Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Rekombinasi Pada Fag

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 17

BAB 13

KONJUGASI PADA BAKTERI

Konjugasi adalah suatu proses transfer informasi genetik satu arah yang
terjadi melalui kontak sel langsung antara suatu sel bakteri donor dan suatu sel
bakteri resipien. Dalam hal ini sel bakteri donor berkelamin jantan, sedangkan sel
resipien berkelamin betina. konjugasi juga dapat diartikan sebagai fusi temporer
dua organisme sel tunggal dalam rangka transfer seksual materi genetik.
Konjugasi memang merupakan satu peristiwa yang menyebabkan terjadinya
rekombinasi pada bakteri.

Tabel 13.1
Persamaan dan perbedaan rekombinasi yang terjadi melalui transformasi,

transduksi, dan konjugasi pada bakteri (Gardner, dkk., 1991).

Konjugasi pertama kali ditemukan oleh J. Lederberg dan E.L. Tatum pada
1946. Peristiwa konjugasi itu ditemukan pada E. coli. Lederberg dan Tatum
mempelajari dua strain E. coli yang berbeda kebutuhan nutrisinya, yaitu strain A
dan B. Strain A bergenotip met+, bio+ thr+,thi+. Sedangkan strain B bergenotip
met+, bio+, thr, leu, thi. Strain yang memiliki gen mutan membutuhkan tambahan
nutrisi terkait dalam medium pertumbuhannya agar dapat hidup; sedangkan strain
yang memiliki genetik wild-type tidak membutubkan tambahan nutrisı terkait
dalam medium pertumbuhannya. Strain yang membutuhkan tambahan nutrisi
dalam medium pertumbuhanya agar dapat hidup disebut auxotroph. Di lain pihak
suatu strain yang tergolong wild type untuk seluruh gen yang bersangkut paut
dengan kebutuhan nutrisi disebut prototroph.

Pada percobaan itu strain A dan B dicampur dan ditumbuhkan pada cawan
yang berisi medium minimal. Hal ini membuktikan bahwa koloni-koloni itu
mampu membuat/mensintesis sendiri nutrisi tertentu yang kurang atau bahkan
tidak tersedia dalam medium minimal. Peristiwa rekombinasi inilah yang
menyebabkan pada perlakuan campuran strain A dan B, sebagian sel auxotroph
berubah menjadi prototroph. Pada percobaan yang dilakukan oleh Lederberg dan
Tatum, laju perubahan sel auxotroph menjadi sel prototroph sebenarnya sangat
rendah, yaitu satu di dalam 10 juta atau 1/106.

Bahwa rekombinasi yang telah terjadi itu disebabkan karena konjugasi, hal
dibuktikan oleh Bernard Davis melalui percobaannya yang menggunakan suatu
perangkat tabung. Pada percobaan ini terbukti bahwa tidak ada satu koloni pun
yang tumbuh. Dapat disimpulkan bahwa kontak antar sel memang dibutuhkan
agar terjadi suatu perubahan genetik sebagaimana yang dilaporka Lederberg dan
Tatum. Perubahan genetik itu bukan terjadi karena sesuatu bahan yang
disekresikan oleh sel-sel bakteri sebelumnya. Pada E. coli mempunyai suatu tipe
sistem perkawinan yang disebut konjugas yang memungkinkan transfer materi
genetik antar bakteri. Konjugasi yang telah menyebabkan terjadinya rekombinasi
sebagaimana yansgdilaporkan Lederberg dan Tatum.

Gambar 13.2 Bagan percobaan tabung U Davis yang menunjukkan bahwa


kontak fisik antar kedus strain bakteri pada percobaan Lederberg dan Tatum
memang dibutuhkan agar terjadi pertukaran genetik (Klug dan Cummings, 2000).

Dewasa ini sudah umum diketahui bahwa selama konjugasi berlangsung


terjadi transfer DNA dari suatu sel donor ke sebuah sel resipien melewati suatu
penghubung antar sel khusus, yang disebut tabung konjugasi. Dalam hal ini
tabung konjugasi terbentuk antar sel-sel bakteri. Sel-sel bakteri yang
berkemampuan menjadi donor selama proses konjugasi, memiliki karakteristik
pembeda berupa adanya juluran tambahan (khusus) serupa rambut di permukaan
sel yang disebut sebagai F pili. Juluran khusus serupa rambut atau F pili disebut
juga sebagai sex pili.

Pembentukan F pili berada di bawah kontrol beberapa gen (sekitar


sembilan) yang terletak pada suatu molekul DNA sirkuler kecil yang disebut juga
sebagai kromosom. Kromosom mini tersebut disebut sebagai F (fertility) factor,
sex factor, ataupun plasmid F, dan berukuran panjang sekitar 94.500 pasang
nukleotida. Jumlah gen yang terletak pada F factor selengkapnya adalah sekitar 19
gen, termasuk 9 gen yang bertanggung jawab terhadap pembentukan F pili. Yang
memiliki suatu F factor akan membentuk tabung konjugasi menghubungkannya
dengan sel resipien, serta melakukan transfer DNA.

Di dalam sel bakteri, F factor atau faktor F dapat terintegrasi dengan


kromosom inang atau bebas tidak terintegrasi. Jika terintegrasi dengan kromosom
inang, maka faktor F itu bereplikasi bersama dengan bagian kromosom inang
yang lain. Di lain pihak jika bebas tidak terintegrasi, maka faktor F itu bereplikasi
secara otonom, tidak tergantung kepada replikasi kromosom inangnya. Dalam
hubungan ini faktor F mirip dengan episom.

Bakteri F+, F, dan Hfr

Suatu sel donor yang mengandung faktor F yang otonom tidak terintegrasi
disebut sebagai sel F+, sebaliknya sel yang tidak mengandung faktor F disebut sel
F- (sel resipien). Sel-sel F+ mempunyai kemampuan membentuk F pili maupun
tabung konjugasi serta akhirnya melakukan transfer materi genetik, sedang sel-sel
F- tidak memiliki kemampuan seperti tersebut. Oleh karena itu, jika suatu populasi
sel F+ dicampur dengan satu populasi sei-sel F- lambat laun pada generasi-
generasi berikutnya tidak lagi dijumpai populasi sel F- Seluruh sel turunan sudah
merupakan populasi sel F+.

Dewasa ini selain sel F+ dan sel F-, sudah umum diketahui adanya sel Hfr
(High frequency recombination). Pada mulanya sekalipun sudah terungkap bahwa
sel F- dapat berubah menjadi sel F+ akibat transfer materi genetik melalui
konjugasi, demikian pula sel auxotroph dapat berubah menjadi sel prototroph,
Berikut ini dikemukakan garis besar percobaan-percobaan itu.

Pada 1950, Cavalli-Sforza memberi perlakuan dengan mustard nitrogen


terhadap suatu strain F+ E. coli K12. Dari sel-sel yang mendapat perlakuan itu,
diperoleh suatu strain bakteri donor yang mempunyai laju atau frekuensi
rekombinasi yang sangat tinggi, yaitu satu di dalam 10 juta (1/104), atau 1000 kali
lebih tinggi dibanding laju atau frekuensi rekombinasi pada strain F+ yang
dilaporkan mula-mula. Pada 1953, W Hayes mengisolasi strain lain yang juga
memperlihatkan laju atau frekuensi rekombinasi yang serupa (Sangat tinggi).
Strain-strain yang memiliki laju atau frekuens rekombinasi yang sangat tinggi ini
disebut sebagai strain Hfr (High-frequency recombination), dapat dinyatakan pula
bahwa sebenarnya strain Hfr merupakan Suatu strain F+ khusus.

Dari pengkajian lebih lanjut terungkap bahwa strain-strain Hfr terbentuk


melalui suatu peristiwa pindah silang tunggal yang berdampak terintegrasinya
faktor F ke dalam kromosom bakteri. Pada saat ini sel Hfr adalah yang memiliki-
faktor F yang berintegrasi dengan kromosomnya. Dalam keadaan terintegrasi
dengan kromosom inang, faktor F tidak bereplikasi secara bebas, tetapi justru
bereplikasi bersama bagian-bagian kromosom inang yang lain. Oleh karena gen-
gen faktor F yang terintegrasi itu masih fungsional, maka sel-sel Hfr juga dapat
berkonjugasi dengan sel-sel F-. Pada saat proses konjugasi berlangsung, peristiwa-
peristiwa yang serupa pada konjugasi F+ X F- juga terjadi. Faktor F yang
terintegrasi terputus pada salah satu dari kedua unting DNAnya dan mulailah
berlangsung replikasi. Selama replikasi, bagian dari faktor F pertama kali
bergerak pindah ke dalam sel resipien. Beberapa waktu kemudian kromosom
bakteri donor juga mulai ditransfer ke dalam sel resipien dan terjadilah
rekombinasi. Proses rekombinasi yang terjadi, berlangsung melalui peristiwa
pindah silang ganda antara DNA donor unting ganda (yang sudah memasuki sel
resipien) dan DNA resipien unting ganda pula (mekanisme ini serupa dengan yang
terjadi pada transformasi). Dalam hal ini kromosom rekombinan sel resipien
diwariskan kepada sel-sel turunan melalui replikasi, sedangkan fragmen DNA
linear yang tersisa mengalami degradasi.
Pada konjugasi antara sel Hfr dan sel F-, sel resipien hampir tidak pernah
berubah menjadi sel F+, hal itu bersangkut paut dengan keutuhan faktor F yang
ditransfer. Hal ini supaya sel resipien menjadi sel +, sel resipien tersebut harus
menerima transfer faktor F utuh. Namun hanya sebagian faktor F ditransfer pada
awal proses konjugasi sedangkan bagian sisanya berada pada ujung kromosom
donor.

Transfer genetik selama proses konjugasi bersangkut paut dengan repliaksi


yang didahului oleh terputusnya salah satu unting DNA faktor F. Transfer materi
genetik dimulai dengan faktor F pada suatu celah yang terbentuk enzim
endonuklease. Celah itu terbentuk pada suatu tapak spesifik. Replikasi yang
terjadi berkaitan dengan transfer materi genetik selama proses konjugasi itu
diyakini sebagai rolling circle replication.

Faktor F1

Terlepasnya faktor F dari kromosom inang terkadang tidak sesuai dengan


ukurannya saat terintegrasi sehingga faktor F yang terlepas itu dapat mengandung
sebagian kecil kromosom inang yang letaknya berdekatan dengan faktor F di saat
berlangsungnya integrasi. Kejadian tersebut penyebab terjadinya F1 atau F prime.
Faktor F1 merupakan faktor F yang mengandung sebagian kromosom bakteri atau
yang mengandung gen-gen bakteri. Sel yang memiliki faktor F1 masih tetap dapat
berkonjugasi dengan sel F. Hal itu disebabkan seluruh fungsi faktor F tetap ada.
Pada saat berlangsungnya konjugasi, satu salinan faktor F1 ditransfer ke sel F-
yang mengakibatkan secara fenotip sel itu menjadi sel F+. Terdapat fenomena sex
duction atau f duction, yaitu transfer gen-gen kromosom dari suatu sel bakteri
donor ke sebuah sel resipien oleh faktor F.

Pada saat berlangsungnya konjugasi, suatu Salinan F1 ditrasfer ke sel F


yang mengakibatkan secara fenotip sel itu menjadi F plus. Selain itu sel resipien
juga menerima suatu Salinan gen bakteri yang ikut terbawa oleh faktor F. oleh
karena itu sel resipien dapat berubah menjadi sel yang diploid parsial jika setelah
menerima gen bakteri ternyata memiliki dua Salinan dari satu atau beberapa gen
lain yang memiliki sel resipien itu tetap berupa satu Salinan.
Percobaan Konjugasi yang Terputus dari E. Wollman dan F. Jacob

Pada akhir tahun 19350, E. Wollman dan F. Jacob mempelajari suatu


proses transfer gen melalui konjugasi antara strain E. coli Hfr H dan F-. Pada
strain bakteri yang digunakan masing-masing tidak memiliki genotip yang
bertanggung jawab terhadap sintesis asam amino tertentu. Kedua strain tersebut
dibiakkan pada medium yang mengandung antibiotik streptomisin. Setelah
beberapa waktu, kedua strain yang telah dicampurkan pada medium mulai
melakukan konjugasi, sampel-sampel tersbeut dipisahkan untuk menentukan
waktu relatif yang dibutuhkan gen-gen sel donor memasuki resipien serta
menghasilkan rekombinan genetik. Kemudian sel-sel yang terpisah diletakkan
pada medium yang mengandung antibiotik streptomisisn dan tidak
mengandungasam amino threonin dan leusin. Hasilnya sel-sel Hfr tidak dapat
tumbuh karena mati terbunuh oleh antibiotik. Sedangkan sel-sel F- tidak dapat
hidup karena tidak ada asam amino yang dapat mendukung pertumbuhannya. Sel-
sel yang dapat tumbuh hanyalah sel-sel rekombinan. Hasil percoban menunjukkan
bahwa pada waktu 8 menit pertama setelah percampuran sel Hfr dan F- belum ada
ekspresi rekombinan.

Pemetaan Kromosom E. coli atas Dasar Hasil Percobaan Konjugasi Terputus

Data tentang transfer gen-gen penanda pada percobaan konjugasi terputus


seperti yang telah dikemukakan memperlihatkan bahwa transfer kromosom Hfr ke
dalam sel F berlangsung dalam pola linear. Dalam hal ini tiap gen penanda dalam
ujud tipe-tipe rekombinan terdeteksi pada waktu-waktu yang berlainan susul-
menyusul setelah proses konjugasi berlangsung. Telah diketahui juga bahwa
transfer sebuah kromosom lengkap dari suatu sel Hfr ke satu sel F- berlangsung
dalam waktu 90-100 menit, tergantung kepada macam strain yang digunakan
sebagai strain Hfr maupun F. Interval waktu kemunculan tipe rekombinan antara
sesuatu gen penanda dengan yang lainnya kemudian dapat digunakan sebagai
suatu ukuran jarak genetik. Data percobaan konjugasi terputus memang
menunjukkan bahwa transfer kromosom tampaknya berlangsung dalam laju yang
konstan. Jelaslah interval- interval waktu yang terekam sungguh-sungguh dapat
digunakan untuk memperkirakan jarak fisik antara gen-gen penanda pada
kromosom (E coli). Satuan yang digunakan untuk mengukur interval waktu
munculnya rekombinan adalah menit dari 0 menit ke 100 menit dan hal yang
diukur adalah panjang segmen kromosom yang ditransfer dalam satu menit pada
saat konjugasi.

Urutan gen-gen yang akan masuk atau ditranfer oleh pendonor ke resipien
ditentukan oleh strain pendonor dalam hal ini Hfr yang digunakan sehingga peta
genetik yang dihasilkan akan berbeda-beda untuk tiap strain dan juga dipengaruhi
oleh titil awal masuknya gen. Contohnya pada strain E.coli yang diberi penanda O
yang merupakan awal dan pada percobaan ditemukan bahwa faktor F dari Hfr
berintegrasi ke dalam kromosom pada titik-titik yang berbeda sehingga dapat
dinyatakan bahwa posisi faktor F menentukan titik awal transfer, hal ini dapat
dibuktikan dengan gen yang dekat dengan O akan ditransfer pertama kali dan
faktor F ditransfer terakhir, dan proses ini (konjugasi) sering terganggu sehingga
proses transfer tidak sempurna dan pada transfer Hfr ke F- , sel resipen tetap F-

Pemetaan Kromosom E coli atas dasar Percobaan Konjugasi yang Tidak


Terputus

Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan cara pemetaan kromoson E


coli yang memanfaatkan percobaan konjugasi yang terputus-putus. Pada
percobaan ini konjugasi dibiarkan berlangsung selama 1-2 jam tanpa terputus.
Pada saat rekombinasi thr+ leu+ str+ diseleksi dan dihitung. Hasil percobaan
memperlihatkan frekuensi yang berbeda-beda untuk tiap penanda rekombinan.
Dalam hal ini frekuensi penanda rekombinan menurun sebagai suatu fungsi
jaraknya dari penanda rekombinan patokan thr+ leu+; semakin jauh jaraknya dari
penanda patokan thr+ leu+, frekuensi tiap penanda rekombinan lain juga
berkurang. Pada kenyataannya frekuensi tiap penanda rekombinan lain (azi ton
lac+ gal+), identik dengan gambaran frekuensi penanda-penanda itu, yang
terungkap pada percobaan konjugasi terputus. Frekuensi penanda-penanda
rekombinan lain (azi ton lac+ gal+) masing-masingnya adalah 90 %, 80 % , 40 %
dan 25 %.
Bahwa frekuensi penanda-penanda rekombinan lain itu semakin berkurang
setiap kali jaraknya dari penanda patokan thr+ leu+ makin jauh, hal itu
bersangkutan dengan dua sebab yaitu, pertama putusnya tabung konjugasi
maupun kromosom persatuan waktu mempunyai peluang yang hampir tetap, dan
kedua tiap dua penanda donor diintegrasikan ke dalam kromosom resipien melalui
sepasang kejadian rekombinasi mempunyai peluang yang rendah, karena integrasi
suatu fragmen donor ke dalam sebuah kromosom resipien selalu membutuhkan
dua kejadian rekombinasi. Jika sesuatu mutan baru (pada E. coli) hendak
diidentifikasi, biasanya pertama kali orang memanfaatkan percobaan konjugasi
terputus untuk menaksir lokasinya, lokasi pasti mutan tersebut biasanya kemudian
ditentukan melalui pemetann yang memanfaatkan transduksi.

BAB 14
REKOMBINASI PADA FAG BAKTERI

Rekombinasi Intergenik dan Pemetaan Fag Bakteri

Rekombinasi genetik di kalangan fag bakteri ditemukan selama


percobaan-percobaan infeksi campuran. Pada percobaaan infeksi campuran itu
dua strain mutan dibiarkan menginfeksi satu biakan bakteri yang sama secara
simultan. Oleh karena pada percobaan ini dilibatkan dua lokus (dua strain yang
berbeda) maka rekombinasi yang terjadi tergolong bersifat intergenik.
Pada percobaan yang menggunakan sistem E. coli T2, fag induk yang
digunakan bergenotip h+r (rentang inang wild type, lisis tepat) dan hr+ (rentang
inang lebar, lisis normal). Percobaan itu dilakukan oleh Hersley dan Rotman pada
1949. Sebenarnya pada percobaan itu digunakan pula strain-strain induk fag T2
yang lain, tidak tebatas hanya yang bergenotip h+r dan hr+. Pada rangkaian
percobaan itu, jumlah fag yang diintroduksi cukup untuk menginfeksi tiap bakteri
dengan jumlah sekitar lima buah. Setelah satu jam, sebagian besar atau seluruh
bakteri sudah pecah dan sampel turunan fag yang berasal dari sekitar 40.000
bakteri di tiap persilangan selanjutnya dibiakkan dalam cawan petri yang telah
mengandung suatu campuran E. coli dan strain B dan B/2. Jika pada percobaan
tersebut tidak terjadi rekombinasi maka kedua genotip induk inilah yang dijumpai
pada genotip turunan. Namun demikian ternyata pada percobaan itu ditemukan
juga genotip rekombinan hr+, dan hr disamping genotip-genotip induk.

Data frekuensi genotip hasil percobaan tersebut ditunjukkan pada table


14.1. Atas dasar frekuensi tersebut, selanjutnya dihitung persentase rekombinan.
Dalam hal ini, seperti di lingkungan eukariotik, perhitungan frekuensi (persentase)
rekombinan di hitung atas dasar rumus seperti berikut.

(h+r -) + (hr) / plak total x 100 = frekuensi rekombinan

Nilai frekuensi rekombinan itu merefleksikan jarak antara gen

Table 14.1
Percobaan rekombinasi fag bakteri T2 memanfaatkan infeksi simultan h+r dan hr
Frekuensi Frekuensi (%) turunan
Genotip
(%) plak Tipe Induk Tipe Rekombinan

h r- 42
76
h+ r 34

h+r - 12
24
hr 12

Table 14.2
Data frekuensi rekombinasi selengkapnya hasil percobaan Hersley dan Chase
yang memanfaatkan infeksi simultan fag T2
Persilangan Turunan, Persentase

h+ r + h r+ h+r hr

hrl+ >< h-rl 12 42 34 12


hrl >< h-rl- 44 14 13 29

hr7+ >< h-r7 5.9 56 32 6.4

hr7 >< h-r7+ 42 7.8 7.1 43

hrl3+ >< h-rl3 0.74 59 39 0.94

hrl3 >< h+rl3- 50 0.83 0.76 48

Data yang terlihat pada table 14.2 jelas memperlihatkan bahwa pada tiap
persilangan itu, kedua kelompok tipe rekombinan mempunyai frekuensi yang
hampir sama. Itulah alasannya bahwa tampaknya rekombinasi yang terjadi itu
bersifat resiprok. Selain itu data pada table 14.2 itu juga memperlihatkan adanya
pola kelompok pautan tertentu. Sebagai contoh misalnya frekuensi rekombinasi
pada pesilangan h-rl3 sebesar antara 25-30% di satu pihak, dan pada persilangan
h-rl sebesar 1-2% di pihak lain. Dalam hubungan ini mutan-mutan r yang terletak
di daerah kromosom fag yang berbeda diberi notasi tersendiri misalnya r1, r7, dan
sebagainya.
Berkenaan dengan adanya kelompok pautan tertentu seperti yang telah
dikemukakan, atas dasar percobaan-percobaan yang telah dilakukan, Hersley dan
Rotman menemukan bahwa, mengacu kepada frekuensi rekombinan yang kecil
banyak gen yang terangkai bersama (berdekatan) sebagai satu kelompok, selalu
menunjukkan jarak kelompok pautan yang sama sebesar 30% (Strickberger,
1985). Dalam hubungan ini Hersley mengajukan hipotesis yang menyatakan
bahwa ada tiga kelompok pautan pada fag T2, dinyatakan pula bahwa proses
penggabungan (kombinasi) secara bebas (Independent assortment) antara
kelompok-kelompok pautan itu ditandai oleh frekuensi rekombinasi sekitar 30%,
dan bukan sebesar 50% sebagaimana yang biasanya diharapkan pada makhluk
hidup yang lebih tinggi. Atas dasar percobaan-percobaan yang dilakukan Hersley
dan Rotman (yang menggunakan strain-strain fag T2) memang terungkap bahwa,
sekalipun ditemukan berbagai jarak pautan (frekuensi rekombinasi), tidak ada satu
pun yang pernah melampaui frekuensi 30%.
Percobaan rekombinasi yang memanfaatkan infeksi simultan seperti
tersebut sudah dilakukan dengan menggunakan sejumlah besar gen muatan
berbagai fag bekteri, tidak hanya terbatas pada fag T2. Dalam hubungan ini
dilakukan juga percobaan rekombinasi fag bakteri yang memanfaatkan infeksi
simultan tiga strain yang melibatkan tiga gen. Hasil percobaan yang yang
memanfaatkan infeksi simultan tiga strain itu bahkan digunakan untuk pemetaan
gen fag. Hersley dan Chase sudah melakukan upaya itu, dengan menggunakan
tiga strain fag T2 (Strickberger, 1985). Tiap strain tersebut melibatkan gen h, m,
dan r. hasil percobaan itu ditunjukkan pada table 14.3.

Table 14.3
Hasil percobaan rekombinasi fag bakteri T2 memanfaatkan infeksi simultan tiga
strain yang masing-masingnya melibatkan tigan gen (Strickberger, 1985).

Turunan

Persilangan h+m+r
+
h+m+r hm+r+ h+mr+ hm+r hmr+ h+mr Hmr

hm+rl+>< 25 22 17 12 9 5 7 2

h+mrl+>< h+m+rl 25 15 18 20 4 10 5 3

hmrl+ >< h+mrl 3 5 6 10 17 19 14 26

>< hm+rl 2 4 9 9 14 26 15 20

Kejadian rekombinasi yang datanya terlihat pada table 14.3 hanya dapat
terjadi karena ada pertukaran genetic antara ketiga strain; pertukaran genetic itu
berlangsung melalui dua aternatif cara: 1) terjadi dua rekombinasi berurutan
dalam sel yang sama, rekombinasi pertama berlangsung antara kromosom dua
strain, sedangkan rekombinasi kedua berlangsung antara strain rekombinan yang
telah terbentuk dan strain ketiga, 2) terjadi “perkawinan serempak” antara ketiga
kromosom dan ketiga strain pada suatu waktu yang sama. Di antara keduanya,
yang sesungguhnya terjadi belum diketahui.

Kejadian unik yang menyebabkan terjadinya rekombinasi pada fag juga


berdampak pada nilai interferensi genetik, yang bersangkut paut dengan
perhitungan frekuensi rekombinasi pada daerah kromosom fag yang berdekatan.
Pada kebanyakan makhluk hidup, nilai interferensi genetik positif (akibat nilai
kofisien koinsidensi kurang dari 1) yang berarti bahwa peristiwa pindah silang
yang terjadi pada suatu daerah kromosom akan menghambat pindah silang pada
suatu daerah kromosom di dekatnya. Pada kondisi semacam ini nilai frekuensi
rekombinasi ganda lebih rendah dibandingkan dengan nilai harapan.
Pada banyak persilangan antara fag, di lain pihak nilai, interferensi genetic
justru negatif, akibat nilai koefesien koinsidensi lebih besar dari 1. Hal itu berarti
bahwa pindah silang pada suatu daerah kromosom akan meningkatkan kejadian
pindah silang pada daerah kromosom di dekatnya. Pada kondisi semacam ini nilai
frekuensi rekombinasi ganda (akibat pindah silang ganda) lebih tinggi
dibandingkan nilai harapan. Mari kita perhatikan nilai suatu persilangan tiga gen
(factor) antara strain-strain fag λ yang dilakukan oleh Kaiser (Strickberger, 1985).
Hasil persilang tifa factor tersebut ditunjukkan pada table 14.4.
Table 14.4
Hasil persilangan tiga factor Kaizer antara strain-strain mutan fag λ s + mi >< +
co1+ ( Strickberger, 1985)

Jumlah Total Turunan Persentase

+++ s co mi s ++ + co mi s co + ++ mi s + mi + co +
12324
0,31 0,19 2,21 2,58 0,91 0,98 51,84 40,98

Catatan:
Jarak antar factor:
s – co = 0,31 + 0,19 + 0,19 + 0,98 + 2,39
co – mi = 0,31 + 0,19 + 2,21 + 2,58 = 5,29
s – mi = (2,21 + 2,58 + 0,91) + 2 (frekuensi rekombinasi ganda)
= 6,68 + 2 (0,50) = 7,78
Data pada Tabel diatas memperlihatkan bahwa frekuensi rekombinasi
ganda harapan adalah 0,0239 X 0,0529 = 0,00126 atau 0,126%. Di lain pihak
frekuensi rekombinasi ganda hasil observasi adalah sebesar 0,005 atau 0,5% atau
sekitar 4 kali lebih tinggi dibanding frekuensi harapan.
Nilai interfensi genetic yang negative pada fag bersangkutan paut dengan
dua keunikan reproduksi kromosom fag. Dikarenakan lebih dari satu putaran
“perkawinan” dapat terjadi antara kromosom-kromosom fag. Dalam hal ini satu
kromosom yang sebelumnya telah mengalami satu kejadian rekombinasi dapat
“kawin lagi” dan dapat mengalami rekombinasi pada suatu daerah (interfal)
kromosom yang berdekatan. Sebagai contoh suatu kromosom rekombinasi ab+c+
dapat “kawin” dengan suatu kromosom a b c atau a+bc sehingga terbentuk
rekombinasi ganda ab+c.
Peningkatan frekuensi rekombinasi ganda pada fag seperti yang telah
dikemukakan tidak terjadi karena ada peningkatan pertukaran genetic simultan
yang riil pada dua interval kromosom berdekatan. Fenomena ini disebut
interferensi negative rendah atau low negative interference karena mempunyai
efek yang relative kecil.
Berkenaan dengan peningkatan frekuensi rekombinasi ganda pada fag, ada
fenomena lain disebut interferensi negative tinggi atau high negative interference.
Pada fenomena ini frekuensi rekombinasi ganda dapat meningkat mencapai nilai
yang 30 kali lebih tinggi daripada frekuensi harapan. Salah satu contoh yang
berkenaan dengan fenomena ini adalah data yang terungkap pada persilangan tiga
gen (titik) atau three-point crosses yang dilakukan Chase dan Doermann.
Persilangan itu dilakukan antara mutan r pada fag T4, dan frekuensi rekombinasi
ganda yang terungkap sebesar 5-35 kali lebih tinggi daripada frekuensi harapan.
Data persilangan Chase dan Daermann memperlihatkan bahwa, jika frekuensi
rekombinasi pada dua interval kromosom yang berdekatan menjadi lebih kecil
maka terjadi peningkatan interferensi negative yang menyolok.

REKOMBINASI INTRAGENIK
Rekombinasi intragenik juga ditemukan pada fag yaitu pada fag T. Awal
dekade 1950, Benzer melakukan pengamatan dan pengkajian rinci terhadap lokus
rII fag T4. Benzer berhasil melaksanakan percobaan yang mengungkap
keberadaan rekombinan-rekombinan genetic yang sangat jarang terjadi akibat
pertukaran yang berlangsung dalam gen, bukan antar gen. Benzer juga berhasil
menunjukkan bahwa peristiwa rekombinasi semacam itu terjadi antar DNA fag-
fag bakteri selama infeksi simultan terhadap E. coli. Hasil akhir Benzer adalah
terungkapnya peta rinci dari lokus rII
Benzer mengisolasi atas sejumlah mutan didalam lokus rII fag T4. Dalam
hal ini mutan dalam lokus tersebut menghasilkan plak yang berlainan jika
dibiarkan pada cawan yang mengandung E.coli strain B. Sebanyak 20000 mutan
di dalam lokus rII fag T4 telah berhasil diisolasi. Kunci analisis bahwa mutan
tersebut tidak dapat lisis secara berhasil terhadap strain E.coli yang lain yaitu
seperti K12 (λ) yang telah mengalami lizogenasi oleh fag λ. Tetapi strain wild
type mampu melakukan lisis pada kedua strain tersebut yaitu pada strain B dan
K12 (λ). Berdasarkan hal tersebut lokus rII yang menghasilkan wild type maka
rekombinan wild type tersebut dapat hidup dalam sel E.coli K12 (λ) dan berhasil
bereproduksi serta menghasilkan plak wild type sedang mutan rekombinasi tidak
mampu.

Upaya lain yang dilakukan Benzer yaitu menghitung jumlah total turunan
mutan maupun jumlah rekombinan wild type. Teknik yang dilakukan yaitu teknik
pengenceran serial T4 dan dengan teknik ini mampu menentukan mutan lokus rII
yang dihasilkan pada E. coli B maupun total wild type yang melakukan lisis
terhadap E.coli K12 (λ). Selain itu juga melakukan uji komplementasi untuk
menjaga ketelitian data/hasil. Bilamana banyak pasangan mutan yang diuji
komplementasi maka setiap mutan dikelompokkan dalam satu dari dua kelompok
yang bisa disebut A dan B. tiap kelonpok ini disebut sebagai cistron yaitu cistron
A dan cistron B pada lokus rII fag T4.dengan pengujian ini menunjukkan bahwa
rekombinasi intragenik dalam cistron A dan cistron B. total jumlah turunan fag
juga dapat dilakukan dengan menghitung jumlah plak. Contohnya: jumlah
rekombinan adalah sebanyak 4 x 10 3/ml sedangkan total jumlah turunan adalah 8
x 109/ml, maka frekuensi rekombinan antara dua mutan adalah

4 𝑥 103
2( ) 2 (0,5 𝑥 10−6 ) = 10−6 = 0,000001 = 0,0001%
8 𝑥 109

Perhitungan ini sama dengan menghitung rekombinan pada makhluk hidup


eukariot. Pada perhitungan ini perlu dikali dua karena tiap peristiwa rekombinan
menghasilakn dua produk yang resiprok.

Ada permasalahan yang muncul disaat percobaan rekombinan intragenik


pada cistron A maupun B pada lokus rII fag T4 yang sama sekali tidak
memunculkan rekombinan wild type, hal ini disebabkan karena pada daerah
cistron A dan B terjadi delesi dan rekombinan wild type mucul hanya pada mutan
yang mempunyai latar belakang mutasi titik. Jika mutan berlatar mutasi titik ada
pada daerah cistron yang mengalami delesi maka rekombinan wild type tidak akan
pernah muncul sehingga perlu dilakukan uji delesi.

Question and answer

1. Bagaimana terjadinya F1 atau F prime ?


Jawaban : Terlepasnya faktor F dari kromosom inang terkadang tidak
sesuai dengan ukurannya saat terintegrasi sehingga faktor F yang terlepas
itu dapat mengandung sebagian kecil kromosom inang yang letaknya
berdekatan dengan faktor F di saat berlangsungnya integrasi. Kejadian
tersebut penyebab terjadinya F1 atau F prime.
2. Bagaimanakah terjadinya peristiwa rekombinasi pada percobaan Ledberg
dan Tatum?
Jawaban : Peristiwa rekombinasi pada E. coli dipandang sebagai kejadian
pertukaran genetik. Peristiwa tersebut terjadi ketika Ledberg dan Tatum
melakukan mencampur strain A dan B dan ditumbuhkan bersama pada
medium minimal dan beberapa koloni bisa tumbuh. Sehingga pada
campuran strain A dan B sebagai auxotroph berubah menjadi prototroph
atau bakteri yang tidak membutuhkan nutrisi tambahan dalam mediumnya
dan dapat tumbuh pada medium minimal. Bahwa peristiwa rekombinasi
disebabkan konjugasi telah dibuktikan oleh percobaan Bernard Davis
dengan menggunakan suatu perangkat tabung U. Percobaan ini
menjelaskan bahwa ketika tidak terjadi kontak antar sel bekteri maka
koloni bakteri tidak akan tumbuh pada medium yang minimal.
disimpulkan bahwa pada E. coli mempunyai suatu tipe sistem perkawinan
yang disebut konjugasi yang memungkinkan terjadinya transfer materi
genetik antar bakteri. Konjugasi inilah yang menyebabkan terjadinya
rekombinasi seperti yang telah dilaporkan Lederberg dan Tatum.
RESUME

KONJUGASI PADA BAKTERI DAN REKOMBINASI PADA FAG BAKTERI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Genetika II yang dibimbing oleh


Ibu Prof. Dr. Hj. Siti Zubaidah, M.Pd dan bapak Deny Setiawan, M.Pd

Oleh:
Kelompok 2/Off B
S1 Pendidikan Biologi
Binazir Tuza Qiyah Ma’rufah 170341615065
Nida Layli Asfia 170341615020

UNIVERSITAS NEGERI MALANG

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

JURUSAN BIOLOGI

Oktober 2019

Anda mungkin juga menyukai