Semkas Preeklamsia Edit Tiara Fix
Semkas Preeklamsia Edit Tiara Fix
Semkas Preeklamsia Edit Tiara Fix
Oleh kelompok H 1
2. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap
sebagai "maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum
yang mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan
darah yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi
terjadinya pre eklamsia menurut Maryunani 2012 diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun).
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau
polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar, dan
diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.
3. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini
menyebabkan prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus.
Keadaan iskemia pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat
hiperoksidase lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam
proses terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin.
Tromboplastin yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/
agregasi trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan
terjadinya vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan
menyebabkan koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan
konsumtif koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor
pembekuan darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus
yang di keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang menyempit
menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah. Tekanan perifer
akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga menyebabkan terjadinya
hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II akan merangsang glandula
suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme bersama dengan koagulasi
intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak, darah,
paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan
terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi
serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan
risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan
pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya
pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya
kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya
edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas. Pada
hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi
peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan
kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR
tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau
anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin.
Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein
akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan
terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa
keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan
hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga
dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan
diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis
akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal dan
ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat
menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang
meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas
dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah
yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat dan
sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah
sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan
mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa
keperawatan kurang pengetahuan.
4. Manifestasi Klinis
Menurut Rozikhan (2007) Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan
urutan pertambahan berat badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan
akhirnya proteinuria. Pada pre eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala
subyektif. Sedangkan pada pre eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit
kepala di daerah frontal, diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan
mual atau muntah. Gejala-gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang
meningkat dan merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan
diagnosa pre eklampsia yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda
utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi
dalam praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2
tanda dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia.
5. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
a) Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
b) Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
c) Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
a) Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
b) LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
c) Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
d) Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
e) Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)
f) Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7
mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra
uterus. Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan
ketuban sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa
denyut jantung janin lemah.
6. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia
antara lain menurut Maryunani dan Yulianingsih, 2012 :
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),
meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.
HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit
rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan
atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat
serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan
dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).
7. Penatalaksanaan
Menurut Manuaba, 2013 beberapa pencegahan terjadinya pre eklamsi pada ibu hamil,
diantaranya :
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
1) Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali tanda-
tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan yang cukup
supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
2) Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada
faktor-faktor predisposisi.
3) Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup dan
sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1) Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka penderita
dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih sering, misalnya 2
kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat jalan atau rawat inap adalah
dengan istirahat ditempat, diit rendah garam, dan berikan obat-obatan seperti
valium tablet 5 mg dosis 3 kali sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis
3 kali 1 sehari. Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini
tidak begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi
berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor keadaan
janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi, dan
sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi partus pada usia
kehamilan minggu 37 ke atas.
2) Penanganan pre eklamsia berat
a) Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan uji
kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
(1) Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr intramuskular
kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr itramuskular selama tidak
ada kontraindikasi.
(2) Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas magnesikus dapat
diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai kriteria pre-eklamsia ringan
kecuali ada kontraindikasi.
(3) Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor, serta
berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan, sambil mengawasi
timbulnya lagi gejala.
(4) Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda kematangan paru janin,
maka penatalaksanaan kasus sama seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.
b) Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.
(1) Penderita dirawat inap
(a) Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
(b) Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
(c) Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, 4 gr digluteus
kanan dan 4 gr digluteus kiri.
(d) Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
(e) Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis 100 cc
dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan harus tersedia
antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam ampul 10 cc.
(f) Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
(2) Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan selanjutnya
dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2 kali ½ tablet sehari.
(3) Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum, edema paru
dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat disuntikan 1 ampul IV
lasix.
(4) Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan induksi
partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi dipakai oksitosin
(pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus tetes.
(5) Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps, jadi ibu
dilarang mengedan.
(6) Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi perdarahan
yang disebabkan atonia uteri.
(7) Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi, kemudian
diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24 jam post partum.
(8) Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.
c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia
1) Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi
seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga
aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,
fenel, hyssop dan sage.
2) Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan
dan kenyamanan.
3) Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4) Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan suplemen
mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.
B. Konsep Post Sectio Caesarea Atas Indikasi Preeklamsi
1. Pengertian Sectio Caesarea
Sectio caesarea adalah tindakan operasi paling konservasif. Indikasi tindakan
operasi obsetric dipertimbangkan dengan melihat adanya indikasi pada ibu, indikasi
pada janin, indikasi profilaks dan indikasi vital ( Manuaba, 2004). Sectio caesarea
adalah suatu persalinan buatan, dimana janin dilahirkan melalui suatu insisi pada
dinding perut dan dinding rahim dengan sayatan rahim dalam keadaan utuh serta
berat janin diatas 500 gram (Sarwono, 2009). Sectio caesarea adalah kelahiran janin
melalui jalur abdominal ( laparatomi ) yang memerlukan insisi dalam uterus (
histerotomi ) ( Errol R. Norwitz, 2007).
Preeklamsi berat adalah suatu komplikasi kehamilan yang ditandai dngan
timbulnya hipertensi 160/110 mmHg atau lebih disertai proteinuria dan edema pada
kehamilan 20 minggu atau lebih ( Asri Hidayat, 2009).
Jadi dari pengertian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa Sectio
Caesarea dengan indikasi Preeklampsia adalah Masa setelah proses pengeluaran
janin yang dapat hidup di luar kandungan dari dalam uterus ke dunia luar dengan
menggunakan insisi pada perut dan karena adanya hipertensi, edema, dan proteinuria.
2. Etiologi
Indikasi sectio caesarea (Cuningham, F Garry, 2005) :
a. Riwayat sectio caesarea
Uterus yang memiliki jaringan parut dianggap sebagai kontraindikasi untuk
melahirkan karena dikhawatirkan akan terjadi rupture uteri. Resiko ruptur uteri
meningkat seiring dengan jumlah insisi sebelumnya, klien dengan jaringan perut
melintang yang terbatas disegmen uterus bawah , kemungknan mengalami
robekan jaringan parut simtomatik pada kehamilan berikutnya. Wanita yang
mengalami ruptur uteri beresiko mengalami kekambuhan , sehingga tidak
menutup kemungkinan untuk dilakukan persalinan pervaginam tetapi dengan
beresiko ruptur uteri dengan akibat buruk bagi ibu dan janin.
b. Distosia persalinan
Distosia berarti persalinan yang sulit dan ditandai oleh terlalu lambatnya
kemajuan persalinan, persalinan abnormal sering terjadi terdapat disproporsi
antara bagian presentasi janin dan jalan lahir, kelainan persalinan terdiri dari :
Ekspulsi (kelainan gaya dorong) Oleh karena gaya uterus yang kurang kuat,
dilatasi servik(disfungsi uterus) dan kurangnya upaya otot volunter selama
persalinan kala dua. Panggul sempit Kelainan presentasi, posisi janin.
c. Gawat janin
Keadaan gawat janin bisa mempengaruhi keadaan keadaan
janin,jikapenentuan waktu sectio caesarea terlambat, kelainan neurologis seperti
cerebral palsy dapat dihindari dengan waktu yang tepat untuk sectio caesarea.
d. Letak sungsang
Janin dengan presetasi bokong mengalami peningkatan resiko prolaps tali
pusat dan terperangkapnya kepala apabila dilahirkan pervaginam dibandingkan
dengan janin presentasi kepala.
e. CPD (Chepalo Pelvic Disproportion)
CPD adalah ukuran lingkar panggul ibu tidak sesuai dengan ukuran lingkar
kepala janin yang dapat menyebabkan ibu tidak dapat melahirkan secara alami. .
f. Pre-Eklamsi
Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan kesatuan penyakit yang langsung
disebabkan oleh kehamilan, sebab terjadinya masih belum jelas.Setelah
perdarahan dan infeksi, Pre-eklamsi dan eklamsi merupakan penyebab kematian
maternal dan perinatal paling penting dalam ilmu kebidanan.
g. Ketuban pecah dini (KPD)
KPD adalah pecahnya ketuban sebelum terdapat tanda persalinan dan
ditunggu satu jam belum terjadi impart. Sebagian besar KPD adalah hamil aterm
diatas 37 minggu.
h. Bayi Kembar (Gemili)
Tidak selamanya bayi kembar dilahirkan secara caesar.Hal ini karena
kelahiran kembar memiliki resiko terjadinya komplikasi tinggidari pada kelahiran
1 bayi.Selain itu bayi kembar pun dapat mengalami sungsang.Sehingga sulit
untuk dilahirkan secara normal.
i. Faktor Hambatan Jalan Lahir
Adanya hambatan pada jalan lahir, misalnya jalan lahir tidak memungkinkan
adanya pembukaan, adanya tumor, dan kelainan bawaan pada jalan lahir, tali
pusat pendek dan ibu sulit bernafas
3. Manifestasi Klinis
Ada beberapa hal tanda dan gejala post sectio caesarea :
Pusing
Mual muntah
Nyeri di sekitar luka operasi
Adanya luka bekas operasi Peristaltik usus menurun ( Sarwono, 2005 )
4. Patofisiologi
Ovum dibuahi oleh sperma, ovum yang telah dibuahi membelah diisi sambil
bergerak menuju rahim kemudian melekat pada mukosa rahim untuk selanjutnya
bersarang diruang rahim disebut implantasi. Setelah janin bertambah dalam rahim
dan cukup bulan akan menuju jalan lahir. Apabila kelainan letak janin, kehamilan
yang melewati dari taksiran persalinan dan keadaan ibu yang bermasalah selama
hamil maka persalinan normal sulit untuk dilakukan, hal ini di indikasikan kelahiran
secara sectio caesarea. Sectio caesarea merupakan tindakan untuk melahirkan bayi
dengan berat di atas 500 gr dengan sayatan pada dinding uterus yang masih utuh.
Indikasi dilakukan tindakan ini yaitu preeklamsi berat, distorsi kepala panggul,
disfungsi uterus, distorsia jaringan lunak, placenta previa dll, untuk ibu. Sedangkan
untuk janin adalah gawat janin. Setelah dilakukan sectio caesarea ibu akan
mengalami adaptasi post partum baik dari aspek kognitif berupa kurang pengetahuan.
Akibat kurang informasi dan dari aspek fisiologis yaitu produk oxsitosin yang tidak
adekuat akan mengakibatkan ASI yang keluar hanya sedikit, luka dari insisi akan
menjadi post de entris bagi kuman. Oleh karena itu perlu diberikan antibiotik dan
perawatan luka dengan prinsip steril. Nyeri adalah salah utama karena insisi yang
mengakibatkan gangguan rasa nyaman.
Sebelum dilakukan operasi pasien perlu dilakukan anestesi bisa bersifat
regional dan umum. Namun anestesi umum lebih banyak pengaruhnya terhadap janin
maupun ibu anestesi janin sehingga kadang-kadang bayi lahir dalam keadaan upnoe
yang tidak dapat diatasi dengan mudah. Akibatnya janin bisa mati, sedangkan
pengaruhnya anestesi bagi ibu sendiri yaitu terhadap tonus uteri berupa atonia uteri
sehingga darah banyak yang keluar. Untuk pengaruh terhadap nafas yaitu jalan nafas
yang tidak efektif akibat sekret yan berlebihan karena kerja otot nafas silia yang
menutup. Anestesi ini juga mempengaruhi saluran pencernaan dengan menurunkan
mobilitas usus. Seperti yang telah diketahui setelah makanan masuk lambung akan
terjadi proses penghancuran dengan bantuan peristaltik usus. Kemudian diserap
untuk metabolisme sehingga tubuh memperoleh energi. Akibat dari mortilitas yang
menurun maka peristaltik juga menurun. Makanan yang ada di lambung akan
menumpuk dan karena reflek untuk batuk juga menurun. Maka pasien sangat
beresiko terhadap aspirasi sehingga perlu dipasang pipa endotracheal. Selain itu
motilitas yang menurun juga berakibat pada perubahan pola eliminasi yaitu
konstipasi (Sarwono,2009).
5. Pemeriksaan Penunjang
Dapat dilakukan pemeriksaan, diantaranya:
Darah rutin (mis Hb)
Urinalisis : menentukan kadar albumin/glukosa
USG abdomen
Gula darah sewaktu
6. Penatalaksanaan
Keperawatan
- Kaji ulang prinsip keperawatan pasca bedah
- Jika masih terdapat perdarahan lakukan masase uterus
- Berikan perawatan luka post op operasi secara intensif (Sarwono,
2009 )
Medis
- Obat pencegah kembung Digunakan untuk mencegah perut kembung
dan memperlancar saluran pencernaan, alinamin F, prostikmin,
perimperan.
- Antibiotik dan antiinflamasi
- Amfisin 2 gr IV setiap 6 jam
- Metronidazol 500 ml IV setiap 24 jam
7. Komplikasi
Komplikasi sectio caesarea mencakup periode masa nifas yang normal dan
komplikasi setiap prosedur pembedahan utama. Kompikasi sectio caesarea (Hecker,
2001)
a. Perdarahan
Perdarahan primer kemungkinan terjadi akibat kegagalan mencapai hemostasis
ditempat insisi rahim atau akibat atonia uteri, yang dapat terjadi setelah
pemanjangan masa persalinan.
b. Sepsis sesudah pembedahan
Frekuensi dan komplikasi ini jauh lebih besar bila sectio caesarea dilakukan
selama persalinan atau bila terdapat infeksi dalam rahim. Antibiotik profilaksis
selama 24 jam diberikan untuk mengurangi sepsis.
C. Pathway PEB
Tekanan darah
Merangsang pengeluaran
Renin+darah hati Proses endotheliosis
bahan tropoblastik
Renin+angiotensinogen
Merangsang pelepasan tromboplastin
Angiotensin I Angiotensin II
Merangsang pengeluaran Aktivasi/agregasi trombosit
bahan tromboksan deposisi fibrin
Gangguan fisiologis
*HIPERTENSI homeostasis
Pre-eklamsia
ginjal
edema proteinuria
PEB
Sectio caesaria
nifas
Luka post op
Oksitosin meningkat
Jaringan terbuka
Ejeksi ASI
MK: 1. Kerusakan
Integritas Kulit
adekuat Tidak adekuat
2. Resiko infeksi
Pemberian ASI efektif ASI tidak keluar
Penurunan curah jantung Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Evaluasi adanya nyeri dada
berhubungan dengan perubahan 3x24 jam diharapkan penurunan curah jantung 2. Catat adanya disritmia jantung
preload dan afterload. teratasi dengan indikator: 3. Catat adanya tanda dan gejala penurunan
NOC: cardiac putput
- Cardiac Pump effectiveness 4. Monitor status pernafasan yang
- Circulation Status menandakan gagal jantung
- Vital Sign Status 5. Monitor balance cairan
- Tissue perfusion: perifer 6. Monitor respon pasien terhadap efek
Indikator Awal Target pengobatan antiaritmia
TTV dbn 2 3 7. Monitor adanya dyspneu, fatigue, tekipneu
Dapat mentoleransi 1 3 dan ortopneu
aktivitas, tidak ada 8. Anjurkan untuk menurunkan stress
kelelahan 9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
Tidak ada edema 1 1 10. Monitor irama jantung
paru 11. Monitor frekuensi dan irama pernapasan
Tidak ada asites 5 5 12. Monitor pola pernapasan abnormal
Tidak ada udema 2 2 13. Monitor suhu, warna, dan kelembaban kulit
perifer 14. Monitor sianosis perifer
Tidak terjadi 5 5 15. Jelaskan pada pasien tujuan dari pemberian
penurunan oksigen
kesadaran 16. Kelola pemberian obat anti aritmia dan
Tidak ada distensi 5 5 vasodilator
Vena jugularis
Warna kulit normal 1 2
Keterangan :
1= keluhan ekstrim
2= keluhan substansial
3= keluhan sedang
4= keluhan ringan
5= tidak ada keluhan
Kelebihan volume cairan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Monitor pengeluaran urin, catat jumlah dan
berhubungan dengan gangguan 3x24 jam, diharapkan volume cairan pasien warna saat dimana diuresis terjadi.
mekanisme regulasi stabil dengan kriteria hasil:
1. Keseimbangan intake dan output cairan (4).
2. TTV normal (4).
3. BB stabil dan tidak terdapat edema (4).
4. Menyatakan pemahaman tentang pembatasan
cairan individual (5).
2. Monitor dan hitung intake dan output cairan
selama 24 jam.
Intoleransi aktivitas berhubungan Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1. Kaji aktivitas dan periode istirahat pasien,
dengan kelemahan umum 3x24 jam, pasien mempunyai cukup energi untuk rencanakan dan jadwalkan periode istirahat
beraktivitas sehingga toleran terhadap aktivitas, dan tirah baring yang cukup dan adekuat.
dengan kriteria hasil:
1. TTV normal (4).
2. EKG normal (4). 2. Berikan latihan aktivitas fisik secara bertahap
3. Koordinasi otot, tulang, dan anggota gerak (ROM, ambulasi dini, cara berpindah, dan
lainnya baik (4). pemenuhan kebutuhan dasar).
4. Pasien melaporkan kemampuan dalam ADL
(4).
3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan
dasar.
Ketidakseimbangan nutrisi: Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, dan
kurang dari kebutuhan tubuh b.d 3x24 jam diharapkan kebutuhan nutrisi pasien makanan yang disukai pasien.
faktor psikologis dan terpenuhi dengan kriteria hasil:
ketidakmampuan untuk a. Masukan per oral meningkat (5).
mencerna, menelan, dan b. Porsi makan yang disediakan habis (5). 2. Kaji TTV pasien secara rutin, status mual,
mengabsorpsi makanan. c. Masa dan tonus otot baik (5). muntah, dan bising usus.
d. Tidak terjadi penurunan BB (5).
e. Mual dan muntah tidak ada (5).
3. Berikan makanan sesuai diet dan berikan
selagi hangat.
ASUHAN KEPERAWATAN
I. IDENTITAS KLIEN
Nama : Ny. M Nama Suami : Tn. Z
Riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol, riwayat abortus dua kali
sebelumnya, dan usia ibu yang sudah melebihi 35 tahun.
Masalah Keperawatan
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 13 Mei 2019 pukul 12.00 WIB, klien P3A2H3
post SC a/i PEB dalam regimen MgSO4 dosis maintenance dari luar + bekas SC 1x +
hipoalbumin. Klien selesai operasi sekitar pukul 05.00 WIB tanggal 13 Mei 2019 dengan
terpasang IVFD RL + regimen MgSO4 dosis maintenance 28 tpm dan IVFD RL drip 2
Amp Oxytocin 28tpm. Kesadaran klien kompos mentis, keadaan umum sedang, klien
terpasang kateter urin, kontraksi uterus baik, perdarahan normal, TFU teraba 2 jari
dibawah pusat. Klien mengatakan nyeri pada bagian luka post op dengan skala nyeri 7,
nyeri dirasakan seperti menusuk – nusuk dan terasa meningkat saat bergerak. Klien juga
mengatakan ASI nya sedikit keluar sehingga ia sulit untuk menyusui anaknya. Klien
mengatakan cemas dan sering bertanya tentang keadaan anaknya pada perawat. Pada
pemeriksaan TTV didapatkan data TD : 200/120 MmHg, Nadi : 85x/i, Pernapasan :
20x/i, dan suhu 36, 5℃.
Masalah Keperawatan :
- Resiko Kejang
- Nyeri Akut
- Resiko infeksi
Klien pada kehamilan sebelumnya tidak memiliki riwayat PEB. Sekarang klien memiliki
2 orang anak yang masih hidup, dimana dengan riwayat SC 1x dan melahirkan spontan
1x namun 1 anak klien meninggal pada umur 8 bulan akibat gangguan hati.
Klien mengatakan ibu klien memiliki riwayat hipertensi dan asma sehingga turun pada
klien.
GENOGRAM :
KET :
: Laki - Laki
: Perempuan
: Meningggal
VI. RIWAYAT MENSTRUASI
Klien mengatakan haid tidak teratur, dalam sebulan bisa 2x sebulan dan sering
pendarahan yang cukup banyak sejak masih gadis. Sudah dikonsul ke dokter, dokter
mengatakan hanya hal ini dikarenakan klien sering makan makanan instan dan pedas.
Masalah Keperawatan :
- Kurang Pengetahuan
VII.RIWAYAT PERKAWINAN
Klien mengatakan menikah pada umur 27 tahun dan ini merupakan pernikahan
pertamanya dan saat ini masih berstatus menikah dengan suaminya sekarang.
b. Nifas hari ke : 1
d. Komplikasi Nifas : Tekanan darah yang masih tinggi yakni 210/110 MmHg
dan nyeri pada bagian luka post op SC.
Masalah Keperawatan :
- Nyeri Akut
Klien mengatakan sulit menggerakkan badan serta nyeri luka post op meningkat saat
bergerak. Klien mengatakan sulit tidur karena nyeri post op serta tidak nyaman
dikarenakan udara yang panas didalam ruangan.
Sirkulasi
Pada pemeriksaan CRT > 2 detik, tidak ada sianosis, akral teraba hangat.
Integritas Ego/ Psikososial
Klien mengatakan cemas dan ingin melihat anaknya sesegera mungkin serta sering
bertanya pada perawat tentang anaknya.
X. Eliminasi
Klien terpasang kateter urin dengan diurese terakhir jam 14.00 yaitu 1000 cc.
Sedangkan untuk BAB klien belum ada sejak 1 hari yang lalu.
Klien mengatakan nafsu makan dan minum tidak ada keluhan, tidak ada mual muntah.
Klien terpasang treeway IVFD RL + MgSO4 maintenance 28tpm dan RL drip 2 amp
oxytosin 28 tpm.
Klien mengatakan nyeri pada bagian luka post op SC pada bagian perut, skala nyeri 7
terasa seperti ditusuk – tusuk dan meningkat jika bergerak.
Pemeriksaan Fisik:
a. Nyeri Akut
ANALISA DATA
Perawatan luka
Aktivitas:
1. Buka perban/balutan pada luka
2. Cek kondisi luka tiap melakukan
perawatan
3. Bersihkan luka dengan larutan
NaCl 0,9%
4. Jaga teknik aseptik selama
tindakan
5. Bersihkan luka dengan kassa yang
telah dibasahi larutan NaCl 0,9%
6. Tutup luka dengan kassa lembab
No. MR : 01.04.89.19
Selasa, 14 Mei Nyeri akut 2. Manajemen Nyeri S : Klien mengatakan nyeri masih
2019 Melakukan pengkajian nyeri terasa hilang timbul dan meningkat saat
secara komprehensif dengan bergerak
menggunakan
PQRSTdidapatkan data : O:
P : Luka post op SC
Skala nyeri 5
Q : seperti ditusuk tusuk
Klien tampak meringis saat
R : abdomen
bergerak
S:5
T : saat bergerak Klien tampak gelisah
A : masalah teratasi sebagian
Menentukan dampak nyeri
terhadap kehidupan sehari- P : intervensi di lanjutkan
hari (tidur, nafsu makan,
aktivitas, kesadaran, mood,
hubungan sosial,
performance kerja dan
melakukan tanggung jawab
sehari-hari) nyeri tidak
berdampak pada nafsu
makan bayi, nafsu makannya
masih baik. Namun
berdampak pada tidur bayi
karena merasa tidak nyaman.
Mengajarkan dan
menganjurkan relaksasi nafas
dalam
Mengajarkan posisi yang
baik untuk mengurangi nyeri
Kerusakan Integritas 12. Perawatan Luka S : klien mengatakan bekas luka post op
Kulit Mengganti balutan lama terasa sakit dan memerah
dengan balutan yang baru O:
serta melakukan perawatan tampak luka masih memerah
luka pada pukul 10.00 WIB tidak ada nanah
menggunakan larutan luka berukuran 20 cm
betadine dan Leukomed. A : masalah teratasi sebagian
Menjaga kesterilan saat P : intervensi dilanjutkan
melakukan perawatan luka
pasien dengan menggunakan
handscoon steril
Mengkaji karakteristik luka
pada pasien, luka berwarna
kemerahan, tidak ada tanda
infeksi, balutan kering
namun masih terdapat bercak
darah. Luka berukuran 20
cm.
2. Pengawasan Kulit
Melakukan pemeriksaan
pada kulit, kulit pasien
tampak kemerahan, kulit
pasien teraba hangat (pada
pukul 09.00)
Memonitor kulit jika terdapat
ruam dan lecet pada pasien
Memantau tanda gejala
infeksi yakni terdapat
kemerahan, ada tidaknya
nyeri, ada tidaknya nanah,
ada tidaknya bau pada luka
2. Pengawasan Kulit
Melakukan pemeriksaan
pada kulit, kulit pasien
tampak kemerahan, kulit
pasien teraba hangat
Memonitor kulit jika terdapat
ruam dan lecet pada pasien
Memantau tanda gejala
infeksi yakni terdapat
kemerahan, ada tidaknya
nyeri, ada tidaknya nanah,
ada tidaknya bau pada luka
Kamis, 16 Mei Nyeri akut 1. Manajemen nyeri S : Klien mengatakan nyeri masih terasa
2019 Mengkaji hilang timbul dan meningkat saat
ketidaknyamanan secara bergerak
nonverbal, terutama O:
untuk pasien yang tidak
bisa Skala nyeri 4
mengkomunikasikannya Klien tampak meringis saat
secara efektif bergerak
Klien tampak gelisah
Menentukan tingkat
A : masalah teratasi sebagian
kebutuhan pasien yang
dapat memberikan P : intervensi di lanjutkan
kenyamanan pada pasien
dan rencana keperawatan
Menyediakan informasi
tentang nyeri, contohnya
penyebab nyeri,
bagaimana kejadiannya,
mengantisipasi
ketidaknyamanan
terhadap prosedur
Kontrol faktor lingkungan
yang dapat menimbulkan
ketidaknyamanan pada
pasien (suhu ruangan,
pencahayaan, keributan)
2. Manajemen lingkungan :
kenyamanan
Menciptakan lingkungan
yang tenang dan
mendukung
Menyediakan lingkungan
yang aman dan bersih
Memfasilitasi posisi
kenyamanan pasien
(misalnya menggunakan
prinsip-prinsip kesejajaran
tubuh, dukungan dengan
bantal, dukunng sendi
selama gerakan, belat atas
sayatan, dan
melumpuhkan bagian
tubuh yang menyakit kan
Menghindari
mengekspose kulit atau
selaput lendir terhadap
iritasi (misalnya tinja diare
dan drainase luka)
Pada bab ini kelompok membahas mengenai kesenjangan antara teori dengan studi
kasus asuhan keperawatan yang dilakukan pada Nn. M dengan PEB di Irna Kebidanan
RSUP Dr. M.Djamil Padang. Pembahasan yang penulis lakukan meliputi pengkajian,
diagnosa keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan pengumpulan data subyektif dan obyektif secara
sistematis dengan tujuan membuat penentuan tindakan keperawatan bagi individu,
keluarga dan komunitas. Tahap pengkajian terdiri dari pengumpulan data dan
perumusan kebutuhan atau masalah pasien. Dalam pengumpulan data penulis
menggunakan metode wawancara dengan pasien, observasi secara langsung terhadap
kemampuan dan perilaku pasien.
Pengkajian dari riwayat kesehatan pada pasien yaitu dimulai dari identitas. Pasien
berinisial Ny. M usia 36 th, bekerja sebagai ibu rumahtangga dan beralamat di lubuk
basung. Keluhan utama, riwayat kesehatan sekarang, riwayat kesehatan dahulu, dan
riwayat kesehatan keluarga. Klien datang melalui IGD RSUP Dr. M. Djamil Padang
rujukan dari RSIA Rizki Bunda Lubuk Basung pada tanggal 12 Mei 2019 jam 19.52
WIB dengan diagnosa PEB + Gravid preterm 33 – 34 minggu G5P2A2H2 dimana
riwayat hipertensi dalam kehamilan sejak 2 bulan yang lalu yakni 180/100 MmHg dan
DJJ 110 – 120/i. Klien memiliki riwayat hipertensi diluar kehamilan sejak 5 tahun
yang lalu dan tidak terkontrol, selain itu klien juga memiliki riwayat asma yang
diturunkan dari ibu klien.
Saat dilakukan pengkajian pada tanggal 13 Mei 2019 pukul 12.00 WIB, klien
P3A2H3 post SC a/i PEB dalam regimen MgSO4 dosis maintenance dari luar + bekas
SC 1x + hipoalbumin. Klien selesai operasi sekitar pukul 05.00 WIB tanggal 13 Mei
2019 dengan terpasang IVFD RL + regimen MgSO4 dosis maintenance 28 tpm dan
IVFD RL drip 2 Amp Oxytocin 28tpm. Kesadaran klien kompos mentis, keadaan
umum sedang, klien terpasang kateter urin, kontraksi uterus baik, perdarahan normal,
TFU teraba 2 jari dibawah pusat. Klien mengatakan nyeri pada bagian luka post op
dengan skala nyeri 7, nyeri dirasakan seperti menusuk-nusuk dan terasa meningkat
saat bergerak. Klien mengatakan cemas dan sering bertanya tentang keadaan anaknya
pada perawat. Pada pemeriksaan TTV didapatkan data TD : 200/120 MmHg, Nadi :
85x/i, Pernapasan : 20x/i, dan suhu 36, 5℃. Hasil pemeriksaan labor menunjukkan
proteinuria.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu dan tidak terkontrol,
riwayat abortus dua kali sebelumnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Masturoh
(2016) yang didapatkan bahwa Faktor riwayat hipertensi mempunyai risiko 6,42 kali
terjadi preeklampsia dindingkan dengan ibu hamil yang tidak ada riwayat hipertensi.
Pasien mengatakan tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang serupa, tidak
ada riwayat DM dalam keluarga, tidak ada riwayat keganasan dalam keluarga.
Riwayat penyakit disangkal.
Dari hasil pengkajian diketahui bahwa pasien berusia 36th, menurut hasil
penelitian Pradita (2018) ditemukan bahwa terdapat hubungan antara usia ibu hamil
dengan kejadian preeklamsia pada ibu hamil dimana mayoritas preeklampsia lebih
banyak ditemukan pada usia ibu hamil dengan umur 20-36 tahun dengan persentase
64,61%. Selain itu ini adalah kehamilan kedua klien yang mana sesuai dengan
penelitian Utama (2015) didapatkab bahwa preeklamsia lebih banyak ditemukan pada
ibu dengan multigravida dengan persentase 54,24%.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dan teori yang didapat pada penderita PEB secara
umum manifestasi klinis yang diderita pada pasien kelolaan oleh kelompok sudah
sesuai yaitu tekanan darah tinggi (180/100 MmHg) dan proteinuria. Namun ada salah
satu khas gejala PEB yang tidak muncul yakni edema meskipun pada awal masuk RS
edema ada.Hal ini karena kondisi edema terjadi akibat pengaruh aldosteron, terjadi
peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan. Penumpukan ini
terjadi akibat adanya kerusakan fungsi ginjal sehingga ginjal tidak mampu
mengeluarkan cairan dengan normal kembali sehingga mengakibatkan edema.
2. Diagnosa
Berdasarkan pengkajian yang telah dilakukan penulis terhadap pasien kelolaan,
penulis mendapatkan 3 diagnosa yaitu nyeri akut, kerusakan integritas kulit, dan
ketidakefektifan pemberian ASI. Dari diagnosa yang ditemukan, penulis mengangkat
diagnosa keperawatan yaitu nyeri akut. Dengan data subjektif pasien mengeluhkan
nyeri pada bagian luka post op SC pada bagian abdomen bawah, data objektif
didapatkan skala nyeri 7 terasa seperti ditusuk-tusuk dan nyeri meningkat jika
bergerak. Berdasarkan batasan karakteristik pada NANDA edisi 2018, terdapat
beberapa data yang sesuai dengan kondisi pasien yaitu diaforesis, perubahan
parameter fisiologis yaitu frekuensi nadi meningkat (85x/i), tekanan darah meningkat
(200/120 mmHg), ekspresi wajah yang menampakkan nyeri, dan fokus pasien yang
menyempit hanya pada dirinya sendiri. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nilekusuma dan Batavia tahun 2016 didapatkan hasil bahwa pasien
dengan post SC atas indikasi PEB mengalami nyeri pada luka post op dengan skala
nyeri rata-rata 7, terdapat diaforesis, frekuensi nadi dan tekanan darah meningkat.
Selanjutnya untuk diagnosa kedua yaitu kerusakan integritas kulit. Dengan data
terdapat luka post op SC dengan ukuran sepanjang 7 cm dengan posisi horizontal dan
pasien mengeluh nyeri pada area operasi. Terkadang pasien enggan bergerak karna
sakit sehingga menyebabkan area luka operasi menjadi lama untuk sembuh. Sejalan
dengan penelitian yang dilakukan oleh Khoiriyah dan Juliani tahun 2017 di Tanjung
Pinang didapatkan hasil bahwa pasien post SC dengan PEB mengalami kerusakan
integritas kulit dengan karakteristik luka jahitan sepanjang 6-10 cm dengan posisi
horizontal dan beberapa pasien mengalami pembengkakan dan nyeri pada luka operasi
nya dikarenakan enggan untuk bergerak atau melakukan mobilisasi dini.
Diagnosa ketiga yaitu ketidakefektifan pemberian ASI. Didapatkan data bahwa
klien mengatakan ASI yang keluar sedikit dan saat di palpasi teraba bendungan/
massa pada payudara. Ibu juga terlihat letih dan lemah sehingga kesulitan untuk
menyusui bayi nya. Penelitian oleh Purnama tahun 2016 didapatkan hasil bahwa
pasien dengan post SC rata-rata mengalami masalah pada ASI untuk bayinya, hal ini
disebabkan oleh kurangnya pengetahuan ibu tentang cara laktasi dan juga kondisi ibu
yang tidak memungkinkan untuk segera menyusui bayi nya. Sehingga didapatkan
hasil pemeriksaan pada ibu post SC terdapat bendungan ASI yang teraba keras pada
payudaranya.
Secara teori diagnosa yang didapatkan pada penderita PEB pada pasien yang
dikelola kelompok tidak sesuai. Hal ini disebabkan oleh adanya bantuan pengobatan
yang dapat menekan gejala yang muncul akibat PEB serta perbedaan tingkat
keparahan pada penyakitnya dimana klien baru pada kehamilan ini mengalami PEB.
3. Rencana Keperawatan
Rencana keperawatan merupakan metode komunikasi tentang asuhan
keperawatan pada klien dalam hal ini disesuaikan dengan NANDA, NIC, dan NOC.
Dalam rencana keperawatan dituliskan perawat membina hubungan saling percaya
dengan pasien dengan alasan dapat membantu pasien untuk lebih terbuka dan mampu
berinteraksi dengan orang lain. Perawat juga perlu melakukan kontak sering dan
singkat secara bertahap dengan pasien, agar pasien merasa keberadaan perawat
menunjukan kepedulian dan perhatian kepada pasien. Perawat juga harus
mengobservasi pasien dari tanda – tanda dari perburukan penyakit.
Dari diagnosa yang diangkat, penulis akan merencanakan tindakan keperawatan
diagnosa nyeri akut yaitu manajemen nyeri. Untuk diagnosa kerusakan integritas kulit
tindakan yang dilakukan adalah perawatan luka dan pengawasan kulit. Untuk
diagnosa ketidakefektifan pemberian ASI tindakan yang dilakukan adalah pemberian
edukasi serta pengajaran terkait bagaimana cara pemberian ASI yang baik, manfaat,
serta upaya agar ASI dapat keluar dengan baik.
Kelompok juga melakukan intervensi kolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya
yaitu dokter dan apoteker dalam pemberian terapi obat seperti antibiotik, terapi cairan
parenteral, dan juga berkolaborasi dengan ahli gizi untuk terapi diet yang cocok untuk
klien dalam kondisi penyakitnya.
4. Implementasi
Implementasi tindakan keperawatan adalah suatu kegiatan pemberian asuhan
keperawatan yang telah direncanakan sebelumnya. Dalam implementasi pada kasus
ini kelompok sudah membuat perencanaan yang sudah tertulis sebelum melakukan
tindakan. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu
memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih sesuai dan dibutuhkan
pasien saat ini.
Implementasi yang sudah kelompok lakukan kepada pasien kelolaan ialah
pemberian pengajaran relaksasi, pengaturan posisi, manajemen pengobatan dengan
prinsip 6 benar obat, kontrol infeksi, perawatan luka, dan pengawasan kulit. Adapun
implementasi yang tidak dapat rutin dilakukan oleh kelompok ialah memandikan
klien, karena kelompok hanya dapat melakukan perawaan diri memandikan saat klien
ada di ruang HCU, sementara saat klien pindah ke ruang rawat intervensi akan
diajarkan kepada keluarga untuk memandirikan keluarga dan pasien.
5. Evaluasi
Berdasarkan evaluasi dari data subjektif dan data objektif yang diperoleh setelah
melakukan implementasi terhadap pasien didapatkan hasil bahwa masalah teratasi
sebagian dari outcome yang ingin diharapkan. Pada diagnosa nyeri akut didapatkan
data nyeri pasien sudah mulai berkurang, skala nyeri menjadi 4, diaforesis tidak ada,
TTV sudah dalam batas normal (Nadi=80x/i). Sedangkan pada diagnosa kerusakan
integritas kulit didapatkan data bahwa luka pasien masih memerah namun tetap
terjaga kebersihan luka nya yaitu terbalut rapi oleh verban dan tidak ada nanah.
Selanjutnya pada diagnosa ketidakefektifan pemberian ASI didapatkan data bahwa
ibu mengatakan ASI keluar namun masih sedikit, bayi masih rewel, dan bendungan
pada ASI sudah mulai berkurang.
DAFTAR PUSTAKA
Arif, M. (2012). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2015). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi
4. Jakarta: EGC
Cunningham, F. G., 2016. Obstetric William. Edisi 21. Jakarta : EGC, pp :422-40.
Departemen Kesehatan RI. 2017. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI.
Febriani, Ferra (2013). Laporan Pendahuluan Keperawatan MaternitasPEB (Pre
EklamsiBerat)Di Ruang Anggrek Rumah Sakit Umum Daerah Banyuma.
Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Jenderal SoedirmanFakultas
Kedokteran Dan Ilmu-Ilmu KesehatanJurusan KeperawatanProgram Profesi
NersPurwokerto.
Hacker, N. F., George, M., 2012. Esensial Obstetri dan Ginekologi Ed. 2. Jakarta:Penerbit
Hipokrates, pp: 164;179-91;275-86.
Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014. Jakarta:
EGC.
Manuaba, I. B. G., 2013. Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta : Penerbit BukuKedokteran
EGC.
Matsuroh. 2015. Determinan maternal kejadian pre eklamsia. Jawa tengah: Stikes Mandala.
Pradita. 2018. Hubungan usia ibu hamil dengan kejadian pre-eklamsia. Solo: UMS
Prawirohardjo, S. (2016). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
World Health Organization. Global Health Observatory (GHO): Maternal and Reproductive
Health. 2013; Available from: http://www.who.int/gho/maternal_health/en/.