah nispruha. Sebenarnya puja tidak perlu dilakukan untuknya. Tetapi puja dilakukan untuk
menghormatinya karena Ia adalah niraakaara dan nirguna. Ia akan menjadi saguna dan sakara
untuk memberkahi pemujanya. Dengan berkahnya segalanya akan terkendali. Tubuh dan
tindakan ketika dikendalikan, maka keberadaan akan menjadi semakin berevolusi dan
berkembang. Masing-masing perkembangan itu atau jiwa itu akan mendapatkan salokya berada
di loka yang sama dengan Siwa. Kemudian Ahamkara tersingkap dan buddhi berkembang.
Ketika chitta (hati- pikiran intelek) terkendali, maka manusia menjadi seorang yogi. Orang
yang seperti itu akan memiliki wujud yang sama bahkan dengan Siwa sendiri (Sarupya).
Terkecuali Shivapujan, tidak ada cara lain untuk mendapat pembebasan dari ikatan.
Diantara chara lingga, Rasa lingga adalah yang terbaik untuk Brahmana. Sedangkan untuk
kshatriya adalah banalingga, bagi Wesya adalah swaran lingga dan Siwa lingga untuk sudra.
Bagi Suhagana (wanita suci yang menikah) lingga dari tanah liat dan bagi yang sudah menjadi
janda, lingga dari kristal adalah yang terbaik. Bagi mereka yang menghindari perbuatan buruk,
selalu ada di jalan Dharma, bisa memuja Siwa pada tangan kirinya sebelum makan. Setelah
menghaturkan makanan pada lingga (naivedya) mereka boleh makan. Lingga bisa digantung di
leher kita sebagai kalung. Inilah yang diajarkan padaku oleh Rsi Wedavyasa dan aku meneruskan
apa yang ia telah ajarkan padaku kepada kalia semua. Semoga kalian semua mendapatkan berkah
Dewa Siwa.
Itulah yang dikatakan Suta.

Pahala memuja Parthivalingga

Wahai para Rsi dan Orang suci!

Dari semuanya lingga yang terbuat dari tanah liat adalah yang terbaik. Hanya melalui
pemujaan Parthivalingga, Brahma, Wisnu dan Indra bisa memperoleh berkah. Pada jaman
Kritayuga, lingga dari permatalah yang digunakan, dan pada jaman Tretayuga lingga yang
terbuat dari emaslah yang dipuja. Pada jaman Dwapara yuga, Rasalinggalah yang dipakai dan
pada jaman Kaliyuga, Parthivalinggalah yang dikatakan sebagai yang terbaik. Dalam pembuatan
Parthivalingga tidak ada pantangan tertentu dari panca sutra. Tanah liat ini dipakai untuk
membuat lingga, secara keseluruhan. Tetapi mereka yang memasangkannya (meletakkannya)
pada suatu tempat haruslah dua orang. Bagi mereka yang mengetahui lingga mahawidya,
linggam sendiri adalah Mahadewa.
Sebuah prosedur telah ditetapkan dalam kitab suci dan sastra dalam melaksanakan atau
menghaturkan ritual dengan enam belas upachara.

Keinginan dan jumlah lingga yang harus dipuja untuk pemenuhannya

Mereka yang menginginkan kemajuan dalam bidang pendidikan harus memuja ribuan
parthivalingga. Mereka yang menginginkan kekayaan harus memuja lima ratus lingga, mereka
yang menginginkan keturunan laki-laki harus memuja seribu lima ratus lingga, mereka yang
menginginkan pembebasan harus memuja ribuan lingga dan bagi mereka yang menginginkan
tanah (properti), lima ratus buah dan yang seterusnya. Hanya dengan menghaturkan sembah pada
lingga, seseorang akan bebas dari kesedihan dan juga keraguan.
Tidak ada cara yang lebih baik ataupun lebih mudah selain menyeberangi gelombang
kehidupan yang amat besar sengan memuja Siwa. Dikatakan hanya dengan melakukan pemujaan
yang bisa membuka mata mereka yang buta atas kebodohan dan kesenangan duniawi. Tiga
material penting dalam memuja Siwa adalah i) Abu Suci ii) Rudraksha dan iii) daun bilwa (bilwa
patra).
Daun Bel (bilwa) adalah perwujudan Dewa Siwa. Dipercaya bahwa pada akar pohon ini,
semua tempat suci atau peziarahan berada. Jika seseorang melakukan pemujaan di bawah pohon
ini, akan merangsang pertumbuhan Vamsha (keturunan). Mereka yang menyalakan lampu pada
pohon ini akan mendapatkan Jnana Siwa. Jika seorang Brahmana diberikan makanan di bawah
pohon ini maka akan memberikan pahala sama seperti memberikan makanan pada seribu orang
lebih. Mereka yang memberkan nasi (nasi yang dimasak dengan susu paramaanna dan ghee,
tidak akan pernah menderita kemiskinan.

Pahala bagi yang menggunakan abu suci


Bashma abu suci, terdapat dua jenis: swalpa bhasma dan mahabhasma. Dari kedua
shrauta, smarta dan laukila vibhuti terlahir. Brahmana, kshatriya dan Vysyas mengoleskan abu
ini dengan mantra yang mengagungkan Dewa Siwa.
Semua dosa dan perbuatan buruk akan dibersihkan dengan mengoleskan abu suci ini
membentuk tiga garis pada dahi (tripundra).
Untuk Siwapuja paling tidak dua hal penting yang harus diperhatikan yaitu abu suci dan
rudraksha benih pohon Cedar.
Mengunjungi mereka yang memiliki keduanya (bhasma dan rudraksha) akan membuat si
pengunjung membersihkan dosanya. Mereka yang tidak mengoleskan abu suci, tidak memakai
Rudraksha dan tidak mengucapkan nama Dewa Siwa dengan penuh pengabdian, adalah orang
yang paling buruk begitulah yang dikatakan orang bijaksana dan mulia.

Keampuhan Rudraksha cara memakainya


Setelah menjelaskan keagungan dan keampuhan (mahima) rudraksha, Maharsi Suta
ditanyai lebih jauh lagi mengenai benih suci ini.
Suatu kali Rudra melakukan tapasya, pernungan yang berlangsung selama bertahun-
tahun. Ketika ia mencapai kesadaran akan sekelilingnya dan membuka matanya beberapa titik air
mata jatuh. Satu butir air mata itu jatuh di daerah Gowda dan yang lainnya sampai ke Mathura,
Ayodya, Lankapatna, Gunung Malaya, Sathyagiri dan Kashi. Air-mata yang jauh ini seketika itu
juga menjadi rudraksha. Karena berasal dari mata Siwa, maka disebutlah sebagai Rudraksha.
Rudraksha sangat ampuh menghapus kesedihan semua maklhuk.
Siwa, yang Maha pengasih, memberikan Rudraksha ini pada pemuja dari semua kasta.
Rudraksha dengan ukuran sebuah biji regu (Zizyphus jujuba) akan memberikan ketenangan dan
kekayaan. Yang memiliki ukuran sebuah biji Gooeseberri (amla) akan mengurangi keburukan.
Yang memiliki ukuran seperti sebuah guru-vinja (sebuah biji kecil, yang berwarna merah pada
ujungnya dan berwarna hitam pada bagian bawah, akan memenuhi semua keinginan hati
pemakainya. Rudraksha lebih ampuh ketika ukurannya kecil. Bisa dipakai seperti seutas tali
untuk japa (mengulangi nama dewa).
Ini bukan berarti bahwa semua rudraksha itu bisa digunakan semuanya. Yang memiliki
biji yang bulat, kuat dan kokoh adalah yang baik. Yang bijinya cacat, patah dan tidak bulat tidak
bisa dipakai. Tidak baik dipakai memuja.
Yang tidak memiliki lubang, tidak baik dipakai. Mereka yang memakai seribu seratus
rudraksha akan menjadi rudra swarupa.
Muni Suta kemudian memberitahu semua rsi dan orang-orang suci berapa banyak
rudraksha yang harus dipakai, dimana memakainya, kapan dan bagaimana caranya. Mereka yang
menggunakannya harus memathui beberapa prinsip utama. Mereka harus mengucapkan mantra
juga ketika memakainya.
Terdapat empat belas jenis rudraksha bergantung dari jumlah wajah yang dimilikinya.
Yang memiliki empat belas adalah perwujudan Parameshwara sendiri.
Setelah menjelaskan semua, Maharsi Suta mengatakan pada semua rsi dan orang suci
bahwa ia telah menjelaskan tentang keampuhan, kekuatan dan kejayaan bilwa, bhasma dan
rudraksha dan memperlihatkan pada mereka prosedur yang harus dilalui ketika memakainya. Ini
adalah akhir dari Vidyeshwara Samhita.

Anda mungkin juga menyukai