Abisatya Abiwara Revisi
Abisatya Abiwara Revisi
Kelas : X IPA
Hari demi hari mereka lalui seperti biasa, dengan rutinitas sebagai guru pada
umumnya, tetapi disini yang mereka ajar lebih istimewa. Berbeda seperti mengajar
murid pada umunya, mereka mengajar anak-anak raja harus penuh tanggung jawab dan
hati-hati. Salah sedikit saja bisa membawa pengaruh besar pada waktu yang akan
mendatang. Karena mereka adalah calon pemimpin sebuah kerajaan. Diharapkan akan
menjadi pemimipin yang adil, berwibawa dan bertanggung jawab.
“Pertanyaan yang sangat bagus. Baiklah saya akan menjawabnya. Jadi, untuk
menjadi seorang pemimpin yang baik, harus memenuhi kepentingan seluruh rakyatnya,
mengesampingkan kepentingan pribadi, menerima semua masukan atau aspirasi dan
tidak serta merta berlaku arogan kepada rakyat. Begitu muridku,” jawabnya. Setelah
menjawab pertanyaan muridnya, Abisatya mengakhiri pembelajaraan pagi hari itu
karena sudah waktunya istirahat.
Berbulan-bulan selanjutnya, kerajaan tersebut berduka karena Raja yang mereka
cintai telah tiada. Setelah kejadian itu, Kerajaan Macan Putih diperintah oleh putra
sulung Mas Prabu Tawang Alun. Kebiasaan raja muda ini sangat berbeda dengan
kebiasaan raja-raja sebelumnya. Beliau sering mabuk-mabukan, main perempuan,
minum tuak sepanjang hari. Membuat kacaunya pemerintahan Kerajaan Macan Putih.
Rakyat bingung. Melihat keadaan tersebut, Abisatya dan Abiwara merasa malu, sebab
gagal mendidik putra raja menjadi pemimipin negara yang layak. Akhirnya mereka
memutuskan untuk pergi dari Kerajaan Macan Putih
“Adikku, sebaiknya kita hidup mandiri saja. Karena jika kita bersama, hanya
sedikit orang yang akan menyerap ilmu kita. Bukankah akan lebih baik jika semakin
banyak orang yang berilmu di negeri ini,” ucap Abisatya.
“Baiklah kak, mungkin dengan cara ini akan mendatangkan hal baik pada masa
mendatang,” jawab Abiwara dengan sedikit terpaksa. Akhirnya kakak beradik ini
sepakat untuk hidup mandiri.
“Selamat sore pak, mampir kesini dulu pak minum kopi sambil makan gorengan,”
begitu katanya.
“Terima kasih pak, saya masih ada urusan di sana,” jawabnya tanpa
menghentikan langkahnya. Tak menjadi kejadian yang aneh lagi jika warga desa
mempersilahkan Abisatya singgah di rumahnya. Karena berkat pengaruh pendidikan
yang diberikannya, kehidupan masyarakat berubah. Kini rakyat Cungking hidup
makmur dan aman. Mereka berbahagia. Hanya dengan cara itu masyarakat membalas
kebaikan Abisatya.
“Sudah, di sini saja kita mendirikan gubug !” perintah Abiwara. Akhirnya mereka
mendirikan gubug di situ untuk sementara. Abiwara melihat bahwa tanah di situ sangat
subur.
“Bagaimana jika kita membuka pemukiman di hutan ini? Aku lihat tanah di sini
sangat subur,” kata Abiwara.
“Boleh juga, kita coba saja dahulu,” jawab salah seorang sahabatnya.
“Yasudah, mari kita babat hutan ini,” ajakan Abiwara. Setelah mempersiapkan
alat yang akan digunakan, mereka mulai membabat hutan itu. Baru saja mereka bekerja,
seluruh tubuh mereka gatal-gatal. Dengan peristiwa yang tidak terduga ini, Abiwara
mengurungkan niatnya untuk membuka pemukiman di situ.
“Sudah, jangan diteruskan membabat hutan ini! Aku sudah tidak tahan dengan
rasa gatal ini !” keluh Abiwara kepada sahabatnya.
Bahkan dia sempat berucap “Semoga kelak daerah ini bernama Lateng !”
ucapannya di kemudian hari terbukti. Setelah berpuluh-puluh tahun, daerah itu dihuni
orang. Mereka tau cara untuk mengatasi gatal yang disebabkan tumbuhan jelatang
tersebut. Untuk memenuhi keinginan Abiwara, berdasarkan pesan nenek moyangnya,
daerah itu disebut desa Lateng sampai sekarang.
“Sangat lelah kami. Mari istirahat sebentar. Jangan terlalu dipaksa, kita juga
butuh istirahat,” jawab sahabatnya dengan wajah yang lesuh.
Karena merasa lelah, mereka istirahat dengan cara gletekan (tiduran di lantai
beralas tikar). Karena tiupan angin yang begitu semilirnya, mereka tertidur pulas.
Mereka menikmati istirahat itu dengan mimpi-mimpi yang indah.
Ketika terbangun, mereka terkejut, karena hari telah senja. Untuk mensyukuri
kenikmatan sewaktu itu, Abiwara menandai daerah itu dengan nama glethekan. Karena
waktu terus bergulir, lama-kelaamaan kata glethekan berganti menjadi Gladhak. Sampai
saat ini nama itu tidak berubah.
Perjalanan Abiwara tidak sampai di situ. Ia dan para sahabatnya masih ingin
berjalan ke arah timur lagi. Dan sampailah mereka di suatu tempat yang mereka anggap
cocok untuk bermukim. Akhirnya mereka membuka pemukiman baru disana. Tidak
membutuhkan waktu lama untuk membuka pemukiman baru di situ. Berkat
pengalaman Abiwara dan para sahabatnya, mereka sangat cepat untuk membuka
pemukiman baru.
Hari demi hari mereka lalui. Persediaan air yang mereka bawa dari Gladhak
sudah habis. Abiwara kebingungan. Ia mencari cara untuk mendapatkan air bersih.
Lahan baru pun siap dihuni. Abiwara dan sahabat-sahabatnya bisa tinggal disana
untuk beberapa taun ke depan. Untuk mengenang peristiwa yang pernah mereka alami,
daerah tersebut dinamai desa tusukan (berasal dari kata menusuk-nusuk).
Tampak dari kejauhan, Abiwara melihat sebuah rumah mungil yang di depannya
terdapat genthong tempat menyimpan air. Didatanginya rumah itu oleh Abiwara
sendiri. Sesampainya di depan rumah mungil tersebut, Abiwara mengetuk pintu dengan
pelan.
“Ya, ada perlu apa ya pak? Sepertinya saya tidak pernah bertemu dengan anda,”
kata perempuan itu dengan suara yang sangat lembut.
“Iya, kamu benar. Aku memang bukan dari daerah sini. Aku berkelana menyusuri
negeri ini bersama para sahabatku. Tampak dari jauh, aku melihat genthong di depan
rumahmu, aku berniat untuk membelinya,” ujar Abiwara.
“Maaf tuan, genthong ini tidak akan pernah saya jual. Karena hanya ini yang saya
punya saat ini. Jika benda ini pindah dari tempatnya, saya pun akan selalu berada di
dekatnya,” jawabnya.
“Mulai saat ini, aku berjani untuk tidak berkelana lagi,” Abiwara membuka
percakapan. Sang istri menanggapinya dengan wajah yang bahagia.
“Ya, benar istriku. Aku sekarang sudah berkeluarga. Aku mempunyai kewajiban
untuk menafkahimu. Hidupku sekarang tidak sebebas dahulu,” jelasnya.
Tepi hutan yang ditinggali Abiwara sekarang, belum mempunyai tanda. Oleh
karena itu, ia menanadai dengan nama Genthongan. Artinya, di tempat itulah ia
menemukan genthing dan pendamping hidupnya. Setelah menjadi desa yang ramai desa
tersebut berganti nama menjadi Ginthangan. Sampai sekarang desa tersebut masih bisa
kita temukan.
Begitulah kisah yang dilalui oleh kakak beradik tersebut. Banyak pesan tersirat
yang bisa kita teladani.