Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Konsep Dasar Antropologi PDF

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 129

A.

PENGERTIAN DAN RUANG LINGKUP ANTROPOLGI

Istilah antropologi berasal dari bahasa yunani, asal kata anthropos berarti manusia,
dan logos berarti ilmu. Dengan demikian, secara harfiah antropologi berarting manusia.
Para ahli antropologi ( antropolog ) sering mengmukakan bahwa antropologi
merupakanstudi tentang umat manusia yang berusaha menyusun generalisasi yang
bermanfaat tentang manusia dan perilakunya, dan untuk memperoleh pengertian
ataupun pemahaman yang lengkap tentang keanekaragaman manusia (Haviland,
1999:7; Koentjaraningrat, 1987: 1-2).
Jadi antropologi merupakan ilmu yang berusaha mencapai pengertian atau
pemahaman tentang manusia dengan mempelajari aneka warna bentuk fisik,
masyarakat dan kebudayaannya.

Secara makro, antropologi dibagi ke dalam dua bagian, yakni antropologi fisik dan
antropologi budaya.
1. ANTROPOLOGI FISIK
Antropologi fisik mempelajari manusia sebagai organism biologis yang melacak
perkembangan manusia menurut evolusinya dan memnyelidiki variasi biologisnya
dalam berbagai jenis (spesies). Melaui aktivitas analisis yang mendlam terhadap
fosil-fosil dan pengamatan pada primate-primata yang pernah hidup, para ahli
antropologi fisik berusaha melacak nenek moyang jenis manusia untuk mengetahui
bagaimana, kapan, dan mengapa kita menjadi makhluk seperti sekaran ini
(Haviland, 1999: 13)

2. ANTROPOLOGI BUDAYA
Antropologi budaya memfokuskan perhatiannya pada kebudayaan manusia
ataupun cara hidupnya dalam masyarakat. Menrut Haviland (1999:12) cabang
antropologi budaya ini dibagi-bagi lagi menjadi tiga bagian, yakni arkeologi,
antropologi linguistic, dan etnologi.
Antropologi budaya juga merupakan studi tentang praktik-praktik social, bentuk-
bentuk ekspresif, dan penggunaan bahasa, dimana makna diciptakan dan diujui
sebelum digunakan oleh masyaraka manusia (Burke, 2000: 193).
Biasanya, istilah antropologi budaya dikaitkan dengan tradisi riset dan penulisan
antropologi di Amerika. Pada awal abad ke-20, Franz Boas (1940) mengajukan
tinjauan kirtisnya terhadap asumsi-asumsi antropologi evolusioner serta
implikasinya yang cenderung bersifat rasial. Dalam hal itu, boas menyoroti
keberpihakan pada komparasi dan generalisasi amtropollogi tradisional yang
dinilainya kurang tepat, selanjutnya ia mengembangkan alitan baru yang sering
disebut antropologi boas. Dalam hal ini, boas meru,uskan konsep kebudayaan yang
bersifat relative. Plural. Dan holistic.
Saat ini,kajian antropologi budaya lebih menekankan pada empat sapek yang
tersusun.
a. Pertimbangan politik, di mana para antropolog budaya sering terjebak oleh
kepentinga-kepentinga politik dan membiarkan dalam penulisannya masih
terpaku oleh metode-metode lama yang sudah terbukti kurang layak untuk
menyusun sebuah karya ilmiah, seperti yang dikeluhkan said dalam orientalism
(1970.
b. Menyangkut hubungan kebudayaan dengan kekuasaan. Jika pada awalnmya
bertumpu pada asumsasumsi kepatuhan dan penguasaan masing-masing
anggota masyarakat terhadap kebudayaannya, sedangkan pada masa kini
dengan munculnya karya Bourdieu (1977) dan Foucault (1977, 1978) kian
menekankan pengguanaan taktis diskursus budaya yang melayani kalangan
tertentu di masyarakat.
c. Menyangkut bahasa dalam antropologi budaya, di man aterjadi pergeseran
makna kebudayaan dari homogenitas ke heterogenitas yang menekankan
peran bahasa sebagai system formal abstraksi-abstraksi kategori budaya.
d. Preferensi dan pemikiran individual di mana terjadi hubungan antara jati diri
dan emosi, sebab antara kepribadian dan kebudayaan memiliki keterkaitan
yang erat.

Cabang antropologi budaya ini dibagi-bagi menjadi tiga bagian, yakni arkeologi,
antropologi linguistic, dan etnologi.
a. Arkeologi
Arkeologi adalah cabang antropologi kebudayaan yang mempelajari benda-benda
peninggalan lama dengan maksud untuk menggambarkan erta menerangkan
perilaku manusia karena dalam peninggalan-peninggalana lama itulah terpantul
ekspresi kebudayaannya.

b. Antropologi linguistic
Ernest Cassirer (1951 : 32)mengatakan bahwa manuisa adalah makhluk yang paling
mahir dalam menggunakan symbol-simbolsehingga manusia disebut homo
Symbolicum. Karena itulah manusia dapat berbahasa, berbicara dan melakukan
gerakan-gerakan lainnya yang yang juga banyak dilakukan oleh makhlik-makhluk
lain yang serupa dengan manusia.akan tetapi, hanya manusia yang yang dapat
mengembangkan system komunikasi lambing atau symbol yang begitu
komplekskarena m,anusia memang memiliki kemampuan bernalar. Disinilah
antropologi linguistic berperan. Ia merupakan deskripsi sesuatu bahasa ( cara
membentuk kalimat atau mengubah kata kerja) maupun sejarah bahasa yang
digunakan “(perkembngan bahasa yang saling mempengaruhi spanjang waktu). Dari
kedua pendekatan tersebut menghasilkan informasi yang berharga, tidak hanya
mengenai cara orang berkomunikasi, tetapi juga tentang bagaimana memahami
dunia luar.
c. Etnologi
Pendekatan etnologi adalah etnografi, lebih memusatkan perhatiaanya pada
kebudayaan-kebudayaan zaman sekarang, telaahnyapun terpusat pada perilaku
manusianya, sebagaimana yang dapat disaksikan langsung, dialami, sreta
didiskusiakan dengan pendukung kebudsayaannya. Dengan demikian, etnologi ini
mirip dengan arkeologi, bedanya dalam etnologi tentyang kekinian yang dialami
dalam kehidupan sekarang, sedangkan arkeologi tentang kelampauan yang sangat
klasik. Oleh karena itu, benar ungkapan Kluckhohn (1965) yang mengatakan bahwa
ahli etnografi adalah ahli arkeologi yang m,engamati arkeologinya hidup-hidup.
Antropologi pada hakikatnya mendokumentasikan kondisi manusia pada masa
lampau dan masa kini.
Perhatian utamanya adalah pada masyarakat-masyarakat eksotis, masa prasejarah,
bahasa tak tertulis, dan adat kebiasaan yang aneh. Akan tetapi, itu semata-
mataadalah cara natropolog mengungkapkan perhatian terhadap tempat-tempat
dan saat ini. Cara yang ditempuh antropolog ini memberikan sumbnagan unik
kepada pengetahuan kita tentang apa yan sedang terjadi di dunia. Kita tidak dapat
memahami diri sendiri laepas dari pemahaman kita tentang budaya. Tak peduli
betapa primitive, betapa kuno, atau betapapun remeh kelihatannya. Semenjak
tersingkap oleh suatu peradaban eropa yang sedang berekspansi, bangsa-bangsa
primitive terus menerus melayang mangambang adi benak orang-orang pemikir bak
arwah nenek moyang, senatiasa memancing–mancing kuriositas antropologis ini.
“kembali ke yang primitive” hanya demi (kembali ke)yang primitive itu sendiri, akam
merupakan kedunguan, mereka yang masih berperadaban rendah (savage)
bukanlah para bangsawan alam dan keberadaan hidup mereka tidak juga Firdausi
(Kapplan dan Manners, 1999: xiii).

Secara keseluruhan, yang termasuk bidang-bidang khusus secara tematis dalam


antropologi lainnya, selain antropologi fisik dan kebudayaan adala antropologi
ekonomi, antropologi medis, antropologi psikologi, dan antropologi social.
1. Antropologi Ekonomi
Bidang ini merupakan cara manusia dalam mempertahankan dan
mengekspresikan diri melalui penggunaan barang dan jasa material (Gudeman,
2000: 259). Antropologi ekonomi berusaha merangkum aspek etnografis dan
teoretis, sekalipun kedua acap kali bertentangan. Sebab di satu bidang kajian ini
pun membantu pengujian atas teori-teori ekonomi pada umumnya.di sisi lain,
bidang lain pun dipengaruhi cabang-cabang lain dari ilmu ekonomi, khususnya
aliran mikro dan neoklasik. Melalui pengkajian pendekatan neoklasik, membuat
para pemerhati antropologi ekonomi pun meyakini asumsi-asumsinya, seperti
rasionalitas setiap individu, pengutamaan kalkulasi, optimalisasi, dan
sebagainya yang tidak begitu relevan terhadap pendekatan-pendekatan lain
yang lebih umum dalam antropologi (Gudeman, 2000: 259). Sedangkan
ekonomi makro ternyata tidak banyak member pengaruh, walaupun
cakupannya begitu besar (makro) bahkan yang leb ih unik lagi adalah aliran
marxisme, justru member pengaruh terhadap antropologi ekonomi.

2. Antropologi Medis
Antropologi medis merupakan subdisiplin yang sekarang paling populis di
Amerika Serikat, bahkan tumbuh pesat di mana-mana. Antropologi medis ini
banyak membahas hubungan antara penyakit dan kebudayaan yang tampak
mempengaruhi evolusi manusia, terutama berdasarkan hasil-hasial penemuan
paleopatologi (Foster dan Anderson, 1986: vi). Begitu luasnya ruang lingkup
antropologi medis tersebut, sampai sekarang tidak mudah untuk didefinisikan
subjek kajiannya.namun, yang jelas minat meneliti berbagai reaksi orang dalam
masyarakat dan budaya tertentu terhadap tubuh yang menderita penyakit,
telah menjadi cirri antropologi medis sejak sejak awal mula terbentuknya
sampai masa sekarang. Terutama yang berjasa dalam perkembanngan disiplin
ini adalah Foster dan Anderson yang menulis karyanya Medical Anthropology [
1978 (1986)], dsisusul oleh McElroy dan Townsend dalam bukunya Medical
Antropology in Ecological Perspective (1985).

3. Antropologi Psikologi
Bidang ini merupakan wilayah antropologi yang mengkaji tentang hubungannya
antara individu dengan makna dan nilai dengan kebiasaan social dari system
budaya yang ada (White, 2000:856). Adapun ruang lingkup antropologi psikologi
tersebut sangat luas dan menggunakan berbagai pendekatan pada masalah
kemunculan dalam interaksi antara pikiran, nilai, dan kebiasaan social. Kajian ini
dibentuk secara khusus oleh percakapan interdisipliner antara antropogi dan
lingkup lain dalam ilmu-ilmu social serta humaniora (Schwartz, 1992).
Sedangkan focus kajian bidang ini terpusat pada individu dalam masyarakat
makin mendekatkan hubungan dengan psikologi dan psikiatri disbanding
dengan mainstream antropologi. Namun, secara historis bidang antropologi
psikologi tersebut lebih dekat pada psikoanalisis daripada psikologi
eksperimental.

4. Antropologi Sosial
Bidang ini mulai dikembangkan oleh James George Frazer di Amerika Serikat
pada awal abad ke-20. Dalam kajiannya, antropologi social mendeskripsi proyek
evolusionis yang bertujuan untuk merekonstruksi masyarakat primitive asli dan
mencatat perkmebangannya melalui berbagai tingkat peradaban.selanjutmya,
pada tahun 1920-an di bawah pengaruh Brosnilaw Malinowski dan A.R.
Radecliffe-Brown, penekanan pada antropologi social Inggris bregerak menjadi
suatu studi komperatif masyarakat kontemporer (Kuper, 2000:971).
Prancis merupakan salah satu Negara eropa barat yang secara gigih
memberikan pengaruh kuat terhadap perkembangan antropologi social di
eropa. Pada tahun 1989, dididrikan European Association of Social
Anthropologists, yang kemudia dengan berbagai konferensi dan
publikasinyapda tahu 1992 diterbitkan jurnal Social Anthropology, dan
bersamaan itu pula banayk diciptakan berbagai teori social kontemporer (Kuper,
1992), mereka bereksperimen dengan suatu kisaran yang luas dari strategi
penelitian yang bersifat komparatif, historis, dan etnografis. Sedangkan tradisi
penelitian lapangan etnografi tetap kuat, di mana Eropa sekarang pun
merupakan salah satu pusat para peneliti antropologi social.

B. PENDEKATAN, METODE, TEKNIK, ILMU BANTU, DAN JENIS PENELITIAN


ANTROPOLOGI.

Pendekatan yang digunakan dalam antropologi menggunakan pendekatan


kuantitatif (positivistic) dan kualitatif (naturalistic). Artinya, dalam penelitian
antropologi dapat dilakukan melalui pengkajian secara statistic-matematis, baik
dilakukan untuk mengukur pengaruh maupun korelasi antarvariabel penelitian,
maupun dilakukan secara kualitatif-naturalistik.
Selain pendekatan positivistic dan naturalistic, menurut Kapplan dan Manners
(1999:6) dalam antropologi pun dikenal pendekatan relativistic dan
kopmperatif. Pendekatan relativistic memandang bahwa setiap kebudayaan
merupakan konfigurasi unik yang memili,I ciri rasa khas, gaya, serta kemampuan
tersendiri. Sedangkan kaum komparativis berpendapat bahwa suatu institusi,
proses, kompleks, atau ihwal sesuatu hal, haruslah terlebih dahulu dicopot dari
matriks budaya yang lebih besar dengan cara tertentu sehingga dapat
dibansingkan dengan institusi, proses, kompleks, atau ihwal-ihwal dalam
konteks sosiokultural Lin. Adanya relativitas yang eksterm, berangkat dari
anggapan-anggapan bahwa tidak ada dua budaya pun yan sama, pola, tatanan,
dan makna akan dipaksakan jika elemen-elemen diabstraksikan demi
perbandingan. oleh karena itu, perbandingan bagian-bagianyang telah
diabstraksikan dari suatu keutuhan, tidaklah dapat dipertahankan secara
analitis.
Namaun, karena pemahaman tentang ketidaksamaan itu bersumber dari
perbandinagn, maka tidak dapat kita katakan bahwa pendekatan relativistic itu
tidak memiliki titik temu dengan pendekatan komparatif. Titik temu kedua
pendekatan tersebut terletak pada pasal tidak diizinkannya pemaksaan.
Terutama soal=soal yan ebrkaitan dengan minat, ideology, dan tekanan yang
menimbulakn keragaman pendekatan metodologis tersebut, sebab komparatif
dan relativis sama-sama mengetahui bahwa tidak ada dua budaya pun yang
sama persis.
Metode penelitian antropologi yang dapat digunakan, yaitu deskriptif,
komparatif, studi kasus, etnografis, dan survey.
Metode dalam antropologi akan difokuskan pada metode penelitian komparatif
secara rinci karena merupakan ciri khas dalam penelitian antropologi. Metode
komparatif antropologi adalah metode p[enelitian yang mencabut unsure-unsur
kebudayaan dari konteks masyarakat yang hidup dan dibandingkan dengan
sebanyak mungkin unsure-unsur dan aspek suatu kebudayaan.

C. TUJUAN DAN KEGUNAAN ANTROPOLOGI


Antropologi memang merupakan studi tentang umat manusia. Ia tidak hanya
sebagai suatu disiplin ilmu yang bersifat akademis, tetapi juga merupakan suatu
cara hidup yang berusaha menyampaikan kepada para mahasiswa apa yang telah
diketahui orang (Haviland, 1999:19).
Sebagai ilmu tentang umat manusia, antropologi melalui pendekatan dan metode
ilmiah berusaha menyusun sejumlah generalisasi yang bermakna tentang manusia
dan perilakunya, dan untuk mendapat pengertian yang tidak apriori serta prejudice
tentang keanekaragaman manusia.
Di antara ilmu-ilmu social dan alamiah, antropologi memiliki kedudukan, tujuan,
dan manfaat yang unik karena bertujuan dan bermanfaat dalam merumuskan
penjelasan-penjelasan tentang perilaku manusia yang didasarkan pada studi atas
semua aspek biologis manusia dan perilakunya di semua masyarakat, dan bukan
hanya masyarakat ropa dan Amerika Utara saja. Oleh karena itu, seorang ahli
antropologi menaruh perhatian banyak atas studi-studinya terhadap bangsa-bangsa
non barat.
Selain itu, antropologi bermaksud mempelajari umat manusia secar objektif, paling
tidak mendekati objektif dan sistematis (Kapplan dan Manners, 1999:33)

D. HUBUNGAN ANTROPOLOGI DENGAN ILMU-ILMU SOSIAL LAINNYA

Mengenai hubungan antropologi denganilmu-ilmu social lainnya, Koentjaraningrat


(1981:35-41) mengemukakan sebagai berikut.

1. Hubungan antropologi dengan sosiologi


Sepintas lalu lebih banyak ke arah kesamaannya antara antropologi dan
sosiologi. Sejak lahirnyasosiologi oleh Auguste Comte (*1789-1857), ilmu
tersebut bercirikan positivistic yang objek kajiannya adalah masyarakat dan
oerilaku social manusia yang meneliti kelompok-kelompoknya. Kelompok
tersebut mencakup keluarga; etnis; suku bangsa; komunitas pemerintahan;
berbagai organisasi social, agama, poloitik, budaya, bisnis, dan organisasi
lainnya (Ogburn dan Nimkoff, 1959: 13; Horton dan Hint, 1991:4).
Dengan demikian, objek kajian sosiologi adalah masyarakat manusia terutama
dari sudut hubungan antarmanusia dan proses-proses yang timbul dari
hubungan manusia dalam masyarakat.
Dalam antropologi budaya mempelajari gambaran tentang perilaku manusia
and konteks social budayanya. Jika saja sosiologi orientasinya memusatkan
perhatian secara khusu kepada orang yang hidup di dalam masyarakat modern
sehingga teori-teori mereka tentang perilaku manusia cenderung terikat pada
kebudayaan tertentu (culture-bound).
Jadi, yang membedakan antropologi budaya dari ilmu-ilmu social lainnya adalah
perhatiannya kepada masyarakat-masyarakat non-barat.
2. Hubungan antropologi dengan psikologi
Hali itu tampak karena dalam psikologi pada hakikatnya mempelajari perilaku
manusia dan proses-proses mentalnay. Dengan demikian, psikologi membahas
factor-faktor penyebab perilaku manusia secara internal, seperti motivasi,
minat, sikap, konsep diri, dan lain-lain. Sedangkan dalam antropologi,
khususnya antropologi budaya, lebih bersifat factor eksternal, yaitu lingkungan
fisik, lingkungan keluarga dan lingkungan social dalam arti luas.

3. Hubungan antropologi dengan ilmu sejarah


Lebih menyerupai hubungan antara ilmu arkeologi dengan antropologi.
Antropologi membri bahan prehistory sebagai pangkal bagi tiap penulis sejarah
dari tiap bangsa di dunia. Selain itu, banyak persoalan dalam hitoriografi dari
sejarah suatu bangsa dapat dipecahkan dengan metode-metode
antropologi.banyak sumber sejarah berupa prasasti, dokumen, naskah
tredisional, dan aarsipkuno, di mana peranannya sering hanya dapat member
peristiwa-peristiwa sejarah yang terbatas pada bidang politik saja. Sebaliknya,
seluruh latar belakang social dari peristiwa-peristiwa politik itu sukar diketahui
hanya dari sumber-sumber tersebut. Konsep-konsep tentang kehidupan
masyarakat yang dikembangkan oleh antropolohi dan ilmu-ulmu social lainnya,
akan member pengertian banyak kepada seorang ahlki sejarah untuk mengisi
latar belakang dari peristiwa politik dalam sejarah yang menjadi objek
penelitiannya.
Demikian juga sebaliknya, bagi para ahli antropologi jelas memerlukan sejarah,
Terutama sekali sejarah dari suku-suku bangsa dalam daerah yang
didatanginya. Sebab sejarah itu diperlukan, terutama untuk memecahkan
masalah-masalah yang terjadi karena masyarakat yang diselidikinya mengalami
pengaruh dari suatu kebudayaan dari luar. Pengertin terhadap soal-soal
tersebut baru dapat dicapai apabila sejarah tentang proses pengaruh tersebut
diketahui dengan teliti. Selain itu, untuk mengetahui tentang sejarah dari suatu
proses perpaduan kebudayaan, sering kali terjadi bahwa sejarah tersebut masih
harus direkonstruksi sendiri oleh seorang peneliti. Dengan demikian, seorang
sarjana antropologi sering kali harus memiliki pengetahuan tentang metode-
metode sejarah untuk merekonstruksi sejarah dari suatu rangkaian peristiwa
sejarah.
4. Hubungan antropologi dengan ilmu geografi
Kita dapat melihat bahwa geografi atau ilmu bumi itu mencoba mencapai
pengertian tentang keruangan (alam dunai) ini dengan member gambaran
tentang bumi serta karakteriidstik dari segala macam bentu hidup yang
menduduki muka bumi. Dia antara berbagai macam bentuk hidup di bumi yang
berupa flora dan fauna itu, terdapat sifatnya yang beraneka ragam di muka
bumi ini. Disinilah antropologi berusaha menyelami keanekaragaman manusia
jika dilihat dari ras, etnis, maupun budayanya (Koenjtaraningrat, 1981: 36).

5. Hubungan antropologi denga ilmu ekonomi


Kekuatan, proses dan hukum-hukum ekonomi yang berlaku alam aktivitas
kehidupan ekonominya sangat dipengaruhi system kemasyarakatan,
caraberfikit, pandang, dan sikap hidupdarei warga masyarakat pedesaan
tersebut. Masyarakat yang demikian itu, bagi seorang ahli ekonomi tidak akan
dapat mempergunakan denga sempurna konsep-konsep sesrta teori-teorinya
tentang kekuatan, proses, dan hokum-hukum ekonomi tersebut ( yang
sebenarnya dikembangkan dalam mastyarakat eropa-amerika serta dalam
rangka ekonomi internasional), jika tanpa suatu pengetahuan tentang ilmu
social, cara berpikir, pandangan, dan sikap hidup dari waraga masyarakat
pedesaan tersebut.dengan demikian, ilmu antropologi memiliki manfaat yang
tinggi bagi seorang ekonom.
6. Hubungan antara antropologi dengan ilmu politik
Dapat dilihat bahwa ilmu politik telah memperluas kajiannya pada hubungan
antara kekuatan-kekuatan serat proses politik dalam segala macam Negara
dengan berbagai macam system pemerintahan, sampai masalah yang
menyagkut latar belakang social budaya dari kekuatan-kekuatan poloitik
tersebut. Hal ini penting jika seorang ahli ilmu politik harus meneliti maupun
menganalisis kekuatan-kekuatan politik di Negara-negara yang sedang
berkembang.
Sebagai contoh, agar dapat memahami latar belakang dan adat istiadat
tradisional dari suku bangsa, metode analisis antropologi menjadi penting bagi
seorang ahli ilmu politik untuk mendapat pengertian tentang tingkah laku dari
apa yang ditelitinya.

E. OBJEKTIFITAS DALAM ANTROPOLOGI


Menurut Kapplan dan Manners (1999: 32) semua ilmu social dan bukan hanya
antropologi mengakami bias. Keliru jika kita bermaksud mendapatkan objektifitas
dalam pemikiran dan sikap antropolog selaku individu. Bukan disana kita harus
mencarinya, melainkan seperti ditulis oleh Karl Popper, objektivitas harus dicari
dalam institusi dan tradisi kritik suatu disiplin (Popper, 1964:155-159). Hanay
dengan saling meberi dan menerima kritik terbuka serta melalui saling
memengaruhi antara bermacam-macam bias kita dapat berharap akan munculnya
duatu yang mendekati objektivitas.

F. SEJARAH PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI


Disiplin antropologi, sebagaiman yang telah kita kenal merupakan produk
peradaban bartyang relative baru. Dalam sejarah lahirnya antrpologi,
perkembangan ilmu tersebut melalui suatu tahapan yang panjang.Koenjtaraningrat
(1987: 27-28) memaparkan bahwa lembaga-lembaga antropologi etnologi
merupakan awal lahirnya etnologi.
Etnologi (ilmu tentang bangsa-bangsa), secara resmi diakui dalam dunia perguruan
tinggi di inggris dengan diadakannya suatu mata kuliah di universitas Oxford tahun
1884, dengan E.B. Tylor sebagai dosen yang pertama. Tylor yang merupakan
seorang ahli arkeologi, merupakan orang yang berjasa dalam mengembangkan
antropologi.
Di Amerika Serikat, etnologi diakui secara resmi dengan dibukanya Department of
Archeology ang Ethnologi di Universitas Harvard pada tahun 1888. Lewis H.
Morgan (1818-1881) adalah perintis dan pelopor yang memberikan andil yang
besar kepada ilmu antropologi.
Karya utama Morgan berjudul Ancient Society (1877) yang melukiskan proses
evolusi masyarakat dan kebudayaan melalui delapan tingkat evolusi yang universal.
Namun, teori morgan mengenai evolusi kebudayaan tersebut dikecam keras oleh
para antropolog dari inggris maupun amerika sehingga tidak dijadikan sebagai
pendiri antropologi yang diakui dunia. Namun, di Uni soviet, teori morgan demikian
popular karena bersesuaian dengan ajaran karl marx dan F. Engels mengenai
evolusi masyarakat manusia (Koenjtaraningrat, 1987: 44-45).
Sebenarnya, para ilmuwan eropa memang telah mengumpulkan segudang
informasi tentang orang-orang Asia, Amerika, dan Afrika sejak abad ke-16. Akan
tetapi, laporan-laporan itu umumnya tidak sistematis dan kurang terpercaya. Baru
sejak abad ke-18 para ilmuwan semakin mencurahkan perhatiannya terhadap studi
litelatur dan tradisi-tradisi religious di Timur. Akan tetapi, deskripsi-deskripsi yang
terpercaya dan cukup rinci tentang orang-orang luar pusat-pusat kebudayaan besar
jarang ditemui. Begitupun untuk ahli-ahli sejarah dunia pada Zaman pencerajan,
terpaksa memakai sumber-sumber seadanya yang umumnya kurang emuaskan
untuk meintis karyanya itu. Bahkan, para pelopor antropologi terpaksa melakukan
dekontekstualisasi dan acap kali membuat aturan yang naïf tentang adat istiadan
dan kebiasaasn, hal ini berbeda dengan pelopor ekspedisi etnografis di decade
terakir abad ke-19. Pada decade itu mulai muncul ilmuan-ulmuan professional yang
umumnya melakuka survey di wilayah yang luas. Di sinilah para antropolog
metropolitan mulai mengorganisir pengumpulan informasi etnografis yang
sistematis. Model yang mereka pakai adalah laporan-laporan lapangan para ahli
botani dan zoology, dan bentuk etnografi yang mereka sukai adalah daftar perilaku
dan teknologi budaya, yang acap kali memuat pengukuran fisik serta dta sejarah
alam (Kuper, 2000:. Akan tetapi, deskripsi-deskripsi yang terpercaya dan cukup rinci
tentang orang-orang luar pusat-pusat kebudayaan besar jarang ditemui. Begitupun
untuk ahli-ahli sejarah dunia pada Zaman pencerajan, terpaksa memakai sumber-
sumber seadanya yang umumnya kurang emuaskan untuk meintis karyanya itu.
Bahkan, para pelopor antropologi terpaksa melakukan dekontekstualisasi dan acap
kali membuat aturan yang naïf tentang adat istiadan dan kebiasaasn, hal ini
berbeda dengan pelopor ekspedisi etnografis di decade terakir abad ke-19. Pada
decade itu mulai muncul ilmuan-ulmuan professional yang umumnya melakuka
survey di wilayah yang luas. Di sinilah para antropolog metropolitan mulai
mengorganisir pengumpulan informasi etnografis yang sistematis. Model yang
mereka pakai adalah laporan-laporan lapangan para ahli botani dan zoology, dan
bentuk etnografi yang mereka sukai adalah daftar perilaku dan teknologi budaya,
yang acap kali memuat pengukuran fisik serta dta sejarah alam (Kuper, 2000:0).
Kemudian pada abad ke-20, terjadi pergeseran lebih jauh, yakni intensifnya studi-
studi lapangan tentang berbagai kebudayaan. Franz Boas melakukan studi jangka
panjang terhadap penduduk asli pantai utara British-columbia, ia mengumpulkan
arsip-arsip yang amat banyak tentang teks-teks berbahasa daerah dari para
informan kunci. Boas adalah sososk antropolog yang diakui sebagai “Bnapak pendiri
antropologi”. Ia adalah seorang kelahiran jerman ahli geografi yangmenulis buku
The Central Eskimo (1888). Suatu penelitian yang penting dilakukan Boas adalah
penelitian yang akurat, baik teks-teks dongeng maupun transkripsi fonetik tentang
dongeng-dengeng dan motif dongeng. Boas pun mengembangkan teorinya tentang
pertumbuhan kebudayaan yang dikenal denganteori Marginal Survival yang
kemudian menjadi embrio lahirnya Teori Culture Area.
Menurut Boas, pertumbuhan kebudayaan menyebabkan timbulnya unsure-unsur
baru yang akan mnedesak unsure-unsur lama kea rah pinggir sekeliling daerah
pusat pertumbuhan budaya tersebut. Oleh karena itu, jika hendak mencari unsure-
unsur kuno maka tempat yang relevan untuk mendapatkannya adalah daerah-
daerah pinggir (marginal). Boas pun telah meletaka suatu konsep dasar yang
sampai sekarang ini dianut oleh hamper semua universitas di amerika seriakt, yaitu
kesatuan dari semua ilmu tentang manusia dan kebudayaanya, yaitu ilmu
paleoantropologi, antropologi fisik, arkeologi prasejarah, etnolinguistik, da
antropologi budaya yang menjadi subilmu antropologi secara keseluruhan.
Kemudian ia mendirikan jurusan Antropolodi di Universitas Columbia, New York,
dan sejak itu di beberapa Universitas lainnya di AMerika Serikat mengikuit jejaknya
dengan mengadakan sub-sub illmu tersebut sebgai bagiannya (Koentjaraningrat,
1987: 126). Gagasan –gagasan Boas ini banyak dilanjutkan bahkan dikembangkan
lebih jauh oleh murid-muridnya yang tergolong antropolog produktif, seperti A.L.
Kroeber. Selain itu, Boas pun telah berhasil mendidik antropolog wanita yang
sukses, seperti Ruth Benedict, Margaret Mead, dll.
Kemudian para ilmuan rusia dan polandia melakuka penelitian tangtang orang-
orang Siberia, sedangkan para ilmua Eropa mulai menerbitkan studi-studi tentang
masyarakat di daerah jajahanyang beriklim tropis. Antara tahun 1915 dan 1918,
Brosnilaw Malinowski (1884-1942) terjun dalam sebuah studi di lapanganmengenai
kepulauan tobriand di Melanesia yang memperkenalkan pendekatan baru dalam
riset etnografi. Ia lahir di Cracow polandia sebagai keluarga bangsawan Polandia.
Malinowski banyak terpengaruh oleh J.G. Frazer, The Golden Bough, oleh karena itu
ia sangat tertarik oleh ilmu etnologi dan melajutkan studinya ke London School
of Economics di Inggris dengan memperdalam ilmu sosiologi emprikal di bawah
bimbinngan C.G. Seligman.
Malinowski berhasil mengembangkan suatu terbaru yang menganalisis fungsi dari
kebudayaan atau a Functional Theory of Culture, walaupun teori ini disususn
setelah ia meninggal dalam bukunya A Ssientific Theori of Culture and Other Essay
(1944). Inti teori ini bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud
memuaskan suatu rangakaian dari sejumlah kebutuhan naluri makhluk manusia
yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Selain itu, ia pun memberikan
pemikiran-pemikiran yang berharga tentang pengendalian social atau hokum. Ia
menghabiskan waktu beberapa tahun di lapangan, memahami bahasa Tobrian, dan
secara sistematis bukan hanya mencatat system aturan, nilai-nilai, da upacara-
upacara yang bersifat ideal, melainkan ia pun praktik sehari-hari dalam kehidupan
mereka.
Dalam perkembangan selanjutnya, para evolusionitis masih meyakini bahwa
sejarah social dan budaya umat manusia dapat ditata dalam serangkaian tahap-
tahap baku, walaupun masing-masing populsi berkembang dengan kecepatan yang
berbeda. Gagasan pokon ini telah digoyahkan oleh kritik-kritik para Boasia
(pengikut teori=teori Boas) dan ilmuwan-ilmuwan lain awal abad ke-20, tetapi
masih dipegang teguh oleh beberapa mahzab arkeologi dan dilanggengkanoleh
penulis-penulis Marxis (Kuper, 2000: 31).
Jika disimak tentang perkembangan ilmu-ilmu bagian antropologi, boleh jadi
etnografi merupakan bagian yang paling sukses dalam antropologi social dan
budaya. Akan tetapi, apa sebenarnya manfaat yang dapat dipetik dari studi-studi
etnografi yang umumnya menangani komunitas-komunitas kecil terasing itu?
Menurut Kuper (2000: 31), ada empat jawaban yang dapat diberikan terhadap
pertanyaan tersebut.
1. Menurut pemikiran evolusionistis orang-orang yang dianggap primitive itu
secara kesejaraha dapat memberikan pemahaman tentang cara hidup nenek
moyang manusia.
2. Melihat gambaran ilmu-ilmu social (khusunya setelah 1920), banyak ahli
antropologi berpendirian bahwa penelitian dan perbandinga etnografiakan
memudahkan pengembangan ilmu social yang benar-benar universal,
menyentuh umat manusia, dan tidak membatasi diri pada studi-studi tantang
masyarakat modern barat.
3. Sejumlah ahli antropologi yang dipengaruhi oleh etnologi dan kemudain
sosiobiologi, meyakini bahwasanya etnografi komparatif akan mengangkat
unsure-unsur kemanusiaan yang universal.
4. Para humanis yang acap kali skeptic terhadap generalisasi-generalisasi
mengenai perilaku manusai, berpendapat bahwa pemahaman terhadap
kehidupan yang asing itu sendiri akan banyak gunanya. Hali itu akan
memperluas pengertian kita tentang maknanya bagi manusia, menambah
penghormatan kita pada relativitas nilai-nilai, dan memperluas rasa simpati
kita.
Pada tahun 1980-an terjadi pergeseran penting yaitu orientasi sosiologi yang
memberikan karakterik dominan pada antropologi sosial. Hamper sepanjang
abad ke-20 tersebut, menjadi suatu perhatian baru atas problem-problem
pemaknaan dan kultur yang dipandang sebagai kategori residu oleh kalangan
sosiolog komparatif. Para teoritis Amerika dalam tradisi antropologi cultural,
seperti clifored geertz dtas dan David Schneider memiliki pengaruh penting di
Eropa dan Asia. Kemudian giliran kaum pascamodern yang di pelopori oleh
beberapa ilmuan muda Amerika melakukan beberapa perubahan. Pergolakan
teoritis diikuti hilangnya keyakinan akan objektifitas dan reabilitas metode
lapangan dari etmografi. Proyek tipologi kalangan fungsionalis dan strukturalis
ini sering ditolak Karena positivism yang terkandung di dalamnya, mungkin juga
karena arogansi dari transposisi kategori budaya barat terhadap cara hidup
yang lain (Kuper, 2000:972).
Namun, pada saat yang bersamaan tradisi anglo perancis dari antropolog sosial
telah menyebar terutama melalui eropa barat. Berdasarkan berbagai
konferensi dan publikasi, merebaknay aosiasi semacam itu ditetapkan suatu
sintesis baru. Para ahli antropologi sosial modern menciptakan berbagai teori
sisal kontemporerdan mereka bereksperimen dengan suatu kisaran yang luas
dari strategi penelitian yang bersifat komparatif, historis, dan etnografis.
Sedangkan tradisi penelitian lapangan etnografi tetap kuat, kajian-kajiannya
sering bersifat jangka panjang dan historis. Banyak penelitian etnografi di
beberapa wialayah dan munculnya berbagai komunitas local ilmuan pun
mengakibatkan kajian-kajian lapangan menjadi lebih trespesialisasi, bahkan
dirasakan lebih canggih.

G. KONSEP-KONSEP ANTROPOLOGI
Sebagaimana ilimu-ilmu social lainnya, penggunaan konsep dalam antropologi
adalah penting karena pengembangan konsep yang terdefinisikan dengan baik
merupakan tujuan dari setiap disiplin ilmu. Walaupun menurut keesing (1958: 152)
yang mengemukakan ‘tidak ada dua ahli antropologi yang berfikirnya sama persis,
stau mengguanakan dengan tepat pengoprasian konsep-konsep atau symbol-
simbol yang sama.’
Adapun yang merupakan contoh konsep-konsep antropologi, diantaranya :
1. Kebudayaan
Istilah culture (kebudayaan) berasal dari bahas latin, yakni cultura dari kata
dasar colere yang berarti berkembang tumbuh. Namun, secara umum
pengertina kebudayaan mengacu kepada kumpulan pengetahuan yang secara
social diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Maksa itu kontras
dengan pengertian kebudayaan sehari-hari yang hanya merujuk kepada bagian-
bagian tertentu warisan social, yakni tradisi sopan santun dan kesenian
(D’Andrade, 1995:1999).

2. EvolusI
Secara sederhana, konsep evolusi mengacu pada sebuah transformasi yang
berlangsung secara bertahap. Walaupun istilah tersebut merupakan istilah
umum yang dapat dipakai dalam berbagai bidang studi (McHenry, 2000: 453).
Dalam pandangan para antropologi, istilah evolusi yang merupakan gagasan
bahwa bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari suatu bentuk ke bentuk lain
melalui mata rantai transformasi dan modifikasi yang tidak pernah putus asa,
pada umumnya diterima sebagai awal landasan berfikir mereka. Konsep evolusi
yang sering digandengkan dengan pengertian perubahan secara perlahan-lahan
tapi pasti, memang diawali dengan karya Charles Darwin dalam bukunya yang
terkenal Origin of Species (1859). Sebenarnya, gagasan ini menyatakan bahwa
bentuk-bentuk kehidupan berkembang dari bentuk satu ke bentuk yang lainnya
diperkirakan sudah sejak zaman yunani kuno, sejumlkah pemikir pada masa itu
telah membuat postulat yang serupa atau mendekati pengertian asal usul
kehidupan yang evolusioner. Banyak pelopor sebelum Darwin, termasuk
kakeknya sendiri, mengakui adanya keragaman dan diversitas kehidupan
dengan mengajukan hipotesis tentang modifikasi evolusioner.
Gagasan tentang evolusi melalui seleksi alam merupakan gagasan utama
Darwin dalam bukunya tersebut. Darwin dianggap telah mencapai pemahaman
yang koheren, meskipun tidak lengkap karena dia tidak tahu tentang proses
hereditas atau pewarisan karekter yang kemudian ditemukan Gregor Mendel
(Dobzhansky, 1962; Huxley, 1942). Pengaruhnya begitu luas, bukan hanya di
bidang biologi saja, tetapi melebar ke bidang-bidang social budaya. Oleh karena
itu, terminology evolusi tidak berhenti dalam bidang biologi, tetapi merambah
ke bidang lain sehingga di kenal istilah-istilah dan teori-teori, seperti teori
evolusi keluarga, evolusi agama, dan evolusi social budaya. Untuk nama yang
terakhir, sering overlap dengan darwinisme social, di mana Herbert Spencer
merupakan sumber pertama yang memunculkan jargon the survival of the
fittest ( daya tahan dari jenis atau individu yang memiliki cirri-ciri paling cocock
dengan lingkungannya), sebagaimana tertung dalam karyanya Principle of
Sociology.
3. Culture area (Daerah Budaya)
Suatu daerah budaya (culture area) adalah suatu daerah geografis yang
memiliki sejumlah cirri-ciri budaya dan kompleksitas lain yang dimilikinya
(Banks, 1977: 274). Menurut definisi di atas, suatu daerah kebudayaan pada
mulanya berkaitan dengan pertumbuhan kebudayaan yang menyebabkan
timbulnya unsur-unsur baru yang akan mendesak unsus-unsur lama kearah
pinggir, sekeliling daerah pusat pertumbuhan tersebut.

4. Enkulturasi
Konsep enkulturasi mengacu kepada suatu proses pembelajaran kebudayaan
(Soekanto, 1993:167). Dengan demikian, pada hakikatnya setiap orang sejak
kecil sampai tua, melakukan proses enkulturasi, mengingat manusia sebagai
makhluk yang dianugerahi kemampuan untuk berfikir dan bernalar sangat
memungkinkan untuk setiap waktu meningkatkan kemampuan kognitif, afektif,
dan psikomotornya. Beberapa tokoh peneliti psikologi perkembangan telah
mempublikasikan hasil risetnya yang mengagumkan.
Dalam aspek kemampuan berpikir (perkembangan kognitif) Jean Piaget (1967;
1970) memberikan kerangka kerja untuk melakukan analisis terhadap aktivitas
berpikir anak. Menurutnya, secara rinci terdapat emapat tahapan
perkembangan kognitif, yaitu :
a. Periode sensori motor, yakni sejak lahir sampai usia 1,5-2 tahun, mereka
memiliki kemampuan meraih-raih dan menggenggam;
b. Periode praoperasi, yakni usia 2-3 sampai 7-8 tahun, mereka mulai mampu
berfikir secara logis, perkembngan bahasa sangat cepat, dan banyak
melakukan monolog;
c. Periode operasi konkret, yakni usia 7-8 sampai 12-14 tahun, memiliki
kemampuan untuk melihat pandangan orang lain, ikut dalam permainan
kelompok yang menaati peraturan, dan mampu membedakan satuan yang
berbeda, seperti meter dan kilogram;
d. Periode operasi formal, yakni usia di atas 14 tahun, mampu membuat
rencana mas depan dn memulai peranan orang dewasa, selain itu anak
dapat bernalar dari situasi rekaan ke situasi nyata.
5. Difusi
Difusi adalah proses penyebaran unsure-unsur kebudayaan secara meluas
sehingga melewati bata tempat di mana kebudayaan itu timbul (Soekanto,
1993: 150). Dalam proses difusi ini erat kaitannya dengan konsep inovasi
(pembaharuan).
Menurut Everett M. Rogers dalam karyanya Diffusion of Innovation (1983),
cepat tidaknya suatu proses difusi sangat erat hubungannya dengan empat
elemen pokok, yaitu (a) sifat inovasi; (b) komunikasi dengan saluran tertentu;
(c) waktu yang tersedia; (d) system social warga masyarakat.

6. Akulturasi
Akulturasi adalah proses pertukaran ataupun saling memengaruhi dari suatu
kebudayaan asing yang berbeda sifatnya sehingga unsure-unsur kebudayaan
asing tersebut lambat laun diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam
kebudayaan itu sendiri tanpa kehilangan kepribadiannya sendiri
(Koenjtaraningrat, 1990: 91). Proses akulturasi sangat penting dalam
pembelajaran ilmu-ilmu social maupun studi social, mengingat sebagaimana
dijelaskan R. Linton (1984: 357-360) bahwa percepatan budaya inti (covert
culture) dengan budaya lahiriah (overt culture) adalah berbeda.

7. Etnosentrisme
Tiap-tiap kelompok cenderung untuk berfikir bahwa kebudayaan dirinta itu
adalah superior (lebih baik dan lebih segalanya) dari pada semua budaya yang
lain. Inilah yang disebut denag etnosentrisme. Seorang haliu komunikasi
intercultural Fred E. Jandt dalam karyanya Intercultural Communication: An
Introduction (1998: 52) mengemukakan etnosentrisme merupakan sikap …
negatively judging aspects of another culture by the standards of ones’s own
culture.’… secra negative menilai aspek budaya orang lain oleh standar kultur
diri sendiri’. Oleh karenanitu, jandt dalam penjelasan selanjutnya
mengemukakan bahwa etnosentrisme merupakan penghambat ketiga dalam
keterampilan komunikasi intercultural setelah kecemasan dan
mengumpamakan persamaan sebagai perbedaan.
Tercapainya keterampilan komunikasi intercultural yang optimal menjadi
penting, baik ditingkat local, nasional, maupun global. Pada tingkat local dan
nasional, pembelajaran pengembangan keterampilan komunikasi intercultural
dapat meningkatkan rasa saling menghargai, rasa memiliki, dan solidaritas yang
pada gilirannya mampu memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Sedangkan pada level global atau internasional dapat memupuk kepedulian
antarwarga dunia, meningkatkan rasa kesetiakawanan, solidaritas, dan
kerjasama antar bangsa yang saling menguntungkan dalam kesamaan dan
kesetaraan ( supardan, 2004: 84-86).

8. Tradisi
Tradisi adalah suatu pola perilaku atau kepercayaan yang telah menjadi bagian
dari suatu budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi bagian dari suatu
budaya yang telah lama dikenal sehingga menjadi adat istiadat dan kepercyaan
secara turun-temurun (Soekanto, 1993: 520). Para siswa perlu mempelajari
trades sebab tidak sedikit dalam kajian tradisi mengandung nilai-nilai keluhuran
budi yang tinggi dan sering tidak tersentuh oleh agama maupun budaya global.
Kita dapat belajar dari pengembangan nilai-nilai tradisional jepang sebagai
bagian integral keberhasilan restorasi meiji dan modernisasinya sehingga
jepang menjadi Negara industry pertama dan termaju di Asia sejak abad ke-19
(Clyde, 1958: 223-225).
Namun sebaliknya, tradisi tidak terlalu berpihak kepada nilai kebaikan bahkan
bertentangan dengan nilai hak asasi manusia secara universal. Pertunjukan
gladiator yang mempertontonkan kekuatan dan kekejian seorang pembunuh di
depan raja dan golongan bangsawan romawi abad pertengahan, upacara satti
yang merupakan pembakaran janda di India yang pernah hidup pada masa
India klasik, menunjukan betapa hal itu merendahkan nilai-nilai kemanusiaan
hingga nyawa manusia menjadi ajang permainan belaka. Oleh karena itu,
dengan mempelajari tradisi, siswa dapat reflektif, belajar berfikir kritis, dan
kreatif. Mempertanyakan hakikat nilai-nilai kebenaran, abaik pada masanya
maupun relavansinya denga kekinian.

9. Ras dan etnik


Suatu ras adalah sekelompok rang yang memiliki sejumlah cirri biologi (fisik)
tertentu atau suatu populasi yang memiliki suatu kesamaan dalam sejumlah
unsure biologis atau fisik khas yang disebabkan oleh factor hereditas atau
keturunan (Oliver, 1964: 153)
Sedangkan etnik menurut marger (1985: 7) … are groups within a larger society
that display a unique set of culture traits. Jadi, dalam kajian etnik lebih
menekankan sebagai kelompok social bagian dari ras yang memiliki cirri-ciri
budaya yang sifatnya unik. Bangsa Indonesia memiliki sejumlah etnik yang
jumlahnya hamper 500 etnik, tersebar dari sabang sampai merauke.

10. Stereotip
Stereotip (stereotype) adalah istilah yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu
stereos yang berarti solid dan tupos yang berarti citra atau kesan. Suatu
stereotip mulanya adalah suatu rencana cetakan yang begitu terbentuk sulit
diubah. Oleh Walter Lippman, orang pertama yan mengaltikulasikan teori
cognitive miser dalam bukunya Publik Opinion (1922), kata ini diadaptasi untuk
penggunaanya yang sekarang, biasanya didefinisikan sebagai generalisasi yang
relative tetap mengenai kelompok atau kelas manusia yang menjurus ke hal-hal
negatife ataupun tidak menguntungkan, meskipun beberapa penulis juga
memasukan konsep stereotip positif.
Lippman (1922) mengemukakan bahwa stereotip merupakan fungsi penting
dari penyederhanaan kognitif yang berguan untuk mengelola realitas ekonomi,
di mana tanpa penyederhanaan maka realitas tersebut menjadi sangat
kompleks.
Di Indonesia, stereotip pun demikian berkembang terutama di kalangan
masyarakat menengah ke bawah maupun masyarakat yang relative
berpendididkan rendah. Beberapa etnis tertentu sering mendapat label yang
menyudutkan, seperti “Cina Licik”, “Jawa Koek”, “Padang Bengkok”, “Bapak si
tukang copet”, dan sebagainya (Supardan, 2004: 63-70). Wajar jika menurut
Fred E. Jandt dalam bukunya Intercultural Communication: An Introduction
mengemukakan bahwa stereotype dan prejudice merupakan penghambat
terjadinya komunikasi antarbudaya yang bermakna di tengah budaya yang
berbeda, di samping fakto-faktor kecemasan dan etnosentrisme (Jandt, 1998:
70-74).

11. Kekerabatan
Istilah kekerabatan atau kinship menurut antropolog Robin Fox dalam karyanya
Kinship and Marriege (1969) merupakan konsep inti dalam antropologi. Konsep
kekerabatan tersebut merujuk kepada tipologi klasifikasi kerabat (kin) menurut
penduduk tertentu berdasarkan aturan-aturan keturunan (descent) dan aturan-
aturan perkawinan. Satu tesis yang umum diterima oleh kebanyakan
antropologi bahwa dalam komunitas purba, unit dan ikatan domestic
didasarkan pada kelompok-kelompok keterunan unilineal, keturunan ditelusuri
pada garis laki-laki (patrilineal) maupun pada garis perempuan (matrilineal).
Namun akhirnya pada awal abad ke-20, pendapat tersebut ditolak (Kuper,
2000: 533). Menurut Malinowski, keluarga adalah suatu institusi domestic,
bergantung pada afeksi, dan bertujuan membesarkan anak. Korporasi
keturunan adalah institusi public dan politis yang memiliki suatu peran dalam
urusan komunitas dan pengaturan hak-hak kepemilikan (property rights). Kaan
tetapi, Malinowski pun mengatakan bahwa kelompok keturunan dibangun di
atas sentimen-sentimen solidaritas yang tercipta dalam keluarga domestic
(Malinowski, 1929). Kemudian, Radcliffe-Brown berpandangan bahwa system
kekerabatan yang lebih luas dibangun di atas fondasi keluarga, namun bila
keluarga secar universal bersifat bilateral – ikatan ibu dan ayah – kebanyakan
masyarakat lebih menyukai satu sisi dalam keluarga untuk tujuan-tujuan public.
Sebab fungsi utama ketturunan adalah untuk meregulasi transmisi kepemilikan
dan hak masyarakat dari generasi ke generasi (Kupper, 1992).

12. Magis
Konsep magis menurut seorang pendiri antropologi di Inggris E.B. Tylor dalam
Primitive Culture (1871) merupakan ilmu pseudo dan salah satu khayalan paling
merusak yang pernah menggerogoti umat manusia. Kemudian, dari antropolog
J.G. Frazer dalam karyanya Golden Bough (1890), mengemukakan bahwa magis
adalah penerapan yang salah pada dunia materiil dari hokum pikkiran dengan
maksud unutk mendukung system palsu dari hokum alam.
Penegasan di atas tidak member penjelasan yang memadai, terutama Tylor
yang menyoroti dari sisi negatifnya karena ia hanya melihat dari sis efek yang
ditimbulaknnya. Namun demikian, Tylor pun mengemukakan bahwa sebagai
‘ilmu pseudo’ –suatu istilah yang pertama kali dipopulerkannya- dapat diringkas
menjadi dua prinsip dasa. Pertama, kemiripan menghasilkan kemiripan. Kedua,
segala sesuatu atau benda yang pernah dihubungkan akan terus saling
berhubungan dalam jarak tertentu. Dua prinsip ini menghasilkan magis
homeophatic atau imitative dan magis sympatheic karena keduanya
mengasumsikan bahwa segala benda akan saling berhubunagn satu sama lain
dalam jarak tertentu melalui suatu simpati rahasia, impuls ditransmisikan dari
satu pihak ke pihak lain lewat sarana yang kita sebut sebagai zat tidak terlihat
(Tylor, 1871; Frazer, 1932).
13. Tabu, dan
Istilah tabu berasal dari bahasa polinesia yang berarti terlarang. Secara apa
Yang dikatakan terlarang adalah persentuhan antara hal-hal duniawi dan hal--
hal yang keramat, termasuk suci (misalnya persentuhan dengan
ketua suku

14. Perkawinan.
Agak sulit untuk mendefinisikan perkawiana, kerena setiap istilah perkawinan
tersebut memiliki banyak bentuk dan dipengaruhioleh system nilai budaya
masing-masing. Namun, secara umum konsep perkawinan tersebut mengacu
kepada proses formal pemaduan hubungan dua individu yang berbeda jenis
(walaupun kaum lesbi pun terjadi, namun itu bagian kasus) yang dilakukan
secara seremonial-simbolis dan makin dikarakterisasi oleh adanya
kesederajatan, kerukunan, dan kebersamaan dalam memulai hidup baru dalam
berpasangan. Walaupun sebagaimana seirng dikemukakan oleh aktifis kaum
feminis, perkawinan selalu ditandai dengan pembagian kerja yan g tegas dan
distribusi sumber daya yang tidak adil. Dalam pandangan ini, perkawiana
mencerminkan ketidaksederajatan yang ada di luar arena domestic (Allan,
2000: 611).
Pada sebagian besar tradisi, perkawiana juga mrupakan proses institusi social
sebagai wahan reproduksi dan mengembangkan keturunan. Oleh karena itu,
kecenderungan umum darii perkawinan, dengan adanya kelahiran ana-anak
mendorangikatan yang lebih erat dalam pembagian kerja (Mansfielf dan
Collard, 1988), sekaligus sebagai konsekuensi negative dalam partisipasi social
dan ekonomi bgai wanita. Walaupun tidak mudah untuk memperoleh data yan
memadai, bukti dari berbagai Negara mengindikasi bahwa pria secara utin
memiliki tingkatan yang lebih tinggi dalam belanja individu dibanding dengan
pasangan wanitanya. Pria pun memiliki kuasa yang lebih besar dalam
menangani keputusan-keputusa besar dan memberikan prioritas yang lebih
tinggi terhadap pekerjaan-pekerjaan dan aktivitas waktu luang mereka (Allan,
2000: 612).

H. TEORI-TEORI ANTROPOLOGI
1. Teori Orientasi Nilai Budaya dari Kluckhohn

Menurut teori tersebut, hal-hal yang paling tinggi nilainya dalam kebudayaan
hidup manusia minimal ada 5 hal, yaitu:

a. Human Nature atau makna hidup manusia


b. Man Nature atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya
c. Time yaitu persepsi manusia mengenai waktu
d. Activity yaitu masalah makna dari pekerjaan,karya, dan amal dari perbuatan
manusia
e. Relational yaitu hubungan manusia dengan sesame manusia
2. Teori Evolusi Sosiokultural Paralel-konvergen-Devergen Sahlins dan Harris
a. Evolusi Sosiokultural meliputi seluruh sistem sosiokultural maupun
komponen-komponen yang terpisah. Biasanya, terjadinya perubahan
berawal dari suatu komponen dari suatu komponen atau subkomponen
dan perubahan ini menimbulkan perubahan-perubahan pada komponen
yang lain
b. Evolusi Paralel merupakan evolusi yang terjadi dalam dua atau lebih sosio
budaya atau masyarakat yang berkembang dengan cara yang sama dan
dengan tingkat pada dasarnya sama.
c. Evolusi Konvergen terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula berbeda
perkembangannya, namun akhirnya mengikuti pola yang serupa
kemajuannya.
d. Evolusi Divergen terjadi ketika berbagai masyarakat yang semula mengikuti
banyak persamaan yang serupa, namun akhirnya mencapai tingkat
perkembangan yang jauh berbeda
3. Teori Evolusi Kebudayaan Lewis H. Morgan
Delapan tahap tentang evolusi kebudayaan secara universal:

a. Zaman Liar Tua


b. Zaman Liar Madya
c. Zaman Liar Muda
d. Zaman Barbar Tua
e. Zaman Barbar Madya
f. Zaman Barbar Muda
g. Zaman Peradaban Purba
h. Zaman Peradaban Masa Kini

4. Teroi evolusi animisme dan megic dari tailor dan Frazer


Secara garis besar, inti teorinya sebagai berikut:
a. Animisme, adalah suatu kepercayaan pada kekuatan pribadi yang hidup di
balik semua benda.
b. Asal mula religi adalah kesadaran manusia akan adanya jiwa, disebabkan
dua hal yaitu :
1. Perbedaan yang tampak pada manusia antara hal-hal yang hidup dan
mati.
2. Peristiwa mimpi, di mana ia melihat dirinya di tempat lain yang
menyebabkan manusia membedakan antar tubuh jasmani dan rohani.

c. Manusia memecahkan beberapa persoalan hidupnya selalu dengan akal dan


sistem pengetahuan.
d. Antara agama dan megic itu berbeda. Agama adalah cara mengambil hati
untuk menenangkan kekuatan yang melebihi kekuatan manusia, yang
menurut kepercayaan membimbing dan mengendalikan nasib kehidupan
manusia. Sedangkan magic di lihatnya sebagai usaha untuk memanipulasi
hokum-hukum alam tertentu yang dipahami.
5. Teori evolusi keluarga J.J Bachoven.
Inti teori evolusi keluarga dari Bachoven tersebut bahwa seluruh keluarga di
seluruh dunia mengalami perkembangan melalui empat tahap, sebagai berikut:
a. Tahap promispuitas, manusia hidup serupa binatang berkelompok, laki-laki
dan perempuan berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunan
tanpa ikatan.
b. Lambat laun manusia sadar akan hubungan natara ibu dengan anaknya
sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat.
c. Tingkat berikutnya adalah sistem patriarchat, dimana ayah menjadi kepala
keluarga.
d. Perkawinan tidak selalu dari luar kelompok (eksogami), tetapi dapat juga
dari dalam keluarga yang sama (endogami).

6. Teori upacara sesaji Smith


Menurut Koentjaraningrat dikemukakan bahwa pada umumnya terdapat 3
gagasan penting mengenai asas-asas religi dan agama sebagai berikut:
a. Gagasan pertama, disamping sistem keyakinan dan doktrin, sistem upacara
pun merupakan suatu perwujudan dari religi yang memerlukan studi analisi
khusus.
b. Gagasan kedua, upacara religi atau agama tersebut, biasanya dilaksanakan
oleh banyak masyarakat dan memiliki fungsi sosial untk mengintensifkan
solidaritas masyarakat.
c. Pada prinsipnya, upacara sesaji, hakikatnya sama denga asuatu aktivitas
untuk mendorong rasa soidaritas dengan para dewa.
ANTROPOLOGI
Ditujukan kepada:

Bagja Waluya, S.Pd, M.Pd

untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Ilmu Sosial

Disusun oleh :

Dini Septiana (0807077)

Leni Hidayah (0803132)

Rizky Pratama (0806286)

Sri Susanti (0809352)

Widiati Pratiwi (0806855)

Program Studi Pendidikan Manajemen Bisnis

Jurusan Pendidikan Ekonomi

Fakultas Pendidikan Ekonomi dan Bisnis

Universitas Pendidikan Indonesia

2009
+--------------------------------------+-
+----

Anda mungkin juga menyukai