Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Aso, RF Dan CRP

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PRAKTIKUM

SEROLOGI

NAMA : ANDIUS SETIAWAN

NIM : 20115035

TK/ SMT : II/IV

PRODI : D4 ANALIS KESEHATAN

PROGRAM STUDI D-IV ANALIS KESEHATAN


FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
INSTITUT ILMU KESEHATAN
BHAKTI WIYATA
KEDIRI
LAPORAN PRAKTEK SEROLOGI

NILAI KOREKTOR

Tanggal : 12 April 2017

Metode : Pemeriksaan CRP (C-REAKTIF PROTEIN)

Tujuan :Untuk mengetahui adanya C-Reaktif Protein di dalam serum penderita.

Prinsip : Aglutinasi Latex (Aglutinasi indirect).


Reaksi aglutinasi antara CRP yang terdapat dalam serum dengan anti CRP
yang di letakkan pada latex.

Alat & Bahan :

1. Glass slide CRP (berwarna hitam).


2. Maat pipet atau pipet ukur o,1 ml.
3. Batang pengaduk disposible
4. Bola karet
5. Stopwatch/timer
6. Tabung serologi
7. Reagen latex (GLORY DIAGNOSTIC)
8. Buffer saline
9. Serum (sampel)

Probandus : ‘X’

Prosedur :

 Kualitatif
1. Disediakan objek glass yang bersih dan kering.
2. 0,05 ml serum di tambah 1 tetes reagen latex CRP.
3. Diaduk.
4. Rotasi slide pada rotator mekanik (100 rpm) selama 2 menit tepat.
5. Dibaca adanya aglutinasi dibawah cahaya tepat setelah dirotator.
SKEMA :

 Kualitatif

Terjadi aglutinasi

Serum 0.05 ml Latex CRP 1 tetes

 Semi kuantitatif

Pengenceran 1/2 1/4 1/8

Buffer Saline (ml) 0,05 0,05 0,05 0,05 dibuang


Serum (ml) 0,05 0,05 0,05

Vol.Sampel (ml) 0,05 0,05 0,05

Hg/N/ml 12 IU/ml 24 IU/ml 48 IU/ml


Intepretasi Hasil :
1. Positif aglutinasi, kadar CRP dalam sampel > 6 IU/ml
2. Negatif aglutinasi, kadar CRP dalam sampel < 6 IU/ml
Hasil : (+) positif titer 1/8

Kesimpulan : Jadi, dari pemeriksaan CRP dari serum seseorang dengan anti CRP
yang kami lakukan di dapatkan hasil Positif (+) pada titer 1/8.

Pembahasan :
C-Reaktif Protein atau CRP merupakan pertanda adanya inflamasi sistemik yang
sangatsensitive. Peningkatan kadar CRP sangat berhubungan kuat dengan adanya penyakit
jantung koroner,MCI, stroke dan kematian mendadak karena jantung Pemeriksaan C-Reactive
Protein atau CRP kualitatif yaitu pemeriksaan terhadap keberadaan suatu reaktan fase akut, yakni
CRP di dalamserum. Konsentrasi serum CRP akan meningkat setelah proses inisiasi inflamatori.
Pemeriksaan inimemiliki sensitifitas yang baik, namun bukan indikator yang spesifik pada kondisi
terjadinya lukaakut, infeksi bakteri, atau inflamasi.

Pemeriksaan CRP adalah pemeriksaan dengan melihat kadar CRP dalam darah. CRP
merupakan pertanda radang dimana substansi ini akan muncul jika tubuh mengalami respon
peradangan. Kadar CRP yang tinggi dalam darah menunjukkan adanya proses peradangan pada
tubuh tetapi tidak dapat diketahui penyebab dan lokasinya. Kadar CRP dapat berbeda dari
berbagai laboratorium tetapi menurut standar internasional kadar normal CRP adalah 0-1,0 mg/dl
atau <10mg/L (SI unit).
a. Pemeriksaan CRP

Prinsip dari pemeriksaan CRP adalah antigen CRP di dalam serum akan bereaksi
secaraimunologis dengan antibodi anti-CRP di dalam partikel lateks sehingga akan terjadi
aglutinasi. Reaksiaglutinasi menunjukkan adanya antigen CRP di dalam sampel serum yang
diperiksa dan secara klinismenunjukkan kemungkinan adanya reaksi peradangan.

Dalam pemeriksaan CRP denagn metode lateks aglutination ini digunakan slide test
berlatarbelakang gelap yang telah berisi beberapa lingkaran sebagai tempat mereaksikan
antigen dalam serum dan antibodi anti-CRP pada reagen lateks. Latar belakang gelap bertujuan
untukmempermudah pengamatan, karena campuran yang terbentuk dari homohenisasi reagen
lateks danserum berwarna putih. Reaksi positif ditandai dengan adanya aglutinasi. Reaksi
aglutinasi ditunjukkan dengan terbentuknya butir-butir halus seperti pasir pada campuran.
Dalam setiap pengujian CRP , harus selalu disertakan serum kontrol positif dan serum kontrol
negatif. serumkontrol positif merupakan serum standar yang positif mengandung CRP,
sedangkan serum kontrolnegatif merupakan serum standar yang tidak mengandung CRP.
Kedua serum ini diperlakukan samaseperti sampel (direaksikan dengan reagen lateks). kedua
kontrol serum ini berfungsi sebagaipembanding sehingga lebih mudah menginterpretasikan
reaksi yang terjadi pada sampel yang diuji(apakah positif atau negatif). aglutinasi yang terjadi
pada sampel dibandingkan dengan serumkontrol positif dan serum kontrol negatif. apabila
terbentuk ciri-ciri seperti yang ditunjukkan serumkontrol positif, maka hasil pemeriksaan
sampel adalah positif, namun jika ciri-ciri reaksi yang terjadilebih menyerupai serum kontrol
negatif, maka hasilnya negatif

Terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan CRP secara kualitatif. Pemeriksaan ini dilakukanuntuk
mengetahui secara kasar ada tidaknya antigen CRP di dalam sampel serum yang diperiksa.
Jikadalam pemeriksaan CRP secara kualitatif diperoleh hasil positif, maka dilanjutkan
denganpemeriksaan secara semi-kuantitatif untuk menentukan kadar CRP di dalam sampel
serum tersebut. Penyebab CRP meningkat Secara umum, penyebab utama CRP meningkat dan
penanda peradangan lainnya adalah luka bakar, trauma,infeksi,peradangan,aktif inflamasi
arthritis dan kanker tertentu.

Ada 3 jenis metode pengukuran CRP, yaitu :

a. Conventional CRP : Metode pengukuran ini digunakan untuk menganalisa adanya infeksi,
kerusakan jaringan, dan gangguan-gangguan akibat proses inflamasi. Metode ini dapat mengukur
kadar CRP secara tepat pada kadar 5 mg/l atau lebih. Orang yang sehat biasanya memiliki kadar
CRP di bawah 5 mg/l, sedangkan adanya proses inflamasi ditunjukkan dengan kadar CRP sebesar
20-500 mg/l.
b. High Sensitivity CRP ( hsCRP ) : Metode pengukuran ini digunakan untuk menganalisa
kondisi-kondisi yang mungkin berhubungan dengan proses inflamasi. Metode ini bersifat lebih
sensitif sehingga dapat mengukur kadar CRP secara tepat hingga 1 mg/l.
c. Cardiac CRP ( cCRP ) : Metode pengukuran ini digunakan untuk menganalisis tingkat resiko
penyakit jantung. Metode ini memiliki sensitivitas yang menyerupai dengan hsCRP , namun
menggunakan metode analisa yang lebih sensitif sehingga hasil yang diperoleh lebih spesifik
untuk menentukan resiko penyakit jantung. CRP merupakan sebuah indikator risiko yang sangat
kuat, khususnya ketika digabungkan dengan evaluasi kolesterol. Beberapa dokter memilih untuk
mengukur CRP bersama dengan serangkaian faktor risiko “terbaru” yang mencakup homocystein
dan lipoprotein. Sementara yang lainnya mengukur CRP bersama dengan tes-tes yang lebih mahal
yang mengukur subfraksi kolesterol spesifik. Akan tetapi, dengan perbandingan langsung, nilai
prediktif untuk CRP jauh lebih besar dibanding yang diamati untuk penanda-penanda risiko
“terbaru” alternatif ini. Lebih lanjut, hanya CRP yang terbukti dapat menambah informasi
prognostik yang penting terhadap informasi yang sebelumnya didapatkan dari screening
kolesterol standar (Sadikin, 2001). Setiap orang menghasilkan CRP, tetapi dengan jumlah berbeda
tergantung pada beberapa faktor, termasuk faktor genetik dan faktor gaya hidup. Secara umum,
orang yang merokok, memiliki tekanan darah tinggi, berat badan berlebih, dan tidak mampu aktif
secara fisik cenderung memiliki kadar CRP yang tinggi, sedangkan orang yang kurus dan atletis
cenderung memiliki kadar CRP yang rendah. Meski demikian, hampir setengah variasi kadar CRP
antara setiap orang diwariskan sehingga menunjukkan kadar yang telah diwariskan orang tua dan
kakek-nenek kepada anda melalui gen-gen yang mereka memiliki. Ini tidak mengherankan karena
peranan fundamental yang dimiliki CRP dalam inflamasi, sebuah proses sangat penting untuk
penyembuhan luka, untuk menghilangkan bakteri dan virus, dan untuk berbagai proses kunci yang
penting bagi kelangsungan hidup. Penelitian selama 10 tahun terakhir telah menunjukkan bahwa
terlalu banyak inflamasi pada beberapa keadaan yang bisa memiliki efek berbahaya, khususnya
pada pembuluh darah yang membawa oksigen dan gizi ke semua jaringan tubuh. Para ilmuwan
sekarang ini memahami bahwa atherosklerosis (proses yang mengarah pada
akumulasi kolesterol dalam pembuluh-pembuluh arteri) merupakan sebuah penyakit
inflammatory pembuluh darah, seperti halnya arthritis yang merupakan penyakit inflammatory
pada tulang dan sendi (Tizard, 1987).

Banyak penelitian telah menemukan bahwa penanda darah yang mencerminkan proses
inflammatory tersebut meningkat diantara orang- orang yang berisiko tinggi untuk mengalami
penyakit jantung di masa mendatang. Inflamasi penting dalam semua fase penyakit jantung,
termasuk inisiasi dini plak-plak atheroslekrotik dalam arteri, serta kerusakan akut plak-palk ini
yang menghasilkan serangan jantung, dan terlalu sering, menghasilkan kematian tiba-tiba. Sampai
baru-baru ini, penanda-penanda yang tersedia untuk inflamasi tidak cocok digunakan di ruang
praktik dokter. Sebaliknya, CRP sangat stabil dan agak mudah untuk diukur (Sudoyo, 2006).

Jumlah CRP akan meningkat tajam beberapa saat setelah terjadinya inflamasi dan selama
proses inflamasi sistemik berlangsung. Sehingga pemeriksaan CRP kuantitatif dapat dijadikan
petanda untuk mendeteksi adanya inflamasi/infeksi akut. Saat ini telah tersedia pemeriksaan High
Sensitive CRP (Hs-CRP) yaitu pemeriksaan untuk mengukur kadar CRP
yang lebih sensitif dan akurat dengan menggunakan metoda LTIA (Latex Turbidimetry
Immunoassay), dengan range pengukuran : 0.3 – 300 mg/L. Berdasarkan penelitian, pemeriksaan
Hs-CRP dapat mendeteksi adanya inflamasi lebih cepat dibandingkan pemeriksaan Laju Endap
Darah (LED). Terutama pada pasien anak-anak yang sulit untuk mendapatkan jumlah sampel
darah yang cukup untuk pemeriksaan LED (Denise, 2012).

CRP dapat meningkat disebabkan oleh berbagai jenis infeksi. Namun CRP tidak dapat
menentukan penyebab infeksi secara pasti. CRP juga tidak dapat membedakan antara infeksi virus
dan bakteri. Meskipun CRP cenderung lebih tinggi pada infeksi bakteri yang lebih invasif/berat,
korelasi tersebut tidak selalu demikian. Sebagian besar infeksi virus menyebabkan CRP
meningkat ringan, tapi CRP yang sangat tinggi juga dapat ditemukan pada infeksi virus tanpa
komplikasi seperti adenovirus, influensa, dan cytomegalovirus. Dengan demikian, tingginya CRP
yang bervariasi tidak dapat dipergunakan secara umum untuk membedakan penyakit infeksi
ringan dan berat. Penilaian ringan-beratnya suatu penyakit hendaknya tetap mengacu pada kondisi
klinis anak. Tes CRP seringkali dilakukan berulang-
ulang untuk mengevaluasi dan menentukan apakah pengobatan yang dilakukan efektif. CRP juga
digunakan untuk memantau penyembuhan luka dan untuk memantau pasien paska bedah,
transplantasi organ, atau luka bakar sebagai sistem deteksi dini untuk kemungkinan infeksi
(Bellanti,2007).

Praktikum CRP yang dilakukan menggunakan metode konvensional. Reagen yang


digunakan adalah lateks. Serum dimasukkan dalam test slide, tambahkan satu tetes suspensi
lateks, suspensi kemudian dihomogenkan. Test slide diputar selama dua menit lalu lihat aglutinasi
yang terjadi. Jika hasil positif akan terjadi aglitunasi kasar, positif lemah akan terdapat aglutinasi
halus dan hasil negatif tidak ada aglutinasi. Aglutinasi ini terjadi akibat reaksi dimana antibodi
anti CRP yang berikatan dengan mikropartikel latex akan bereaksi dengan antigen dalam sampel
untuk membentuk kompleks Ag-Ab (Baratawidjaja, 2002). C Reactive Protein merupakan protein
fase akut yang dibentuk di hati (oleh sel hepatosit) akibat adanya proses peradangan atau infeksi.
Setelah terjadi peradangan, pembentukan CRP akan meningkat dalam 4 sampai 6 jam, jumlahnya
bahkan berlipat dua dalam 8 jam setelah peradangan. Konsentrasi puncak akan tercapai dalam 36
jam sampai 50 jam setelah inflamasi. Kadar CRP akan terus meningkat seiring dengan proses
inflamasi yang akan mengakibatkan kerusakan jaringan. Apabila terjadi penyembuhan akan
terjadi penurunan kadar CRP secara cepat oleh karena CRP memiliki masa paruh 4 sampai 7 jam.
2,3 Kinetik metabolism CRP sejalan dengan derajat peradangan dan derajat penyembuhan yang
terjadi. Oleh karena itu CRP sangat baik untuk menilai aktivitas penyakit dalam keadaan akut.
Pemeriksaan ini relatif tidak mahal dan dapat diperoleh hasilnya dalam waktu cepat serta tidak
memerlukan volume darah yang banyak (Utama,2012).

Groonroos menyatakan akurasi diagnose apendisitis akut berdasarkan anamnese, nyeri


McBurney dan leukosistosis kurang dari 80%, untuk itu perlu adanya pemeriksaan laboratorium
tambahan untuk menegakkan diagnosa apendisitis akut untuk menghindari appendectomy yang
tidak perlu. C-Reactive Protein (CRP) merupakan indikator yang seinsitif
terhadap infeksi bakteri, peradangan dan kerusakan jaringan. Penelitian melaporkan sensitifitas,
spesifisitas dan akurasi CRP untuk diagnosa apendisitis akut adalah 89,5%, 100% dan 90,9%.10
Peneliti lain, Gurleyik mendapatkan sensitifitas, spesifisitas dan akurasi CRP untuk diagnosa
apendisitis akut adalah 93,5%, 80% dan 91%.11 Nilai CRP pada keadaan normal < 0,8 mg/dl dan
meninggi > 1 mg/dl pada keadaan patologis.12 Belum adanya indikator yang definitif untuk
menegakkan diagnosa apendisitis akut. Untuk mengetahui apakah CRP meningggi pada
apendisitis akut dan peninggian kadar CRP darah berbanding lurus dengan tingkat keparahan
apendisitis. Diharapkan bisa digunakan sebagai indicator untuk menegakkan diagnosa apendisitis
akut (Jehan, 2003).

High Sensitive C-Reactive Protein (hs-CRP) merupakan marker inflamasi. Beberapa


penelitian epidemiolohi telah mengevaluasi relasi antara antara hs-CRP dengan sindroma
metabolik. Penelitian tersebut membuktikan tingginya tingkat hs-CRP (>3mg/L) memiliki
korelasi dengan angka kejadian sindroma metabolik sama dengan angka morbiditas dan mortalitas
penyekit kardiovaskular. Hs-CRP memiliki peran dalam patogenesis atherosclerosis. Hs-CRP
sebagai bagian sistem kekebalan tubuh memiliki fungsi untuk mengaktifkan sistem komplemen,
menimbulkan adhesi ekspresi molekul, meningkatkan fagositosis makrofag, dan memicu aktifasi
leukosit. Hs-CRP juga menstimulasi produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dan menyebabkan
apoptosis endothelial (Shital, 2012). Ada beberapa faktor yang dapat menjadi sumber kesalahan
pada pemeriksaan CRP menurut Handojo (1982) yaitu :
a. Harus dibaca selambat-lambatnya dalam waktu 5 menit sebab aglutinasi non spesifik dapat
terjadi bila test mongering
b. Serum yang lipemik dapat menyebabkan hasil yang positif palsu
c. Reagen latex CRP harus disimpan pada suhu 40 C dan dikocok dengan baik sebelum dipakai
d. Botol reagen CRP harus ditutup rapat, sebab dapat mengakibatkan terjadinya flokulasi reagen
mengering.
Ada 3 jenis metode pengukuran CRP, yaitu Conventional CRP, High Sensitivity CRP (hsCRP)
dan Cardiac CRP (cCRP). Metode pengukuran Conventional CRP digunakan untuk menganalisa
adanya infeksi, kerusakan jaringan, dan gangguan-gangguan akibat proses inflamasi. Metode ini
dapat mengukur kadar CRP secara tepat pada kadar 5 mg/l atau lebih. Orang yang sehat biasanya
memiliki kadar CRP di bawah 5 mg/l, sedangkan adanya proses inflamasi ditunjukkan dengan
kadar CRP sebesar 20-500 mg/l. High Sensitivity CRP (hsCRP) digunakan untuk menganalisa
kondisi-kondisi yang mungkin berhubungan dengan proses inflamasi. Metode ini bersifat lebih
sensitif sehingga dapat mengukur kadar CRP secara tepat hingga 1 mg/l. Cardiac CRP (cCRP)
digunakan untuk menganalisis tingkat resiko penyakit jantung. Metode ini memiliki sensitivitas
yang menyerupai dengan hsCRP , namun menggunakan metode analisa yang lebih sensitif
sehingga hasil yang diperoleh lebih spesifik untuk menentukan resiko penyakit jantung (Jawetz,
1974). Penentuan secara kualitatif dapat dilakukan dengan metode Imunoturbidimetri. CRP dalam
serum akan mengikat antibodi spesifik terhadap CRP membentuk suatu kompleks immun.
Kekeruhan (turbidity) yang terjadi sebagai akibat ikatan tersebut diukur secara fotometris.
Sementara pengukuran konsentrasi CRP secara kuantitatif dimana dapat mengukur kadar sampai
< 0,2 – 0,3 mg/L.5 yang menggunakan metode High sensitivity C-Reactive Protein ( hs-CRP)
(Bachtiar, 2011).
Diskusi :

 CRP adalah salah satu dari protein fase akut didapatkan pada serum normal dalam jumlah
kecil.
 Pada keadaan tertentu , misalnya terjadi keradangan / necrotis sel,maka CRP dalam serum
meningkat sampai 1000 kali.
 Indikasi penentuan CRP :
1. Membantu menegakkan diagnosa dari proses keradangan dan nekrosis jaringan.
2. Mengikuti hasil pengobatan dari penyakit dengan keradangan dan nekrosis
jaringan.
 Sintesa CRP terjadi di dalam organ hati / hepar.
 Dalam waktu singkat setelah terjadi kerangdangan /nekrosis jaringan sitesa dan sekresi
CRP meningkat tajam dalam waktu 12-48 jam sudah mencapai nilai puncak.
 kadar CRP menurun dengan cepat pula , bila proses keradangan mereda, dalam waktu 24-
48 jam CRP sudah mencapai harga normal kembali.
 CRP positif (+) pada :
1. Glomerulonephritis.
2. Nekrosis jaringan.
3. Infeksi jaringan.
4. Infeksi hati / hepatitis.
5. Oedema
6. Infeksi akut , keradangan
LAPORAN PRAKTEK SEROLOGI
NILAI KOREKTOR

Tanggal : 12 April 2017


Metode : Aglutinasi Latex (aglutinasi Indirect)
Tujuan : Untuk mengetahui adanya factor rheumatoid di dalam serum penderita.
Prinsip : Reaksi aglutinasi antara factor rheumatoid yang terdapat dalam serum
dengan anti RF yang dilekatkan pada latex

Alat & Bahan :


Alat bahan Reagen
1. Glass slide RF 1. Serum 1. Reagen
2. Pipet ukur o,1 ml latex
3. Push ball 2. Glycin
4. Batang pengaduk
5. Stopwatch
6. Tabung serologi

Probandus : Nama : Mrs. XXX


Umur : XX
JK : XX
Prosedur :
1. Kualitatif

- 0,05 ml serum ditambah 1 tetes


reagent Latex RF
- Diaduk lalu dan dibaca adanya
aglutinasi tepat setelah 1-2 menit

2. Semi kuantitatif

Pengenceran 1/2 1/4 1/8

Glycin (ml) 0,05 0,05 0,05 0,05 dibuang

Serum (ml) 0,05 0,05 0,05

Vol.Sampel (ml) 0,05 0,05 0,05

Hg/N/ml 16IU/ml 32 IU/ml 64 IU/ml


Intepretasi Hasil : 1. Positif aglutinasi, kadar RF dalam sampel > 8 IU/ml

2. Negatif aglutinasi, kadar RF dalam sampel <8 IU/ml


Hasil : (+) Positif pada titer ½.

Kesimpulan : Kesimpulan yang dapat kami ambil dari tujuan praktikum dan dari hasil
praktikum yang telah kami lakukan tentang RF adalah didapatkan adanya
faktor rheumatoid dalam serum penderita. Yang bisa disimpulkan bahwa
kadar RF dalam sampel tersebut lebih dari 8 IU/ml pada titer ½.
Pembahasan :
Pemeriksaan Rheumatoid Factor (RF) dilakukan untuk membantu menegakkandiagnosis
arthritis rheumatoid menggunakan sampel berupa serum yang diperiksamenggunakan
metode latex aglutinasi. RF tes berdasarkan atas reaksi imunologis antaraRF dalam serum sebagai
antibodi dengan partikel latex yang telah dilapisi IgG sebagai antigen. Dalam uji ini terdapat dua
langkah pemeriksaan yaitu secara kualitatif untukmenentukan kehadiran RF dalam serum dan
semikuantitatif kita bisa mengetahui titernya.Pada uji kualitatif dengan serum probandus x
dilakukan pemeriksaan sebagaiberikut. Mula-mula alat dan bahan yang disiapkan, reagen latex
digoyang-goyangkanpada rotator untuk melarutkan partikel-partikel endapan pada dasar
wadah reagensehingga reagen latex homogen, dilakukan hingga endapan-endapan kembali
melarut. Reagen latex dipipet masing-masing satu tetes pada tiap bulatan petak slide sebanyak
tigabulatan. Lingkaran petak slide pertama ditambahkan dengan 50 mikron sampel serum.Reagen
dan serum kemudian dihomogenkan dengan pengaduk. Pada lingkaran petakslide kedua
ditambahkan kontrol positif dan dihomogenkan. Demikian halnya dengan petak slide ketiga
dipipet satu tetes larutan kontrol negatif dan dihomogenkan. Perludiingat petak slide yang
digunakan berlatar hitam sehingga lebih mudah dalammengamati adanya aglutinasi.
Kemudian petak slide tersebut digoyang-goyangkan dirotator selama dua menit untuk
memberikan waktu terjadinya ikatan imunologis yangtampak dengan aglutinasi.Pengamatan
dilakukan, tidak ditemukan adanya aglutinasi pada lingkaran pertamapetak slide sehingga tidak
diperlukan pemeriksaan lanjutan untuk menentukan kadarnyasecara semikuantitatif. Hasil
tersebut diperoleh setelah membandingkan dengan lingkarankedua dan ketiga yang berfungsi
sebagai kontrol positif dan kontrol negatif. Sampel serum probandus x positif mengandung RF.
Diskusi :
 Rhematoid Factor (RF) adalah suatu test aglutinasi pasif untuk mencari adanya faktor
rheumatoid dalam serum penderita rheumatoid arthritis.
 Faktor rheumatoid yaitu suatu autoantibodi (Ig G/Ig M) terbentuk dalam stadium lanjut
dari penderita rheumatoid arthritis biasanya setelah menderita lebih dari setengah tahun.
 Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit inflamasi atau sistemik yang menyerang
persendian sinuvial (tulang rawan) dan degeneratif.
 Indikasi test RF ini yaitu untuk membantu menegakkan diagnosa dan menentukan
prognosa dari penyakit rheumatoid arthritis.
 Hasil positif (+) dapat juga ditemukan pada penderita :
1. SLE (Sistemic Lupus Erytrematosus)
2. Skleroderma
3. Hepatitis menahun yang agresif.
4. Lepra.
5. TBC
6. Kanker
7. Infeksi virus gerpes zoster.
8. Infeksi virus pneumoniae
9. Infeksi virus hepatitis.
LAPORAN PRAKTEK SEROLOGI
NILAI KOREKTOR

Tanggal : 12 April 2017


Metode : Aglutinasi Latex (Aglutinasi Indirect)
Tujuan : Untuk mengetahui adanya antibodi terhadap Streptococcus β hemoliticus
group A dalam serum penderita.
Prinsip : Reaksi aglutinasi antara antibodi terhadap streptolisin dalam serum
dengan reagen latex antigen yang dicoated dengan komponen Streptolisin-
O

Alat & Bahan :


Alat Bahan Reagen
1. Glass Slide ASO 1. Serum 1. Reagen
2. Pipet ukur 0,1 ml latex
3. Bola karet 2. Glycin
4. Pengaduk Dispsible
5. Tabung Serologi
6. Stopwatch/timer

Probandus : Nama : Mrs. XXX


Umur : XX
JK : XXX
Prosedur :
1. Kualitatif

- 0,05 ml serum ditambah 1 tetes


reagent Latex ASO
- Diaduk lalu dan dibaca adanya
aglutinasi tepat setelah 1-2 menit

2. Semi kuantitatif

Pengenceran 1/2 1/4 1/8

Glycin (ml) 0,05 0,05 0,05


0,05 dibuang
Serum (ml) 0,05 0,05 0,05

Vol.Sampel (ml) 0,05 0,05 0,05

Hg/N/ml 400 IU/ml 800 IU/ml 1600 IU/ml


Intepretasi Hasil : 1. Positif aglutinasi, kadar ASO dalam sampel > 200 IU/ml
2. Negatif aglutinasi, kadar ASO dalam sampel < 200 IU/ml

Hasil : (+) positif

Kesimpulan : Kesimpulan yang dapat kami ambil dari tujuan praktikum dan dari hasil
praktikum yang telah kami lakukan tentang ASO adalah didapatkan adanya
antibodi terhadap Streptococcus β hemoliticus grup A di dalam serum
penderita. Yang bisa disimpulkan bahwa kadar ASO dalam sampel tersebut
lebih dari 200 IU/ml.
Pembahasan :
Infeksi streptokokus disebabkan oleh bakteri yang dikenal sebagai Streptococcus . Ada
beberapa strain penyebab penyakit streptokokus (kelompok A, B, C, D, dan G), yang diidentifikasi
oleh perilaku mereka, kimia, dan penampilan. Setiap kelompok menyebabkan jenis tertentu
infeksi dan gejala. Tes-tes antibodi berguna untuk streptokokus grup A. Streptokokus grup A
merupakan spesies yang paling mematikan bagi manusia dan merupakan penyebab radang
tenggorokan , amandel, luka dan infeksi kulit, infeksi darah (septikemia), demam berdarah,
pneumonia , demam rematik, chorea Sydenham (sebelumnya disebut tarian St Vitus ') , dan
glomerulonefritis.
Meskipun gejala mungkin menyarankan infeksi streptokokus, diagnosis harus
dikonfirmasi oleh tes. Prosedur terbaik, dan salah satu yang digunakan untuk infeksi akut, adalah
untuk mengambil sampel dari daerah yang terinfeksi untuk budaya, sarana bakteri yang tumbuh
artifisial di laboratorium. Namun, budaya tidak berguna sekitar dua sampai tiga minggu setelah
infeksi awal, sehingga ASO, anti-DNase-B, dan tes streptozyme digunakan untuk menentukan
apakah infeksi streptokokus hadir.
ASO titer digunakan untuk menunjukkan reaksi tubuh terhadap infeksi yang disebabkan
oleh streptokokus grup A beta-hemolitik. Streptokokus grup A menghasilkan enzim streptolysin
O, yang dapat menghancurkan (melisiskan) sel darah merah. Karena streptolysin O adalah antigen
(mengandung protein asing bagi tubuh), tubuh bereaksi dengan memproduksi antistreptolysin O
(ASO), yang merupakan antibodi. ASO muncul dalam serum darah satu minggu sampai satu bulan
setelah timbulnya infeksi tenggorokan. Sebuah titer tinggi (tingkat tinggi ASO) tidak spesifik
untuk semua jenis penyakit poststreptococcal, tapi itu tidak menunjukkan apakah infeksi
streptokokus sedang atau telah hadir.
Serial (beberapa diberikan berturut-turut) pengujian ASO sering dilakukan untuk
menentukan perbedaan antara sampel darah akut atau konvalesen. Diagnosis infeksi radang
sebelumnya dikonfirmasi ketika titer serial ASO meningkat selama beberapa minggu, kemudian
jatuh perlahan. ASO titer puncak pada minggu ketiga setelah timbulnya gejala akut penyakit
streptokokus, pada enam bulan setelah onset, sekitar 30% pasien menunjukkan titer abnormal.
Diskusi :
 Aso yaitu suatu antibodi yang dibentuk oleh tubuh terhadap suatu enzim proteolitik
Streptolisin-O yang diproduksi oleh β hemolitik Streptococcus.
 Streptolisin-O mempunyai aktivitas biologi merusak dinding eritrosit (SDM) yang
menyebabkan hemolisa eritrosit.
 Titer ASO biasanya mulai meningkat 1-4 minggu setelah infeksi. Bila infeksi mereda titer
ASO mulai kembali normal kira-kira 6 bulan. Bila titer tidak menurun suatu infeksi ulang
mungkin terjadi.
 Indikasi pemeriksaan ASO yaitu untuk membantu menegakkan diagnosa penyakit demam
rheumatik oleh karena infeksi β hemolitik Streptococcus grup A.

Anda mungkin juga menyukai