Konsep Dasar Antropologi PDF
Konsep Dasar Antropologi PDF
Konsep Dasar Antropologi PDF
Istilah antropologi berasal dari bahasa yunani, asal kata anthropos berarti manusia,
dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara harfiah antropologi berarting manusia.
Para ahli antropologi ( antropolog ) sering mengmukakan bahwa antropologi
merupakanstudi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian
ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia (Haviland,
1999:7; Koentjaraningrat, 1987: 1-2).
Jadi antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian atau
pemahaman tentang manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik,
masyarakat dan kebudayaannya.
Secara makro, antropologi dibagi ke dalam dua bagian, yakni antropologi fisik dan
antropologi budaya.
1. ANTROPOLOGI FISIK
Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organism biologis yang melacak
perkembangan manusia menurut evolusinya dan memnyelidiki variasi biologisnya
dalam berbagai jenis (spesies). Melaui aktivitas analisis yang mendlam terhadap
fosil-fosil dan pengamatan pada primate-primata yang pernah hidup, para ahli
antropologi fisik berusaha melacak nenek moyang jenis manusia untuk mengetahui
bagaimana, kapan, dan mengapa kita menjadi makhluk seperti sekaran ini
(Haviland, 1999: 13)
2. ANTROPOLOGI BUDAYA
Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan manusia
ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Menrut Haviland (1999:12) cabang
antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga bagian, yakni arkeologi,
antropologi linguistic, dan etnologi.
Antropologi budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik social, bentuk-
bentuk ekspresif, dan penggunaan bahasa, dimana makna diciptakan dan diujui
sebelum digunakan oleh masyaraka manusia (Burke, 2000: 193).
Biasanya, istilah antropologi budaya dikaitkan dengan tradisi riset dan penulisan
antropologi di Amerika. Pada awal abad ke-20, Franz Boas (1940) mengajukan
tinjauan kirtisnya terhadap asumsi-asumsi antropologi evolusioner serta
implikasinya yang cenderung bersifat rasial. Dalam hal itu, boas menyoroti
keberpihakan pada komparasi dan generalisasi amtropollogi tradisional yang
dinilainya kurang tepat, selanjutnya ia mengembangkan alitan baru yang sering
disebut antropologi boas. Dalam hal ini, boas meru,uskan konsep kebudayaan yang
bersifat relative. Plural. Dan holistic.
Saat ini,kajian antropologi budaya lebih menekankan pada empat sapek yang
tersusun.
a. Pertimbangan politik, di mana para antropolog budaya sering terjebak oleh
kepentinga-kepentinga politik dan membiarkan dalam penulisannya masih
terpaku oleh metode-metode lama yang sudah terbukti kurang layak untuk
menyusun sebuah karya ilmiah, seperti yang dikeluhkan said dalam orientalism
(1970.
b. Menyangkut hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Jika pada awalnmya
bertumpu pada asumsasumsi kepatuhan dan penguasaan masing-masing
anggota masyarakat terhadap kebudayaannya, sedangkan pada masa kini
dengan munculnya karya Bourdieu (1977) dan Foucault (1977, 1978) kian
menekankan pengguanaan taktis diskursus budaya yang melayani kalangan
tertentu di masyarakat.
c. Menyangkut bahasa dalam antropologi budaya, di man aterjadi pergeseran
makna kebudayaan dari homogenitas ke heterogenitas yang menekankan
peran bahasa sebagai system formal abstraksi-abstraksi kategori budaya.
d. Preferensi dan pemikiran individual di mana terjadi hubungan antara jati diri
dan emosi, sebab antara kepribadian dan kebudayaan memiliki keterkaitan
yang erat.
Cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi menjadi tiga bagian, yakni arkeologi,
antropologi linguistic, dan etnologi.
a. Arkeologi
Arkeologi adalah cabang antropologi kebudayaan yang mempelajari benda-benda
peninggalan lama dengan maksud untuk menggambarkan erta menerangkan
perilaku manusia karena dalam peninggalan-peninggalana lama itulah terpantul
ekspresi kebudayaannya.
b. Antropologi linguistic
Ernest Cassirer (1951 : 32)mengatakan bahwa manuisa adalah makhluk yang paling
mahir dalam menggunakan symbol-simbolsehingga manusia disebut homo
Symbolicum. Karena itulah manusia dapat berbahasa, berbicara dan melakukan
gerakan-gerakan lainnya yang yang juga banyak dilakukan oleh makhlik-makhluk
lain yang serupa dengan manusia.akan tetapi, hanya manusia yang yang dapat
mengembangkan system komunikasi lambing atau symbol yang begitu
komplekskarena m,anusia memang memiliki kemampuan bernalar. Disinilah
antropologi linguistic berperan. Ia merupakan deskripsi sesuatu bahasa ( cara
membentuk kalimat atau mengubah kata kerja) maupun sejarah bahasa yang
digunakan “(perkembngan bahasa yang saling mempengaruhi spanjang waktu). Dari
kedua pendekatan tersebut menghasilkan informasi yang berharga, tidak hanya
mengenai cara orang berkomunikasi, tetapi juga tentang bagaimana memahami
dunia luar.
c. Etnologi
Pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan perhatiaanya pada
kebudayaan-kebudayaan zaman sekarang, telaahnyapun terpusat pada perilaku
manusianya, sebagaimana yang dapat disaksikan langsung, dialami, sreta
didiskusiakan dengan pendukung kebudsayaannya. Dengan demikian, etnologi ini
mirip dengan arkeologi, bedanya dalam etnologi tentyang kekinian yang dialami
dalam kehidupan sekarang, sedangkan arkeologi tentang kelampauan yang sangat
klasik. Oleh karena itu, benar ungkapan Kluckhohn (1965) yang mengatakan bahwa
ahli etnografi adalah ahli arkeologi yang m,engamati arkeologinya hidup-hidup.
Antropologi pada hakikatnya mendokumentasikan kondisi manusia pada masa
lampau dan masa kini.
Perhatian utamanya adalah pada masyarakat-masyarakat eksotis, masa prasejarah,
bahasa tak tertulis, dan adat kebiasaan yang aneh. Akan tetapi, itu semata-
mataadalah cara natropolog mengungkapkan perhatian terhadap tempat-tempat
dan saat ini. Cara yang ditempuh antropolog ini memberikan sumbnagan unik
kepada pengetahuan kita tentang apa yan sedang terjadi di dunia. Kita tidak dapat
memahami diri sendiri laepas dari pemahaman kita tentang budaya. Tak peduli
betapa primitive, betapa kuno, atau betapapun remeh kelihatannya. Semenjak
tersingkap oleh suatu peradaban eropa yang sedang berekspansi, bangsa-bangsa
primitive terus menerus melayang mangambang adi benak orang-orang pemikir bak
arwah nenek moyang, senatiasa memancing–mancing kuriositas antropologis ini.
“kembali ke yang primitive” hanya demi (kembali ke)yang primitive itu sendiri, akam
merupakan kedunguan, mereka yang masih berperadaban rendah (savage)
bukanlah para bangsawan alam dan keberadaan hidup mereka tidak juga Firdausi
(Kapplan dan Manners, 1999: xiii).
2. Antropologi Medis
Antropologi medis merupakan subdisiplin yang sekarang paling populis di
Amerika Serikat, bahkan tumbuh pesat di mana-mana. Antropologi medis ini
banyak membahas hubungan antara penyakit dan kebudayaan yang tampak
mempengaruhi evolusi manusia, terutama berdasarkan hasil-hasial penemuan
paleopatologi (Foster dan Anderson, 1986: vi). Begitu luasnya ruang lingkup
antropologi medis tersebut, sampai sekarang tidak mudah untuk didefinisikan
subjek kajiannya.namun, yang jelas minat meneliti berbagai reaksi orang dalam
masyarakat dan budaya tertentu terhadap tubuh yang menderita penyakit,
telah menjadi cirri antropologi medis sejak sejak awal mula terbentuknya
sampai masa sekarang. Terutama yang berjasa dalam perkembanngan disiplin
ini adalah Foster dan Anderson yang menulis karyanya Medical Anthropology [
1978 (1986)], dsisusul oleh McElroy dan Townsend dalam bukunya Medical
Antropology in Ecological Perspective (1985).
3. Antropologi Psikologi
Bidang ini merupakan wilayah antropologi yang mengkaji tentang hubungannya
antara individu dengan makna dan nilai dengan kebiasaan social dari system
budaya yang ada (White, 2000:856). Adapun ruang lingkup antropologi psikologi
tersebut sangat luas dan menggunakan berbagai pendekatan pada masalah
kemunculan dalam interaksi antara pikiran, nilai, dan kebiasaan social. Kajian ini
dibentuk secara khusus oleh percakapan interdisipliner antara antropogi dan
lingkup lain dalam ilmu-ilmu social serta humaniora (Schwartz, 1992).
Sedangkan focus kajian bidang ini terpusat pada individu dalam masyarakat
makin mendekatkan hubungan dengan psikologi dan psikiatri disbanding
dengan mainstream antropologi. Namun, secara historis bidang antropologi
psikologi tersebut lebih dekat pada psikoanalisis daripada psikologi
eksperimental.
4. Antropologi Sosial
Bidang ini mulai dikembangkan oleh James George Frazer di Amerika Serikat
pada awal abad ke-20. Dalam kajiannya, antropologi social mendeskripsi proyek
evolusionis yang bertujuan untuk merekonstruksi masyarakat primitive asli dan
mencatat perkmebangannya melalui berbagai tingkat peradaban.selanjutmya,
pada tahun 1920-an di bawah pengaruh Brosnilaw Malinowski dan A.R.
Radecliffe-Brown, penekanan pada antropologi social Inggris bregerak menjadi
suatu studi komperatif masyarakat kontemporer (Kuper, 2000:971).
Prancis merupakan salah satu Negara eropa barat yang secara gigih
memberikan pengaruh kuat terhadap perkembangan antropologi social di
eropa. Pada tahun 1989, dididrikan European Association of Social
Anthropologists, yang kemudia dengan berbagai konferensi dan
publikasinyapda tahu 1992 diterbitkan jurnal Social Anthropology, dan
bersamaan itu pula banayk diciptakan berbagai teori social kontemporer (Kuper,
1992), mereka bereksperimen dengan suatu kisaran yang luas dari strategi
penelitian yang bersifat komparatif, historis, dan etnografis. Sedangkan tradisi
penelitian lapangan etnografi tetap kuat, di mana Eropa sekarang pun
merupakan salah satu pusat para peneliti antropologi social.
G. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGI
Sebagaimana ilimu-ilmu social lainnya, penggunaan konsep dalam antropologi
adalah penting karena pengembangan konsep yang terdefinisikan dengan baik
merupakan tujuan dari setiap disiplin ilmu. Walaupun menurut keesing (1958: 152)
yang mengemukakan ‘tidak ada dua ahli antropologi yang berfikirnya sama persis,
stau mengguanakan dengan tepat pengoprasian konsep-konsep atau symbol-
simbol yang sama.’
Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi, diantaranya :
1. Kebudayaan
Istilah culture (kebudayaan) berasal dari bahas latin, yakni cultura dari kata
dasar colere yang berarti berkembang tumbuh. Namun, secara umum
pengertina kebudayaan mengacu kepada kumpulan pengetahuan yang secara
social diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maksa itu kontras
dengan pengertian kebudayaan sehari-hari yang hanya merujuk kepada bagian-
bagian tertentu warisan social, yakni tradisi sopan santun dan kesenian
(D’Andrade, 1995:1999).
2. EvolusI
Secara sederhana, konsep evolusi mengacu pada sebuah transformasi yang
berlangsung secara bertahap. Walaupun istilah tersebut merupakan istilah
umum yang dapat dipakai dalam berbagai bidang studi (McHenry, 2000: 453).
Dalam pandangan para antropologi, istilah evolusi yang merupakan gagasan
bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari suatu bentuk ke bentuk lain
melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tidak pernah putus asa,
pada umumnya diterima sebagai awal landasan berfikir mereka. Konsep evolusi
yang sering digandengkan dengan pengertian perubahan secara perlahan-lahan
tapi pasti, memang diawali dengan karya Charles Darwin dalam bukunya yang
terkenal Origin of Species (1859). Sebenarnya, gagasan ini menyatakan bahwa
bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari bentuk satu ke bentuk yang lainnya
diperkirakan sudah sejak zaman yunani kuno, sejumlkah pemikir pada masa itu
telah membuat postulat yang serupa atau mendekati pengertian asal usul
kehidupan yang evolusioner. Banyak pelopor sebelum Darwin, termasuk
kakeknya sendiri, mengakui adanya keragaman dan diversitas kehidupan
dengan mengajukan hipotesis tentang modifikasi evolusioner.
Gagasan tentang evolusi melalui seleksi alam merupakan gagasan utama
Darwin dalam bukunya tersebut. Darwin dianggap telah mencapai pemahaman
yang koheren, meskipun tidak lengkap karena dia tidak tahu tentang proses
hereditas atau pewarisan karekter yang kemudian ditemukan Gregor Mendel
(Dobzhansky, 1962; Huxley, 1942). Pengaruhnya begitu luas, bukan hanya di
bidang biologi saja, tetapi melebar ke bidang-bidang social budaya. Oleh karena
itu, terminology evolusi tidak berhenti dalam bidang biologi, tetapi merambah
ke bidang lain sehingga di kenal istilah-istilah dan teori-teori, seperti teori
evolusi keluarga, evolusi agama, dan evolusi social budaya. Untuk nama yang
terakhir, sering overlap dengan darwinisme social, di mana Herbert Spencer
merupakan sumber pertama yang memunculkan jargon the survival of the
fittest ( daya tahan dari jenis atau individu yang memiliki cirri-ciri paling cocock
dengan lingkungannya), sebagaimana tertung dalam karyanya Principle of
Sociology.
3. Culture area (Daerah Budaya)
Suatu daerah budaya (culture area) adalah suatu daerah geografis yang
memiliki sejumlah cirri-ciri budaya dan kompleksitas lain yang dimilikinya
(Banks, 1977: 274). Menurut definisi di atas, suatu daerah kebudayaan pada
mulanya berkaitan dengan pertumbuhan kebudayaan yang menyebabkan
timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsus-unsur lama kearah
pinggir, sekeliling daerah pusat pertumbuhan tersebut.
4. Enkulturasi
Konsep enkulturasi mengacu kepada suatu proses pembelajaran kebudayaan
(Soekanto, 1993:167). Dengan demikian, pada hakikatnya setiap orang sejak
kecil sampai tua, melakukan proses enkulturasi, mengingat manusia sebagai
makhluk yang dianugerahi kemampuan untuk berfikir dan bernalar sangat
memungkinkan untuk setiap waktu meningkatkan kemampuan kognitif, afektif,
dan psikomotornya. Beberapa tokoh peneliti psikologi perkembangan telah
mempublikasikan hasil risetnya yang mengagumkan.
Dalam aspek kemampuan berpikir (perkembangan kognitif) Jean Piaget (1967;
1970) memberikan kerangka kerja untuk melakukan analisis terhadap aktivitas
berpikir anak. Menurutnya, secara rinci terdapat emapat tahapan
perkembangan kognitif, yaitu :
a. Periode sensori motor, yakni sejak lahir sampai usia 1,5-2 tahun, mereka
memiliki kemampuan meraih-raih dan menggenggam;
b. Periode praoperasi, yakni usia 2-3 sampai 7-8 tahun, mereka mulai mampu
berfikir secara logis, perkembngan bahasa sangat cepat, dan banyak
melakukan monolog;
c. Periode operasi konkret, yakni usia 7-8 sampai 12-14 tahun, memiliki
kemampuan untuk melihat pandangan orang lain, ikut dalam permainan
kelompok yang menaati peraturan, dan mampu membedakan satuan yang
berbeda, seperti meter dan kilogram;
d. Periode operasi formal, yakni usia di atas 14 tahun, mampu membuat
rencana mas depan dn memulai peranan orang dewasa, selain itu anak
dapat bernalar dari situasi rekaan ke situasi nyata.
5. Difusi
Difusi adalah proses penyebaran unsure-unsur kebudayaan secara meluas
sehingga melewati bata tempat di mana kebudayaan itu timbul (Soekanto,
1993: 150). Dalam proses difusi ini erat kaitannya dengan konsep inovasi
(pembaharuan).
Menurut Everett M. Rogers dalam karyanya Diffusion of Innovation (1983),
cepat tidaknya suatu proses difusi sangat erat hubungannya dengan empat
elemen pokok, yaitu (a) sifat inovasi; (b) komunikasi dengan saluran tertentu;
(c) waktu yang tersedia; (d) system social warga masyarakat.
6. Akulturasi
Akulturasi adalah proses pertukaran ataupun saling memengaruhi dari suatu
kebudayaan asing yang berbeda sifatnya sehingga unsure-unsur kebudayaan
asing tersebut lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam
kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadiannya sendiri
(Koenjtaraningrat, 1990: 91). Proses akulturasi sangat penting dalam
pembelajaran ilmu-ilmu social maupun studi social, mengingat sebagaimana
dijelaskan R. Linton (1984: 357-360) bahwa percepatan budaya inti (covert
culture) dengan budaya lahiriah (overt culture) adalah berbeda.
7. Etnosentrisme
Tiap-tiap kelompok cenderung untuk berfikir bahwa kebudayaan dirinta itu
adalah superior (lebih baik dan lebih segalanya) dari pada semua budaya yang
lain. Inilah yang disebut denag etnosentrisme. Seorang haliu komunikasi
intercultural Fred E. Jandt dalam karyanya Intercultural Communication: An
Introduction (1998: 52) mengemukakan etnosentrisme merupakan sikap …
negatively judging aspects of another culture by the standards of ones’s own
culture.’… secra negative menilai aspek budaya orang lain oleh standar kultur
diri sendiri’. Oleh karenanitu, jandt dalam penjelasan selanjutnya
mengemukakan bahwa etnosentrisme merupakan penghambat ketiga dalam
keterampilan komunikasi intercultural setelah kecemasan dan
mengumpamakan persamaan sebagai perbedaan.
Tercapainya keterampilan komunikasi intercultural yang optimal menjadi
penting, baik ditingkat local, nasional, maupun global. Pada tingkat local dan
nasional, pembelajaran pengembangan keterampilan komunikasi intercultural
dapat meningkatkan rasa saling menghargai, rasa memiliki, dan solidaritas yang
pada gilirannya mampu memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Sedangkan pada level global atau internasional dapat memupuk kepedulian
antarwarga dunia, meningkatkan rasa kesetiakawanan, solidaritas, dan
kerjasama antar bangsa yang saling menguntungkan dalam kesamaan dan
kesetaraan ( supardan, 2004: 84-86).
8. Tradisi
Tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian
dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi bagian dari suatu
budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi adat istiadat dan kepercyaan
secara turun-temurun (Soekanto, 1993: 520). Para siswa perlu mempelajari
trades sebab tidak sedikit dalam kajian tradisi mengandung nilai-nilai keluhuran
budi yang tinggi dan sering tidak tersentuh oleh agama maupun budaya global.
Kita dapat belajar dari pengembangan nilai-nilai tradisional jepang sebagai
bagian integral keberhasilan restorasi meiji dan modernisasinya sehingga
jepang menjadi Negara industry pertama dan termaju di Asia sejak abad ke-19
(Clyde, 1958: 223-225).
Namun sebaliknya, tradisi tidak terlalu berpihak kepada nilai kebaikan bahkan
bertentangan dengan nilai hak asasi manusia secara universal. Pertunjukan
gladiator yang mempertontonkan kekuatan dan kekejian seorang pembunuh di
depan raja dan golongan bangsawan romawi abad pertengahan, upacara satti
yang merupakan pembakaran janda di India yang pernah hidup pada masa
India klasik, menunjukan betapa hal itu merendahkan nilai-nilai kemanusiaan
hingga nyawa manusia menjadi ajang permainan belaka. Oleh karena itu,
dengan mempelajari tradisi, siswa dapat reflektif, belajar berfikir kritis, dan
kreatif. Mempertanyakan hakikat nilai-nilai kebenaran, abaik pada masanya
maupun relavansinya denga kekinian.
10. Stereotip
Stereotip (stereotype) adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu
stereos yang berarti solid dan tupos yang berarti citra atau kesan. Suatu
stereotip mulanya adalah suatu rencana cetakan yang begitu terbentuk sulit
diubah. Oleh Walter Lippman, orang pertama yan mengaltikulasikan teori
cognitive miser dalam bukunya Publik Opinion (1922), kata ini diadaptasi untuk
penggunaanya yang sekarang, biasanya didefinisikan sebagai generalisasi yang
relative tetap mengenai kelompok atau kelas manusia yang menjurus ke hal-hal
negatife ataupun tidak menguntungkan, meskipun beberapa penulis juga
memasukan konsep stereotip positif.
Lippman (1922) mengemukakan bahwa stereotip merupakan fungsi penting
dari penyederhanaan kognitif yang berguan untuk mengelola realitas ekonomi,
di mana tanpa penyederhanaan maka realitas tersebut menjadi sangat
kompleks.
Di Indonesia, stereotip pun demikian berkembang terutama di kalangan
masyarakat menengah ke bawah maupun masyarakat yang relative
berpendididkan rendah. Beberapa etnis tertentu sering mendapat label yang
menyudutkan, seperti “Cina Licik”, “Jawa Koek”, “Padang Bengkok”, “Bapak si
tukang copet”, dan sebagainya (Supardan, 2004: 63-70). Wajar jika menurut
Fred E. Jandt dalam bukunya Intercultural Communication: An Introduction
mengemukakan bahwa stereotype dan prejudice merupakan penghambat
terjadinya komunikasi antarbudaya yang bermakna di tengah budaya yang
berbeda, di samping fakto-faktor kecemasan dan etnosentrisme (Jandt, 1998:
70-74).
11. Kekerabatan
Istilah kekerabatan atau kinship menurut antropolog Robin Fox dalam karyanya
Kinship and Marriege (1969) merupakan konsep inti dalam antropologi. Konsep
kekerabatan tersebut merujuk kepada tipologi klasifikasi kerabat (kin) menurut
penduduk tertentu berdasarkan aturan-aturan keturunan (descent) dan aturan-
aturan perkawinan. Satu tesis yang umum diterima oleh kebanyakan
antropologi bahwa dalam komunitas purba, unit dan ikatan domestic
didasarkan pada kelompok-kelompok keterunan unilineal, keturunan ditelusuri
pada garis laki-laki (patrilineal) maupun pada garis perempuan (matrilineal).
Namun akhirnya pada awal abad ke-20, pendapat tersebut ditolak (Kuper,
2000: 533). Menurut Malinowski, keluarga adalah suatu institusi domestic,
bergantung pada afeksi, dan bertujuan membesarkan anak. Korporasi
keturunan adalah institusi public dan politis yang memiliki suatu peran dalam
urusan komunitas dan pengaturan hak-hak kepemilikan (property rights). Kaan
tetapi, Malinowski pun mengatakan bahwa kelompok keturunan dibangun di
atas sentimen-sentimen solidaritas yang tercipta dalam keluarga domestic
(Malinowski, 1929). Kemudian, Radcliffe-Brown berpandangan bahwa system
kekerabatan yang lebih luas dibangun di atas fondasi keluarga, namun bila
keluarga secar universal bersifat bilateral – ikatan ibu dan ayah – kebanyakan
masyarakat lebih menyukai satu sisi dalam keluarga untuk tujuan-tujuan public.
Sebab fungsi utama ketturunan adalah untuk meregulasi transmisi kepemilikan
dan hak masyarakat dari generasi ke generasi (Kupper, 1992).
12. Magis
Konsep magis menurut seorang pendiri antropologi di Inggris E.B. Tylor dalam
Primitive Culture (1871) merupakan ilmu pseudo dan salah satu khayalan paling
merusak yang pernah menggerogoti umat manusia. Kemudian, dari antropolog
J.G. Frazer dalam karyanya Golden Bough (1890), mengemukakan bahwa magis
adalah penerapan yang salah pada dunia materiil dari hokum pikkiran dengan
maksud unutk mendukung system palsu dari hokum alam.
Penegasan di atas tidak member penjelasan yang memadai, terutama Tylor
yang menyoroti dari sisi negatifnya karena ia hanya melihat dari sis efek yang
ditimbulaknnya. Namun demikian, Tylor pun mengemukakan bahwa sebagai
‘ilmu pseudo’ –suatu istilah yang pertama kali dipopulerkannya- dapat diringkas
menjadi dua prinsip dasa. Pertama, kemiripan menghasilkan kemiripan. Kedua,
segala sesuatu atau benda yang pernah dihubungkan akan terus saling
berhubungan dalam jarak tertentu. Dua prinsip ini menghasilkan magis
homeophatic atau imitative dan magis sympatheic karena keduanya
mengasumsikan bahwa segala benda akan saling berhubunagn satu sama lain
dalam jarak tertentu melalui suatu simpati rahasia, impuls ditransmisikan dari
satu pihak ke pihak lain lewat sarana yang kita sebut sebagai zat tidak terlihat
(Tylor, 1871; Frazer, 1932).
13. Tabu, dan
Istilah tabu berasal dari bahasa polinesia yang berarti terlarang. Secara apa
Yang dikatakan terlarang adalah persentuhan antara hal-hal duniawi dan hal--
hal yang keramat, termasuk suci (misalnya persentuhan dengan
ketua suku
14. Perkawinan.
Agak sulit untuk mendefinisikan perkawiana, kerena setiap istilah perkawinan
tersebut memiliki banyak bentuk dan dipengaruhioleh system nilai budaya
masing-masing. Namun, secara umum konsep perkawinan tersebut mengacu
kepada proses formal pemaduan hubungan dua individu yang berbeda jenis
(walaupun kaum lesbi pun terjadi, namun itu bagian kasus) yang dilakukan
secara seremonial-simbolis dan makin dikarakterisasi oleh adanya
kesederajatan, kerukunan, dan kebersamaan dalam memulai hidup baru dalam
berpasangan. Walaupun sebagaimana seirng dikemukakan oleh aktifis kaum
feminis, perkawinan selalu ditandai dengan pembagian kerja yan g tegas dan
distribusi sumber daya yang tidak adil. Dalam pandangan ini, perkawiana
mencerminkan ketidaksederajatan yang ada di luar arena domestic (Allan,
2000: 611).
Pada sebagian besar tradisi, perkawiana juga mrupakan proses institusi social
sebagai wahan reproduksi dan mengembangkan keturunan. Oleh karena itu,
kecenderungan umum darii perkawinan, dengan adanya kelahiran ana-anak
mendorangikatan yang lebih erat dalam pembagian kerja (Mansfielf dan
Collard, 1988), sekaligus sebagai konsekuensi negative dalam partisipasi social
dan ekonomi bgai wanita. Walaupun tidak mudah untuk memperoleh data yan
memadai, bukti dari berbagai Negara mengindikasi bahwa pria secara utin
memiliki tingkatan yang lebih tinggi dalam belanja individu dibanding dengan
pasangan wanitanya. Pria pun memiliki kuasa yang lebih besar dalam
menangani keputusan-keputusa besar dan memberikan prioritas yang lebih
tinggi terhadap pekerjaan-pekerjaan dan aktivitas waktu luang mereka (Allan,
2000: 612).
H. TEORI-TEORI ANTROPOLOGI
1. Teori Orientasi Nilai Budaya dari Kluckhohn
Menurut teori tersebut, hal-hal yang paling tinggi nilainya dalam kebudayaan
hidup manusia minimal ada 5 hal, yaitu:
Disusun oleh :
2009
+--------------------------------------+-
+----