Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

LP Peb Eklampsia

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 70

ASUHAN KEBIDANAN PADA

POST SC +MOW DENGAN HT KRONIS SUPERIMPOSED PEB


di RUANG MERPATI RSUD DR SOETOMO SURABAYA

Oleh :
Bintari Tri Anggraeni
011513243057

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BIDAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS AIRLANGGA
2016
HALAMAN PENGESAHAN

Asuhan Kebidanan Pada Ny “L” P3004 Post SC +MOW hari-3 dengan HT kronis si PEB di
IRNA OBGYN-Ruang Merpati RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Yang dilakukan oleh :
Nama : Bintari Tri Anggraeni
NIM : 011513243057
Telah diteliti dan disahkan oleh pembimbing klinik dan pembimbing akademik pada
Hari :
Tanggal :

Mengetahui,

Pembimbing Akademik Pembimbing Klinik


Program Sudi Pendidikan Bidan IRNA OBGYN-Ruang Merpati
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga RSUD Dr. Soetomo Surabaya

Dhasih Afiat, S.Keb.Bd,M.Kes Sulianah, SST


NIK. 139131770 NIP. 19800720 200501 2 014
Pembimbing Akademik
Program Studi Pendidikan Bidan
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Dr. Budi Prasetyo, dr,SpOG (K)


BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit hipertensi dalam kehamilan (HDK) atau preeklampsia sampai sekarang
masih merupakan masalah kebidanan yang belum dapat dipecahkan dengan tuntas. HDK
adalah salah satu dari 3 penyebab kematian utama ibu disamping perdarahan dan infeksi
(Leveno,2009)
Preeklampsia adalah keadaan peningkatan tekanan darah yang timbul setelah usia
kehamilan mencapai 20 minggu yang disertai dengan adanya oedema dan protein dalam
urin. Pre eklampsia diperkirakan secara luas menyerang 3 - 5% kehamilan (Fraser,2011).
Sampai saat ini, menurut WHO, penyebab kematian ibu terbanyak adalah pre-eklamsia-
eklamsia (28.76%), perdarahan (22.42%), infeksi (3.54%) dsb. Pada tahun 2008
ditemukan 4.940 (9,5%) kasus preeklampsia/eklampsia di Propinsi Jawa Timur dan 397
(12,3%) di Kota Surabaya (Laporan LB3 KIA Sie KIB Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Timur, 2009).
Penyebab pre eklampsia saat ini masih belum jelas, banyak faktor yang diduga
menyebabkan terjadinya preeklampsia, antara lain usia, paritas, kelainan vaskular
plasenta, kelainan imunologik, genetik, defisiensi kalsium dan psikologi ibu seperti
cemas, stress, panik hingga depresi, tapi pada penderita yang meninggal karena
preeklamsia terdapat perubahan yang khas pada organ-organ dalam (Leveno,2009)
Tiga kelainan sistim target maternal yang sering terjadi bersamaan pada kasus
preeklampsia dan eklampsia pertama sekali dilaporkan oleh Pritchard pada tahun 1954
yaitu kelainan laboratorium berupa hemolisis intravaskuler, peninggian kadar enzim-
enzim hepar dan jumlah trombosit yang rendah (Dina,2003).
Weinstein menyebutnya sebagai varian preeklampsia berat yang unik dan untuk
pertama kalinya memperkenalkan istilah SINDROMA HELLP yang merupakan
singkatan dari haemolysis (H), elevated liver enzymes (EL) dan low platelet counts (LP).
Sindroma ini juga dihubungkan dengan keadaan penyakit yang berat atau akan
berkembang menjadi lebih berat serta dengan prognosa maternal dan luaran perinatal
yang lebih jelek, walaupunpun angka-angka kematian maternal dan perinatal yang
dikemukakan masih sangat bervariasi mengingat perbedaan kriteria diagnostik yang
digunakan serta saat diagnosis ditegakkan (Dina,2003)
Dalam perjalanannya berkat kemajuan dalam bidang anastesi teknik operasi,
pemberian cairan infuse dan transfuse dan peranan antibiotic yang semakin meningkat
maka penyebab kematian ibu karena perdarahan dan infeksi dapat diturunkan dengan
nyata. Sebaliknya pada penderita eklamsi karena ketidaktahuan dan sering terlambat
mencari pertolongan angka kematian ibu bersalin belum dapat diturunkan. Maka dari itu
perlu upaya dalam menurunkan angka eklampsia dimana salah satunya adalah dengan
memberikan asuhan prakonsepsi untuk mendeteksi secara dini faktor risiko. Serta
penanganan yang cepat dan tepat pada kasus eklampsia sehingga komplikasi dapat
diminimalkan.
1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan umum
Mahasiswa mampu melaksankan asuhan kebidanan pada eklampsia secara
komprehensif menggunakan pola pikir manajemen Varney, dan mendokumentasikan
asuhan yang diberikan dalam bentuk SOAP.
1.2.2 Tujuan khusus
1) Mampu melaksanakan pengumpulan dan pengkajian data subjektif dan data objektif
pada kasus PEB.
2) Mampu mengidentifikasi diagnosa dan masalah aktual pada kasus PEB.
3) Mampu mengidentifikasi diagnosa potensial dan masalah potensial pada kasus PEB.
4) Mampu mengidentifikasi kebutuhan tindakan segera pada kasus PEB.
5) Mampu mengembangkan rencana tindakan asuhan kebidanan secara menyeluruh pada
kasus PEB.
6) Mampu melaksanakan rencana tindakan asuhan kebidanan menyeluruh sesuai
kebutuhan pada kasus PEB.
7) Mampu melakukan evaluasi terhadap asuhan yang diberikan pada kasus PEB.
8) Mampu membuat dokumentasi asuhan kebidanan SOAP pada kasus PEB.
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Masa Nifas


2.1 1. Pengertian
Masa nifas atau puerperium dimulai sejak 1 jam setelah lahirnya plasenta sampai
dengan 6 minggu (42 hari) setelah itu (Sarwono, 2009). Masa nifas (puerperium) adalah
masa sesudah persalinan dimulai setelah plasenta lahir dan berakhir ketika alat-alat
kandungan kembali seperti keadaan sebelum hamil. Masa nifas berlangsung selama
kira-kira 6 minggu (Saifuddin, 2006)
Periode pascapartum adalah masa dari kelahiran plasenta dan selaput janin
(menandakan akhir periode intrapartum) hingga kembalinya traktus reproduksi wanita
pada kondisi tidak hamil, bukan kondisi prahamil (Varney H dkk, 2008).
Dari pengertian-pengertian di atas dapat diketahui bahwa hasil yang diperoleh dari
masa nifas adalah kembalinya kondisi alat reproduksi seperti sebelum hamil. Namun,
perlu diingat bahwa wanita tidak kembali ke keadaan fisiologis dan antomis yang sama
persis, ada bagian-bagian organ reproduksi yang mengalami perbedaan baik anatomis
maupun fisiologisnya antara sebelum dan setelah hamil, sehingga hal ini dapat
dijadikan sebagai penanda (bukti objektif) antara wanita yang sudah pernah hamil dan
melahirkan dan wanita yang belum hamil dan melahirkan.
2.1 2. Tujuan Asuhan Masa Nifas
• Menjaga kesehatan ibu dan bayinya, baik fisik maupun psikologis
• Melaksanakan skrinning yang komprehensif, mendeteksi masalah, mengobati atau
merujuk bila terjadi komplikasi pada ibu dan bayinya.
• Memberikan pendidikan kesehatan tentang perawatan kesehatan dini, nutrisi,
keluarga berencana, menyusui, pemberian imunisasi kepada bayinya dan
perawatan bayi sehat.
• Memberikan pelayanan keluarga berencana.
2.1 3. Tahapan Masa nifas
1) Puerperium dini (awal)
Kepulihan dimana ibu telah diperbolehkan berdiri dan berjalan-jalan, dimulai dari
lahirnya plasenta sampai 40 hari/ 6 minggu post partum.
2) Intermediat puerperium
Kepulihan menyeluruh alat-alat genitalia, dimulai dari 6 minggu sampai 8 minggu
post partum.
3) Remote puerperium
Waktu yang diperlukan untuk pulih dan sehat sempurna terutama bila selama hamil
atau waktu persalinan ibu mengalami komplikasi maka waktu untuk sehat
sempurna bisa berminggu-minggu, bulanan bahkan tahunan, dimulai setelah 8
minggu post partum sampai organ reproduksi benar-benar mendekati kondisi
prahamil (Saifuddin, 2009).
2.1 4. Perubahan Fisiologis dan Anatomis pada Masa Nifas
1. Sistem Reproduksi
a) Involusi Uterus
Involusi uterus atau pengerutan uterus merupakan suatu proses dimana uterus
kembali pada keadaan semula atau ke kondisi sebelum hamil dengan bobot hanya
60 gram.
Involusi Tinggi Fundus Uteri Berat Uterus
Bayi lahir Setinggi pusat 1000 gr
Uri lahir 2 jari di bawah pusat 750 gr
1 minggu Pertengahan pusat simfisis 500 gr
2 minggu Tidak teraba di atas simfisis 350 gr
6 minggu Bertambah kecil 50 gr
8 minggu Sebesar normal 30 gr
Involusi uterus melibatkan reorganisasi dan penanggalan desidua/endometrium dan
pengelupasan lapisan pada tempat implantasi plasenta sebagai tanda penurunan
ukuran dan berat serta perubahan tempat uterus, warna dan jumlah lochea.
Proses involusi uterus adalah sebagai berikut :
1) Iskemia Miometrium
Disebabkan oleh kontraksi dan retraksi yang terus menerus dari uterus setelah
pengeluaran plasenta membuat uterus relative anemi dan menyebabkan serat
otot atrofi
2) Autolysis
Autolysis merupakan proses penghancuran diri sendiri yang terjadi di dalam
otot uterus. Enzim proteolitik akan memendekkan jaringan otot yang telah
sempat mengendur hingga 10 kali panjangnya dari semula dan lima kali lebar
dari semula selama kehamilan atau dapat juga dikatakan sebagai pengerusakan
secara langsung jaringan hipertropi yang berlebihan hal ini disebabkan karena
penurunan hormon estrogen dan progesteron.
3) Efek Oksitosin
Oksitosin menyebabkan terjadinya kontraksi dan retraksi otot uterin sehingga
akan menekan pembuluh darah yang mengakibatkan berkurangnya suplai
darah ke uterus. Proses ini membantu untuk mengurangi situs atau tempat
implantasi plasenta serta mengurangi perdarahan.
Penurunan ukuran uterus yang cepat itu dicerminkan oleh perubahan lokasi
uterus ketika turun keluar dari abdomen dan kembali menjadi organ pelvik.
Segera setelah proses persalinan puncak fundus kira-kira dua pertiga hingga
tiga perempat dari jalan atas diantara simfisis pubis dan umbilicus. Kemudian
naik ke tingkat umbilicus dalam beberapa jam dan bertahan hingga satu atau
dua hari dan kemudian secara berangsur-angsur turun ke pelvik yang secara
abdominal tidak dapat terpalpasi di atas simfisis setelah sepuluh hari.
b) Implantasi tempat perlekatan plasenta
Setelah persalinan, tempat plasenta merupakan tempat dengan permukaan kasar,
tidak rata, kira-kira sebesar telapak tangan dan menonjol ke dalam cavum uteri.
Segera setelah plasenta lahir, penonjolan tersebut dengan diameter 7,5 cm,
sesudah 2 minggu diameternya menjadi 3,5 cm dan 6 minggu telah mencapai 24
mm.
Pada permulaan nifas bekas plasenta mengandung banyak pembuluh darah besar
yang tersumbat oleh trombus. Biasanya luka yang demikian sembuh dengan
menjadi parut, tetapi luka bekas plasenta tidak meninggalkan parut. Hal ini
disebabkan karena luka ini sembuh dengan cara yang luar biasa, yaitu dilepaskan
dari dasarnya dengan pertumbuhan endometrium baru di bawah permukaan luka.
Endometrium ini tumbuh dari pinggir luka dan juga dari sisa-sisa kelenjar pada
dasar luka.
c) Pengeluaran Lochea
Akibat involusi uteri, lapisan luar desidua yang mengelilingi situs plasenta akan
menjadi nekrotik. Desidua yang mati akan keluar bersama dengan sisa cairan.
Percampuran antara darah dan desidua inilah yang dinamakan lochea.
Lochea adalah ekskresi cairan rahim selama masa nifas dan mempunyai reaksi
basa/alkalis yang membuat organisme berkembang lebih cepat dari pada kondisi
asam yang ada pada vagina normal. Lochea mempunyai bau yang amis (anyir)
meskipun tidak terlalu menyengat dan volumenya berbeda-beda pada setiap
wanita. Lochea mengalami perubahan karena proses involusi. Pengeluaran lochea
dapat dibagi menjadi lochea rubra, sanguilenta, serosa dan alba. Perbedaan masing-
masing lochea dapat dilihat sebagai berikut:
Lochea Waktu Warna Ciri-ciri
Rubra 1-3 hari Merah Terdiri dari sel desidua, verniks caseosa,
kehitaman rambut lanugo, sisa mekonium dan sisa darah
Sanguilenta 3-7 hari Putih bercampur Sisa darah bercampur lendir
merah
Serosa 7-14 Kekuningan/ Lebih sedikit darah dan lebih banyak serum,
hari kecoklatan juga terdiri dari leukosit dan robekan laserasi
plasenta
Alba >14 putih Mengandung leukosit, selaput lendir serviks
hari dan serabut jaringan yang mati.

d) Endometrium
Perubahan–perubahan endometrium ialah timbulnya trombosis degenerasi dan
nekrosis di tempat inplantasi plasenta.
Hari I : Endometrium setebal 2 – 5 mm dengan permukaan yang kasar akibat
pelepasan desidua dan selaput janin.
Hari II : Permukaan mulai rata akibat lepasnya sel – sel dibagian yang mengalami
degenerasi.
e) Perubahan pada serviks, vulva, vagina dan perineum.
Segera setelah post partum, serviks agak menganga seperti corong, karena corpus
uteri yang mengadakan kontraksi. Sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga
perbatasan antara corpus dan serviks uteri berbentuk seperti cincin. Warna serviks
merah kehitam – hitaman karena pembuluh darah.
Serviks secara cepat mengalami pemulihan dan menutup; Segera setelah bayi
dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukan 2 – 3 jari saja dan setelah 1
minggu hanya dapat dimasukan 1 jari ke dalam cavum uteri. Namun, serviks tidak
pernah kembali ke keadaannya semula dan selalu memperlihatkan bukti persalinan,
diantaranya:
1) Os eksternus pulih membentuk celah dan bukan cekungan seperti nulipara
2) Pinggir-pinggirnya tidak rata tetapi retak-retak karena robekan dalam
persalinan. Oleh robekan ke samping ini terbentuk bibir depan dan bibir
belakang dari serviks.
3) Lingkaran retraksi berhubungan dengan bagian atas dari canalis servikalis.
4) Pada serviks terbentuk otot-otot baru.
5) Vagina yang sangat diregang waktu persalinan, lambat laun mencapai ukuran-
ukurannya yang normal, dan pada minggu keriga postpartum rugae vagina
mulai nampak kembali.
Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan serta
peregangan, setelah beberapa hari persalinan kedua organ ini kembali dalam
keadaan kendor. Rugae timbul kembali pada minggu ketiga. Hymen tampak
sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukkan berubah menjadi krankulae
mitiformis yang khas bagi wanita multipara. Ukuran vagina akan selalu lebih besar
dibandingkan keadaan saat sebelum persalinan pertama.
Perubahan perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami
robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan
episiotomi dengan indikasi tertentu. Biasanya perineum menjadi agak bengkak /
oedem / memar dan mungkin ada luka jahitan bekas robekan atau episiotomi.
Proses penyembuhan luka episiotomi biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah
melahirkan.
2. Sistem Pencernaan
Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya tingginya kadar progesteron yang dapat mengganggu keseimbangan
cairan tubuh, meningkatkan kolesterol darah, dan melambatkan kontraksi otot-otot
polos. Pasca melahirkan,kadar progesteron juga mulai menurun. Namun demikian,
faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal. Pasca melahirkan
biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan untuk mengkonsumsi makanan.
Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus kembali normal.
Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga
mengalami penurunan selama 1 – 2 hari. Kecuali ada komplikasi kelahiran, tidak ada
alasan untuk menunda pemberian makan pada wanita pasca partum yang sehat lebih
lama dari waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengkajian awal.
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cema menetap selama
waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan anastesia bisa
memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal.
3. Sistem Perkemihan
Pasca melahirkan biasanya ibu merasa sulit buang air kecil sehingga ibu post partum
dianjurkan segera buang air kecil agar tidak mengganggu proses involusi uteri dan ibu
merasa nyaman. Hal yang menyebabkan kesulitan buang air kecil pada ibu
postpartum, antara lain :
a) Adanya oedema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi retensi
urine.
b) Diaphoresis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretensi dalam
tubuh, terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.
c) Depresi dari sfingter uretra oleh karena penekan kepala janin dan spasme oleh
iritasi muskulus sfingter ani selama persalinan, sehingga menyebabkan miksi.
Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun, hilangnya
peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah dan hilangnya peningkatan volume
darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi
kelebihan cairan. Keadaan seperti ini disebut dengan diuresis pasca partum dan
diuresis yang sangat banyak terjadi dalam hari-hari pertama puerperium. Diuresis
yang banyak mulai segera setelah persalinan sampai 5 hari postpartum. Empat puluh
persen ibu postpartum tidak mempunyai proteinuri yang patologi dari segera setelah
lahir sampai hari kedua postpartum, kecuali ada gejala infeksi dan preeklamsi.
Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca
persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter selama
24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan
kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan
dapat berkemih seperti biasa.
4. Sistem Endokrin
(1) Oksitosin
Oksitosin dikeluarkan oleh glandula pituitary posterior dan bekerja terhadap otot
uterus dan jaringan payudara. Oksitosin di dalam sirkulasi darah menyebabkan
kontraksi otot uterus dan pada waktu yang sama membantu proses involusi uterus.
(2) Prolaktin
Penurunan estrogen menjadikan prolaktin yang dikeluarkan oleh glandula pituitary
anterior bereaksi terhadap alveoli dari payudara sehingga menstimulasi produksi ASI.
Pada ibu yang menyusui kadar prolaktin tetap tinggi dan merupakan permulaan
stimulasi folikel di dalam ovarium ditekan.
(3) HCG, HPL, Estrogen, dan progesterone
Ketika plasenta lepas dari dinding uterus dan lahir, tingkat hormon HCG, HPL,
estrogen, dan progesteron di dalam darah ibu menurun dengan cepat, normalnya
setelah 7 hari.
Tabel Perubahan Sistem Endokrin pada Masa Nifas
Hormon Perubahan Yang Keadaan Terendah
Terjadi
Hormon Placental Lactogen Menurun 24 jam
Estrogen Menurun Hari ke-7
Progesteron Menurun Hari ke-7
FSH Menurun Hari ke 10-12
LH Menurun Hari ke 10-12
Prolaktin Menurun Hari ke-14

5. Sistem Kardiovaskuler
Sebagai kompensasi jantung dapat terjadi bradikardi 50-70 x/menit, keadaan ini
dianggap normal pada 24-48 jam pertama. Penurunan tekanan darah sistolik 20
mmHg pada saat klien merubah posisi dari berbaring ke duduk lebih disebabkan oleh
reflek ortostatik hipertensi.
Curah jantung meningkat selama persalinan dan berlangsung sampai kala tiga ketika
volume darah uterus dikeluarkan. Penurunan terjadi pada beberapa hari pertama
postpartum dan akan kembali normal pada akhir minggu ketiga postpartum.
Penurunan volume darah sangat berkaitan dengan kehilangan darah yang dialami
selama melahirkan. Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan
diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin pada hari ke-3 sampai
hari ke-7 postpartum dan akan kembali normal dalam 4-5 minggu postpartum (Dewi
dan Tri, 2011).
6. Sistem Hematologi
Leukositosis mungkin terjadi selama persalinan, sel darah merah berkisar 15.000
selama persalinan. Peningkatan sel darah putih berkisar antara 25.000-30.000. Hal ini
dapat meningkat pada awal nifas yang terjadi bersamaan dengan peningkatan tekanan
darah serta volume plasma dan volume sel darah merah. Jumlah Hb, hematokrit, dan
eritrosit sangat bervariasi pada saat awal masa post partum sebagai akibat dari volume
darah yang berubah- ubah. Semua tingkatan dipengaruhi oleh status gizi wanita
tersebut. Selama proses kelahiran diperkirakan kehilangan darah sekitar 200-500 ml.
Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan disosialisasikan dengan
peningkatan Hematokrit dan Hb pada hari ke-3 sampai hari ke-7 post partum, yang
akan kembali normal dalam 4-5 minggu post partum.
Perubahan komponen darah, pada masa nifas terjadi perubahan komponen darah,
misalnya jumlah sel darah putih akan bertambah banyak. Jumlah sel darah merah dan
Hb akan berfluktuasi, namun dalam 1 minggu pasca persalinan biasanya semuanya
akan kembali lagi pada keadaan semula. Curah jantung dan jumlah darah yang
dipompakan oleh jantung akan tetap tinggi pada awal masa nifas dan dalam 2 minggu
akan kembali pada keadaan normal (Cunningham, et. al, 2013).
7. Sistem Musculoskeletal
Perubahan sistem musculoskeletal terjadi pada saat umur kehamilan semakin
bertambah. Adaptasi musculoskeletal ini mencakup : peningkatan berat badan,
bergesernya pusat akibat perbesaran rahim, relaksasi dan hipermobilitas.
(1) Dinding abdominal dan peritoneum
Dinding perut akan longgar dan lembek setelah proses persalinan karena peregangan
selama kehamilan, dimana pada masa kehamilan kulit abdomen akan melebar,
melonggar dan mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari dinding abdomen
dapat kembali normal kembali dalam beberapa minggu pasca melahirkan dengan
latihan post natal.
(2) Striae
Striae adalah suatu perubahan warna seperti jaringan parut pada dinding abdomen.
Striae pada dinding abdomen tidak dapat menghilang sempurna melainkan
membentuk garis lurus yang samar. Tingkat diastatismuskulus rektus abdominis pada
ibu postpartum dapat dikaji melalui keadaan umum, aktifitas, paritas dan jarak
kehamilan, sehingga dapat membantu menentukan lama pengambalian tonus otot
menjadi normal.
(3) Perubahan ligamen
Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu kehamilan
dan partus, setelah janin lahir, berangsur-angsur menciut kembali seperti sediakala.
Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus
menjadi retroflexi. Tidak jarang pula wanita mengeluh “kandungannya turun” setelah
melahirkan oleh karena ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak
kendor.
(4) Simfisis pubis
Pemisahan simfisis pubis jarang terjadi. Namun demikian, hal ini dapat menyebabkan
morbiditas maternal. Gejala dari pemisahan simfisis pubis antara lain : nyeri tekan
pada pubis disertai peningkatan nyeri saat bergerak di tempat tidur ataupun waktu
berjalan. Pemisahan simfisis dapat dipalpasi. Gejala ini dapat menghilang setelah
beberapa minggu atau bulan pasca melahirkan, bahkan ada yang menetap sehingga
diperlukan kursi roda.
Adapun gejala-gejala system musculoskeletal yang biasa timbul pada masa pasca
partum antara lain nyeri punggung bawah, sakit kepala/nyeri leher, nyeri pelvis
posterior, disfungsi simfisis pubis, diastasis rekti, osteoporosis akibat kehamilan dan
disfungsi dasar panggul.
8. Laktasi/Pengeluaran ASI
Selama kehamilan, hormon estrogen dan progesteron menginduksi perkembangan
alveolus dan duktus latiferus di dalam mammae/payudara dan juga merangsang
produksi kolustrum. Namun, produksi ASI tidak berlangsung sampai sesudah
kelahiran bayi ketika kadar hormon estrogen menurun. Penurunan kadar estrogen ini
memungkinkan naiknya kadar prolaktin dan produksi ASI pun dimulai. Produksi
prolaktin yang berkesinambungan disebabkan oleh menyusunya bayi pada mammae
ibu. Pelepasan ASI berada di bawah kendali neuro-endokrin. Rangsangan sentuhan
pada payudara (yaitu bayi menghisap) akan merangsang produksi oksitosin yang
menyebabkan kontraksi sel-sel myoepitel. Proses ini disebut sebagai refleks let down
atau pelepasan ASI dan membuat ASI tersedia bagi bayi (Pusdiknakes, 2003:15).
Pada 15, 30. Dan 45 menit setelah bayi lahir, peningkatan oksitosin terjadi secara
signifikan jika bayi diletakkan kulit ke kulit. Jika bayi tidak menyusu, kadar oksitosin
kembali pada nilai dasar. Oksitosin adalah hormon yang meningkatkan ikatan ibu
dengan bayi dan perilaku maternal lainnya (Varney, 2007:986).
Hisapan bayi memicu pelepasan ASI dari alveolus mammae melalui duktus ke sinus
laktiferus. Hisapan merangsang produksi oksitosin oleh kelenjar hipofisis posterior.
Oksitosin memasuki darah dan menyebabkan kontraksi sel-sel khusus (sel-sel
myoepitel) yang mengelilingi alveolus mammae dan duktus laktiferus. Kontraksi sel-
sel khusus ini mendorong ASI keluar dari alveolus melalui duktus laktiferus menuju
ke sinus laktiferus dimana ASI akan disimpan. Pada saat bayi menghisap, ASI di
dalam sinus tertekan keluar ke mulut bayi. Gerakan ASI dari sinus ini disebut letdown
atau pelepasan. Pada akhirnya, let down dapat dipicu tanpa rangsangan hisapan. Let
down dapat terjadi bila ibu mendengar bayi menangis atau sekedar memikirkan
tentang bayinya. Let down penting sekali bagi pemberian ASI yang baik. tanpa
pelepasan, bayi dapat menghisap terus menerus tetapi hanya memperoleh sebagian
dari ASI yang tersedia dan tersimpan di dalam payudara. Bila let down gagal terjadi
berulangkali dan payudara berulangkali tidak dikosongkan pada waktu pemberian
ASI, refleks ini akan berhenti berfungsi, dan laktasi akan berhenti.
Cairan pertama yang diperoleh bayi dari ibunya sesudah melahirkan adalah
kolostrum, yang mengandung campuran yang lebih kaya akan protein, mineral, dan
antibodi daripada ASI yang telah mature. ASI mulai ada kira-kira pada hari ketiga
atau keempat setelah kelahiran bayi, dan kolostrum berubah menjadi ASI yang mature
kira-kira 15 hari sesudah bayi lahir. Bila ibu menyusui sesudah bayi lahir dan bayi
diperbolehkan sering menyusu, maka proses adanya ASI akan meningkat
(Pusdiknakes, 2003:15-16).
Berat payudara saat laktasi sekitar 600-800 gram. Kecepatan sintesis dan banyaknya
ASI yang diproduksi dapat bervariasi pada tiap payudara menurut frekuensi menyusui
dan banyaknya ASI yang dikeluarkan. Laktogenesis mulai sekitar 12 minggu sebelum
melahirkan sebagai laktogenesis I dan dimulai pada masa postpartum dengan
penurunan progesteron yang cepat setelah pelahiran plasenta (laktogenesis II). Tahap
II ditandai dengan sekresi ASI yang banyak pada dua sampai tiga hari postpartum.
Galaktopoiesis (tahap III laktogenesis) merupakan produksi ASI matur yang terus
menerus. Penyapihan mengakibatkan involusi payudara, yang dikarakteristikkan
dengan dua proses fisiologis yang berbeda: sel sekretorik mengalami apoptosis
(kematian sel yang terprogram) dan membran dasar kelenjar mammae mengalami
degradasi proteolitik. Selama involusi payudara, banyak epitelium payudara
direabsorpsi (Varney, 2007).
a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laktasi
Antara lain faktor anatomis atau fisiologis mammae, makanan atau diet ibu,
intake cairan, istirahat ibu, isapan bayi, obat-obatan dan psikologis ibu. Produksi
ASI bertambah sesuai dengan kebutuhan bayi, pada umumnya kebutuhan ASI
bertambah apabila keadaan ibu normal. Mammae keras dan oedema terjadi bila
terdapat penumpukan ASI sehingga menimbulkan gangguan sirkulasi darah dan
getah bening dan menimbulkan nyeri (Sarwono Prawirohardjo, 2007).
b. Manajemen laktasi adalah suatu tata laksanan menyeluruh yang menyangkut
laktasi dan penggunaan ASI, yang menuju suatu keberhasilan menyusui untuk
pemeliharaan kesehatan ibu dan bayinya. Secara singkat manajemen laktasi
dijabarkan berdasarkan faktor-faktor dalam periode kehamilan sebagai berikut:
 Periode prenatal
1. Pendidikan-penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang manfaat
menyusui dan pelaksanaaan rawat gabung.
2. Adanya dukungan keluarga.
3. Adanya dukungan dan kemampuan tenaga kesehatan.
4. Pemeriksaan payudara.
5. Persiapan payudara.
6. Persiapan payudara dan puting susu.
7. Gizi yang bermutu
8. Cara hidup sehat.
 Periode nifas dini
1. Ibu dan bayi harus siap menyusui
2. Segera menyusu setelah bayi lahir
3. Teknik menyusui yang benar
4. Menyusui harus sering sesuai kebutuhan
5. Tidak memberikan susu formula
6. Tidak memakai puting buatan atau pelindung
7. Pergunaka kedua payudara bergantian
8. Perawatan payudara
9. Memelihara fisik dan psikis
10. Makanan yang bermutu
11. Istirahat cukup
 Periode nifas lanjut-sistem penunjang
1. Sangat idela dalam 7 hari setelah pulang dari rumah sakit, si ibu dihubungi
atau dikunjunig untuk melihat perkembangan dan situasi rumahnya,
persoalan biasanya timbul pada minggu pertama.
2. Adanya sarana pelayanan atau konsultasi bila secara mendadak ibu
mendapat persoalan dengan laktasi dan menyusui
3. Adanya keluarga dan teman yang membantu dirumah.
2.1.5 Adaptasi Psikologis Masa Nifas
Periode postpartum menyebabkan stres emosional terhadap ibu baru, bahkan lebih
menyulitkan bila terjadi perubahan fisik yang hebat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
suksesnya, yaitu: respon dan dukungan dari keluarga dan teman, hubungan antara
pengalaman melahirkan dan harapan serta aspirasi, pengalaman melahirkan dan
membesarkan anak yang lain, pengaruh budaya (Bahiyatun, 2009).
Satu atau dua hari postpartum, ibu cenderung pasif dan tergantung. Ia hanya
menuruti nasihat, ragu-ragu dalam membuat keputusan, masih berfokus untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri, masih menggebu membicarakan pengalaman
persalinan. Periode ini diuraikan oleh Rubin terjadi dalam 3 tahap, yaitu:
1) Taking in
a) Periode ini terjadi 1-2 hari sesudah melahirkan. Ibu pada umumnya pasif
tergantung, perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan tubuhnya.
b) Ibu akan mengulang-ulang pengalamannya waktu bersalin dan melahirkan.
c) Tidur tanpa gangguan sangat penting untuk mencegah gangguan tidur.
d) Peningkatan nutrisi mungkin dibutuhkan karena selera makan ibu biasanya
bertambah. Nafsu makan yang kurang menandakan proses pengembalian
kondisi ibu tidak berlangsung normal.
2) Taking hold
a) Berlangsung 2-4 hari postpartum. Ibu menjadi perhatian pada kemampuannya
menjadi orang tua yang sukses dan meningkatkan tanggung jawab terhadap
bayi.
b) Perhatian terhadap fungsi-fungsi tubuh (misalnya, eliminasi).
c) Ibu berusaha keras untuk menguasai ketrampilan utuk merawat bayi, misalnya
menggendong dan menyusui. Ibu agak sensitif dan merasa tidak mahir dalam
melakukan hal tersebut, sehingga cenderung menerima nasihat dari bidan karena
ia terbuka untuk menerima pengetahuan dan kritikan yang bersifat pribadi.
3) Letting go
a) Terjadi setelah ibu pulang ke rumah dan sangat berpengaruh terhadap waktu dan
perhatian yang diberikan oleh keluarga.
b) Ibu merasa mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayi. Ia harus
beradaptasi dengan kebutuhan bayi yang sangat tergantung, yang menyebabkan
berkurangnya hak ibu dalam kebebasan dan berhubungan sosial.
c) Pada periode ini umumnya terjadi depresi postpartum (Bahiyatun, 2009)
2.1.6 Kebutuhan Masa Nifas
1. Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pada masa nifas meningkat 25% yaitu untuk produksi ASI dan
memenuhi kebutuhan cairan yang meningkat tiga kali dari biasanya. Penambahan
kalori pada ibu nifas sebanyak 500 kkal tiap hari. Makanan yang dikonsumsi ibu
berguna untuk melakukan aktivitas, metabolisme, cadangan dalam tubuh, proses
produksi ASI serta sebagai ASI itu sendiri yang akan dikonsumsi bayi untuk
pertumbuhan dan perkembangannya.
Makanan yang dikonsumsi juga perlu memenuhi syarat, seperti susunannya harus
seimbang, porsinya cukup dan teratur, tidak terlalu asin, pedas atau berlemak,
tidak mengansung alkohol, nikotin serta bahan pengawet dan pewarna. Menu
makanan yang seimbang mengandung unsur-unsur, seperti sumber tenaga,
pembangun, pengatur dan pelindung. Untuk kebutuhan cairannya, ibu menyusui
harus minum sedikitnya 3 liter air setiap hari (Heliana Mellyana, 2008).
2. Istirahat
Istirahat atau tidur sangat diperlukan untuk mengembalikan kelelahan akibat
proses persalinan, disamping itu bermanfaat untuk membantu produksi ASI,
proses involusi, mengurangi darah yang keluar serta mengurangi depresi (Heliana
Mellyana, 2008).
Setelah menghadapi ketegangan dan kelelahan saat melahirkan, usahakan untuk
rileks dan istirahat yang cukup, terutama saat bayi sedang tidur. Pasang dan
dengarkan lagu-lagu klasik pada saat ibu dan bayi beristirahat untuk
menghilangkan rasa tegang dan lelah. Kebutuhan istirahat dan tidur harus lebih
diutamakan daripada tugas-tugas rumah tangga yang kurang penting. Jangan
sungkan untuk meminta bantuan suami dan keluarga jika ibu merasa lelah.
Istirahat juga memberi ibu energi untuk memenuhi kebutuhan makan dan
perawatan bayi sering dapat tidak terduga (Heliana Mellyana, 2008).
Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal, antara lain:
mengurangi jumlah ASI yang diproduksi, memperlambat proses involusi uterus,
memperbanyak perdarahan, bahkan menyebabkan depresi postpartum dan
ketidakmampuan untuk merawat bayi dan dirinya sendiri (Heliana Mellyana,
2008).
3. Aktifitas
Mobilisasi sangat bervariasi tergantung pada komplikasi persalinan, nifas atau
sembuhnya luka. Jika tidak ada kelainan, lakukan mobilisasi sedini mungkin,
yaitu dua jam setelah persalinan normal. ini berguna untuk memperlancar
sirkulasi darah dan mengeluarkan cairan vagina (lochea). Selain itu juga sangat
berguna bagi semua system tubuh terutama fungsi usus, kandung kemih, dan
paru-paru disamping membantu mencegah thrombosis pada pembuluh darah
tungkai dan mengubah perasaan sakit menjadi sehat (Heliana Mellyana, 2008).
4. Eliminasi
Pengeluaran air seni akan meningkat 24-48 jam pertama sampai sekitar hari ke-5
setelah melahirkan. Hal ini terjadi karena volume darah meningkat pada saat
hamil tidak diperlukan lagi setelah persalinan. Oleh karena itu, ibu perlu belajar
berkemih secara spontan dan tidak menahan buang air kecil ketika ada rasa sakit
pada jahitan. Menahan buang air kecil akan menyebabkan terjadinya bendungan
air seni dan gangguan kontraksi rahim sehingga pengeluaran cairan vagina tidak
lancar (Heliana Mellyana, 2008).
Sedangkan buang air besar akan sulit karena ketakutan akan rasa sakit, takut
jahitan terbuka atau karena adanya haemorroid (wasir). obstipasi pada 3 hari post
partum adalah fisiologis. Bila melebihi dapat dibantu dengan mobilisasi dini,
mengkonsumsi makanan tinggi serat dan cukup minum (Heliana Mellyana,
2008).
5. Kebersihan diri
Pada masa nifas dianjurkan untuk menjaga kebersihan diri secara keseluruhan
untuk menghindari infeksi, baik pada luka jahitan maupun kulit seluruh tubuh.
Pakaian sebaiknya pakaian terbuat dari bahan yang mudah menyerap keringat
karena produksi keringat menjadi banyak. Produksi keringat yang tinggi berguna
untuk menghilangkan ekstra volume saat hamil. Sebaiknya, pakaian agak longgar
di daerah dada sehingga payudara tidak tertekan dan kering. Demikian juga
dengan pakaian dalam, agar tidak terjadi iritasi (lecet) pada daerah sekitarnya
akibat lochea.
1) Kebersihan rambut : Setelah bayi lahir, ibu mungkin akan mengalami
kerontokan rambut akibat gangguan perubahan hormon sehingga keadaannya
menjadi lebih tipis dibandingkan keadaan normal. Jumlah dan lamanya
kerontokan berbeda-beda antara satu wanita dengan wanita yang lain.
Meskipun demikian, kebanyakan akan pulih setelah beberapa bulan. Cuci
rambut dengan conditioner yang cukup, lalu menggunakan sisir yang lembut.
Hindari penggunaan pengering rambut.
2) Kebersihan kulit : Setelah persalinan, ekstra cairan tubuh yang dibutuhkan saat
hamil akan dikeluarkan kembali melalui air seni dan keringat untuk
menghilangkan pembengkakan pada wajah, kaki, betis, dan tangan ibu. oleh
karena itu, dalam minggu-minggu pertama setelah melahirkan, ibu akan
merasakan jumlah keringat yang lebih banyak dari biasanya. Usahakan mandi
lebih sering dan jaga agar kulit tetap kering (Heliana Mellyana, 2008).
3) Kebersihan vulva dan sekitarnya
a) Mengajarkan ibu membersihkan daerah kelamin dengan cara membersihkan
daerah di sekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang, baru
kemudian membersihkan daerah sekitar anus. Bersihkan vulva setiap kali
buang air kecil atau besar.
b) Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut apabila
pembalut sudah penuh sehingga perlu diganti. Kain dapat digunakan ulang
jika telah dicuci dengan baik dan dikeringkan di bawah matahari atau
disetrika.
c) Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan
sesudah membersihkan daerah kelaminnya.
d) Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada ibu
untuk menjaga kebersihan luka.
6. Exercise/Latihan
Latihan setelah melahirkan dilakukan untuk memperlancar sirkulasi darah dan
mengembalikan otot-otot yang kendur, terutama rahim dan perut yang memuai
saat hamil. Latihan untuk ibu primi dapat dilakukan setelah 2 x 24 jam post
partum, untuk ibu multi dapat dilakukan setelah 1 x 24 jam post partum. Latihan
tertentu beberapa menit setiap hari sangat membantu, seperti:
1) Dengan tidur terlentang dengan lengan di samping, menarik otot perut selagi
menarik nafas ke dalam dan angkat dagu ke dada: tahan satu hitungan sampai
5. Rileks dan ulangi sebanyak 10 kali.
2) Untuk memperkuat tonus otot jalan lahir dan dasar panggul (latihan Kegel).
3) Berdiri dengan tungkai dirapatkan. Kencangkan otot-otot, pantat dan pinggul
dan tahan sampai 5 hitungan. Kendurkan dan ulangi latihan sebanyak 5 kali.
4) Mulai dengan mengerjakan 5 kali latihan untuk setiap gerakan (Heliana
Mellyana, 2008).
7. Dukungan
Ibu pada masa nifas membutuhkan dukungan emosional dan psikologis dari
pasangan dan keluarga mereka, yang bisa memberikan dukungan dengan jalan
membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas di rumah agar ibu mempunyai lebih
banyak waktu untuk mengasuh bayinya. Cegah timbulnya pertentangan dalam
hubungan keluarga yang menimbulkan perasaan kurang menyenangkan dan
kurang bahagia. Ibu dalam masa nifas bisa merasa takut, oleh karena itu ia akan
memerlukan dukungan dan dorongan dengan perasaan ketidakmampuan serta
rasa kehilangan hubungan yang erat dengan suaminya (Heliana Mellyana, 2008).
8. Perawatan Payudara
1) Menjaga payudara tetap bersih dan kering, terutama puting susu.
2) Menggunkan BH yang menyokong payudara.
3) Apabila puting susu lecet oleskan kollostrum atau ASI yang keluar pada
sekitar puting susu setiap kali selesai menyusui. Meyusui tetap dilakukan muai
dari puting susu yang tidak lecet.
4) Apabila lecet sangat berat dapat diistirahatkan selama 24 jam. ASI dikeluarkan
dan diminumkan dengan menggunakan sendok.
5) Apabila payudara bengkak akibat pembendungan ASI, lakukan:
6) Pengompresan payudara dengan menggunakan kain basah dan hangat selama 5
menit.urut payudara dari arah pangkal menuju puting atau gunkana sisir untuk
mengurut payudara dengan arah menuju puting.
7) Keluarkan ASI sebagian dari bagian depan payudara sehingga puting susu
menjadi lunak.
8) Susukan bayi setiap 2-3 jam atau sesuai kebutuhan bayi. Apabila tidak dapat
mengisap seluruh ASI sisanya keluarkan dengan tangan.
9) Bersihkan payudara setelah menyusui (Heliana Mellyana, 2008).
9. Hubungan Seksual
Sarankan secara fisik untuk memulai hubungan seksual begitu darah merah
berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya kedalam vagina tanpa
rasa nyeri, luka jahitan perineum sembuh dan tidak ada rasa tidak nyaman, aman
untuk memulai melakukan hubungan seksual kapan saja klien siap (Heliana
Mellyana, 2008).
10. Keluarga Berencana (KB)
Setiap pasangan harus menentukan sendiri kapan dan bagaimana mereka ingin
merencanakan tentang keluarganya. Idealnya pasangan menunggu sekurang-
kurangnya 2 tahun untuk kehamilan berikutnya. Meskipun beberapa metode KB
mengandung risiko, akan tetapi menggunakan kontrasepsi lebih aman. Sarankan
kapan metode KB itu dapat dimulai, digunakan untuk wanita pasca persalinan dan
menyusui (Heliana Mellyana, 2008).
2.1.8 Tanda Bahaya Masa Nifas
Tanda bahaya pada masa nifas, yaitu :
a. Perdarahan lewat jalan lahir
b. Keluar cairan berbau dari jalan lahir
c. Demam lebih dari 2 hari suhunya lebih dari 37,5⁰C
d. Bengkak pada muka, tangan, kaki, disertai sakit kepala dan kejang
e. Nyeri atau panas di daerah tungkai
f. Payudara bengkak, berwarna kemerahan dan sakit serta putting susu lecet.
g. Ibu mengalami depresi antara lain : menangis tanpa sebab dan tidak peduli
terhadap bayinya.
(PUSDIKNAKES, WHO, 2009)
2.2 Konsep Dasar Seksio Sesarea
2.2.1. Definisi
Kelahiran janin melalui abdominal (laparotomi) yang memerlukan insisi ke dalam uterus
(Norwitz, 2008).
2.2.2 Istilah-istilah Seksio Sesarea
1. Seksio sesarea primer (elektif)
Seksio sesarea ini direncanakan lebih dahulu karena sudah diketahui bahwa kehamilan
harus diselesaikan dengan pembedahan itu (Wiknjosastro, 2010).
2. Seksio sesarea sekunder
Bersikap mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan), bila tidak ada kemajuan
baru dilakukan seksio sesarea.
3. Seksio sesarea ulang (repeat caesarean section)
Dilakukan seksio sesarea ulang setelah kehamilan sebelumnya dilakukan seksio sesarea.
4. Seksio sesarea histerektomi
Suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan seksio sesarea, langsung dilakukan
histerektomi oleh karena suatu indikasi.
5. Operasi Porro
Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (janin sudah mati), dan
langsung dilakukan histerektomi misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat.
2.2.3. Indikasi
Sebagian besar indikasi bedah sesar bersifat relatif dan bergantung pada penilaian
penolong, Indikasi paling umum untuk bedah sesar primer (pertama) adalah kegagalan
proses persalinan. Disproporsi sefalopelvik absolute adalah kondisi klinis ketika janin
terlalu besar dibandingkan rongga tulang panggul sehingga tidak dapat dilakukan
persalinan per vaginam bahkan dalam kondisi paling optimum sekalipun.CPD relative
adalah ketika janin terlalu besar bagi tulang panggul karena adanya kondisi
malpresentasi (Norwitz, 2008).
Absolut Relatif
Ibu  Induksi persalinan gagal  Bedah sesar elektif
 Distosia persalinan berulang
 Disproporsi Sefalopelvik  PEB, Penyakit Jantung,
Diabetes, Kanker Serviks
Uteroplasenta  Sesar Klasik (bedah uterus  Riwayat bedah uterus
sebelumnya) sebelumnya (miomektomi
 Riwayat rupture uterus dengan ketebalan penuh)
 Obstruksi jalan lahir  Presentasi funik (tali
 Plasenta previa, abruption pusat) pada saat
plasenta berukuran besar persalinan
Janin  Gawat janin/hasil  Malpresentasi janin
pemeriksaan janin yang tidak (sungsang, presentasi alis,
meyakinkan presentasi gabungan)
 Prolaps tali pusat  Makrosomia
 Malpresentasi janin (post  Kelainan janin
melintang) (hidrosefalus)
(Norwitz, 2008).
2.2.4 Jenis Operasi Seksio Sesarea
Menurut Wiknjosastro (2010), dikenal beberapa jenis seksio sesarea yakni:
1. Seksio sesarea transperitonealis profunda
Dilakukan dengan membuat insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan pembedahan ini:
a. Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
b. Bahaya peritonitis tidak besar
c. Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya rupture uteri di kemudian hari tidak
besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami
kontraksi seperti korpus uteri, sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2. Seksio sesarea klasik (Korporal)
Dilakukan dengan membuat insisi di korpus uteri. Pembedahan ini, yang agak mudah
untuk dilakukan, hanya diselenggarakan bila ada halangan untuk melakukan seksio
sesarea transperitonealis profunda, misal karena melekat eratnya uterus pada dinding
perut, atau apabila ada maksud untuk melakukan histerektomi setelah janin
dilahirkan.Kekurangan pembedahan ini:
a. Bahaya peritonitis lebih besar
b. Bahaya rupture uteri pada kehamilan yang akan datang kira-kira 4 kali lebih besar
3. Seksio sesarea ekstraperitoneal
Pembedahan ini sekarang tidak tidak banyak lagi dilakukan karena teknik yang sulit dan
seringkali terjadinya sobekan peritoneum tidak dapat dihindarkan.
2.2.5. Komplikasi
1) Perdarahan (kemungkinan membutuhkan transfusi darah)
2) Infeksi (faktor resiko untuk infeksi pascaoperasi termasuk diabetes, obesitas, bedah sesar
darurat, demam intrapartum, pemantauan janin internal, anemia, riwayat pembedahan
abdomen sebelumnya, hematoma, induksi persalinan, status sosioekonomi rendah,
ketuban pecah memanjang)
3) Cedera pada janin
4) Cedera pada organ di dekat uterus (usus, kandung kemih, ureter, pembuluh darah)
Mungkin perlu pembedahan lebih lanjut (histerektomi, masa nifas, jahitan di usus)
(Norwitz, 2008).
2.2.6 Prinsip Perawatan Pascaoperatif
1. Fungsi Gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal pada pasien obstetri yang tindakannya tidak terlalu berat akan
kembali normal dalam waktu 12 jam (Saifuddin, 2008).
a. Jika tindakan bedah tidak berat, berikan pasien diet cair.
b. Jika ada tanda infeksi atau jika seksio sesarea karena partus macet atau ruptur uteri,
tunggu sampai bising usus timbul.
c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat.
2. Fase Penyembuhan Luka Operasi
Penyembuhan luka (pembedahan) adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringanyang
berhubungan dengan regenerasi sel/jaringan.
a. Fase Inflamatori
1) Fase ini terjadi segera setelah luka sampai 3-4 hari
2) Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu, hemostasis dan fagositosis
b. Fase Proliferatif
1) Berlangsung hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah pembedahan
2) Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) ke daerah luka mulai 24 jam pertama
3) Dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar menjadi proteoglikan kira-kira 5 hari
setelah luka
c. Fase Maturasi
1) Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan
2) Fibroblast terus mensintesis kolagen
3) Kolagen menjalin dirinya menyatukan sistem struktur yang lebih kuat
4) Bekas luka menjadi kecil
5) Kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih
3. Perawatan Luka
Penutup/pembalut luka berfungsi sebagai penghalang terhadap infeksi selama proses
penyembuhan.
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak, jangan
mengganti pembalut, perkuat pembalutnya dan pantau keluarnya cairan dan darah. Jika
perdarahan tetap bertambah atau sudah membasahi setengah atau lebih dari pembalutnya,
buka pembalut, inspeksi luka, atasi penyebabnya dan ganti dengan pembalut baru.
b. Jika pembalut kendor, jangan ganti pembalutnya tetapi berikan plester untuk
mengencangkan.
c. Ganti pembalut dengan cara yang steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih.
4. Analgesia
a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
b. Pemberian sedasi yang berlebih akan menghambat mobilitas yang diperlukan waktu pasca
bedah
5. Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi jumlah urin
serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
6. Demam
Dalam 24 jam pertama, suhu tubuh mungkin meningkat sedikit (380C) sebagai respon
terhadap stress persalinan, terutama dehidrasi.Namun suhu yang melebihi 380C pasca
pembedahan harus dicari penyebabnya.Hal ini mungkin menandakan adanya infeksi.
7. Fungsi Kandung Kemih
Pemakaian kateter dibutuhkan pada prosedur bedah. Semakin cepat melepas kateter akan
lebih baik mencegah kemungkinan infeksi dan membuat pasien lebih cepat mobilisasi.
a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah bedah atau sesudah semalam.
b. Jika urin tidak jernih, biarkan kateter dipasang sampai urin jernih
c. Kateter dipasang 48 jam pada kasus:
1) Bedah karena ruptur uteri
2) Partus lama/partus macet
3) Edema perineum yang luas
4) Sepsis puerperalis
8. Ambulasi/mobilisasi
Mobilisasi memberikan manfaat seperti perbaikan sirkulasi darah, membuat napas dalam
dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal (Saifuddin, 2008). Mobilisasi
dapat dilakukan sesegera mungkin sesuai kemampuan ibu.
2.3 Pre Eklampsia Berat (PEB)
2.3.1 Pengertian PEB
Pre eklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria (Angsar, 2008). Pre eklampsia adalah sindrom khas kehamilan berupa
penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan pengaktifan endotel (Leveno, 2009). Pre
eklampsia merupakan salah satu klasifikasi dari hipertensi selama kehamilan.
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik >110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/ 24 jam
(Prawirohardjo, 2009).
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi >160/110 disertai protein urine dan atau edema, pada kehamilan 20
minggu atau lebih (Agus Abadi, dkk 2008).
2.3.2 Faktor Predisposisi
Etiologi penyakit ini sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Oleh
karena itu, disebut “penyakit teori”. Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya
preeklampsia (hipertensi dalam kehamilan) yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Usia
Usia yang berisiko terkena preeklampsia adalah yang berusia ≥ 35 tahun. Pada usia
35 tahun atau lebih, dimana pada usia ini dinding arterinya telah menebal dan kaku karena
proses arterosklerosis akibat endapan kalsium di dinding pembuluh darah arteri besar
kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga tidak dapat mengembang pada saat
jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu, darah pada setiap denyut
jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dan menyebabkan naiknya
tekanan darah yang merupakan salah satu gejala dari preeklampsia
2. Paritas
Wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7 sampai 10 persen) jika dibandingkan
dengan wanita multipara (Leveno, 2009). Preeklampsia seringkali terjadi pada kehamilan
pertama, terutama pada ibu yang berusia belasan tahun. Catatan statistik menunjukkan dari
seluruh insidensi dunia, dari 5%-8% pre-eklampsia dari semua kehamilan, terdapat 12%
lebih dikarenakan oleh primigravida. Selain itu, preeklampsia juga sering terjadi pada
wanita yang hamil dengan pasangan baru. Menurut Robillard et al, (1994) dalam Fraser
(2009), tingginya insiden penyakit hipertensi pada primigravida, menurunnya prevalensi
setelah pajanan jangka panjang terhadap sperma paternal, menjadi data yang mendukung
respon imun (Fraser, 2009).
3. Riwayat Preeklampsia sebelumnya
Ibu dengan riwayat preeklampsia terdahulu, 1/3 dari klien mengalami hipertensi
(meskipun belum pasti preeklampsia) pada kehamilan berikutnya (Varney, 2007).
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami
preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia (Angsar,
2008).
5. Stress, Cemas dan Depresi
Meskipun dibeberapa teori tidak pernah disinggung kaitannya dengan kejadian
preeklampsia, namun pada teori stres yang terjadi dalam waktu panjang dapat
mengakibatkan gangguan seperti tekanan darah. Ketika stres, sinyal otak memicu
pelepasan berbagai bahan kimia alami pada otak, termasuk adrenalin dan kortisol.
Tingginya bahan kimia tersebut dapat mengganggu ingatan dan menimbulkan risiko
depresi yang sangat besar. Kortisol yang meningkat mengakibatkan pengeluaran
angiotensin II dimana fungsi angiotensin II adalah meningkatkan efek saraf simpatis
diantaranya : vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah), yang dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat dan hipertensi. Kortisol yang meningkat juga dapat
menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium yang dapat menyebabkan edema,
hipokalemia dan alkalosis metabolik. Depresi menghambat pelepasan norepinefrin,
merangsang pelepasan serotonin, dopamin dan asetil kolin. Fungsi Dopamin sebagai
neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari
substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata ganglia basalis.
Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi. Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area
tapi juga eksitasi pada beberapa area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar
ke setiap area otak, sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis
dan sistem serotonin ke struktur garis tengah (midline). Serotonin disekresikan oleh
nukleus yang berasal dari rafe medial batang otak dan berproyeksi disebagian besar daerah
otak, khususnya yang menuju radiks dorsalis medula spinalis dan menuju hipotalamus.
Serotonin bekerja sebagai bahan penghambat rasa sakit dalam medula spinalis, dan
kerjanya di daerah sistem syaraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan
kehendak seseorang, bahkan mungkin juga menyebabkan tidur. Serotonin berasal dari
dekarboksilasi triptofan, merupakan vasokontriksi kuat dan perangsang kontraksi otak
polos sehingga sering menyebabkan hipertensi
6. Mola Hidatidosa
Insiden faktor risikonya adalah 70 % dimana terutama pada usia gestasi 24 minggu
(Varney, 2007).
7. Kehamilan Ganda dan Hidramnion
Kehamilan ganda adalah kehamilan yang mengandung lebih dari 1 janin.
Hidramnion adalah keadaan dimana banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc
(prawirohardjo,2008). Pada kehamilan kembar dan hidramnion dengan distensi uterus
yang berlebihan terjadi ketegangan otot rahim yang berlebihan dapat menyebabkan
iskemia uteri. Iskemia utero plasenter akan menghasilkan radikal hidroksikal sehingga
akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Dan ini akan mengganggu metabolisme
prostaglandin. Ini menyebabkan peningkatan tromboksan dan penurunan prostasiklin.
Kondisi inilah yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan akan mengakibatkan
hipertensi. Kerusakan endotel pada ginjal akan menyebabkan proteinuria, sehingga dapat
menyebabkan preeklampsia. Insidennya adalah sekitar 30 % (Varney, 2007).
8. Obesitas
Risiko terjadi preeklampsia lebih besar pada wanita dengan IMT (Indeks Massa
Tubuh) yang tinggi dibandingkan yang rendah dan mengidentifikasi wanita yang
peningkatan IMT 5-7 kg/m2 memiliki dua kali risiko lebih besar mengalami preeklampsia.
IMT awal berguna sebagai prediktor hipertensi pada kehamilan, karena angka IMT
biasanya lebih tinggi pada ibu yang menderita hipertensi (Masse at al, 1993 dalam Fraser,
2009)
Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh
yang berlebihan. Penimbunan lemak tubuh dapat menyebabkan penimbunan lemak di
sepanjang pembuluh darah dan menyebabkan aliran darah kurang lancar. Penyempitan dan
sumbatan lemak ini memacu jantung untuk memompa darah lebih kuat lagi, untuk
memasok kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya tekanan darah meningkat, maka terjadi
hipertensi. Dan hal tersebut merupakan salah satu gejala preeklampsia (Fraser, 2009).
9. Penyakit yang sudah ada sebelum hamil
(1) Hipertensi Kronik
Pada wanita hamil dengan hipertensi kronis yang memiliki resistensi terhadap
angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi langsung sel endotel dengan membuatnya
berkontraksi. Semua faktor ini dapat menimbulkan kebocoran sel antar endotel, sehingga
melalui kebocoran tersebut, unsur-unsur pembentuk darah seperti trombosit dan
fibrinogen tertimbun pada lapisan sub endotel. Perubahan vaskuler yang disertai dengan
hipoksia pada jaringan setempat dan sekitarnya, diperkirakan menimbulkan perdarahan,
nekrosis dan kelainan organ akhir lainnya yang sering dijumpai pada preeklampsia berat.
Penyakit hipertensi kronik berperan dalam morbiditas dan mortalitas maternal dan
neonatal. Dari seluruh ibu yang mengalami hipertensi selama hamil, setengah sampai
sepertiganya didiagnosa mengalami preeklampsia
(2) Diabetes Mellitus
Salah satu pengaruh diabetes terhadap kehamilan, salah satunya adalah dapat
menyebabkan preeklampsia – eklampsia. Selama trimester kedua dan ketiga,
peningkatan kadar laktogen plasental, estrogen, progesteron, kortisol, prolaktin, dan
insulin meningkatkan resistansi insulin melalui kerjanya sebagai suatu antagonis yaitu
peningkatan produksi glukosa untuk memastikan suplai glukosa yang berlebihan untuk
janin. Dan ini akan memperlambat kerja ginjal sehingga terjadi kerusakan sistem ginjal
dan akan terjadi proteinuria dan peningkatan tekanan darah. Insiden faktor risiko ini
mendekati 50% (Varney, 2007).
(3) Penyakit Ginjal
Penyakit ginjal dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya stenosis arteri renalis,
glomerulonefritis, pielonefritis, tumor ginjal, penyakit ginjal polikista, trauma pada
ginjal. Ginjal bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang
disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin. Yang selanjutnya akan
memicu pelepasan hormon aldosteron dan akibatnya pasokan friksi pembuluh darah.
Sedangkan pada stenosis arteri renalis terjadi penyempitan arteri yang menuju salah satu
pembuluh darah ginjal yang menyebabkan hipertensi. Kerusakan pada glomerulus akan
menyebabkan proteinuria (Manuaba, 2012). Faktor risiko penyakit ginjal untuk
preeklampsia – eklampsia adalah 25 %
2.3.3 Etiologi dan Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan termasuk preeklampsia hingga kini belum
diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar (Angsar,
2008). Berikut teori yang dikemukakan
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterina dan ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arcuarta dan arteri arcuarta memberi cabang ateria radialis.
Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis, dan arteri basalis memberi
cabang arteri spiralis. Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal : 500 mikron,
sedang pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen
arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero plasenta
Pada hamil normal dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblast (sel-sel
dari janin) ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan
otot tersebut, sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblast juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis ini, memberi dampak penurunan desakan darah,
penurunan resistensi vaskuler, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta.
Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat
sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan
“remodelling arteri spiralis”
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblast pada lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya. Lapisan otot ini arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras, sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami
vasokonstriksi dan terjadi kegagalan ‘remodelling arteri spiralis’, sehingga aliran darah
uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia
plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis
HDK selanjutnya.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/ radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblast, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan ‘remodelling arteri spiralis’, dengan akibat plasenta
mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidant (disebut juga radikal bebas). Oksidant atau radikal bebas
adalah senyawa penerima elektron atau atom / molekul yang mempunyai elektron
yang tidak berpasangan. Salah satu oksidant penting yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khusunya terhadap membran sel endotel
pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidant pada manusia adalah suatu proses
normal, karena oksidant memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh.
Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan
toxin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut
‘toxaemia’ gravidarum. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroxida lemak. Peroxida
lemak selain akan merusak membran sel juga akan merusak nukleus, dan protein sel
endotel. Produksi oksidant (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toxis, selalu
diimbangi dengan produksi antioksidant ( Roberts dan Redman, 1993 (Fraser, 2009),
b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti, bahwa kadar oksidant khususnya
peroksida lemak meningkat, sedang antioksidant, misalnya vitamin E pada hipertensi
dalam kehamilan menurun sehingga terjadi dominasi kadar oksidant peroksida lemak
yang relative tinggi. Peroxida lemak sebagai oksidant/radikal bebas yang sangat toksis
ini, akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah, dan akan merusak membran sel
endothel. Membran sel endothel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroxida
lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap
oksidant radikal dihidroksil, yang akan merubah menjadi peroksida lemak
(Angsar,2008)
c. Disfungsi sel endotel
Akibat sel endothel terpapar terhadap peroxida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endothel yang kerusakannya dimulai dari membrane sel endothel. Kerusakan
membrane sel endothel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya
seluruh struktur sel endothel. Keadaan ini disebut ‘disfungsi endothel’ (endothelial
disfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endothel yang mengakibatkan disfungsi
sel endothel, maka akan terjadi :
1) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endothel, adalah
memproduksi prostaglandin, yaitu menurunkan produksi prostacycline (PGE2) :
suatu vasodilator kuat.
2) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi sel-sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan
endothel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi
thromboxane (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan kadar prostacycline / thromboxane lebih tinggi kadar prostacycline
(vasodilator). Pada preeklampsia kadar thromboxane lebih tinggi dari kadar
prostacycline sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan desakan
darah.
3) Perubahan khas pada sel endothel kapiler glomerulus ginjal (Glomerular
endotheliosis).
4) Meningkatnya permeabilitas kapiler.
5) Meningkatnya produksi bahan-bahan vassopressor yaitu endothelin. Kadar NO
(vasodilator) sedangkan endothelin (vasikonstriktor) meningkat.
6) Faktor peningkatan faktor koagulasi darah.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Janin sebenarnya merupakan benda asing bagi ibunya karena janin adalah hasil dari
pertemuan 2 gamet yg berlainan. Dari segi imunologi, benda asing harus ditolak dan
dikeluarkan dari dalam tubuh karena sistem Imunitas Seluler akan bangkit terhadap
janin. Namun ternyata janin dapat diterima sistem imunitas tubuh kita. Hal ini
merupakan keajaiban alam dan belum ada gambaran yang jelas tentang mekanisme
sebenarnya yang berlangsung pada tubuh ibu hamil tersebut. Sistem imunitas seluler
terhadap antigen plasenta mulai bangkit pada TM II yang makin lama makin meningkat
sesuai usia kehamilan. Pada bumil timbul “Mekanisme imun depresion” yaitu suatu
mekanisme tubuh yg menekan sistem imun atau menahan respon yang telah bangkit
seperti pada HCG dapat menekan proses transformasi sel limfosit T. Imunologi dalam
janin merupakan IgG dr ibu ke janin mulai sekitar 16 minggu kehamilan dan terus
meningkat ketika kehamilan bertambah, tetapi sebagian besar lg diterima janin selama 4
minggu terakhir kehamilan.
Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan ini
disebabkan oleh gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat berkurang.
Hal ini dapat menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas sampai batas tertentu
hingga mengganggu fungsi plasenta. Ketika kehamilan berlanjut, hipoksia plasenta
menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan membran basalis trofoblas yang
mungkin mengganggu fungsi metabolik plasenta. Sekresi vasodilator prostasiklin oleh
sel-sel endotelial plasenta berkurang dan sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah,
sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat
perubahan ini terjadilah pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi ibu dan
penurunan volume plasma ibu. Jika spasmenya menetap, mungkin akan terjadi cidera sel
epitel trofoblas dan fragmen-fragmen trofoblas di bawa ke paru-paru dan mengalami
destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya tromboplastin menyebabkan
koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin di dalam glomeruli ginjal (endoteliosis
glomerular) yang menurunkan laju filtrasi glomerulus dan secara tidak langsung
meningkatkan vasokonstriksi. Pada kasus berat dan lanjut, deposit fibrin ini terdapat di
pembuluh darah, sistem saraf pusat sehingga menyebabkan konvulsi.
4. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian penting yang pernah dilakukan di
Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapatkan gizi yang cukup
menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan (Angsar, 2008). Pada
penelitiannya Aditiawarman (2009) menyebutkan adanya kenaikan insiden preeklamsia
di RSU Dr. Soetomo saat krisis ekonomi di Indonesia. Dilaporkan bahwa insiden
preeklamsia meningkat pada daerah dengan insiden tinggi kasus beri-beri, pelagra dan
gangguan nutrisi. Beberapa zat yang diduga berhubungan dengan angka kejadian pre
eklampsia, antara lain antioksidan, vitamin D, kalsium, dan kalium.
5. Teori Inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta, bahwa lepasnya debris trofoblast di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal,
plasenta juga melepaskan debris trofoblast, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan
nekrotik trofoblast, akibat reaksi stress oksidative. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing
yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah
debris trofoblast masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam
batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana pada
preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidative, sehingga produksi debris apoptosis
dan nekrotik trofoblast yang meningkat. Makin banyak sel trofoblast plasenta, misalnya
pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidative akan sangat
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblast juga akan sangat meningkat. Keadaan
ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar,
dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan
mengaktivasi sel endothel dan sel-sel makrofag/ sel granulosit yang lebih besar pula,
sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia
pada ibu.
6. Teori defisiensi genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gene-single. Genotype ibu lebih
menetukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial dibanding dengan
genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak
wanitanya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkankan hanya 8 % anak menantu
mengalami preeklampsia.
Patofisiologi Preeklamsia

Mal adaptasi Kualitas pembuluh darah Defisiensi


imun menurun gizi
Kegagalan remodeling arteri
spiralis
Lumen arteri kaku dan

Vasokonstriksi Aliran darah uteroplasenter


terganggu
Menghasilkan oksidan dan radikal hidroksil yang Hipoksia dan ischemic
toksik plasenta
Merusak membran pembuluh Menghasilkan peroksida lemak
darah
Disfungsi endotel Merusak nucleus sel endotel dan membran
endotel
Gangguan metabolisme Peningkatan Vasokonstrikto
prostaglandin protasiklin r
Penurunan volume Perubahan kapiler Kelainan
plasma glomerulus ginjal
Peningkatan kreatinin Protein urin
plasma
Peningkatan permeabilitas kapiler

Penurunan tekanan osmotik Peningkatan faktor


dan ketidakseimbangan koagulasi
filtrasi
Penurunan perfusi
organ

Perpindahan cairan intravaskuler ke interstisium Oedema

Hipertensi

PREEKLAMSIA
Sumber : Muh. Dikman Angsar, 2008

2.3.4 Perubahan Sistem Dan Organ Pada Pre Eklampsia Berat


Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada
sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia
(Leveno,2009).
Pada preeklampsia berat dan eklampsia dijumpai perburukan sejumlah fungsi organ
dan sistem, akibat vasospasme dan ischemia (Angsar, 2008).
1. Kardiovaskular
1) Perubahan haemodinamik
Berbagai gangguan pada fungsi kardiovaskular pada dasarnya berkaitan dengan
peningkatan cardiac afterload akibat hipertensi dan penurunan cardiac preload akibat
hipovolemia.
Tekanan darah bergantung terutama pada curah jantung, volume plasma,
resistensi perifer, dan viskositas darah. Dibandingkan dengan wanita normotensif,
mereka yang mengidap preeklampsia memperlihatkan curah jantung yang secara
bermakna meningkat sebelum diagnosis klinis, tetapi resistensi perifer total tidak
secara bermakna berbeda selama fase praklinis ini. Pada preeklampsia klinis, terjadi
penurunan mencolok curah jantung dan peningkatan resistensi perifer.
Hipertensi merupakan tanda terpenting guna menegakkan diagnosis hipertensi
dalam kehamilan. Tekanan diastolik menggambarkan resistensi perifer, sedangkan
tekanan sistolik menggambarkan besaran curah jantung. Pada preeklampsia
peningkatan reaktivitas vaskular dimulai umur kehamilan 20 minggu, tetapi hipertensi
dideteksi umumnya pada trimester kedua.
Timbulnya hipertensi adalah akibat vasospasme menyeluruh dengan ukuran
tekanan darah > 140/90 mmHg dan selang pemeriksaan 6 jam. Dipilihnya tekanan
diastolik 90 mmHg sebagai batas hipertensi, karena batas tekanan diastolik 90 mmHg
yang disertai proteinuria, mempunyai korelasi dengan kematian perinatal tinggi.
2) Volume darah
Pada hamil normal volume plasma meningkat dengan bermakna (disebut
hipervolemia), guna memenuhi kebutuhan pertumbuhan janin. Peningkatan tertinggi
volume plasma pada hamil normal terjadi pada usia kehamilan 32-34 minggu.
Normalnya volume darah 5000 cc. Sebaliknya, oleh sebab yang tidak jelas pada
preeklampsia terjadi penurunan volume plasma antara 30% - 40% dibanding hamil
normal, dan disebut hipovolemia. Pada preeklampsia-eklampsia volume darah
menjadi 3500 cc. Hipovolemia diimbangi dengan vasokonstriksi, sehingga terjadi
hipertensi. Volume plasma yang menurun memberi dampak yang luas pada organ-
organ penting. Hipertensi dalam kehamilan sensitif terhadap tambahan volume cairan,
yang dapat menimbulkan hipertensi atau ekstravasasi cairan bertambah banyak
(Leveno,2009).
2. Hematologis
Perubahan hematologis disebabkan oleh hipovolemia akibat vasospasme,
hipoalbuminemia hemolisis mikroangiopatik akibat spasme arteriole dan hemolisis akibat
kerusakan endotel arteriol. Perubahan tersebut dapat berupa:
1) Peningkatan hematokrit akibat hipovolemia
2) Peningkatan viskositas darah. Viskositas darah ditentukan oleh volume plasma,
molekul makro: fibrinogen dan hematokrit, mengakibatkan meningkatnya resistensi
perifer dan menurunnya aliran darah ke organ.
3) Gangguan koagulasi dan fibrinolisis. Perlukaan pembuluh darah menyebabkan terjadi
koagulasi trombosit, yang dipermudah oleh fibronektin. Terjadi timbunan fibrin dan
diikuti fibrinolisis. Trombositopenia (kadar trombosit < 100.000 sel/ml) jarang yang
berat tapi sering dijumpai. Makna klinis trombositopenia, selain jelas menggangu
pembekuan darah, adalah bahwa hal tersebut mencerminkan keparahan proses
patologis. Secara umum, semakin rendah hitung trombosit, semakin besar mortalitas
dan morbiditas ibu serta janin (Leveno, 2009). Pada preeklampsia terjadi peningkatan
FDP, penurunan anti thrombin III, dan peningkatan fibronektin.
4) Gejala hemolisis mikroangiopati; hemolisis dapat menimbulkan destruksi eritrosit.
Hal ini meningkatkan fragmen darah: skizositosis, sperositosis, retikulositosis,
hemoglobinemia, dan hemoglobinuri
3. Perubahan endokrin
Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensi II, dan aldosteron dalam plasma
meningkat. Penyakit hipertensi dalam kehamilan menyebabkan kadar berbagai zat ini
menurun ke kisaran tidak hamil normal. Pada hipertensi sekresi renin oleh aparatus
jukstaglomerulus berkurang. Karena renin mengkatalisis perubahan angiotensinogen
menjadi angotensin I (yang kemudian di ubah menjadi angotensin II oleh converting
enzym), maka kadar angotensin II menurun sehingga sekresi aldosteron menurun
(Leveno,2009)
4. Elektrolit
Kadar elektrolit total menurun pada kehamilan normal. Pada preeklampsia kadar
elektrolit total sama seperti hamil normal. Preeklampsia berat yang mengalami hipoksia
dapat menimbulkan gangguan keseimbangan asam basa. Peningkatan permeabilitas
kapiler pada pasien preeklampsia menyebabkan ekstravasasi plasma air dan garam. Pada
waktu kejang eklampsia kadar bikarbonat menurun, disebabkan timbulnya asidosis laktat
dan akibat kompensasi hilangnya karbon dioksida.
5. Tekanan osmotik koloid
Osmolaritas serum dan tekanan osmotik menurun pada usia kehamilan 8 minggu.
Pada preeklampsia tekanan osmotik makin menurun karena kebocoran protein dan
peningkatan permeabilitas vaskular.
6. Edema
Edema dapat terjadi pada kehamilan normal. Edema terjadi karena hipoalbuminemia
atau kerusakan sel endotel kapilar. Edema yang patologik adalah edema yang
nondependent pada muka dan tangan, atau edema generalisata. Kadang-kadang edema
tidak terlihat jelas pada pemeriksaan, tetapi termanifestasi sendiri dalam bentuk kenaikan
berat badan mendadak yang disebut sebagai occult oedema atau edema tersamar. Kenaikan
berat badan yang mendadak sebanyak 1 kg atau lebih dalam seminggu (atau 3 kg dalam
sebulan) adalah indikasi preeklampsia.
7. Paru
Penderita preeklampsia berat mempunyai risiko besar terjadinya edema paru. Edema
paru dapat disebabkan oleh payah jantung kiri, kerusakan sel endotel pada pembuluh darah
kapilar, dan menurunnya diuresis.
8. Ginjal
Beberapa perubahan yang terjadi pada ginjal:
1) Menurunnya aliran darah ke ginjal akibat hipovolemia menyebabkan terjadinya
oliguria, bahkan anuria. Berat ringannya oliguria menggambarkan berat ringannya
hipovolemia, sekaligus menggambarkan berat ringannya preeklampsia.
2) Gangguan filtrasi glomerulus menyebabkan penurunan sekresi asam urat dan kreatinin.
Hal ini dapat menimbulkan azotemia dengan peningkatan kreatinin plasma yang dapat
mencapai > 1 mg/dl-hari. Kadar asam urat serum, umumnya meningkat > 5 mg/cc.
3) Kerusakan sel glomerulus mengakibatkan meningkatnya permeabilitas membran
basalis sehingga terjadi kebocoran dan manifestasinya adalah proteinuria, dapat juga
terjadi pengeluaran molekul besar (glomerulopati).
4) Terjadi Glomerular Capillary Endotheliosis akibat sel endotel glomerular membengkak
disertai deposit fibril. Gagal ginjal akut terjadi akibat nekrosis tubulus ginjal. Bila
sebagian besar kedua korteks ginjal mengalami nekrosis, maka terjadi “nekrosis korteks
ginjal” yang bersifat irreversible.
5) Dapat terjadi kerusakan intrinsic jaringan ginjal akibat vasospasme pembuluh darah.
9. Hepar
Resistensi pembuluh darah liver meningkat, permeabilitas naik, dan menimbulkan
edema. Dasar perubahan pada hepar ialah vasospasme, iskemia, dan perdarahan. Bila
terjadi perdarahan pada sel periportal lobus perifer, akan terjadi nekrosis hepar dan
peningkatan enzim hepar. Perdarahan ini dapat meluas hingga di bawah kapsula hepar dan
disebut subkapsular hematoma. Keadaan ini menimbulkan rasa nyeri di daerah
epigastrium dan dapat menyebabkan ruptur hepar. Pengeluaran enzim liver yang
meningkat merupakan tanda kerusakan berat pada hepar.
10. Neurologi
Peredaran darah otak mempunyai kemampuan untuk regulasi sendiri sehingga
jumlah darahnya relatif tetap. Dalam keadaan preeklampsia-eklampsia kemampuan
regulasinya tidak dapat menahan hipertensi. Perubahan pada otak, terjadi vasokonstriksi
umum yang menimbulkan perubahan seperti edema otak, nekrosis lokal, disritmi otak
meningkatkan sensitivitas motorik, tekanan darah yang meningkat menimbulkan AVA
(Acute Vascular Accident). Manifestasi klinik dapat berupa nyeri kepala prodomal
eklampsia, kejang konvulsi hipersensitif motorik, koma karena pembengkakan dan
perdarahan, gangguan visus. Perubahan neurologi dapat berupa:
1) Nyeri kepala disebabkan hiperperfusi otak, sehingga menimbulkan vasogenik edema.
2) Akibat spasme arteri retina dan edema retina dapat terjadi gangguan visus.
3) Hiperrefleksi sering dijumpai pada preeklampsia berat, tetapi bukan faktor prediksi
terjadinya eklampsia.
4) Dapat timbul kejang eklamptik. Faktor-faktor yang menimbulkan kejang eklamptik
ialah edema serebri, vasospasme serebri, dan iskemia serebri.
5) Perdarahan intrakranial meskipun jarang, dapat terjadi pada preeklampsia berat dan
eklampsia.
11. Perfusi uteroplasenta
Preeklampsia-eklampsia memberi pengaruh buruk pada kesehatan janin yang
disebabkan oleh menurunnya perfusi uteroplasenta, hipovolemia, vasospasme, dan
kerusakan sel endotel pembuluh darah plasenta.
2.3.5 Manifestasi Klinis
Diagnosis preeklamsia ditegakkan berdasarkan adanya dari tiga gejala, yaitu :
1. Edema
2. Hipertensi
3. Proteinuria
Berat badan yang berlebihan bila terjadi kenaikan 1 kg seminggu beberapa kali.
Edema terlihat sebagai peningkatan berat badan, pembengkakan kaki, jari tangan dan muka.
Tekanan darah ≥ 140/90 mmHg atau tekanan sistolik meningkat > 30 mmHg atau tekanan
diastolik > 15 mmHg yang diukur setelah pasien beristirahat selama 30 menit. Tekanan
diastolik pada trimester kedua yang lebih dari 85 mmHg patut dicurigai sebagai bakat
preeklamsia. Proteinuria bila terdapat protein sebanyak 0,3 g/l dalam air kencing 24 jam atau
pemeriksaan kualitatif menunjukkan +1 atau 2; atau kadar protein ≥ 1 g/l dalam urin yang
dikeluarkan dengan kateter atau urin porsi tengah, diambil minimal 2 kali dengan jarak waktu
6 jam.
Pre Eklamsia Berat (PEB) jika usia kehamilan 20 minggu atau lebih dan ditemukan
hal-hal berikut ini:
(1) Tekanan darah sistolik > 160 mmHg dan tekanan diastolik > 110 mmHg. Tekanan darah
ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani
tirah baring
(2) Proteinuria lebih dari 5,0 g/ 24 jam atau +4 pada dipstick, muncul pertama kali selama
kehamilan dan menurun setelah persalinan
(3) Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500 cc/ 24 jam
(4) Kenaikan kadar kreatinin plasma (> 1,2 mg/dL, kecuali jika peningkatan telah diketahui
sebelumnya)
(5) Gangguan visus dan serebral: penurunan kesardaran, nyeri kepala, skotoma dan
pandangan kabur
(6) Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya
kapsula Glisson)
(7) Edema paru-paru dan sianosis
(8) Hemolisis mikroangiopatik (LDH meningkat)
(9) Trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan cepat
(10) Gangguan fungsi hepar (kerusakan hepatoselular): peningkatan kadar alanin dan
aspartate aminotransferase (peningkatan SGPT, SGOT, atau keduanya)
(11) Pertumbuhan janin intrauterine yang terhambat
(12) Sindroma HELLP (Hemolysis Elevated Liver Enzyme and Low Platelets Count), yaitu
preeklamspia-eklampsia disertai timbulnya hemolisis, peningkatan enzim hepar,
disfungsi hepar (kerusakan hepatoseluler): peningkatan kadar alanin dan aspartate
aminotransferase, dan trombositopenia berat: < 100.000 sel/mm3 atau penurunan
trombosit dengan cepat
(13) Preeklampsia berat yang disertai dengan gejala-gejala subjektif berupa nyeri kepala
hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan progresif
tekanan darah disebut sebagai impending eclampsia (Angsar, 2008).
2.3.6 Pembagian PEB
Preeklampsia berat dibagi menjadi :
a) Preeklampsia berat tanpa impending eclampsi dan
b) Preeklampsia berat dengan impending eclampsia
Disebut Impending Eclampsia, bila preeklampsia berat disertai gejala-gejala subjektif
berupa, nyeri kepala hebat, gangguan visus, muntah-muntah, nyeri epigastrium, dan kenaikan
progresif desakan darah.
2.3.7 Perawatan dan Pengobatan PEB
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan
hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit organ yang terlibat,dan
saat yang tepat untuk persalinan. Pemeriksaan sangat teliti diikuti dengan observasi harian
tentang tanda-tanda klinik berupa nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium, dan
kenaikan cepat berat badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran
proteinuria, pengukuran desakan darah, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan USG
dan NST.
Pada perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan preeklampsia ringan,
maka dibagi menjadi dua unsur :
a. Sikap terhadap penyakitnya, yaitu pemberian obat-obatan atau terapi medisinalis seperti
dibawah ini :
1. Penderita pareeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan di
anjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan yang penting pada
preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan, karena penderita preeklampsia dan
eklampsia mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab
terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, namun faktor yang sangat menentukan
terjadinya edema paru dan oliguria ialah : hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel
endothel, penurunan gradient tekanan onkotik koloid / pulmonary capillary wedge
pressure. Oleh karena itu monitoring input cairan (melalui oral maupun infuse ) dan
output cairan (melalui urine) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan
pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan
melalui urine. Bila terjadi tanda-tanda edema paru segera dilakukan tindakan koreksi.
Cairan yang diberikan, dapat berupa :
a) 5 % Ringer-dectrose atau cairan garam faali jumlah tetesan : < 125 cc/jam
b) Atau Infuse Dextrose 5% yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse Ringer lactate
(60-125 cc/jam) 500 cc.
Dipasang Foley Catheter untuk mengukur pengeluaran urine. Oliguria terjadi bila
produksi urine < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam. Diberikan antasida
untuk menetralisir asam lambung, sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari
risiko aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang cukup protein: rendah
karbohidrat, lemak dan garam.
2. Pemberian obat anti kejang :
A. Obat anti kejang adalah :
a. Golongan MgSO4
b. Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk anti kejang-kejang :
1) Diasepam
2) Phenytoin
Diphenyhydantion obat anti kejang untuk epilepsy telah banyak dicoba pada
penderita eclampsia. Beberapa peneliti telah memakai bermacam - macam
regimen. Phenytoin sodium mempunyai khansiat stabilisasi membran neuron,
cepat masuk jaringan otak dan efek anti kejang terjadi 3 menit setelah injeksi
intra vena. Phenytoin sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan
dengan pemberian intra vena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari
magnesium sulphate. Pengalaman pemakaian Phenytoin dibeberapa senter di
dunia masih sedikit.
Pemberian magnesium sulfat sebagai anti kejang lebih efektif dibanding
phenytoin, berdasar Cochrane Review terhadap enam uji klinik, yang melibatkan 897
penderita eklampsia Obat anti kejang yang banyak dipakai di Indonesia adalah
magnesium sulfat (MgSO4.7H2O).
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar acetylcholine pada
rangsangan serat syaraf dengan menghambat transmisi neuromuskuler. Transmisi
neorumuskuler membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian magensium sulfat,
maka magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran rangsangan tidak terjadi
(Terjadi kompetitiv inhibition antara ion kalsium dan ion magnesium). Kadar kalsium
yang tinggi dalam darah dapat menghambat kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat
sampai saat ini tetap menjadi pilihan pertama untuk anti kejang pada preeklampsia atau
eklampsia. Banyak cara pemberian Magnesium sulfat yaitu sebagai berikut :
a. Loading dose : initial dose
(1) 4 gram MgSO4 : intravena bolus, (20% dalam 20 cc) selama 1 gram/menit.
(2) 5 gram secara IM di bokong kiri dan 5 gram di bokong kanan (40 % dalam
12,5 cc).
b. Maintenance dose :
(1) Diberikan 6 gram MgSO4 (15 cc larutan MgSO4 40%) dan larutkan dalam
500 ml RL, lalu berikan secara IV dengan kecepatan 28 tpm selama 6 jam,
diulang hingga 24 jam pp
(2) Diberikan 5 gram MgSO4 (12,5 cc larutan MgSO4 40%) secara IM di bokong
kanan atau kiri, setelah 6 jam pemberian loading dose. Selanjutnya maintenance
dose diberikan 5 gram secara IM tiap 4-6 jam sampai 24 jam pp
c. Syarat-syarat pemberian MgSO4:
(1) Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu Calcium
gluconas 10% = 1 gr. (10% dalam 10 cc) diberikan I,V, 3 menit.
(2) Refleks patella (+) kuat.
(3) Frekuensi pernafasan > 16 + / menit, tidak ada tanda2 distress nafas.
(4) Produksi urine > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya. (0,5cc/kg.bb./jam)
d. Magnesium sulfat dihentikan bila:
(1) Ada tanda-tanda intoxikasi
(2) Setelah 24 jam pascasalin atau 24 jam setelah kejang terakhir
e. Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
(1) Dosis tearpeutik 4 -7 mEq/liter 4,8 – 8,4 mg/dl
(2) Hilangnya refleks tendon 10 mEq/liter 12 mg/dl
(3) Terhentinya pernafasan 15 mEq /liter 18 mg/dl
(4) Terhentinya jantung >30 mEq/liter >36 mg/dl
Pemberian Magnesium sulfat dapat menurunkan risiko kematian ibu, dan
didapatkan 50% dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
B. Bila terjadi refrakter terhadap pemberian MgSO4, maka diberikan salah satu obat
berikut : thiopental sodium, sodium amobarbital, diasepam atau phenytoin
3. Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-paru, payah jantung
kongestip atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah Furosemida. Pemberian
diuretikum dapat memberi kerugian, yaitu : memperberat hipovolemia, memperburuk
perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada
janin, dan penurunan berat janin.
4. Pemberian anti hipertensi : Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang
penentuan batas (cut off) desakan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah 160/110 mmHg dan MAP 126 mmHg. Di RSU
Dr Soetomo Surabaya, batas desakan darah pemberian antihipertensi, ialah apabila
desakan sistolik 180 mmHg dan atau desakan diastolic 110 mmHg. Desakan darah
diturunkan secara bertahap, yaitu penurunan awal 25 % dari desakan sistolik dan desakan
darah diturunkan mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang
diberikan sangat bervariasi. Berdasarkan Cochran Review atas 40 studi evaluasi yang
melibatkan 3797 wanita
hamil dengan preeklampsia, Duley menyimpulkan, bahwa pemberian anti hipertensi pada
preeklampsia ringan maupun preeklampsia berat tidak jelas kegunaannya.
Disisi lain Hendorson, dalam Cochran Review juga meneliti 24 uji klinik yang melibatkan
2949 ibu dengan hipertensi dalam kehamilan, menyimpulkan bahwa sampai didapatkan bukti
yang lebih teruji, maka pemberian jenis anti hipetensi, diserahkan kepada para klinikus
masing-masing, yang tergantung pengalaman dan pengenalan dengan obat tersebut. Ini
berarti hingga sekarang belum ada antihipertensi yang terbaik (drug of choice) untuk
pengobatan hipertensi dalam kehamilan. Namun yang harus dihindari secara mutlak, sebagai
antihipertensi, ialah pemberian diazoxide, ketanserin, nimodipin, dan magnesium sulfat.
1) Antihipertensi lini pertama
a. Hydralazine :
dosis : 5-10 mg dengan interval 15-20 menit
(dosis awal 5 mg; dosis maksimum 25 mg)
b. Labetalol
dosis awal : 20 mg IV, diberikan 40 mg setelah 10-20 menit; disusul 80 mg setelah 10-
20 menit berikutnya, maksimum 300 mg
atau
50 mg IV bolus pelan2, diikuti dengan 60 mg/jam infus, ditingkatkan dua kali setiap 15
menit, sehingga desakan darah dapat dikendalikan, atau sudah dicapai dosis maksimum
480 mg/jam
c. Nifedipine
10-20 mg per oral, diulangi setelah 30 menit; maksimum 120 mg dalam 24 jam.
2) Antihipertensi lini kedua
Sodium nitroprusside : 0,25 μg IV /kg/menit, infus; Ditingkatkan 0,25 μg IV/kg/5 menit,
Diazoxide : 30-60 mg IV/5 menit; atau IV infus 10 mg/menit/ di titrasi.
3) Antihipertensi sedang dalam penelitian
Calcium channel blockers : isradipin, nimodipin
Serotinin receptor antagonists : ketan serin
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah :
Nifedipine
Dosis awal : 10 -20 mg, diulangi 30 menit bila perlu. Dosis maksimum 120 mg per 24
jam. Nifedipine tidak boleh diberikan sub lingual, karena efek vasodilatasi sangat cepat,
sehingga hanya boleh diberikan per oral.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hydralalazine (Apresoline)
injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada arteriole yang
menimbulkan refleks tachycardia, peningkatan cardiac output, sehingga memperbaiki
perfusi utero-plasenta. Obat anti hipertensi lain adalah labetolol injeksi. Obat-obat anti
hipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidine (Catapres). 1
ampul mengandung 0,15 mg/cc. Clonidine 1 ampul dilarutkan dalam 10 cc larutan garam
faali atau larutan air untuk suntikan.
5. Edema paru
Pada preeklampsia berat, dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik (payah jantung
ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non-kardiogenik (akibat kerusakan sel
endothel pembuluh darah kapiler paru). Prognosis preeklampsia berat menjadi buruk bila
edema paru disertai oliguria.
6. Glucorticoid
Pemberian glucocorticoid untuk pematangan paru janin, tidak merugikan ibu. Diberikan
pada kehamilan 32-34 minggu, 2x24 jam
b. Sikap terhadap kehamilannya dapat :
1) Perawatan Aktip (aggressive) : sambil memberi pengobatan, kehamilan diakhiri.
a) Indikasi
Indikasi perawatan aktif, ialah bila didapatkan satu/lebih keadaan :
(1) Ibu :
(a) Umur kehamilan ≥ 37 minggu. Lockwood dan Paidas mengambil batasan umur
kehamilan > 37 minggu untuk preeklampsia ringan dan batasan umur
kehamilan > 37 minggu untuk preeklampsia berat
(b) Adanya tanda-tanda /gejala-gejala Impending Eclampsia
(c) Kegagalan terapi pada perawatan konservatip, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
(d) Diduga terjadi solutio placentae
(e) Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
(2) Janin :
(a) Adanya tanda-tanda fetal distress
(b) Adanya tanda-tanda IUGR ( Intra uterine growth restriction}
(c) NST non reaktif dengan profil biofisik abnormal
(d) Terjadinya oligohidramnion
(3) Laboratorik
Adanya tanda-tanda “Sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit dengan
cepat
b) Cara mengakhiri kehamilan (terminasi kehamilan), dilakukan berdasar keadaan
obstetrik pada waktu itu, apakah sudah inpartu atau belum in partu.
2) Perawatan Konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm  37 minggu tanpa disertai
tanda-tanda impending eclampsia dengan keadaan janin baik. Diberikan pengobatann
yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada pengelolaan secara aktif. Di bagian
Kebidanan RSU Dr Soetomo Surabaya, pada perawatan konservatif preeklampsia,
loading dose MgSO4 tidak diberikan secara i.v. cukup i.m. saja.
Selama perawatan konservatif; sikap terhadap kehamilannya ialah hanya observasi dan
evaluasi sama seperti perawatan aktif, hanya kehamilan tidak diakhiri. Magnesium
sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai tanda-tanda preeklampsia ringan, selambat-
lambatnya dalam waktu 24 jam. Bila setelah 24 jam tidak ada perbaikan, maka keadaan
ini dianggap sebagai kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi.
Penderita boleh dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda-tanda
preeklampsia ringan
2.3.8 Komplikasi
Komplikasi yang terberat ialah kematian ibu dan janin. Usaha utama ialah melahirkan
bayi hidup dari ibu yang menderita pre-eklampsia dan eklampsia. Komplikasi yang tersebut
di bawah ini biasanya terjadi pada pre-eklampsia berat dan eklampsia yaitu :
1. Hipofibrinogenemia. Pada pre-eklampsia berat Zuspan (1978) menemukan 23%
hipofibrinogenemia, maka dari itu penulis menganjurkan pemeriksaan kadar fibrinogen
secara berkala.
3. Hemolisis. Penderita dengan pre-eklampsia berat kadang-kadang menunjukkan gejala
klinik hemolisis yang dikenal karena ikterus. Belum diketahui dengan pasti apakah ini
merupakan kerusakan sel-sel hati atau destruksi sel darah merah. Nekrosis periportal hati
yang sering ditemukan pada autopsi penderita eklampsia dapat menerangkan ikterus
tersebut.
4. Perdarahan otak. Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal
penderita eklampsia.
5. Kelainan mata. Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai
seminggu, dapat terjadi. Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina; hal ini
merupakan tanda gawat akan terjadinya apopleksia serebri.
6. Edema paru-paru. Zuspan (1978) menemukan hanya satu penderita dari 69 kasus
eklampsia, hal ini disebabkan karena payah jantung.
7. Nekrosis hati. Nekrosis periportal hati pada pre-eklampsia-eklampsia merupa¬kan akibat
vasopasmus arteriol umum. Kelainan ini diduga khas untuk eklampsia, tetapi ternyata
juga ditemukan pada penyakit lain. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan
pemeriksaan faal hati, terutama penentuan enzim-enzimnya.
8. Sindroma HELLP. yaitu haemolysis, elevated liver enzymes, dan low platelet.
9. Kelainan ginjal. Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembeng-kakan
sitoplasma sel endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain
yang dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
10. Komplikasi lain. Lidah tergigit, trauma dan fraktura karena jatuh akibat kejang-kejang
pneumonia aspirasi, dan DIC (disseminated intravascular coogulation).
11. Prematuritas, dismaturitas dan kematian janin intra-uterin
(Prawirohardjo,2008)
2.4 Hipertensi Kronik
2.4.1 Definisi
Hipertensi kronik dalam kehamilan ialah hipertensi yang didapatkan sebelum
timbulnya kehamilan. Apabila tidak diketahui adanya hipertensi sebelum kehamilan, maka
hipertensi kronik didefinisikan bila didapatkan desakan darah sistolik 140 mmHg, atau
desakan darah diastolik ≥ 90 mmHg sebelum umur kehamilan 20 minggu.

2.4.2 Etiologi Hipertensi Kronik


Hipertensi kronik dapat disebabkan : primer : idiopatik : 90 dan sekunder : 10 %,
berhubungan dengan penyakit ginjal, vaskuler kolagen, endokrin, dan pembuluh darah.

Tabel 1 : Klasifikasi desakan darah orang dewasa (JNC7 – 2003)


Kategori Desakan sistolik Diastolik
Normal < 120 < 80
Prehypertension 120 - 139 80 – 89
Stage 1 hypertension 140 - 159 90 - 99
Stage 2 hypertension ≥160 ≥100

2.4.3 Diagnosis Hipertensi kronik pada Kehamilan


Diagnosis hipertensi kronik, ialah bila didapatkan, hipertensi yang telah timbul
sebelum kehamilan, atau timbul hipertensi < 20 minggu umur kehamilan.
Ciri-ciri hipertensi kronik :
a. umur ibu relatif tua diatas 35 tahun
b. desakan darah sangat tinggi
c. umumnya multipara
d. umumnya ditemukan kelainan jantung, ginjal dan diabetes mellitus
e. obesitas
f. penggunaan obat-obat antihipertensi sebelum kehamilan
g. hipertensi yang menetap setelah pasca persalinan
2.4.4 Dampak Hipertensi Kronik pada Kehamilan
1. Dampak pada ibu
Bila wanita hamil mendapat monoterapi untuk hipertensinya, dan hipertensi dapat
terkendali, maka hipertensi kronik tidak berpengaruh buruk pada kehamilan, meski tetap
mempunyai risiko terjadinya solutio placenta, maupun superimposed preeklampsia.
Hipertensi kronik yang diperberat oleh kehamilan, akan memberi tanda a) kenaikan
mendadak desakan darah, yang akhirnya disusul proeteinuri, b) desakan darah sistolik >
200mmHG diastolik > 130, dengan akibat segera terjadi oliguria dan gangguuan ginjal.
Penyulit hipertensi kronik pada kehamilan, ialah a) solutio placenta : risiko terjadinya
solutio plasenta 2-3 kali pada hipertensi kronik. b) superimposed preeklampsia
2. Dampak pada janin
Dampak hipertensi kronik pada janin,ialah pertumbuhan janin terhambat,atau fetal
growth restriction, intra uterine growth restriction : IUGR. Insidens fetal growth
restriction, berbanding langsung dengan derajat hipertensi yang disebabkan menurunnya
perfusi uteroplacenta, sehingga menimbulkan insufisiensi placenta. Dampak lain pada
janin ialah peningkatan persalinan preterm .
2.4.5 Pemeriksaan
Pemeriksaan khusus, berupa ECG echo kardiographi, pemeriksaan mata, pemeriksaan
USG ginjal. Pemeriksaan laboratorium lain ialah fungsi ginjal : fungsi hepar, Hb,
hematokrit,dan trombosit
Pemeriksaan janin perlu dilakukan Ultrasonographi janin. Bila dicurigai IUGR,
dilakukan NST dan profil biofisik.
2.4.6 Pengelolaan pada Kehamilan
Tujuan pengelolaan hipertensi kronik dalam kehamilan adalah meminimalkan atau
mencegah dampak buruk pada ibu ataupun janin akibat hipertensinya sendiri maupun akibat
obat-obat antihipertensi. Secara umum ini berarti : mencegah terjadi hipertensi yang ringan
menjadi lebih berat (pregnancy aggravated hypertension), yang dapat dicapai dengan cara :
farmakologik atau
perubahan pola hidup: diet, merokok, alkohol, dan lain substanse abuse.
Terapi hipertensi kronik berat, hanya mempertimbangkan keselematan ibu, tanpa
memandang status kehamilan. Hal ini untuk menghindari terjadinya : CVA, infark miokard,
disfungsi jantung dan ginjal. Anti hipertensi diberikan :
a) sedini mungkin pada batas desakan darah dianggap hipertensi, yaitu pada stage I
hypertension ≥140mHg, desakan diastolic ≥90 mmHg,
b) bila terjadi end organ dysfunction
2.4.7 Obat Anti Hipertensi
Jenis anti hiperptensi yang digunakan pada hipertertensi kronik, ialah
a. α-Metildopa:
Suatu α2 – reseptor agonis.
Dosis awal 500mg 3X perhari, maksimal 3 gram perhari
b. Calcium –channel -blockers
Nifedipin : dosis bervariasi anatara 30 mg – 90 mg hari.
c. Diuretik thiazide
Tidak diberikan, karena akan menggangu volume plasma, sehingga menganggu aliran
darah utero-plasenta.
2.4.8 Evaluasi Janin
Untuk mengetahui : apakah terjadi insufiseinsi plasenta akut atau kronik, perlu
dilakukan Nonstress Test dan Ultrasonografi dikerjakan, bila curiga terjadinya fetal growth
restriction atau terjadi superimposed preeklampsia.
2.4.9 Hipertensi kronik dengan superimposed preeklampsia
Diagnosis superimposed preeklampsia sulit, apalagi hipertensi kronik disertai kelainan
ginjal dengan proteinuria. Tanda-tanda superimposed preeklampsia pada hipertensi kronik,
adalah a) Adanya proteinuria, gejala-gejala neurologik, nyeri kepala hebat, gangguan visus,
edema patologik yang menyeluruh (anasrka), oliguria, edema paru. b) Kelainan laboratorium:
berupa kenaikan serum kreatinin, thrombocytoopnia, kenaikan transaminase serum hepar.
2.2.10 Persalinan pada kehamilan dengan PEB
Sikap terhadap persalinan ditentukan oleh : derajat desakan darah, dan perjalanan
klinis. Bila pada didapatkan desakan darah yang terkendali, perjalanan kehamilan normal,
pertumbuhan janin normal, dan jumlah volume amnion normal, maka dapat diteruskan
sampai aterm. Bila terjadi komplikasi dan kesehatan janin bertambah buruk, maka segera
diterminasi dengan induksi persalinan, tanpa memandang umur kehamilan. Secara umum
persalinan diarahkan pervaginam. Termasuk hipertensi dengan superimposed preeklampsia,
dan hipertensi kronik yang tambah berat.
2.4.11 Perawataan postpartum
Edema cerebri, edema paru, gangguan ginjal, dapat terjadi 24 - 36 jam post partum. Setelah
persalinan : 6 jam pertama resistensi (tahanan) perifer meningkat. Akibatnya : terjadi
peningkatan kerja ventrikel kiri (left ventricular work load). Bersamaan dengan itu akumulasi
dari cairan interstitial masuk kedalam intravaskuler. Perlu terapi lebih cepat dengan atau
tanpa diuretik. Banyak wanita dengan hipertensi kronik dan superimposed preeklampsia,
mengalami penciutan volume darah (hipovolemia). Bila terjadi perdarahan post partum,
sangat berbahaya bila diberi cairan kristaloid, maupun kolloid, karena telah lumen pembuluh
darah telah mengalami vasokonstriksi. Terapi terbaik bila terjadi perdarahan, ialah pemberian
transfusi darah.
2.6 Konsep Dasar Asuhan Kebidanan pada Ibu Nifas Post SC dengan Pre
eklampsia
I. Data Subyektif
Anamnesa
a. Biodata/identitas
1. Umur ibu
Kehamilan yang pertama kali dengan baik Usia ≤ 20 tahun dan ≥ 35 tahun faktor
resiko terjadinya pre eklampsia. (Manuaba, 2010).
b. Keluhan Utama
Adalah keluhan yang dirasakan oleh klien yang menyebabkan adanya gangguan.
Pada ibu dengan post eklampsia, perlu diwaspadai adanya kejang dengan keluhan
nyeri kepala hebat, nyeri epigastrium, penglihatan mata kabur, mual muntah dan
kejang.
c. Riwayat Obstetri
1) Persalinan yang lalu
Hal ini penting untuk mengetahui faktor risiko pada persalinan berikutnya. Yang
perlu ditanyakan antara lain persalinan ke berapa, penolong, apakah ada masalah
kesehatan yang timbul seperti perdarahan dan riwayat preeclampsia-eklampsia
sebelumnya. Pre-Eklampsi lebih sering terjadi pada primigravidarum dari pada
multipara. Ibu multipara lebih berseiko mengalami hipertensi kronik.
d. Riwayat Kehamilan dan Persalinan Sekarang
1) Kehamilan
Hipertensi kronik terdapat tekanan darah ≥140/90 mmHg sebelum usia
kehamilan 20 minggu, Pre-Eklampsia berat bila tekanan darah ≥160/110 mmHg
disertai proteinuria, pada usia kehamilan >20 minggu, dengan keluhan Bengkak
pada kaki / dan tangan / dan muka, pandangan mata kabur, nyeri ulu hati sejak
usia kehamilan > 20 minggu.
2) Persalinan
Jenis persalinan. Persalinan biasanya dengan bantuan alat vacum ekstraksi,
forcep dan atau dengan tindakan secsio caesarea. selain itu perlu dikaji tempat
bersalin, penolong, dan keadaan bayi.
e. Riwayat KB
KB terakhir dan rencana KB selanjutnya.
f. Riwayat kesehatan
Penyakit hipertensi,DM, ginjal, dan riwayat preeklamsia sebelumnya dapat
meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia-eklampsia (Saifuddin, 2008).
g. Riwayat kesehatan keluarga
Penyakit hipertensi pada keluarga dapat diturunkan secara genetik, sehingga jika ada
keturunan hipertensi atau keluarga mempunyai riwayat preeklamsia sebelumnya
dapat meningkatkan resiko terjadinya preeklamsia-eklampsia (Manuaba, 2007).
h. Pola fungsional kesehatan
o Nutrisi : Kebutuhan makan ibu sebelum nifas maupun selama nifas apakah
sudah memenuhi gizi seimbang, frekuensi, porsi dan menu. Terdapat
pembatasan minum pada ibu dengan PEB.
o Eliminasi : Pada pasien pre-eklamsia produksi urine cenderung oligo urie.
o Aktivitas : Ditanyakan sejauh mana klien melakukan mobilisasi dini, apakah
mengalami hambatan atau kesulitan.
o Istirahat : Setelah melahirkan apakah klien dapat istirahat atau tidur sesuai
kebutuhannya. Berapa jam klien tidur dalam sehari, dan apakah ada
kesulitan selama ibu melakukan istirahat.
o Personal hygiene : Setelah melahirkan apakah klien dapat mandi sendiri di
kamar mandi, berapa kali klien mandi dalam sehari,
bagaimana kebersihan alat kemaluannya apakah dicuci
memakai sabun, bagaimana mengenai pembalut, kapan ganti
dan berapa kali.
i. Data psikososial dan budaya
1) Perkawinan : Usia pertama kali kawin perlu ditanyakan untuk mengetahui
faktor resiko, jika ibu kawin pertama kali pada usia ≤ 18 tahun atau ≥ 35 tahun
merupakan usia yang ekstrim yang merupakan faktor predisposisi yang dapat
menimbulkan preeklampsia-eklampsia pada ibu.
2) Psikologi : Sikap/ penerimaan ibu terhadap bayinya, dukungan keluarga,
dan kesiapan menjadi orang tua. Perlu dikaji juga bagaimana sikap klien
terhadap interaksi yang dilakukan.
3) Budaya : Kebiasaan ibu/ keluarga selama masa nifas yang dapat
mempengaruhi kesehatan seperti pijat perut maupun minum jamu-jamuan.
II. Data Objektif
a. Pemeriksaan umum
1) Kesadaran
Compos mentis : baik/sempurna
Apatis : perhatian berkurang
Somnolen : mudah tertidur walaupun sedang diajak berbicara
Sopor : dengan rangsangan kuat masih memberi respon gerakan
Sopor-comatus : hanya tinggal reflex cornea (sentuhan ujung kapas pada
cornea akan menutup kelopak mata)
Coma : tidak memberi respon sama sekali
2) Pengkajian Berat Badan dan Tinggi Badan
Obesitas merupakan faktor resiko terjadinya PEB dan hipertensi Kronik.
Berikut adalah Klasifikasi Indeks Masa Tubuh (Varney, 2007) :
Klasifikasi IMT
Berat Badan Kurang < 18,5 kg/m2
Berat Badan Normal 18,5-24,9 kg/m2
Obesitas (Kelas 1) 25-29,9 kg/m2
Obesitas (Kelas 2) 30-34,9 kg/m2
Obesitas Ekstrem (Kelas 3) ≥ 40 kg/m2

3) Tanda-tanda vital
Tekanan darah : normalnya 120/80 mmHg, pada pasien pre eklampsia berat
TD ≥160/110 mmHg.
Suhu : suhu dapat meningkat > 37,5 0C,
Nadi : nadi dapat meningkat > 100x/menit,
Pernapasan : normalnya 16 – 24 kali/menitpada Pre-eklampsia berat pasien
dapat sesak, yaitu pernapasan > 24x/menit.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Muka : terdapat bengkak pada muka.
2) Dada : tidak ada benjolan abnormal, putting susu menonjol/tidak,
bersih, kolostrum keluar/belum, adakah tanda-tanda bendungan
asi/tidak, tidak ada retraksi dinding dada, tidak terdengar
wheezing/ronchi.produksi ASI belum keluar (hari ke 1-2 PP),
kolostrum positif pada hari pertama bila dipijat.
3) Abdomen : bagaimana keadaan luka bekas operasi, bersih/tidak, ada
pus/tidak, TFU, konsistensi uterus, kontraksi uterus, kandung
kemih.
 Setelah plasenta lahir uterus menjadi kecil dan TFU teraba
kira-kira 1 jari dibawah pusat.
 Hari ke 1-2 : TFU 2 jari dibawah pusat
 Hari ke 3 :TFU 2-3 jari dibawah pusat
 Hari ke 4-5 : TFU pertengahan pusat-symphisis
 Hari ke 7 : TFU 2-3 jari diatas symphisis
 Hari ke 9 : TFU 1 jari diatas symphisis
 Hari ke 10-12 : TFU tak teraba dari luar
4) Genetalia : ada varises pada vagina/tidak, pengeluarana lochea (warna, bau,
banyaknya, konsistensi) (varney 2007)
 Warna lochea :
Hari ke 1-7 : lochea rubra, warna merah
Hari ke 7-14 : lochea serosa, warna kuning
> 14 hari : lochea alba, warna putih
 Banyaknya lochea : setelah melahirkan pengeluaran keseluruhan adalah
400-1200 ml.
 Ekstremitas : oedema, kukujari pucat/tidak, suhu atau kehangatan, reflek patella(+)
(syarat pemberian MGSO4), kejang (-)
c. Data Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
 Proteinuria ≥ 5 gr per jumlah urin selama 24 jam. Urine < 400 cc/24 jam.
 Hb : Hemoglobin:
- 11gr: tidak anemi
- 9-10 gr: anemi ringan
- 7-8 gr : anemi sedang
- <7-8 gr: anemi berat
 SGOT/SGPT, Trombosit, LDH: untuk mengetahui apakah ada gangguan
fungsi hati dan haemostatis sehubungan dengan komplikasi preeclampsia yaitu
Sindroma HELLP
II. Analisa
1. Identifikasi Masalah / Diagnosa Kebidanan
Identifikasi terhadap masalah atau diagnosa berdasarkan interpretasi yang benar atas
data yang dikumpulkan. Diagnosa kebidanan ini dibuat sesuai standard nomenklatur
kebidanan.
Dx: PAPAH Postpartum hari ke... dengan Pre-Eklampsia.
Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
Identifikasi diagnosa atau masalah potensial dibuat setelah mengidentifikasi
diagnosa atau masalah kebidanan. Langkah ini membutuhkan antisipasi dan bila
mungkin dilakukan pencegahan.
Diagnosa potensial :
1) Hiprofibrinogenemia
Adanya kekurangan fibrinogen yang beredar dalam darah, biasanya dibawah
100mg persen. Sehingga pemeriksaan kadar fibrinogen harus secara berkala.
2) Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal pada penderita
eklampsia.
3) Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina yang merupakan tanda gawat
akan terjadinya apopleksia serebri.
4) Edema paru – paru
5) Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol
umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati,
terutama penentuan enzim-enzimnya.
6) Sindroma HELLP
Merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda : hemolisis,
peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel
sistemik. Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester
dua sampai beberapa hari setelah melahirkan.
7) Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang
dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
8) Komplikasi lain yaitu lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat
kejang - kejang pneumonia aspirasi, dan DIC.
2. Identifikasi kebutuhan segera
Pada tahap ini bidan mengidentifikasi perlunya tindakan segera, baik tindakan
konsultasi, kolaborasi dengan dokter atau rujukan berdasarkan kondisi klien.
Langkah ini sebagai pengecekan apakah rencana asuhan tersebut efektif dalam
pelaksanaannya. Meliputi evaluasi tindakan yang dilakukan segera dan evaluasi
asuhan kebidanan yang meliputi catatan perkembangan..
III. Penatalaksanaan
Tanggal :
Pukul :
1. Jelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga
R/ informasi yang jelas mengoptimalkan asuhan yang diberikan
2. Jelaskan penyebab dari keluhan atau masalah yang dirasakan ibu, seperti nyeri luka
perineum/ jahitan post SC, perut terasa mules akibat adanya kontraksi uterus, lemas
atau pusing, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan, dll
R/ informasi yang jelas memberikan kenyaman klien
3. Observasi tanda – tanda vital ibu dan tanda tanda impending eklamsi.
R/ I. Tanda – tanda vital merupakan salah satu indikator untuk mengetahui keadaan
ibu, antara lain :
Tekanan darah : normalnya 120/80 mmHg, pada pasien eklamsia TD > 200 mmHg.
Suhu : suhu dapat meningkat > 37,5 0C, biasanya ibu dengan eklampsia suhu  380C.
Nadi : nadi dapat meningkat > 100x/menit, biasanya > 120 kali/menit pada ibu
dengan eklampsia.
Pernapasan: normalnya 16 – 24 kali/menit, < 16 atau > 24 kali/menit pada ibu dengan
eklampsia
II. untuk mengetahui potensi terjadinya Eklampsia puerperium yaitu, terjadi serangan
kejang atau koma seletah persalinan berakhir, sebesar 10 %. ( Prawirohardjo, 2008).
4. Observasi TFU, kontraksi uterus, dan pengeluaran lokea setiap hari
R/ 1) TFU merupakan salah satu indicator untuk mengetahui bahwa proses involusio
berlangsung normal, normalnya TFU mengalami penurunan 1 cm/ hari yang teraba
keras dan bundar
2). Dengan mengobservasi kontraksi uterus dapat mengetahui apakah uterus
berkontraksi dengan baik atau tidak, karena apabila uterus kurang berkontraksi akan
menyebabkan perdarahan dan memperlambat proses involusi.
3) Untuk mengetahui warna lochea pada hari 1-2 hari pasca persalinan, yaitu:
Lochea Rubra. Berwarna merah, berisi darah segar, sisa - sisa selaput ketuban, sel -
sel desidua, sisa - sisa amnion, lanugo, vernix casiosa, dan mekonium. biasanya
terjadi pada hari 1-2 hari pasca persalinan. Apabila terjadi Perubahan warna, bau,
jumlah dan perpanjangan lokea merupakan terjadinya infeksi yang disebabkan oleh
involusio yang kurang baik.
5. Pengaturan Balance Cairan
R/ penyeimbangan antaran cairan masuk (CM) dan cairan keluar (CK), dimana CM =
CK + 500cc, artinya batas kelebihan cairan yang dapat ditoleransi adalah 500cc.
6. Anjurkan ibu penuhi kebutuhan nutrisi diit TKTPRG sesuai anjuran dokter
R/ Kebutuhan nutrisi TKTPRG diperlukan oleh ibu postpartum eklamsi untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi ibu dalam proses involusi dan menstabilkan kondisi ibu.
7. Berikan HE mobilisasi, personal hygiene
R/ Keuntungan dari mobilisasi dini adalah melancarkan pengeluaran lochia,
mengurangi infeksi puerperium, mempercepat involusi alat kandungan, melancarkan
fungsi alat gastrointestinal, dan alat perkemihan. Selain itu juga meningkatkan
kelancaran peredaran darah sehingga mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran
metabolisme (Coad, Jane. 2006)
R/ Menjaga kebersihan diri ibu sangat diperlukan untuk menghindari dari infeksi
8. Lakukan perawatan payudara pada ibu dan mengeluarkan ASI nya ke dalam botol
steril sehingga tidak merasa nyeri dan tegang akibat dari bendungan ASI.
R/ Manfaat perawatan payudara dapat melancarkan sirkulasi darah pada payudara ibu
dan siap untuk menyusui bayinya. Manfaat menyusui bagi ibu membuat rahim
berkontraksi dengan cepat dan memperlambat perdarahan.Wanita yang menyusui
bayinya akan cepat pulih atau turun berat badannya ke berat badan sebelum hamil.
Pemberian ASI adalah cara yang penting bagi ibu untuk mencurahkan kasih
sayangnya pada bayi dan membuat bayi nyaman (Bahiyatun, 2009)
9. Kolaborasi dengan dokter SpOG dalam pemberian obat – obatan
R/ Terapi yang benar dan tepat, waktu, dosis dan cara pemberian dapat mempercepat
kesembuhan pasien.
10. Berikan dukungan psikologis kepada ibu
R/ Periode postpartum menyebabkan stres emosional terhadap ibu baru, bahkan lcbih
menyulitkan bila terjadi perubahan fisik yang hebat. Satu atau dua hari postpartum.
Ibu cenderung pasif dan tergantung. Ia hanya menuruti nasihat, ragu-ragu dalam
membuat keputusan, masih berfokus untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, masih
menggebu membicarakan pengalaman persalinan. Periode ini diuraikan oleh Rubin
terjadi dalarn tiga tahap yaitu : taking in, taking hold dan letting go (Bahiyatun, 2009:
64-65) :
11. Diskusikan dan bimbing ibu untuk memilih jenis kontrasepsi yang akan digunakan
sesuai dengan kondisi ibu.
R/ Setiap pasangan perlu memerhatikan dan merencanakan jumlah kelahiran yang
diinginkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan ibu. Dengan penggunaan kontrasepsi
dapat mencegah terjadinya kehamilan yang bertujuan untuk menjarangkan kehamilan,
merencanakan jumlah anak dan meningkatkan kesejahteraan keluarga agar keluarga
dapat memberikan perhatian dan pendidikan yang maksimal pada anak. ( Harnawati,
2009).
12. Anjurkan ibu untuk kontrol ulang ke poli setelah 1 minggu
R/Kunjungan ulang sangat diperlukan oleh ibu nifas post SC (atas indikasi eklamsi)
untuk memantau kondisi dan involusi apakah berjalan dengan baik.
VI. IMPLEMENTASI
Melaksanakan rencana asuhan yang telah direncanakan secara menyeluruh dengan efisien
dan aman sesuai perencanaan.
VII. EVALUASI
Tindakan pengukuran antara keberhasilan dalam melaksanakan tindakan untuk mengetahui
sejauh mana keberhasilan tindakan yang dilakukan sesuai kriteria hasil yang ditetapkan dan
apakah perlu untuk melakukan asuhan lanjutan atau tidak.
Pendokumentasian menggunakan SOAP.
S : Data diperoleh dari keterangan/keluhan ibu langsung
O : Data diperoleh dari hasil pemeriksaan yang didapat secara keseluruhan.
A : Diagnosa yang ditetapkan dari data subjektif dan objektif.
P : Perencanaan yang dilakukan sesuai diagnosa.
BAB 3
TINJAUAN KASUS

No. Register : 1003-25-xx


Tanggal/Jam MRS : 17-02-2016 Jam 16.32 WIB
Tanggal/Jam Masuk Ruang Merpati : 20-02-2016 Jam 08.00 WIB
Tanggal/Jam Pengkajian : Senin, 22 Februari 2015 Jam 09.00 WIB

Data Subjektif
1. Biodata/ Identitas
Nama Ibu : Ny. LP Nama Suami : Tn. MY
Umur : 45 tahun Umur : 37 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : STM
Pekerjaan :- Pekerjaan : Swasta
Alamat : Mojo, Surabaya
2. Keluhan Utama:
Tidak ada keluhan
3. Riwayat Obstetri yang Lalu:
Kehamilan Persalinan Bayi/Anak Nifas
Sua Hidup KB
ke UK Pnylt Penol. Jenis Tmpt Pnylt Seks BB (gr) Pnylt ASI
mi Mati
Kembar, Kembar,
1 8bl Dokter SC RS P 1700 2 bl
PEB PEB KB pil
H/16th -
Kembar, Kembar,
1 1 8bl Dokter SC RS P 1800 2 bl
PEB PEB
2 8bl PEB Dokter SC RS PEB L 3100 H/ 6 th - 3 bl KB pil
3 8bl PEB Dokter SC RS PEB L 2300 H/3 hari NIFAS INI MOW

4. Riwayat Kehamilan, Persalinan, dan Nifas Sekarang:


a. Riwayat Kehamilan
Ini adalah kehamilan ketiga. HPHT 18-06-2015 dan TP 25-03-2016 dengan. PP test
sendiri dengan hasil positif (+) bulan Juli 2015. Periksa hamil ke Puskesmas Mojo 4 kali
sejak awal kehamilan, 2x Periksa ke RS Pura Raharja. Ibu mengalami darah tinggi,
selama hamil sejak usia kehamilan 3 bulan.
Riwayat suntik TT 3 kali. Obat yang didapatkan : Fe, Kalk, Bc, Nifedipin. Fe rutin
diminum, bersama air putih. Penyuluhan yang pernah didapat : nutrisi, istirahat, tanda
bahaya kehamilan, tanda –tanda persalinan.
Tanggal 17-02-2016
Pasien kontrol ke RS Pura Raharja karena ingin USG, dilakukan pemeriksaan :
TD : 180/100 mmHg N : 80x/m S : 36,2ºC DJJ : 132x/m
Protein Urine +1, edema kaki +/+
Hasil pemeriksaan Lab tanggal 17-02-2016
Lab Darah
Hb : 11,6 gr/dL WBC : 10.000 PLT : 274.000 HCT : 33,6
Lab Urine
Protein +1 Glu (N) Eri 0-1 Leu : 0-2
Hasil USG 17-02-2016
FL : 6,14 ~ 32/33 mg
BPD : 79,2 ~ 31/32 mg
Diagnosa : GIIIP2003 UK 32-33 minggu TH+PEB+bayi kecil_U ≥35 tahun+BSC
Penatalaksanaan : Pasang infus RD5 drip SM 40% 1gr/jam, injeksi SM 20% 4 gr IV,
nifedipin 3x10 mg, pasang O2 dan kateter, rujuk RSUD Dr.Soetomo.
Di VK IRD RSUD dr Soetomo jam 16.30 WIB
TD : 260/160 mmHg N : 88 x/m RR : 20x/m S: 37,1ºC
Hasil lab tanggal 17-02-2016 jam 17.00
Lab Darah
Hb : 12,6 Leu : 9,97 PLT : 290.000 HCT : 37,90
GDA : 100 BUN/SK : 4/0,53 Alb : 3,53 HbsAg (-)
OT/PT : 23/20 Na/K/Cl : 137,60/3,94/102,80
Lab Urine
Protein +2 Eri : 2-5 Leuko : 0-5 Epitel : banyak
EKG : sinus takikardi 114x/m
NST : 140/reaktif/kategori 1
Diberikan nikardipin pump 0,5 mcg/kgBB/mnt, injeksi SM 40% 10 gr 2,5 cc/jam,
dexamethason 2x6 gr IM 2x24 jam,balans cairan CM= CK+500, terminasi SC+MOW
tanggal 19-02-2016. Hasil lab :
Hb 13,8 HCT 42,6 PLT 319.000 Magnesium 6,8
Tanggal 19-02-2016 jam 09.00 Pasien dipindahkan ke OK, TD : 160/100 mmHg
b. Riwayat Persalinan
Bayi lahir tanggal 19-02-2016 jam 10.50 WIB/SC/dokter/ketuban jernih/♂/AS 8-9/2300
gram/47 cm/anus (+)
c. Riwayat Nifas
Tanggal 19-02-2016, post SC TD : 172/93 mmHg tx :nikardipin, lanjutkan tx oral
metildopa 3x500 mg, nifedipin 3x10 mg.
Tanggal 20-02-2016 di ROI, TD : 191/120 mmHg, CM 1000 cc/ 24 jam CK 1600 cc/24
jam, TFU 1 jr b pst, kontraksi uterus keras, flx (+) dbn, terapi dr. obgyn: asam
mefenamat 3x500 mg, sulfas ferosus 1x1, nifedipin 3x10 mg, metildopa 3x250 mg, pro
pindah merpati. Terapi dr. cardio , tx oral : amlodipin 0-0-10 mg tab, hct 25-0-0,
bisoprolol 2,5-0-0, captopril 3x12,5 mg.
Jam 08.00 Pasien pindah ke ruang Merpati, TD : 190/110 mmHg, P1204 Post SC +MOW
hari-1 dengan HT kronis si PEB, tx : lanjutkan terapi oral, Observasi VS/keluhan/Tanda
impending eklampsia, Balans CM = CK+500. Penatalaksanaan Bidan :
menginformasikan hasil pemeriksaan, memberikan terapi sesuai advis dokter,
memberikan KIE tentang : nutrisi, ASI ekslusif.
Tanggal 21-02-2016
TD : 160/100 mmHg TFU 1 jr bawah pusat kontraksi keras, flx (+) CM 1000cc/24 jam
CK 900 cc/24 jam. P1204 Post SC +MOW hari-2 dengan HT kronis si PEB Terapi :
lanjutkan terapi oral, minum max 1000cc/24 jam, balans cairan CM = CK +500, pro
rawat luka tanggal 22-02-2016, observasi VS/kel/tanda impending eklampsia, cek lab
DL, UL. Penatalaksanaan bidan : menginformasikan hasil pemeriksaan, memberikan
terapi sesuai advis dokter, mereview KIE tentang nutrisi, memfasilitasi ASI ekslusif
(Rawat gabung).
5. Riwayat KB
Setelah kelahiran anak pertama ibu menggunakan KB suntik 3 bulan selama ± 7 tahun.
6. Riwayat Kesehatan
Tidak pernah dan tidak sedang menderita penyakit menurun seperti jantung, asma,
Diabetes Mellitus, ginjal dan penyakit menular seperti TBC, hepatitis, HIV/ AIDS. Ibu
menderita hipertensi.
7. Riwayat Kesehatan Keluarga
Keluarga Tidak pernah dan tidak sedang menderita penyakit jantung, ginjal, hipertensi,
diabetes mellitus, asma, TBC, hepatitis, dan HIV/ AIDS.
8. Data Fungsional Kesehatan:
a. Nutrisi : makan 3x/hari, setengah porsi makanan yang didapatkan di Ruang Merpati.
Minum <1000cc/hari.
b. Eliminasi : BAK 3-4x/hari, berwarna kuning jernih. BAB 1x/hari konsistensi padat
berwarna kecokelatan.
c. Istirahat : tidur ±5 jam/hari.
d. Mobilisasi : dapat mobilisasi dengan baik, duduk, berjalan, makan, dll.
e. Laktasi : air susu keluar sedikit.
9. Riwayat Perkawinan dan Psiko Sosial Budaya
Menikah 1kali, lama menikah 17 tahun. Umur pertama menikah 28 tahun. Kehamilan ini
tidak diinginkan, namun ibu, suami dan keluarga menerima dan senang dengan
kehamilan ini. Tidak ada kepercayaan khusus mengenai nifas ini.
Bounding-Attachment : ibu dapat merawat bayinya dengan baik, menegrti tentang
perawatan bayi sehari-hari.
10. Riwayat Neonatal
Bayi usia 3 hari, BB : 2300 HR : 142 x/m S : 37,2 ºC RR : 50 x/m, ASI + PASI, BAB (+)
BAK (+), ikterus (+)- bayi masih fototerapi.
Data Objektif
1. Pemeriksaan Umum
KU : Baik Kesadaran : Compos mentis
TD : 150/100 mmHg Nadi : 84 x/menit
Suhu : 36,60C RR : 16 x/menit
CM : 1000cc/24 jam CK : 900cc/24 jam
2. Pemeriksaan Fisik
Muka : tidak ada odema, konjungtiva merah muda, sclera putih
Dada : tidak ada tarikan dinding dada ke dalam, tidak ada ronchi, tidak ada wheezing
Payudara : kiri dan kanan bersih, puting menonjol, keluar ASI.
Abdomen : bekas luka jahitan baik, tertutup, tidak kemerahan, tidak keluar cairan, sudah
ditutup dengan pleaster anti air. TFU 3 jari bawah pusat.
Genetalia : lochea rubra, anus tidak terdapat hemoroid.
Ekstrimitas: oedema pada ekstremitas bawah, kiri dan kanan.
3. Data Penunjang
Hasil Lab tanggal 22-02-2016 jam 10.17
GDP 167 OT/PT 51/41 Alb 3,4 Creat 1,12 Na/K/Cl 137/3,6/98

Analisis
P3004 Post SC +MOW hari-3 dengan HT kronis si PEB

Penatalaksanaan
Tanggal/Jam Tindakan Pelaksana
Tgl 22-02-16 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan,
Bintari
11.00 ibu mengerti kondisinya sekarang
Memberikan KIE kepada ibu tentang :
Istirahat : berusaha istirahat cukup, 8 jam/hari, agar tidak stress,
stress dapat berpengaruh terhadap tekanan darah.
11.15 Posisi istirahat : menyarankan ibu untuk tidak menggantung kaki, Bintari
atau beristirahat dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala untuk
mengurangi bengkak di kaki.
Ibu mengerti.
Berkolaborasi dengan dokter obsgyn untuk pemberian terapi, advis :
Bidan
12.00 Novabion 2x1,asam mefenamat 3x500 mg, amlodipin 0-0-10 mg tab,
Merpati
hct 25-0-0, bisoprolol 2,5-0-0, captopril 3x12,5 mg.
Memberikan terapi sesuai advis dokter : asam mefenamat 500 mg, Bidan
14.00 captopril 12,5 mg. Merpati,
Tidak ada reaksi alergi. Bintari

CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 23-02-2016 Jam 09.00
S : tidak ada keluhan
O : KU: Baik N : 82 x/mt TD : 140/80 mmHg
RR : 20 x/menit S : 36.7 ºC
ASI (+) sedikit.
Luka operasi baik, tertutup plester anti air, tidak merembes. TFU 3 jari bawah pusat
Lochea serosa, Ekstremitas bawah, oedema +/+
Data Rekam Medis :
Tanggal 22-02-2016
Pasien tenang, tidak ada keluhan, KU baik, TD = 150/100 mmHg, S = 36,6ºC, N =
86x/m
18.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat
22.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion
06.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion, bisoprolol 2,5 mg,
amlodipin 10 mg, HCT
Advis dokter : Diit TKTP terapi oral : Novabion 2x1,asam mefenamat 3x500 mg,
amlodipin 0-0-10 mg tab, hct 25-0-0, bisoprolol 2,5-0-0, CM maks 1000cc, cek lab
lengkap.
A : P3004 Post SC +MOW hari-4 dengan HT kronis si PEB
P :
Tanggal/Jam Tindakan Pelaksana
Tgl 23-02-16 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan,
Bintari
09.10 ibu mengerti kondisinya sekarang
Mengingatkan ibu tentang :
Nutrisi : makan makanan bergizi tinggi protein, makan buah dan
sayuran untuk pemulihan bekas luka operasi dan produksi ASI.
minum <1000cc/hari untuk mencegah kelebihan cairan.
ASI ekslusif : ibu tetap berusaha menyusui 2 jam sekali.
09.15 Bintari
Memberikan HE :
Posisi istirahat : menyarankan ibu untuk tidak menggantung kaki,
atau beristirahat dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala untuk
mengurangi bengkak di kaki.
Ibu dapat mengulang penjelasan dengan baik.
Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi, advis :
Bidan
12.00 Novabion 1x1,asam mefenamat 3x500 mg, adalat oros 0-0-30mg,
Merpati
HCT 25-0-0, bisoprolol 0-2,5 mg-0
Memberikan terapi sesuai advis dokter : asam mefenamat 500 mg, Bidan
14.00 bisoprolol 2,5 mg. Merpati,
Tidak ada reaksi alergi. Bintari
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 24-02-2016 Jam 09.00
S : tidak ada keluhan
O : KU: Baik N : 82 x/mt TD : 140/70 mmHg
RR : 20 x/menit S : 36.7 ºC
ASI (+) sedikit.
Luka operasi baik, tertutup plester anti air, tidak merembes. TFU ½ sym-pusat
Lochea serosa, Ekstremitas bawah, oedema +/+ berkurang.
Data Rekam Medis :
Tanggal 23-06-2016
Pasien tenang, tidak ada keluhan, KU Baik, TD = 140/90 mmHg, S=37 ºC, N = 83x/m
18.00-Memberikan terapi oral asam mefenamat
22.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion
06.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion, bisoprolol 2,5 mg,
amlodipin 10 mg, HCT
Advis dokter : Novabion 2x1,asam mefenamat 3x500 mg, adalat oros 0-0-30mg, HCT
25-0-0, bisoprolol 0-2,5 mg-0
A : P3004 Post SC +MOW hari-5 dengan HT kronis si PEB
P :
Tanggal/Jam Tindakan Pelaksana
Tgl 24-02-16 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan,
Bintari
09.10 ibu mengerti kondisinya sekarang
Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi, advis : diet
TKTPRG, mobilisasi, Novabion 1x1,asam mefenamat 3x500 mg,
Bidan
12.00 adalat oros 0-0-30mg, HCT 25-0-0, bisoprolol 0-2,5 mg-0, minum
Merpati
maks 1000cc/24 jam, observasi keluhan/vs, KRS bila hasil lab baik
(tunggu DPJP)
Memberikan terapi sesuai advis dokter : asam mefenamat 500 mg, Bidan
14.00 bisoprolol 2,5 mg. Merpati,
Bintari
Dinas Sore dan Malam : memberikan terapi sesuai advis dokter

CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 25-02-2016 Jam 09.00
S : tidak ada keluhan
O : KU: Baik N : 82 x/mt TD : 130/90 mmHg
RR : 18 x/menit S : 36.4 ºC ASI (+) sedikit.
Luka operasi baik, tertutup plester anti air, tidak merembes. TFU ½ sym-pusat
Lochea serosa, Ekstremitas bawah, oedema +/+ berkurang.
Tanggal 24-06-2016
Pasien tenang, tidak ada keluhan, KU Baik, TD = 130/90 mmHg, S=37 ºC, N = 83x/m
18.00-Memberikan terapi oral asam mefenamat
22.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion
06.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion, bisoprolol 2,5 mg,
amlodipin 10 mg, HCT
Advis dokter : Pro KRS kontrol poli nifas 1 minggu, tanggal 3 maret 2016 Obat
pulang : Novabion 1x1,asam mefenamat 3x500 mg, amlodipin 0-0-10 mg tab, hct 1-0-
0, bisoprolol 2,5-0-0, CM maks 1000cc, cek lab lengkap.
A : P3004 Post SC +MOW hari-6 dengan HT kronis si PEB
P :
Tanggal/Jam Tindakan Pelaksana
Tgl 23-02-16 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan,
Bintari
09.10 ibu mengerti kondisinya sekarang
Mereview tentang :
Perawatan bayi sehari-hari : perawatan tali pusat kering, ekstra
09.15 Bintari
minum minimal 2 jam.
Ibu mengerti
Berkolaborasi dengan dokter dan petugas farmasi untuk pemberian
obat pulang : Bidan
10.00
Novabion 1x1,asam mefenamat 3x500 mg, adalat oros 0-0-30mg, Merpati
HCT 25-0-0, bisoprolol 0-2,5 mg-0
Memberikan KIE tentang : Tanda bahaya nifas dan cara meminum Bidan
10.30
obat, Ibu mengerti Merpati
Menyiapkan pasien KRS, pasien pulang jam 14.00 WIB Bidan
11.00 Merpati,
Bintari
BAB 4
PEMBAHASAN

Ny. L, P3004 Post SC + MOW hari ke-3 HT Kronis si PEB, berada pada masa nifas.
Postpartum atau masa nifas adalah suatu periode dalam minggu-minggu pertama setelah
kelahiran. Lamanya periode ini tidak pasti, sebagian besar menganggapnya 4 sampai 6
minggu (Cunningham, et. al, 2013). Pada Ny L, nifas hari ke 3 terdapat pengeluaran ASI.
ASI pada Ny. L keluar pada hari ke 3 hal ini sesuai dengan teori Varney (2007) bahwa
Progesteron dan estrogen saat hamil yang dihasilkan plasenta merangsang pertumbuhan
kelenjar – kelenjar susu, sedangkan progesterone merangsang pertumbuhan saluran kelenjar.
Kedua hormone ini mengerem LTH (prolactin). Setelah plasenta lahir, maka LTH dengan
bebas dapat merangsang laktasi. Pada kira – kira hari ke 3 postpartum, buah dada menjadi
besar, keras dan nyeri. Ini menandai permulaan sekresi air susu dan kalau areola mamae
dipijat, keluarlah cairan putih dari puting susu (Saleha, 2009).
Salah satu perubahan pada masa nifas adalah terjadinya involusi uterus. Involusi
uterus adalah kembalinya uterus pada keadaan sebelum hamil, baik dalam bentuk maupun
posisi. Proses involusi uterus disertai dengan penurunan tinggi fundus uteri (TFU). Pada
hari pertama TFU diatas symphisis pubis atau sekitar 12 cm. hal ini terus berlangsung
dengan penurunan TFU 1 cm setiap harinya, sehingga pada hari ke 7 TFU berkisar 5 cm dan
pada hari ke ke 10 TFU tidak teraba di symphisis pubis (Cunningham, et. al, 2013). Pada
Ny. L pada hari ke 3 TFU berada pada 3 jari bawah pusat, hal ini sesuai dengan teori.
Akibat adanya involusi ini adalah adanya pengeluaran lochea. Pada Ny N, didapatkan
keluaran vagina berwarna merah . Berdasarkan teori lochea yang keluar pada hari 1-3
disebut lochea rubra. Lochea berwarna merah terdiri dari sel desidua, verniks caseosa,
rambut lanugo, sisa mekonium dan sisa darah (Saleha, 2009).
Dari hasil pengkajian pada didapatkan Ny L post SC + MOW hari ke-3 hipertensi
kronis si PEB. Menurut manuaba (2010) faktor yang resiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia adalah primigravida, distensi rahim berlebihan, hidramnion, hamil
ganda, mola hidatidosa, penyakit yang menyertai hamil, diabetes melitus, obesitas, terlalu
muda hamil <20 tahun dan terlalu tua hamil > 35 tahun.Pada data subjektif didapatkan usia
ibu >35 tahun, pernah hamil ganda, riwayat pre –eklampsia sebelumnya, serta hipertensi.
Pada riwayat kehamilan, terdapat hasil pemeriksaan protein urine +2, tekanan darah tinggi
sejak usia kehamilan 3 bulan. Hal ini sesuai dengan teori, yaitu hipertensi kronis merupakan
salah satu faktor resiko PEB. Pada pemeriksaan nifas, didapatkan TD 150/100 mmHg sampai
hari ke tiga, dan sehingga ibu didiagnosa post SC hipertensi kronis si PEB.
Ny L, selalu diobservasi balance cairannya. Pada pasien PEB perlu diobservasi balance
cairan (CM dan CK). Hal ini bertujuan untuk mengontrol jumlah cairan dalam tubuh karena
pada penderita preeklamsi beresiko terjadi odem. Mengobservasi keluhan / kontraksi uterus /
fluksus/ tanda – tanda impending eklamsi hal ini untuk mengawasi keadaan ibu karena pada
PEB beresiko terjadi eklampsi. Balance cairan pada Ny L adalah CM = CK + 500. Menurut
Wirapramana, 2015 Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka
harus ada keseimbangan antara cairan yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini
terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan
lingkungan luarnya. Cairan masuk = cairan keluar + IWL (Insensible Water Loss). Cairan
Masuk : mulai dari cairan infus, minum, kandungan cairan dalam makanan pasien, volume
obat-obatan, termasuk obat suntik, obat yang di drip, albumin dll. Cairan keluar : urine dalam
24 jam dan IWL (insensible water loss(IWL) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan
sulit diitung, yaitu jumlah keringat, uap hawa nafas. Pada manusia dewasa IWL berkisar 900
cc (paru 400 cc, kulit 400 cc dan feses 100 cc). Pada Ny L IWL nya 500, hal ini karena pada
PEB berisiko terjadi edema paru.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat dianalis bahwa preeclampsia berlangsung mulai
kehamilan sampai masa nifas. Pada masa nifas normal terjadi penurunan tekanan darah
sistolik 20 mmHg pada saat klien merubah posisi dari berbaring ke duduk lebih disebabkan
oleh reflek ortostatik hipertensi. Normalnya selama beberapa hari pertama setelah kelahiran,
Hb, Hematokrit dan hitungan eritrosit berfruktuasi sedang. Akan tetapi umumnya, jika kadar
ini turun jauh di bawah tingkat yang ada tepat sebelum atau selama persalinan awal wanita
tersebut kehilangan darah yang cukup banyak. Pada minggu pertama setelah kelahiran ,
volume darah kembali mendekati seperti jumlah darah waktu tidak hamil yang biasa. Setelah
2 minggu perubahan ini kembali normal seperti keadaan tidak hamil (Saifuddin, 2007).
Sedangkan pada preeclampsia terjadi vasopspasme merupakan awal kejadian penyakit ini.
Vasospasme bisa akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh
darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya
kerusakan atau jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan
antara kadar vasokonstriktor dan vasodilator serta gangguan pada sistem pembuluh darah
(Sulaiman Sastrawinta, 2007 : 71)
Pada pemeriksaan objektif didapatkan tekanan darah 150/100 mmHg, sesuai
dengan teori yaitu hipertensi adalah tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Pada masa nifas
tidak didapatkan proteinuria, hasil lab juga normal, menandakan bahwa tidak terjadi
komplikasi lebh lanjut, yaitu sindrom HELLP.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan melakukan tirah baring di rumah
sakit untuk mengobservasi tekanan darah, urin, dan mencegah timbulnya impending
eklampsia pada masa nifas. Diit yang diberikan yaitu TKTPRG 2100kkal ekstra sayur dan
buah, TKTPRG diberikan karena ibu dalam masa nifas post SC untuk menunjang
penyembuhan luka jahitan post SC, RG diterapkan karena ibu masih mempunyai tekanan
darah tinggi. Pemberian antihipertensi sudah dilakukan sesuai dengan protap yaitu nifedipin
3x10mg diberikan jika TD ≥ 160/110. Menurut Manuaba (2010) preeclampsia bisa berlanjut
sampai 12 minggu pasca persalinan, dan dapat meningkatkan resiko perdarahan karena terjadi
iskemi pembuluh darah yang menyebabkan gangguan sirkulasi oksigen ke organ-organ tubuh
salah satunya otot rahim sehingga kontraksi uterus berkurang, terjadi atonia uteri
menyebabkan terjadinya perdarahan. Sebagai petugas kita harus memberikan KIE tentang
bahaya preeclampsia dan eklampsia, jika tidak segera ditangani akan menyebabkan kejang,
dan tekanan darah tinggi bisa berlanjut sampai seumur hidup serta dapat menyebabkan
kematian (Hanifa dalam Prawiroharjo, 2007 ).
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Ny. L, P3004 Post SC + MOW dengan HT kronis si PEB yang dilaksanakan telah
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu pengumpulan data subyektif dan
obyektif, merumuskan diagnosa aktual dan masalah, menyusun rencana dan
melaksanakan tindakan asuhan kebidanan yang menyeluruh sesuai kebutuhan,
melaksanakan evaluasi dalam asuhan kebidanan dan mendokumentasikan asuhan
dengan metode SOAP
2. Asuhan yang diberikan telah sesuai dengan teori yang didapat pada saat perkuliahan
3. Dalam menentukan dan mengatasi masalah, dapat ditentukan dari pengkajian data
yang dilakukan, baik secara subyektif maupun obyektif

5.1 Saran
Diharapkan selalu menggunakan penerapan manajemen kebidanan dalam setiap
asuhan yang diberikan untuk menghasilkan asuhan yang efektif, efisien dan aman
sehingga kesejahteraan ibu dan anak dapat ditingkatkan
DAFTAR PUSTAKA

Abadi, A., dkk., 2008, Pedoman diagnosa dan terapi bagian/SMF ilmu kebidanan dan
penyakit kandungan. Surabaya: RSU Dr. Soetomo.
Angsar, M.D. 2008. Hipertensi dalam Kehamilan edisi VI. Surabaya : SMF Obstetri-
Ginekologi FK UNAIR

Bawazier, LA. 2008. ‘Hipertensi dalam Kehamilan’ dalam Laksmi et.al Penyakit-Penyakit
pada Kehamilan Peran Seorang Internis. Jakarta: Interna Publishing

Coad, Jane dan Dunstall, M., 2006, Anatomi dan fisiologi untuk bidan, Jakarta: EGC
Cooper, M.A., 2009, Myles buku ajar bidan edisi 14, Jakarta: EGC
Cunningham, F.G., 2013, Obstetri Williams volume 1 edisi 22, Jakarta: EGC
Dina, S. 2003. Luaran Ibu dan Bayi pada Penderita Preeklamsi Berat dan Eklamsi dengan
atau tanpa Sindroma HELLP. Padang : USU digital library
Heliana, Mellyana., 2003, Perawatan ibu postpartum, cetakan I, Jakarta: Puspaswara
Manuaba, IBG dkk., 2007, Pengantar kuliah obstetri, Jakarta: EGC
Mochtar, R., 2003, Sinopsis obstetri, Jakarta: EGC
Nugroho, S., 2010, Catatan kuliah ginekologi dan obstetri (obsgyn), Yogyakarta: Nuha
Medika
Pusdiknakes, 2003, Buku 4, asuhan kebidanan postpartum, Jakarta: Pusdiknakes-WHO-
JHPIEGO
Saifuddin, A. B., 2008, Ilmu kebidanan sarwono prawirohardjo, Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Sibai, B., 2005, Diagnosis, prevention, and management of eclampsia, ACOG
Sujiyatini, dkk., 2010, Catatan kuliah asuhan ibu nifas, Jogjakarta: Cyrillus Publisher
Varney, H., 2007, Buku ajar asuhan kebidanan edisi 4 volume 1, Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai