Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

BIOMOLEKUL

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 51

MAKALAH BIOMOLEKUL DAN REKAYASA GENETIKA

Disusun Oleh:

Nama : Naning Imroatul Faiza


NIM : 19728251044
Prodi / Kelas : Pendidikan Kimia / C
Mata Kuliah : Biomolekul dan Rekayasa Genetika
Dosen : Dr. rer.nat Senam, M.Si.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2019
POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR)

A. Pengertian PCR
Polymerase Chain Reaction atau apabila diterjemahkan kedalam bahasa
Indonesia menjadi reaksi berantai menggunakan enzim polimerase. PCR merupakan
suatu teknik atau metode perbanyakan (replikasi) DNA secara enzimatis tanpa
menggunakan organisme.

Gambar 1. Alat PCR

B. Sejarah PCR

Metode ini pertama kali dikembangkan pada tahun 1985 Oleh seorang biokimia
Amerika Serikat. Metode PCR dilakukan dengan menyalin sejumlah kecil DNA,
sehingga didapatkan jutaan cetak dari tiap segmen dalam beberapa jam. Metode ini
menjadi penerobosan revolusioner di bidang biokimia dan genetika serta
memungkinkan adanya metode diagnostik baru di bidang kedokteran dan forensik.

C. Fungsi dan Tujuan PCR


PCR digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA. Metode ini juga
sering digunakan untuk memisahkan gen-gen berkopi tunggal dari sekelompok sekuen
genom. Dengan menggunakan metode PCR dapat diperoleh pelipatgandaan suatu
fragmen DNA (110 bp, 5×109 mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus
reaksi selama 220 menit.
Dengan menggunakan PCR, dapat dihasilkan DNA dalam jumlah besar dalam
waktu singkat sehingga memudahkan berbagai teknik lain yang menggunakan DNA.
Penarapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena
relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sangat sedikit.
D. Komponen PCR
1) DNA Cetakan, DNA yang akan dilipatgandakan.
2) Enzim Polimerase, enzim yang melakukan katalis rantai DNA.
3) Primer, yaitu oligonukleotida pendek rantai tunggal yang mempunyai urutan
synthesizer. Panjang primer berkisar antara 20-30 basa.
4) Deoksiribonukletida trifosfat (dNTP), terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dTTP.
dNTP mengikat ion Mg2+ yang diperlukan untuk reaksi polimerisasi.
5) Larutan Buffer

E. Proses PCR
1) Denaturasi
Denaturasi dilakukan pada suhu 90-95°C, sehingga terjadi pemisahan
utas ganda DNA menjadi dua utas tunggal DNA yang menjadi cetakan (template)
tempat penempelan primer dan tempat kerja DNA polimerase. Hal ini disebabkan
karena suhu denaturasi yang tinggi menyebabkan putusnya ikatan hidrogen
diantara basa-basa yang komplemen.

Gambar 2. Proses Denaturasi

2) Anneling
Selanjutnya, suhu diturunkan untuk penempelan primer oligonukleotida
pada sekuens yang komplementer pada molekul DNA cetakan. Tahap ini disebut
annealing. Suhu campuran diturunkan sampai mencapai 55-65°C Selama tahap ini,
primer berpasangan dengan sekuens komplementernya di dalam DNA cetakan.
Primer oligonukleotida melekat pada masing-masing utas tunggal DNA dengan
arah yang berlawanan; satu primer melekat pada ujung untai DNA sense,
sedangkan primer yang lain melekat pada ujung utas DNA antisense.
Gambar 3. Proses Anneling

3) Eksistensi
Tahap selanjutnya adalah tahap ekstensi yang dilakukan pada suhu
72°C. Suhu ini merupakan suhu optimum untuk kerja enzim Taq DNA polimerase.
Pada tahap ini enzim Taq DNA polimerase mengkatalis reaksi penambahan
mononukleotida pada primer yang sesuai dengan utas DNA komplemen yang
berada di sebelahnya. Suhu pada setiap tahap diatur sedemikian rupa sehingga
dihasilkan amplifikasi sekuens target DNA yang efisien. Umumnya, reaksi
polimerisasi atau perpanjangan rantai ini, terjadi pada suhu 72˚C.
Primer yang telah menempel tadi akan mengalami perpanjangan pada
sisi 3’nya dengan penambahan dNTP yang komplemen dengan template oleh DNA
polimerase. Jika siklus dilakukan berulang-ulang maka daerah yang dibatasi oleh
dua primer akan di amplifikasi secara eksponensial (disebut amplikon yang berupa
untai ganda), sehingga mencapai jumlah copy yang dapat dirumuskan dengan
(2n)x. Dimana n adalah jumlah siklus dan x adalah jumlah awal molekul DNA.
Jadi, seandainya ada 1 copy DNA sebelum siklus berlangsung, setelah satu siklus,
akan menjadi 2 copy, sesudah 2 siklus akan menjadi 4, sesudah 3 siklus akan
menjadi 8 copy dan seterusnya. Sehingga perubahan ini akan berlangsung secara
eksponensial.
Gambar 4. Proses Eksistensi

Gambar 5. Proses Penggandaan DNA

F. Aplikasi PCR
1) Aplikasi PCR dalam Bidang Penelitian Mikologi dan Parasitologi
Teknologi PCR juga telah menemukan aplikasi dalam mikologi dan
parasitologi, dengan memungkinkan identifikasi awal mikroorganisme, sehingga
membantu diagnosis yang efisien dan pengobatan infeksi jamur dan parasit.
2) Aplikasi PCR dalam Kedokteran Gigi
Teknik PCR telah menjadi alat diagnostik dan penelitian standar di
bidang kedokteran gigi. PCR dan teknik biologi molekuler lainnya memungkinkan
diagnosis mikroba infeksi yang menyebabkan infeksi maksilofasial. Ini membantu
dalam manajemen yang efektif dari kondisi seperti penyakit periodontal, karies,
kanker mulut, dan infeksi endodontik.
3) Aplikasi Teknik PCR dalam Bidang Virologi
Aplikasi Teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) menggunakan
primer degenerate dan Spesifik Gen AV1 untuk mendeteksi begomovirus Pada
Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Tujuan dari penelitian adalah untuk
mendeteksi begomovirus yang menginfeksi tanaman tomat menggunakan teknik
PCR dengan primer degenerate dan spesifik.
4) Aplikasi Teknik PCR dalam Bidang Mikrobiologi
Deteksi cepat bakteri Escherichia Coli dalam sampel air dengan metode
Polymerase Chain Reaction Menggunakan Primer 16e1 Dan 16e2
• DNA genomik Escherichia coli diekstraksi menggunakan metode boiling,
kemudian diamplifikasi menggunakan primer 16E1 dan 16E2. Hasil PCR positif
Escherichia coli ditunjukkan dengan adanya fragmen DNA pada ukuran sekitar
584 pasang basa, pada gel elektroforesis.
• Metode :
a) Penyiapan Template DNA Escherichia coli.
b) Penyiapan Template DNA dari Sampel Air dengan Metode Boiling.
c) Amplifikasi Template DNA dengan PCR.
d) Analisis Hasil PCR dengan Elektroforesis Gel Agarosa.
e) Deteksi Escherichia coli secara Konvensional menggunakan Media
Perbenihan.
KLONING

A. Pengertian Kloning
Kloning adalah proses proses menghasilkan individu-individu dari jenis yang
sama yang identik secara genetik. Gen menjadi dasar dalam pengembangan penelitian
genetika, meliputi gen, menganalisis posisi gen pada kromosom. Kloning dalam bidang
genetika merupakan replikasi segmen DNA tanpa melalui proses seksual. Itulah
sebabnya, kloning juga dikenal dengan istilah rekombinasi DNA.
Secara Etimologi kloning berasal dari kata “clone” yang diturunkan dari yunani
“klon”, artinya potongan yang digunakan untuk memperbanyak tanaman. Kata ini
dipergunakan dalam dua pengertian, yaitu klon sel dan klon gen atau molekuler. Klon
sel yaitu menduplikasi sejumlah sel dari sebuah sel yang memiliki sifat –sifat genetik
yang identik sedangkan klon gen yaitu sekelompok salinan gen yang bersifat identik
yang direplikasi dari satu gen dimasukkan dalam sel inang.

Gambar 6. Contoh Kloning Sel

Gambar 7. Contoh Kloning Gen


B. Sejarah Kloning

Pertama kali dicetuskan oleh Herbert Webber (1903), mengistilahkan


sekelompok makhluk hidup yang dilahirkan tanpa proses seksual dari satu induk.
Kloning manusia dengan menggunakan metode embrio splitting (pemisahan embrio
ketika berada dalam tahap totipotent) atas embrio yang dibuat secara in vitro
fertilization (IVF) dilakukan pada tahun 1993 di Amerika oleh Jerry L. Hall dan Robert
J. Stillman. Dr. Ian Willmut (1997) pertama kali melakukan bahwa kloning dapat
dilakukan pada hewan mamalia dewasa, yaitu seekor domba.

C. Manfaat Kloning

1) Untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya reproduksi-embriologi dan


diferensiasi
2) Untuk mengembangkan dan memperbanyak bibit unggul
3) Untuk tujuan diagnostic dan terapi
4) Untuk keperluan pengobatan
5) Untuk menghidupkan maupun mematikan sel-sel. Manfaatnya itu mampu untuk
mengatasi kanker serta juga menghambat proses penuaan

D. Proses Kloning

Gambar 8. Tahapan Kloning

Tahap – tahap pengkloningan antara lain :

1) Isolasi DNA
Adapun tujuan dari isolasi fragmen DNA ini adalah untuk memisahkan antara
fragmen DNA yang baik dan yang buruk, dimana nantinya yang baiklah yang akan
digunakan untuk dipasangkan dengan DNA yang baik lainnya. Perlu diketahui
bahwa pada proses ini setidaknya membutuhkan DNA primer, DNA polimerasi
serta DNA yang merupakan campuran dari 4 deoksiribonukleotida-trifosfat yang
terdiri atas dATP, dCTP, dGTP dan dTTP.
2) Pemotongan DNA
Dilakukan dengan menggunakan enzim restriksi endonuklease. Pemutusan ini
dilakukan di dalam strain tertentu yang bertujuan untuk mencegah agar tidak
merusak DNA

.
Gambar 9. Pemotongan DNA

3) Penyambungan Fragmen DNA


Penyambungan fragmen DNA merupakan tahapan penggabungan antara
fragmen DNA satu dengan yang lainnya sehingga nantinya akan tercipta DNA
rekombinan. Proses ini biasanya akan berlangsung pada suhu 4-15°C dalam jangka
waktu 24 jam.

Gambar 10. Penyambungan DNA


• Cara I – Cara pertama adalah dengan menggunakan enzim DNA ligase yang
berasal dari bakteri.
• Cara II – Cara kedua adalah dengan menggunakan DNA ligase yang berasal
dari bakteri E-Coli yang sudah terinfeksi oleh bakteriofag T4 atau biasa disebut
enzim T4 ligase.
• Cara III – Cara ketiga adalah dengan cara memberi enzim deoksinukleotidil
transferase agar fragmen DNA tersebut dapat tersintesis dengan baik.
4) Transformasi Rekombinan DNA

Gambar 11. Transformasi Rekombinan

Perpindahan molekul DNA yang berasal dari pendonor yang berada diluar
lingkup sel atau memasukan DNA ke dalam sel inang. Transformasi dapat
dilakukan dengan cara :
• Heat Shock (Kejutan Panas), dimana campuran sel dan DNA plasmid
rekombinan didinginkan dalam waktu yang lama, kemudian di panaskan dengan
segera pada suhu 42°C.
• Elektroporasi (kejutan listrik) menggunakan suatu alat yang dialiri arus listrik
5) Seleksi Klon Rekombinan
Seleksi klon rekombinan bertujuan untuk menentukan koloni mana yang
membawa plasmid rekombinan. Terdapat beberapa cara seleksi klon rekombinan,
diantaranya :
• Seleksi berdasarkan sifat resistan terhadap antibiotik.
• Seleksi dengan melibatkan gen Lac-Z.
E. Macam – macam Kloning
Berdasarkan teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang samadengan
induknya pada makhluk hidup tertentu, maka kloning dapat dilakukan pada tumbuhan,
hewan, maupun manusia. Maka contoh kloning pada makhluk hidup tersebut adalah
sebagai berikut :

1) Kloning Hewan
Suatu proses dimana keseluruhan organisme hewan dibentuk dari satu sel yang
diambil dari oganisme induknya dan secara genetika membentuk individu baru yang
identik sama.
2) Kloning Tumbuhan
Suatu proses dimana keseluruhan organisme tumbuhan dibentuk dari satu sel yang
diambil dari oganisme induknya dan secara genetika membentuk individu baru yang
identik sama.
3) Kloning Manusia
Kloning manusia merupakan sebuah cara/teknik untuk membuat keturunan
terhadap kode genetik yang sama dari induknya merupakan manusia.

F. Aplikasi Pada Kloning

Gambar 12. Kloning pada Tikus


STRUKTUR GEN

Gambar 13. Struktur Gen

A. Pendahuluan
Terdapat 2 jenis struktur gen, diantaranya adalah:
a. Struktur Gen Prokariotik, secara umum terdiri atas:
1) Promoter
2) Bagian Struktural
3) Operator
4) Terminator
5) Pengkode
b. Struktur Gen Eukariotik, terdiri dari:
1) Domain regulasi inisiasi transkripsi
2) Intron
3) Ekson

Gambar 14. Struktur Gen Eukariot


Intron adalah sekuens nukleotida yang tidak akan ditemukan “terjemahannya”
di dalam rangkaian asam amino protein yang dikode oleh suatu gen. Intron akan
ditranskripsi tetapi kemudian mengalami pemotongan sehingga tidak akan mengalami
translasi. Sekuens nukleotida yang akan diterjemahkan disebut sebagai ekson.
Perbedaan struktur gen prokariotik dan eukariotik terletak pada bagian
pengkode. Bagian pengkode pada prokariotik terdapat bagian intron yang tidak dapat
diekspresikan sehingga semuanya ekson. Sedangkan bagian pengkode pada eukariotik
terdiri dari ekson dan intron.

B. Promotor
Promoter adalah urutan DNA spesifik yang berperan dalam mengendalikan
transkripsi gen struktural dan terletak di daerah upstream (hulu) dari bagian struktural
gen. Fungsi promoter adalah sebagai tempat awal pelekatan enzim RNA polimerase
yang nantinya melakukan transkripsi pada bagian struktural.

Gambar 15. Promotor Pada Prokariot dan Eukariot

C. ORF
1) Operator
Operator merupakan urutan nukelotida yang terletak di antara promotor dan
bagian struktural dan merupakan tempat pelekatan protein represor (penekan atau
penghambat ekspresi gen). Jika ada represor yang melekat di operator maka RNA
polimerase kearah ekspresi gen tidak bisa berlangsung.

Gambar 16. Bagian Operon


2) Pengkode
Pengkode adalah ekson dan intron yang menentukan RNA maupun
protein. Intron ialah skuens yang tidak mengkode asam amino, sementara ekson
ialah bagian yang akan dikode menjadi asam amino.
Kode genetika merupakan suatu pengkodean urutan triplet basa nitrogen
DNA RNA pada proses sintesis protein. Suatu kode triplet basa nitrogen akan
menghasilkan suatu jenis asam amino. Urutan dan jenis asam amino di dalam sel
akan menetukan jenis dan fungsi protein yang dihasilkan.
Kodon merupakan susunan kombinasi dari tiga basa nitrogen yang
terdapat pada mRNA. Karena jumlah basa nitrogen ada 4 jenis, maka
kemungkinan jumlah kodon ada sebanyak 43 atau 64 macam, artinya kemungkinan
asam amino yang terbentuk ada sebnayak 64 jenis. Jumlah asam amino yang
demikian menjadi belebih mengingat jumlah asam amino di dalam sel adalah 20
jenis. Hal demikian menunjukkan bahwa ada beberapa jenis asam amino yang
mempunyai lebih dari satu macam kodon. Contohnya asam amino jenis leusin
mempunyai kodon SUU, SUS , SUA, SUG. Artinya asam amino leusin dapat
digunakan dengan menggunakan keempat kodon tersebut.

D. Terminator
a) Terminasi pada transkripsi prokariout
Terminasi yaitu berakhirnya polimerisasi RNA ditandai oleh disosiasi
kompleks transkripsi atau terlepasnya enzim RNA polimerase beserta kofaktor-
kofaktornya dari untai DNA cetakan. Begitu pula halnya dengan molekul RNA
hasil sintesis. Hal ini terjadi ketika RNA polimerase mencapai urutan basa tertentu
yang disebut dengan terminator.Terminasi transkripsi dapat terjadi oleh dua
macam sebab, yaitu terminasi yang hanya bergantung kepada urutan basa cetakan
(disebut terminasi diri) dan terminasi yang memerlukan kehadiran suatu protein
khusus (protein rho). Di antara keduanya terminasi diri lebih umum dijumpai.
Terminasi diri terjadi pada urutan basa palindrom yang diikuti oleh beberapa
adenin (A). Urutan palindrom adalah urutan yang sama jika dibaca dari dua arah
yang berlawanan. Oleh karena urutan palindom ini biasanya diselingi oleh
beberapa basa tertentu, maka molekul RNA yang dihasilkan akan mempunyai
ujung terminasi berbentuk batang dan kala (loop) (Yuwono, 2005).
TAHAPAN
o Rho Independent
• Dalam mekanisme ini, transkripsi dihentikan karena urutan spesifik
dalam terminator DNA.
• Terminator DNA mengandung invert repeat yang menyebabkan
pasangan bebas sebagai transkrip RNA membentuk struktur pin
rambut.
• Ulangi terbalik ini diikuti oleh jumlah TTTTTTTT (~ 8 bp) yang lebih
besar pada DNA templat. Urasil muncul dalam RNA. Beban struktur
pin rambut tidak ditoleransi oleh pasangan basa A = U sehingga RNA
terpisah dari heteroduplex RNA-DNA.

Gambar 17. Rho Independent

o Rho dependent
• Dalam mekanisme ini, transkripsi diakhiri oleh protein rho (ρ).
• Ini adalah protein ATpase mengikat untai tunggal berbentuk cincin.
• Protein yang mengikat RNA untai tunggal saat keluar dari kompleks
enzim polimerase dan menghidrolisis RNA dari kompleks enzim.
• Protein rho tidak mengikat RNA yang proteinnya sedang
diterjemahkan. Sebaliknya itu mengikat RNA setelah terjemahan.
• Pada bakteri transkripsi dan translasi terjadi secara bersamaan sehingga
protein rho mengikat RNA setelah terjemahan selesai tetapi transkripsi
masih ON.
Gambar 18. Rho Dependent

E. Aplikasi

Salah satu aplikasi gen yaitu terapi gen, yang dilakukan oleh Ashanti De Silva,
Orang pertama yang menjalani terapi gen. Ashantii terlahir dengan Kekurangan ADA
(Adenosin Deaminase). Ashantii tidak memiliki enzim kritis untuk sistem kekebalan.
Dengan terapi gen, Ashantii hidup sehat dan produktif. Terapi gen adalah suatu teknik
yang digunakan untuk memperbaiki gen-gen mutan (abnormal/cacat) yang bertanggung
jawab terhadap terjadinya suatu penyakit. Sejarah Dari Terapi Gen pada awal 1970-an,
para ilmuwan mengusulkan apa yang mereka sebut “gen operasi” untuk mengobati
penyakit warisan yang disebabkan oleh gen yang cacat. Para ilmuwan melakukan
percobaan di mana sebuah gen yang memproduksi enzim untuk memperbaiki penyakit
itu disuntikkan ke sekelompok sel. Para ilmuwan berteori sel-sel kemudian bisa
disuntikkan ke orang dengan penyakit Lesch-Nyhan yang merupakan gangguan
neurologis langka.Terdapat dua tipe terapi gen, yaitu:
a. Terapi gen sel embrional (germ line gene therapy)
Pada terapi gen sel kelamin ini, digunakan sel kelamin jantan (sperma) maupun
sel kelamin betina (ovum) yang dimodifikasi dengan adanya penyisipan gen
fungsional yang terintegrasi dengan genomnya.
b. Terapi gen sel tubuh (somatic gene therapy)
Pada terapi gen sel tubuh ini, dilakukan transfer gen fungsional ke dalam sel
tubuh pasien sehingga malfungsi pada organ dapat diperbaiki. Singh et al.
(2016) menyatakan bahwa terapi gen sel tubuh spesifik untuk setiap pasien dan
tidak diturunkan ke generasi berikutnya.
RESTRICTION SITE DAN SEQUENCING

A. Enzim Restriksi
Enzim restriksi adalah enzim yang bekerja untuk memotong fragmen DNA pada
situs spesifik. Restriction site adalah lokasi pada molekul DNA yang mengandung
urutan nukleotida spesifik (4-8 pasangan panjang), yang dikenali oleh enzim restriksi.
Perkembangan teknologi DNA rekombinan sangat dimungkinkan karena
penemuan enzim yang dapat memotong molekul DNA pada lokasi-lokasi spesifik yang
jumlahnya terbatas. Enzim-enzim tersebut dikenal sebagai enzim restriksi. Enzim
tersebut ditemukan pertama kali di bakteri pada akhir tahun 1960-an.
Kerja enzim tersebut dalam tubuh inangnya adalah mengenali dan memotong
DNA (termasuk DNA fage tertentu) yang asing bagi bakteri tersebut. Enzim restriksi
memiliki tiga tipe, Tipe I memotong DNA secara acak dan jauh dari sekuens
pengenalannya, tipe II memotong DNA dekat atau pada situs pengenalan, enzim tipe II
yang umum digunakan adalah HhaI, HindIII, EcoRI. Tipe III tidak digunakan
dalam laboratorium. Hal ini dikarenakan enzim ini memotong di luar situs pengenalan
dan membutuhkan dua sekuen dengan orientasi berlawanan pada DNA yang sama
untuk menyelesaikan pemotongan sehingga enzim ini jarang menghasilkan potongan
sempurna. Hasil pemotongan enzim restriksi ada dua jenis, yaitu:
1) Blunt end yaitu hasil pemotongan yang menghasilkan ujung tumpul
2) Sticky end yaitu hasil pemotongan yang menghasilkan ujung lancip/ lengket

B. Sequensing
Sequencing adalah penentuan urutan basa DNA dalam segmen molekul DNA
yang relatif pendek, yang memungkinkan untuk dapat mengetahui kode genetik dari
molekul DNA. DNA sequencing menggunakan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) sebagai pijakannya.
DNA yang akan ditentukan urutan basa ACGTnya dijadikan sebagai cetakan
(template) untuk kemudian diamplifikasi menggunakan enzim dan bahan-bahan yang
mirip dengan reaksi PCR, namun ada penambahan beberapa pereaksi tertentu, Proses
ini dinamakan cycle sequencing. Yang membedakan cycle sequencing dengan PCR
biasa adalah:
1) Primer yang digunakan hanya satu untuk satu arah pembacaan, tidak dua
(sepasang) seperti PCR.
2) ddNTPs (dideoxy-Nucleotide Triphosphate) adalah modifikasi dari dNTPs
dengan menghilangkan gugus 3′OH pada ribose

C. Tahapan Sequencing
1. Teknik Maxam – Gilbert
Metode sekuensing DNA yang pertama dikenal adalah metode kimia yang
dikembangkan oleh A.M. Maxam dan W. Gilbert pada tahun 1977. Metode
Maxam-Gilbert dapat diterapkan baik untuk DNA untai ganda maupun DNA untai
tunggal dan melibatkan pemotongan basa spesifik yang dilakukan dalam dua tahap.
Pada metode ini fragmen-fragmen DNA yang akan disekuens harus dilabeli
pada salah satu ujungnya, biasanya menggunakan fosfat radioaktif atau suatu
nukleotida pada ujung 3’.
Molekul DNA terlebih dahulu dipotong-potong secara parsial menggunakan
piperidin. Selanjutnya, basa dimodifikasi menggunakan bahan-bahan kimia
tertentu. Dimetilsulfat (DMS) akan memetilasi basa G, asam format menyerang A
dan G, hidrazin akan menghidrolisis C dan T, tetapi garam yang tinggi akan
menghalangi reaksi T sehingga hanya bekerja pada C. Dengan demikian, akan
dihasilkan empat macam fragmen, masing-masing dengan ujung G, ujung A atau
G, ujung C atau T, dan ujung C

Gambar 19. Teknik Maxam - Gilbert


Pada gambar disamping dapat diketahui sekuens fragmen DNA yang dipelajari
atas dasar laju migrasi masing-masing pita. Lajur kedua berisi fragmen-fragmen
yang salah satu ujungnya adalah A atau G. Untuk memastikannya harus dilihat
pita-pita pada lajur pertama. Jika pada lajur kedua terdapat pita-pita yang posisi
migrasinya sama dengan posisi migrasi pada lajur pertama, maka dapat dipastikan
bahwa pita-pita tersebut merupakan fragmen yang salah satu ujungnya adalah G.
Sisanya adalah pita-pita yang merupakan fragmen dengan basa A pada salah satu
ujungnya.
Dengan demikian, ukuran fragmen pada contoh tersebut di atas dapat diurutkan
atas dasar /posisi migrasinya. Jadi, kalau diurutkan dari yang terkecil hingga yang
terbesar, hasilnya adalah fragmen fragmen dengan ujung
TAGTCGCAGGACCGTA.

2. Teknik Sanger
• Tahapan sekuensing yang pertama adalah menyediakan dsDNA (double
strand DNA)

Gambar 20. Tahap 1 Sanger

• Memotong dsDNA (double strand DNA) menjadi ssDNA (single strand


DNA)

Gambar 21. Tahap 2 Sanger

• Mengambil template (cetakan) DNA dari ssDNA hasil potongan dari dsDNA
tadi
Gambar 22. Tahap 3 Sanger

• Menyediakan seluruh alat dan bahan untuk sekuensing DNA. Bahan untuk
sekuensing adalah template (cetakan) DNA, primer, dNTP, ddNTP dan enzym
polymerase

Gambar 23. Tahap 4 Sanger

• Masing-masing tabung diisi dengan ddNTP, kemudian masing-masing tabung


diisi dengan dNTP, Yaitu dGTP, dCTP, dATP, dan dTTP

Gambar 24. Tahap 5 Sanger

• Setelah itu dilakukan pemberian primer, juga dimasukkan enzim polimerase


(taq-polymerase)
• Enzim polymerase terus mengkatalisis pembentukan polinukleotida dari
nukleotida dNTP (deoksi nukleotida tri phospat)
Gambar 25. Tahap 5 Sanger

• Pada saat enzim taq-polymerase mengkatalisis pembentukan ikatan antara


nukleotida, deoksi-nukleotida (ddNTP) hadir berikatan dengan polimer
nukleotida sebelumnya. Kehadiran ddNTP (deoksinukleotida) mengakibatkan
terhentinya/terminasi proses polimerase, sehingga dihasilkan rantai
polinukleotida yang berbeda panjangnya
• Kehadiran ddNTP menghasilkan beberapa rantai polinukleotida berbeda.
Keempat tabung reaksi tersebut dipersiapkan untuk di alirkan pada gel
agarosa. Perbedaan panjang polinukleotida tersebut, mengakibatkan
perbedaan letak pada gel agarosa. Polinukleotida yang paling pendek
bermigrasi/pergerakannya paling cepat pada gel agarosa
• Hasil pembacaan sekeuensing dari arah 5’ ke 3’ adalah rantai kompemen, yaitu
5’ AGCCGATCC 3’. Sehingga DNA templatenya adalah 5’ GGATCGGCT
3’

Gambar 26. Tahap 5 Sanger


VECTOR CONSTRUCTION

A. Pengertian Vektor

Vektor adalah alat pengangkut yang akan membawa suatu fragmen DNA
masuk kedalam sel inang hingga memungkinkan terjadinya replikasi dan ekspresi
fragmen DNA tersebut. Vektor merupakan DNA yang melingkar dan dapat digunakan
untuk proses kloning gen maupun perbanyakan fragmen DNA secara in vitro. Vektor
di sini diartikan sebagai alat pembawa DNA ke dalam sel induk barunya. Syarat suatu
vektor adalah :

1) Dapat dipotong dengan enzim restriksi


2) Mampu memasuki sel inang,
3) Bereplikasi sendiri (memiliki ori),
4) Menghasilkan jumlah copy yang banyak
5) Mempunyai ukuran yang relatif kecil (< 10 kb)

B. Komponen Vektor
1) ORI (Origin Of Replication)

Gambar 27. ORI


ORI merupakan tempat awal replikasi DNA di sel prokariot. Pada
daerah ini banyak terdapat basa adenin (A) dan timin (T), ikatan yang terjadi
antara basa A dan T terdiri dari dua buah ikatan hidrogen, sehingga
kemungkinan untuk memisahkan diri ketika replikasi DNA akan lebih mudah
dari pada pasangan G-C ikatan hidrogen.
2) ARS (Autonomous Replication Sequence)
Gambar 28. Auotonomously Replicating Sequence

ARS merupakan tempat awal replikasi untuk DNA di sel eukariot. Pada
daerah ini banyak mengandung basa adenin dan timin.
3) Gen AmpR

Gambar 29. Gen AmpR

Gen AmpR dapat mengkode enzim β-laktamase yang dapat merusak


cincin β- pada molekul antibiotik ampisilin. Jika cincin pada β-laktam
mengalami kerusakan maka kinerja antibiotik ampisilin tidak berfungsi lagi,
sehingga sel bakteri tetap mampu membentuk dinding sel dan mampu hidup
dalam media yg mengandung antibiotik ampisilin.
4) Shuttle Vector

Gambar 30. Shuttle Vector

Shuttle vector adalah vektor yang dapat bereplikasi baik di dalam sel
prokariot maupun sel eukariot. Salah satu syarat vektor dapat bereplikasi di
dalam dua jenis sel adalah harus memiliki tempat awal replikasi yang berasal
dari kedua sel tersebut. Jika shuttle vektor ditransformasikan ke dalam sel
bakteri (sel prokariot) sel ragi (sel eukariot), maka dalam kedua sel tersebut
akan terjadi proses replikasi yang baik.
5) Gen Marker
Gen marker ini bermanfaat untuk seleksi transforman mikroorganisme
eukariot. Apakah gen yang ingin diekspresikan telah masuk dalam inang atau
belum

C. Vektor Bedasarkan Fungsinya


1) Vektor Ekspressi
Vektor ekpresi adalah vektor yang digunakan untuk mengekspresikan gen
tertentu, biasanya hanya memproduksi protein dari gen yang diklon, Syarat-syarat
vektor dapat digunakan untuk mengekspresikan gen, yaitu :
• Memiliki tiga sinyal ekspresi, sinyal ekspresi meliputi semua molekul yang
berperan dalam proses pengendalian ekspresi, misalnya faktor transkripsi
dan protein regulator khusus.
• Mampu memasuki sel inang, Mampu bereplikasi sendiri karena memiliki
ori (Origin of Replication)
• Menghasilkan jumlah copy yang banyak
• Mempunyai ukuran yang relatif kecil (<10 kb)
2) Vektor Kloning
Vektor kloning Vektor ini hanya digunakan untuk mendapatkan DNA. Vektor
kloning hanya berfungsi untuk memperbanyak fragmen DNA yang disisipkan,
sehingga fragmen DNA tersebut hanya direplikasi, tidak di transkripsi. Biasanya
vektor ini digunakan untuk tujuan sekuensing atau untuk perbanyakan DNA yang
nantinya akan di sisipkan ke vektor ekspresi.

D. Vektor Berdasarkan Jenisnya


1) Plasmid
Secara umum plasmid dapat didefinisikan sebagai molekul DNA sirkuler untai
ganda di luar kromosom yang dapat melakukan replikasi sendiri. Agar dapat
digunakan sebagai vektor kloning, plasmid harus memenuhi syarat-syarat berikut
ini:
• Mempunyai ukuran relatif kecil bila dibandingkan dengan pori dinding sel
inang sehingga dapat dengan mudah melintasinya,
• Mempunyai sekurang-kurangnya dua gen marker yang dapat menandai
masuk tidaknya plasmid ke dalam sel inang,
• Mempunyai tempat pengenalan restriksi sekurang-kurangnya di dalam salah
satu marker yang dapat digunakan sebagai tempat penyisipan fragmen DNA,
dan
• Mempunyai titik awal replikasi (ORI) sehingga dapat melakukan replikasi di
dalam sel inang.
2) Bakteriofag
Bakteriofag adalah virus yang sel inangnya berupa bakteri. Dengan daur
hidupnya yang bersifat litik atau lisogenik bakteriofag dapat digunakan sebagai
vektor kloning pada sel inang bakteri. Jenis Bakteriofag yang dapat dijadikan vektor
yaitu
• Bakteriofag λ
• Bakteriofag M13
3) Bacterial Artifical Chromosom (BAC)
Vektor BAC mengandung sekuens dari plasmid F E.Coli dan mempunyai
kemampuan untuk mengkloning sampai dengan 75-200 kb fragmen.
4) Kosmid
Kosmid merupakan gabungan dari kos DNA λ dengan plasmid.
Kemampuannya untuk membawa fragmen DNA sepanjang 32 hingga 47 kb
menjadikan kosmid lebih menguntungkan daripada fag λ dan plasmid.

E. Proses Vektor
1) Analisis restriksi DNA
Teknik ini dilakukan dengan cara mengisolasi DNA dari koloni-koloni
transforman yang tumbuh pada meduim selektif. Selanjutnya itu DNA dipotong
dengan enzim restriksi yang spesifik sehingga dapat menunjukkan ada perbedaan
antara sel yang membawa DNA rekombinan dengan sel yang membawa DNA vektor
saja tanpa sisipan DNA asing. Hasil potongan DNA tersebut kemudian
dielektroforesis pada gel agarosa sehingga diperoleh pita-pita DNA yang akan
memberikan gambaran apakah suatu koloni transforman membawa molekul DNA
rekombinan atau tidak. Teknik ini cocok digunakan jika jumlah koloni transforman
yang dianalisis tidak terlalu banyak.
2) Hibridisasi dengan pelacak DNA (DNA probe)
Proses pelacakan dilakukan dengan terlebih dahulu memindahkan koloni-
koloni transforman yang muncul pada medium selektif ke atas suatu membran,
misalnya nitroselulosa atau nilon. Kemudian koloni-koloni tersebut dilisiskan
dengan senyawa alkali sehingga DNA di dalam selnya terpapar ke luar. Membran
tersebut selanjutnya diinkubasi dengan pelacak DNA. Jika di antara koloni-koloni
tersebut ada DNA yang mempunyai kemiripan dengan pelacak, maka akan terjadi
hibridisasi antara DNA target dengan DNA pelacak.
3) Analisis ekspresi gen asing yang diklon
Salah satu teknik analisis gen asing yang dapat dilakukan untuk menguji
keberhasilan terjadinya DNA rekombinan adalah dengan menggunakan antibodi
yang dibuat dengan menggunakan protein yang dikode oleh gen asing tersebut
sebagai antigen. Jika kita mengklon gen yang mengkode sintesis protein papain dari
tanaman pepaya, maka dibuat terlebih dahulu antibodi terhadap papain. Antibodi
papain diperlukan protein papain yang dapat diisolasi dari daun pepaya. Protein yang
diperoleh selanjutnya digunakan sebagai antigen untuk menginduksi pembentukan
antibodi. Antibodi ini yang selanjutnya digunakan sebagai alat deteksi ekspresi gen
papain yang diklon. Keberhasilan kloning dapat dianalisis dengan mengekspresikan
fragmen DNA hasil kloning.
4) Amplifikasi DNA dengan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction)
Penyisipan suatu fragmen DNA asing di dalam vektor dapat dianalisis dengan
menggunakan amplifikasi terhadap fragmen DNA tersebut dengan teknik PCR.
Primer yang digunakan dapat berupa oligonukleotida yang komplementer dengan
fragmen DNA asing tersebut, atau oligonukleotida yang komplementer dengan
bagian hulu dan hilir tempat penyisipan fragmen DNA asing tersebut. Hasil
amplifikasi kemudian dianalisis dengan elektroforesis menggunakan gel agrosa
untuk membuktikan apakah ada pita DNA yang telah teramplifikasi.
5) Penentuan urutan nukleotida (DNA sequencing)
Penentuan urutan nukleotida merupakan analisis yang dilakukan setelah analisis
DNA rekombinan sederhana. Teknik ini digunakan untuk lebih memastikan
keberadaan DNA asing di dalam vektor rekombinan.
EKSPRESI GEN

A. APA ITU GEN ?

Gambar 31. Kromosom

Gen adalah bagian dari kromosom atau salah satu kesatuan kimia (DNA) dalam
kromosom yaitu dalam lokus yang mengendalikan ciri-ciri genetis dari suatu makhluk
hidup. Menurut Fred (2005) bahwa struktur gen tersusun dari:
1. Daerah pengkode yaitu ekson and intron yang mengkode RNA atau protein.
Intron(intervening sequences) merupakan sekuens yg tidak mengkode asam amino
sedangkan ekson merupakan merupakan bagian yang akan dikode menjadi asam
amino.
2. Promoter
Promoter adalah adalah urutan DNA spesifik yang berperan dalam mengendalikan
transkripsi gen struktural dan terletak di daerah upstream (hulu) dari bagian
struktural gen. Promoter berfungsi sebagai tempat awal pelekatan enzim RNA
polimerase yang nantinya melakukan transkripsi pada bagian structural.
3. Operator
Operator merupakan urutan nukelotida yang terletak di antara promoter dan bagian
struktural dan merupakan tempat pelekatan protein represor (penekan atau
penghambat ekspresi gen). Jika terdapat represor yang melekat di operator maka
RNA polimerase tidak dapat berjalan dan ekspresi gen tidak dapat berlangsung.
Selain adanya supresor juga terdapat enhancer. Supresor digunakan untuk
menghambat sedangkan enhancer digunakan untuk meningkatkan proses
transkripsi dengan meningkatkan jumlah RNA polimerase. Namun letaknya tidak
pada lokasi yang spesifik seperti operator, ada yg jauh di upstream atau bahkan
downstream dari titik awal transkripsi.
4. Terminator
Terminator dicirikan dengan struktur jepit rambut atau hairpin dan lengkungan
yang yang kaya akan urutan GC yang terbentuk pada molekul RNA hasil
transkripsi

Gambar 32. Struktur gen Prokariot

Gambar 33. Struktur Gen Eukariot

B. APAKAH ITU EKSPRESI GEN


Ekspresi gen merupakan rangkaian proses penerjemahan informasi genetik
(dalam bentuk urutan basa pada DNA atau RNA) menjadi protein, dan fenotipe.
Informasi yang dibawa oleh bahan genetik tidak bermakna apa pun bagi suatu
organisme jika tidak diekspresikan menjadi fenotipe. Ekspresi gen adalah proses
penentuan sifat suatu organisme oleh gen. Suatu sifat yang dimiliki oleh organisme
merupakan hasil metabolisme yang terjadi di dalam sel. Gen tersusun dari molekul
DNA, sehingga gen menentukan sifat suatu organisme. Langkah pertama dalam
ekspresi gen adalah transkripsi DNA menjadi RNA.
Gambar 34. Alur Ekspresi Gen

Ekspresi gen ini berkaitan dengan sintesis protein, yaitu proses transkripsi dan
translasi. DNA akan mengkode informasi genetik sesuai kebutuhannya.
1. Proses transkripsi yaitu Tahap pertama urutan rantai nukleutida tempale (cetakan)
dari suatu DNA untai ganda disalin untuk menghasilkan satu rantai molekul RNA.
2. Proses translasi yaitu Tahap kedua merupakan sintesis polipeptida dengan urutan
spesifik berdasarkan rantai DNA yang dibuat pada tahap pertama, menjadi protein

Proses transkripsi DNA menjadi mRNA dan translasi mRNA menjadi sebuah
polipeptida disebut dogma sentral (central dogma) setiap proses transkripsi ataupun
translasi, ada tiga tahap didalamnya, yaitu : Inisiasi, elongasi dan terminasi

C. PROSES TERBAGI BERDASARKAN JENIS SELNYA, YAITU PROKARIOT


DAN EUKARIOT
1. PROKARIOT
PROSES TRANSKIRPSI DAN TRANSLASI

Terjadi di nukleus, dimana proses translasi mRNA menjadi protein berjalan


bersamaan tanpa menunggu proses transkripsi dari DNA kem RNA selesai
semuanya. Translasi pada prokariotik terjadi sebelum transkripsi sepenuhnya di
selesaikan.

Terminasi yaitu berakhirnya polimerisasi RNA ditandai oleh disosiasi


kompleks transkripsi atau terlepasnya enzim RNA polimerase beserta kofaktor-
kofaktornya dari untai DNA cetakan. Begitu pula halnya dengan molekul RNA
hasil sintesis. Hal ini terjadi ketika RNA polimerase mencapai urutan basa tertentu
yang disebut dengan terminator.

2. EUKARIOT
PROSES TRANSKRIPSI
Terjadi di nukleus, dimana merubah proses translasi dari DNA menjadi mRNA
Gambar 35. Proses Transkripsi

PROSES PASCA TRANSKRIPSI

Cuman terjadi pada eukariot, Pada sel eukariotik terjadi splicing karena dalam
satu untai mRNA hasil transkripsi yang akan diterjemahkan terdapat intron dan
ekson yang berseling-seling. Proses translasi berlangsung di sitoplasma, maka
diberikan perlakuan yaitu capping dan polyAdenasil.

a. Capping dan Poliadenilasi (dari Nukleus ke Sitoplasma)


• Capping ditutup dengan nukleotida guanin (G) yang termodifikasi.
• Poliadenilasi menambahkan ekor polia(A) yang terdiri dari 30-200
nukleotida adenin.

Gambar 36. Proses PoliAdenasil

b. Splicing
Penyambungan RNA dikatalis oleh ribonukleo protein nucleus
• Intron = Bukan Pengode, terletak diantara Ekson
• Ekson = Pengode
Gambar 37. Proses Splicing

PASCA TRANSLASI
1. Rantai polipeptida yang terbentuk mulai menggulung dan melipat secara
spontan membentuk protein fungsional dengan konformasi yang spesifik.
Pelipatan protein dibantu oleh suatu protein chaperon.
2. Langkah tambahan yang dilakukan sebelum dikirim ke target adalah
memberikan modifikasi secara kimiawi. Pada asam amino tertentu dilakukan
penambahan gula, lipid, gugus fosfat atau penambahan-penambahan lain. Pada
beberapa kasus, rantai polipetida tunggal dapat membelah secara enzimatik
menjadi dua atau lebih potongan, misal insulin.

TERMINASI

Terminasi yaitu berakhirnya polimerisasi RNA ditandai oleh disosiasi


kompleks transkripsi atau terlepasnya enzim RNA polimerase beserta kofaktor-
kofaktornya dari untai DNA cetakan. Begitu pula halnya dengan molekul RNA
hasil sintesis. Hal ini terjadi ketika RNA polimerase mencapai urutan basa tertentu
yang disebut dengan terminator.
SOUTHERN BLOTTING

A. Definisi Southern Blotting

Suatu metode yang sering digunakan dalam bidang biologi molekular untuk
menguji keberadaan dari sekuen DNA dalam suatu sampel DNA. Teknik memindahkan
atau mentranfer DNA ke lembaran tipis atau matriks membran. Istilah blotting
mengacu pada transfer sampel biologis dari gel ke membran yang selanjutnya dideteksi
pada permukaan membran.

Gambar 38. Edwin M. Southern

Metode ini ditemukan oleh seorang ahli biologi dari inggris yang bernama
Edward M. Southern, yang mengembangkan prosedur ini pada tahun 1975 di
Universitas Edinburgh. Teknik ini digunakan untuk memindahkan DNA ke suatu
pengangkut sehingga dapat dipisahkan, dan sering juga diikuti penggunaan suatu gel
elektroforesis.

Southern bloting digunakan penemuan gen dan pemetaan, evolusi dan studi
pengembangan, forensik dan diagnostik. Dalam tingkat genetik untuk memodifikasi
pada organisme, Southern blot digunakan sebagai test untuk memastikan bahwa bagian
DNA tertentu mengenal urutan gen. Southern blot analysis untuk menandai karakter
transforman. Southern blot analysis bermanfaat untuk mengidentifikasi bentuk berbeda,
menentukan memasukkan atau menyisipkan jumlah copy dan untuk mendeteksi gross
DNA penyusunan kembali yang mungkin telah terjadi perubahan. Jika kamu sedang
menganalisis ß-galactosidase dengan memasukkan atau menyisipkan dan dipotong-
potong dengan EcoRV maka akan dihasilakn potongan sekitar 1kb dari atas dan bawah
dari urutan ß-galactosidase persandian dimulai. Pemecahan oleh enzim restriksi,
Analisis Gel, dan bloting.
B. Prinsip Southern Boltting

Metode ini mengkombinasikan elektroforesis gel agarosa untuk memisahkan


DNA berdasarkan ukurannya dan kemudian ditransfer ke membran filter untuk
selanjutnya dilakukan hibridisasi dengan probe. Untuk mengidentifikasi ataupun
melacak suatu fragmen DNA spesifik, diperlukan suatu pelacak (probe). Kunci dari
metode ini adalah Hibridisasi. Hibridisasi adalah Proses pembentukan molekul DNA
beruntai ganda antara probe DNA beruntai tunggal dan DNA pasien target beruntai
tunggal.

DNA dipisahkan terlebih dahulu dengan elektroforesis. Probe yang dilabel akan
hibridisasi pada pita-pita DNA untuk mengetahui apakah DNA tersebut mengandung
gen yang diinginkan. Blot Southern mendeteksi DNA rantai tunggal dengan
menggunakan DNA sebagai pelacak. DNA yang terdeteksi dapat berupa gen tunggal,
atau dapat menjadi bagian dari potongan DNA yang lebih besar seperti genom virus.

C. Komponen Southern Bloting

Gambar 39. Komponen Southern Bloting

1) Membran nitroselulosa
Tempat hasil jiplakan fragmen DNA dari gel agarosa
2) DNA Probe
Fragmen DNA yang berfungsi sebagai pelacak target gen
3) Larutan Buffer
Untuk membawa DNA dari gel dan memobilisasi DNA pada membran (larutan
akan bergerak dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah)
4) DNA
Materi atau molekul yang akan diidentifikasi pada Southern Blotting
5) Enzim restriksi
Berfungsi memotong DNA menjadi suatu fragmen tertentu

D. Proses Southern Bloting

Tahapan pada proses southern bloting terdiri dari lima tahap, yaitu :
1) Isolasi DNA dan pemotongan DNA

Gambar 40. Pemotongan DNA

Tahap untuk memperoleh DNA yang akan dideteksi. Pemotongan DNA yang
ingin diperoleh dilakukan dengan menggunakan enzim retriksi
(endonukleaseretriksi) yang bersifat spesifik terhadap DNA.

2) Fragmentasi DNA dengan Elektroforesis Gel

Gambar 41. Fragmentasi DNA

Merupakan tahap dimana Fragmen-fragmen dari DNA akan terpisah


berdasarkan ukuran berat molekulnya. Berdasarkan prinsip elektroforesi, Fragmen
DNA yang ukuran berat molekulnya lebih kecil akan lebih cepat bergerak dari kutub
negatif kekutub positif dibandingkan dengan fragmen DNA dengan berat molekul
lebih besar.
3) Transfer DNA ke membran Nitroselulosa
DNA yang telah diperoleh kemudian ditransfer ke membran nitroseluloasa,
tahap inilah yang disebut dengan blotting. Tahap ini dapat dilakukan dengan 2
pilihan metode, yaitu:
a. Berdasarkan Prinsip Kapilaritas
b. Berdasarkan Prinsip Elektroforesis

Gambar 42. Gel Agarosa

Gel agarosa dijiplak pada membran nitroselulosa merupakan salah satu metode
tahapan transfer DNA ke membran nitroselulosa yang berdasarkan pada prinsip
Kapilaritas. Kapilaritas adalah peristiwa naiknya zat cair pada pembuluh, celah atau
pori-pori kecil. Fragmen DNA yang telah terjiplak pada membran nitroselulosa
kemudian dipanaskan pada suhu 60oC kemudian membran diberi radiasi UV agar
terbentuk ikatan kovalen dan permanen antara pita-pita DNA dengan membran.
4) Hibridisasi DNA

Gambar 43. Hibridisasi DNA


Hibridisasi DNA adalah proses pembentukan molekul double helix dari single
strand DNA probe dan single strand DNA target. Tahap ini terjadi ketika membran
nitroselulosa direndam dalam larutan yang berisi probe DNA Ss*(diberi radioisotop)
5) Deteksi DNA
Merupakan tahap lanjutan dari proses hibridisasi DNA yang menggunakan
pelacak/probe. Probe biasanya merupakan DNA yang dimurnikan dan bisa ditandai
dengan aktifitas spesifik radionukletida. Pada tahap deteksi DNA digunakan
Autoradiogram untuk melihat lokasi sinyal DNA.

E. Aplikasi Southern Bloting


Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah penyebab acquired
immunodeficiency syndrome (AIDS), yang merusak sistem kekebebalan tubuh
sehingga tubuh mudah diserang penyakit lain. Berdasarkan data WHO/UNAIDS tahun
2006, dinyatakan 39,5 juta orang hidup dengan HIV dan diantaranya 630.000 orang
meninggal akibat AIDS. Di Indonesia infeksi HIV cenderung meningkat dari tahun ke
tahun, pada akhir September 2006 dilaporkan jumlah penderita AIDS ada 6987. Baru-
baru ini PBB memperkirakan pengidap HIV-AIDS di Indonesia telah mencapai
180.000 orang (WHO, 2007).
Untuk mengetahui apakah seseorang mengidap HIV diperlukan pemeriksaan
penunjang di laboratorium, salah satu teknik pemeriksaan tersebut yaitu menggunakan
PCR dan blotting. Pada teknik blotting, khususnya southern blotting, di mana untuk
mendeteksi keberadaan sepotong DNA dalam sampel. DNA yang terdeteksi HIV dapat
berupa gen tunggal, atau dapat menjadi bagian dari potongan DNA yang lebih besar
seperti genom virus. Kunci dari metode ini adalah Hibridisasi. Hibridisasi adalah
Proses pembentukan molekul DNA beruntai ganda antara probe DNA beruntai tunggal
dan DNA pasien target beruntai tunggal. Metode ini mengkombinasikan elektroforesis
gel agarosa untuk memisahkan DNA berdasarkan ukurannya dan kemudian ditransfer
ke membran filter untuk selanjutnya dilakukan hibridisasi dengan probe. Untuk
mengidentifikasi ataupun melacak suatu fragmen DNA spesifik, diperlukan suatu
pelacak (probe). DNA dipisahkan terlebih dahulu dengan elektroforesis. Probe yang
dilabel akan hibridisasi pada pita-pita DNA untuk mengetahui apakah DNA tersebut
mengandung gen yang diinginkan.
NORTHERN BLOTTING

A. Definisi Northern Bloting


Northern blotting adalah sebuah tekhnik yang digunakan dalam penelitian
molekul biologi untuk mempelajari ekspresi gen dengan mendeteksi RNA, dikenal
sebagai RNA blot, adalah salah satu teknik blotting yang digunakan untuk mentrasfer
DNA dan RNA ke sebuah pembawa untuk pemisahan dan identifikasi. Northern
blotting mirip dengan sourthern blotting tetapi bukan DNA melainkan RNA yang
menjadi subjek analisis dalam teknik ini mRNA terisolasi dan terhibridisasi yang
digunakan dalam Northern blotting

Gambar 44. James C. Alwine

Teknik Northern blotting dikembangkan pada tahun 1977 oleh James Alwine,
David Kemp, dan Gorge Stark di Stanford University. J.C. Alwine, seorang ahli biologi
dengan selera humor, dikembangkan sebuah teknik berbasis analog untuk Sourthern
blotting, saat ini untuk mengidentifikasi secara spesifik RNA dalam sebuah sampel
kompleks RNA menggunakan sebuah probe DNA Radiolabelled. Alwine memberi
nama teknik ini Northern blotting.

B. Prinsip Northern Blotting

Northern blotting adalah sebuah metode yang digunakan untuk mempelajari


ekspresi gen dengan mendeteksi RNA dalam sebuah samel. Selanjutnya ini disebut
RNA Blot. Sampel RNA diisolasi dari suatu organisme yang ingin diteliti dan
selanjutnya dielektroforesis pada agarosa gel yang memisahkan fragmen-fragmen
berdasarkan ukurannya.
Fragmen RNA yang terpisah dipindahkan ke membran pendukung (membran
nitroselulosa) hal ini dapat dilakukan dengan metode kapliter sederhana dengan adanya
buffer tertentu.Ini diikuti oleh hibridisasi dengan DNA yang dilabeli atau probe RNA.
Jika sampel berisi urutan RNA kontemporer, probe akan mengikat membran untuk
membentuk molekul hibrin DNA-RNA untai ganda antara DNA untai tunggal dan
target untai tunggal RNA. Langkah terakhir adalah deteksi RNA yang ingin diketahui
pada membran menggunakan kromogen.

C. Komponen Northern Blotting

Gambar 45. Skema Northern Blotting

Yang dibutuhkan saat proses ini yaitu :


• Agarosa gel untuk proses elektroforesis
• Membran nylon / Diazo benzyl oxy methyl (DBM) filter paper.
• Complementary Radioactive probe untuk hibridisasi
• Formaldehyde (HCHO) untuk degradasi - reaksi grub karbonil membentuk
basa dengan gugus amno GAC, ini mencegah ikatan -H normal dan menjaga
RNA dalam Keadaan denaturasi.
• X-ray film intuk identifikasi RNA
D. Proses Northern Blotting
Tahapan northern blotting terdiri dari beberapa tahap, yaitu:
a. Isolasi RNA
Isolasi RNA dapat dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:
1) Penghancuran dinding
Lisis dilakukan menggunakan detergen. Pengotor akibat lisis sel dipisahkan
dengan cara sentrifugasi. Kemudian molekul nukleotida (DNA dan RNA)
dipisahkan dari protein menggunakan fenol.
2) Penghilangan protein dan DNA
Enzim DNA digunakan untuk menghancurkan DNA sehingga RNA diisolasi
secara utuh.
3) Pemurnian RNA
Purifikasi RNA dapat dilakukan denganmencampur larutan tersebut dengan PCl
yang berfungsi memekatkan, memisahkan RNA dari larutan, dan
mengendapkan.
b. Elektroforesis

Gambar 46. Proses Elektroforesis

Elektroforesis merupakan tahap di mana RNA di elektroforesis menggunakan


gel formaldehida. RNA jauh lebih rentan terhadap degradasi dibanding DNA, oleh
karena itu elektroforesis dilakukan dalam bufer yang mengandung zat kimia yang
bersifat melindungi (biasanya formaldehid). Gel dapat diwarnai dengan ethidium
bromide (EtBr) dan dilihat dibawah sinar UV untuk mengamati kualitas dan
kuantitas RNA sebelum blotting.
c. Transfer ke membran dan imobilisasi

Gambar 47. Transfer Membran

RNA yang sebelumnya berhasil diselesaikan kemudian ditransfer ke membran


nilon. Membran nilon dengan muatan positif paling efektif digunakan di bagian utara
karena asam nukleat bermuatan negatif menghasilkan afinitas tinggi. Transfer buffer
yang digunakan mengandung formamida karena kehilangan suhu dari interaksi
probe-RNA yang dapat menyebabkan degradasi RNA. Setelah RNA ditransfer ke
membran, maka membran harus segera disiapkan untuk crosslink RNA dengan sinar
UV. Tujuan crosslink RNA adalah untuk membuat RNA terikat kuat di membran.
d. Prehibridisasi dan hibridisasi dengan probe

Gambar 48. Hibridisasi dengan Probe

Tujuan pemulihan prehibridisasi sebelum hibridisasi adalah memblok bagian


tidak spesifik untuk mencegah probe yang untai tunggal dari mengikat sembarang
bagian pada membran. Hibridisasi asam nukleat mensyaratkan bahwa probe ini
melengkapi semua atau sebagian, dari urutan mRNA target. Probe harus diberi label
baik dengan isotop radioaktif (32P) atau dengan chemiluminescence di mana alkali
fosfatase atau horseradish peroxidase (HRP) memecah chemiluminescent substrat
menghasilkan emisi terdeteksi cahaya.
e. Pencucian
Tujuan dari pencucian membran adalah untuk memastikan bahwa probe telah
terikat secara khusus dan untuk mencegah sinyal balik yang timbul . Hal ini juga
dilakukan untuk menghilangkan unhibridisasi probe, dengan larutan buffer misalnya
dengan sodium citrate.
f. Deteksi
Jika probe radiolabeled selesai digunakan, blot disimpan dalam bungkus plastik
agar tidak kering kemudian membran di autoradiografi dengan X-ray. Tahapan
deteksi dalam northern blot dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:
1. Radioaktivitas
Probe ditandai dengan 32P (atau 33P)
2. Non Radioaktivitas
Deteksi dilakukan dengan pewarnaan, misalnya dengan teknik
chemiluminescence.

E. Aplikasi Northern Blotting

Salah satu aplikasi northern blotting yaitu lanjutan pendeteksian pada orang
yang diduga menderita HIV, di mana telah diperiksa menggunakan teknik southern
blotting dan dapat juga dideteksi lagi dengan northern blotting. Teknik ini untuk
mempelajari ekspresi gen dengan mendeteksi RNA. Ekstraksi RNA dilaksanakan
dengan menggunakan Mini Kit dari RNA QIAamp Viral Extraction (Qiagen, Jerman).
RNA yang diperoleh dapat disimpan pada freezer suhu -20oC.
Sensitivitas dan spesifisitas teknik deteksi HIV secara molekuler seperti RT-
PCR sangat ditentukan oleh primer yang digunakan. Primer yang digunakan adalah Hi
976C (3’- TCT GCA GCT TCC TCA TTG ATG G- 5’) dan Hi-853F (3’- CAG CAT
TAT CAG AAG GAG CCA C- 5’) (Primer ini ditemukan oleh sang penulis jurnal
sendiri). Hasil RT-PCR dideteksi dengan teknik elektroforesis gel. Fragmen DNA hasil
PCR setelah didenaturasi dengan pemanasan, dispotkan pada membran nilon Hybond
N+ menggunakan dot blotter (Rosilawati & Budiman, 2007).
WASTERN BLOTTING

A. Definisi Wastern Blotting

Western Blot (WB) merupakan suatu teknik untuk menandai suatu protein pada
membran nitroselulosa, nilon, atau membran transfer lain setelah protein tersebut
terpisahkan melalui elektroforesis. Protein tersebut kemudian dapat dideteksi melalui
metode autoradiografi, pelabelan dengan senyawa-senyawa fluoresen, pelabelan
dengan 125I, pelabelan dengan antibodi terikat protein, lektin atau gen pengikat spesifik
lainnya.

B. Prinsip Wastern Blotting

Westhern blotting merupakan suatu teknik memindahkan bagian protein yang


telah dipisahkan, RNA atau DNA dari gel ke lembaran tipis atau matriks membran agar
bagian protein tersebut mengalami imobilisasi. Teknik ini mendeteksi sampel protein
yang secara spesifik dalam suatu jaringan homogen atau ekstrak berdasarkan
kemampuan protein tersebut berikatan dengan antibodi. Prinsip kerja gel elektroforesis
untuk memisahkan protein berdasarkan panjang polipeptida atau berdasarkan struktur
3D-nya. Protein terpisah pada gel poliakrilamid. Tujuan dari teknik ini yaitu
mengetahui keberadaan dan berat molekul protein sampel dalam suatu campuran,
membandingkan reaksi silang antar protein, mempelajari modifikasi protein selama
sintesis.

C. Komponen Wastern Blotting

Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam proses transfer protein tersebut.
1) Arus listrik yang digunakan harus diperhatikan karena arus yang terlalu tinggi
dapat menghasilkan panas selama transfer yang dapat menimbulkan masalah.
2) Kekuatan ion yang rendah buffer transfer yang rendah dapat digunakan pada
tegangan listrik yang tinggi tanpa perlu dikhawatirkan menghasilkan panas
yang tinggi.
3) Salah satu arus listrik yang dapat digunakan adalah 200 mA selama 2 jam.
4) Untuk transfer protein dengan ukuran molekul besar, penggunaan gel dengan
konsentrasi poliakrilamid yang rendah.
D. Proses Wastern Blotting

Gambar 49. Proses Wastern Blotting

1) Protein gel elektroforesis

Pada tahap pertama, protein yang diinginkan dipisahkan dari sampel secara
elektroforesis. Elektroforesis merupakan pemisahan protein berdasarkan ukuran
molekul dalam suatu tegangan listrik tertentu. Dalam elektroforesis, biasanya
sampel yang mengandung protein biasanya dicampur dengan SDS.

Gambar 50. Proses Gel Elektroforesis

SDS merupakan suatu detergent yang memiliki muatan negatif. Muatan


negative pada SDS akan mengganggu kestabilan protein, sehingga protein
mengalami denaturasi. Akibatnya protein-protein yang ada dalam sampel
membentuk suatu rantai polipeptida yang lurus. Sampel dengan protein rantai
polipeptida lurus tersebut dimasukkan dalam suatu membran poliakrilamid yang
dialiri arus listrik. Laju pergerakan protein dalam suatu membran poliakrilamid
tersebut berbeda-beda tergantung daya hambat antara protein dan membran.
Protein yang lebih besar akan memiliki daya hambat lebih besar sehingga
pergerakannya menjadi lebih lambat dibandingkan protein berukuran kecil.

2) Elektrotransfer
Tahap kedua dalam WB yaitu pemindahan protein dari gel poliakrilamid
menuju gel transfer. Tahap pemindahan tersebut menggunakan arus listrik sebagai
faktor pendorong transfer protein. Gel transfer yang umum digunakan pada WB
ada dua, yaitu nitroselulosa dan nilon. Pada sebagian besar aplikasi, nitroselulosa
lebih umum digunakan karena relatif tidak mahal dan bloking mudah dan cepat
dilakukan Elektrotransfer dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu (Bollag et al.,
1996):
a) Blotting semi kering
Blotting semikering menggunakan kertas saring yang telah dibasahi
dengan buffer transfer. Kertas saring tersebut diletakkan di antara gel
poliakrilamid dan gel transfer. Transfer seperti ini dapat dilakukan selama 10-
30 menit dengan arus listrik tertentu.
b) Blotting basah
Blotting basah tidak menggunakan kertas saring diantara gel
poliakrilamid dan gel transfer, tetapi kedua gel tersebut diimpitkan dan
direndam dalam buffer transfer. Transfer dengan blotting basah dapat
dilakukan 45 menit hingga 1 malam (Bollag et al., 1996).
3) Deteksi
Tahap ke tiga merupakan deteksi protein yang telah dipindahkan ke membran
transfer. Deteksi protein tersebut memanfaatkan interaksi antara antigen dan
antibodi yang bersifat spesifik. Variasi metode-metode terletak pada penggunaan
antibodi primer dan sekunder, serta penggunaan molekul penanda.
Gambar 51. Deteksi Protein

Deteksi dilakukan dengan antibodi yang telah dimodifikasi bersama dengan


sebuah enzim yang disebut reporter enzim. Proses deteksi biasanya berlangsung
dalam dua tahap, yaitu:
a) Antibodi Primer

Gambar 52. Antibodi Primer

Antibodi yang digunakan di sini adalah antibodi yang pertama kali


dihasilkan sistem imun ketika terpajang protein target. Antibodi terlarut
kemudian diinkubasi bersama kertas membran paling sedikit selama 30
menit.
b) Antibodi Sekunder
Gambar 53. Antibodi Sekunder

Setelah diinkubasi bersama antibodi primer, kertas mebran dibilas


terlebih dahulu kemudian diinkubasi dengan antibodi sekunder. Antobodi
sekunder adalah antobodi yang spesifik untuk suatu spesies pada antibodi
primer. Misalnya, anti-tikus hanya akan berikatan pada antibodi primer
yang berasal dari tikus. Antibodi sekunder ini kemudian akan menguatkan
sinyal yang dihasilkan oleh antibodi primer. Sekarang, proses deteksi dapat
dilakukan dengan satu langkah saja, yaitu dengan menggunakan antibodi
yang dapat mengenali protein yang diinginkan sekaligus memiliki label
yang mudah dideteksi.

E. Aplikasi Wastern Blotting

Salah satu penerapan westhern blotting yaitu untuk memastikan bahwa


seseorang menderita HIV. Biasanya sebelum dilakukan pendeteksian dengan teknik ini,
orang tersebut telah dideteksi DNA dan RNA nya menggunakan teknik southern
blotting dan northern blotting. Westhern blotting merupakan suatu teknik
memindahkan bagian protein yang telah dipisahkan, RNA atau DNA dari gel ke
lembaran tipis atau matriks membran agar bagian protein tersebut mengalami
imobilisasi. Teknik ini mendeteksi sampel protein yang secara spesifik dalam suatu
jaringan homogen atau ekstrak berdasarkan kemampuan protein tersebut berikatan
dengan antibodi. Prinsip kerja gel elektroforesis untuk memisahkan protein berdasarkan
panjang polipeptida atau berdasarkan struktur 3D-nya. Protein terpisah pada gel
poliakrilamid. Tujuan dari teknik ini yaitu mengetahui keberadaan dan berat molekul
protein sampel dalam suatu campuran, membandingkan reaksi silang antar protein,
mempelajari modifikasi protein selama sintesis.
APLIKASI EKSPRESI GEN EUKARIOT (INSULIN)

A. Prinsip Dasar

Rekayasa genetika adalah proses mengidentifikasi dan mengisolasi DNA dari


suatu sel hidup atau mati dan memasukkannya dalam sel hidup lainnya. Rekayasa
genetika merupakan suatu cara memanipulasikan gen untuk menghasilkan makhluk
hidup baru dengan sifat yang diinginkan. Rekayasa genetika disebut juga pencangkokan
gen atau rekombinasi DNA. Dalam rekayasa genetika digunakan DNA untuk
menggabungkan sifat makhluk hidup. Hal itu karena DNA dari setiap makhluk hidup
mempunyai struktur yang sama, sehingga dapat direkombinasikan. Prinsip dasar
teknologi rekayasa genetika adalah memanipulasi atau melakukan perubahan susunan
asam nukleat dari DNA (gen) atau menyelipkan gen baru ke dalam struktur DNA
organisme penerima. Gen yang diselipkan dan organisme penerima dapat berasal dari
organisme apa saja sehingga akan mengekspresikan protein yang telah diselipkan.

B. Hormon Insulin

Gambar 54. Hormon Insulin

Insulin merupakan protein sederhana yang terdiri atas 51 asam amino, 21 di


antaranya merupakan satu rantai polipeptida dan 30 di antaranya terdiri dari rantai
kedua. Dua rantai ini dihubungkan oleh ikatan disulfida (Gambar 1). Coding sequences
untuk insulin ditemukan dalam DNA di bagian atas dari lengan pendek kromosom ke-
11 yang berisi 153 basa nitrogen (63 dalam sebuah rantai/chain A dan 90 dalam rantai
lainnya/chain B). Kedua rantai ini berbentuk heliks. Hormon insulin yang diproduksi
oleh tubuh kita dikenal juga sebagai sebutan insulin endogen. Namun, ketika kalenjar
pankreas mengalami gangguan sekresi guna memproduksi hormon insulin, disaat inilah
tubuh membutuhkan hormon insulin dari luar tubuh, dapat berupa obat buatan manusia
atau dikenal juga sebagai sebutan insulin eksogen

C. Proses Sintesis Insulin

Pada proses penyisipan gen diperlukan tiga faktor utama yaitu :


1. Vektor, yaitu pembawa gen asing yang akan disisipkan, biasanya berupa plasmid,
yaitu lingkaran kecil DNA yang terdapat pada bakteri. Plasmid diambil dari bakteri
dan disisipi dengan gen asing.
2. Bakteri, berperan dalam memperbanyak plasmid. Plasmid di dalam tubuh bakteri
akan mengalami replikasi atau memperbanyak diri, makin banyak plasmid yang
direplikasi makin banyak pula gen asing yang dicopy sehingga terjadi kloning gen.
3. Enzim, berperan untuk memotong dan menyambung plasmid. Enzim ini disebut
enzim endonuklease retriksi, enzim endonuklease retriksi yaitu enzim endonuklease
yang dapat memotong DNA pada posisi dengan urutan basa nitrogen tertentu.

Gambar 55. Produksi Insulin

Proses pembuatan insulin dengan teknik DNA recombinan adalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan mengisolasi gen penghasil insulin dari sel pankreas manusia
dengan metode PCR :
a. Mula-mula mRNA yang telah disalin dari gen penghasil insulin diekstrak dari
sel pancreas. Kemudian enzim transcriptase ditambahkan pada mRNA
bersamaan dengan nukleotida penyusun DNA.
b. Enzim ini menggunakan mRNA sebagai cetekan untuk membentuk DNA
berantai tunggal.
c. DNA ini kemudian dilepaskan dari mRNA.
d. Enzim DNA polymirase digunakan untuk melengkapi DNA rantai tunggal
menjadi ranati ganda,disebut DNA komplementer (c- DNA), yang merupakan
gen penghasil insulin.
e. Sehingga didapatkan kode gen penghasil insulin.
2. Melepaskan salinan gen penghasil insulin tersebut dengan cara memotong
kromosom secara khusus menggunakan enzim retrikasi dan meletakannya
kedalam vektor.

Gambar 56. Proses Enzim Restriksi

3. Digunakan promotor tertentu yang termasuk promotor kuat


4. Mengekstrak plasmid dari sel bakteri, kemudian membuka plasmid dari sel bakteri
dengan menngunakan enzim retrikasi lain. Sementara itu, di dalam serangkain
tabung reaksi atau cawan petri, gen penghasil insulin manusia (dalam bentuk c-
DNA disiapkan untuk dipasangkan pada plasmid yang terbuka tersebut.
5. Memasang gen penghasil insulin kedalam cincin plasmid. Supaya vektor bisa
masuk kedalam plasmid, sebelumnya plasmid telah dilukai pada bagian membran
selnya. Diberikan kejutan listrik yang menyebabkan masuknya vektor secara paksa
kedalam plasmid
6. Mula-mula ikatan yang terjadi masih lemah, kemudian enzim DNA ligase
memperkuat ikatan ini sehingga dihasilkan molekul DNA recombinan/plasmid
recombinan yang bagus.
7. Memasukkan plasmid recombinan kedalam bakteri Saccharomyces cerevisiae.Di
dalam sel bakteri ini plasmid mengadakan replikasi
8. Pemilihan bakteri Saccharomyces cerevisiae, dikarenakan bakteri ini termasuk
eukariot yang akan mengalami proses pasca transkripsi pada saat proses ekspresi
gen, yaitu insulin.
9. Mengultur bakteri Saccharomyces cerevisiae yang akan berkembang biak dengan
cepat menghasilkkan klon-klon bakteri yang mengandung plasmid recombinan
penghasil insulin.

Gambar 57. Mitosis Pada Saccharomyces cerevisiae

10. Diberikan perlakuan pada saat kultur jaringan untuk meningkatkan aktivitas
pembelahan, perlakuan ini tergantung penggunaan vektor diawal. Perlakuan dapat
berupa penaikan pH, Suhu, penambahan garam.
11. Insulin hasil ekpresi gen akan diekspresikan keluar dari tubuh Saccharomyces
cerevisiae menuju medium pertumbuhan, sehingga perlu dilakukan pemurnian
untuk mendapatkan insulin bebas tanpa pengotor.
12. Insulin yang terbentuk, terdiri dari sebagian β -galaktosidase yang bergabung ke
salah satu rantai A atau B insulin yang kemudian diekstraksi dari fragmen B-
galaktosidase lalu dimurnikan.
13. Pemurnian dapat dilakukan dengan cara sentrifuse menggunakan kecepatan rendah
kemudian di lewatkan menuju membran silica gel, sehingga insulin akan tertahan
sedangkan medium pertumbuhan akan terpisah
14. Insulin yang tertahan di silica gel akan diberikan pelarut yang sesuai untuk
memisahkan silica gel dengan insulin
15. Kedua rantai A dan B insulin yang telah murni, kemudian direaksikan untuk
membentuk jembatan disulfida yang merupakan bagian dari struktur insulin,
sehingga akan diperoleh hormon insulin hasil rekombinan yang identik dengan
insulin yang terdapat pada manusia.

Gambar 58. Ekspresi gen insulin yang bercampur dengan β-galaktosidase

16. Setelah Mendapatkan Insulin Murni maka dilakukan peningkatan konsentrasi


dengan cara menurunkan volumnya
17. Didapatkan Insulin dengan Konsentrasi yang tinggi.

Gambar 59. Insulin Sintetik

Insulin bervariasi dari satu organisme ke organisme lainnya, namun hal ini tidak
membedakan aktivitasnya. Pada mulanya sumber insulin untuk penggunaan klinis pada
manusia diperoleh dari pankreas sapi atau babi. Insulin yang diperoleh dari sumber-
sumber tersebut efektif bagi manusia karena indentik dengan insulin manusia. Insulin
pada manusia, babi, dan sapi mempunyai perbedaan dalam susunan asam aminonya,
tapi aktivitasnya tetap sama.

Anda mungkin juga menyukai