Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 56

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ikan tuna (Thunnus sp.) merupakan salah satu komoditas

perikanan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan mampu

menembus pasar internasional. Potensi ikan tuna di perairan Indonesia

masih cukup besar. Hal ini ditunjukkan dengan kenaikan volume produksi

ikan tuna pada tahun 2007 mencapai 191.558 ton. Volume produksi ikan

tuna ini naik 20,17% bila dibandingkan dengan volume produksi ikan tuna

pada tahun 2006 (DKP 2008a). Volume ekspor ikan tuna, cakalang, dan

tongkol pada tahun 2007 mencapai 121.316 ton atau naik 32,12% bila

dibandingkan dengan volume ekspor ikan tuna, cakalang, dan tongkol

pada tahun 2006 (DKP 2008b) dan meningkat sebesar 203.269 ton pada

tahun 2009 dan 207.100 ton pada tahun 2010 (KKP 2010). Produksi tuna

Indonesia yang besar dan memiliki pasar yang besar masih menemui

beberapa kendala dalam perdagangan. Kasus penolakan terjadi pada

produk tuna Indonesia di negara importir diakibatkan oleh permasalahan

kemanan pangan, terutama oleh kadar histamin yang melampaui batas.

Food and Drugs Administration Amerika Serikat (US-FDA) melaporkan

terdapat 8 kasus penolakan tuna Indonesia pada tahun 2009 akibat kadar
histamin yang melebihi ambang batas keamanan pangan (FDA 2010).

Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Uni Eropa pada tahun

2007 mencatat terdapat 22 kasus impor tuna Indonesia yang

mengandung histamin melebihi batas keamanan pangan (EC 2007) dan

sebanyak 7 kasus penolakan tuna Indonesia sepanjang tahun 2010 akibat

kesalahan penanganan dan kadar histamin yang melebihi batas (EC

2011). Histamin terbentuk karena adanya kesalahan selama proses

penanganan dan pengolahan. Jika pada saat penangkapan tidak

ditangani dengan tepat maka histidin yang terkandung pada ikan jenis

scombroid tersebut dapat diubah menjadi senyawa toksik yang disebut

dengan histamin (Dalgaard 2008). Keracunan histamin ditandai dengan

adanya gejala klinis seperti peradangan kulit, mual, muntah, diare, kram

perut, tekanan darah rendah, sakit kepala, kesemutan, dan gangguan

pernapasan. Gejala yang paling terlihat adalah munculnya tanda.

kemerahan pada wajah dan leher yang menyebabkan rasa panas

yang tidak nyaman (New Zealand Ministry of Health 2001). Penanganan

adalah faktor kunci untuk menghambat terbentuknya histamin pada tuna.

Histamin umumnya dibentuk pada temperatur tinggi (>20°C). Pendinginan

dan pembekuan yang cepat segera setelah ikan mati merupakan tindakan

yang sangat penting dalam upaya mencegah pembentukan histamin

(Taylor dan Alasalvar 2002). Hasil penelitian menunjukkan bahwa


pembentukan histamin akan terhambat pada suhu 0 °C atau lebih rendah

(Price et al. 1991). Uni Eropa melalui European Comission (EC)

menentukan bahwa suhu lebur es (melting ice), yakni (0-1) °C merupakan

suhu yang tepat dalam penanganan tuna (EC 2004), sedangkan Food

And Drug Administration (FDA) menetapkan batas kritis suhu untuk

perkembangan histamin pada tubuh ikan yaitu 4,4 °C (FDA 2001).

Industri tuna Indonesia menerapkan penanganan tuna dengan suhu

rendah untuk mencegah terbentuknya histamin. Suhu rendah menuntut

pengeluaran biaya yang tidak sedikit, khususnya di negara dengan iklim

tropis seperti Indonesia yang mempunyai suhu ruang yang lebih tinggi

dibandingkan negara dengan iklim sub tropis, sedang, atau dingin. Biaya

penurunan suhu yang mahal mengakibatkan timbulnya resiko suhu

penanganan tuna yang tidak tepat sehingga kadar histamin produk tuna

Indonesia melebihi batas. Oleh karena itu, diperlukan penelitian untuk

menganalisis suhu penanganan tuna yang optimal di Indonesia yang

berkorelasi dengan kadar histamin yang terbentuk.


B. Maksud Dan Tujuan

Maksud penyelenggaraan kegiatan PKL adalah:

1. Sebagai wujud relevansi antara teori yang di dapatkan selama

perkuliahan dengan praktek yang di alami pada dunia kerja atau di

lapangan ,baik pada instansi pemerintah maupun swasta.

2. Sebagai media untuk meningkatkan pemahaman pengetahuan sikap

dan keterampilan mahasiswa agar mampu mengamati,mengkaji dan

menilai aplikasi dan teori pada kenyataan yang terjadi di lapangan.

3. Sebagai media untuk meningkatkan kualitas manajerial mahasiswa

dalam mengamati dan menyelesaikan permasalahan ,baik dalam

bentuk teori maupun kenyataan yang terjadi di lapangan ,khususnya

pada lokasi PKL mahasiswa.

4. Sebagai media pembelajaran bagi mahasiswa memasuki pasar

kerja.

Tujuan penyelenggaraan PKL di arahkan pada berbagai pihak sebagai

berikut:

1. Bagi Mahasiswa:

a. Meningkatkan wawasan keilmuan yang sudah di dapatkan selama

perkuliahan dan dapat menambah keterampilan baru terkait bidang

ilmu yang di minati oleh mahasiswa.


b. Melatih mahasiswa agar mampu beradaptasi dengan dunia kerja

serta berinteraksi dengan lingkungan sosial di lokasi pelaksanaan

PKL.

c. Mendapatkan gagasan asli dari lapangan (tempat PKL) yang dapat

di tindak lanjuti dalam bentuk penelitian atau karya ilmiah lainnya.

d. Mahasiswa dapat mengetahui berbagai pengujian mutu hasil

perikanan selama melakukan kegiatan PKL di laboratorium

pengujian kimia khususnya pada pengujian penentuan kadar

histamin pada Ikan Tuna di Balai Penerapan Mutu Produk

Perikanan Makassar.

2. Bagi lokasi pelaksanaan PKL:

a. Menjadi bahan masukan ,baik yang berupa saran maupun gagasan

dari mahasiswa yang mungkin dapat bermanfaat bagi

pengembangan kinerja di lokasi PKL

b. Dapat menentukan masukan kriteria kualitas sumberdaya manusia

yang di butuhkan instansi pemerintah atau swasta

c. Terjadi hubungan kerjasama dengan mahasiswa dan institusi

perguruan tinggi

3. Bagi perguruan tinggi:

a. Meningkatkan kesesuaian kurikulum perguruan tinggi dengan

tuntutan dunia kerja


b. Mendapatkan informasi terkait dengan peluang kerja dan

kompetensi yang di butuhkan

c. Menambah jaringan kemitraan dalam rangka mendukung tri

dharma perguruan tinggi

C. Sasaran

Adapun sasaran penyelenggaraan kegiatan PKL adalah:

1. Meningkatnya pengetahuan ,sikap,dan keterampilan mahasiswa

dalam mengkaji ,merumuskan dan memecahkan masalah masalah

yang terkait dengan permasalahan yang di temukan di tempat PKL.

2. Meningkatnya kesesuaian kurikulum perguruan tinggi dengan tuntutan

dunia kerja berdasarkan umpan balik hasil interaksi mahasiswa di

lokasi PKL.

3. Meningkatnya komitmen ,kepedulian,dan kerjasama perguruan tinggi

dengan pemerintah maupun swasta serta pemangku kepentingan

lainnya dalam meningkatkan keilmuan di bidang perikanan dan

kelautan.

D. Metodologi

1. Waktu dan Tempat.

Kegiatan praktek kerja lapang (PKL) dilaksanakan selama 1 bulan.

Mulai dari 16 September sampai 17 Oktober 2019 yang bertempat di Balai


Penerapan Mutu Produk Perikanan (BPMPP) Makassar, Jl.Prof.Ir.Sutamii No.

23 Makassar, Sulawesi Selatan.

2. Tahapan kegiatan yang di lengkapi dengan diagram alir

Adapun Tahapan kegiatan pelaksanaan praktek kerja lapang (PKL)

yaitu pertama tama melakukan administrasi di kampus,kemudian menyurat

ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, setelah

mendapatkan persetujuan surat PK ,mahasiswa datang ke lokasi ,yang

selanjutnya penerimaan mahasiswa PKL,dengan pembacaan tata tertib

maupun peraturan –peraturan yang ada di lokasi PKL,serta pengarahan dari

pimpinan BPMPP.Setelah itu di lanjutkan dengan pengenalan kegiatan

pengenalan peralatan laboratorium, cara penggunaan alat dan bahan

laboratorium BPMPP kemudian tata usaha selama satu minggu dan kembali

lagi ke laboratorium. Setelah perkenalan alat dan bahan ,di lanjutkan ke

praktek kegiatan pengujian di laboratorium kimia BPMPP,dan adapun jenis

pengujiannya yaitu: pengujian ALT, pengujian chloramphenicol, pengujian

kadar abu/kadar air, pengujian histamin,pengujian total volatile base

nitrogen,pengujian formalin. Selanjutnya pembuatan laporan sesuai judul

pengujian yang di pilih,setelah itu penarikan,dan terakhir seminar laporan

kegiatan praktek kerja lapang.


Adapun diagram alir kegiatan Praktek Kerja Lapang yang di

laksananakan di Balai Penerapan Mutu Produk Perikanan Makassar yaitu

dapat di lihat pada Gambar 1.1


Administrasi
enerapan

Kedatangan ke Lokasi PKL

Pelaksanaan PKL

1. Perkenalan Tata Usaha


2. Pengujian ALT (Angka Lempeng Total)
3. Pengujian Kadar abu/kadar air
4. Pengujian Histamin
5. Pengujian TVB-n
6. Pengujian Formalin

Pembutan Laporan PKL

Penarikan

Seminar
Gambar 1.1 Diagram alir Kegiatan Praktek Kerja Lapang.
3. Mitra Kerja

Adapun mitra kerja dari kegiatan praktek kerja lapang ini yaitu Balai

penerapan mutu produk perikanan ( BPMPP) di mana dari pihak BPMPP itu

sendiri terkhusus kepada analis laboratorium yang begitu banyak

memberikan bimbingan dan pengetahuan khususnya pada kegiatan

pengujian kimia, dan pengujian mikrobiologi di laboratorium selama PKL di

laksanakan.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam pelaksanaan praktek

kerja lapang ini adalah pengumpulan data primer dan data sekunder,adapun

pengumpulan data primer dan sekunder yaitu:

1) Pengumpulan data primer meliputi :

a. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pihak-pihak yang

berhubungan langsung selama proses pengujian.

b. Mengevaluasi dan mempelajari SNI serta penerapannya pada proses

pengujian.

c. Observasi, yaitu pengamatan langsung kegiatan di laboratorium.

d. Mengamati dan melakukan kegiatan pengujian mulai dari preparasi

sampel, hingga ke tahap analisa.

2) Pengumpulan data sekunder :


a. Pengumpulan data dan informasi mengenai pengujian dan kegiatan

lainnya dari pihak atau instansi setempat mengenai keadaan

laboratorium.

b. Mengumpulkan referensi yang berkaitan dengan praktek kerja lapang.

5. Teknik Analisis

Adapun teknik analisis yang di terapkan di BPMPP adalah melakukan

pengujian mutu hasil perikanan di laboratorium, sampel yang diuji berasal

dari berbagai industri pengolahan hasil perikanan yang ada di Sulawesi

Selatan maupun dari kegiatan hasil budidaya. BPMPP juga memberikan

pelayanan kepada pengguna jasa, senantiasa mengutamakan mutu dan

menjamin bahwa pengujian dilaksanakan secara profesional sehingga dapat

meningkatkan dan memperkuat daya saing produk hasil perikanan

diantaranya dengan meningkatkan kualitas produk hasil perikanan agar

dapat memenuhi standar.


BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PKL

A. Profil Instansi

1. Sejarah BPMPP

UPT BPMPP Sulawesi Selatan merupakan Unit pelaksana

teknis Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan sebagai institusi

pengujian yang diharapkan dapat mengeluarkan hasil uji yang benar, teliti

dan dapat dipercaya. Oleh karena itu UPT BPMPP Sulawesi Selatan

senantiasa memberikan pelayanan kepada pengguna jasa, senantiasa

mengutamakan mutu dan menjamin bahwa pengujian dilaksanakan

secara profesional sehingga dapat meningkatkan dan memperkuat daya

saing produk hasil perikanan diantaranya dengan meningkatkan kualitas

produk hasil perikanan agar dapat memenuhi standar. Lokasi PKL dapat

di lihat pada Gambar 2.1

Gambar 2.1 Balai penerapan Mutu Produk perikanan (BPMPP)


UPT. (BPMPP) Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi

Selatan berdiri sejak tahun 1976 dan masih bernama LPPMHP (Laboratorium

Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan). Sejak tahun 2009

LPPMHP berubah nama menjadi UPTD BPMPP berdasarkan SK. Gubernur

Sulawesi Selatan No. 45 tahun 2009 tentang Pembentukan Organisasi dan

Tata Kerja UPT. BP3MHKP yang terdiri dari Kepala UPT, Kasubag. Tata

Usaha, Kepala Seksi Pengembangan dan pengolahan dan Kepala Seksi

Pembinaan dan Pengujian. Pada bulan januari tahun 2017 UPT BPPMHP

mendapatkan Re-Akreditasi kembali oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN)

menjadi UPT BPMPP.

Pada tanggal 11 November 2002 BPMPP diakreditasi oleh Komite

Akreditasi Nasional (KAN) dan diberikan Nomor Akreditasi No LP-094-IDN

dengan Ruang Lingkup Jenis Pengujian berupa Angka Lempeng Total, E.

coli, Salmonella sp, Organoleptik, Kadar Air dan Kadar Abu. Tahun 2008

UPT. BPMPP mendapatkan Re-Akreditasi kembali oleh Komite Akreditasi

Nasional (KAN), dengan ruang lingkup jenis pengujian berupa Angka

Lempeng Total, E.Coli dan Coliform , Salmonella SP, V. Cholera, V.

Parahaemolyticus, Staphylococcus, Listeria Monocytogenes, Histamin,

Logam Berat (Hg, Pb, Cd), Chloramphenicol, Oxytetracycline,

Chlotetracycline, Tetracycline, Nitorfuran (AOZ, AMOZ, SEM, AHD),

Formalin, Organoleptik, kadar air, kadar abu dan Filth.


2. Letak Geografis

Balai Penerapan Mutu Produk Perikanan (BPMPP) Dinas Kelautan

dan Perikanan yang terdapat di Jl. Prof. Ir. Sutami No. 23, merupakan milik

dari pemerintah provinsi Sulawesi selatan. Laboratorium BPMPP memiliki

jarak dari tol sekitar ± 25 meter. Memiliki luas tanah 1,2 Ha. Luas bagunan

laboratorium BPMPP adalah 810 m² gedung administrasi/TU seluas 270 m²

dan gedung pengujian 540 m².

Gambar 2.2 Peta lokasi BPMPP

3. Sumberdaya Alam

Balai Penerapan Mutu Produk Perikanan memiliki berbagai jenis

Sumberdaya yang diuji karena ada sekitar 36 Perusahaan yang menerbitkan

healt certificate di mana produk yang harus dilakukan pengujian terlebih

dahulu. Adapun jenis komoditi yang di uji yakni Rumput Laut, Udang, Lobster,
Ikan Tuna, Ikan Kerapu, Ikan Kakap, Ikan Pedang, Ikan Tenggiri, Gurita,

Cumi-Cumi, Sotong, Telur Ikan Terbang, Ikan Kayu, Kepiting Kaleng,

Teripang, Sirip Ikan Hiu, Abalone, dll.

4. Sumber Daya Manusia

BPMPP (Balai Penerapan Mutu Produk Perikanan) memiliki personill

yang berjumlah 14 orang PNS dan 18 orang non PNS terdiri dari 1 orang

kepala UPT BPMPP, 31 orang Staff BPMPP yang melayani pengujian

laboratorium bagi pelanggannya yang terdiri dari unit pengolahan,sentra

produksi ,mahasiswa maupun masyarakat luar.

5. Prasarana BPMPP Makassar

Adapun prasarana di Balai Penerapan Mutu Produk perikanan

(BPMPP) dapat di sajikan pada Tabel 2.1

Tabel 2.1 Prasarana BPMPP Makassar

No. Prasarana Keterangan

1. Fasilitas utama

a. Luas tanah 1,2Ha

b. Bangunan laboratorium

1. Ruang administrasi
800m²
2. Gedung pengujian
270m²540 m²

2. Fasilitas penunjang

a. Listrik dari PLN 46.200Watt

b. Genset ( generator ) 32KVA

c. Air bersih Sumurbor

d. Telephone/ Fax (0411)513215513216

e. Kendaraan dinas roda 4 ( 2 Unit )


KIA Mikro bus tahun

2010 (official control)

inova tahun 2010

(kepala UPTD PPMHP)

Yamaha Byson
f. Kendaraan dinas roda 2 (1 unit)

6. Peralatan Laboratorium di BPMPP Makassar

Adapun peralatan laboratorium di Balai Penerapan Mutu Produk

Perikanan (BPMPP) Makassar dapat di sajikan pada Tabel 2.2


Tabel 2.2 Peralatan Labortorium di BPMPP

No Nama Peralatan Merek/Type Jumlah Ket

1. PETRIDISH NORMAX 460 BAIK

Buah

2. TABUNG IWAKI-PYREX 185 BAIK

REAKSI Buah

3. ERLENMEYER

Vol.1000 Ml IWAKI-PYREX 3 Buah BAIK

Vol. 500 Ml IWAKI-PYREX 20 Buah BAIK

Vol. 300 Ml IWAKI-PYREX 1 Buah BAIK

Vol. 250 Ml IWAKI-PYREX 15 Buah BAIK

Vol. 100 Ml IWAKI-PYREX 2 Buah BAIK

Vol.50 Ml IWAKI-PYREX 3 Buah BAIK

4. REFRIGERATOR MODENA 1 Unit BAIK


GEA 1 Unit BAIK

PANASONIC 1 Unit BAIK

5. LABU UKUR

Vol. 1000 Ml IWAKI-PYREX 5 Buah BAIK

Vol. 500 Ml IWAKI-PYREX 15 Buah BAIK

Vol. 250 Ml IWAKI-PYREX 27 Buah BAIK

Vol. 200 Ml IWAKI-PYREX 2 Buah BAIK

Vol. 100 Ml IWAKI-PYREX 4 Buah BAIK

6. BOTOL DOD

Vol. 1000 Ml SCHOOT DURAN 1 Buah BAIK

Vol. 500 Ml SCHOOT DURAN 36 Buah BAIK

Vol. 250 Ml SCHOOT DURAN 48 Buah BAIK

7. GELAS PIALA

Vol. 500 Ml IWAKI-PYREX 1 Buah BAIK


Vol. 200 Ml IWAKI-PYREX 3 Buah BAIK

8. PIPET UKUR

Vol. 10 Ml IWAKI-PYREX 2 Buah BAIK

Vol. 5 Ml IWAKI-PYREX 3 Buah BAIK

Vol. 2 Ml IWAKI-PYREX 25 Buah BAIK

Vol. 1 Ml IWAKI-PYREX 5 Buah BAIK

9. GELAS UKUR

Vol. 1000 Ml IWAKI-PYREX 4 Buah BAIK

Vol. 500 Ml IWAKI-PYREX 8 Buah BAIK

Vol. 250 Ml IWAKI-PYREX 3 Buah BAIK

Vol. 100 Ml IWAKI-PYREX 2 Buah BAIK

Vol. 50 Ml IWAKI-PYREX 1 Buah BAIK

Vol. 25 Ml IWAKI-PYREX 1 Buah BAIK

10. OVEN MEMMERT/UM.400 1 Unit BAIK


MEMMERT/TV.30.U 1 Unit BAIK

MEMMERT/UNB.400 1 Unit BAIK

11 INKUBATOR

36 ºc MEMMERT/BE.400 1 Unit BAIK

36 ºc MEMMERT/INB.400 1 Unit BAIK

35 ºc MEMMERT/TV.50.B 1 Unit BAIK

35 ºc WTB.BINDER BD.400 1 Unit BAIK

23 ºc WTB.BINDER KB.115 1 Unit BAIK

12 AUTOCLAVE HIRAYAMA/DESTRUK 1 Unit BAIK

SI
1 Unit BAIK

ALP-KT 405/STERIL
1 Unit BAIK
MEDIAALP-KT

40LDC/STRL.MEDIA

13 MIKROSKOP NOVEX 1 Buah BAIK


14 TIMBANGAN CASBEE/MW-1200 1 Unit BAIK

LISTRIK
AND FX-300I 1 Unit BAIK

METTLER TOLEDO 1 Unit BAIK

15 STOMACHER SEWORD 400 1 Unit BAIK

INTERSCIENCE 1 Unit BAIK

16 VORTEX MIXER HEIDOLPH 1 Unit BAIK

BARNSTEAD 1 Unit BAIK

17 HOT PLATE & PMC. BARNSTEAD 1 Unit BAIK

STIRRER

18 COLONY KAYAGI/EKDS DC-3 2 Unit BAIK

COUNTER

19 ELISA READER R-BIOPHARM 1 Unit BAIK

20 POMPA VAKUM GOLDEN HARREST 2 UNIT BAIK

21 REFRIGERATOR MODENA 1 UNIT BAIK


GEA 1 UNIT BAIK

PANASONIC 1 UNIT BAIK

7. Jenis pengujian di BPMPP Makassar.

Adapun jenis pengujian yang di lakukan di laboratorium BPMPP

Makassar dapat di sajikan pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Jenis pengujian di BPMPP

Jenis

No. Pengujian Parameter Pengujian Status

1. Penentuan Kadar Air Terakreditasi


Kimia
Penentuan Kadar Abu Terakreditasi

Penentuan Kadar Histamine Terakreditasi

Pengujian Chloramphenicol Terakreditasi

Penentuan Kadar Logam Terakreditasi

Berat (Hg)

Penentuan Kadar Logam Terakreditasi

Berat (Pb)

Penentuan Kadar Logam Terakreditasi

Berat (Cd)
Oxytetracycline Terakreditasi

Chloramphenicol Secara Terakreditasi

Elisa

Chlortetracycline Terakreditasi

2. Tetracycline Terakreditasi
Kimia
Antibiotic Terakreditasi
(Lanjutan)
Nitrofuran (Aoz-Amoz) Terakreditasi

Nitrofuran (Ahd) Terakreditasi

Nitrofuran (Sem) Terakreditasi

Pengujian Formalin Terakreditasi

3. Pengujian Angka Lempeng Terakreditasi


Mikrobiologi
Total

Pengujian Salmonella Terakreditasi

Pengujian Enterococci Terakreditasi

Pengujian Coliform dan E.coli Terakreditasi

Pengujian Vibrio cholera Terakreditasi

Pengujian Staphylococcus Terakreditasi

aureus

PengujianVibrio Terakreditasi

parahaemolitycus
Pengujian Listeria Terakreditasi

monocytogenes

Pengujian Kapang Dan Kamir Terakreditasi

Monitoring Bakteri Pathogen __

4.
Organoleptik Pengujian Sensory
Terakreditasi
Pengujian Filth
Terakreditasi

B. Visi dan Misi Balai Penerapan Mutu Produk Perikanan (BPMPP)

Makassar.

1. Visi :

“ Sulawesi Selatan yang Inovatif, Produktif, Kompetitif, Inklusif dan

Berkarakter .”

2. Misi :

a. Pemerintahan yang berorientasi Melayani, Inovatif dan

Berkerakter

b. Peningkatan infrastruktur yang berkualitas dan aksesibel

c. Pembangunan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru yang

produktif

d. Pembangunan manusia yang Kompetitif dan Inklusif


e. Peningkatan produktifitas dan daya saing Produk Sumber Daya

Alam yang berkelanjutan.

C. Struktur Organisasi BPMPP

Struktur organisasi BPMPP Makassar (Berdasarkan

SK.Gubernur sulawesi selatan No.45 tahun 2017 tanggal 18 februari

2017).Adapun struktur organisasi unit pelaksana teknis Balai

Penerapan Mutu Produk Perikanan (BPMPP) dapat di lihat pada

gambar 2.2 yaitu bagan struktur organisasi, dan lembaga pengujian

17025 pada Gambar 2.3

KEPALA BALAI

KASUBAG. SEKSI SEKSI STANDARISASI


TATA USAHA PENGEMBANGAN MUTU
PRODUK

Gambar 2.2 Struktur Organisasi BPMPP


MANAJER PUNCAK
BPMPP

MANAJER MANAJER MANAJER


MUTU TEKNIS UMUM

PETUGAS ADMINISTRASI

PENYELIA PENYELIA PENYELIA PENGAMBIL


ORGANOLEPTIK MIKROBIOLOGI KIMIA CONTOH

Gambar 2.3 Bagan Struktur Organisasi Lembaga Pengujian 17025


BAB III

URAIAN KEGIATAN

A. Jenis Sampel yang di Uji

1. Deskripsi Ikan Tuna Madidihang

Sampel yang di uji selama pengujian penentuan kadar

Histamin yaitu Frozen Yellowfin Tuna Loin. Menurut taksonomi

(sistematika ikan), jenis - jenis ikan tuna termasuk ke dalam Famili

Scombridae. Secara global, terdapat 7 spesies ikan tuna yang memiliki

nilai ekonomis penting, yaitu albacore (Thunnus alalunga), bigeye tuna

(Thunnus obesus), atlantic Bluefin tuna (Thunnus thynnus), pacific Bluefin

tuna (Thunnus oreintalis), southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii), ikan

tuna sirip kuning (Thunnus albacares), dan skipjack tuna (Katsuwonus

pelamis), kecuali Pacific Bluefin dan southern Bluefin tuna, kelima spesies

tuna lainnya hidup dan berkembang di perairan Samudra Pasifik, Atlantik,

dan Hindia (Dahuri 2008).

Menurut Saanin (1984), ikan tuna diklasifikasikan sebagai

berikut:

Kingdom: Animalia

Filum: Chordata

Kelas: Pisces
Ordo: Percomorphi

Famili: Scombridae

Species: Thunnus albacares

Gambar 3.1 Ikan tuna Madidihang (Thunnus albacares)


(Encyclopedia of Life, 2016)

2. Morfologi Ikan Tuna Sirip Kuning

Menurut Collette (1994) ikan tuna sirip kuning (Thunnus

albacares) Ikan tuna sirip kuning termasuk jenis ikan berukuran besar,

mempunyai dua sirip dorsal dan sirip anal yang panjang. Sirip dada

(pectoral fin) melampaui awal sirip punggung (dorsal) kedua, tetapi tidak

melampaui pangkalnya. Ikan tuna jenis ini bersifat pelagic,oceanic,

berada di atas dan di bawah termoklin. . Ikan tuna sirip kuning biasanya

membentuk (schooling) gerombolan di bawah permukaan air pada

kedalaman kurang dari 100 meter. Ukuran panjang Yellowfin dapat

mencapai lebih dari 200 cm dengan rata-rata 150 cm, berat badan

maksimal 200 kg. Migrasi ikan tuna di perairan Indonesia mencakup

wilayah perairan pantai, teritorial, dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.


Migrasi jenis ikan tuna di perairan Indonesia merupakan bagian dari jalur

migrasi tuna dunia karena wilayah Indonesia terletak pada lintasan

perairan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik (DKP 2008c). Tuna

yang termasuk komoditi ekspor adalah madidihang, tuna mata besar,

albacora, tuna sirip biru dan cakalang. Jenis-jenis tuna besar tercantum

dalam Tabel 3.1

Nama Indonesia Nama inggris


Nama ilmiah

Madidihang Yellowfin tuna


Thunnus albacore

Tuna mata besar Big eye tuna


T . obesus

Albacora Albacore
T . alalunga

Tuna sirip biru selatan Southtern bluefin tuna


T . maccoyii

Tuna ekor panjang Longtile tuna


T . tonggol

Tuna sirip biru utara Northtern Bluefin tuna


T . thynnus

Tuna sirip hitam Blackfin tuna


T . altanticus

Sumber : Uktolseja et al.,(1998)

Ikan tuna mempunyai daerah penyebaran yang luas. Tuna kecil

sifatnya lebih kosmopolitan karena terdapat di seluruh perairan, terkecuali


cakalang lebih menyukai perairan yang kadar garamnya tinggi. Ikan tuna

dapat berenang dengan cepat dan beberapa jenis misalnya cakalang dan

madidihang migrasinya sangat jauh tidak saja antar negara tetapi juga antar

samudera.

3. Komposisi Kimia Ikan Tuna

Ikan tuna merupakan jenis ikan yang mengandung lemak rendah

(kurang dari 5%) dan protein yang sangat tinggi (lebih dari 20%). Komposisi

gizi ikan tuna bervariasi tergantung spesies, jenis, umur, musim, laju

metabolism, aktivitas pergerakan, dan tingkat kematangan gonad (Stansby

dan Olcott 1963). Komposisi kimia tuna ditunjukkan pada Tabel 3.1

Komponen Komposisi kimia g/100 g

Madidihang Tuna ekor biru Cakalang

Air 74,0±0,28 70,1±1,98 69,9±0,71

Protein 23,2±1,34 25,5±4,03 26,0±0,28

Lemak 2,4±1,41 2,1±0,92 2,0±0,07

Karbohidrat 1,0±1,27 0,9±1,13 0,7±0,42

Abu 1,3±0,4 1,4±0,21 1,4±0,07

Sumber: Wahyuni (2011)

4. Mutu dan Kemunduran Mutu Ikan


Mutu ikan identik dengan kesegaran ikan. Bentuk bahan baku ikan segar

dapat berupa ikan utuh atau tanpa insang dan isi perut. Bahan baku harus

bersih, bebas dari setiap bau yang menandakan kebusukan, bebas dari

tanda dekomposisi dan pemalsuan, bebas dari sifat alamiah lain yang dapat

menurunkan mutu dan tidak membahayakan kesehatan. Kesegaran ikan

memberikan kontribusi besar terhadap mutu dari ikan tersebut. Kemunduran

mutu pada ikan dapat disebabkan oleh penanganan bahan baku pada saat

pascapanen ataupun saat diolah (Bremner 2000).

Perubahan reaksi biokimia dan fisika kimia yang sangat cepat terjadi

mulai dari ikan tersebut dibunuh sampai dikonsumsi. Perubahan ini dapat

diklasifikasikan menjadi tiga tahap yaitu :

a. Hiperaemia (pre rigor)

Tahap hiperaemia secara biokimia ditandai dengan menurunnya kadar

Adenosin Tri Phosphat (ATP) dan kreatin fosfat seperti halnya pada reaksi

aktif glikolisis serta lendir yang terlepas dari kelenjar-kelenjarnya di dalam

kulit ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir ini merupakan reaksi alami

ikan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan. Jumlah lendir yang

terlepas dan menyelimuti tubuh ikan dapat sangat banyak hingga mencapai

1,2-5% dari berat tubuhnya (Eskin 1990).

b. Rigor mortis
Perubahan selanjutnya, ikan memasuki tahap rigor mortis. Tingkat

atau tahapan rigor ditandai dengan mengejangnya tubuh ikan yang

merupakan hasil dari perubahan-perubahan biokimia yang kompleks di dalam

otot ikan. Tubuh ikan yang mengejang yang berhubungan dengan

terbentuknya aktomiosin yang berlangsung lambat pada tahap awal dan

menjadi cepat pada tahap selanjutny (Zaitsev et al. 1969).

Tingkat rigor ini berlangsung sekitar 1 sampai 12 jam sesaat setelah

ikan mati. Pada umumnya ikan mempunyai proses rigor yang pendek, kira-

kira 1 sampai 7 jam setelah ikan mati. Lamanya rigor dipengaruhi oleh

kandungan glikogen dalam tubuh ikan dan temperatur lingkungan (Zaitsev et

al. 1969). Kandungan glikogen yang tinggi menunda datangnya proses rigor

sehingga menghasilkan produksi daging dengan kualitas tinggi dan pH

rendah. Pencapaian pH serendah mungkin dalam jaringan ikan merupakan

hal yang penting karena dapat mencegah pertumbuhan bakteri dan untuk

memperoleh warna daging yang diinginkan (Eskin 1990).

Pada fase rigor mortis, pH tubuh ikan menurun menjadi 6,2-6,6 dari pH

mula-mula 6,9-7,2. Tinggi rendahnya pH awal ikan sangat tergantung pada

jumlah glikogen yang ada dan kekuatan penyangga (buffering power) pada

daging ikan. Kekuatan penyangga pada daging ikan disebabkan oleh

protein, asam laktat, asam fosfat, tri metil amin oksida (TMAO) dan basa-

basa menguap. Proses rigor mortis dikehendaki selama mungkin karena


proses ini dapat menghambat proses penurunan mutu oleh aksi mikroba.

Semakin singkat proses rigor mortis maka ikan semakin cepat membusuk

(FAO 1995).

c. Post Rigor

Indikasi awal proses pembusukan ikan adalah terjadinya kehilangan

karakteristik dari bau dan rasa ikan, yang berkaitan dengan degradasi secara

autolisis. Autolisis adalah proses penguraian protein dan lemak oleh enzim

(protease dan lipase) yang terdapat di dalam daging ikan. Salah satu ciri-ciri

terjadinya perubahan secara autolisis adalah dihasilkannya amoniak sebagai

hasil akhir pada jaringan tubuh. Penguraian protein dan lemak dalam autolisis

menyebabkan perubahan rasa, tekstur, dan penampakan ikan (FAO 1995).

Autolisis dimulai bersamaan dengan penurunan pH. Mula-mula protein

terpecah menjadi molekul-molekul makro yang menyebabkan peningkatan

dehidrasi lalu pecah lagi menjadi polipeptida, pepton, dan akhirnya menjadi

asam amino. Disamping asam amino, autolisis juga menghasilkan sejumlah

kecil pirimidin dan purin, basa yang dibebaskan pada waktu pemecahan

asam nukleat. Bersamaan dengan itu, hidrolisis lemak menghasilkan asam

lemak bebas dan gliserol. Autolisis akan merubah struktur daging sehingga

kekenyalan menurun (Zaitsev et al. 1969).


Autolisis tidak dapat dihentikan walaupun dalam suhu yang sangat

rendah. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya

jumlah bakteri. Semua hasil penguraian enzim selama proses autolisis

merupakan media yang sangat cocok untuk pertumbuhan bakteri dan

mikroba lainnya (FAO 1995).

d. Busuk

Setelah fase rigor mortis berakhir dan pembusukan bakteri

berlangsung maka pH daging akan naik mendekati netral hingga 7,5-8,0 atau

lebih tinggi jika proses pembusukan sangat parah. Tingkat keparahan

pembusukan disebabkan oleh kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa.

Pada kondisi ini, pH ikan akan naik dengan perlahan-lahan dan dengan

semakin banyaknya senyawa basa yang terbentuk akan semakin

mempercepat kenaikan pH ikan (FAO 1995). Jumlah bakteri pada tahap ini

sudah cukup tinggi akibat perkembangbiakan yang terjadi pada tahap-tahap

sebelumnya. Kegiatan bakteri pembusuk dimulai pada saat yang hampir

bersamaan dengan autolisis dan kemudian berjalan sejajar (Eskin 1990).

B. Jenis pengujian kegiatan PKL

1. Histamin

Histamin merupakan komponen amino biogenik yaitu bahan aktif yang

diproduksi secara biologis melalui proses dekarboksilasi dari asam amino


bebas serta terdapat pada berbagai bahan pangan, seperti ikan, daging

merah, keju dan makanan fermentasi (Keer et al. 2002). Keracunan histamin

merupakan suatu intoksikasi akibat mengkonsumsi ikan laut yang umumnya

berasal dari famili scombroid, seperti tuna, mackerel, cakalang, dan

sejenisnya. Histamin merupakan senyawa amin biogenik yang terbentuk dari

asam amino histidin akibat reaksi dengan enzim dekarboksilase (Dalgaard et

al. 2008).

Indriati et al. (2006) menyatakan bahwa histamin merupakan salah

satu senyawa biogenik amin yang dianggap sebagai penyebab utama

keracunan makanan yang berasal dari ikan, terutama dari kelompok

scombroid. Histamin merupakan komponen yang kecil, mempunyai berat

molekul rendah yang terdiri dari cincin imidazol dan sisi rantai etilamin.

Histamin juga merupakan komponen yang tidak larut air. Histamin merupakan

salah satu amin biogenik yang mempunyai pengaruh terhadap fisiologis

manusia. Struktur kimia histamin dapat dilihat pada Gambar 3.2

Gambar 3.2 Struktur kimia histamin (Keer et al. 2002).


Satuan kadar histamin dalam daging ikan dapat dinyatakan dalam

mg/100g atau ppm (mg/1000g). Kandungan histidin bebas pada jaringan ikan

tuna lebih tinggi dibandingkan dengan spesies ikan lainnya sehingga

meningkatkan . Potensi peningkatan kadar histamin, khususnya untuk

penyimpanan dan penanganan yang salah (Keer et al. 2002). Proses

dekarboksilase histidin menjadi histamin dapat terjadi melalui dua cara yaitu

autolisis dan aktivitas bakteri.

C. Preparasi Pengujian Histamin

1. Tujuan

Adapun tujuan melakukan persiapan sampel merupakan langkah awal

untuk memulai pengujian histamin, pada tahap ini sebelumnya dilakukan

sterilisasi semua peralatan yang akan digunakan dalam proses

pengujian.Dan pada saat melakukan preparasi pengujian memperhatikan

keselamatan kerja dan SOP.

2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan untuk analisis histamine dengan

Spektrofluorometri SNI 2354,10:2016 yaitu :

a. Corong dan botol filtrate sampel

b. Homogenizer (blender)
c. Kertas saring kasar, plastik, karet pengikat

d. Kolom resin 20 cm x 0,8 cm, reservoir 2 cm x 5 cm,

e. Labu ukur 25 ml, 50 ml, 100 ml, dan 1000 ml,

f. Pipet volumetric

g. Spektrofluorometer

h. Stiret-plate

i. Tabung reaksi 50 ml tertutup

j. Timbangan analitis

k. Waterbath

Bahan utama yang digunakan dalam pengujian ini adalah sampel ikan

tuna dan bahan lainyya yaitu : Pereaksi

a. Methanol

b. Aquades

c. Glasswool

d. NaoH 1 N, larutkan 4 g dalam 100ml

e. HCL 0,1 N, encerkan 8 ml HCL 12,5 N (37 %) dalam 1000 ml aquades

f. Orto-ptalatdikarbosildehid (OPT) 0,1 %, larutkan 0,1 g OPT dalam 100

ml methanol, larutan ini disediakan pada kondisi segar dalam setiap

analisa.
g. Asam phospat (H3PO4) 3,57 N, encerkan 121,8 ml H3PO4 (85 %)

menjadi 1.000 ml aquades, standarkan larutan ini dengan mengambil

5 ml dan titrasi NaoH 1 N dengan indicator fenolttalin.

h. Resin penukar ion jenis Dowex 1 – X8 50 – 100 mesh

i. Pembuatan larutan standar histamin, larutkan stok 1 mg/ml (1000

ppm), timbang teliti 169,1 mg histamin 2 HCL, larutkan dan tepatkan

menggunakan HCL 0,1 N dalam labu takar 100 ml sampai batas

volume. Siapkan larutan ini dalam kondisi segar setiap minggu dan

simpan dalam refrigerator.

Larutkan stok 10 µ/ml ( 10 ppm); pipet 1 ml larutkan stock (1000 ppm)

masukkan kedalam labu ukur 100 ml dan tambahkan larutan HCL 0,1

sampai batas volume. Siapkan larutan ini dalam kondisi segar setiap

minggu dan simpan di refrigerator.

j. Larutan kerja; buat larutan kerja 0,1 µ/ml (0,1 ppm) , 0,2 µ/ml (0,2

ppm) 0,3 µ/ml( 0,3 ppm), 0,4 µ/ml (0,4 ppm) dan 0,5 µ/ml (0,5 ppm)

3. Prosedur Analisis Histamin SNI 2354,10:2016

a. Blender contoh hingga homogen

b. Timbang seksama lebih kurang 10 gr contoh dalam beaker glass 250

ml dan tambahkan 50 ml methanol,blender hingga homogen

c. Panaskan diatas waterbath selama 15 menit pada suhu 60 ℃ dijaga

sampel dalam keadaan tertutup, dinginkan hingga suhu kamar.


d. Tuangkan contoh kedalam labu takar 100 ml dan tepatkan hingga

volume labu dengan methanol

e. Saring menggunakan kertas saring dan filtratnya ditampung dalam

botol contoh.pada tahap ini filtrate contoh dapat disimpan dalam

refrigerator.

4. Persiapan Kolom Resin

a. Masukkan glasswool kedalam kolom resin setinggi ± 1.5 cm

b. Masukka resin dalam medium air kolom resin ±1 cm, jangan biarkan

kering

c. Letakkan labu ukur 50 ml yang sudah berisi 5 ml HCL 1 N dibawah

kolom resin guna menampung elusi sampel dilewatkan pada kolom

resin

5. Persiapan Resin

a. Timbang 8 gr resin dalam beaker glass 250 ml

b. Tambahkan 120 ml NaoH 2 N campurkan dalam Erlenmeyer

c. Aduk menggunakan siter-plate selama 30 menit

d. Tuangkan cairan pada bagian atas

e. Cuci/bilas resin dengan aquades sebanyak 3 kali

6. Pemurnian contoh

a. Pipet filtrat sampel, masukkan kedalam kolom resin,kran kolom resin

dalam posisi terbuka biarkan aliran menetes(hasil elusi) ditampung

dalam labu ukur yang berisi HCL 1 N.


b. Tambahkan aquades pada saat tinggi cairan ± 1cm diatas resin,dan

berikan cairan terelusi. Lakukan demikian seterusnya hingga labu ukur

tepat 50 ml.

7. Pembentukan Senyawa Turunan (derivatisasi)

Siapkan tabung reaksi atau bisa juga tabung 50 ml centrifuge untuk

masing contoh,standard an blanko.

a. Pipet masing-masing 5 ml filtrate contoh,larutkan standar kerja dan

blanko(15 ml) HCL 0,1 N

b. Tambahkan kedalam tabung ;

 10 ml HCL 0,1 N,kocok

 3 ml NaoH 1 N, kocok,dalam waktu 5 menit harus sudah

ditambah 1 ml OPT 0,1 %, kocok dan biarkan selama 4 menit.

 3 ml H3PO4 3,57 N, kocok

c. Lakukan pengukuran menggunakan spektrofluorometri ekssitasi 350

nm dan emisi 444 nm.

d. Perhitungan

 Masukkan harga konsentrasi dan fluoresensi dan larutan

standar kerja ke dalam program linier klakulator. Nilai : koefisien

korelasi regresi (r) ,slope(b) dari intersep (a) digunakan untuk

menghitung konsentrasi contoh. Masukkan harga fluoresensi

contoh ke persamaan regresi standar:


y = a + bx

keterangan :

y = fluorosensi contoh;

a = intersep

b =slope

x = konsentrasi contoh yang akan dihitung

 Setelah didapat harga x, kalikan dengan factor pengencer dan

kembalikan ke berat contoh. Nyatakan kandungan histamine

dalam (µg/g) atau mg/kg contoh.

(𝑣𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 𝑎𝑘ℎ𝑖𝑟 (𝑚𝐿)𝑓𝑝)


Konsentrasi histamine (µ/g) contoh =A’ x 𝑔𝑟𝑎𝑚 𝑐𝑜𝑛𝑡𝑜ℎ
D. Alur Proses Pengujian Kadar Histamin

Timbang 10 g sampel

+ 50 ml Methanol

PREPARASI
Homogenkan dan panaskan
sampel di waterbath suhu
Ke labu takar 100 ml 60℃ ± 15 menit
himpitkan dengan methanol P
i
p Saring dengan kertas saring
e dan filtratnya ditampung di
erlenmeyer
t

PERSIAPAN KOLOM 1
RESIN
m Pipet 5 ml sampel
l blanko dan standar

f Tambah 10 ml HCL 0,1 N, 3 ml


i NaoH 1 N, 1ml OPT 0,1 % dan 3
DERIVATISASI ml H₃𝑃𝑂₄ 3,75 N.
l
t Pengukuran menggunakan
spektrofluorometri eksitasi 350
r
dan emisi 444 nm
a
t
e
Gambar 3.3 Skema Pengujian Histamin
s
a
m
p
E. Hasil dan Pembahasan

Hasil uji laboratorium Balai Penerepan Mutu Produk Perikanan

(BPMPP) Makassar menunjukkan bahwa kandungan histamin frozen

yellowfin tuna loin yaitu berkisar 5.01 – 5.63 mg/kg. Widiastuti dan Putro

(2010) memperoleh nilai kandungan histamin tuna segar yang didaratkan di

Pelabuhan Ratu Jawa Barat berkisar 1,28-1,61 mg/100 g. Nilai ini masih jauh

dibawah standar keamanan yang ditetapkan oleh beberapa negara tujuan

ekspor. Produksi histamin pada ikan tergantung dari kadar histidin pada ikan,

keberadaan bakteri penghasil enzim dekarboksilase dan kondisi lingkungan.

Hasil penelitian Maulana et al. (2012) memperoleh nilai histamine pada tuna

loin segar sebesar 13,40 µg dengan standar 50 µg Berfluktuasinya

kandungan histamine pada limbah padat tuna loin kemungkinan disebabkan

cara penanganan sejak ikan pertama tertangkap sampai pasca tangkap,

waktu penangkapan, jarak daerah penangkapan dengan pelabuhan serta

tidak stabilnya suhu dalam palka. Waktu penangkapan yang terlalu lama dan

jarak penangkapan yang jauh akan menyebabkan terjadinya penyusutan

bahan pendingin, sehingga sangat sulit menjaga stabilitas suhu dalam palka.

Ketidakstabilan suhu tersebut akan menstimulasi meningkatnya histamin.

Penanganan tanpa melakukan penyiangan dilaut akan lebih mempercepat

meningkatnya histamin. Hasil penelitian Nento et al. (2014) menunjukkan

bahwa semakin lama ikan tuna disimpan, maka kadar histamin akan semakin

meningkat dan peningkatan kadar histamine ini signifikan dengan


pertambahan waktu penyimpanan, sedangkan Silva et al. (2010) melaporkan

hasil kajiannya bahwa kadar histamin tuna segar bervariasi antara 0,071

mg/100 g hingga 0,530 mg/100 g. Kandungan maksimum histamin yang

diperbolehkan pada daging ikan untuk dikatakan layak dan aman konsumsi

sesuai standar SNI 01-2729.1-2006 adalah 100 mg/kg (BSN 2006a). Dengan

demikian kandungan histamine limbah padat tuna loin segar masih layak

untuk konsumsi.

Adapun prosedur lanjutan setelah di lakukan pengujian yaitu,

penerbitan sertifikat hasil pengujian chloramphenicol . Di mana sertifikat

tersebut di berikan kepada industri yang telah membawa sampelnya untuk

di uji di Balai Penerapan Mutu Produk Perikanan Makassar. Sertifikat

tersebut sebagai bukti bahwa telah di lakukan pengujian Histamin di

laboratorium BPMPP di mana hasilnya telah di nyatakan masih layak untuk

di ekspor karena hasil yang di dapatkan pada dua sampel yaitu kode

190938 5.01 mg/kg dan 190943 5.63 mg/kg , sampel ini berasal dari industri

pengolahan hasil perikanan dari PT. KML ( Kelolah Mina Laut).

Hasil perikanan seperti pada tuna loin beku sebelum di olah maupun di

ekspor dalam keadaan segar, terlebih dahulu memang harus di lakukan

pengujian kimia yaitu, uji analisis kadar histamin agar mutunya telah benar

benar terjamin yang telah memenuhi standar dan lebih aman lagi untuk

dikonsumsi.
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kegiatan praktek kerja lapang (PKL) di Balai

Penerapan Mutu Produk Perikanan (BPMPP), maka dapat di simpulkan :

1. Kegiatan pengujian kadar histamin yang di lakukan sangat memberikan

wawasan dan pengetahuan bagi penulis mengenai pengujian di

laboratorium kimia.

2. Dari hasil pengujian di dapatkan kadar histamine produk Frozen Yellowfin

Tuna Loin yaitu pada sampel KK KML 190938 analisa kadar histamin

yang didapat setelah di uji yaitu 5.01 mg/kg dari 10 gr sampel sedangkan

sampel KK KML 190943 analisa histamine yang didapatkan adalah 5.63

mg/kg dari 10 gr sampel, dimana standar yang diperbolehkan menurut

SNI yaitu Maksimum 100mg/100 gr . sehinga sampel yang di uji selama

PKL masih memenuhi standar ekspor.

B. Saran

1. Pengujian kimia harus betul-betul memperhatikan persyaratan teknis dan

teknik keamanan kerjanya, supaya dalam proses pengerjaan sesuai

dengan apa yang diharapkan.


2. Memperhatikan cara penyimpanan peralatan pengujian sebelum dan

sesudah digunakan agar terhindar dari cemaran baik secara kimia, fisik

maupun mikrobiologi

3. Lebih memperhatikan dan mengutamakan keselamatan kerja pada saat

melakukan pengujian di laboratorium yang sesuai dengan SOP.

4. Dalam melakukan pengujian di laboratorium kita perlu berhati hati

menggunakan peralatan yang ada pada laboratorium agar tidak rusak

dan bisa lagi di gunakan dalam waktu yang lama.


DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standarisasi Nasional, 2006a. Ikan segar-Bagian 1.


Spesifikasi. SNI.01.2729.1-2006. Jakarta: Badan Standarisasi
Nasional Indonesia.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2009b. Cara Uji Kimia Bagian 10 :


Penentuan Kadar Histamin dengan Spektrofluorometri dan
Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada Produk Perikanan.. SNI
2354.10:2009. Jakarta : BSN

BPMPP Makassar,2019

Collette B. 1994. FAO species catalogue Vol.2 scombrids of the world. Rome:

Food and Agriculture Organization of The United Nations.

Dahuri R. 2008. Restrukturisasi Manajemen Perikanan Tuna. Jakarta (ID):

Samudra Komunikasi Utama. Dagorn

Dalgaard P, Emborg J, Kjolby A, Sorensen ND, Ballin NZ. 2008. Histamine


and biogenic amines : formation and importance in seafood. T
Borresen, edited, Improving Seafood Product for the Customer. North
America : Woodhead PublishCRC Press LLC.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2005. Revitalisasi Perikanan.


Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia.

_____Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008a. Statistik Perikanan


Tangkap Indonesia 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan
Indonesia.

_____ Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008b. Statistik Ekspor Hasil


Perikanan 2007. Departemen Kelautan dan Perikanan Indonesia.
_____Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008c. Daya Saing Produk
Perikanan Indonesia yang Berkesinambungan. Departemen Kelautan
dan Perikanan Indonesia.

[EC] European Commission. 2004. Regulation (EC) No 853/2004 of the


European Parliament and of the Council of 29 April 2004 laying down
specific hygiene rules for food of animal origin. Official J of European
Union (226): 22-82.

_____. 2007. Rapid Alert System for Food and Feed (RASFF) Annual Report
2007. Luxemburg: European Comission

_____. 2011. Notification list in Rapid Alert System for Food and Feed
(RASFF)Portal.https://webgate.ec.europa.eu/rasffwindow/portal/index.
[31 Desember 2011]

Encylopedia of Life. 2016. Atlantic Bluefin (Thunnus thynnus). [terhubung


tidak berkala]. www.eol.org/pages/223943 [4 April 2016].

[FAO] Food and Agriculture Organization. 1995. Quality and Quality Changes
in Fresh Fish. Huss HH, editor. Rome: FAO.

[FDA] Food and Drug Administration. 2001. Fish and Fisheries Products
Hazards and Control Guidance. Ed ke-3. Washington DC.
www.fda.gov [3 Agustus 2010].

____. 2009. FDA Import Refusal. www.fda.gov. [3 Agustus 2010].

____. 2010. Detention without physical examination of seafood and seafood


products from specific manufacturers/shippers due to decomposition
and/or histamines. http://www.fda.gov [31 Desember 2010].
Fishbase. 2010. Yellowfin Tuna(Thunnus albacares). http://www.fishbase.org/
summary/Thunnus-albacares.html. [15 April 2011]

Indriati N, Rispayeni, Heruwati ES. 2006. Studi bakteri pembentuk histamin


pada ikan kembung peda selama proses pengolahan. Jurnal
Pascpanen dan bioteknologi Kelautan dan Perikanan. 2(1) : 88-99.

John M. Tennyson and R Steve Winlers, 2000, Histamin in seafood


Fluorometric Method, Fish and Others Marine Products, Association
of Official Analytical Chemists, 17 th Ed, Chapter 35. 1. 32-p:17 s/d 19
USA

Journal of food Science no. 4 Vol. 53, 1987 p. 925-927

Journal of liquid Chromatography Volume 15, No. 13 Tahun 1992.

Keer M, Paul L, Sylvia A, Carl R. 2002. Effect of storage condition on


histamine formation in fresh and canned tuna. Victoria : Comissioned
by Food Safety Unit.

Kerr M, Lawicki P, Aguirre S, Rayner C. 2002. Effect on Storage Conditions


on Histamine Formation in Fresh and Canned Tuna. Victoria : Public
Health Division, Victorian Government of Human Services: 9-10.

[KKP] Kementerian Kelautan dan Perikanan. 2010. Kelautan dan Perikanan


dalam Angka 2010. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia.

Maulana, Afrianto HE , Rustikawati I. 2012. Analisis bahaya dan penentuan


titik pengendalian kritis pada penanganan tuna segar utuh di PT Balia
Ocean Anugrah Linger Indonesia Benoa Bali. Jurnal Perikanan dan
Kelautan 3(4):1-5.
Nento WR, Nurhayati T, Suwandi R. 2014. Perubahan Mutu Daging Terang
Ikan Tuna Yellowfin Di Perairan Teluk Tomini Propinsi Gorontalo.
Jurnal Pengolahan Hasil Perikanan Indonesia 17(3):225-232.

New Zealand Ministry of Health. 2001. Scombroid (Histamine) Poisoning.


Environmental Science & Research ltd.

Price RJ, Melvin EF, Bell JW. 1991. Postmortem changes in chilled round
bled and dressed albacore. J. Food Sci. 35(8): 318-321.

Saanin H. 1984. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan. Jakarta : Bina Cipta.

Silva TM, Sabaini PS, Evangelista WP, Gloria MBA. 2010. Occurrence of
histamine in brazilian fresh and canned tuna. Food Control
22(2):323327.

Taylor T, Alasalvar C. 2002. Seafood-Quality, Technology and Nutraceutical


Applications. Berlin: Springer.

US Department of Health, Education, and Welfare. 1972. Ten-State Nutrition


Survey 1968-1970 Vol. 1V : Biochemical. Washington DC : HEW

Widiastuti I, Putro S. 2010. Analisis mutu Ikan Tuna selama lepas tangkap.
Jurnal Maspari 1(1):22-29.

Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V.


1969. Fish Curing and Processing. Moscow: MIR Publishers.
Lampiran 7. Dokumentasi Kegiatan PKL

Pengujian Kadar Histamin pada Ikan Tuna

Penghalusan Sampel Penimbangan Sampel

Homogenkan Sampel Masukkan kedalam waterbath


selama 15 menit 60 ℃
Saring Sampel kedalam Erlenmeyer Pembuatan Resin

Pemurnian Sampel persiapan Standar dan Blanko


Siapkan tabung reaksi atau bisa juga tabung 50 ml centrifuge

untuk masing contoh,standard an blanko. Pipet masing-masing 5 ml

filtrate contoh,larutkan standar kerja dan blanko(15 ml) HCL 0,1 N.

Tambah standar dan blanko 10 ml HCL 0,1 N, 3 ml NaoH 1 N,

kocok,dalam waktu 5 menit, +1 ml OPT 0,1 %, selama 4 menit. 3 ml

H3PO4 3,57 N, kocok .

Pengukuran menggunakan spektrofluorometri eksitasi 350 dan emisi 444 nm


Alat dan Bahan Pengujian Kadar Histamin

Sampel, gelas kimia,spatula, Timbangan Analitik


Gelas ukur,Mirko Tip

Easy Pure Water Waterbath


Homogenizer Pipet Volumetri

Mikro pipet dan Mikro tip Kolom Resin


Metanol NaoH 1 N

Aquades HCL 0,1 N

Asam phospat H3PO4 3,57 N Resin


Larutan Standar Histamin Sampel Frozen Yellowfin tuna loin

Anda mungkin juga menyukai