Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab I

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

LANDASAN HISTORIS PENDIDIKAN


Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Landasan Pendidikan

Disusun oleh:
Kelompok 8
1. Novita Alviani 1808561
2. Ricky Adi Febriyana 1807905
3. Rizki Maulana 1808042
4. Tamara Oktavia 1808052

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
KAMPUS DI SUMEDANG
2019
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT. Yang mana atas
rahmat, hidayah, dan inayah-Nya penulis bisa menyelesaikan makalah ini. Makalah
yang berjudul "Landasan Historis Pendidikan" ini penulis susun secara maksimal
dengan harapan bisa memberikan manfaat lebih, baik bagi mahasiswa prodi
keperawatan maupun masyarakat umum.

Kemudian penulis ucapkan terimakasih banyak kepada pihak-pihak yang


telah mendukung pembuatan makalah ini sehingga penulis dapat menyelesaikan
secara maksimal, terutama kepada Nunung Siti Sukaesih, S.Kep.,MedEd. selaku
dosen mata kuliah Landasan Pendidikan

Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih ada


kekurangan baik dari segi penulisan maupun penyusunan kalimat, penulis harap
sekiranya para pembaca sekalian dapat memberikan kritik dan saran kepada penulis
yang bersifat membangun demi kemajuan kita bersama.

Sumedang, 13 Februari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I : PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1


1.2. Tujuan Penulisan 1
1.3. Mafaat Penulisan 1

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengertian historis 2


2.2. Pendidikan Pada Zaman Purba Hingga Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda 2
2.3. Pendidikan Yang Diselenggarakan Kaum Pergerakan Kebangsaan Dan
Pendidikan Zaman Pendudukan Militerisme Jepang 7
2.4. Pendidikan Indonesia periode tahun 1945-1969 dan masa pembangunan jangka
panjang (PJP) ke 1: 1969-1993 15
BAB III : IMPLAMENTASI
3.1. Dalam Pendidikan Di Indonesia 21

BAB IV : ANALISA DAN PEMBAHASAN


4.1. Analisa Pembahasan Berdasarkan Teori dan Fakta 22
BAB V : KESIMPULAN
5.1. Simpulan 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pendidikan yang baik merupakan hak setiap manusia karena pada dasarnya
pendidikan adalah upaya memanusiakan manusia (humanisasi). Pendidikan bertujuan
untuk mewujudkan manusia yang ideal atau manusia yang dicita-citakan sesuai nilai-nilai
yang dianut.
Demi membangun suatu pendidikan yang baik dan menjadi yang terbaik setiap
negara memiliki cara dan sistem sendiri begitu pula di Indonesia. Tujuan pendidikan bagi
bangsa Indonesia adalah manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Namun untuk mencapai tujuan pendidikan nasional
yang telah ditetapkan, pengetahuan dan nilai sejarah juga diperlukan untuk mengambil
hikmah atau pelajaran dari masa lalu demi pembangunan di masa sekarang dan masa
depan. Sehingga sudah menjadi keharusan untuk mengetahui dan mahami historis
pendidikan.
1.2. Tujuan Penulisan
1.2.1. Memberikan penjelasan mengenai landasan historis pendidikan.
1.2.2. Mengkaji sejarah untuk mengambil pelajaran pendidikan di masa kini dan nanti.
1.3. Manfaat Penulisan
1.3.1. Mampu memahami dan mengetahui landasan historis pendidikan.
1.3.2. Mampu mengimplementasikan pelajaran historis pendidikan masa lalu untuk
masa kini dan nanti.

1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1. Pengertian historis


Sejarah/historis adalah keadaan masa lampau dengan segala macam kejadian atau
kegiatan yang didasari oleh konsep-konsep tertentu. Sejarah penuh dengan informasi-
informasi yang mengandung kejadian, model, konsep, teori, praktik, moral, cita-cita,
bentuk dan sebagainya (Pidarta, 2007: 109).

Sejarah menjadi sebuah acuan untuk mengembangkan suatu kegiatan atau kebijakan
pada saat ini. Mempelajari sejarah sangatlah penting karena dengan mempelajari sejarah
manusia memperoleh banyak informasi dan manfaat sehingga menjadi lebih arif dan
bijaksana dalam menentukan sebuah kebijakan dimasa yang akan datang.

Sedangkan pendidikan adalah sebuah proses yang arif, terencana dan


berkesinambungan guna mendorong atau memotivasi peserta didik dalam mengembangkan
potensinya. Maka dari itu, yang dimaksud dengan landasan historis pendidikan adalah
sejarah yang menjelaskan dasar-dasar pendidikan di masa lalu yang menjadi acuan
terhadap pengembangan pendidikan di masa kini.

2.2. Pendidikan pada zaman purba hingga zaman pemerintahan kolonial Belanda
2.2.1. Zaman purba
Pada zaman purba kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat bangsa
Indonesia disebut kebudayaan paleolitik. Kemudian kebudayaan pada kurang lebih
1500 tahun SM disebut neolitik. Kebudayaan pada zaman purba tergolong maritim,
tidak memiliki stratifikasi sosial yang tegas, tata masyarakatnya bersifat egaliter, dan
hidup bergotong-royong.
Pada zaman purba pendidikan bertujuan agar generasi muda dapat mencari
nafkah, membela diri, hidup bermasyarakat, taat terhadap adat dan terhadap nilai-
nilai religi (kepercayaan) yang di yakini. Pada zaman ini belum ada lembaga
pendidikan formal (sekolah). Pendidikan dilaksanakan di dalam lingkungan keluarga
dan kehidupan kseharian masyarakat yang alamiah. Pendidiknya adalah orangtua dan
orang dewasa di dalam masyarakatnya. Sekalipun ada yang belajar pada empu
jumlahnya sangat terbatas.

2
3

2.2.2. Zaman kerajaan Hindu-Budha


Pada zaman ini umumnya masyarakat tinggal di daerah subur dekat pesisir
pantai. Masuk kebudayaan dibawa oleh orang-orang India melalui perdagangan
berupa bahasa, tulisan, agama, termasuk sistem pemerintahan yang berlaku di india.
Kebudayaan tersebut merubah keadaan sosial-budaya masyarakat setempat.
Struktur sosial pada awalnya bersifat Egakiter (tidak mengenal stratifikasi sosial
yang tegas) turut berubah. Terdapat stratifikasi sosial berdasarkan kasta, yakni: kasta
Brahmana, Ksatria, Waisa, Syudra, dan Paria. Pada abad ke-5 Masehi dimulai zaman
sejarah dengan ditemukannya tulisan tertua (tulisan huruf Palawa bahasa Sansekerta)
di dekat Bogor dan Kutai.
Pendidikan bertambah dengan diselenggarakan di lembaga pendidikan yang
disebut Perguruan (Paguron) atau pesantren, telah berlangsung di kerajaan
Tarumanegara dan Kutai. Pada awalnya pendidiknya adalah kaum Brahmana namun
empu menggantikan kedudukan para Brahmana menjadi guru. Terdapat tingkatan
guru : pertama, guru keraton muridnya para anak raja dan bangsawan; kedua, guru
pertapa muridnya berasal dari kalangan rakyat jelata. Pendidikan bersifat
aristokratis (hanya untuk minoritas) yaitu anak- anak kasta Brahmana dan Ksatria.
Pengelolaan pendidikan bersifat otonom ditangan para guru atau pandita.
Umumnya tujuan pendidikan agar peserta didik menjadi penganut agama yang
taat, mampu hidup bermasyarakat sesuai tatanan masyarakat, mampu membela diri
dan negara. Kurikulum pendidikannya meliputi agama, bahasa sansekerta termasuk
membaca dan menulis (huruf Palawa), kesusasteraan, keterampilan memahat atau
membuat candi, dan bela diri (ilmu berperang). Metode atau cara-cara pendidikannya
pun adalah “Sistem Guru Kula”. Dalam sistem ini murid tinggal bersama guru di
rumah guru atau asrama, murid mengabdi dan sekaligus belajar kepada guru.
Pada zaman berkembangnya agama Budha yang berpusat di Kerajaan
Sriwijaya (di Palembang), telah terdapat “Perguruan Tinggi Budha”. Selain dari
dalam negeri sendiri, murid-muridnya juga berasal dari Tiongkok, Jepang, dan
Indocina. Darmapala terkenal sebagai maha guru Budha. Mungkin sekali candi
Borobudur, Mendut, dan Kalasan merupakan pusat-pusat pendidikan agama Budha.
Hasil sastra yang ditulis para empu (pujangga) yang bermutu tinggi yaitu: Pararaton,
Negara Kertagama, Arjuna Wiwaha, dan Baratayuda. Para pujangga yang terkenal
antara lain Empu Kanwa, Empu Seddah, Empu Panuluh, dan Empu Prapanca (Idit
suhendi, dkk, 1991).
4

2.2.3. Zaman kerajaan Islam


Para raja dan masyarakat pesisir memeluk agama Islam melalui datangnya
saudagar beragama Islam. Pada pertengahan abad ke-14, kota Bandar Malaka ramai
dikunjungi para saudagar dari Asia Barat dan Jawa (Majapahit). Melalui para
saudagar dari Jawa yang masuk memeluk agama Islam, maka tersebarlah Islam ke
pulau Jawa. Kemudian penyebaran agam islam di Jawa juga dilakukan oleh para wali
yang dikenal sebagai Wali Sanga. Akhirnya berdirilah kerajan-kerajaan Islam.
Pemerintahan pada zaman ini dipimpin oleh raja, umumnya masyarakat tidak
menganut stratifikasi sosial berdasarkan kasta, feodalisme di kalangan masyarakat
pada umumnya mulai ditinggalkan.
Tujuan pendidikan diarahkan agar manusia bertaqwa kepada Allah S.W.T.
Selain berlangsung di dalam keluarga, pendidikan berlangsung di lembaga-lembaga
pendidikan lainnya, seperti: di langgar-langgar, mesjid, dan pesantren. Lembaga
perguruan atau pesantren yang sudah ada sejak zaman Hindu-Budha dilanjutkan oleh
para wali, ustadz, dan atau ulama Islam. Pendidikan berisi tentang tauhid, Al-Qur’an,
hadist, fikih, bahasa Arab termasuk membaca dan menulis huruf Arab. Pendidikan
pada zaman kerajaan Islam bersifat demokratis. Pada zaman ini pendidikan dikelola
oleh para ulama, ustadz atau guru pengelolaan pendidikan bersifat otonom.
Contoh metode yang sering digunakan adalah: ceramah atau tabligh (wetonan)
untuk menyampaikan materi ajar bagi orang banyak (belajar bersama) biasanya
dilakukan di mesjid; mengaji Al-Qur’an dan sorogan (cara-cara belajar individual).
Cara-cara belajar dilakukan pula melalui nadoman atau lantunan lagu. Selain itu
dilakukan pula melalui media dan cerita-cerita yang telah digunakan para pandita
Hindu-Budha, hanya saja isi ajarannya diganti dengan ajaran yang Islami. Demikian
pula dalam sistem pesantren atau pondok asrama. Di langgar atau surau, selain
melaksanakan shalat, biasanya anak-anak belajar mengaji Al-Qur’an dan materi
pendidikan yang sifatnya mendasar. Adapun materi pendidikan yang lebih luas dan
mendalam dipelajari di pesantren.
2.2.4. Zaman Pengaruh Portugis Dan Spanyol
Pada awal abad ke –16 datanglah bangsa Portugis, kemudian disusul oleh
bangsa Spanyol. Selain untuk berdagang kedatangan mereka juga disertai oleh
missionaris yang bertugas menyebarkan agama Katholik. Pada akhir abad ke-16
mereka meninggalkan negeri ini karena sering mendapat pemberontakan terutama
5

dari Sultan Ternate, karena perdagangan rempah-rempah sudah tidak


menguntungkan lagi, dan karena kalah dalam peperangan melawan Belanda.
Tahun 1536 didirikan sekolah (Seminarie) di Ternate, selain itu didirikan pula
di Solor. Pendidikannya berisi pendidikan agama Katolik, ditambah pelajaran
membaca, menulis dan berhitung. Pendidikan diberikan bagi anak-anak masyarakat
terkemuka. Pendidikan yang lebih tinggi diselenggarakan di Gowa, pusat kekuasaan
Portugis di Asia.
2.2.5. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda
Pada tahun 1596 bangsa Belanda datang ke Indonesia. Tujuan kedatangan
mereka adalah untuk berdagang. Pada tahun 1602 mereka mendirikan VOC
(merupakan badan perdagangan) milik orang-orang Belanda beragama Protestan,
maka selain berupaya menguasai daerah untuk berdagang, juga untuk menyebarkan
agama Protestan. Kekuasaan VOC akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Negeri
Belanda, karena itu sejak tahun 1800-1942 negeri kita menjadi jajahan Pemerintah
Kolonial Belanda.
Karaketristik kondisi sosial budaya pada zaman ini antara lain: (1)
berlangsungnya kolonialisme, (2) dalam bidang ekonomi berlangsung monopoli
perdagangan hasil pertanian yang dibutuhkan dan laku di pasar dunia, (3) terdapat
stratifikasi sosial berdasarkan ras atau suku bangsa.
Sejak berkuasanya bangsa Belanda, bangsa kita ditindas dan diadu domba,
kekuasaan para raja dirampas, dan kekayaan alam Indonesia diangkut. Penjajahan
yang telah berlangsung lama mengungkung kemajuan bangsa Indonesia, dan
mengakibatkan kemelaratan serta kebodohan. Pada awal abad ke-20 muncul tekanan
serta kecaman kaum humanis dan kaum sosial demokrat di Belanda atas kekeliruan
politik penjajahan pemerintah kolonial Belanda. Keadaan ini akhirnya memaksa
pemerintah kolonial Belanda untuk melaksanakan Politik Etis (1901).
Pada awal abad ke-20 (sejak kebangkitan nasional tahun 1908) lahirlah
berbagai pergerakan. Pergerakan nasional berlangsung dalam jalur politik maupun
pendidikan.
Implikasi dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia pada
zaman ini, secara umum dapat dibedakan dua garis penyelenggaraan pendidikan,
yaitu: Pertama, pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda;
Kedua, pendidikan yang diselenggarakan oleh rakyat dan Kaum Pergerakan
6

Kebangsaan (Pergerakan Nasional) sebagai sarana perjuangan demi merebut kembali


kemerdekaan dan sebagai upaya rintisan ke arah pendidikan nasional.
2.2.5.1. Pendidikan Zaman VOC
Pendidikan diawali dengan pelaksanaan pendidikan yang dilakukan oleh VOC.
VOC menyelenggarakan sekolah dengan tujuan untuk misi keagamaan (Protestan),
bukan untuk misi intelektualitas, untuk menghasilkan pegawai administrasi rendahan
di pemerintahan dan gereja. Sekolah pertama didirikan VOC di Ambon pada tahun
1607.
Pendidikannya berisi pelajaran agama Protestan, membaca dan menulis.
Kurikulum pendidikan belum bersifat formal (belum tertulis), dan lama
pendidikannya pun tidak ditentukan dengan pasti. Murid-muridnya berasal dari anak-
anak pegawai, sedangkan anak-anak rakyat jelata tidak diberi kesempatan untuk
sekolah. Pada awalnya yang menjadi guru adalah orang Belanda, kemudian
digantikan oleh penduduk pribumi, yaitu mereka yang sebelumnya telah dididik di
Belanda.
Selama kurang lebih 200 tahun berkuasa, pendidikan yang dilaksanakan VOC
benar-benar sangat sedikit sekali. Pendidikan Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda
Dalam periode pemerintahan kolonial Belanda, kecil sekali usaha-usaha
pendidikan bagi kalangan Bumi Putera. Sampai akhir tahun 1940 jumlah penduduk
bangsa Indonesia 68.632.000, sedangkan yang bersekolah hanya 3,32%.
Ciri-ciri pendidikan zaman ini antara lain: pertama, minimnya partisipasi
pendidikan bagi kalangan Bumi Putera, pendidikan umumnya hanya diperuntukan
bagi bangsa Belanda dan anak-anak bumi putera dari golongan priyayi; kedua,
pendidikan bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja murah atau pegawai
rendahan. Tilaar (1995) mengemukakan lima ciri pendidikan zaman kolonial
Belanda, yaitu:1) Adanya Dualisme pendidikan, yaitu pendidikan untuk bangsa
Belanda yang dibedakan dengan pendidikan untuk kalangan Bumi Putera; 2) Sistem
Konkordansi, yaitu pendidikan di daerah jajahan diarahkan dan dipolakan menurut
pendidikan di Belanda. Bagi Bumi Putera hal ini di satu pihak memberi efek
menguntungkan, sebab penyelenggaran pendidikan menjadi relatif sama, tetapi
dipihak lain ada efek merugikan dalam hal pembentukan jiwa kaum Bumi Putera
yang asing dengan budaya dan bangsanya sendiri; 3) Sentralisasi pengelolaan
pendidikan oleh pemerintahan kolonial Belanda; 4) Menghambat gerakan nasional;
7

dan 5) Munculnya perguruan swasta yang militan demi perjuangan nasional


(kemerdekaan).
2.3. Pendidikan yang diselenggarakan kaum pergerakan kebangsaan (Pergerakan
Nasional) dan pendidikan zaman pendudukan militerisme Jepang
2.3.1. Pendidikan oleh Kaum Pergerakan Kebangsaan (Pergerakan Nasional)
2.3.1.1. Latar Belakang Sosial Budaya Timbulnya Pergerakan Nasional.
Faktor intern yang menimbulkan pergerakan kebangsaan (pergerakan nasional)
diantaranya : (1) Berbagai kondisi yang sangat merugikan bangsa Indonesia akibat
kebijakan dan praktek-praktek penjajahan, telah menimbulkan rasa senasib
sepenanggungan sebagai bangsa yang dijajah sehingga muncul rasa
kebangsaan/nasionalisme. (2) Kebesaran masa lampau bangsa juga memperkuat rasa
harga diri sebagai bangsa yang berdaulat dan merdeka. (3) Kaum terpelajar di
kalangan bangsa kita terdorong untuk berperan menjadi motor pergerakan. (4)
Bahasa melayu yang merupakan bahasa kesatuan makin menyadarkan bahwa bangsa
Indonesia adalah satu bangsa. (5) Karena mayoritas bangsa Indonesia memeluk
agama Islam, maka timbul persepsi bahwa Belanda adalah Kafir.
Sejak Kebangkitan Nasional (1908) sifat perjuangan rakyat Indonesia
dilakukan melalui berbagai partai dan organisasi, baik melalui jalur politik praktis,
jalur ekonomi, sosial-budaya. dan khususnya melalui jalur pendidikan. Sifat
perjuangan bangsa kita saat itu tidak lagi hanya menitik beratkan pada perjuangan
fisik. Mengingat ciri-ciri pendidikan yang diselenggarakan pemerintah kolonial
Belanda yang tidak memungkinkan bangsa Indonesia untuk menjadi cerdas, bebas,
bersatu, dan merdeka, maka kaum pergerakan semakin menyadari bahwa pendidikan
yang bersifat nasional harus segera dimasukkan ke dalam program perjuangannya.
Usaha-usaha kaum pergerakan melalui jalur pendidikan demi kemerdekaan dan
rintisan ke arah pendidikan nasional tampak jelas. Hampir setiap organisasi
pergerakan nasional mencantumkan dan melaksanakan pendidikan dalam anggaran
dasar dan/atau dalam program kerjanya.
2.3.1.2. Pendidikan
Djumhur dan H. Danasuparta (1976) mengemukakan bahwa setelah tahun
1900 usaha-usaha partikelir di bidang pendidikan berlangsung dengan sangat
giatnya. Untuk mengubah keadaan akibat penjajahan, kaum pergerakan memasukan
pendidikan ke dalam program perjuanganya. Lahirlah sekolah-sekolah partikelir
(perguruan nasional) yang diselenggarakan para perintis kemerdekaan.
8

Sekolah-sekolah itu mula-mula bercorak dua:


 Sekolah-sekolah yang sesuai haluan politik, seperti yang diselenggarakan oleh:
Ki Hadjar Dewantara (Taman Siswa), Dr. Douwes Dekker atau Dr. Setyabudhi
(Ksatrian Institut), Moch. Sjafei (INS Kayutanam).
 Sekolah-sekolah yang sesuai tuntutan agama (Islam), seperti yang
diselenggarakan oleh: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Sumatera Tawalib di
Padangpanjang.
Selain itu, sebelumnya telah diselenggarakan pula pendidikan oleh tokoh-tokoh
wanita seperti R.A. Kartini (di Jepara), Rd. Dewi Sartika (di Bandung), dan Rohana
Kuddus (di Sumatera).
Kebijakan dan praktek pendidikan yang diselenggarakan rakyat dan kaum
pergerakan antara lain sebagaimana diuraikan berikut ini:
 R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan Rohana Kuddus.
R.A. Kartini, Rd. Dewi Sartika, dan Rohana Kuddus menghadapi masalah yang
relatif sama. Mereka melihat kepincangan dalam masyarakat dan ketidak adilan terhadap
wanita, sehingga menghambat kemajuan kaum wanita karena adat kebiasaan yang berlaku
pada saat itu. Sebab itu, baik R.A. Kartini, Dewi Sartika, maupun Rohana Kudus memiliki
cita-cita yang relatif sama pula, yaitu keinginan untuk bebas, berdiri sendiri, serta
membebaskan kaum wanita (gadis-gadis) Indonesia lainnya dari ketertinggalan dan ikatan
adat kebiasaan. Upaya-upaya pendidikan yang dilakukan mereka adalah:
 R.A. Kartini (1879-1904):
Pada tahun 1903 Ia membuka “Sekolah Gadis” di Jepara, dan setelah menikah ia
membukanya lagi di Rembang.
 Rd. Dewi Sartika (1884-1947):
Pada tahun 1904 Ia mendirikan “Sakola Isteri” (Sekolah Isteri).
 Rohana Kuddus (1884- 1969):
Rohana Kuddus dikenal sebagai wanita Islam yang taat pada agamanya dan
sebagaimana kedua tokoh di atas ia giat sekali mempelopori emansipasi wanita.
Pada tahun 1905 ia mendirikan Sekolah Gadis di Kota Gedang. Pada 11 Februari
1911 ia memimpin Perkumpulan Wanita Minagkabau yang diberi nama “Kerajinan Amai
Setia” yang kemudian dijadikan nama sekolahnya. Kurikulum pendidikan mereka memiliki
kesamaan pula, yaitu berkenaan dengan membaca, menulis, berbagai ilmu pengetahuan
dan keterampilan kewanitaan agar mereka dapat berkarya.
9

 Budi Utomo
Pada tahun 1908 Budi Utomo dalam kongresnya yang pertama (3-4 Oktober 1908)
menegaskan bahwa tujuan perkumpulan itu adalah untuk kemajuan yang selaras buat
negeri dan bangsa Indonesia. Pada tahun 1913 mendirikan Darmo-Woro Studiefonds; dan
mendirikan tiga Sekolah Netral di Solo dan dua di Yogyakarta. Pada tahun 1918
mendirikan Kweekschool di Jawa Tengah, kemudian Sekolah Guru Kepandaian Putri untuk
Sekolah Kartini, enam Normaal School, dan sepuluh Kursus Guru Desa, dsb. Pada tahun
itu sekolah-sekolah Budi Utomo telah berkembang hingga jumlahnya kurang lebih
mencapai 480 (H.A.R. Tilaar, 1995).
 Muhammadiyah
Pada tanggal 18 November 1912 K. H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi
perkumpulan Muhammadiyah di Yogyakarta. Muhammadiyah dengan berbagai
sekolahnya, didirikan dalam rangka memberikan pendidikan bagi bangsa Indonesia sesuai
dengan kebutuhan bangsa Indonesia sendiri, untuk mengatasi kristenisasi, dan untuk
mewujudkan masyarakat Islam yang melaksanakan ajaran al-Qur’an dan Hadits sesuai
yang diajarkan Rosululloh (Nabi Muhammad S.A.W).
Pendidikan Muhammadiyah berasaskan Islam dan berpedoman kepada Al-Qur’an
dan Hadits. Tujuan pendidikan Muhammadiyah adalah membentuk manusia muslim
berakhlak mulia, cakap, percaya diri dan berguna bagi masyarakat.
Untuk mencapai tujuannya Muhammadiyah mendirikan sekolah-sekolah yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke, di bawah pimpinan Majelis Pengajaran. Sekolah-
sekolah itu di samping memberikan pendidikan agama Islam, memberikan juga berbagai
mata pelajaran seperti di sekolah-sekolah Pemerintah. Usaha-usaha lain berupa perluasan
pengajian-pengajian (di bawah bimbingan Majelis Tabligh), menyebarkan bacaan-bacaan
agama, mendirikan mesjidmesjid, madrasah-madrasah, pesantren-pesantren, dan
sebagainya.
Pada zaman Belanda, Muhammadiyah mempunyai bagian-bagian sekolah:
 Taman Kanak-kanak (Busthanul Atfal) Inheemse Mulo
 Sekolah kelas II Normaalschool
 Sekolah Schakel Kweekschool
 HIS HIK
 MULO AMS
10

Sekolah-sekolah agamanya:
 Ibtidaiyah (SD dengan dasar Islam)
 Tsanawiyah (Sekolah Lanjutan dengan dasar Islam)
 Diniyah, yang hanya meberikan pelajaran agama saja
 Mu’allimin/Muallimat (SGB Islam)
 Kulliyatul Mubaligin (SPG Islam)
Dari masa Pendudukan Jepang organisasi Muhammadiyah dengan sekolah-sekolahnya
berjalan terus sampai kini Muhammadiyah terus berjuang dan berkembang dalam rangka
mencapai cita-citanya.
 Perkumpulan Putri Mardika
Perkumpulan Putri Mardika didirikan tahun 1912. Bertujuan memajukan
pengajaran anak-anak perempuan (Odang Muchtar, 1976).
 Trikoro Dharmo
Pada tahun 1915 didirikan Trikoro Dharmo, dan selanjutnya berdiri berbagai
perkumpulan pemuda dan pelajar di berbagai tempat di tanah air hingga
terwujudnya
Sumpah Pemuda pada tahun 1928.
 Perguruan Taman Siswa
Pada mulanya Ki Hadjar Dewantara (1889-1959) bersama rekan-rekannya berjuang
di jalur politik praktis, selanjutnya mulai tahun 1921 perjuangannya difokuskan di jalur
pendidikan. Hal ini Beliau lakukan mengingat Departemen Pengajaran Pemerintah
Belanda bersikap diskriminatif mengenai hak dan penyelenggaraan pendidikan bagi bagsa
kita. Menurut Ki Hadjar Dewantara keadaan penjajahan tidak akan lenyap jika hanya
dilawan dengan pergerakan politik saja. Melainkan harus dipentingkan penyebaran benih
hidup merdeka di kalangan rakyat dengan jalan pengajaran yang disertai pendidikan
nasional (I. Djumhur dan H. Danasuparta, 1976). Pada 3 Juli 1922 di Yogyakarta Ki
Hadjar Dewantara mendirikan "National Onderwijs Institut Taman Siswa" yang kemudian
menjadi "Perguruan Nasional Taman Siswa".
Pada pembukaan lembaga pengajaran Taman Siswa (3 Juli 1922), Ki Hadjar
Dewantara mengemukakan tujuh azas pendidikannya yang kemudian dikenal dengan Azas
Taman Siswa 1922. Ketujuh Azas tersebut adalah:
 Hak seseorang akan mengatur dirinya sendiri dengan wajib mengingat tertibnya
kehidupan umum.
11

 Pengajaran berarti mendidik untuk menjadi manusia yang merdeka batinnya,


merdeka fikirannya, dan merdeka tenaganya.
 Pendidikan hendaknya berasaskan kebudayaan kita sendiri sebagai penunjuk jalan,
untuk mencari penghidupan baru, yang selaras dengan kodrat kita dan akan
memberi kedamaian dalam hidup kita.
 Pendidikan harus diberikan kepada seluruh rakyat umum dari pada mempertinggi
pengajaran kalau usaha mempertinggi ini mengurangi tersebarnya pengajaran.
 Agar bebas, merdeka lahir batin, maka kita harus bekerja menurut kekuatan sendiri.
 Agar hidup tetap dengan berdiri sendiri, maka segala belanja mengenai usaha kita
harus dipikul sendiri dengan uang pendapatan sendiri.
 Dengan tidak terikat lahir batin, serta kesucian hati, berminat kita berdekatan
dengan Sang Anak. Kita tidak meminta sesuatu hak, akan tetapi menyerahkan diri
untuk berhamba kepada Sang Anak.
Sesudah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, Asas Taman Siswa
1922, pada tahun 1947 diubah menjadi "Panca Dharma" Taman Siswa, yaitu: 1)
Kebebasan atau Kemerdekaan, 2) Kebudayaan, 3) Kodrat Alam, 4) Kebangsaan,
dan 5) Kemanusiaan.
Tujuan Pendidikan yaitu: menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggata masyarakat
dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Berdirinya Perguruan Nasional Taman Siswa (1922) dimulai dengan
dibukanya sekolah untuk anak-anak di bawah umur 7 tahun yang diberi nama
Taman Lare atau Taman Anak kadang diberi nama penjelasan "Sekolah Froebel
Nasional atau Kindertuin". Sebutan Taman Lare atau Taman Anak untuk anak di
bawah umur 7 tahun kemudian diganti namanya menjadi Taman Indria. Alasannya
karena anak-anak di bawah umur 7 tahun itu semata-mata berada pada periode
perkembangan pancainderanya. Pada tahun-tahun berikutnya dibuka Taman Anak
untuk anak-anak umur 7-9 tahun (kelas I-III); Taman Muda untuk anak-anak umur
10-13 tahun (kelas IV-VI), dan kelas VII sebagai kelas masyarakat; Taman Dewasa
(setingakt SMP); Taman Madya (setingkat SMA); Taman Guru; dan Taman Ilmu
(setingkat Sekolah Tinggi). Taman Guru meliputi: Taman Guru BI, yaitu sekolah
guru untuk calon guru Taman Anak dan Taman Muda (satu tahun setelah Taman
Dewasa); Taman Guru BII (satu tahun setelah Taman Guru BI); Taman Guru BIII
11

(satu tahun setelah Taman Guru BII) yang menyiapkan calon guru Taman Dewasa.
Taman Guru BIII terdiri atas dua bagian: Bagian A (Alam/Pasti), yaitu bagi para
12

calon guru mata pelajaran alam/pasti; dan Bagian B (Budaya), yaitu bagi para calon guru
mata pelajaran Bahasa, Sejarah, dsb. Pada Taman Guru, selain diselenggarakan Taman
Gurtu BI s.d. BIII, juga diselenggarakan Taman Guru Indriya, yaitu sekolah guru yang
menyiapkan para calon guru untuk Taman Indriya.
Cara atau metode pendidikannya adalah “among-methode” atau “among
system”, yaitu menyokong kodrat alamnya anak yang kita didik, agar dapat
mengembangkan hidupnya lahir dan batin menurut kodratnya sendiri-sendiri".
Dasar sistem among ini adalah kodrat alam dan kemerdekaan. (Majelis Luhur
Persatuan Taman Siswa, 1977). Pendidikan dengan sistem among memakai cara
pondok asrama, karena dengan cara itu dapatlah ketiga lingkungan pendidikan
bekerja bersama-sama (keluarga, perguruan dan perkumpulan pemuda).
Pelaksanaan pendidikan tersebut berpedoman pula pada berbagai semboyan “Ing
ngarso sung tulodo, Ing madya mangun karso, Tutwuri handayani. Artinya: Kalau
pendidik berada di muka, dia memberi teladan kepada peserta didik. Kalau berada
di tengah, membangun semangat, berswakarya, dan berkreasi pada peserta didik.
Kalau berada di belakang, pendidik mengikuti dan mengarahkan peserta didik agar
berani berjalan di depan dan sanggup bertanggung jawab. Dengan kata lain,
seorang pendidik atau pemimpin harus bersikap sebagai pengasuh yang
mendorong, menuntut, dan membimbing peserta didik/orang yang dipimpinnya.
 Ksatrian Institut
Ksatrian Institut didirikan di Bandung oleh Ernest Francoist Eugene Douwes
Dekker (Multatuli atau Setyabudhi). Ia memimpin lembaga ini sejak 1922-1940.
Dasar pendidikannya adalah kebangsaan Indonesia, terutama melalui sejarah
kebangsaan. Tujuan pendidikannya yakni menghasilkan ksatria (ridderschap) bagi
Indonesia Merdeka di masa datang. Sekolah kejuruan merupakan organisasi dalam
sistem pendidikan Ksatreian Institut, yang diharapkan agar lulusannya menjadi
nasionalis yang berguna dan dapat berdiri sendiri serta mencari lapangan kerja yang
praktis. Lulusannya umumnya mendapat tempat di perusahaan-perusahaan swasta
atau berdiri sendiri. Sampai dengan tahun 1937 perkembangan sekolahnya telah
mencapai 9 sekolah yang tersebar di Bandung, Ciwidey, dan Ciajur (Odang
Muchtar, 1976).
 Nahdlatul Ulama (NU)
Nahdlatul Ulama didirikan di Surabaya pada tgl 31 Januari 1926 didirikan
oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Sejak 1899 Beliau telah membuka pesantren Tebuireng
12

di Jombang. Sebelum menjadi partai politik NU bertujuan: memegang teguh salah


satu mazhab dari
13

mazhab Imam yang ber-empat, yaitu: Syafi’I, Maliki, Hanafi, Hambali dan mengerjakan
apa-apa yang menjadikan kemaslahatan untuk agama Islam.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diselenggarakan berbagai usaha seperti:
memajukan dan memperbanyak pesantren dan madrasah serta mengadakan tabligh-
tabligh dan pengajian-pengajian.
 INS Kayutanam
Indonesisch Nederland School (INS) didirikan oleh Mohammad Sjafei (1895-
1969) pada tanggal 31 Oktober 1926 di Kayutanam, Sumatera Barat. Pada tahun
1950 kepanjangan INS diubah menjadi Indonesian Nasional School, dan
selanjutnya menjadi Institut Nasional Sjafei. Perjuangan INS juga diarahkan demi
kemerdekaan melalui pendidikan yang menekankan lulusannya agar dapat berdiri
sendiri tidak tergantung pada
orang lain atau jabatan yang diberikan oleh kaum penjajah.
Sebagaimana dikemukakan oleh Ag. Soejono (1979) pada awal didirikannya
INS mempunyai dasar pendidikan sebagai berikut:
 Berfikir secara logis atau rasional.
 Keaktifan atau kegiatan.
 Pendidikan kemasyarakatan.
 Memperhatikan bakat anak.
 Menentang intelektualisme.
Tujuan pendidikan INS Kayutanam berdasarkan Umar Tirtarahardja .dan
La Sulo (1995) adalah sebagai berikut:

1) Mendidik rakyat ke arah kemerdekaan.


2) Memberi pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3) Mendidik para pemuda agar berguna untuk masyarakat.
4) Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan berani bertanggung jawab.
5) Mengusahakan mandiri dalam pembiayaan.
Usaha yang dilakukan pendidik INS Kayu Tanam dalam bidang
pendidikan antara lain menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, seperti
Ruang Rendah (7 tahun, setara sekolah dasar), ruang dewasa (4 tahun sesudah
Ruang Rendah, setara sekolah menengah), dan sebagainya. INS Kayu Tanam
juga menyelenggarakan usaha lain sebagai bagian mencerdaskan kehidupan
13

bangsa, yakni penerbitan Sendi (majalah anak-anak), buku bacaan dalam rangka
pemberantasan buta huruf/aksara dan angka.
14

 Juli Tahun 1927 dalam pidato pembelaannya Bung Hatta di pengadilan Den Haag
mengusulkan supaya ada perbaikan dalam berbagai bidang sosial, antara lain
adalah bidang pembinaan pendidikan nasional.
 Kongres Pasundan pada tahun 1930 juga menempatkan pendidikan dan
pengajaran sebagai salah satu sarana utama perjuangannya.
 November 1937 dalam kongres ke-26 Persatuan Guru Indonesia (PGI) di
Bandung dirumuskan supaya diadakan wajib belajar. Pada Kongresnya tahun
1938 di Malang PGI menuntut agar pendidikan dan pengajaran diserahkan ke
daerah tetapi didahului dengan perbaikan keuangan daerah.
 Pentingnya peranan pendidikan nasional dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dan dalam memperjuangkan kemerdekaan demi lahirnya negara nasional
bersifat nasionalistik dan sangat anti kolonialis
Terdapat tiga ciri pendidikan nasional (pendidikan kaum pergerakan) pada masa
ini, yaitu:

 bersifat nasionalistik dan sangat anti kolonialis.


 berdiri sendiri atau percaya kepada kemampuan sendiri.
 pengakuan kepada eksistensi perguruan swasta sebagai perwujudan harga diri
yang tingi dan kebhinekaan masyarakat Indonesia serta pentingnya
pengembangan rasa persatuan dan kesatuan masyarakat dan bangsa Indonesia
(H.A.R. Tilaar, 1995).

2.3.2. Pendidikan zaman pendudukan militerisme Jepang.


Kekuasaan pemerintah kolonial Belanda berakhir ketika pada tgl. 8 Maret
1942 mereka menyerah kepada militer kerajaan Jepang. Selanjutnya bangsa
Indonesia berada di bawah kekuasaan pendudukan militerisme Jepang selama
hampir 3,5 tahun.

Jepang menyerbu Indonesia karena kekayaan negeri ini yang sangat besar
artinya bagi kelangsungan perang Pasifik dan sesuai pula dengan cita-cita politik
ekspansinya. Dibalik itu, merekamempropagandakan semboyan Hakko
Ichiu atau semboyan “kemakmuran bersama” Asia Timur Raya. Mereka
menyatakan bahwa mereka berjuang mati-matian melakukan “perang suci”
14

(melawan sekutu ) demi kemakmuran bersama Asia Timur Raya dengan Jepang
sebagai pemimpinnya. Namun demikian tujuan
15

pendudukan militer Jepang lama kelamaan menjadi penindasan. Ada dua


kebijakan pemerintah pendudukan militer Jepang :

 menghapuskan semua pengaruh Barat di Indonesia melalui “pen-Jepang-an”.


 memobilisasi segala kekuatan dan sumber yang ada untuk mencapai kemenangan
perang Asia Timur Raya.
Implikasi kekuasaan pemerintahan pendudukan militer Jepang dalam
bidang pendidikan di Indonesia yaitu:

 Tujuan dan isi pendidikan diarahkan demi kepentingan perang Asia Timur Raya.
Contoh: Tiap pagi di sekolah-sekolah dimulai dengan menyanyikan lagu
kebangsaan Jepang “Kimigayo”. Upacara pagi dilanjutkan dengan pengibaran
bendera Hinomaru dan membungkuk untuk menghormat Tenno Heika. Tiap hari
para siswa harus mengucapkan sumpah pelajar dalam bahasa Jepang, melakukan
taiso (senam), dan diwajibkan pula melakukan kinrohoshi (kerja bakti). Selain itu,
dibentuk PETA sebagai program pendidikan militer bagi para pemuda.
 Hilangnya Sistem Dualisme dalam pendidikan. Sistem pendidikan yang bersifat
dualistis membedakan dua jenis sekolah untuk anak-anak bangsa Belanda dan
anak-anak Bumi Putera dihapuskan pada zaman Jepang. Sekolah bersifat terbuka
untuk seluruh lapisan anak Indonesia. Namun demikian, hanya satu jenis sekolah
rendah diadakan bagi semua lapisan masyarakat.
a. Sekolah Rakyat 6 tahun (termasuk Sekolah Pertama).
b. Sekolah Menengah 3 tahun.
c. Sekolah Menengah Tinggi 3 tahun.
d. Perguruan Tinggi.

2.4. Pendidikan Indonesia periode tahun 1945-1969 dan masa pembangunan


jangka panjang (PJP) ke 1: 1969-1993
2.4.1. Pendidikan pada Periode Tahun 1945-1969
 Zaman Revolusi Fisik Kemerdekaan
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada tanggal 18
Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai dasar negara. Sejak saat
ini jenjang dan jenis pendidikan mulai disempurnakan dan disesuaikan
dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Contoh: Sekolah
16

Menengah zaman Jepang (Skoto Cu Dakko dan Coto Cu Gakko) diubah


menjadi SMTP dan SMTA.

Bersamaan dengan berjalannya revolusi fisik, pemerintah mulai


mempersiapkan sistem pendidikan nasional sesuai amanat UUD 1945.
Beberapa bulan setelah proklamasi kemerdekaan menteri pendidikan,
pengajaran dan kebudayaan (PP dan K) mengeluarkan “Instruksi Umum”
agar para guru membuang sistem pendidikan kolonial dan mengutamakan
patriotisme. Menteri membentuk Komisi Pendidikan, dan komisi ini
membentuk Panitia Perancang Undang-Undang (RUU) mengenai pendidikan
dan pengajaran. Karena terganggu dengan pecahnya perang kolonial kedua,
pembahasan RUU di Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP
KNIP) terhenti dan baru dapat dilaksanakan kembali pada tanggal 29 Oktober
1949. Tanggal 5 April 1950 RUU tersebut diundangkan sebagai UU RI No.4
Tahun 1950 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. UU
RI No. 4 Tahun 1950 ini kemudian diterima oleh DPR pada tanggal 27
Januari 1954, kemudian disyahkan oleh pemerintah pada tanggal 12 Maret
1954 dan diundangkan tanggal 18 Maret 1954 sebagai UU No. 12 Tahun
1954 (H.A.R. Tilaar, 1995).

 Peletakan dasar pendidikan nasional.


18 Agustus 1945 PPKI menetapkan UUD 1945 sebagai konstitusi
Negara. Namun setelah Konferensi meja bundar, tahun 1949 terbentuklah
Republik Indonesia Serikat (RIS) yang memberlakukan UUD RIS. Pada saat
RIS kembali ke negara kesatuan RI, UUD RIS diganti dengan UUD
Sementara RI atau UU No. 7 Tahun 1950. Setelah pemilu tahun 1955, karena
konstituante gagal menyusun UUD maka tanggal 5 Juli 1959 keluarlah dekrit
presiden yang menyatakan bahwa bangsa dan negara kesatuan Republik
Indonesia kembali kepada UUD 1945.

Sekalipun terjadi pergantian bentuk dan konstitusi negara sebagaimana


diuraikan di atas, tetapi pendidikan nasional Indonesia tetap dilaksanakan
sesuai jiwa UUD 1945, dan bahwa UU RI No. 4 tahun 1950 de facto
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan pendidikan,
17

pengajaran, dan kebudayaan untuk seluruh daerah Negara Kesatuan RI. Hal
ini sebagaimana tertuang dalam piagam persetujuan pemerintah RIS dan
pemerintah RI tanggal 19 Mei 1950, serta sebagaimana dinyatakan dalam
pengumuman bersama menteri RIS dan RI 30 Juni 1950. Selanjutnya UU
pernyataan berlakunya UU tersebut di atas (RUU) diajukan kepada DPR. 27
Juni 1954 DPR menerima RUU tersebut, kemudian disahkan oleh pemerintah
12 Maret 1954, dan diberlakukan 18 Maret 1954 sebagai UU RI No. 12 tahun
1954. Di dalam Pasal 3 UU ini termaktub bahwa “Tujuan pendidikan dan
pengajaran ialah membentuk manusia susila yang cakap dan warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab tentang kesejahteran masyarakat
dan tanah air”. Adapun pasal 4 menyatakan: “Pendidikan dan pengajaran
berdasar asas-asas yang termaktub dalam “Panca Sila” Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia dan atas kebudayaan kebangsaan
Indonesia”.

 Demokrasi pendidikan
Sesuai dengan amanat UUD 1945 dan UURI No. 4 tahun 1950,
meskipun menghadapi berbagai kesulitan, pemerintah mengusahakan
terselenggaranya pendidikan yang bersifat demokratis, yaitu kewajiban
belajar sekolah dasar bagi anak-anak yang berumur 8 tahun. Rencana
kewajiban belajar sekolah dasar ini direncanakan selama 10 tahun (1950-
1960). Pelaksanaan program ini didukung dengan PP No. 65 tahun 1951.

 Lahirnya LPTK pada Tingkat Universiter


Apabila dalam pelaksanaan kewajiban belajar SD telah menimbulkan
KPKPKB, SGB, dan SGA, maka untuk suplai guru sekolah menengah
dilaksanakan melalui PGSLP serta Kursus B I dan Kursus B II untuk guru
sekolah lanjutan atas. Selain lembaga-lembaga tersebut beberapa lembaga
yang menghasilkan tenaga kependidikan antara lain: APD (Akademi
Pendidikan Jasmani), ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia), Sekolah Musik
Indonesia, Konservatori Karawitan, dan Fakultas Pedagogik Universitas
Gajah Mada.

Dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, maka atas dorongan


Prof. Moh. Yamin pada tahun 1954 didirikanlah Perguruan Tinggi
18

Pendidikan Guru (PTPG) di empat tempat yaitu di Batu Sangkar, Bandung,


Malang dan Tondano. Atas dasar konferensi antar Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan (FKIP) negeri seluruh Indonesia di Malang tanggal 21 s.d.
25 Agustus 1960, maka berbagai lembaga pendidikan tenaga guru (PGSLP,
Kursus BI, BII dan PTPG) diintegrasikan ke dalam FKIP pada Universitas.
Selanjutnya pada tahun 1960-an didirikanlah IKIP yang berdiri sendiri
sebagai perpindahan dari PTPG sesuai dengan UU PT No. 22 Tahun 1961,
sekalipun demikian di beberapa Universitas FKIP tetap berdiri.

 Lahirnya Perguruan Tinggi


Antara tahun 1949-1961 pemerintah Indonesia telah mendirikan
berbagai PT antara lain: Universitas Gajah Mada (20 November 1949),
Universita Indonesia (1950), Universitas Airlangga (1954). Universitas
Hasanuddin, PTPG yang kemudian menjadi IKIP (1954-1961), Universitas
Andalas (1956) dan Universitas Sumatera Utara di Medan.

Pada tanggal 4 Desember 1961 lahir UU No. 22 tahun 1961 tentang


Perguruan Tinggi. Pokok-pokok yang menonjol dalam UU ini yang sampai
sekarang masih dipertahankan adalah prinsip Tridharma Perguruan Tinggi
yaitu pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat.

Pendidikan harus difungsikan atau harus memiliki Lima Dharma Bhakti


Pendidikan, yaitu:

 Membina Manusia Indonesia Baru yang berakhlak tinggi (Moral


Pancasila)
 Memenuhi kebutuhan tenaga kerja dalam segenap bidang dan tingkatnya
(manpower)
 Memajukan dan mengembangkan kebudayaan nasional
 Memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi
 Menggerakan dan menyadarkan seluruh kekuatan rakyat untuk
membangun masyarakat dan manusia Indonesia Baru.
19

Rencana proyek pembangunan di bidang pendidikan antara lain


berkenaan pengembangan pendidikan tinggi, diprioritaskannya
pengembangan sekolah-sekolah kejuruan, kursus-kursus, dsb. Namun
demikian akibat pecahnya pemberontakan G-30-S/PKI, maka rontoklah
rencana pembangunan nasional semesta berencana tersebut.

Setelah pemberontakan G. 30 S/PKI dapat ditumpas, terjadi suatu keadaan peralihan


masyarakat Indonesia dari orde lama ke orde baru. Dalam menegakkan orde baru ini
terlibat secara aktif golongan intelektual yang dikenal sebagai KAMI dan KAPPI yang
menggelorakan Tri Tura. Khususnya dalam bidang pendidikan, pada masa ini prinsip
pendidikan Pantja Wardhana kemudian disusul dengan sistem pendidikan nasional
Pancasila. Hal ini sebagaimana isi Ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966 yang
menyatakan bahwa sistem pendidikan haruslah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Tujuannya ialah membentuk manusia Pancasilais sejati. Isi pendidikannya ialah untuk
mempertinggi moral, akhlak dan keyakinan agama, mempertinggi keterampilan dan
kecerdasan, dan mempertinggi mutu kesehatan fisik manusia. Hal tersebut diperkuat lagi
dengan Tap MPRS RI No. XXXIV/MPRS/1967 tentang peninjauan kembali ketetapan
MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai Garis-
Garis Besar Haluan Negara. Selanjutnya, melalui TAP MPR-RI No. V/MPR/1973 tentang
Pencabutan produk-produk yang berupa ketetapan-ketetapan MPRS-RI menyatakan tidak
berlaku lagi dan mencabut TAP I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik
Indonesia sebagai Garis-Garis Besar Haluan Negara, juncto TAP XXXIV/MPRS/67
tentang peninjauan kembali ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik
Republik Indonesia sebagai GBHN (H.A.R. Tilar, 1995).

2.4.2. Pendidikan pada pasa PJP I


Kualitas Pendidikan. Sebagaimana telah diuraikan terdahulu selama PJP telah
banyak upaya pembangunan di bidang pendidikan dalam rangka meningkatkan
kualitas pendidikan nasional. HAR Tilaar (1995) menunjukkan kualitas pendidikan
pada PJP I antara lain dengan indikator sebagai berikut:

 Dana Pendidikan (Pendidikan Dasar): Belum memadainya dana yang tersedia


untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Pada tahun 1991 unit cost untu siswa
SD tidak lebih dari 5 US $, sedangkan negara maju menyediakan 105,5 US $.
20

 Kelulusan SD: Persentase jumlah siswa yang menamatkan SD pada tahun


1989 sekitar 70%, sedangkan di negara maju mencapai 91%. Data ini
menunjukkan pula bahwa SD kita pada saat itu mengalamai ketidak efisienan
dengan data rasio input-output sebesar 70%, sehingga rata-rata waktu yang
diperlukan untuk menamatkan SD adalah 8,5 tahun.
 Prestasi membaca komprehensif juga dinilai sangat kurang dibanding
dengan di negara maju.
 Daya Serap terhadap isi kurikulum: Rata-rata hasil EBTANAS Murni
siswa SMA pada tahun 1987-1990 menunjukkan rendahnya kualitas pendidikan kita
BAB III
IMPLAMENTASI

3.1. Dalam Pendidikan Di Indonesia


Sejarah kurikulum pendidikan di Indonesia kerap berubah seiring pergantian menteri
pendidikan hal tersebut membuat mutu pendidikan di Indonesia hingga saat ini belum
memenuhi standar mutu yang jelas. Dalam perjalanan sejarah sejak tahun 1945 kurikulum
pendidikan nasional telah mengalami perubahan sebanyak 10 kali. Kurikulum sebagai
standar kompetensi lulusan dirancang berdasarkan landasan yang sama yaitu Pancasila dan
UUD 1945. Awal kurikulum terbentuk pada tahun 1947 diberi nama rencana pembelajaran
1947, kurikulum ini pada saat itu meneruskan kurikulum yang sudah digunakan oleh
Belanda, kurikulum ini kemudian disempurnakan kembali di tahun 1952 dengan lebih
merinci setiap mata pelajaran yang disebut rencana pelajaran terurai 1952. Di penghujung
era Presiden Soekarno muncul rencana pendidikan 1964 atau kurikulum 1964, kurikulum
ini kemudian diperbaharui kembali dengan hadirnya kurikulum 1968 yang memiliki
perubahan struktur kurikulum pendidikan dari pancawardana menjadi pembinaan jiwa
Pancasila pengetahuan dasar dan kecakapan khusus. Di tahun 1984 kurikulum pendidikan
nasional beralih ke system CBSA ( Cara Belajar Siswa Aktif). Konsep-konsep yang
dipelajari siswa harus didasarkan pada pengertian baru kemudian diberi soal latihan setelah
siswa mengerti. Tahun 1994 terjadi perubahan kurikulum yang menonjol sistem ini
menekankan matrei pelajaran yang cukup padat dan berorientasi kepada materi pelajaran.
Di tahun 2004 pemerintah menerapkan kurikulum berbasis kompetensi atau KBK
kurikulum ini menekankan pada ketercakapan kompetensi siswa baik atau secara
individual maupun klasikal. Kurikulum 2004 selanjutnya berkembang menjadi kurikulum
2006 yang disebut KTSP atau kurikulum tingkat satuan pendidikan secara substansial
KTSP lebih mengimpelemntasikan regulasi yang ada yaitu PP No.19 Tahun 2005 akan
tetapi esensi isi dan arah pengembangan pembelajaran tetap masih bercirikan tercapainya
paket-paket kompetensi. Dan yang terbaru adalah kurikulum 2013 namun kurikulum ini
masih dalam pembahasan lebih lanjut agar bisa diterapkan pada akhir tahun 2015 dengan
perubahan yang telah disesuaikan. Kini pendidikan di Indonesia menggunakan kurikulum
ganda yaitu kurikulum 2006 dan kurikulum 2013. Diharapkan kondisi tidak berlangsung
lama sehingga pendidikan di Indonesia bisa menggunakan kurikulum yang baru yang bisa
meningkatkan mutu pendidikan nasional.

21
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.2. Analisa Pembahasan Berdasarkan Teori dan Fakta


Pendidikan di Indonesia sangat berkaitan dengan sejarah dimasa lampau bahkan dari
zaman purba pula Pendidikan Indonesia mengalami banyak perubahan dari mulai
pendidikan yang hanya dilakukan dalam keluarga tanpa adanya sarana pendidikan seperti
sekarang yang mana pendidikan sudah dilakukan secara modern dengan berbagai sarana,
media dan teknologi yang canggih, perubahan itu tidak lepas dari berbagai aspek dari
mulai kebudayaan Indonesia itu sendiri, pengaruh negara asing, keadaan kondisi negara,
politik, agama dan yang lainnya.

Untuk membuktikan perubahan-perubahan yang terjadi dalam pendidikan di


Indonesia kelompok kami mengkajinya dengan menganalisa dalam implementasi di
kehidupan nyata, kelompok kami mengambil salah satu video tentang proses terjadinya
perubahan penerapan kurikulum dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Setelah kami mengkajinya ternyata memang perubahan kurikulum itu terjadi bahkan
dari zaman Belanda, perubahan itu terjadi seiring dengan perubahan kondisi di Indonesia,
khususnya karena pergantian menteri sehingga mutu pendidikan di Indonesia masih belum
memenuhi mutu yang jelas. Seperti halnya perubahan pendidikan yang terdapat dalam
landasan historis pendidikan perubahan kurikulum juga pada awalnya mengharapkan
pendidikan yang lebih baik untuk kecerdasan bangsa namun dalam implementasinya malah
membuat pendidikan di Indonesia menjadi tidak jelas.

22
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Pendidikan nasional Indonesia terkait dengan praktik-praktik pendidikan pada
masa lalu, dan mengarah ke masa depan yang lebih baik. Sejarah menjadi landasan
historis pendidikan di Indonesia, sejarah menjadi acuan untuk meningkatkan
kualitas pendidikan untuk kecerdasan bangsa. Pendidikan selalu bersifat dinamis
mencari yang baru, memperbaiki dan memajukan diri, agar tidak ketinggalan
zaman, dan selalu berusaha menyongsong zaman yang akan datang.

Salah satu implementasi nyata dari landasan historis pendidikan adalah


perubahan kurikulum di pendidikan Indonesia, yang dari masa ke masa mengalami
perubahan yang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya. Namun perubahan itu
diharapkan akan segera mendapatkan titik terang untuk kemajuan mutu pendidikan
di Indonesia salah satunya dengan terus mengupgrad pendidikan dengan
perkembangan zaman yang semakin canggih namun dengan tetap tidak melupakan
sejarah karena dengan sejarah pula kita mendapat pelajaran.

23
DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin,Tatang, Nuraini. (2006). Landasan Pendidikan. Bandung : UPI Press

Elsan, Phuput. (2016). Makalah Landasan Historis Pendidikan.[Online]. Diakses dari

http://makalahpendidikanagamaislamtarbiyah.blogspot.com/2016/11/makalah-landasan-
historis-pendidikan.html?m=1

24

Anda mungkin juga menyukai