Iman Ibadah & Kesehatan Mental
Iman Ibadah & Kesehatan Mental
Iman Ibadah & Kesehatan Mental
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Efektivitas Iman Dan Ibadah Terhadap Kesehatan Mental”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, apabila
terdapat kekurangan dalam makalah ini, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Kelompok VIII
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Iman, Ibadah dan Kesehatan Mental.........................................................4
2.2 Pengaruh Iman Kepada Allah Terhadap Kesehatan Mental.....................8
2.3 Hubungan Beribadah dan Kesehatan Mental............................................10
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................................12
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................................................13
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 IMAN, IBADAH DAN KESEHATAN MENTAL
2.1.1. IMAN
Iman dalam pandangan Syukur pada dasarnya adalah percaya dan membenarkan
bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Pengertian ini
membawa tidak hanya pada obyek-obyek rukun iman saja, tetapi juga mencakup
pengimanan atas kewajiban shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya, demikian juga
mengimani pengharaman sesuatu dan semua larangan-Nya. Iman yang sesungguhnya,
menurut Qardlawi) adalah kepercayaan yang terhujam di kedalaman hati dengan penuh
keyakinan, tak ada perasaan syak dan ragu-ragu, serta mempengaruhi orientasi kehidupan,
sikap dan aktifitas keseharian. Iman dengan demikian tidak hanya terhenti pada tataran
lisan atau hati saja, tetapi harus diteruskan dalam perilaku yang nyata.Hal ini sama dengan
penegasan Munir yang menyatakan bahwa iman memiliki unsur unsur yaitu membenarkan
dengan hati (tasdiq bil qalb), mengucapkan dengan lisan (iqrar bil lisan), dan melakukan
perbuatan dengan anggota badan(al-amal bil arkan). Ketiga unsur ini merupakan satu
kesatuan,sehingga untuk membuktikan seseorang beriman haruslah direalisasikan dengan
amal perbuatan. Perbedaan dalam menggunakan ketiga macam unsur tersebut, berakibat
pada kualitas iman seseorang. Gambaran mengenai keterikatan dan keterpaduan antar
unsur ini dapat dilihat pula dalam pernyataan Imam al-Auza‟i, sebagaimana dikutip oleh
Ubaidah bahwa tidaklah akan lurus imann itu kecuali dengan perkataan, dan tidaklah akan
lurus iman itu kecuali dengan perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah akan lurus iman,
perkataan, dan perbuatan kecuali dengan niat yang sesuai dengan sunnah (tuntunan) Nabi
SAW.
Al-Faruqi selanjutnya menegaskan bahwa iman tidak dapat dipisahkan dari tauhid.
Tauhid adalah esensi dari aqidah/keyakinan terhadap Tuhan. Manifestasi iman adalah
persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah SWT (la ilaha illallah). Persaksian atau
pengakuan akan keesaan Allah adalah keyakinan yang menempati posisi sentral dalam
setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim.Karena tauhid mengantarkan
seorang Muslim pada sikap bahwa Tuhan (Allah) sebagai terminal akhir, yakni akhir di
mana semua kaitan finalistik mengarah dan berhenti. Segala tujuan apapun yang dimiliki
oleh seorang Muslim akan berakhir pada-Nya. Karena Dia adalah tujuan akhir dari segala
4
kehendak dan keinginan. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Nabi Muhammad SAW yang
tertuang firman Allah dalam surat al-An’am ayat 162 berikut ini :
1
Komaruddin Hidayat, Psikologi Ibadah. Jakarta: Serambi, 2008, hal 9.
5
2.1.2 Ibadah
Pengertian ibadah dalam kalangan ulama memiliki pengertian yang berbeda
berdasar disiplin ilmu yang dikembangkannya. Syukur menjelaskan bahwa ulama tauhid,
misalnya, mengartikan ibadah dengan mengesakan Allah dan menta’dhimkan-Nya dengan
sepenuh hati serta menundukkan dan merendahkan dirikepada-Nya. Kemudian ulama
akhlaq, mengartikan dengan beramal secara badaniyah dan menyelenggarakan segala
syari‟at. Adapun ulama tasawuf mengartikannya dengan mengerjakan sesuatu yang
berlawanan dengan keinginan nafsunya, untuk membesarkan Tuhan-Nya. Sedangkan
dalam pandang ulama fiqh, ibadah diartikan dengan mengerjakan sesuatu untuk mencapai
keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat.2
Al-Maududi ibadah sebagai penghambaan diri dalam arti dan hakikatnya. Segala
sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba dalam rangka mentaati Allah adalah ibadah.
Misalnya, menghindari perkataan keji dan dusta, dan memilih perkataan yang benar dan
jujur dalam pembicaraan karena Allah SWT merupakan perbuatan ibadah walaupun yang
dibicarakan adalah masalah keduniaan. Demikian pula membantu orang miskin, membela
orang teraniaya, dan lain sebagainya. Sedangkan al-Jauziyah dalam kitabnya Madarijus
Salikin menyatakan bahwa ibadah mengandung dua dasar, yaitu:cinta dan penyembahan.
Menyembah di sini artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku cinta
namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa yang tunduk namun
tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Dia disebut orang yang menyembah jika
cinta dan tunduk. Karena itu orang-orang yang mengingkari cinta hamba terhadap Allah
adalah orang-orang yang mengingkari hakikat ubudiyah dan sekaligus mengingkari
keberadaan Allah sebagai Dzat yang mereka cinta, yang berarti mereka juga mengingkari
keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan), sekalipun mereka mengakui Allah sebagai
penguasa semesta alam dan pencipta-nya.
Apabila dicermati dari pengertian di atas, maka setidaknya menurut Syukur ada dua
unsur penting dalam ibadah, yaitu;
Pertama, adanya perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, perbuatan yang dilakukan didasarkan pada iman
kepada Allah. Sehingga segala perbuatan baik, yang tidak didasarkan keimanan kepada
Allah sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai ibadah. Dengan demikian menurut
2
Komaruddin Hidayat, Psikologi Ibadah. Jakarta: Serambi, 2008, hal 87.
6
Hidayat dapatlah dinyatakan bahwa berbagai ibadah yang dilakukan seorang hamba
sesungguhnya merupakan sarana untuk memelihara kesucian dan keagungan ruhani
sehingga dengan begitu dapat mengarahkan perilaku jasmani dan intelektualnya menuju
yang suci dan agung pula.
3
Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung, 1983, Hal.133
7
membawa kebahagiaan diri dan orang lain, terhindar dari gangguan dan penyakit
jiwa.
Jadi kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan atau
penyakit mental, terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antar fungsi-fungsi
jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi
dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan
Efek globalisasi tersebut berdampak pada kesehatan mental seseorang. Jika melihat
pada fenomena yang telah terjadi pada zaman sekarang ini, banyak sekali ditemukan jiwa-
jiwa yang rapuh dan melemah, Melemahnya jiwa ini diakibatkan karena kurangnya
keberimanan seseorang. Banyak sekali kita melihat orang-orang yang lemah iman bahkan
tidak beriman, hanya melakukan sesuatu sesuai nafsunya saja, berbanding terbalik dengan
orang yang beriman (memiliki iman yang tinggi), jiwa mereka secara otomatis akan
menjadi lebih tenang dan tentram. Misalnya, belakangan ini banyak sekali orang yang
tidak mampu menggunakan kepercayaan diri dalam hidupnya padahal orang tersebut
adalah seorang muslim dan beragama islam. Mereka merasa gelisah, takut, tidak percaya
diri, yang berdampak pada kehidupan yang menjadi tidak tentram bahkan tak jarang terjadi
perkelahian, permusuhan dan pertengkaran, Hal ini sangat berpengaruh pada kesehatan
mentalnya. Keberimanan seseorang dapat mengobati gangguan-gangguan atau penyakit
4
Ikhwan Fuad, Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an dan Hadist, Kajian dan
Penelitian Psikologi, Vol 1 No. 1 Juni 2016, 32.
8
mental tersebut, semakin seseorang dekat dengan Allah Swt maka jiwa orang tersebut akan
semakin lebih tenang, jiwa yang seperti inilah akan memungkingkan untuk tidak terjangkit
segala macam gangguan mental.
Dalam islam, Iman dan Kesehatan Mental sangat berkaitan. Iman dapat diartikan sebagai
rasa aman (Al-aman), dan kepercayaan (Al-amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya
5
Ikhwan Fuad, Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an dan Hadits, Kajian dan
Penelitian Psikologi, Vol 1 No. 1 Juni 2016, 34.
6
Mulyadi, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Radar Jaya Offset Jakarta, 2017), 35.
9
akan merasa tenang dan sikapnya pun akan penuh dengan keyakinan dalam menghadapi
segala macam permasalahan hidup.. Dengan iman, seseorang akan memiliki tempat
mengadu, bergantung, dan memohon dikala sedang ditimpa permasalahan, baik itu dari
fisik maupun psikis.
Sedangkan Kesehatan Mental adalah ketentraman jiwa dan batin seseorang
tersebut, jika seseorang telah merasakan ketenangan maka seseorang tersebut akan dekat
dengan keimanannya. Berbeda dengan orang yang tidak beriman dan beragama, walaupun
kebutuhan materialnya selalu terpenuhi tetapi kebutuhan batinnya selalu tidak akan tenang,
mereka pun akan mudah terserang penyakit hati, ini dikarenakan bahwa mereka tidak
mempunyai suatu pandauan untuk bergerak dan mereka tidak mempunyai suatu batasan-
batasan dalam bertindak. Hal tersebut akan mengakibatkan seseorang tersebut cepat sekali
putus asa, dan pada akhirnya, seseorang tersebut akan melakukan penyimpangan ataupun
tingkah laku yang tidak sesuai dengan pedoman agama. Sebagai contohnya, jika seseorang
tersebut mengalami keputus-asaan dalam hidup, mereka tidak segan-segan lagi untuk
bertindak konyol seperti dengan menyakiti orang lain atau yang lebih buruknya lagi
dengan melakukan bunuh diri.
Dengan adanya iman, jiwa manusia tidak akan merasa kesepian, karena mereka
yakin bahwa akan selalu ada Allah Swt dalam setiap langkahnya, dengan iman juga hidup
manusia akan lebih terarah karena memiliki tujuan yang jelas, hal itulah yang akan
menjadikan jiwa kita lebih tenang dan damai dalam menjalani kehidupan sehingga
terhindar dari segala macam gangguan-gangguan penyakit jiwa yang rentan terjangkit pada
seseorang dengan tingkat iman yang lemah.
Ibadah yang hakikatnya berbakti kepada tuhan didasari peraturan agama dapat
dijadikan mediator dalam merileksasikan dan menentamkan jiwa manusia. Kegiatan ibadah
seperti sholat, do’a, puasa, perbanyak mengingat tuhan dan lainnya mempunyai pengaruh
yang besar dalam membantu memperbaiki kesehatan mental. Hal ini dibuktikan, ibadah
seringkali menjadi pilihan rutinitas bagi para individu yang mempunyai penyakit mental
berat.
10
Dalam sebuah penelitian dari 28 pasien dengan gangguan mental kronis
(kebanyakan skizofrenia), Karen Lindgren dan rekan-rekan dari University of Maryland
berhasil menyimpulkan bahwasanya peran ibadah sebanyak 47% telah membantu
kesehatan mental menjadi jauh lebih baik (Ibadah berupa berdoa setiap hari dan
memperbanyak mengingat tentang Tuhan). 7 Penelitian tersebut adalah sebagian kecil dari
banyaknya penelitian yang dilakukan para pakar maupun ilmuan yang meneliti tentang
kesehatan mental. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan dan semakin banyak ibadahnya,
maka akan semakin tenteramlah jiwanya serta semakin mampu ia menghadapi kekecewaan
dan kesukaran dalam hidup.8
7
Harold G. Koenig, Faith and Mental Healt, Empleton Foundation Press, West
Conshohocke, 2005, 113.
8
Baidi Bukhori, Kesehatan Mental Mahasiswa Ditinjau dari Religiusitas dan
Kebermaknaan Hidup,Psikologika, No.22, Vol.11, Juli 2006, 93.
9
Hepi Wahyuningsih, Religiusitas, Spiritualitas dan Kesehatan Mental: Meta Analisis,
Psikologika, Vol.13, No.25, Januari 2008, 69.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
12
DAFTAR PUSTAKA
Baidi Bukhori. 2006. Kesehatan Mental Mahasiswa Ditinjau dari Religiusitas dan
Kebermaknaan Hidup. Semarang: IAIN Walisongo. No.22. Vol.11. 93.
Harold G. Koenig, 2005. Faith and Mental Healt, Empleton Foundation Press: West
Conshohocke.
Ikhwan Fuad. 2016. Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Kajian
dan Penelitian Psikologi, Vol 1 No. 1 Juni 2016, 32.
Mulyadi, 2017. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Radar Jaya Offset.
13