Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Iman Ibadah & Kesehatan Mental

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
saya panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Efektivitas Iman Dan Ibadah Terhadap Kesehatan Mental”.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu saya
ucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, apabila
terdapat kekurangan dalam makalah ini, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Palembang, 5 September 2018

Kelompok VIII

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................1
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................3
1.3 Tujuan Penelitian.......................................................................................3
BAB 2 PEMBAHASAN
2.1 Iman, Ibadah dan Kesehatan Mental.........................................................4
2.2 Pengaruh Iman Kepada Allah Terhadap Kesehatan Mental.....................8
2.3 Hubungan Beribadah dan Kesehatan Mental............................................10
BAB 3 PENUTUP
3.1 Kesimpulan...............................................................................................12
DAFTAR
PUSTAKA..................................................................................................................13

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Iman merupakan suatu kepercayaan, keyakinan akan hati, ucapan, dan perbuatan
bahwa Allah SWT adalah Esa. Allah Swt telah menciptakan bumi dan langit berserta
isinya tidak lain hanya untuk menyembah-Nya. Allah Swt juga menciptakan manusia
untuk bisa beribadah hanya kepada-Nya. Iman kepada Allah Swt adalah suatu rukun
iman yang harus kita percayai sebagai seorang muslim. Iman ini sangat berkaitan
dengan Kesehatan Mental, Kesehatan mental adalah suatu hal yang sangat penting
untuk kepribadian manusia, karena jika mental sehat, maka sesesorangpun akan
terhindar dari segala gangguan seperti gelisah, stress, dan depresi.
Akan tetapi, pada era globalisasi sekarang ini, sering sekali kita melihat mental dari
setiap kepribadian manusia menurun. Masih banyak manusia yang sering merasa
gelisah, depresi, stress, atau bahkan putus asa dalam menjalani permasalahan hidup.
Mental yang lemah inilah yang bisa membuat seseorang rapuh dalam menjalani
kehidupannya, mudah sekali putus asa hingga sampai pada melakukan hal yang tidak
masuk akal seperti bunuh diri. Gangguan mental ini sangat berpengaruh terhadap
tingkat keimanan dan keberibadahan dari seseorang tersebut. karena itulah dalam
makalah ini mengambil tema mengenai pengaruh Iman dan hubungan Ibadah terhadap
Kesehatan Mental.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian dari Iman, Ibadah, dan Kesehatan Mental?
2. Bagaimana pengaruh Iman kepada Allah Swt terhadap Kesehatan Mental?
3. Bagaimana hubungan antara Ibadah terhadap Kesehatan Mental?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Iman, Ibadah, dan Kesehatan Mental.
2. Untuk mengetahui pengaruh Iman kepada Allah Swt terhadap Kesehatan Mental.
3. Untuk mengetahui hubungan antara Ibadah terhadap Kesehatan Mental.

3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 IMAN, IBADAH DAN KESEHATAN MENTAL
2.1.1. IMAN
Iman dalam pandangan Syukur pada dasarnya adalah percaya dan membenarkan
bahwa tiada Tuhan kecuali Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan-Nya. Pengertian ini
membawa tidak hanya pada obyek-obyek rukun iman saja, tetapi juga mencakup
pengimanan atas kewajiban shalat, zakat, puasa, haji dan sebagainya, demikian juga
mengimani pengharaman sesuatu dan semua larangan-Nya. Iman yang sesungguhnya,
menurut Qardlawi) adalah kepercayaan yang terhujam di kedalaman hati dengan penuh
keyakinan, tak ada perasaan syak dan ragu-ragu, serta mempengaruhi orientasi kehidupan,
sikap dan aktifitas keseharian. Iman dengan demikian tidak hanya terhenti pada tataran
lisan atau hati saja, tetapi harus diteruskan dalam perilaku yang nyata.Hal ini sama dengan
penegasan Munir yang menyatakan bahwa iman memiliki unsur unsur yaitu membenarkan
dengan hati (tasdiq bil qalb), mengucapkan dengan lisan (iqrar bil lisan), dan melakukan
perbuatan dengan anggota badan(al-amal bil arkan). Ketiga unsur ini merupakan satu
kesatuan,sehingga untuk membuktikan seseorang beriman haruslah direalisasikan dengan
amal perbuatan. Perbedaan dalam menggunakan ketiga macam unsur tersebut, berakibat
pada kualitas iman seseorang. Gambaran mengenai keterikatan dan keterpaduan antar
unsur ini dapat dilihat pula dalam pernyataan Imam al-Auza‟i, sebagaimana dikutip oleh
Ubaidah bahwa tidaklah akan lurus imann itu kecuali dengan perkataan, dan tidaklah akan
lurus iman itu kecuali dengan perkataan dan perbuatan. Dan tidaklah akan lurus iman,
perkataan, dan perbuatan kecuali dengan niat yang sesuai dengan sunnah (tuntunan) Nabi
SAW.
Al-Faruqi selanjutnya menegaskan bahwa iman tidak dapat dipisahkan dari tauhid.
Tauhid adalah esensi dari aqidah/keyakinan terhadap Tuhan. Manifestasi iman adalah
persaksian bahwa tiada tuhan selain Allah SWT (la ilaha illallah). Persaksian atau
pengakuan akan keesaan Allah adalah keyakinan yang menempati posisi sentral dalam
setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim.Karena tauhid mengantarkan
seorang Muslim pada sikap bahwa Tuhan (Allah) sebagai terminal akhir, yakni akhir di
mana semua kaitan finalistik mengarah dan berhenti. Segala tujuan apapun yang dimiliki
oleh seorang Muslim akan berakhir pada-Nya. Karena Dia adalah tujuan akhir dari segala

4
kehendak dan keinginan. Hal ini ditunjukkan oleh sikap Nabi Muhammad SAW yang
tertuang firman Allah dalam surat al-An’am ayat 162 berikut ini :

‫ب ا لل نعاَ لن مميِ نن‬


‫ي نو نم نماَ متيِ مللملل نر ب‬ ‫قس لل إم لن ن‬
‫ص نل متيِ نو نس سس مكيِ نو نم لح نيِاَ ن‬
Artinya:
”Katakanlah (Muhammad), ”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku
hanyalah untukAllah, Tuhan seluruh alam”
Berdasar ini maka tauhid menurut Abdullah meliputi dua dimensi sekaligus, yaitu
dimensi normativitas aqidah dan dimensi praksis sosial. Ungkapan Al-Qur‟an bahwa
“iman” harus selalu disertai dengan “amal saleh” merupakan autentisitas ajaran Al-Qur‟an.
Ajaran tauhid menurut Al-Qur‟an sangat terkait dengan persoalan sosial. Wilayah inilah
yang disebut wilayah “doktrin”, wilayah “ajaran”, wilayah “normativitas” atau juga
wilayah das Sollen. Selain aspek “normativitas”, iman atau tauhid menuntunkan umat
Muslim untuk memasuki wilayah “historisitas”, yakni praktek ajaran agama secara konkret
dalam wilayah kesejarahan manusia Muslim pada era tertentu, pada wilayah tertentu dan
juga dalam budaya tertentu. Wilayah inilah yang disebut sebagai wilayah “historisitas” atau
juga wilayah das Sein.1
Al-Maududi menyatakan bahwa salah satu pengaruh tauhid terhadap kehidupan
manusia adalah lahirnya pengetahuan dan keyakinan dalam dirinya bahwa tidak ada jalan
untuk mencapai keselamatan dan keberuntungan kecuali dengan kesucian jiwa dan amal
shaleh. Keyakinan ini didasarkan pada keimanan terhadap Tuhan yang Maha Kaya dan
Maha Adil yang bergantung kepadanya segala sesuatu, yang tidak mempunyai hubungan
kekeluargaan dengan seseorang dan tidak seorangpun mempunyai campur tangan atau
pengaruh terhadap ketuhanan-Nya. Selain itu, iman dalam pandangan Qardlawi merupakan
penolong bagi hati sanubari. Ia memberi makanan dengan cahaya terang, sehingga tetap
kuat, bersih dan mempunyai pandangan yang jernih dan terang. Ini disebabkan karena
orang beriman meyakini, bahwa Allah senantiasa berada didekatnya dan senantiasa
mengawasinya, tidak ada hal yang tersembunyi dari-Nya sampai hal sekecil apapun.

1
Komaruddin Hidayat, Psikologi Ibadah. Jakarta: Serambi, 2008, hal 9.

5
2.1.2 Ibadah
Pengertian ibadah dalam kalangan ulama memiliki pengertian yang berbeda
berdasar disiplin ilmu yang dikembangkannya. Syukur menjelaskan bahwa ulama tauhid,
misalnya, mengartikan ibadah dengan mengesakan Allah dan menta’dhimkan-Nya dengan
sepenuh hati serta menundukkan dan merendahkan dirikepada-Nya. Kemudian ulama
akhlaq, mengartikan dengan beramal secara badaniyah dan menyelenggarakan segala
syari‟at. Adapun ulama tasawuf mengartikannya dengan mengerjakan sesuatu yang
berlawanan dengan keinginan nafsunya, untuk membesarkan Tuhan-Nya. Sedangkan
dalam pandang ulama fiqh, ibadah diartikan dengan mengerjakan sesuatu untuk mencapai
keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat.2
Al-Maududi ibadah sebagai penghambaan diri dalam arti dan hakikatnya. Segala
sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba dalam rangka mentaati Allah adalah ibadah.
Misalnya, menghindari perkataan keji dan dusta, dan memilih perkataan yang benar dan
jujur dalam pembicaraan karena Allah SWT merupakan perbuatan ibadah walaupun yang
dibicarakan adalah masalah keduniaan. Demikian pula membantu orang miskin, membela
orang teraniaya, dan lain sebagainya. Sedangkan al-Jauziyah dalam kitabnya Madarijus
Salikin menyatakan bahwa ibadah mengandung dua dasar, yaitu:cinta dan penyembahan.
Menyembah di sini artinya, merendahkan diri dan tunduk. Siapa yang mengaku cinta
namun tidak tunduk, berarti bukan orang yang menyembah. Siapa yang tunduk namun
tidak cinta, juga bukan orang yang menyembah. Dia disebut orang yang menyembah jika
cinta dan tunduk. Karena itu orang-orang yang mengingkari cinta hamba terhadap Allah
adalah orang-orang yang mengingkari hakikat ubudiyah dan sekaligus mengingkari
keberadaan Allah sebagai Dzat yang mereka cinta, yang berarti mereka juga mengingkari
keberadaan Allah sebagai Ilah (sesembahan), sekalipun mereka mengakui Allah sebagai
penguasa semesta alam dan pencipta-nya.
Apabila dicermati dari pengertian di atas, maka setidaknya menurut Syukur ada dua
unsur penting dalam ibadah, yaitu;
Pertama, adanya perbuatan yang dilakukan oleh seorang mukallaf dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah. Kedua, perbuatan yang dilakukan didasarkan pada iman
kepada Allah. Sehingga segala perbuatan baik, yang tidak didasarkan keimanan kepada
Allah sesungguhnya tidak dapat dikatakan sebagai ibadah. Dengan demikian menurut
2
Komaruddin Hidayat, Psikologi Ibadah. Jakarta: Serambi, 2008, hal 87.

6
Hidayat dapatlah dinyatakan bahwa berbagai ibadah yang dilakukan seorang hamba
sesungguhnya merupakan sarana untuk memelihara kesucian dan keagungan ruhani
sehingga dengan begitu dapat mengarahkan perilaku jasmani dan intelektualnya menuju
yang suci dan agung pula.

2.1.3 Kesehatan mental


Kesehatan mental merupakan terjemahan dari istilah mental hygien. Mental (dari
kata latin: mens, mentis) berarti jiwa, nyawa, roh, sukma, semangat, sedang hygiene (dari
kata yunani: hugyene) berarti ilmu tentang kesehatan. Sedangkan, ilmu kesehatan mental
adalah ilmu yang mempelajari masalah kesehatan mental atau jiwa, bertujuan mencegah
timbulnya gangguan atau penyakit mental dan gangguan emosi dan berusaha mengurangi
atau menyembuhkan penyakit mental, serta memajukan kesehatan jiwa rakyat.
Daradjat mendefinisikan kesehatan mental dengan terwujudnya keharmonisan yang
sungguh-sungguh antar fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk
menghadapi problem-problem biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan
dan kemampuan dirinya. Sejalan dengan Daradjat, Bastaman memberikan definisi
kesehatan mental sebagai terwujudnya keserasian yang sungguh-sunguh antara fungsi-
fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia dengan dirinya dan
lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan, serta bertujuan untuk mencapai
hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.3
Sementara itu, Sururin menjelaskan kesehatan mental dengan beberapa pengertian:
1). Terhindarnya seseorang dari gangguan dan penyakit jiwa (neorosis dan psikosis).
2). Kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri, orang lain, dan
masyarakat serta lingkungan dimana ia hidup.
3). Terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi jiwa serta
mempunyai kesanggupan untuk mengatasi problem yang bisa terjadi dari
kegelisahan dan pertengkaran batin (konflik).
4). Pengetahuan dan perbuatan yang bertujuan untuk mengembangkan dan
meningkatkan potensi, bakat dan pembawaan semaksimal mungkin. Sehingga

3
Daradjat, Zakiah. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung, 1983, Hal.133

7
membawa kebahagiaan diri dan orang lain, terhindar dari gangguan dan penyakit
jiwa.
Jadi kesehatan mental adalah terhindarnya seseorang dari gejala gangguan atau
penyakit mental, terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antar fungsi-fungsi
jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem biasa yang terjadi
dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan

2.2 PENGARUH IMAN KEPADA ALLAH TERHADAP KESEHATAN MENTAL


Kehidupan dewasa ini telah berada pada era yang disebut dengan globalisasi, yaitu
kondisi dimana manusia hidup tanpa sekat dan batas-batas wilayah dan dapat berhubungan
satu sama lain untuk bertukar informasi di mana pun dan kapan pun. Proses globalisasi
yang ditandai dengan kemajuan teknologi informasi yang pesat berdampak pada segala
aspek kehidupan terutama pada budaya masyarakat dan nilai-nilai sosial yang berlaku di
dalamnya. Persaingan dunia industri barang dan jasa ternyata berimplikasi pada aspek-
aspek kejiwaan masyarakat berupa agresifitas, emosi yang tidak terkendali,
ketidakmatangan kepribadian, depresi karena tekanan kehidupan, tingkat kecurigaan yang
meningkat, dan persaingan yang tidak sehat hingga menyebabkan tingginya angka bunuh
diri.4

Efek globalisasi tersebut berdampak pada kesehatan mental seseorang. Jika melihat
pada fenomena yang telah terjadi pada zaman sekarang ini, banyak sekali ditemukan jiwa-
jiwa yang rapuh dan melemah, Melemahnya jiwa ini diakibatkan karena kurangnya
keberimanan seseorang. Banyak sekali kita melihat orang-orang yang lemah iman bahkan
tidak beriman, hanya melakukan sesuatu sesuai nafsunya saja, berbanding terbalik dengan
orang yang beriman (memiliki iman yang tinggi), jiwa mereka secara otomatis akan
menjadi lebih tenang dan tentram. Misalnya, belakangan ini banyak sekali orang yang
tidak mampu menggunakan kepercayaan diri dalam hidupnya padahal orang tersebut
adalah seorang muslim dan beragama islam. Mereka merasa gelisah, takut, tidak percaya
diri, yang berdampak pada kehidupan yang menjadi tidak tentram bahkan tak jarang terjadi
perkelahian, permusuhan dan pertengkaran, Hal ini sangat berpengaruh pada kesehatan
mentalnya. Keberimanan seseorang dapat mengobati gangguan-gangguan atau penyakit

4
Ikhwan Fuad, Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an dan Hadist, Kajian dan
Penelitian Psikologi, Vol 1 No. 1 Juni 2016, 32.

8
mental tersebut, semakin seseorang dekat dengan Allah Swt maka jiwa orang tersebut akan
semakin lebih tenang, jiwa yang seperti inilah akan memungkingkan untuk tidak terjangkit
segala macam gangguan mental.

Frank L.K. sebagaimana dikutip oleh Notosudirdjo dan Latipun (2005)


mengemukakan bahwa orang yang sehat mentalnya adalah orang yang terus tumbuh
berkembang dan matang dalam hidupnya, menerima tanggung jawab, menemukan
penyesuaian (tanpa membayar terlalu tinggi biayanya sendiri atau oleh masyarakat) dalam
berpartisipasi dalam memelihara aturan sosial dan tindakan dalam budayanya. 5
Kematangan seseorang akan dapat berkembang jika keimanannya meningkat, seharusnya
semakin dewasa seseorang maka tingkat keimanannya pun akan semakin tinggi karena
seseorang yang sudah dewasa lazimnya akan memiliki pemikiran yang lebih biijaksana.
Misalnya saat seseorang tersebut masih tahap remaja, mereka akan melakukan sesuatu
sesuai apa yang diperintahkan orang tua atau keluarga bahkan mereka meniru-niru orang
lain dalam mengambil keputusan, berbeda dengan orang yang sudah dewasa, mereka akan
lebih berpikir dalam mematangkan sebuah keputusan.
Iman dari seseorang dapat menjadi pemicu seseorang tersebut dalam bertindak dan
berbuat dari perbuatan yang tidak baik. Jika dalam keseharian tingkah lakunya buruk maka
dapat diprediksikan bahwa keimanan seseorang tersebut sedang menurun, sebaliknya, jika
dalam keseharian tingkah lakunya baik maka dapat diprediksikan pula keimanannya
sedang meningkat.
Orang yang beragama akan terlihat dari wajahnya serta terlihat tentram batinnya,
sikapnya selalu tenang, mereka tidak merasa gelisah, kelakuan dan perbuatannya tidak ada
yang menyengsarakan orang lain. Lain halnya dengan orang yang hidupnya terlepas dari
agama, mereka biasanya mudah terganggu oleh kegoncangan suasana. Beberapa fungsi dan
pengaruh iman dan agama sebagai berikut:
1. Agama memberikan bimbingan dalam hidup
2. Agama adalah penolong dalam kesukaran.
3. Agama menentramkan batin6

Dalam islam, Iman dan Kesehatan Mental sangat berkaitan. Iman dapat diartikan sebagai
rasa aman (Al-aman), dan kepercayaan (Al-amanah). Orang yang beriman berarti jiwanya
5
Ikhwan Fuad, Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an dan Hadits, Kajian dan
Penelitian Psikologi, Vol 1 No. 1 Juni 2016, 34.
6
Mulyadi, Islam dan Kesehatan Mental (Jakarta: Radar Jaya Offset Jakarta, 2017), 35.

9
akan merasa tenang dan sikapnya pun akan penuh dengan keyakinan dalam menghadapi
segala macam permasalahan hidup.. Dengan iman, seseorang akan memiliki tempat
mengadu, bergantung, dan memohon dikala sedang ditimpa permasalahan, baik itu dari
fisik maupun psikis.
Sedangkan Kesehatan Mental adalah ketentraman jiwa dan batin seseorang
tersebut, jika seseorang telah merasakan ketenangan maka seseorang tersebut akan dekat
dengan keimanannya. Berbeda dengan orang yang tidak beriman dan beragama, walaupun
kebutuhan materialnya selalu terpenuhi tetapi kebutuhan batinnya selalu tidak akan tenang,
mereka pun akan mudah terserang penyakit hati, ini dikarenakan bahwa mereka tidak
mempunyai suatu pandauan untuk bergerak dan mereka tidak mempunyai suatu batasan-
batasan dalam bertindak. Hal tersebut akan mengakibatkan seseorang tersebut cepat sekali
putus asa, dan pada akhirnya, seseorang tersebut akan melakukan penyimpangan ataupun
tingkah laku yang tidak sesuai dengan pedoman agama. Sebagai contohnya, jika seseorang
tersebut mengalami keputus-asaan dalam hidup, mereka tidak segan-segan lagi untuk
bertindak konyol seperti dengan menyakiti orang lain atau yang lebih buruknya lagi
dengan melakukan bunuh diri.
Dengan adanya iman, jiwa manusia tidak akan merasa kesepian, karena mereka
yakin bahwa akan selalu ada Allah Swt dalam setiap langkahnya, dengan iman juga hidup
manusia akan lebih terarah karena memiliki tujuan yang jelas, hal itulah yang akan
menjadikan jiwa kita lebih tenang dan damai dalam menjalani kehidupan sehingga
terhindar dari segala macam gangguan-gangguan penyakit jiwa yang rentan terjangkit pada
seseorang dengan tingkat iman yang lemah.

2.3 HUBUNGAN ANTARA IBADAH TERHADAP KESEHATAN MENTAL

Ibadah yang hakikatnya berbakti kepada tuhan didasari peraturan agama dapat
dijadikan mediator dalam merileksasikan dan menentamkan jiwa manusia. Kegiatan ibadah
seperti sholat, do’a, puasa, perbanyak mengingat tuhan dan lainnya mempunyai pengaruh
yang besar dalam membantu memperbaiki kesehatan mental. Hal ini dibuktikan, ibadah
seringkali menjadi pilihan rutinitas bagi para individu yang mempunyai penyakit mental
berat.

10
Dalam sebuah penelitian dari 28 pasien dengan gangguan mental kronis
(kebanyakan skizofrenia), Karen Lindgren dan rekan-rekan dari University of Maryland
berhasil menyimpulkan bahwasanya peran ibadah sebanyak 47% telah membantu
kesehatan mental menjadi jauh lebih baik (Ibadah berupa berdoa setiap hari dan
memperbanyak mengingat tentang Tuhan). 7 Penelitian tersebut adalah sebagian kecil dari
banyaknya penelitian yang dilakukan para pakar maupun ilmuan yang meneliti tentang
kesehatan mental. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan dan semakin banyak ibadahnya,
maka akan semakin tenteramlah jiwanya serta semakin mampu ia menghadapi kekecewaan
dan kesukaran dalam hidup.8

Hepi Wahyuningsih di Universitas Islam Indonesia, dalam penelitiannya


mengatakan Terapis atau konselor dapat menjadikan proses ibadah sebagai salah satu
mediator penyembuhan pada klien, terutama pada klien religius dan beragama. 9 Sungguh,
ibadah mempermudah siapapun yang menjalankannya untuk mendapatkan berbagai
manfaat, salah satu manfaat paling besar dan dicari-cari ketika beribadah adalah
ketenangan. Hal inilah yang mendasari ibadah menjadi faktor pendukung untuk kesehatan
mental manusia mengembalikan kesehatan jiwa bagi orang gelisahuga dapat membentengi
manusia dari kejatuhan kepada gangguan jiwa.

7
Harold G. Koenig, Faith and Mental Healt, Empleton Foundation Press, West
Conshohocke, 2005, 113.
8
Baidi Bukhori, Kesehatan Mental Mahasiswa Ditinjau dari Religiusitas dan
Kebermaknaan Hidup,Psikologika, No.22, Vol.11, Juli 2006, 93.
9
Hepi Wahyuningsih, Religiusitas, Spiritualitas dan Kesehatan Mental: Meta Analisis,
Psikologika, Vol.13, No.25, Januari 2008, 69.

11
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Iman adalah kepercayaan yg terhujam di kedalaman hati dengan penuh keyakinan,


tak ada perasaan syak dan ragu-ragu, serta mempengaruhi orientasi kehidupan, sikap dan
aktifitas keseharian. Ibadah adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh seorang hamba
dalam rangka mentaati Tuhan. Kesehatan Mental adalah Terhindarnya seseorang dari gejala
gangguan atau penyakit mental, terwujudnya keharmonisan yang sungguh-sungguh antar
fungsi-fungsi jiwa serta mempunyai kesanggupan untuk menghadapi problem-problem
biasa yang terjadi dan merasakan secara positif kebahagiaan dan kemampuan.
Dengan adanya iman, jiwa manusia tidak akan merasa kesepian, karena mereka
yakin bahwa akan selalu ada Allah Swt dalam setiap langkahnya, dengan iman juga hidup
manusia akan lebih terarah karena memiliki tujuan yang jelas, hal itulah yang akan
menjadikan jiwa kita lebih tenang dan damai dalam menjalani kehidupan sehingga
terhindar dari segala macam gangguan-gangguan penyakit jiwa yang rentan terjangkit pada
seseorang dengan tingkat iman yang lemah. Semakin dekat seseorang kepada Tuhan dan
semakin banyak ibadahnya, maka akan semakin tenteramlah jiwanya serta semakin mampu
ia menghadapi segala cobaan dalam hidup.

12
DAFTAR PUSTAKA

Baidi Bukhori. 2006. Kesehatan Mental Mahasiswa Ditinjau dari Religiusitas dan
Kebermaknaan Hidup. Semarang: IAIN Walisongo. No.22. Vol.11. 93.

Daradjat, Zakiah. 1983. Kesehatan Mental. Jakarta: Gunung Agung.

Harold G. Koenig, 2005. Faith and Mental Healt, Empleton Foundation Press: West
Conshohocke.

Hepi Wahyuningsih. 2008. Religiusitas, Spiritualitas dan Kesehatan Mental: Meta


Analisis. Yogyakarta: Universitas Islam Indonesia. Vol.13. No.25. 69.

Ikhwan Fuad. 2016. Menjaga Kesehatan Mental Perspektif Al-Qur’an dan Hadits. Kajian
dan Penelitian Psikologi, Vol 1 No. 1 Juni 2016, 32.

Komaruddin Hidayat. 2008. Psikologi Ibadah. Jakarta: Serambi.

Mulyadi, 2017. Islam dan Kesehatan Mental. Jakarta: Radar Jaya Offset.

13

Anda mungkin juga menyukai