LP Peb Eklampsia
LP Peb Eklampsia
LP Peb Eklampsia
Oleh :
Bintari Tri Anggraeni
011513243057
Asuhan Kebidanan Pada Ny “L” P3004 Post SC +MOW hari-3 dengan HT kronis si PEB di
IRNA OBGYN-Ruang Merpati RSUD Dr. Soetomo Surabaya, Yang dilakukan oleh :
Nama : Bintari Tri Anggraeni
NIM : 011513243057
Telah diteliti dan disahkan oleh pembimbing klinik dan pembimbing akademik pada
Hari :
Tanggal :
Mengetahui,
d) Endometrium
Perubahan–perubahan endometrium ialah timbulnya trombosis degenerasi dan
nekrosis di tempat inplantasi plasenta.
Hari I : Endometrium setebal 2 – 5 mm dengan permukaan yang kasar akibat
pelepasan desidua dan selaput janin.
Hari II : Permukaan mulai rata akibat lepasnya sel – sel dibagian yang mengalami
degenerasi.
e) Perubahan pada serviks, vulva, vagina dan perineum.
Segera setelah post partum, serviks agak menganga seperti corong, karena corpus
uteri yang mengadakan kontraksi. Sedangkan serviks tidak berkontraksi, sehingga
perbatasan antara corpus dan serviks uteri berbentuk seperti cincin. Warna serviks
merah kehitam – hitaman karena pembuluh darah.
Serviks secara cepat mengalami pemulihan dan menutup; Segera setelah bayi
dilahirkan, tangan pemeriksa masih dapat dimasukan 2 – 3 jari saja dan setelah 1
minggu hanya dapat dimasukan 1 jari ke dalam cavum uteri. Namun, serviks tidak
pernah kembali ke keadaannya semula dan selalu memperlihatkan bukti persalinan,
diantaranya:
1) Os eksternus pulih membentuk celah dan bukan cekungan seperti nulipara
2) Pinggir-pinggirnya tidak rata tetapi retak-retak karena robekan dalam
persalinan. Oleh robekan ke samping ini terbentuk bibir depan dan bibir
belakang dari serviks.
3) Lingkaran retraksi berhubungan dengan bagian atas dari canalis servikalis.
4) Pada serviks terbentuk otot-otot baru.
5) Vagina yang sangat diregang waktu persalinan, lambat laun mencapai ukuran-
ukurannya yang normal, dan pada minggu keriga postpartum rugae vagina
mulai nampak kembali.
Selama proses persalinan vulva dan vagina mengalami penekanan serta
peregangan, setelah beberapa hari persalinan kedua organ ini kembali dalam
keadaan kendor. Rugae timbul kembali pada minggu ketiga. Hymen tampak
sebagai tonjolan kecil dan dalam proses pembentukkan berubah menjadi krankulae
mitiformis yang khas bagi wanita multipara. Ukuran vagina akan selalu lebih besar
dibandingkan keadaan saat sebelum persalinan pertama.
Perubahan perineum pasca melahirkan terjadi pada saat perineum mengalami
robekan. Robekan jalan lahir dapat terjadi secara spontan ataupun dilakukan
episiotomi dengan indikasi tertentu. Biasanya perineum menjadi agak bengkak /
oedem / memar dan mungkin ada luka jahitan bekas robekan atau episiotomi.
Proses penyembuhan luka episiotomi biasanya berlangsung 2-3 minggu setelah
melahirkan.
2. Sistem Pencernaan
Sistem gastrointestinal selama kehamilan dipengaruhi oleh beberapa hal,
diantaranya tingginya kadar progesteron yang dapat mengganggu keseimbangan
cairan tubuh, meningkatkan kolesterol darah, dan melambatkan kontraksi otot-otot
polos. Pasca melahirkan,kadar progesteron juga mulai menurun. Namun demikian,
faal usus memerlukan waktu 3-4 hari untuk kembali normal. Pasca melahirkan
biasanya ibu merasa lapar sehingga diperbolehkan untuk mengkonsumsi makanan.
Pemulihan nafsu makan diperlukan waktu 3-4 hari sebelum faal usus kembali normal.
Meskipun kadar progesteron menurun setelah melahirkan, asupan makanan juga
mengalami penurunan selama 1 – 2 hari. Kecuali ada komplikasi kelahiran, tidak ada
alasan untuk menunda pemberian makan pada wanita pasca partum yang sehat lebih
lama dari waktu yang dibutuhkan untuk melakukan pengkajian awal.
Secara khas, penurunan tonus dan motilitas otot traktus cema menetap selama
waktu yang singkat setelah bayi lahir. Kelebihan analgesia dan anastesia bisa
memperlambat pengembalian tonus dan motilitas ke keadaan normal.
3. Sistem Perkemihan
Pasca melahirkan biasanya ibu merasa sulit buang air kecil sehingga ibu post partum
dianjurkan segera buang air kecil agar tidak mengganggu proses involusi uteri dan ibu
merasa nyaman. Hal yang menyebabkan kesulitan buang air kecil pada ibu
postpartum, antara lain :
a) Adanya oedema trigonium yang menimbulkan obstruksi sehingga terjadi retensi
urine.
b) Diaphoresis yaitu mekanisme tubuh untuk mengurangi cairan yang teretensi dalam
tubuh, terjadi selama 2 hari setelah melahirkan.
c) Depresi dari sfingter uretra oleh karena penekan kepala janin dan spasme oleh
iritasi muskulus sfingter ani selama persalinan, sehingga menyebabkan miksi.
Setelah plasenta dilahirkan, kadar hormon estrogen akan menurun, hilangnya
peningkatan tekanan vena pada tingkat bawah dan hilangnya peningkatan volume
darah akibat kehamilan, hal ini merupakan mekanisme tubuh untuk mengatasi
kelebihan cairan. Keadaan seperti ini disebut dengan diuresis pasca partum dan
diuresis yang sangat banyak terjadi dalam hari-hari pertama puerperium. Diuresis
yang banyak mulai segera setelah persalinan sampai 5 hari postpartum. Empat puluh
persen ibu postpartum tidak mempunyai proteinuri yang patologi dari segera setelah
lahir sampai hari kedua postpartum, kecuali ada gejala infeksi dan preeklamsi.
Bila wanita pasca persalinan tidak dapat berkemih dalam waktu 4 jam pasca
persalinan mungkin ada masalah dan sebaiknya segera dipasang dower kateter selama
24 jam. Bila kemudian keluhan tak dapat berkemih dalam waktu 4 jam, lakukan
kateterisasi dan bila jumlah residu > 200 ml, kateter dibuka dan pasien diharapkan
dapat berkemih seperti biasa.
4. Sistem Endokrin
(1) Oksitosin
Oksitosin dikeluarkan oleh glandula pituitary posterior dan bekerja terhadap otot
uterus dan jaringan payudara. Oksitosin di dalam sirkulasi darah menyebabkan
kontraksi otot uterus dan pada waktu yang sama membantu proses involusi uterus.
(2) Prolaktin
Penurunan estrogen menjadikan prolaktin yang dikeluarkan oleh glandula pituitary
anterior bereaksi terhadap alveoli dari payudara sehingga menstimulasi produksi ASI.
Pada ibu yang menyusui kadar prolaktin tetap tinggi dan merupakan permulaan
stimulasi folikel di dalam ovarium ditekan.
(3) HCG, HPL, Estrogen, dan progesterone
Ketika plasenta lepas dari dinding uterus dan lahir, tingkat hormon HCG, HPL,
estrogen, dan progesteron di dalam darah ibu menurun dengan cepat, normalnya
setelah 7 hari.
Tabel Perubahan Sistem Endokrin pada Masa Nifas
Hormon Perubahan Yang Keadaan Terendah
Terjadi
Hormon Placental Lactogen Menurun 24 jam
Estrogen Menurun Hari ke-7
Progesteron Menurun Hari ke-7
FSH Menurun Hari ke 10-12
LH Menurun Hari ke 10-12
Prolaktin Menurun Hari ke-14
5. Sistem Kardiovaskuler
Sebagai kompensasi jantung dapat terjadi bradikardi 50-70 x/menit, keadaan ini
dianggap normal pada 24-48 jam pertama. Penurunan tekanan darah sistolik 20
mmHg pada saat klien merubah posisi dari berbaring ke duduk lebih disebabkan oleh
reflek ortostatik hipertensi.
Curah jantung meningkat selama persalinan dan berlangsung sampai kala tiga ketika
volume darah uterus dikeluarkan. Penurunan terjadi pada beberapa hari pertama
postpartum dan akan kembali normal pada akhir minggu ketiga postpartum.
Penurunan volume darah sangat berkaitan dengan kehilangan darah yang dialami
selama melahirkan. Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan
diasosiasikan dengan peningkatan hematokrit dan hemoglobin pada hari ke-3 sampai
hari ke-7 postpartum dan akan kembali normal dalam 4-5 minggu postpartum (Dewi
dan Tri, 2011).
6. Sistem Hematologi
Leukositosis mungkin terjadi selama persalinan, sel darah merah berkisar 15.000
selama persalinan. Peningkatan sel darah putih berkisar antara 25.000-30.000. Hal ini
dapat meningkat pada awal nifas yang terjadi bersamaan dengan peningkatan tekanan
darah serta volume plasma dan volume sel darah merah. Jumlah Hb, hematokrit, dan
eritrosit sangat bervariasi pada saat awal masa post partum sebagai akibat dari volume
darah yang berubah- ubah. Semua tingkatan dipengaruhi oleh status gizi wanita
tersebut. Selama proses kelahiran diperkirakan kehilangan darah sekitar 200-500 ml.
Penurunan volume dan peningkatan sel darah pada kehamilan disosialisasikan dengan
peningkatan Hematokrit dan Hb pada hari ke-3 sampai hari ke-7 post partum, yang
akan kembali normal dalam 4-5 minggu post partum.
Perubahan komponen darah, pada masa nifas terjadi perubahan komponen darah,
misalnya jumlah sel darah putih akan bertambah banyak. Jumlah sel darah merah dan
Hb akan berfluktuasi, namun dalam 1 minggu pasca persalinan biasanya semuanya
akan kembali lagi pada keadaan semula. Curah jantung dan jumlah darah yang
dipompakan oleh jantung akan tetap tinggi pada awal masa nifas dan dalam 2 minggu
akan kembali pada keadaan normal (Cunningham, et. al, 2013).
7. Sistem Musculoskeletal
Perubahan sistem musculoskeletal terjadi pada saat umur kehamilan semakin
bertambah. Adaptasi musculoskeletal ini mencakup : peningkatan berat badan,
bergesernya pusat akibat perbesaran rahim, relaksasi dan hipermobilitas.
(1) Dinding abdominal dan peritoneum
Dinding perut akan longgar dan lembek setelah proses persalinan karena peregangan
selama kehamilan, dimana pada masa kehamilan kulit abdomen akan melebar,
melonggar dan mengendur hingga berbulan-bulan. Otot-otot dari dinding abdomen
dapat kembali normal kembali dalam beberapa minggu pasca melahirkan dengan
latihan post natal.
(2) Striae
Striae adalah suatu perubahan warna seperti jaringan parut pada dinding abdomen.
Striae pada dinding abdomen tidak dapat menghilang sempurna melainkan
membentuk garis lurus yang samar. Tingkat diastatismuskulus rektus abdominis pada
ibu postpartum dapat dikaji melalui keadaan umum, aktifitas, paritas dan jarak
kehamilan, sehingga dapat membantu menentukan lama pengambalian tonus otot
menjadi normal.
(3) Perubahan ligamen
Ligamen-ligamen dan diafragma pelvis serta fasia yang meregang sewaktu kehamilan
dan partus, setelah janin lahir, berangsur-angsur menciut kembali seperti sediakala.
Tidak jarang ligamentum rotundum menjadi kendor yang mengakibatkan letak uterus
menjadi retroflexi. Tidak jarang pula wanita mengeluh “kandungannya turun” setelah
melahirkan oleh karena ligamen, fasia, jaringan penunjang alat genetalia menjadi agak
kendor.
(4) Simfisis pubis
Pemisahan simfisis pubis jarang terjadi. Namun demikian, hal ini dapat menyebabkan
morbiditas maternal. Gejala dari pemisahan simfisis pubis antara lain : nyeri tekan
pada pubis disertai peningkatan nyeri saat bergerak di tempat tidur ataupun waktu
berjalan. Pemisahan simfisis dapat dipalpasi. Gejala ini dapat menghilang setelah
beberapa minggu atau bulan pasca melahirkan, bahkan ada yang menetap sehingga
diperlukan kursi roda.
Adapun gejala-gejala system musculoskeletal yang biasa timbul pada masa pasca
partum antara lain nyeri punggung bawah, sakit kepala/nyeri leher, nyeri pelvis
posterior, disfungsi simfisis pubis, diastasis rekti, osteoporosis akibat kehamilan dan
disfungsi dasar panggul.
8. Laktasi/Pengeluaran ASI
Selama kehamilan, hormon estrogen dan progesteron menginduksi perkembangan
alveolus dan duktus latiferus di dalam mammae/payudara dan juga merangsang
produksi kolustrum. Namun, produksi ASI tidak berlangsung sampai sesudah
kelahiran bayi ketika kadar hormon estrogen menurun. Penurunan kadar estrogen ini
memungkinkan naiknya kadar prolaktin dan produksi ASI pun dimulai. Produksi
prolaktin yang berkesinambungan disebabkan oleh menyusunya bayi pada mammae
ibu. Pelepasan ASI berada di bawah kendali neuro-endokrin. Rangsangan sentuhan
pada payudara (yaitu bayi menghisap) akan merangsang produksi oksitosin yang
menyebabkan kontraksi sel-sel myoepitel. Proses ini disebut sebagai refleks let down
atau pelepasan ASI dan membuat ASI tersedia bagi bayi (Pusdiknakes, 2003:15).
Pada 15, 30. Dan 45 menit setelah bayi lahir, peningkatan oksitosin terjadi secara
signifikan jika bayi diletakkan kulit ke kulit. Jika bayi tidak menyusu, kadar oksitosin
kembali pada nilai dasar. Oksitosin adalah hormon yang meningkatkan ikatan ibu
dengan bayi dan perilaku maternal lainnya (Varney, 2007:986).
Hisapan bayi memicu pelepasan ASI dari alveolus mammae melalui duktus ke sinus
laktiferus. Hisapan merangsang produksi oksitosin oleh kelenjar hipofisis posterior.
Oksitosin memasuki darah dan menyebabkan kontraksi sel-sel khusus (sel-sel
myoepitel) yang mengelilingi alveolus mammae dan duktus laktiferus. Kontraksi sel-
sel khusus ini mendorong ASI keluar dari alveolus melalui duktus laktiferus menuju
ke sinus laktiferus dimana ASI akan disimpan. Pada saat bayi menghisap, ASI di
dalam sinus tertekan keluar ke mulut bayi. Gerakan ASI dari sinus ini disebut letdown
atau pelepasan. Pada akhirnya, let down dapat dipicu tanpa rangsangan hisapan. Let
down dapat terjadi bila ibu mendengar bayi menangis atau sekedar memikirkan
tentang bayinya. Let down penting sekali bagi pemberian ASI yang baik. tanpa
pelepasan, bayi dapat menghisap terus menerus tetapi hanya memperoleh sebagian
dari ASI yang tersedia dan tersimpan di dalam payudara. Bila let down gagal terjadi
berulangkali dan payudara berulangkali tidak dikosongkan pada waktu pemberian
ASI, refleks ini akan berhenti berfungsi, dan laktasi akan berhenti.
Cairan pertama yang diperoleh bayi dari ibunya sesudah melahirkan adalah
kolostrum, yang mengandung campuran yang lebih kaya akan protein, mineral, dan
antibodi daripada ASI yang telah mature. ASI mulai ada kira-kira pada hari ketiga
atau keempat setelah kelahiran bayi, dan kolostrum berubah menjadi ASI yang mature
kira-kira 15 hari sesudah bayi lahir. Bila ibu menyusui sesudah bayi lahir dan bayi
diperbolehkan sering menyusu, maka proses adanya ASI akan meningkat
(Pusdiknakes, 2003:15-16).
Berat payudara saat laktasi sekitar 600-800 gram. Kecepatan sintesis dan banyaknya
ASI yang diproduksi dapat bervariasi pada tiap payudara menurut frekuensi menyusui
dan banyaknya ASI yang dikeluarkan. Laktogenesis mulai sekitar 12 minggu sebelum
melahirkan sebagai laktogenesis I dan dimulai pada masa postpartum dengan
penurunan progesteron yang cepat setelah pelahiran plasenta (laktogenesis II). Tahap
II ditandai dengan sekresi ASI yang banyak pada dua sampai tiga hari postpartum.
Galaktopoiesis (tahap III laktogenesis) merupakan produksi ASI matur yang terus
menerus. Penyapihan mengakibatkan involusi payudara, yang dikarakteristikkan
dengan dua proses fisiologis yang berbeda: sel sekretorik mengalami apoptosis
(kematian sel yang terprogram) dan membran dasar kelenjar mammae mengalami
degradasi proteolitik. Selama involusi payudara, banyak epitelium payudara
direabsorpsi (Varney, 2007).
a. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laktasi
Antara lain faktor anatomis atau fisiologis mammae, makanan atau diet ibu,
intake cairan, istirahat ibu, isapan bayi, obat-obatan dan psikologis ibu. Produksi
ASI bertambah sesuai dengan kebutuhan bayi, pada umumnya kebutuhan ASI
bertambah apabila keadaan ibu normal. Mammae keras dan oedema terjadi bila
terdapat penumpukan ASI sehingga menimbulkan gangguan sirkulasi darah dan
getah bening dan menimbulkan nyeri (Sarwono Prawirohardjo, 2007).
b. Manajemen laktasi adalah suatu tata laksanan menyeluruh yang menyangkut
laktasi dan penggunaan ASI, yang menuju suatu keberhasilan menyusui untuk
pemeliharaan kesehatan ibu dan bayinya. Secara singkat manajemen laktasi
dijabarkan berdasarkan faktor-faktor dalam periode kehamilan sebagai berikut:
Periode prenatal
1. Pendidikan-penyuluhan kepada pasien dan keluarga tentang manfaat
menyusui dan pelaksanaaan rawat gabung.
2. Adanya dukungan keluarga.
3. Adanya dukungan dan kemampuan tenaga kesehatan.
4. Pemeriksaan payudara.
5. Persiapan payudara.
6. Persiapan payudara dan puting susu.
7. Gizi yang bermutu
8. Cara hidup sehat.
Periode nifas dini
1. Ibu dan bayi harus siap menyusui
2. Segera menyusu setelah bayi lahir
3. Teknik menyusui yang benar
4. Menyusui harus sering sesuai kebutuhan
5. Tidak memberikan susu formula
6. Tidak memakai puting buatan atau pelindung
7. Pergunaka kedua payudara bergantian
8. Perawatan payudara
9. Memelihara fisik dan psikis
10. Makanan yang bermutu
11. Istirahat cukup
Periode nifas lanjut-sistem penunjang
1. Sangat idela dalam 7 hari setelah pulang dari rumah sakit, si ibu dihubungi
atau dikunjunig untuk melihat perkembangan dan situasi rumahnya,
persoalan biasanya timbul pada minggu pertama.
2. Adanya sarana pelayanan atau konsultasi bila secara mendadak ibu
mendapat persoalan dengan laktasi dan menyusui
3. Adanya keluarga dan teman yang membantu dirumah.
2.1.5 Adaptasi Psikologis Masa Nifas
Periode postpartum menyebabkan stres emosional terhadap ibu baru, bahkan lebih
menyulitkan bila terjadi perubahan fisik yang hebat. Faktor-faktor yang mempengaruhi
suksesnya, yaitu: respon dan dukungan dari keluarga dan teman, hubungan antara
pengalaman melahirkan dan harapan serta aspirasi, pengalaman melahirkan dan
membesarkan anak yang lain, pengaruh budaya (Bahiyatun, 2009).
Satu atau dua hari postpartum, ibu cenderung pasif dan tergantung. Ia hanya
menuruti nasihat, ragu-ragu dalam membuat keputusan, masih berfokus untuk
memenuhi kebutuhannya sendiri, masih menggebu membicarakan pengalaman
persalinan. Periode ini diuraikan oleh Rubin terjadi dalam 3 tahap, yaitu:
1) Taking in
a) Periode ini terjadi 1-2 hari sesudah melahirkan. Ibu pada umumnya pasif
tergantung, perhatiannya tertuju pada kekhawatiran akan tubuhnya.
b) Ibu akan mengulang-ulang pengalamannya waktu bersalin dan melahirkan.
c) Tidur tanpa gangguan sangat penting untuk mencegah gangguan tidur.
d) Peningkatan nutrisi mungkin dibutuhkan karena selera makan ibu biasanya
bertambah. Nafsu makan yang kurang menandakan proses pengembalian
kondisi ibu tidak berlangsung normal.
2) Taking hold
a) Berlangsung 2-4 hari postpartum. Ibu menjadi perhatian pada kemampuannya
menjadi orang tua yang sukses dan meningkatkan tanggung jawab terhadap
bayi.
b) Perhatian terhadap fungsi-fungsi tubuh (misalnya, eliminasi).
c) Ibu berusaha keras untuk menguasai ketrampilan utuk merawat bayi, misalnya
menggendong dan menyusui. Ibu agak sensitif dan merasa tidak mahir dalam
melakukan hal tersebut, sehingga cenderung menerima nasihat dari bidan karena
ia terbuka untuk menerima pengetahuan dan kritikan yang bersifat pribadi.
3) Letting go
a) Terjadi setelah ibu pulang ke rumah dan sangat berpengaruh terhadap waktu dan
perhatian yang diberikan oleh keluarga.
b) Ibu merasa mengambil tanggung jawab terhadap perawatan bayi. Ia harus
beradaptasi dengan kebutuhan bayi yang sangat tergantung, yang menyebabkan
berkurangnya hak ibu dalam kebebasan dan berhubungan sosial.
c) Pada periode ini umumnya terjadi depresi postpartum (Bahiyatun, 2009)
2.1.6 Kebutuhan Masa Nifas
1. Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pada masa nifas meningkat 25% yaitu untuk produksi ASI dan
memenuhi kebutuhan cairan yang meningkat tiga kali dari biasanya. Penambahan
kalori pada ibu nifas sebanyak 500 kkal tiap hari. Makanan yang dikonsumsi ibu
berguna untuk melakukan aktivitas, metabolisme, cadangan dalam tubuh, proses
produksi ASI serta sebagai ASI itu sendiri yang akan dikonsumsi bayi untuk
pertumbuhan dan perkembangannya.
Makanan yang dikonsumsi juga perlu memenuhi syarat, seperti susunannya harus
seimbang, porsinya cukup dan teratur, tidak terlalu asin, pedas atau berlemak,
tidak mengansung alkohol, nikotin serta bahan pengawet dan pewarna. Menu
makanan yang seimbang mengandung unsur-unsur, seperti sumber tenaga,
pembangun, pengatur dan pelindung. Untuk kebutuhan cairannya, ibu menyusui
harus minum sedikitnya 3 liter air setiap hari (Heliana Mellyana, 2008).
2. Istirahat
Istirahat atau tidur sangat diperlukan untuk mengembalikan kelelahan akibat
proses persalinan, disamping itu bermanfaat untuk membantu produksi ASI,
proses involusi, mengurangi darah yang keluar serta mengurangi depresi (Heliana
Mellyana, 2008).
Setelah menghadapi ketegangan dan kelelahan saat melahirkan, usahakan untuk
rileks dan istirahat yang cukup, terutama saat bayi sedang tidur. Pasang dan
dengarkan lagu-lagu klasik pada saat ibu dan bayi beristirahat untuk
menghilangkan rasa tegang dan lelah. Kebutuhan istirahat dan tidur harus lebih
diutamakan daripada tugas-tugas rumah tangga yang kurang penting. Jangan
sungkan untuk meminta bantuan suami dan keluarga jika ibu merasa lelah.
Istirahat juga memberi ibu energi untuk memenuhi kebutuhan makan dan
perawatan bayi sering dapat tidak terduga (Heliana Mellyana, 2008).
Kurang istirahat akan mempengaruhi ibu dalam beberapa hal, antara lain:
mengurangi jumlah ASI yang diproduksi, memperlambat proses involusi uterus,
memperbanyak perdarahan, bahkan menyebabkan depresi postpartum dan
ketidakmampuan untuk merawat bayi dan dirinya sendiri (Heliana Mellyana,
2008).
3. Aktifitas
Mobilisasi sangat bervariasi tergantung pada komplikasi persalinan, nifas atau
sembuhnya luka. Jika tidak ada kelainan, lakukan mobilisasi sedini mungkin,
yaitu dua jam setelah persalinan normal. ini berguna untuk memperlancar
sirkulasi darah dan mengeluarkan cairan vagina (lochea). Selain itu juga sangat
berguna bagi semua system tubuh terutama fungsi usus, kandung kemih, dan
paru-paru disamping membantu mencegah thrombosis pada pembuluh darah
tungkai dan mengubah perasaan sakit menjadi sehat (Heliana Mellyana, 2008).
4. Eliminasi
Pengeluaran air seni akan meningkat 24-48 jam pertama sampai sekitar hari ke-5
setelah melahirkan. Hal ini terjadi karena volume darah meningkat pada saat
hamil tidak diperlukan lagi setelah persalinan. Oleh karena itu, ibu perlu belajar
berkemih secara spontan dan tidak menahan buang air kecil ketika ada rasa sakit
pada jahitan. Menahan buang air kecil akan menyebabkan terjadinya bendungan
air seni dan gangguan kontraksi rahim sehingga pengeluaran cairan vagina tidak
lancar (Heliana Mellyana, 2008).
Sedangkan buang air besar akan sulit karena ketakutan akan rasa sakit, takut
jahitan terbuka atau karena adanya haemorroid (wasir). obstipasi pada 3 hari post
partum adalah fisiologis. Bila melebihi dapat dibantu dengan mobilisasi dini,
mengkonsumsi makanan tinggi serat dan cukup minum (Heliana Mellyana,
2008).
5. Kebersihan diri
Pada masa nifas dianjurkan untuk menjaga kebersihan diri secara keseluruhan
untuk menghindari infeksi, baik pada luka jahitan maupun kulit seluruh tubuh.
Pakaian sebaiknya pakaian terbuat dari bahan yang mudah menyerap keringat
karena produksi keringat menjadi banyak. Produksi keringat yang tinggi berguna
untuk menghilangkan ekstra volume saat hamil. Sebaiknya, pakaian agak longgar
di daerah dada sehingga payudara tidak tertekan dan kering. Demikian juga
dengan pakaian dalam, agar tidak terjadi iritasi (lecet) pada daerah sekitarnya
akibat lochea.
1) Kebersihan rambut : Setelah bayi lahir, ibu mungkin akan mengalami
kerontokan rambut akibat gangguan perubahan hormon sehingga keadaannya
menjadi lebih tipis dibandingkan keadaan normal. Jumlah dan lamanya
kerontokan berbeda-beda antara satu wanita dengan wanita yang lain.
Meskipun demikian, kebanyakan akan pulih setelah beberapa bulan. Cuci
rambut dengan conditioner yang cukup, lalu menggunakan sisir yang lembut.
Hindari penggunaan pengering rambut.
2) Kebersihan kulit : Setelah persalinan, ekstra cairan tubuh yang dibutuhkan saat
hamil akan dikeluarkan kembali melalui air seni dan keringat untuk
menghilangkan pembengkakan pada wajah, kaki, betis, dan tangan ibu. oleh
karena itu, dalam minggu-minggu pertama setelah melahirkan, ibu akan
merasakan jumlah keringat yang lebih banyak dari biasanya. Usahakan mandi
lebih sering dan jaga agar kulit tetap kering (Heliana Mellyana, 2008).
3) Kebersihan vulva dan sekitarnya
a) Mengajarkan ibu membersihkan daerah kelamin dengan cara membersihkan
daerah di sekitar vulva terlebih dahulu, dari depan ke belakang, baru
kemudian membersihkan daerah sekitar anus. Bersihkan vulva setiap kali
buang air kecil atau besar.
b) Sarankan ibu untuk mengganti pembalut atau kain pembalut apabila
pembalut sudah penuh sehingga perlu diganti. Kain dapat digunakan ulang
jika telah dicuci dengan baik dan dikeringkan di bawah matahari atau
disetrika.
c) Sarankan ibu untuk mencuci tangan dengan sabun dan air sebelum dan
sesudah membersihkan daerah kelaminnya.
d) Jika ibu mempunyai luka episiotomi atau laserasi, sarankan kepada ibu
untuk menjaga kebersihan luka.
6. Exercise/Latihan
Latihan setelah melahirkan dilakukan untuk memperlancar sirkulasi darah dan
mengembalikan otot-otot yang kendur, terutama rahim dan perut yang memuai
saat hamil. Latihan untuk ibu primi dapat dilakukan setelah 2 x 24 jam post
partum, untuk ibu multi dapat dilakukan setelah 1 x 24 jam post partum. Latihan
tertentu beberapa menit setiap hari sangat membantu, seperti:
1) Dengan tidur terlentang dengan lengan di samping, menarik otot perut selagi
menarik nafas ke dalam dan angkat dagu ke dada: tahan satu hitungan sampai
5. Rileks dan ulangi sebanyak 10 kali.
2) Untuk memperkuat tonus otot jalan lahir dan dasar panggul (latihan Kegel).
3) Berdiri dengan tungkai dirapatkan. Kencangkan otot-otot, pantat dan pinggul
dan tahan sampai 5 hitungan. Kendurkan dan ulangi latihan sebanyak 5 kali.
4) Mulai dengan mengerjakan 5 kali latihan untuk setiap gerakan (Heliana
Mellyana, 2008).
7. Dukungan
Ibu pada masa nifas membutuhkan dukungan emosional dan psikologis dari
pasangan dan keluarga mereka, yang bisa memberikan dukungan dengan jalan
membantu dalam menyelesaikan tugas-tugas di rumah agar ibu mempunyai lebih
banyak waktu untuk mengasuh bayinya. Cegah timbulnya pertentangan dalam
hubungan keluarga yang menimbulkan perasaan kurang menyenangkan dan
kurang bahagia. Ibu dalam masa nifas bisa merasa takut, oleh karena itu ia akan
memerlukan dukungan dan dorongan dengan perasaan ketidakmampuan serta
rasa kehilangan hubungan yang erat dengan suaminya (Heliana Mellyana, 2008).
8. Perawatan Payudara
1) Menjaga payudara tetap bersih dan kering, terutama puting susu.
2) Menggunkan BH yang menyokong payudara.
3) Apabila puting susu lecet oleskan kollostrum atau ASI yang keluar pada
sekitar puting susu setiap kali selesai menyusui. Meyusui tetap dilakukan muai
dari puting susu yang tidak lecet.
4) Apabila lecet sangat berat dapat diistirahatkan selama 24 jam. ASI dikeluarkan
dan diminumkan dengan menggunakan sendok.
5) Apabila payudara bengkak akibat pembendungan ASI, lakukan:
6) Pengompresan payudara dengan menggunakan kain basah dan hangat selama 5
menit.urut payudara dari arah pangkal menuju puting atau gunkana sisir untuk
mengurut payudara dengan arah menuju puting.
7) Keluarkan ASI sebagian dari bagian depan payudara sehingga puting susu
menjadi lunak.
8) Susukan bayi setiap 2-3 jam atau sesuai kebutuhan bayi. Apabila tidak dapat
mengisap seluruh ASI sisanya keluarkan dengan tangan.
9) Bersihkan payudara setelah menyusui (Heliana Mellyana, 2008).
9. Hubungan Seksual
Sarankan secara fisik untuk memulai hubungan seksual begitu darah merah
berhenti dan ibu dapat memasukkan satu atau dua jarinya kedalam vagina tanpa
rasa nyeri, luka jahitan perineum sembuh dan tidak ada rasa tidak nyaman, aman
untuk memulai melakukan hubungan seksual kapan saja klien siap (Heliana
Mellyana, 2008).
10. Keluarga Berencana (KB)
Setiap pasangan harus menentukan sendiri kapan dan bagaimana mereka ingin
merencanakan tentang keluarganya. Idealnya pasangan menunggu sekurang-
kurangnya 2 tahun untuk kehamilan berikutnya. Meskipun beberapa metode KB
mengandung risiko, akan tetapi menggunakan kontrasepsi lebih aman. Sarankan
kapan metode KB itu dapat dimulai, digunakan untuk wanita pasca persalinan dan
menyusui (Heliana Mellyana, 2008).
2.1.8 Tanda Bahaya Masa Nifas
Tanda bahaya pada masa nifas, yaitu :
a. Perdarahan lewat jalan lahir
b. Keluar cairan berbau dari jalan lahir
c. Demam lebih dari 2 hari suhunya lebih dari 37,5⁰C
d. Bengkak pada muka, tangan, kaki, disertai sakit kepala dan kejang
e. Nyeri atau panas di daerah tungkai
f. Payudara bengkak, berwarna kemerahan dan sakit serta putting susu lecet.
g. Ibu mengalami depresi antara lain : menangis tanpa sebab dan tidak peduli
terhadap bayinya.
(PUSDIKNAKES, WHO, 2009)
2.2 Konsep Dasar Seksio Sesarea
2.2.1. Definisi
Kelahiran janin melalui abdominal (laparotomi) yang memerlukan insisi ke dalam uterus
(Norwitz, 2008).
2.2.2 Istilah-istilah Seksio Sesarea
1. Seksio sesarea primer (elektif)
Seksio sesarea ini direncanakan lebih dahulu karena sudah diketahui bahwa kehamilan
harus diselesaikan dengan pembedahan itu (Wiknjosastro, 2010).
2. Seksio sesarea sekunder
Bersikap mencoba menunggu kelahiran biasa (partus percobaan), bila tidak ada kemajuan
baru dilakukan seksio sesarea.
3. Seksio sesarea ulang (repeat caesarean section)
Dilakukan seksio sesarea ulang setelah kehamilan sebelumnya dilakukan seksio sesarea.
4. Seksio sesarea histerektomi
Suatu operasi dimana setelah janin dilahirkan dengan seksio sesarea, langsung dilakukan
histerektomi oleh karena suatu indikasi.
5. Operasi Porro
Suatu operasi tanpa mengeluarkan janin dari kavum uteri (janin sudah mati), dan
langsung dilakukan histerektomi misalnya pada keadaan infeksi rahim yang berat.
2.2.3. Indikasi
Sebagian besar indikasi bedah sesar bersifat relatif dan bergantung pada penilaian
penolong, Indikasi paling umum untuk bedah sesar primer (pertama) adalah kegagalan
proses persalinan. Disproporsi sefalopelvik absolute adalah kondisi klinis ketika janin
terlalu besar dibandingkan rongga tulang panggul sehingga tidak dapat dilakukan
persalinan per vaginam bahkan dalam kondisi paling optimum sekalipun.CPD relative
adalah ketika janin terlalu besar bagi tulang panggul karena adanya kondisi
malpresentasi (Norwitz, 2008).
Absolut Relatif
Ibu Induksi persalinan gagal Bedah sesar elektif
Distosia persalinan berulang
Disproporsi Sefalopelvik PEB, Penyakit Jantung,
Diabetes, Kanker Serviks
Uteroplasenta Sesar Klasik (bedah uterus Riwayat bedah uterus
sebelumnya) sebelumnya (miomektomi
Riwayat rupture uterus dengan ketebalan penuh)
Obstruksi jalan lahir Presentasi funik (tali
Plasenta previa, abruption pusat) pada saat
plasenta berukuran besar persalinan
Janin Gawat janin/hasil Malpresentasi janin
pemeriksaan janin yang tidak (sungsang, presentasi alis,
meyakinkan presentasi gabungan)
Prolaps tali pusat Makrosomia
Malpresentasi janin (post Kelainan janin
melintang) (hidrosefalus)
(Norwitz, 2008).
2.2.4 Jenis Operasi Seksio Sesarea
Menurut Wiknjosastro (2010), dikenal beberapa jenis seksio sesarea yakni:
1. Seksio sesarea transperitonealis profunda
Dilakukan dengan membuat insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan pembedahan ini:
a. Perdarahan luka insisi tidak seberapa banyak
b. Bahaya peritonitis tidak besar
c. Parut pada uterus umumnya kuat, sehingga bahaya rupture uteri di kemudian hari tidak
besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak seberapa banyak mengalami
kontraksi seperti korpus uteri, sehingga luka dapat sembuh lebih sempurna.
2. Seksio sesarea klasik (Korporal)
Dilakukan dengan membuat insisi di korpus uteri. Pembedahan ini, yang agak mudah
untuk dilakukan, hanya diselenggarakan bila ada halangan untuk melakukan seksio
sesarea transperitonealis profunda, misal karena melekat eratnya uterus pada dinding
perut, atau apabila ada maksud untuk melakukan histerektomi setelah janin
dilahirkan.Kekurangan pembedahan ini:
a. Bahaya peritonitis lebih besar
b. Bahaya rupture uteri pada kehamilan yang akan datang kira-kira 4 kali lebih besar
3. Seksio sesarea ekstraperitoneal
Pembedahan ini sekarang tidak tidak banyak lagi dilakukan karena teknik yang sulit dan
seringkali terjadinya sobekan peritoneum tidak dapat dihindarkan.
2.2.5. Komplikasi
1) Perdarahan (kemungkinan membutuhkan transfusi darah)
2) Infeksi (faktor resiko untuk infeksi pascaoperasi termasuk diabetes, obesitas, bedah sesar
darurat, demam intrapartum, pemantauan janin internal, anemia, riwayat pembedahan
abdomen sebelumnya, hematoma, induksi persalinan, status sosioekonomi rendah,
ketuban pecah memanjang)
3) Cedera pada janin
4) Cedera pada organ di dekat uterus (usus, kandung kemih, ureter, pembuluh darah)
Mungkin perlu pembedahan lebih lanjut (histerektomi, masa nifas, jahitan di usus)
(Norwitz, 2008).
2.2.6 Prinsip Perawatan Pascaoperatif
1. Fungsi Gastrointestinal
Fungsi gastrointestinal pada pasien obstetri yang tindakannya tidak terlalu berat akan
kembali normal dalam waktu 12 jam (Saifuddin, 2008).
a. Jika tindakan bedah tidak berat, berikan pasien diet cair.
b. Jika ada tanda infeksi atau jika seksio sesarea karena partus macet atau ruptur uteri,
tunggu sampai bising usus timbul.
c. Jika pasien bisa flatus mulai berikan makanan padat.
2. Fase Penyembuhan Luka Operasi
Penyembuhan luka (pembedahan) adalah suatu kualitas dari kehidupan jaringanyang
berhubungan dengan regenerasi sel/jaringan.
a. Fase Inflamatori
1) Fase ini terjadi segera setelah luka sampai 3-4 hari
2) Dua proses utama terjadi pada fase ini yaitu, hemostasis dan fagositosis
b. Fase Proliferatif
1) Berlangsung hari ke-3 atau 4 sampai hari ke-21 setelah pembedahan
2) Fibroblast (menghubungkan sel-sel jaringan) ke daerah luka mulai 24 jam pertama
3) Dengan mensintesis kolagen dan substansi dasar menjadi proteoglikan kira-kira 5 hari
setelah luka
c. Fase Maturasi
1) Fase maturasi dimulai hari ke-21 dan berakhir 1-2 tahun setelah pembedahan
2) Fibroblast terus mensintesis kolagen
3) Kolagen menjalin dirinya menyatukan sistem struktur yang lebih kuat
4) Bekas luka menjadi kecil
5) Kehilangan elastisitas dan meninggalkan garis putih
3. Perawatan Luka
Penutup/pembalut luka berfungsi sebagai penghalang terhadap infeksi selama proses
penyembuhan.
a. Jika pada pembalut luka terjadi perdarahan atau keluar cairan tidak terlalu banyak, jangan
mengganti pembalut, perkuat pembalutnya dan pantau keluarnya cairan dan darah. Jika
perdarahan tetap bertambah atau sudah membasahi setengah atau lebih dari pembalutnya,
buka pembalut, inspeksi luka, atasi penyebabnya dan ganti dengan pembalut baru.
b. Jika pembalut kendor, jangan ganti pembalutnya tetapi berikan plester untuk
mengencangkan.
c. Ganti pembalut dengan cara yang steril
d. Luka harus dijaga agar tetap kering dan bersih.
4. Analgesia
a. Pemberian analgesia sesudah bedah sangat penting
b. Pemberian sedasi yang berlebih akan menghambat mobilitas yang diperlukan waktu pasca
bedah
5. Tanda-tanda Vital
Tanda-tanda vital harus diperiksa 4 jam sekali, perhatikan tekanan darah, nadi jumlah urin
serta jumlah darah yang hilang dan keadaan fundus harus diperiksa.
6. Demam
Dalam 24 jam pertama, suhu tubuh mungkin meningkat sedikit (380C) sebagai respon
terhadap stress persalinan, terutama dehidrasi.Namun suhu yang melebihi 380C pasca
pembedahan harus dicari penyebabnya.Hal ini mungkin menandakan adanya infeksi.
7. Fungsi Kandung Kemih
Pemakaian kateter dibutuhkan pada prosedur bedah. Semakin cepat melepas kateter akan
lebih baik mencegah kemungkinan infeksi dan membuat pasien lebih cepat mobilisasi.
a. Jika urin jernih, kateter dilepas 8 jam setelah bedah atau sesudah semalam.
b. Jika urin tidak jernih, biarkan kateter dipasang sampai urin jernih
c. Kateter dipasang 48 jam pada kasus:
1) Bedah karena ruptur uteri
2) Partus lama/partus macet
3) Edema perineum yang luas
4) Sepsis puerperalis
8. Ambulasi/mobilisasi
Mobilisasi memberikan manfaat seperti perbaikan sirkulasi darah, membuat napas dalam
dan menstimulasi kembali fungsi gastrointestinal normal (Saifuddin, 2008). Mobilisasi
dapat dilakukan sesegera mungkin sesuai kemampuan ibu.
2.3 Pre Eklampsia Berat (PEB)
2.3.1 Pengertian PEB
Pre eklampsia adalah hipertensi yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai
dengan proteinuria (Angsar, 2008). Pre eklampsia adalah sindrom khas kehamilan berupa
penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan pengaktifan endotel (Leveno, 2009). Pre
eklampsia merupakan salah satu klasifikasi dari hipertensi selama kehamilan.
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik > 160 mmHg
dan tekanan darah diastolik >110 mmHg disertai proteinuria lebih 5 g/ 24 jam
(Prawirohardjo, 2009).
Preeklampsia berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dengan
timbulnya hipertensi >160/110 disertai protein urine dan atau edema, pada kehamilan 20
minggu atau lebih (Agus Abadi, dkk 2008).
2.3.2 Faktor Predisposisi
Etiologi penyakit ini sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti. Banyak
teori yang dikemukakan oleh para ahli yang mencoba menerangkan penyebabnya. Oleh
karena itu, disebut “penyakit teori”. Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya
preeklampsia (hipertensi dalam kehamilan) yang dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1. Usia
Usia yang berisiko terkena preeklampsia adalah yang berusia ≥ 35 tahun. Pada usia
35 tahun atau lebih, dimana pada usia ini dinding arterinya telah menebal dan kaku karena
proses arterosklerosis akibat endapan kalsium di dinding pembuluh darah arteri besar
kehilangan kelenturannya dan menjadi kaku sehingga tidak dapat mengembang pada saat
jantung memompa darah melalui arteri tersebut. Karena itu, darah pada setiap denyut
jantung dipaksa untuk melalui pembuluh darah yang sempit dan menyebabkan naiknya
tekanan darah yang merupakan salah satu gejala dari preeklampsia
2. Paritas
Wanita nulipara memiliki risiko lebih besar (7 sampai 10 persen) jika dibandingkan
dengan wanita multipara (Leveno, 2009). Preeklampsia seringkali terjadi pada kehamilan
pertama, terutama pada ibu yang berusia belasan tahun. Catatan statistik menunjukkan dari
seluruh insidensi dunia, dari 5%-8% pre-eklampsia dari semua kehamilan, terdapat 12%
lebih dikarenakan oleh primigravida. Selain itu, preeklampsia juga sering terjadi pada
wanita yang hamil dengan pasangan baru. Menurut Robillard et al, (1994) dalam Fraser
(2009), tingginya insiden penyakit hipertensi pada primigravida, menurunnya prevalensi
setelah pajanan jangka panjang terhadap sperma paternal, menjadi data yang mendukung
respon imun (Fraser, 2009).
3. Riwayat Preeklampsia sebelumnya
Ibu dengan riwayat preeklampsia terdahulu, 1/3 dari klien mengalami hipertensi
(meskipun belum pasti preeklampsia) pada kehamilan berikutnya (Varney, 2007).
4. Riwayat keluarga pernah preeklampsia/eklampsia
Genotip ibu lebih menentukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Telah terbukti
bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26% anak perempuannya akan mengalami
preeklampsia pula, sedangkan hanya 8% anak menantu mengalami preeklampsia (Angsar,
2008).
5. Stress, Cemas dan Depresi
Meskipun dibeberapa teori tidak pernah disinggung kaitannya dengan kejadian
preeklampsia, namun pada teori stres yang terjadi dalam waktu panjang dapat
mengakibatkan gangguan seperti tekanan darah. Ketika stres, sinyal otak memicu
pelepasan berbagai bahan kimia alami pada otak, termasuk adrenalin dan kortisol.
Tingginya bahan kimia tersebut dapat mengganggu ingatan dan menimbulkan risiko
depresi yang sangat besar. Kortisol yang meningkat mengakibatkan pengeluaran
angiotensin II dimana fungsi angiotensin II adalah meningkatkan efek saraf simpatis
diantaranya : vasokonstriksi (penyempitan pembuluh darah), yang dapat menyebabkan
tekanan darah meningkat dan hipertensi. Kortisol yang meningkat juga dapat
menyebabkan retensi natrium dan pembuangan kalium yang dapat menyebabkan edema,
hipokalemia dan alkalosis metabolik. Depresi menghambat pelepasan norepinefrin,
merangsang pelepasan serotonin, dopamin dan asetil kolin. Fungsi Dopamin sebagai
neururotransmiter kerja cepat disekresikan oleh neuron-neuron yang berasal dari
substansia nigra, neuron-neuron ini terutama berakhir pada regio striata ganglia basalis.
Pengaruh dopamin biasanya sebagai inhibisi. Dopamin bersifat inhibisi pada beberapa area
tapi juga eksitasi pada beberapa area. Sistem norepinefrin yang bersifat eksitasi menyebar
ke setiap area otak, sementara serotonin dan dopamin terutama ke regio ganglia basalis
dan sistem serotonin ke struktur garis tengah (midline). Serotonin disekresikan oleh
nukleus yang berasal dari rafe medial batang otak dan berproyeksi disebagian besar daerah
otak, khususnya yang menuju radiks dorsalis medula spinalis dan menuju hipotalamus.
Serotonin bekerja sebagai bahan penghambat rasa sakit dalam medula spinalis, dan
kerjanya di daerah sistem syaraf yang lebih tinggi diduga untuk membantu pengaturan
kehendak seseorang, bahkan mungkin juga menyebabkan tidur. Serotonin berasal dari
dekarboksilasi triptofan, merupakan vasokontriksi kuat dan perangsang kontraksi otak
polos sehingga sering menyebabkan hipertensi
6. Mola Hidatidosa
Insiden faktor risikonya adalah 70 % dimana terutama pada usia gestasi 24 minggu
(Varney, 2007).
7. Kehamilan Ganda dan Hidramnion
Kehamilan ganda adalah kehamilan yang mengandung lebih dari 1 janin.
Hidramnion adalah keadaan dimana banyaknya air ketuban melebihi 2000 cc
(prawirohardjo,2008). Pada kehamilan kembar dan hidramnion dengan distensi uterus
yang berlebihan terjadi ketegangan otot rahim yang berlebihan dapat menyebabkan
iskemia uteri. Iskemia utero plasenter akan menghasilkan radikal hidroksikal sehingga
akan menyebabkan kerusakan sel endotel. Dan ini akan mengganggu metabolisme
prostaglandin. Ini menyebabkan peningkatan tromboksan dan penurunan prostasiklin.
Kondisi inilah yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan akan mengakibatkan
hipertensi. Kerusakan endotel pada ginjal akan menyebabkan proteinuria, sehingga dapat
menyebabkan preeklampsia. Insidennya adalah sekitar 30 % (Varney, 2007).
8. Obesitas
Risiko terjadi preeklampsia lebih besar pada wanita dengan IMT (Indeks Massa
Tubuh) yang tinggi dibandingkan yang rendah dan mengidentifikasi wanita yang
peningkatan IMT 5-7 kg/m2 memiliki dua kali risiko lebih besar mengalami preeklampsia.
IMT awal berguna sebagai prediktor hipertensi pada kehamilan, karena angka IMT
biasanya lebih tinggi pada ibu yang menderita hipertensi (Masse at al, 1993 dalam Fraser,
2009)
Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh
yang berlebihan. Penimbunan lemak tubuh dapat menyebabkan penimbunan lemak di
sepanjang pembuluh darah dan menyebabkan aliran darah kurang lancar. Penyempitan dan
sumbatan lemak ini memacu jantung untuk memompa darah lebih kuat lagi, untuk
memasok kebutuhan darah ke jaringan. Akibatnya tekanan darah meningkat, maka terjadi
hipertensi. Dan hal tersebut merupakan salah satu gejala preeklampsia (Fraser, 2009).
9. Penyakit yang sudah ada sebelum hamil
(1) Hipertensi Kronik
Pada wanita hamil dengan hipertensi kronis yang memiliki resistensi terhadap
angiotensin II. Angiotensin II mempengaruhi langsung sel endotel dengan membuatnya
berkontraksi. Semua faktor ini dapat menimbulkan kebocoran sel antar endotel, sehingga
melalui kebocoran tersebut, unsur-unsur pembentuk darah seperti trombosit dan
fibrinogen tertimbun pada lapisan sub endotel. Perubahan vaskuler yang disertai dengan
hipoksia pada jaringan setempat dan sekitarnya, diperkirakan menimbulkan perdarahan,
nekrosis dan kelainan organ akhir lainnya yang sering dijumpai pada preeklampsia berat.
Penyakit hipertensi kronik berperan dalam morbiditas dan mortalitas maternal dan
neonatal. Dari seluruh ibu yang mengalami hipertensi selama hamil, setengah sampai
sepertiganya didiagnosa mengalami preeklampsia
(2) Diabetes Mellitus
Salah satu pengaruh diabetes terhadap kehamilan, salah satunya adalah dapat
menyebabkan preeklampsia – eklampsia. Selama trimester kedua dan ketiga,
peningkatan kadar laktogen plasental, estrogen, progesteron, kortisol, prolaktin, dan
insulin meningkatkan resistansi insulin melalui kerjanya sebagai suatu antagonis yaitu
peningkatan produksi glukosa untuk memastikan suplai glukosa yang berlebihan untuk
janin. Dan ini akan memperlambat kerja ginjal sehingga terjadi kerusakan sistem ginjal
dan akan terjadi proteinuria dan peningkatan tekanan darah. Insiden faktor risiko ini
mendekati 50% (Varney, 2007).
(3) Penyakit Ginjal
Penyakit ginjal dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya stenosis arteri renalis,
glomerulonefritis, pielonefritis, tumor ginjal, penyakit ginjal polikista, trauma pada
ginjal. Ginjal bisa meningkatkan tekanan darah dengan menghasilkan enzim yang
disebut renin, yang memicu pembentukan hormon angiotensin. Yang selanjutnya akan
memicu pelepasan hormon aldosteron dan akibatnya pasokan friksi pembuluh darah.
Sedangkan pada stenosis arteri renalis terjadi penyempitan arteri yang menuju salah satu
pembuluh darah ginjal yang menyebabkan hipertensi. Kerusakan pada glomerulus akan
menyebabkan proteinuria (Manuaba, 2012). Faktor risiko penyakit ginjal untuk
preeklampsia – eklampsia adalah 25 %
2.3.3 Etiologi dan Patofisiologi
Penyebab hipertensi dalam kehamilan termasuk preeklampsia hingga kini belum
diketahui dengan jelas. Banyak teori telah dikemukakan tentang terjadinya hipertensi dalam
kehamilan, tetapi tidak ada satupun teori tersebut yang dianggap mutlak benar (Angsar,
2008). Berikut teori yang dikemukakan
1. Teori kelainan vaskularisasi plasenta
Pada kehamilan normal, rahim dan plasenta mendapat aliran darah dari cabang-
cabang arteri uterina dan ovarika. Kedua pembuluh darah tersebut menembus
miometrium berupa arteri arcuarta dan arteri arcuarta memberi cabang ateria radialis.
Arteri radialis menembus endometrium menjadi arteri basalis, dan arteri basalis memberi
cabang arteri spiralis. Diameter rata-rata arteri spiralis pada hamil normal : 500 mikron,
sedang pada preeklampsia rata-rata 200 mikron. Pada hamil normal vasodilatasi lumen
arteri spiralis dapat meningkatkan 10 kali aliran darah ke utero plasenta
Pada hamil normal dengan sebab yang belum jelas, terjadi invasi trofoblast (sel-sel
dari janin) ke dalam lapisan otot arteri spiralis, yang menimbulkan degenerasi lapisan
otot tersebut, sehingga terjadi dilatasi arteri spiralis. Invasi trofoblast juga memasuki
jaringan sekitar arteri spiralis, sehingga jaringan matriks menjadi gembur dan
memudahkan lumen arteri spiralis mengalami distensi dan dilatasi. Distensi dan
vasodilatasi lumen arteri spiralis ini, memberi dampak penurunan desakan darah,
penurunan resistensi vaskuler, dan peningkatan aliran darah pada daerah utero plasenta.
Akibatnya aliran darah ke janin cukup banyak dan perfusi jaringan juga meningkat
sehingga dapat menjamin pertumbuhan janin dengan baik. Proses ini dinamakan
“remodelling arteri spiralis”
Pada hipertensi dalam kehamilan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblast pada lapisan
otot arteri spiralis dan jaringan matriks di sekitarnya. Lapisan otot ini arteri spiralis
menjadi tetap kaku dan keras, sehingga lumen arteri spiralis tidak memungkinkan
mengalami distensi dan vasodilatasi. Akibatnya arteri spiralis relatif mengalami
vasokonstriksi dan terjadi kegagalan ‘remodelling arteri spiralis’, sehingga aliran darah
uteroplasenta menurun, dan terjadilah hipoksia dan iskemia plasenta. Dampak iskemia
plasenta akan menimbulkan perubahan-perubahan yang dapat menjelaskan patogenesis
HDK selanjutnya.
2. Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel
a. Iskemia plasenta dan pembentukan oksidan/ radikal bebas
Sebagaimana dijelaskan pada teori invasi trofoblast, pada hipertensi dalam
kehamilan terjadi kegagalan ‘remodelling arteri spiralis’, dengan akibat plasenta
mengalami iskemia. Plasenta yang mengalami iskemia dan hipoksia akan
menghasilkan oksidant (disebut juga radikal bebas). Oksidant atau radikal bebas
adalah senyawa penerima elektron atau atom / molekul yang mempunyai elektron
yang tidak berpasangan. Salah satu oksidant penting yang dihasilkan plasenta iskemia
adalah radikal hidroksil yang sangat toksis, khusunya terhadap membran sel endotel
pembuluh darah. Sebenarnya produksi oksidant pada manusia adalah suatu proses
normal, karena oksidant memang dibutuhkan untuk perlindungan tubuh.
Adanya radikal hidroksil dalam darah mungkin dahulu dianggap sebagai bahan
toxin yang beredar dalam darah, maka dulu hipertensi dalam kehamilan disebut
‘toxaemia’ gravidarum. Radikal hidroksil akan merusak membran sel, yang
mengandung banyak asam lemak tidak jenuh menjadi peroxida lemak. Peroxida
lemak selain akan merusak membran sel juga akan merusak nukleus, dan protein sel
endotel. Produksi oksidant (radikal bebas) dalam tubuh yang bersifat toxis, selalu
diimbangi dengan produksi antioksidant ( Roberts dan Redman, 1993 (Fraser, 2009),
b. Peroksida lemak sebagai oksidan pada hipertensi dalam kehamilan
Pada hipertensi dalam kehamilan telah terbukti, bahwa kadar oksidant khususnya
peroksida lemak meningkat, sedang antioksidant, misalnya vitamin E pada hipertensi
dalam kehamilan menurun sehingga terjadi dominasi kadar oksidant peroksida lemak
yang relative tinggi. Peroxida lemak sebagai oksidant/radikal bebas yang sangat toksis
ini, akan beredar di seluruh tubuh dalam aliran darah, dan akan merusak membran sel
endothel. Membran sel endothel lebih mudah mengalami kerusakan oleh peroxida
lemak, karena letaknya langsung berhubungan dengan aliran darah dan mengandung
banyak asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh sangat rentan terhadap
oksidant radikal dihidroksil, yang akan merubah menjadi peroksida lemak
(Angsar,2008)
c. Disfungsi sel endotel
Akibat sel endothel terpapar terhadap peroxida lemak, maka terjadi kerusakan sel
endothel yang kerusakannya dimulai dari membrane sel endothel. Kerusakan
membrane sel endothel mengakibatkan terganggunya fungsi endotel, bahkan rusaknya
seluruh struktur sel endothel. Keadaan ini disebut ‘disfungsi endothel’ (endothelial
disfunction). Pada waktu terjadi kerusakan sel endothel yang mengakibatkan disfungsi
sel endothel, maka akan terjadi :
1) Gangguan metabolisme prostaglandin, karena salah satu fungsi sel endothel, adalah
memproduksi prostaglandin, yaitu menurunkan produksi prostacycline (PGE2) :
suatu vasodilator kuat.
2) Agregasi sel-sel trombosit pada daerah endotel yang mengalami kerusakan.
Agregasi sel-sel trombosit ini adalah untuk menutup tempat-tempat di lapisan
endothel yang mengalami kerusakan. Agregasi trombosit memproduksi
thromboxane (TXA2) suatu vasokonstriktor kuat. Dalam keadaan normal
perbandingan kadar prostacycline / thromboxane lebih tinggi kadar prostacycline
(vasodilator). Pada preeklampsia kadar thromboxane lebih tinggi dari kadar
prostacycline sehingga terjadi vasokonstriksi, dengan terjadi kenaikan desakan
darah.
3) Perubahan khas pada sel endothel kapiler glomerulus ginjal (Glomerular
endotheliosis).
4) Meningkatnya permeabilitas kapiler.
5) Meningkatnya produksi bahan-bahan vassopressor yaitu endothelin. Kadar NO
(vasodilator) sedangkan endothelin (vasikonstriktor) meningkat.
6) Faktor peningkatan faktor koagulasi darah.
3. Teori intoleransi imunologik antara ibu dan janin
Janin sebenarnya merupakan benda asing bagi ibunya karena janin adalah hasil dari
pertemuan 2 gamet yg berlainan. Dari segi imunologi, benda asing harus ditolak dan
dikeluarkan dari dalam tubuh karena sistem Imunitas Seluler akan bangkit terhadap
janin. Namun ternyata janin dapat diterima sistem imunitas tubuh kita. Hal ini
merupakan keajaiban alam dan belum ada gambaran yang jelas tentang mekanisme
sebenarnya yang berlangsung pada tubuh ibu hamil tersebut. Sistem imunitas seluler
terhadap antigen plasenta mulai bangkit pada TM II yang makin lama makin meningkat
sesuai usia kehamilan. Pada bumil timbul “Mekanisme imun depresion” yaitu suatu
mekanisme tubuh yg menekan sistem imun atau menahan respon yang telah bangkit
seperti pada HCG dapat menekan proses transformasi sel limfosit T. Imunologi dalam
janin merupakan IgG dr ibu ke janin mulai sekitar 16 minggu kehamilan dan terus
meningkat ketika kehamilan bertambah, tetapi sebagian besar lg diterima janin selama 4
minggu terakhir kehamilan.
Etiologi PIH tidak diketahui tetapi semakin banyak bukti bahwa gangguan ini
disebabkan oleh gangguan imunologik dimana produksi antibodi penghambat berkurang.
Hal ini dapat menghambat invasi arteri spiralis ibu oleh trofoblas sampai batas tertentu
hingga mengganggu fungsi plasenta. Ketika kehamilan berlanjut, hipoksia plasenta
menginduksi proliferasi sitotrofoblas dan penebalan membran basalis trofoblas yang
mungkin mengganggu fungsi metabolik plasenta. Sekresi vasodilator prostasiklin oleh
sel-sel endotelial plasenta berkurang dan sekresi tromboksan oleh trombosit bertambah,
sehingga timbul vasokonstriksi generalisata dan sekresi aldosteron menurun. Akibat
perubahan ini terjadilah pengurangan perfusi plasenta sebanyak 50%, hipertensi ibu dan
penurunan volume plasma ibu. Jika spasmenya menetap, mungkin akan terjadi cidera sel
epitel trofoblas dan fragmen-fragmen trofoblas di bawa ke paru-paru dan mengalami
destruksi sehingga melepaskan tromboplastin. Selanjutnya tromboplastin menyebabkan
koagulasi intravaskular dan deposisi fibrin di dalam glomeruli ginjal (endoteliosis
glomerular) yang menurunkan laju filtrasi glomerulus dan secara tidak langsung
meningkatkan vasokonstriksi. Pada kasus berat dan lanjut, deposit fibrin ini terdapat di
pembuluh darah, sistem saraf pusat sehingga menyebabkan konvulsi.
4. Teori defisiensi gizi
Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kekurangan gizi berperan dalam
terjadinya hipertensi dalam kehamilan. Penelitian penting yang pernah dilakukan di
Inggris ialah penelitian tentang pengaruh diet pada preeklampsia beberapa waktu
sebelum pecahnya Perang Dunia II. Suasana serba sulit mendapatkan gizi yang cukup
menimbulkan kenaikan insiden hipertensi dalam kehamilan (Angsar, 2008). Pada
penelitiannya Aditiawarman (2009) menyebutkan adanya kenaikan insiden preeklamsia
di RSU Dr. Soetomo saat krisis ekonomi di Indonesia. Dilaporkan bahwa insiden
preeklamsia meningkat pada daerah dengan insiden tinggi kasus beri-beri, pelagra dan
gangguan nutrisi. Beberapa zat yang diduga berhubungan dengan angka kejadian pre
eklampsia, antara lain antioksidan, vitamin D, kalsium, dan kalium.
5. Teori Inflamasi
Teori ini berdasarkan fakta, bahwa lepasnya debris trofoblast di dalam sirkulasi
darah merupakan rangsangan utama terjadinya proses inflamasi. Pada kehamilan normal,
plasenta juga melepaskan debris trofoblast, sebagai sisa-sisa proses apoptosis dan
nekrotik trofoblast, akibat reaksi stress oksidative. Bahan-bahan ini sebagai bahan asing
yang kemudian merangsang timbulnya proses inflamasi. Pada kehamilan normal, jumlah
debris trofoblast masih dalam batas wajar, sehingga reaksi inflamasi juga masih dalam
batas normal. Berbeda dengan proses apoptosis pada preeklampsia, dimana pada
preeklampsia terjadi peningkatan stress oksidative, sehingga produksi debris apoptosis
dan nekrotik trofoblast yang meningkat. Makin banyak sel trofoblast plasenta, misalnya
pada plasenta besar, pada hamil ganda, maka reaksi stress oksidative akan sangat
meningkat, sehingga jumlah sisa debris trofoblast juga akan sangat meningkat. Keadaan
ini menimbulkan beban reaksi inflamasi dalam darah ibu menjadi jauh lebih besar,
dibanding reaksi inflamasi pada kehamilan normal. Respon inflamasi ini akan
mengaktivasi sel endothel dan sel-sel makrofag/ sel granulosit yang lebih besar pula,
sehingga terjadi reaksi sistemik inflamasi yang menimbulkan gejala-gejala preeklampsia
pada ibu.
6. Teori defisiensi genetik
Ada faktor keturunan dan familial dengan model gene-single. Genotype ibu lebih
menetukan terjadinya hipertensi dalam kehamilan secara familial dibanding dengan
genotype janin. Telah terbukti bahwa pada ibu yang mengalami preeklampsia, 26 % anak
wanitanya akan mengalami preeklampsia pula, sedangkankan hanya 8 % anak menantu
mengalami preeklampsia.
Patofisiologi Preeklamsia
Hipertensi
PREEKLAMSIA
Sumber : Muh. Dikman Angsar, 2008
3) Tanda-tanda vital
Tekanan darah : normalnya 120/80 mmHg, pada pasien pre eklampsia berat
TD ≥160/110 mmHg.
Suhu : suhu dapat meningkat > 37,5 0C,
Nadi : nadi dapat meningkat > 100x/menit,
Pernapasan : normalnya 16 – 24 kali/menitpada Pre-eklampsia berat pasien
dapat sesak, yaitu pernapasan > 24x/menit.
b. Pemeriksaan Fisik
1) Muka : terdapat bengkak pada muka.
2) Dada : tidak ada benjolan abnormal, putting susu menonjol/tidak,
bersih, kolostrum keluar/belum, adakah tanda-tanda bendungan
asi/tidak, tidak ada retraksi dinding dada, tidak terdengar
wheezing/ronchi.produksi ASI belum keluar (hari ke 1-2 PP),
kolostrum positif pada hari pertama bila dipijat.
3) Abdomen : bagaimana keadaan luka bekas operasi, bersih/tidak, ada
pus/tidak, TFU, konsistensi uterus, kontraksi uterus, kandung
kemih.
Setelah plasenta lahir uterus menjadi kecil dan TFU teraba
kira-kira 1 jari dibawah pusat.
Hari ke 1-2 : TFU 2 jari dibawah pusat
Hari ke 3 :TFU 2-3 jari dibawah pusat
Hari ke 4-5 : TFU pertengahan pusat-symphisis
Hari ke 7 : TFU 2-3 jari diatas symphisis
Hari ke 9 : TFU 1 jari diatas symphisis
Hari ke 10-12 : TFU tak teraba dari luar
4) Genetalia : ada varises pada vagina/tidak, pengeluarana lochea (warna, bau,
banyaknya, konsistensi) (varney 2007)
Warna lochea :
Hari ke 1-7 : lochea rubra, warna merah
Hari ke 7-14 : lochea serosa, warna kuning
> 14 hari : lochea alba, warna putih
Banyaknya lochea : setelah melahirkan pengeluaran keseluruhan adalah
400-1200 ml.
Ekstremitas : oedema, kukujari pucat/tidak, suhu atau kehangatan, reflek patella(+)
(syarat pemberian MGSO4), kejang (-)
c. Data Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Proteinuria ≥ 5 gr per jumlah urin selama 24 jam. Urine < 400 cc/24 jam.
Hb : Hemoglobin:
- 11gr: tidak anemi
- 9-10 gr: anemi ringan
- 7-8 gr : anemi sedang
- <7-8 gr: anemi berat
SGOT/SGPT, Trombosit, LDH: untuk mengetahui apakah ada gangguan
fungsi hati dan haemostatis sehubungan dengan komplikasi preeclampsia yaitu
Sindroma HELLP
II. Analisa
1. Identifikasi Masalah / Diagnosa Kebidanan
Identifikasi terhadap masalah atau diagnosa berdasarkan interpretasi yang benar atas
data yang dikumpulkan. Diagnosa kebidanan ini dibuat sesuai standard nomenklatur
kebidanan.
Dx: PAPAH Postpartum hari ke... dengan Pre-Eklampsia.
Mengidentifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial
Identifikasi diagnosa atau masalah potensial dibuat setelah mengidentifikasi
diagnosa atau masalah kebidanan. Langkah ini membutuhkan antisipasi dan bila
mungkin dilakukan pencegahan.
Diagnosa potensial :
1) Hiprofibrinogenemia
Adanya kekurangan fibrinogen yang beredar dalam darah, biasanya dibawah
100mg persen. Sehingga pemeriksaan kadar fibrinogen harus secara berkala.
2) Perdarahan otak
Komplikasi ini merupakan penyebab utama kematian maternal pada penderita
eklampsia.
3) Kelainan mata
Kehilangan penglihatan untuk sementara, yang berlangsung sampai seminggu.
Perdarahan kadang-kadang terjadi pada retina yang merupakan tanda gawat
akan terjadinya apopleksia serebri.
4) Edema paru – paru
5) Nekrosis hati
Nekrosis periportal hati pada eklampsia merupakan akibat vasopasmus arteriol
umum. Kerusakan sel-sel hati dapat diketahui dengan pemeriksaan faal hati,
terutama penentuan enzim-enzimnya.
6) Sindroma HELLP
Merupakan suatu kerusakan multisistem dengan tanda-tanda : hemolisis,
peningkatan enzim hati, dan trombositopenia yang diakibatkan disfungsi endotel
sistemik. Sindroma HELLP dapat timbul pada pertengahan kehamilan trimester
dua sampai beberapa hari setelah melahirkan.
7) Kelainan ginjal
Kelainan ini berupa endoteliosis glomerulus yaitu pembengkakan sitoplasma sel
endotelial tubulus ginjal tanpa kelainan struktur lainnya. Kelainan lain yang
dapat timbul ialah anuria sampai gagal ginjal.
8) Komplikasi lain yaitu lidah tergigit, trauma dan fraktur karena jatuh akibat
kejang - kejang pneumonia aspirasi, dan DIC.
2. Identifikasi kebutuhan segera
Pada tahap ini bidan mengidentifikasi perlunya tindakan segera, baik tindakan
konsultasi, kolaborasi dengan dokter atau rujukan berdasarkan kondisi klien.
Langkah ini sebagai pengecekan apakah rencana asuhan tersebut efektif dalam
pelaksanaannya. Meliputi evaluasi tindakan yang dilakukan segera dan evaluasi
asuhan kebidanan yang meliputi catatan perkembangan..
III. Penatalaksanaan
Tanggal :
Pukul :
1. Jelaskan hasil pemeriksaan kepada ibu dan keluarga
R/ informasi yang jelas mengoptimalkan asuhan yang diberikan
2. Jelaskan penyebab dari keluhan atau masalah yang dirasakan ibu, seperti nyeri luka
perineum/ jahitan post SC, perut terasa mules akibat adanya kontraksi uterus, lemas
atau pusing, nyeri ulu hati, gangguan penglihatan, dll
R/ informasi yang jelas memberikan kenyaman klien
3. Observasi tanda – tanda vital ibu dan tanda tanda impending eklamsi.
R/ I. Tanda – tanda vital merupakan salah satu indikator untuk mengetahui keadaan
ibu, antara lain :
Tekanan darah : normalnya 120/80 mmHg, pada pasien eklamsia TD > 200 mmHg.
Suhu : suhu dapat meningkat > 37,5 0C, biasanya ibu dengan eklampsia suhu 380C.
Nadi : nadi dapat meningkat > 100x/menit, biasanya > 120 kali/menit pada ibu
dengan eklampsia.
Pernapasan: normalnya 16 – 24 kali/menit, < 16 atau > 24 kali/menit pada ibu dengan
eklampsia
II. untuk mengetahui potensi terjadinya Eklampsia puerperium yaitu, terjadi serangan
kejang atau koma seletah persalinan berakhir, sebesar 10 %. ( Prawirohardjo, 2008).
4. Observasi TFU, kontraksi uterus, dan pengeluaran lokea setiap hari
R/ 1) TFU merupakan salah satu indicator untuk mengetahui bahwa proses involusio
berlangsung normal, normalnya TFU mengalami penurunan 1 cm/ hari yang teraba
keras dan bundar
2). Dengan mengobservasi kontraksi uterus dapat mengetahui apakah uterus
berkontraksi dengan baik atau tidak, karena apabila uterus kurang berkontraksi akan
menyebabkan perdarahan dan memperlambat proses involusi.
3) Untuk mengetahui warna lochea pada hari 1-2 hari pasca persalinan, yaitu:
Lochea Rubra. Berwarna merah, berisi darah segar, sisa - sisa selaput ketuban, sel -
sel desidua, sisa - sisa amnion, lanugo, vernix casiosa, dan mekonium. biasanya
terjadi pada hari 1-2 hari pasca persalinan. Apabila terjadi Perubahan warna, bau,
jumlah dan perpanjangan lokea merupakan terjadinya infeksi yang disebabkan oleh
involusio yang kurang baik.
5. Pengaturan Balance Cairan
R/ penyeimbangan antaran cairan masuk (CM) dan cairan keluar (CK), dimana CM =
CK + 500cc, artinya batas kelebihan cairan yang dapat ditoleransi adalah 500cc.
6. Anjurkan ibu penuhi kebutuhan nutrisi diit TKTPRG sesuai anjuran dokter
R/ Kebutuhan nutrisi TKTPRG diperlukan oleh ibu postpartum eklamsi untuk
memenuhi kebutuhan nutrisi ibu dalam proses involusi dan menstabilkan kondisi ibu.
7. Berikan HE mobilisasi, personal hygiene
R/ Keuntungan dari mobilisasi dini adalah melancarkan pengeluaran lochia,
mengurangi infeksi puerperium, mempercepat involusi alat kandungan, melancarkan
fungsi alat gastrointestinal, dan alat perkemihan. Selain itu juga meningkatkan
kelancaran peredaran darah sehingga mempercepat fungsi ASI dan pengeluaran
metabolisme (Coad, Jane. 2006)
R/ Menjaga kebersihan diri ibu sangat diperlukan untuk menghindari dari infeksi
8. Lakukan perawatan payudara pada ibu dan mengeluarkan ASI nya ke dalam botol
steril sehingga tidak merasa nyeri dan tegang akibat dari bendungan ASI.
R/ Manfaat perawatan payudara dapat melancarkan sirkulasi darah pada payudara ibu
dan siap untuk menyusui bayinya. Manfaat menyusui bagi ibu membuat rahim
berkontraksi dengan cepat dan memperlambat perdarahan.Wanita yang menyusui
bayinya akan cepat pulih atau turun berat badannya ke berat badan sebelum hamil.
Pemberian ASI adalah cara yang penting bagi ibu untuk mencurahkan kasih
sayangnya pada bayi dan membuat bayi nyaman (Bahiyatun, 2009)
9. Kolaborasi dengan dokter SpOG dalam pemberian obat – obatan
R/ Terapi yang benar dan tepat, waktu, dosis dan cara pemberian dapat mempercepat
kesembuhan pasien.
10. Berikan dukungan psikologis kepada ibu
R/ Periode postpartum menyebabkan stres emosional terhadap ibu baru, bahkan lcbih
menyulitkan bila terjadi perubahan fisik yang hebat. Satu atau dua hari postpartum.
Ibu cenderung pasif dan tergantung. Ia hanya menuruti nasihat, ragu-ragu dalam
membuat keputusan, masih berfokus untuk memenuhi kebutuhannya sendiri, masih
menggebu membicarakan pengalaman persalinan. Periode ini diuraikan oleh Rubin
terjadi dalarn tiga tahap yaitu : taking in, taking hold dan letting go (Bahiyatun, 2009:
64-65) :
11. Diskusikan dan bimbing ibu untuk memilih jenis kontrasepsi yang akan digunakan
sesuai dengan kondisi ibu.
R/ Setiap pasangan perlu memerhatikan dan merencanakan jumlah kelahiran yang
diinginkan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan ibu. Dengan penggunaan kontrasepsi
dapat mencegah terjadinya kehamilan yang bertujuan untuk menjarangkan kehamilan,
merencanakan jumlah anak dan meningkatkan kesejahteraan keluarga agar keluarga
dapat memberikan perhatian dan pendidikan yang maksimal pada anak. ( Harnawati,
2009).
12. Anjurkan ibu untuk kontrol ulang ke poli setelah 1 minggu
R/Kunjungan ulang sangat diperlukan oleh ibu nifas post SC (atas indikasi eklamsi)
untuk memantau kondisi dan involusi apakah berjalan dengan baik.
VI. IMPLEMENTASI
Melaksanakan rencana asuhan yang telah direncanakan secara menyeluruh dengan efisien
dan aman sesuai perencanaan.
VII. EVALUASI
Tindakan pengukuran antara keberhasilan dalam melaksanakan tindakan untuk mengetahui
sejauh mana keberhasilan tindakan yang dilakukan sesuai kriteria hasil yang ditetapkan dan
apakah perlu untuk melakukan asuhan lanjutan atau tidak.
Pendokumentasian menggunakan SOAP.
S : Data diperoleh dari keterangan/keluhan ibu langsung
O : Data diperoleh dari hasil pemeriksaan yang didapat secara keseluruhan.
A : Diagnosa yang ditetapkan dari data subjektif dan objektif.
P : Perencanaan yang dilakukan sesuai diagnosa.
BAB 3
TINJAUAN KASUS
Data Subjektif
1. Biodata/ Identitas
Nama Ibu : Ny. LP Nama Suami : Tn. MY
Umur : 45 tahun Umur : 37 tahun
Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia Suku/Bangsa : Jawa/Indonesia
Agama : Islam Agama : Islam
Pendidikan : SMA Pendidikan : STM
Pekerjaan :- Pekerjaan : Swasta
Alamat : Mojo, Surabaya
2. Keluhan Utama:
Tidak ada keluhan
3. Riwayat Obstetri yang Lalu:
Kehamilan Persalinan Bayi/Anak Nifas
Sua Hidup KB
ke UK Pnylt Penol. Jenis Tmpt Pnylt Seks BB (gr) Pnylt ASI
mi Mati
Kembar, Kembar,
1 8bl Dokter SC RS P 1700 2 bl
PEB PEB KB pil
H/16th -
Kembar, Kembar,
1 1 8bl Dokter SC RS P 1800 2 bl
PEB PEB
2 8bl PEB Dokter SC RS PEB L 3100 H/ 6 th - 3 bl KB pil
3 8bl PEB Dokter SC RS PEB L 2300 H/3 hari NIFAS INI MOW
Analisis
P3004 Post SC +MOW hari-3 dengan HT kronis si PEB
Penatalaksanaan
Tanggal/Jam Tindakan Pelaksana
Tgl 22-02-16 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan,
Bintari
11.00 ibu mengerti kondisinya sekarang
Memberikan KIE kepada ibu tentang :
Istirahat : berusaha istirahat cukup, 8 jam/hari, agar tidak stress,
stress dapat berpengaruh terhadap tekanan darah.
11.15 Posisi istirahat : menyarankan ibu untuk tidak menggantung kaki, Bintari
atau beristirahat dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala untuk
mengurangi bengkak di kaki.
Ibu mengerti.
Berkolaborasi dengan dokter obsgyn untuk pemberian terapi, advis :
Bidan
12.00 Novabion 2x1,asam mefenamat 3x500 mg, amlodipin 0-0-10 mg tab,
Merpati
hct 25-0-0, bisoprolol 2,5-0-0, captopril 3x12,5 mg.
Memberikan terapi sesuai advis dokter : asam mefenamat 500 mg, Bidan
14.00 captopril 12,5 mg. Merpati,
Tidak ada reaksi alergi. Bintari
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 23-02-2016 Jam 09.00
S : tidak ada keluhan
O : KU: Baik N : 82 x/mt TD : 140/80 mmHg
RR : 20 x/menit S : 36.7 ºC
ASI (+) sedikit.
Luka operasi baik, tertutup plester anti air, tidak merembes. TFU 3 jari bawah pusat
Lochea serosa, Ekstremitas bawah, oedema +/+
Data Rekam Medis :
Tanggal 22-02-2016
Pasien tenang, tidak ada keluhan, KU baik, TD = 150/100 mmHg, S = 36,6ºC, N =
86x/m
18.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat
22.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion
06.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion, bisoprolol 2,5 mg,
amlodipin 10 mg, HCT
Advis dokter : Diit TKTP terapi oral : Novabion 2x1,asam mefenamat 3x500 mg,
amlodipin 0-0-10 mg tab, hct 25-0-0, bisoprolol 2,5-0-0, CM maks 1000cc, cek lab
lengkap.
A : P3004 Post SC +MOW hari-4 dengan HT kronis si PEB
P :
Tanggal/Jam Tindakan Pelaksana
Tgl 23-02-16 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan,
Bintari
09.10 ibu mengerti kondisinya sekarang
Mengingatkan ibu tentang :
Nutrisi : makan makanan bergizi tinggi protein, makan buah dan
sayuran untuk pemulihan bekas luka operasi dan produksi ASI.
minum <1000cc/hari untuk mencegah kelebihan cairan.
ASI ekslusif : ibu tetap berusaha menyusui 2 jam sekali.
09.15 Bintari
Memberikan HE :
Posisi istirahat : menyarankan ibu untuk tidak menggantung kaki,
atau beristirahat dengan posisi kaki lebih tinggi dari kepala untuk
mengurangi bengkak di kaki.
Ibu dapat mengulang penjelasan dengan baik.
Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi, advis :
Bidan
12.00 Novabion 1x1,asam mefenamat 3x500 mg, adalat oros 0-0-30mg,
Merpati
HCT 25-0-0, bisoprolol 0-2,5 mg-0
Memberikan terapi sesuai advis dokter : asam mefenamat 500 mg, Bidan
14.00 bisoprolol 2,5 mg. Merpati,
Tidak ada reaksi alergi. Bintari
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 24-02-2016 Jam 09.00
S : tidak ada keluhan
O : KU: Baik N : 82 x/mt TD : 140/70 mmHg
RR : 20 x/menit S : 36.7 ºC
ASI (+) sedikit.
Luka operasi baik, tertutup plester anti air, tidak merembes. TFU ½ sym-pusat
Lochea serosa, Ekstremitas bawah, oedema +/+ berkurang.
Data Rekam Medis :
Tanggal 23-06-2016
Pasien tenang, tidak ada keluhan, KU Baik, TD = 140/90 mmHg, S=37 ºC, N = 83x/m
18.00-Memberikan terapi oral asam mefenamat
22.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion
06.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion, bisoprolol 2,5 mg,
amlodipin 10 mg, HCT
Advis dokter : Novabion 2x1,asam mefenamat 3x500 mg, adalat oros 0-0-30mg, HCT
25-0-0, bisoprolol 0-2,5 mg-0
A : P3004 Post SC +MOW hari-5 dengan HT kronis si PEB
P :
Tanggal/Jam Tindakan Pelaksana
Tgl 24-02-16 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan,
Bintari
09.10 ibu mengerti kondisinya sekarang
Berkolaborasi dengan dokter untuk pemberian terapi, advis : diet
TKTPRG, mobilisasi, Novabion 1x1,asam mefenamat 3x500 mg,
Bidan
12.00 adalat oros 0-0-30mg, HCT 25-0-0, bisoprolol 0-2,5 mg-0, minum
Merpati
maks 1000cc/24 jam, observasi keluhan/vs, KRS bila hasil lab baik
(tunggu DPJP)
Memberikan terapi sesuai advis dokter : asam mefenamat 500 mg, Bidan
14.00 bisoprolol 2,5 mg. Merpati,
Bintari
Dinas Sore dan Malam : memberikan terapi sesuai advis dokter
CATATAN PERKEMBANGAN
Tanggal 25-02-2016 Jam 09.00
S : tidak ada keluhan
O : KU: Baik N : 82 x/mt TD : 130/90 mmHg
RR : 18 x/menit S : 36.4 ºC ASI (+) sedikit.
Luka operasi baik, tertutup plester anti air, tidak merembes. TFU ½ sym-pusat
Lochea serosa, Ekstremitas bawah, oedema +/+ berkurang.
Tanggal 24-06-2016
Pasien tenang, tidak ada keluhan, KU Baik, TD = 130/90 mmHg, S=37 ºC, N = 83x/m
18.00-Memberikan terapi oral asam mefenamat
22.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion
06.00- Memberikan terapi oral asam mefenamat, novabion, bisoprolol 2,5 mg,
amlodipin 10 mg, HCT
Advis dokter : Pro KRS kontrol poli nifas 1 minggu, tanggal 3 maret 2016 Obat
pulang : Novabion 1x1,asam mefenamat 3x500 mg, amlodipin 0-0-10 mg tab, hct 1-0-
0, bisoprolol 2,5-0-0, CM maks 1000cc, cek lab lengkap.
A : P3004 Post SC +MOW hari-6 dengan HT kronis si PEB
P :
Tanggal/Jam Tindakan Pelaksana
Tgl 23-02-16 Menjelaskan hasil pemeriksaan dan asuhan yang akan diberikan,
Bintari
09.10 ibu mengerti kondisinya sekarang
Mereview tentang :
Perawatan bayi sehari-hari : perawatan tali pusat kering, ekstra
09.15 Bintari
minum minimal 2 jam.
Ibu mengerti
Berkolaborasi dengan dokter dan petugas farmasi untuk pemberian
obat pulang : Bidan
10.00
Novabion 1x1,asam mefenamat 3x500 mg, adalat oros 0-0-30mg, Merpati
HCT 25-0-0, bisoprolol 0-2,5 mg-0
Memberikan KIE tentang : Tanda bahaya nifas dan cara meminum Bidan
10.30
obat, Ibu mengerti Merpati
Menyiapkan pasien KRS, pasien pulang jam 14.00 WIB Bidan
11.00 Merpati,
Bintari
BAB 4
PEMBAHASAN
Ny. L, P3004 Post SC + MOW hari ke-3 HT Kronis si PEB, berada pada masa nifas.
Postpartum atau masa nifas adalah suatu periode dalam minggu-minggu pertama setelah
kelahiran. Lamanya periode ini tidak pasti, sebagian besar menganggapnya 4 sampai 6
minggu (Cunningham, et. al, 2013). Pada Ny L, nifas hari ke 3 terdapat pengeluaran ASI.
ASI pada Ny. L keluar pada hari ke 3 hal ini sesuai dengan teori Varney (2007) bahwa
Progesteron dan estrogen saat hamil yang dihasilkan plasenta merangsang pertumbuhan
kelenjar – kelenjar susu, sedangkan progesterone merangsang pertumbuhan saluran kelenjar.
Kedua hormone ini mengerem LTH (prolactin). Setelah plasenta lahir, maka LTH dengan
bebas dapat merangsang laktasi. Pada kira – kira hari ke 3 postpartum, buah dada menjadi
besar, keras dan nyeri. Ini menandai permulaan sekresi air susu dan kalau areola mamae
dipijat, keluarlah cairan putih dari puting susu (Saleha, 2009).
Salah satu perubahan pada masa nifas adalah terjadinya involusi uterus. Involusi
uterus adalah kembalinya uterus pada keadaan sebelum hamil, baik dalam bentuk maupun
posisi. Proses involusi uterus disertai dengan penurunan tinggi fundus uteri (TFU). Pada
hari pertama TFU diatas symphisis pubis atau sekitar 12 cm. hal ini terus berlangsung
dengan penurunan TFU 1 cm setiap harinya, sehingga pada hari ke 7 TFU berkisar 5 cm dan
pada hari ke ke 10 TFU tidak teraba di symphisis pubis (Cunningham, et. al, 2013). Pada
Ny. L pada hari ke 3 TFU berada pada 3 jari bawah pusat, hal ini sesuai dengan teori.
Akibat adanya involusi ini adalah adanya pengeluaran lochea. Pada Ny N, didapatkan
keluaran vagina berwarna merah . Berdasarkan teori lochea yang keluar pada hari 1-3
disebut lochea rubra. Lochea berwarna merah terdiri dari sel desidua, verniks caseosa,
rambut lanugo, sisa mekonium dan sisa darah (Saleha, 2009).
Dari hasil pengkajian pada didapatkan Ny L post SC + MOW hari ke-3 hipertensi
kronis si PEB. Menurut manuaba (2010) faktor yang resiko terjadinya
preeklampsia/eklampsia adalah primigravida, distensi rahim berlebihan, hidramnion, hamil
ganda, mola hidatidosa, penyakit yang menyertai hamil, diabetes melitus, obesitas, terlalu
muda hamil <20 tahun dan terlalu tua hamil > 35 tahun.Pada data subjektif didapatkan usia
ibu >35 tahun, pernah hamil ganda, riwayat pre –eklampsia sebelumnya, serta hipertensi.
Pada riwayat kehamilan, terdapat hasil pemeriksaan protein urine +2, tekanan darah tinggi
sejak usia kehamilan 3 bulan. Hal ini sesuai dengan teori, yaitu hipertensi kronis merupakan
salah satu faktor resiko PEB. Pada pemeriksaan nifas, didapatkan TD 150/100 mmHg sampai
hari ke tiga, dan sehingga ibu didiagnosa post SC hipertensi kronis si PEB.
Ny L, selalu diobservasi balance cairannya. Pada pasien PEB perlu diobservasi balance
cairan (CM dan CK). Hal ini bertujuan untuk mengontrol jumlah cairan dalam tubuh karena
pada penderita preeklamsi beresiko terjadi odem. Mengobservasi keluhan / kontraksi uterus /
fluksus/ tanda – tanda impending eklamsi hal ini untuk mengawasi keadaan ibu karena pada
PEB beresiko terjadi eklampsi. Balance cairan pada Ny L adalah CM = CK + 500. Menurut
Wirapramana, 2015 Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka
harus ada keseimbangan antara cairan yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. Hal ini
terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh dengan
lingkungan luarnya. Cairan masuk = cairan keluar + IWL (Insensible Water Loss). Cairan
Masuk : mulai dari cairan infus, minum, kandungan cairan dalam makanan pasien, volume
obat-obatan, termasuk obat suntik, obat yang di drip, albumin dll. Cairan keluar : urine dalam
24 jam dan IWL (insensible water loss(IWL) : jumlah cairan keluarnya tidak disadari dan
sulit diitung, yaitu jumlah keringat, uap hawa nafas. Pada manusia dewasa IWL berkisar 900
cc (paru 400 cc, kulit 400 cc dan feses 100 cc). Pada Ny L IWL nya 500, hal ini karena pada
PEB berisiko terjadi edema paru.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat dianalis bahwa preeclampsia berlangsung mulai
kehamilan sampai masa nifas. Pada masa nifas normal terjadi penurunan tekanan darah
sistolik 20 mmHg pada saat klien merubah posisi dari berbaring ke duduk lebih disebabkan
oleh reflek ortostatik hipertensi. Normalnya selama beberapa hari pertama setelah kelahiran,
Hb, Hematokrit dan hitungan eritrosit berfruktuasi sedang. Akan tetapi umumnya, jika kadar
ini turun jauh di bawah tingkat yang ada tepat sebelum atau selama persalinan awal wanita
tersebut kehilangan darah yang cukup banyak. Pada minggu pertama setelah kelahiran ,
volume darah kembali mendekati seperti jumlah darah waktu tidak hamil yang biasa. Setelah
2 minggu perubahan ini kembali normal seperti keadaan tidak hamil (Saifuddin, 2007).
Sedangkan pada preeclampsia terjadi vasopspasme merupakan awal kejadian penyakit ini.
Vasospasme bisa akibat dari kegagalan invasi trofoblas ke dalam lapisan otot polos pembuluh
darah, reaksi imunologi, maupun radikal bebas. Semua ini akan menyebabkan terjadinya
kerusakan atau jejas endotel yang kemudian akan mengakibatkan gangguan keseimbangan
antara kadar vasokonstriktor dan vasodilator serta gangguan pada sistem pembuluh darah
(Sulaiman Sastrawinta, 2007 : 71)
Pada pemeriksaan objektif didapatkan tekanan darah 150/100 mmHg, sesuai
dengan teori yaitu hipertensi adalah tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg. Pada masa nifas
tidak didapatkan proteinuria, hasil lab juga normal, menandakan bahwa tidak terjadi
komplikasi lebh lanjut, yaitu sindrom HELLP.
Penatalaksanaan yang dilakukan adalah dengan melakukan tirah baring di rumah
sakit untuk mengobservasi tekanan darah, urin, dan mencegah timbulnya impending
eklampsia pada masa nifas. Diit yang diberikan yaitu TKTPRG 2100kkal ekstra sayur dan
buah, TKTPRG diberikan karena ibu dalam masa nifas post SC untuk menunjang
penyembuhan luka jahitan post SC, RG diterapkan karena ibu masih mempunyai tekanan
darah tinggi. Pemberian antihipertensi sudah dilakukan sesuai dengan protap yaitu nifedipin
3x10mg diberikan jika TD ≥ 160/110. Menurut Manuaba (2010) preeclampsia bisa berlanjut
sampai 12 minggu pasca persalinan, dan dapat meningkatkan resiko perdarahan karena terjadi
iskemi pembuluh darah yang menyebabkan gangguan sirkulasi oksigen ke organ-organ tubuh
salah satunya otot rahim sehingga kontraksi uterus berkurang, terjadi atonia uteri
menyebabkan terjadinya perdarahan. Sebagai petugas kita harus memberikan KIE tentang
bahaya preeclampsia dan eklampsia, jika tidak segera ditangani akan menyebabkan kejang,
dan tekanan darah tinggi bisa berlanjut sampai seumur hidup serta dapat menyebabkan
kematian (Hanifa dalam Prawiroharjo, 2007 ).
BAB 5
PENUTUP
5.1 Simpulan
1. Ny. L, P3004 Post SC + MOW dengan HT kronis si PEB yang dilaksanakan telah
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu pengumpulan data subyektif dan
obyektif, merumuskan diagnosa aktual dan masalah, menyusun rencana dan
melaksanakan tindakan asuhan kebidanan yang menyeluruh sesuai kebutuhan,
melaksanakan evaluasi dalam asuhan kebidanan dan mendokumentasikan asuhan
dengan metode SOAP
2. Asuhan yang diberikan telah sesuai dengan teori yang didapat pada saat perkuliahan
3. Dalam menentukan dan mengatasi masalah, dapat ditentukan dari pengkajian data
yang dilakukan, baik secara subyektif maupun obyektif
5.1 Saran
Diharapkan selalu menggunakan penerapan manajemen kebidanan dalam setiap
asuhan yang diberikan untuk menghasilkan asuhan yang efektif, efisien dan aman
sehingga kesejahteraan ibu dan anak dapat ditingkatkan
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, A., dkk., 2008, Pedoman diagnosa dan terapi bagian/SMF ilmu kebidanan dan
penyakit kandungan. Surabaya: RSU Dr. Soetomo.
Angsar, M.D. 2008. Hipertensi dalam Kehamilan edisi VI. Surabaya : SMF Obstetri-
Ginekologi FK UNAIR
Bawazier, LA. 2008. ‘Hipertensi dalam Kehamilan’ dalam Laksmi et.al Penyakit-Penyakit
pada Kehamilan Peran Seorang Internis. Jakarta: Interna Publishing
Coad, Jane dan Dunstall, M., 2006, Anatomi dan fisiologi untuk bidan, Jakarta: EGC
Cooper, M.A., 2009, Myles buku ajar bidan edisi 14, Jakarta: EGC
Cunningham, F.G., 2013, Obstetri Williams volume 1 edisi 22, Jakarta: EGC
Dina, S. 2003. Luaran Ibu dan Bayi pada Penderita Preeklamsi Berat dan Eklamsi dengan
atau tanpa Sindroma HELLP. Padang : USU digital library
Heliana, Mellyana., 2003, Perawatan ibu postpartum, cetakan I, Jakarta: Puspaswara
Manuaba, IBG dkk., 2007, Pengantar kuliah obstetri, Jakarta: EGC
Mochtar, R., 2003, Sinopsis obstetri, Jakarta: EGC
Nugroho, S., 2010, Catatan kuliah ginekologi dan obstetri (obsgyn), Yogyakarta: Nuha
Medika
Pusdiknakes, 2003, Buku 4, asuhan kebidanan postpartum, Jakarta: Pusdiknakes-WHO-
JHPIEGO
Saifuddin, A. B., 2008, Ilmu kebidanan sarwono prawirohardjo, Jakarta: Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
Sibai, B., 2005, Diagnosis, prevention, and management of eclampsia, ACOG
Sujiyatini, dkk., 2010, Catatan kuliah asuhan ibu nifas, Jogjakarta: Cyrillus Publisher
Varney, H., 2007, Buku ajar asuhan kebidanan edisi 4 volume 1, Jakarta: EGC