Analisis Monolog PDF
Analisis Monolog PDF
Analisis Monolog PDF
ANALISIS MONOLOG
“PIDATO GILA”
OLEH:
“Ada wakil rakyat mengusulkan, untuk menghemat belanja negara modus anjing gila
(ditembak mati) diterapkan saja pada orang gila. Tapi wakil rakyat itu ternyata gila.”
Secara tersirat, kutipan tersebut menggambarkan perilaku wakil rakyat yang tergila-gila
dengan uang. Berbagai kebijakan ditetapkan bukan didasarkan pada kepentingan rakyat
melainkan demi keuntungan pribadi, meskipun seringkali justru merugikan banyak pihak.
Alih-alih berupaya membina para orang gila untuk mengembalikan kewarasan mereka, si wakil
rakyat ini justru mengambil jalan pintas memperlakukan orang gila layaknya seekor anjing gila
dan berdalih bahwa hal tersebut merupakan salah satu solusi menghemat anggaran belanja yang
pada akhirnya uang tersebut pun bermuara pada rekening mereka sendiri.
Dalam monolog ini banyak diulas seputar persamaan dan perbedaan orang gila dan
anjing gila yang sekali lagi secara halus menyiratkan sindiran tentang situasi dalam masyarakat
saat ini dan mengarahkan kita untuk kembali memikirkan hakikat kita sebagai manusia.
Kutipan tersebut berbunyi.
“Persamaan yang prinsipal antara orang gila dan anjing gila adalah kedua jenis makhluk
Tuhan yang berbeda itu sama-sama gila. Keduanya atheis, tidak mampu lagi bersosialisasi
dalam masyarakat, tidak mampu hidup damai dalam perbedaan, anti bhineka tunggal ika,
menentang gotong royong, dan bertentangan dengan Pancasila.”
Dewasa ini, bukan hanya orang gila ataupun anjing gila yang dapat melakukan hal-hal
menyimpang seperti yang dijabarkan dalam kutipan diatas. Nilai-nilai ketuhanan kian luntur,
hilangnya penghayatan terhadap nilai Pancasila, sikap individualis, anarkis, dan pudarnya
budaya gotong royong di masyarakat bukanlah hal yang sulit dijumpai. Lantas apa yang
membedakan manusia masa kini dengan orang gila bahkan anjing gila?
Satu hal lagi yang menarik dari tokoh gila yang berpidato ini adalah kelugasannya
dalam mengutarakan kegilaan disekitarnya padahal dirinya pun merupakan orang yang tidak
waras. Ia berdalih bahwa kegilaannya hanya sebatas pura-pura yang dilakukan sebagai bentuk
pengorbanannya demi orang banyak. Hal ini secara gamblang tergambar dalam kutipan berikut.
“Meskipun tidak gila, kita semua kadang-kadang terpaksa berpura-pura gila. Kenapa?
Berpura-pura gila supaya rumah sakit gila yang didirikan dengan biaya triliyunan uang rakyat
itu tidak mubazir. Contohnya, kita semua. Kita Berpura-pura gila disini untuk berkorban demi
eksistensi para perawat, suster, dan dokter-dokter gila itu. Bayangkan kalo tidak ada kita,
semua akan di PHK. Buntut-buntutnya mereka semua akan pura-pura gila, tapi keterusan gila.
Walhasil, kehadiran kita semua disini, adalah pengorbanan dan kepahlawanan tanpa bintang
jasa.”
Karakter orang gila ini dibawakan dengan semangat berapi-api dan suara lantang seolah
segala yang disampaikannya adalah kebenaran mutlak yang tak terbantahkan sampai-sampai
penonton dibuat ikut merasa dongkol dan bertanya-tanya siapa yang gila sebenarnya. Intonasi
hingga mimik wajah pun turut mendukung penghayatan dari karakter yang dibawakan sehingga
pesan yang disampaikan dapat ditangkap dengan baik oleh para penonton, ditambah tingkah
konyol dan gaya bicara yang khas dari tokoh orang gila ini tak jarang mengundang gelak tawa.