Kasus 2 Isolasi Sosial
Kasus 2 Isolasi Sosial
Kasus 2 Isolasi Sosial
Disusun oleh:
Tutor B
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. PENGERTIAN
Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang di alami oleh individu dan
dipersepsikan disebabkan orang lain dan sebagai kondisi yang negatif dan mengacam
(Townsend, 2010).
Kondisi isolasi sosial seseorang merupakan ketidakmampuan klien dalam
mengungkapkan perasaannya dapat yang menimbulkan kekerasan. Klien dengan
isolasi sosial tidak mempunyai kemampuan untuk bersosialisasi dan sulit untuk
mengungkapkan keinginan dan tidak mampu berkomunikasi dengan baik sehingga
klien tidak mampu mengungkapkan marah dengan cara baik.
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Terjadinya gangguan ini dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan
faktor presipitasi. Faktor predisposisi yang memengaruhi masalah isolasi
sosial yaitu :
a. Faktor tumbuh kembang
Pada setiap tahap tumbuh kembang terdapat tugas tugas
perkembangan yang harus terpenuhi agar tidak terjadi gangguan dalam
hubungan sosial. Apabila tugas tersebut tidak terpenuhi maka akan
menghambat fase perkembangan sosial yang nantinya dapat
menimbulkan suatu masalah.
Tabel 1. Tugas perkembangan berhubungan dengan pertumbuhan interpersonal
menurut Stuart dan Sundeen.
2. Faktor presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga
dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor
presipitasi dapat dikelompokan sebagai berikut:
a. Faktor eksternal Contohnya adalah stressor sosial budaya, yaitu stress
yang ditimbulkan oleh faktor sosial budaya seperti keluarga.
b. Faktor internal Contohnya adalah stressor psikologis, yaitu stress yang
terjadi akibat kecemasan atau ansietas yang berkepanjangan dan terjadi
bersamaan dengan keterbatasan kemampuan individu untuk
mengatasinya. Ansietas ini dapat terjadi akibat tuntutan untuk berpisah
dengan orang terdekat atau tidak terpenuhi kebutuhan individu.
C. RENTANG RESPON
Menurut Stuart (2007). Gangguan kepribadian biasanya dapat dikenali pada
masa remaja atau lebih awal dan berlanjut sepanjang masa dewasa. Gangguan tersebut
merupakan pola respon maladaptive, tidak fleksibel, dan menetap yang cukup berat
menyababkan disfungsi prilaku atau distress yang nyata.
1. Respon adaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan dengan cara yang
dapat diterima oleh norma-norma masyarakat. Menurut Riyardi S dan
Purwanto T. (2013) respon ini meliputi:
a. Menyendiri
Merupakan respon yang dilakukan individu untuk
merenungkan apa yang telah terjadi atau dilakukan dan suatu cara
mengevaluasi diri dalam menentukan rencana-rencana.
b. Otonomi
Merupakan kemampuan individu dalam menentukan dan
menyampaikan ide, pikiran, perasaan dalam hubungan sosial, individu
mamapu menetapkan untuk interdependen dan pengaturan diri.
c. Kebersamaan
Merupakan kemampuan individu untuk saling pengertian,
saling memberi, dan menerima dalam hubungan interpersonal.
d. Saling ketergantungan
Merupakan suatu hubungan saling ketergantungan saling
tergantung antar individu dengan orang lain dalam membina hubungan
interpersonal.
D. PENGKAJIAN
1. Faktor Predisposisi, meliputi :
a. Faktor perkembangan
Tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu
dalam menjalin hubungan dengan orang lain adalah keluarga. Dalam
tahapannya, tugas perkembangan terbagi ke dalam :
Masa bayi, apabila kurang distimulasi dari orangtua maka akan
memberikan rasa tidak aman yang akan menghambat
terbentuknya rasapercaya diri. Jika terdapat hambatan dalam
mengembangkan rasa percaya, maka anak akan mengalami
kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain dan timbul
tingkah laku curiga pada orang lain.
Masa kanak-kanak, jika terjadi pembatasan aktivitas atau
kontrol yang berlebihan dapat membuat anak frustasi.
Masa pra-remaja & Remaja, hubungan antara individu dengan
kelompok atau teman lebih berarti daripada hubungannya
dengan orangtua. Remaja akan merasa tertekan atau
menimbulkan sikap bergantung ketika remaja tidak dapat
mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut.
Masa dewasa muda, individu meningkatkan kemandiriannya
serta mempertahankan hubungan interdependen antara teman
sebaya maupun orangtua. Individusiap untuk membentuk suatu
kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan.
Masa dewasa tengah, Individu mulai terpisah dengan anak-
anaknya, ketergantungan anak-anak terhadap dirinya mulai
menurun. Ketika individu bisa mempertahankan hubungan
yang interdependen antara orangtua dengan anak, maka
kebahagiaan akan diperoleh dengantetap.
Masa dewasa akhir, individu akan mengalami berbagai
kehilangan, baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan
orangtua, pasangan hidup, teman, pekerjaan atau peran.
b. Faktor biologis
Faktor biologis berhubungan dengan faktor genetik yang dapat
menunjang terhadap respons sosial malafaptif. Genetik merupakan
salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
4. Sumber koping
Merupakan suatu evaluasi terhadap pilihan koping pada strategi
seseorang. Strategi seseorang yang digunakan seperti keterlibatan dalam
hubungan yang lebih luas seperti dalam keluarga dan teman, hubungan
dengan hewan peliharaan, menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan
stres interpersonal seperti kesenian, musik/tulisan. (Stuart, 2006)
a. Personal ability: Kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah
b. Sosial support : Dukungan dari lingkungan sekitar (misalnya keluarga,
teman)
c. Material aset : Dukungan material yang dimiliki pasien (misalnya
ekonomi, pendidikan, asuransi,dan transportasi, jarak mencapai
pelayanan kesehatan)
d. Positif belief : Keyakinan pasien akan kesembuhannya
5. Mekanisme Koping
Merupakan upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres,
termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme pertahanan
yang digunakan untuk melindungi diri. (Stuart, 2006)
Mekanisme Koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi ansietas
yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.
Mekanisme Koping yang sering digunakan menurut Rasmun (2004) adalah
:
a. Proyeksi, yaitu keinginan yang tidak mampu ditoleransi dan
klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan
sendiri.
b. Splitting, yaitu kegagalan individu dalam menginterpretasikan
dirinya dalam menilai baik-buruk.
c. Isolasi, yaitu perilaku mengasingkan diri dari orang lain
maupun lingkungan.
Mekanisme koping
a. Ego : Berpusat pada ego yang dimiliki pasien (menyalahkan
orang lain)
b. Masalah : Masalah yang dihadapi pasien saat ini
F. POHON MASALAH
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial
2. Defisit Perawatan Diri
H. INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx Perencanaan
Kep Tujuan Kriteria Evaluasi Intervensi
Isolasi TUM: 1. Setelah … X … jam 1. Bina hubungan saling percaya dengan:
sosial Klien interaksi klien menunjukkan Beri salam setiap berinteraksi
dapat tanda-tanda percaya kepada Perkenalkan nama, nama panggilan
berinterak
/ terhadap perawat: perawat dan tujuan perawat
si dengan Wajah cerah, berkenalan
orang lain tersenyum Tanyakan dan panggil nama kesukaan
Mau berkenalan klien
TUK: Ada kontak mata Tunjukkan sikap jujur dan menepati
1. Klien Bersedia janji setiap kali berinteraksi
dapat menceritakan Tanyakan perasaan klien dan masalah
membina perasaan yang dihadapi klien
hubungan Bersedia Buat kontrak interaksi yang jelas
saling mengungkapkan Dengarkan dengan penuh perhatian
percaya masalahnya ekspresi perasaan klien
Bersedia
mengungkapkan
masalahnya
Abstrak: Isolasi sosial adalah salah satu diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan
pada pasien yang menunjukkan gejala menyediri, menarik diri dari kegiatan sosial serta
tidak mau berinteraksi dengan orang lain bahkan dengan perawat. Gejala negatif seperti
isolasi sosial yang tidak dapat diatasi dapat mengakibatkan klien mengalami gejala
positif dan semakin memperburuk kondisinya. Salah satu cara untuk meningkatkan
kemampuan interaksi pasien dengan isolasi sosial adalah dengan menggunakan terapi
Social Skills Therapy. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui gambaran perubahan
kemampuan interaksi pasien isolasi sosial setelah diberikan terapi Social Skills Therapy.
Metode yang digunakan adalah deskriptif dengan 40 responden isolasi sosial yang
dirawat disalah satu ruang rawat inap RSJ di Jawa Barat, Indonesia. Hasil dari penelitian
ini adalah terjadi peningkatan kemampuan interaksi sosial setelah diberikan Social Skills
Therapy. Oleh sebab itu Social Skills Therapy dapat direkomendasikan sebagai salah satu
terapi spesialis dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan isolasi sosial.
Kata kunci : isolasi sosial, social skills therapy, kemampuan interaksi sosial.
Karakteristik klien isolasi social dalam penelitian ini berdasarkan usia memiliki
rerata usia 36 tahun dengan usia terendah 19 tahun dan usia tertinggi yaitu 58 tahun. 34
klien atau sebesar 85% berpendidikan rendah. 38 klien atau 95% tidak bekerja. Klien
yang belum menikah 35 klien atau sebesar 87,5% sedangkan klien yang berstatus
perkawinan menikah adalah 5 klien atau sebesar 12,5%. Lama dirawat lebih banyak pada
1-2 bulan yaitu sebanyak 38 klien atau sebesar 95%.
Faktor predisposisi terjadinya isolasi sosial telah diidentifikasi berdasarkan tiga
aspek yaitu biologi, psikologis dan sosial budaya. Faktor biologis terbanyak didapatkan
data riwayat gangguan jiwa sebelumnya sebanyak 31 klien atau sebesar 77,5 %. Faktor
psikologis terbanyak adalah riwayat introvert sebanyak 35 klien atau sebesar 87,5%
sedangkan faktor sosial budaya terbanyak adalah masalah ekonomi keluarga dan klien
pribadi sebanyak 31 klien atau sebesar 77,5 %.
Faktor biologis klien isolasi sosial terbanyak adalah riwayat putus obat atau
pengobatan yang tidak rutin yakni sebanyak 35 klien atau sebesar 95%. Faktor psikologis
terbanyak riwayat keinginan yang tidak terpenuhi (harapan yang tidak realistis) sebanyak
32 klien atau sebesar 80%. Sedangkan faktor sosial budaya terbanyak adalah tidak adanya
penghasilan atau kondisi ekonomi yang kurang sebanyak 31 klien atau sebesar 77,5%.
Asal stresor yang dialami klien isolasi sosial dalampenelitian ini menunjukkan bahwa
seluruh klien memperoleh stresor baik dari faktor internal maupun eksternal dari luar
klien sebesar 100%. Waktu stresor yang dialami klien sebagian besar adalah 3-6 bulan
sebanyak 33 klien atau sebesar 82,5% dan jumlah stresor yang dialami sebagian besar
klien isolasi sosial lebih dari 3 stresor yakni sebanyak 30 klien atau sebesar 75%
Klien isolasi sosial mengalami respon terhadap stresor baik secara kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku maupun sosial. Respon tersebut muncul karena klien memahami dan
berpengaruh terhadap situasi yang dialaminya. Respon yang paling banyak dialami oleh
klien isolasi sosial dalam penelitian ini adalah respon perilaku yaitu kontak mata yang
kurang atau tidak adanya kontak mata.
Kemampuan personal klien dengan isolasi sosial lebih banyak mampu berkenalan
dengan orang lain yaitu sebanyak 29 klien atau sebesar 72,5% namun klien isolasi sosial
lebih banyak tidak mampu mengungkapkan siapa orang terdekatnya, siapa orang yang
tinggal serumah dan pengalaman dalam interaksi bersama orang lain. Dukungan keluarga
sebagai care giver utama hanya didapatkan pada 20 keluarga dari klien, 18 keluarga tidak
mengetahui penyakit yang dialami keluarganya atau sebesar 90%.
Ketersediaan materi lebih banyak ditunjang oleh penghasilan keluarga yaitu
sebanyak 37 klien atau sebesar 92,5%. Jarak dalam menggunakan pelayanan kesehatan
baik ke Puskesmas maupun rumah sakit mudah dijangkau sebanyak 31 klien atau sebesar
77,5%. Pelayanan kesehatan yang dipiilih oleh klien dan keluarga adalah RS. Dr. Marzoeki
Mahdi Bogor sebanyak 35 klien atau sebesar 87,5%. Pembiayaan selama perawatan di
rumah sakit ditanggung oleh pemerintah melalui program jaminan kesehatan masyarakat
dan daerah sebanyak 36 klien atau 90%. Keyakinan positif bahwa diriya akan sembuh
dimiliki sebanyak 31 klien atau 77,5%, klien juga yakin dengan perawatan dan pengobatan
yang diberikan yaitu sebanyak 36 klien atau 90%.
Sesi 1: bersosialisasi dengan berkenalan dengan sikap tubuh yang baik, menjawab
pertanyaan dan bertanya untuk klarifikasi, dan sesi 2 : menjalin persahabatan tuntas
dilakukan pada 40 pasien. Sesi 3 : bekerja sama dalam kelompok hanya dapat dilakukan
pada 28 pasien. Sedangkan yang tuntas sampai sesi terakhir yakni sesi 4 : menghadapi
situasi yang sulit hanya 21 pasien.
Hal tersebut disebabkan oleh masa rawat klien yang dibatasihanya 41 hari
dimulai dari ruang perawatan pertama. Sedangkan klien masuk ke Ruang tenang tersebut
rata rata memiliki hari rawat ke 15-20 hari. Hal tersebut menjadi hambatan dalam
pelaksanaan terapi SST yang tidak bisa diselesaikan sampai selesai (67,5%). Oleh sebab
itu peneliti menyarankan untuk memulai SST pada klien yang sudah mendapatkan
tindakan generalis dan memiliki kemampuan sosialisasi sebelumnya dalam tingkat
generalis.
Pada tabel 6 distribusi evaluasi kemampuan klien dalam terapi SST tidak diukur
berdasarkan jumlah responden. Namun berdasarkan jumlah responden yang mampu
menunjukkan peningkatan kemampuan tiap sesi dari SST tersebut. Nilai selisih yang
ditampilkan adalah nilai selisih pasien yang mampu melalui tahap tiap sesi sesudah diberikan
terapi SST dikurangi jumlah pasien yang mampu melalui tahap sesi 1 sebelum pemberian terapi
SST. Oleh sebab itu jumlah tidak dapat ditotal menjadi 40, hal tersebut menandakan bahwa
tidak seluruhnya pasien isolasi sosial dapat mengalami peningkatan kemampuan interaksi
sosialnya melalui pelaksanaan tiap sesi.
Klien yang tidak mengalami peningkatan kemampuan interaksi sosial dapat dirujuk ke tim
medis dengan meninjau terapi medis yang diberikan dan juga penetapan diagnose medis
berdasarkan respons yang masih dimilki oleh klien. Sehingga dapat dirumuskan psikoterapi
yang cocok sebagai latihan ketrampilan selanjutnya yang akan dipimpin oleh perawat,
khususnya perawat spesialis jiwa di ruangan tersebut atau perawat lain yang berkompeten,
seperti supervisor yang bertanggung jawab di ruangan tersebut.
Peningkatan kemampuan interaksi sosial pada pasien isolasi sosial dapat terjadi akibat
hubungan atau interaksi yang baik antara perawat dengan klien. Sebelum terapi SST diberikan
klien mendapatkan terapi generalis terlebih dahulu baik secara individu maupun kelompok.
Melalui kerjasama dengan perawat ruangan dan mahasiswa yang praktek di ruang tenang
psikiatri di salah satu Rumah Sakit Jawa Barat. Penulis melakukan terapi SST pada 40 klien
isolasi sosial dengan syarat telah mendapatkan terapi generalis individu pada SP 2 dan terapi
kelompok TAKS padasesi1-2. Hal tersebut diantisipasi penulis agar klien tidak mengalami SST
yang tidak tuntas.
Kemampuan klien dalam berinteraksi sosial tidak terlepas dari proses belajar. Dalam
pelaksanaan SST klien diberi informasi dan cara belajar ketrampilan baru dalam bersosialisasi
(Callafel et al, 2014). Melalui pendekatan interpersonal relationship, tindakan keperawatan
dapat dengan mudah diaplikasikan pada tiap sesi pelaksanaan terapi SST. Klien isolasi social
membutuhkan hubungan antara perawat dan klien yang lebih dalam dan memiliki lingkungan
yang terapeutik (Williams B, 2015).
Kemampuan interaksi sosial klien isolasi sosial dapat terlihat dengan berkurangnya
kesendirian klien, kontak mata klien pada orang lain serta kemajuan klien dalam berinterksi
dengan orang lain. Berdasarkan hasil pelaksanaan tindakan keperawatan spesialis didapatkan
data bahwa terjadi penurunan tanda dan gejala baik kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan
sosial klien melalui SST. Hal ini juga tergambar dalam penelitian Kirana SAC, Keliat BA,
Mustikasari, (2015) yang mengalami penurunan tanda dan gejala isolasi sosial serta
peningkatan interaksi klien saat pelaksanaan SST dalam terapi CBSST Berdasarkan evaluasi
terhadap tindakan keperawatan SST pada klien dengan isolasi sosial ditemukan beberapa
hambatan antara lain tidak semua klien mengikuti secara tuntas pelaksanaan SST hal tersebut
disebabkan ada beberapa klien yang sudah diperbolehkan pulang dan dijemput keluarga untuk
melanjutkan pengobatan dipoliklinik.
KESIMPULAN
Karakteristik klien isolasi sosial dalam penelitian ini berdasarkan usia memiliki rerata usia
36 tahun, 34 klien berpendidikan rendah,38 klien tidak bekerja. Klien yang belum menikah 35
klien. Lama dirawat lebih banyak pada 1-2 bulan yaitu sebanyak 38 klien atau sebesar 95%.
Pelaksanaan SST pada 40 klien tidak dapat tuntas akibat lama rawat pasien yang tidak
dapat memanjang akibat peraturan pemerintah yang hanya merawat pasien 41 hari dengan
menggunakan fasilitas jaminan kesehatan pemerintah. Sedangkan pasien pindah ke ruangan
tenang minimal pada hari rawat 15-20 hari. Sehingga dibutuhkan tindakan keperawatan yang
konsisten dan teroganisir sesuai kondisi pasien agar tindakan keperawatan baik generalis
maupun spesialis dapat dilaksanakan dengan tuntas tanpa kendala waktu rawat pasien
Terdapat perubahan kemampuan interaksi sosial pasien isolasi sosial sebelum dan sesudah
pemberian Social Skills Therapy di tiap pelaksanaan sesinya. Sehingga psikoterapi ini dapat
direkomendasikan sebagai tindakan keperawatan dalam meningkatankan kemampuan interaksi
sosial pasien dengan isolasi sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Kirana, Sukma Ayu Candra , 2018. Gambaran Kemampuan Interaksi Sosial Pasien Isolasi
Sosial Setelah Pemberian Social Skills Therapy di Rumah Sakit
Rasmun. (2004). Stress Koping dan Adaptasi. Jakarta :CV.Sagung
Stuart, G.W & Sundeen. (2006). Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St. Louis:
Mosby.