Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab Ii Tugas 3

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH

ASKEB KOMUNITAS

NAMA : HANDAYANI WULANDARI


TINGKAT : 2C
NIM : PO 530324018261

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES KUPANG
JURUSAN KEBIDANAN
ANGKATAN XX
TAHUN 2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya kepada saya sehingga makalah ini dapat terselesaikan.
Makalah ini dibuat berdasarkan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah
ASKEB KOMUNITAS.
saya menyadari masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah
ini karena pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh karena itu
saya harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Semoga makalah ini memberikan informasi bagi para pembaca dan
bermanfaat bagi para pembaca.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .....................................................................................ii


DAFTAR ISI ...................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................4
B. Tujuan .........................................................................................................4
BAB II. LANDASAN TEORI
1. Kualitas pelayanan antenatal oleh bidan di puskesmas .............................. 5
2. Survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan INC
dikomunitas ..................................................................................................19
3. Survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan postnatal di
propinsi jawa barat ......................................................................................27
4. Survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan BBL dan
Neonatus ..................................................................................................... 33
5. Survey kesehatan yang digunakan untuk peningkatan informasi tentang
KB ...............................................................................................................36
6. Survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan pada lansia
......................................................................................................................41
BAB III.PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................. 45
B. Saran ............................................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................46

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Masalah kesakitan dan kematian ibu di Indonesia masih merupakan
masalah besar, sehingga pelayanan kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas
utama dalam pembangunan kesehatan. Menurut Survey Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu di Indonesia sebesar 359
per 100.000 kelahiran hidup, mengalami peningkatan yang sangat fantastis dari
228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007.1 Penurunan Angka
Kematian Bayi juga mengalami stagnasi, dari 34 per 1000 kelahiran hidup pada
SDKI 2007, menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2012.2 Kematian
Ibu dan bayi dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu faktor adalah
pelayanan kesehatan. Kematian ibu dan bayi, selain menjadi indikator derajat
kesehatan juga menjadi tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan.
Pemahaman tentang persalinan sebagai multifaktor akan memberikan
dasar terhadap pendekatan yang berpusat pada ibu dalam menejemen asuhan
intranatal. Menejemen asuhna intranatal di komunitas merupakan suatu
pendekatan yang terpusat kepada individu dimasyarakat yang membutuhkan
kemampuan analisis tinggi dan cepat terutama yang berhubungan dengan aspek
sosial, nilai-nilai dan budaya setempat. Dengan memberikan asuhan intranatal
yang tepat dan sesuai standar, diharapkan dapat membantu menurunkan angka
kematian ibu dan bayi akibat perdarahan pada saat persalinan.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui kualitas pelayanan pemeriksaan antenatal oleh bidan di
puskesmas !
2. Untuk mengetahui survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkn
pelayanan INC dikomunitas !
3. Untuk mengetahui survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan
pelayanan postnatal di propinsi jawa barat !
4. Untuk mengetahui survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan
pelayanan BBL dan Neonatus !
5. Untuk meningkatkan survey kesehatan yang digunakan untuk
meningkatkan informasi tentang KB !

4
6. Untuk mengetahui survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan
pelayanan pada lanasi !

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kualitas Pelayanan Pemeriksaan Antenatal oleh Bidan di Puskesmas


Masalah kesakitan dan kematian ibu di Indonesia masih merupakan
masalah besar, sehingga pelayanan kesehatan ibu dan anak menjadi prioritas
utama dalam pembangunan kesehatan. Menurut Survey Demografi Kesehatan
Indonesia (SDKI) tahun 2012, Angka Kematian Ibu di Indonesia sebesar 359
per 100.000 kelahiran hidup, mengalami peningkatan yang sangat fantastis
dari 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007.1 Penurunan Angka
Kematian Bayi juga mengalami stagnasi, dari 34 per 1000 kelahiran hidup
pada SDKI 2007, menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup di tahun 2012.2
Kematian Ibu dan bayi dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satu faktor
adalah pelayanan kesehatan. Kematian ibu dan bayi, selain menjadi indikator
derajat kesehatan juga menjadi tolok ukur kinerja pelayanan kesehatan.
Pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan yang dilaksanakan oleh
tenaga kesehatan yang kompeten, memegang teguh falsafah, dilandasi oleh
etika dan kode etik serta didukung sarana dan prasarana yang memadai. Hasil
kajian kualitas pelayanan kesehatan ibu dan bayi yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan bekerjasama dengan WHO, HOGSI, UNICEF dan
UNFPA pada tahun 2012 di 10 Provinsi, 20 Kabupaten/Kota dengan sampel
20 Rumah Sakit, 40 Puskesmas dan 40 Bidan Praktik Mandiri, didapati
bahwa pelayanan kesehatan ibu dan bayi belum sesuai standar, terutama
dalam pelayanan Antenatal Care (ANC), pelaksanaan konseling dan edukasi
di Puskesmas 45% dan di Rumah Sakit hanya 24,2%, pemeriksaan penunjang
rutin di Rumah Sakit 39,4% dan di Puskesmas hanya 19,7%,
pendokumentasian hasil pemeriksaan di Puskesmas 42,5% dan di Rumah
Sakit hanya 20%.3 Upaya menurunkan AKI dan AKB sebaiknya sudah
disiapkan sejak masa antenatal. ANC adalah kegiatan yang diberikan pada ibu
sebelum melahirkan atau dalam masa kehamilan sebagai upaya yang
dilakukan dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan janin. ANC merupakan
upaya promotif dan preventif dalam

6
pelayanan kesehatan. Upaya ini secara bertahap perlu didorong semaksimal
mungkin agar dapat dilakukan di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer
termasuk Puskesmas.
Saat ini cakupan pelayanan antenatal di Indonesia sudah tinggi, berdasarkan
Riskesdas tahun 2010 dan 2013, didapati cakupan K1 Akses mengalami
peningkatan dari 92,7% menjadi 95,4%, K1 Ideal 72,3% menjadi 81,6%, K4
61,4% menjadi 70,4%, tenaga yang paling banyak memberikan pelayanan
ANC adalah bidan (88%) dan kontribusi Bidan Praktik Mandiri 52,5%,
konsumsi zat besi selama masa kehamilan ditemukan sebesar 89,1%. Hal ini
menunjukkan akses ibu hamil untuk mendapatkan pelayanan antenatal oleh
tenaga kesehatan sudah cukup tinggi namun kualitas pelayanan antenatal
masih perlu dimantapkan, karena kualitas pelayanan antenatal yang baik
dapat menurunkan angka kematian ibu.4,5 Seiring dengan kondisi tersebut,
sangat perlu dilakukan peningkatan kualitas pelayanan antenatal, melalui
pendekatan pelayanan antenatal terpadu dengan program terkait (gizi,
imunisasi, penyakit menular, penyakit tidak menular, gangguan jiwa dan
sebagainya). Diharapkan ibu hamil mendapatkan perlindungan secara
menyeluruh, baik mengenai kehamilan dan komplikasi kehamilan, serta
intervensi lain yang perlu diberikan selama proses kehamilan untuk kesehatan
dan keselamatan ibu dan bayinya.6
Pelayanan ANC berkualitas mempunyai kedudukan penting dalam upaya
menurunkan angka kematian ibu dan bayi, karena melalui pelayanan ANC
yang profesional dan berkualitas, ibu hamil memperoleh pendidikan tentang
cara menjaga diri agar tetap sehat, mempersiapkan kelahiran bayi yang sehat,
serta meningkatkan kesadaran dan pengetahuan tentang kemungkinan adanya
risiko atau terjadinya komplikasi dalam kehamilan, sehingga dapat dicapai
kesehatan yang optimal dalam menghadapi persalinan dan nifasnya.
Berdasarkan hal tersebut, maka perlu diketahui bagaimana kualitas pelayanan
ANC bidan di Puskesmas.

7
a. Bahan dan metode
Kerangka konsep Evaluasi Pelayanan ANC mencakup penelaahan
mengenai kondisi input (SDM, sarana, prasarana, peralatan), proses
(pelayanan 10T), dan kualitas pelayanan ANC. Pelayanan ANC (10T)
meliputi : pemeriksaan tinggi badan dan berat badan, pemeriksaan
tekanan darah, pengukuran lingkar lengan atas (LILA), pengukuran
tinggi fundus uteri (TFU), pemeriksaan denyut jantung janin (DJJ) dan
posisi janin, skrining dan pemberian TT, pemeriksaan laboratorium
rutin (Hb dan golongan darah), pemberian Fe dan Asam Folat, tata
laksana kasus, temu wicara (KIE-Konseling), pencatatan dan
pelaporan, serta supervisi, monitoring dan evaluasi. Evaluasi
pelayanan ANC yang dilakukan ini merupakan suatu riset evaluatif
(evaluation research) yang menggunakan rancangan potong lintang
(cross sectional). Kegiatan penelitian dilakukan pada Bulan
September sampai dengan Desember 2014. Pengumpulan data
dilakukan secara kuantitatif pada Bulan November 2014, dengan
menggunakan instrumen terstruktur yang dilengkapi dengan naskah
penjelasan dan form persetujuan setelah penjelasan (informed
consent).
Populasi target adalah populasi yang dapat digambarkan dengan
hasil evaluasi yang akan dilakukan. Populasi target dalam evaluasi ini
adalah seluruh puskesmas di Indonesia. Populasi sumber adalah
populasi yang akan menjadi subjek evaluasi. Penentuan populasi
sumber didasarkan pada pertimbangan bahwa wilayah yang akan
diambil akan lebih mewakili semua kondisi pelayanan kebidanan di
Indonesia. Populasi sumber yang dipilih adalah tenaga kesehatan yang
ada di puskesmas dan jejaringnya.
Sampel merupakan bagian dari populasi yang memiliki karakteristik
yang sama dengan populasi dan dianggap mewakili populasi. Ukuran
sampel dihitung dengan menggunakan rumus proporsi :
n = Z2. N. p (1 - p)

8
d2 .( N – 1) + Z2 .p (1 – p)
Keterangan rumus :
n = Sampel
Z2= Standar baku normal dengan tingkat kemaknaan 5 % = 1.96
P= proporsi Puskesmas yang memiliki pelayanan ANC baik (16,3%)
N= jumlah Puskesmas sebanyak 9655 puskesmas (tahun 2014)
d = 5% maka n = 106 puskesmas
P = Proporsi populasi untuk masalah yang diteliti dalam hal ini adalah
proporsi Puskesmas yang memiliki pelayanan kebidanan baik
berdasarkan data Rifaskes 2011 menggunakan hasil cakupan K4
Puskesmas dengan target 95% dan cakupan Linakes Puskesmas
dengan target 90% dari 8000 Puskesmas, dihasilkan nilai 16,3%
d = Tingkat presisi/ketepatan yang diinginkan = 5 % = 0.05
Jadi berdasarkan perhitungan rumus tersebut ukuran sampel minimal
yang diambil sebanyak 106 Puskesmas. Untuk menghilangkan efek
desain dan meningkatkan ketepatan dalam melakukan estimasi
pengukuran maka jumlah sampel dikalikan 2 = 106 x 2 = 212
Puskesmas.
Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik multistage
sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang dilakukan secara
bertahap dari mulai penentuan provinsi, pemilihan kabupaten/kota,
dan pemilihan Puskesmas.
Responden adalah bidan koordinator dan bidan pelaksana yang
bertugas di puskesmas. Tim peneliti melakukan pengamatan terhadap
bidan saat melakukan pemeriksaan antenatal ibu hamil, dengan
menggunakan check list. Selain itu juga dilakukan pengisian kuesioner
oleh bidan, observasi sarana dan prasarana pemeriksaan antenatal,
serta pengumpulan data sekunder dari Profil dan Laporan Tahunan
Puskesmas, Profil Kesehatan Kab/Kota, serta Laporan Tahunan Dinas
Kesehatan Kab/Kota.

9
b. hasil Analisis Univariat
Hasil penelitian dari riset evaluasi kualitas pelayanan Antenatal Care
ini dapat dilihat pada Tabel 2 sampai dengan Tabel 7. Penelitian ini
mengamati 224 orang bidan dalam melakukan pelayanan Antenatal
Care (ANC) terhadap ibu hamil di puskesmas.
Pada Tabel 3 dapat dilihat penilaian berdasarkan komponen Pelayanan
ANC menunjukkan bahwa secara keseluruhan hanya 18,8% bidan
teramati yang melakukan dengan lengkap dan benar seluruh
komponen 9T pada pemeriksaan Antenatal Care (ANC), meliputi : 1)
pengukuran berat badan dan tinggi badan, 2) pemeriksaan tekanan
darah, 3) pengukuran lingkar lengan atas (LILA), 4) pengukuran
tinggi fundus uteri, 5) pemeriksaan denyut jantung janin, 6) konseling,
7) tes laboratorium sederhana, 8) tablet besi minimal 90 tablet, dan 9)
imunisasi Tetanus Toksoid. Pemeriksaan yang paling banyak
dilakukan dengan baik dan benar adalah pemeriksaan tekanan darah
(81,3%). Pemeriksaan yang paling sedikit dilakukan dengan baik
adalah pengukuran lingkar lengan atas (LILA) ibu (61,6%).
Tabel 4 menunjukkan distribusi pelayanan antenatal care menurut
kabupaten/kota. Kota Ternate memiliki pelayanan antenatal care 9T
tertinggi (42,9%) di antara kabupaten/kota lokasi penelitian,
sedangkan Kabupaten Halmahera Barat yang justru masih satu
provinsi dengan Kota Ternate memiliki pelayanan antenatal care 9T
terendah (0,0%). Pelayanan 7T tertinggi adalah Kota Bengkulu
(45,0%) dan yang terendah adalah Kabupaten Lebong (0,0%) dan
Kabupaten Halmahera Barat (0,0%). Pelayanan 5T tertinggi adalah
Kota Ternate (42,9%) dan terendah adalah Kabupaten Siak (6,7%).
Pelayanan antenatal care 9T yang dimaksud meliputi pelayanan
pengukuran berat badan dan tinggi badan, tekanan darah, tinggi
fundus uteri, imunisasi tetanus toksoid, pemberian 90 tablet Fe,
konseling, pemeriksaan laboratorium rutin, pengukuran lingkar lengan
atas, dan pemeriksaan denyut janin. Pelayanan 7T meliputi pelayanan

10
pengukuran berat badan dan tinggi badan, tekanan darah, tinggi
fundus uteri, imunisasi tetanus toksoid, pemberian 90 tablet Fe,
konseling, dan pemeriksaan laboratorium rutin. Pelayanan 5T meliputi
pengukuran berat badan dan tinggi badan, tekanan darah, tinggi
fundus uteri, imunisasi tetanus toksoid, dan pemberian 90 tablet Fe.
Tabel 1. Metode Pengambilan Sampel
No Tahapan Teknik pengambilan Hasil
sampel sampel
1 Pemilihan Dilakukan secara simple Dari 3 regional yang
provinsi random sampling dari 3 ada dipilih 2 propinsi
regional/wilayah yang ada di dari masing-masing
Indonesia regional = 6 Propinsi
yang diambil yaitu :
Riau, Bengkulu, Jawa
Tengah, Kalimantan
Timur, Sulawesi
Selatan, dan Maluku
Utara
2 Pemilihan Dilakukan secara simple Dari 6 Propinsi
kabupaten random sampling dari 6 terpilih yang ada
Propinsi terpilih, dipilih 1 dipilih 1 Kab dan 1
Kota dan 1 Kabupaten kota = 6 kabupaten
dan 6 Kota yang
diambil, yaitu :
Kabupaten Siak,
Lebong, Pekalongan,
Kutai Timur, Barru,
dan Halmahera Barat.
Kota Pekanbaru,
Bengkulu, Surakarta,
Samarinda, Makasar,
dan Ternate

11
3 Pemilihan Diambil total populasi Dari 12
Puskesmas Puskesmas dari 12 Kab/ Kota kabupaten/kota
diambil total populasi
Puskesmas yaitu
sebanyak 212
Puskesmas

c. Observasi Peralatan, Obat-obatan dan Dokumen


Terdapat 212 puskesmas dari 12 kabupaten/kota dan 6 provinsi
yang diobservasi terkait keberadaan peralatan, obat-obatan, dan
ketersediaan dokumen. Jumlah puskesmas yang diamati di setiap
kabupaten/kota bervariasi jumlahnya, tergantung dari jumlah
keberadaan puskesmas di masing - masing kabupaten/kota.
Penilaian terhadap kesiapan puskesmas dalam memberikan
pelayanan antenatal care (ANC) 9T dilakukan dengan menganalisa
keberadaan peralatan, obat, dan media penunjang pelayanan. Jumlah
alat, obat, dan media penunjang pelayanan antenatal 9T adalah 23
jenis, antara lain meliputi : tensimeter, manset dewasa, stetoskop,
stetoskop janin dan dopler, timbangan dewasa, meteran, pita lingkar
lengan, tablet tambah darah, alkohol 70%, freezer/refrigerator, cold
chain dan vaksin TT, pemeriksaan Hb, tes kehamilan, golongan darah,
dan protein urine, kartu ibu, bahan Komunikasi, Informasi dan
Edukasi (KIE), serta ketersediaan media promosi kesehatan.
Berdasarkan hal tersebut maka diperoleh sebanyak 46 puskesmas
(20,4%) telah memiliki seluruh peralatan, obat, dan media penunjang
pelayanan ANC 9T. Sekitar 0,9% puskesmas memiliki < 50%
peralatan, obat, dan media penunjang pelayanan ANC 9T, 16%
puskesmas memiliki 50 – 74%, dan sekitar 83,1% puskesmas telah
memiliki 75 – 100%.
Kota Samarinda memiliki proporsi terbesar puskesmas dengan
kepemilikan 23 item alat, obat, dan media penunjang pelayanan ANC

12
(37,5%). Tidak ada satupun puskesmas di Kabupaten Siak, Lebong,
Kutai Timur, Halmahera Barat, dan Kabupaten Barru yang memiliki
lengkap 23 item. Seluruh puskesmas di Kota Ternate, Kota
Samarinda, dan Pekalongan memiliki >75 % alat, obat, dan media
penunjang pelayanan ANC. Terdapat 7,1% puskesmas di Kabupaten
Lebong dan 12,5% puskesmas di Kabupaten Halmahera Barat yang
hanya memiliki < 50%.
d. Analisis Bivariat
Pada Tabel 7 dapat dilihat analisis bivariat dari penelitian ini. Hasil
analisis menggunakan uji kai kuadrat menunjukkan adanya hubungan
yang bermakna secara statistik antara beberapa variabel yang
dianalisis di dalam penelitian ini. Variabel dependen yang dianalisis
adalah pengetahuan bidan dalam pelayanan antenatal, kunjungan
antenatal ibu hamil, serta kepemilikan sarana pelayanan antenatal.
Sedangkan variabel independennya adalah karakteristik bidan dan
jenis puskesmas
e. Pembahasan
maternal diartikan sebagai kesehatan wanita selama kehamilan,
persalinan, dan post partum. Walaupun untuk sebagian wanita hal ini
merupakan pengalaman yang menyenangkan tetapi tak jarang pula
kondisi ini berhubungan dengan penderitaan, kesakitan, dan bahkan
kematian. Menurut WHO, kematian maternal merupakan kematian
yang dialami wanita ketika hamil atau 42 hari pasca terminasi
kehamilan, akibat berbagai kasus yang berhubungan dengan
kehamilan atau manajemennya tetapi tidak disebabkan oleh
kecelakaan.7
Target Millenium Development Goals nomor 5 adalah menurunkan
Maternal Mortality Ratio (MMR) sebesar tiga perempat pada tahun
2015 dibandingkan pencapaian tahun 1990. Analisa menunjukkan
penurunan yang terjadi lebih rendah dari penurunan yang ditargetkan
(5,5%). Kurang lebih tiga perempat dari kematian maternal

13
disebabkan oleh penyebab langsung, seperti perdarahan obstetrik,
sepsis, persalinan lama (obstruksi), hipertensive disorder. Mortalitas
maternal merupakan akibat dari kombinasi faktor biologi, medis, dan
sosial. Di beberapa negara berkembang, hambatan terhadap pelayanan
kesehatan mencegah perempuan untuk memperoleh manfaat dari
intervensi penyelamatan nyawa (life saving intervention). Persalinan
di rumah sering menjadi pilihan perempuan dari golongan ekonomi
lemah. Sebagian besar persalinan di rumah dilakukan tanpa
pertolongan tenaga kesehatan terlatih. Badan Kesehatan Dunia
(WHO) memperkirakan sekitar 60% persalinan di negara
berpenghasilan rendah dilakukan di luar fasilitas kesehatan, dengan
47% diantaranya dilakukan dengan bantuan dukun bayi, angota
keluarga, atau tanpa bantuan siapapun. Suatu studi di Zambia
menunjukkan sekalipun 96% responden menginginkan melahirkan di
klinik bersalin, namun hanya 45% yang melakukannya Hal ini
disebabkan oleh jauhnya jarak, kurang memadainya transportasi,
biaya, kurangnya pendidikan kesehatan selama kunjungan antenatal,
kurangnya petugas dan kurangnya kemampuan petugas.
Keterlambatan dalam penanganan dapat saja terjadi pada semua tahap,
mulai dari keterlambatan untuk memutuskan pergi ke klinik bersalin
atau meminta pertologan petugas kesehatan (keterlambatan tahap I),
ataupun keterlambatan akibat waktu tempuh ke fasilitas pelayanan
kesehatan (keterlambatan tahap II).
Di Indonesia, angka kematian ibu menunjukkan penurunan dari
307 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2002 menjadi 228 per
100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007, namun meningkat kembali
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2012.2 Perlu
dilakukan penggunaan sumber daya kesehatan secara efektif untuk
mengatasi berbagai hambatan (bottleneck) dalam kesehatan ibu,
seperti sumber daya manusia, infrastruktur, sistem informasi
kesehatan, rantai logistik, dan kapasitas manajerial.

14
Idealnya, sistem registrasi sipil dengan penambahan item penyebab
kematian akan menyediakan data yang akurat tingkat mortalitas
maternal dan penyebab kematian maternal. Pada negara-negara
dengan aplikasi sistem registrasi sipil yang tidak lengkap, sulit untuk
mengukur secara akurat tingkat mortalitas maternal. Hal ini selain
dikarenakan tidak tercantumnya kematian maternal pada usia
reproduktif secara lengkap, juga karena penyebab kematiannya tidak
diketahui secara pasti. Diprediksikan pada tahun 2010 terdapat
sejumlah 287.000 kematian maternal (rentang : 230.000 – 398.000) di
seluruh dunia, dengan MMR sebesar 210 per 100.000 kelahiran hidup
(rentang : 170 – 300 per 100.000 kelahiran hidup), Negara
berkembang menyumbang sekitar 99% dari kematian maternal global
dengan MMR 15x lebih tinggi daripada negara maju. Terdapat 2
negara yang menyumbang sepertiga dari jumlah keseluruhan kematian
maternal, India 19% (56.000 kematian) dan Nigeria 14% (40,000
kematian). Indonesia dengan jumlah kematian sebanyak 9600 kasus
dikategorikan termasuk ke dalam negara yang berkontribusi 3% – 5%
kematian maternal global.10 Berbagai faktor dapat menyebabkan
penurunan mortalitas maternal global antara tahun 1990 – 2010.
Selain dikarenakan peningkatan sistem kesehatan, beberapa faktor lain
di luar sektor kesehatan juga memiliki peran dalam penurunan
mortalitas tersebut, misalnya peningkatan pendidikan wanita, dan
peningkatan akses fisik ke fasilitas kesehatan. Dikarenakan
kontekstual setiap negara yang berbeda, maka tidaklah memungkinkan
untuk secara penuh menjelaskan mengapa terdapat negara-negara
yang mengalami penurunan lebih baik daripada negara-negara
lainnya. Pada periode 1990 – 2009, beberapa indikator MDGs No.5
juga menunjukkan perbaikan, misalnya proporsi persalinan oleh
tenaga kesehatan terlatih meningkat menjadi 65% dibandingkan 55%
pada tahun 1990, demikian pula dengan proporsi ibu hamil yang

15
sedikitnya kontak dengan tenaga kesehatan terlatih dari 64% menjadi
81%, dan kunjungan antenatal care 4+ dari 35% menjadi 51%.
Di Indonesia, data SDKI menunjukkan terjadinya peningkatan
kunjungan antenatal care (ANC) minimal 4 kali selama masa
kehamilan menjadi 87,8% pada tahun 2012 dibandingkan 81,5% pada
tahun 2007. Kunjungan ANC yang sesuai standar waktu minimal yang
ditentukan hanya 73,5% (1 kali di Trimester I, 1 kali di Trimester II,
dan 2 kali di Trimester III). Jenis pelayanan yang didapat selama
ANC, pemeriksaan tinggi fundus (98,0%), pemeriksaan tekanan darah
(96,0%), timbang berat badan (94,9%), konseling (84,1%), pemberian
tablet tambah darah (75,5%), pengukuran tinggi badan (47,2%),
pemeriksaan urine (47,7%), pemeriksaan darah (41,0%), dan
imunisasi tetanus toksoid (TT) minimal 2 kali selama masa hamil
45,4%.2 Dalam beberapa hal hasil ini memiliki kesesuaian dengan
temuan penelitian ini, namun dalam beberapa hal lain memiliki
perbedaan. Hal ini dapat disebabkan karena perbedaan metodologi
dari kedua penelitian tersebut, dimana pada penelitian ini angka-angka
diperoleh dari hasil observasi langsung terhadap pelayanan antenatal
care yang diberikan oleh bidan di puskesmas terhadap ibu hamil
trimester III.
Peningkatan penggunaan kontrasepsi diperkirakan juga
berpengaruh terhadap penurunan angka kematian ibu. Antara tahun
2000 – 2005, angka Total Fertility Rate (TFR) global adalah 2,65, ini
merupakan setengah dari periode tahun 1950 – 1955. Sebagai
akibatnya di beberapa negara angka kelahiran juga mengalami
penurunan. India misalnya, kelahiran turun dari 27 juta menjadi 24
juta, dan secara langsung berkontribusi terhadap penurunan 9%
kematian maternal. Peningkatan pelayanan keluarga berencana juga
dapat meningkatkan pemahaman mengenai bagaimana
menghindarkan kehamilan yang tidak diinginkan, menunda kehamilan
dan menjamin keamanan jarak antar persalinan. Suatu studi di China

16
menunjukkan wanita yang tidak mengikuti program keluarga
berencana memiliki risiko mortalitas maternal dua kali dibanding
wanita yang mengikuti program tersebut.12 Kurangnya ketersediaan
pelayanan kesehatan maternal dan kondisi sosial ekonomi
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap mortalitas
maternal.12 Pelayanan antenatal dan pelayanan kontrasepsi memiliki
peranan dalam mencegah kematian maternal. Beberapa studi
menunjukkan pengaruh antenatal terhadap kematian maternal,
misalnya skrining resiko antenatal di Jawa Timur yang berhubungan
dengan menurunnya mortalitas maternal. Hal yang sama juga terjadi
di Afrika Selatan, dimana terdapat perbedaan dalam MMR pasien
yang menerima antenatal care di rumah sakit tersier dengan pasien
yang tidak menerima antenatal care di rumah sakit tersebut, serta
dengan yang tidak menerima antenatal care sama sekali
(29,8/100.000 kelahiran hidup berbanding 304,7/100.0000 kelahiran
hidup dan 348,5/100.0000 kelahiran hidup).
Suatu studi yang dilakukan di Surabaya menunjukkan faktor-faktor
sosial ekonomi, seperti tinggal di daerah rural, pekerjaan, kurangnya
higiene dan kurang adekuatnya antenatal care memiliki pengaruh
terhadap kematian ibu. Faktor-faktor risiko yang signifikan dalam
studi tersebut antara lain tinggal di luar Surabaya (OR = 11,7, 95% CI
= 5,0 – 29,2), tidak bekerja (OR= 4,4, 95% CI = 1,7 – 13,8),
ketidaktersediaan fasilitas jamban (OR= 2,9, CI 95% = 1,0 – 7,7), < 4
antenatal visits (OR=2,5, 95% CI=1,1- 5,5), dan kontak pertama
dengan fasilitas kesehatan setelah 4 bulan kehamilan (OR=3,0, CI
95%= 1,3-7,0). Tingkat pendidikan tidak menjadi faktor risiko dalam
studi tersebut. Tidak jarang ditemukan pasien sudah dalam kondisi
yang serius ketika tiba di rumah sakit. Sebagian besar kematian
maternal dapat dicegah jika kondisi yang inadekuat sudah dapat
dikenali dini dan jika ibu hamil memiliki akses yang lebih dini ke
palayanan kesehatan dasar. Di daerah rural, kurangnya fasilitas medis

17
dan informasi mengenai persalinan yang aman mengurangi
kemungkinan ibu hamil untuk menggunakan pelayanan kesehatan.
Pendidikan kesehatan mengenai kehamilan dan persalinan, serta
peningkatan pelayanan kesehatan dasar dapat membantu ibu hamil
menggunakan pelayanan kesehatan.
Kondisi ini sejalan dengan studi lain yang dilakukan di Kenya yang
menunjukkan tempat tinggal, kesejahteraan, tingkat pendidikan, etnis
(suku bangsa), paritas, status pernikahan, dan usia saat bersalin anak
terakhir memiliki pengaruh yang kuat pada waktu melakukan
kunjungan pertama ANC dan tipe persalinan yang diterima. Temuan
utama dari studi ini adalah adanya hubungan yang kuat antara waktu
melakukan kunjungan pertama ANC dan penggunaan persalinan oleh
tenaga kesehatan terlatih. Studi ini mengkonfirmasikan bahwa waktu
melakukan kunjungan pertama ANC adalah pintu masuk yang penting
untuk pelayanan persalinan, dimana ibu hamil yang melakukan
kunjungan pertama pada awal kehamilan akan cenderung
menggunakan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih
daripada ibu hamil yang melakukan kunjungan pertama di usia
kehamilan yang lebih lanjut.7 Hal ini sejalan dengan studi yang
dilakukan oleh Mengistu dan Tafere, 2011,13 bahwa ibu hamil yang
melakukan kunjungan antenatal memiliki peluang hampir 8 kali lebih
besar untuk bersalin di pelayanan kesehatan dibanding ibu hamil yang
tidak melakukan kunjungan antenatal (OR=7,70, CI 95% 7,02 – 8,43).
Antenatal care dapat membantu ibu hamil mempersiapkan persalinan,
memperoleh informasi mengenai komplikasi persalinan dan
keuntungan bersalin dengan tenaga kesehatan terlatih. Antenatal care
yang dilakukan oleh petugas terlatih memungkinkan terdeteksinya
masalah yang dihadapi ibu hamil yang membutuhkan pelayanan
khusus. Kondisi-kondisi tersebut antara lain HIV, Sifilis, dan Infeksi
Menular Seksual lainnya, malnutrisi, tuberkulosis, anemia, perdarahan
jalan lahir, pre eklampsia, eklampsia, fetal distress, dan posisi

18
abnormal janin setelah 26 minggu yang mungkin dapat
membahayakan jiwa. Penanganan dini terhadap kondisi tersebut dapat
membuat perbedaan antara keselamatan dan kematian yang akan
dialami oleh ibu hamil.
WHO merekomendasikan untuk melaku-kan kunjungan 4 kali ibu
hamil dengan kunjungan pertama pada trimester pertama (idealnya
sebelum 12 minggu namun tidak lebih dari 16 minggu), pada 24 – 48
minggu, dan pada umur kehamilan 32 minggu dan 36 minggu. Setiap
kunjungan semestinya meliputi pemeriksaan yang sesuai dengan
kondisi kehamilan ibu hamil dan membantunya untuk mempersiapkan
persalinan dan perawatan bayi baru lahir. Jika ditemukan masalah atau
potensi masalah, maka frekuensi pemeriksaan antenatal harus lebih
sering dilakukan. Fokus pemeriksaan antenatal adalah pada promosi
kesehatan dan pencegahan penyakit, deteksi dini dan penanganan
komplikasi dan penyakit yang dialami kini, serta persiapan persalinan
dan komplikasi.

B. Survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan INC di


komunitas
1. Pelayanan Persalinan yang Berfokus pada Pasien: Perspektif Pasien
Pelayanan kesehatan terhadap ibu menjadi fokus utama pengembangan
perawatan persalinan. Untuk melakukan penilaian peningkatan pelayanan
yang berfokus pada pasien, biasanya perspektif dari provider perawatan
persalinan dan regulator lebih dominan. Sehingga penting untuk mengetahui
perspektif dari ibu yang memperoleh layanan persalinan tersebut.
Dalam tugas ini kami akan memaparkan hasil penelitian yang bertujuan
untuk menganalisa perspektif pasien perawatan persalinan dan untuk
memperoleh rekomendasi upaya meningkatkan pelayanan yang berfokus
pada pasien (client-centred care). Penelitian yang dilaksanakan merupakan
penelitian kualitatif, dengan membandingkan 6 grup diskusi terarah (Focus
Group Disscussion). Responden yang berpartisipasi sejumlah 43 orang

19
dengan 20 pertanyaan semi terstruktur. Sedangkan kriteria responden yang
berpartisipasi dalam penelitian ini adalah pasien ibu yang telah menerima
pelayanan persalinan kurang dari 1 tahun di wilayah North-West
Netherlands.
Isu penelitian yang mengangkat mengenai pelayanan berfokus pada pasien
sudah banyak mendapat perhatian di berbagai negara di dunia. Konsep
pelayanan tersebut direkomendasikan untuk diterapkan, yang juga bertujuan
untuk meningkatkan mutu pelayanan persalinan bagi ibu. Pengembangan ini
merupakan hasil dari adanya pengakuan yang menyatakan bahwa sistem
pelayanan kesehatan seharusnya tidak hanya berfokus pada dokter, namun
juga terintegrasi dengan perspektif pasien.
Sedangkan di Belanda, yang merupakan lokasi penelitian ini dilaksanakan,
mengkategorikan sistem pelayanan persalinan menjadi:
a. Community-based primary Care
b. Hospital-based Secondary Care
c. Specialized Academic Tertiary Care
Pada prinsipnya, perawatan primer yang dipimpin oleh bidan disediakan
untuk wanita yang berisiko rendah komplikasi selama kehamilan atau
persalinan. Wanita yang dianggap memiliki risiko komplikasi sedang atau
tinggi menerima perawatan sekunder dan tersier yang dipimpin dokter
kandungan. Selama perawatan mereka, dapat-dan sering kali-bergeser di
antara level yang berbeda, tergantung pada status risikonya. Konsep
perawatan terpadu ini dinilai dapat menjadi sarana untuk mengatasi berbagai
pengalaman negatif yang dapat timbul pada proses rujukan.
Untuk memadukan layanan perawatan bersalin di Belanda, optimalisasi
koordinasi dan kolaborasi antara kategori tiga divisi tersebut diperlukan.
Selain itu, perusahaan asuransi kesehatan juga telah mengupayakan kerja
sama mereka dengan penyedia layanan kesehatan.
Untuk benar-benar menempatkan perempuan di pusat layanan perawatan
bersalin, preferensi mereka sendiri harus dipertimbangkan.

20
Tinjauan global sistematis tentang penelitian kualitatif tentang perspektif
perempuan tentang persalinan yang dilakukan oleh Downe et al. (2018)
mengungkapkan bahwa sebagian besar wanita terutama menghargai
memiliki pengalaman positif yang memenuhi atau melampaui keyakinan
dan harapan pribadi dan sosial budaya mereka.
Untuk menganalisis persepektif pasien ibu terhadap pelayanan kesehatan
yang berfokus pada pasien, maka diintegrasikan model perawatan yang
berpusat pada wanita yang ada (Leap, 2009; Pope et al., 2001; Carolan dan
Hodnett, 2007; Berg et al., 2012; Hunter et al., 2017; Maputle dan
Donavon, 2010, 2013) dan model perawatan yang berpusat pada pasien dari
Maassen et al. (2017). Empat dimensi (pasien, profesional kesehatan,
interaksi dan organisasi layanan kesehatan) dari model perawatan yang
berpusat pada pasien Maassen et al. (2017) digunakan sebagai dasar untuk
kerangka kerja. Studi ini, yang dilakukan pada periode 2014-2016, adalah
bagian dari studi monitoring dan evaluasi yang lebih besar dari jaringan
perawatan bersalin dii wilayah North-West Netherlands.
Peserta diskusi kelompok terarah direkrut melalui pengumuman dan
selebaran yang disebarluaskan oleh para guru kursus kehamilan (seperti
pernapasan saat lahir atau terapi latihan mensendieck). Metode pengambilan
sampel purposive dipergunakan dalam penelitian ini, dengan kriteria
responden berlatar belakang pendidikan tingkat rendah atau menengah.
Kriteria tersebut ditetapkan karena pada wawancara/diskusi awal diperoleh
hasil kelompok diskusi terarah dengan pasien berpendidikan tinggi memiliki
representasi awal yang ‘berlebihan’. Responden pasien ibu tersebut direkrut
dari sebuah rumah sakit dan 3 klinik anak yang memiliki dukungan terhadap
perawatan bersalin bagi pasien berisiko. Pendekatan yang dipergunakan
pada saat rekrutmen adalah dengan melakukan kontak tatap muka langsung
dengan calon responden, misalnya dengan mendekati pasien ibu di ruang
tunggu klinik anak, dan selanjutnya apabila calon responden berminat dapat
dihubungi melalui email atau telpon untuk perencanaan wawancara.

21
Wawancara dan diskusi kelompok terarah direkam dan ditrankrip.
Kemudian transkrip tersebut dianalisis menggunakan program perangkat
lunak MAXqda 2007. Pada proses transkrip diterapkan kombinasi kode
terbuka dan tertutup. Transkrip kode tersebut dianalisis oleh para peneliti
untuk meningkatkan validitas internal penelitian. Data penelitian dianalisis
secara anonim dan selanjutnya seluruh responden memberikan persetujuan
lisan untuk partisipasi mereka. Peserta kelompok diskusi terarah (Focus
Group Disscussion) menerima ringkasan diskusi sebagai metode kroscek
oleh anggota.
Peserta diskusi pada umumnya memiliki perspektif positif tentang
perawatan bersalin yang mereka terima, tetapi masih terdapat pelayanan
yang diterima yang tidak selalu ‘responsif’ terhadap keinginan dan
kebutuhan mereka. Masalah-masalah yang diidentifikasi oleh pasien ibu
tersebut mencakup keempat dimensi (klien, interaksi, profesional dan
organisasi) dari kerangka kerja pelayanan kesehatan yang berfokus pada
pasien.
a. Dimensi klien
Dimensi ini mencakup pada pengalaman responden terhadap lima
elemen dimensi klien dari kerangka kerja pelayanan berfokus pada
pasien: diperlakukan sebagai pribadi, mampu berpartisipasi, mandiri,
dihormati, dan mendapat informasi dengan baik.
1. Diperlakukan sebagai pribadi
Berbagai responden menjawab perlunya layanan perawatan untuk
fokus pada klien sebagai pribadi yang 'utuh'. Aspek-aspek yang tidak
terkait dengan kehamilan, seperti kesehatan mental atau situasi
keluarga mereka, sangat penting selama proses merawat diri mereka
sendiri dan bayi mereka (masa depan).
2. Mampu berpartisipasi
Terkait partisipasi, responden umumnya menggambarkan perlunya
profesional kesehatan untuk terlibat dengan mempertimbangkan
kebutuhan dan keinginan mereka.

22
3. otonomi klien
Responden umumnya memiliki pendapat positif tentang
kemungkinan untuk menjadi lebih mandiri melalui pengambilan
keputusan bersama dan tersedianya informasi tentang manajemen
diri.
4. Dihormati
Responden merasa perlu untuk dihormati, Terutama responden
dengan latar belakang pendidikan yang lebih rendah, menyebutkan
perlunya untuk merasa dihargai.
5. Di beritahu dengan baik
Hampir semua responden memiliki pendapat positif tentang
informasi verbal dan tertulis yang diberikan selama seluruh proses
perawatan.
b. Dimensi interaksi
Responden membahas unsur-unsur 'interaksi' berikut selama proses
diskusi: keterlibatan keluarga dan teman-teman, komunikasi terbuka
dan interaksi individual.
1. Keterlibatan keluarga dan teman-teman
Menurut sejumlah besar responden, pasangan mereka, dan anak-anak
mereka, hanya sedikit yang terlibat selama proses perawatan
bersalin. Komunikasi provider kesehatan hampir semata-mata
diarahkan pada ibu
2. Komunikasi terbuka
Responden menyebutkan bahwa bidan perawatan primer pada
umumnya transparan mengenai proses perawatan persalinan mereka.
Komunikasi oleh staf rumah sakit dialami oleh sebagian besar
responden dirasa kurang transparan. Responden, misalnya, tidak
mendapat informasi tentang perkembangan dan kemungkinan pilihan
selama persalinan dan waktu serta prosedur pemulangan. Selain itu,
beberapa responden menyebutkan situasi di mana mereka menerima
informasi yang berbeda dari profesional perawatan yang berbeda di

23
rumah sakit. Responden berpendapat komunikasi yang ambigu
muncul dari perbedaan dalam hirarki (penentangan keputusan ahli
ginekologi yang dilatih) atau tanggung jawab (bidan tidak diizinkan
untuk memberikan putusan). Kurangnya transparansi informasi
menyebabkan ekspektasi buruk dan perasaan tidak aman bagi pasien.
3. Interaksi secara individual
Secara umum, responden memiliki pendapat positif mengenai
preferensi individu mereka yang dipertimbangkan oleh provider
pelayanan kesehatan. Mereka menghargai bahwa bidan perawatan
primer menunjukkan minat dan menyampaikan tentang konten
rencana kelahiran mereka (spesifikasi tertulis untuk manajemen
persalinan, persalinan dan pemulihan). Namun disisi lain staf rumah
sakit,, sering tidak mendapat informasi. Kurangnya kesadaran
tentang rencana kelahiran staf rumah sakit menimbulkan
kekecewaan bagi pasien.
c. Dimensi Profesional Kesehatan
Responden menyampaikan beberapa elemen berikut yang termasuk
dalam dimensi 'profesional kesehatan': perspektif holistik, sikap peduli,
fleksibilitas dan kompetensi.
1. Perspektif holistik
Sehubungan dengan perawatan nifas, beberapa responden
menyebutkan bahwa perhatian terutama difokuskan pada bayi baru
lahir dan sedikit perhatian diberikan pada kesejahteraan responden
sebagai pasien. Bagi beberapa responden. kurangnya dukungan
mengenai masalah fisik atau psikologis mereka mengakibatkan
perasaan tidak berdaya.
2. Sikap peduli
Hampir responden, tetapi terutama mereka yang kurang
berpendidikan, menghargai kontak yang hangat dengan profesional
perawatan persalinan. Mengenai sikap peduli ini, terdapat perbedaan
antara perawatan primer dan sekunder/tersier yang menjadi perhatian

24
mereka. Menurut sebagian besar responden, bidan perawatan primer
menunjukkan minat pada mereka, termasuk setelah melahirkan, dan
penuh perhatian saat memberikan perawatan. Di rumah sakit, banyak
responden merasa bahwa staf medis lebih fokus pada aspek medis
perawatan persalinan, serta kurang memperhatikan kontak pribadi
dan dukungan emosional.
3. Fleksibelitas aturan
Sebagian besar responden menyatakan penghargaan mereka ketika
profesional perawatan persalinan menunjukkan fleksibilitas terhadap
prosedur (misalnya petugas kesehatan yang juga memperhatikan
perasaan personal pasien dan tidak hanya terpaku pada
prosedur/protokol)
4. Kompeten
Menurut responden, para profesional perawatan persalinan pada
umumnya digambarkan memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Komentar kritis utama yang disebutkan oleh beberapa responden
adalah bahwa staf rumah sakit tidak memiliki pengetahuan khusus
mengenai menyusui.
d. Dimensi oraganisasi layananan kesehatan
Organisasi layanan kesehatan memainkan peran utama dalam
pengalaman responden sebagai pasien, dan membahas elemen-elemen
yang berfokus pada pasien, meliputi: perawatan berkelanjutan, tim
kohesif, dan perawatan yang dapat diakses.
1. Perawatan berkelanjutan
Responden menyebutkan kurangnya kontinuitas selama proses
transfer (yang tidak direncanakan dan seringkali akut) ke dan di
dalam rumah sakit. Beberapa responden pasien mengatakan bahwa
petugas rumah sakit tidak mengetahui informasi dalam dokumen
transfer.

25
2. Tim kohesif
Mayoritas responden pasien mengalami kurangnya kekompakan
personil rumah sakit: responden pasien tidak tahu siapa dan apa
fungsi atau tanggung jawab setiap orang. Selain itu, responden
menyebutkan bahwa staf rumah sakit hanya memiliki kesadaran
terbatas tentang situasi mereka setelah pergantian jadwal jaga
bergilir dan bahwa mereka menerima informasi yang berbeda dari
staf rumah sakit yang berbeda. Sebagai hasilnya, para responden
pasien ini ragu-ragu tentang apa yang harus dilakukan.
3. Perawat yang dapat diakses
Responden sebagian besar positif tentang aksesibilitas bidan
perawatan primer, terutama ketersediaan mereka selama 24/7.
Sedangkan di rumah sakit, responden pasien sering menggambarkan
teradapat waktu dimana profesional perawatan bersalin hampir tidak
tersedia.
Studi ini menunjukkan bahwa untuk mewujudkan pelayanan
kesehatan yang berfokus pada pasien maka layanan perawatan persalinan
harus responsif terhadap kebutuhan pasien ibu yang mengacu pada
keempat dimensi (klien, interaksi, profesional dan organisasi). Untuk
langkah selanjutnya harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik,
meningkatkan penekanan pada model sosial dalam asuhan maternitas.
Hal ini mensyaratkan pemberdayaan profesional perawatan persalinan
untuk memiliki interaksi reflektif dengan pasien ibu (terutama dengan
latar belakang kurang berpendidikan) melalui keterampilan konversi dan
refleksif dalam sistem perawatan yang fleksibel, serta menyesuaikan
dengan keinginan dan kebutuhan spesifik pasien.

26
C. Survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan
postnatal di propinsi jawa barat
1. Metodologi
a. Kerangka Pikir
Kematian ibu di negara berkembang bukan hanya persoalan
emosional karena kehilangan anggota keluarga, tetapi juga berdampak
terhadap anak, keluarga serta masyarakat. Kondisi ini juga berdampak
pada ketahanan ekonomi keluarga. Dampak yang ditimbulkan menjadi
efek domino terhadap keberlanjutan keluarga, bahkan dampak
negatifnya terjadi perpecahan keluarga.

Gambar 1. Kerangka pikir kajian


Upaya penurunan AKI saat ini masih belum optimal. Perbedaan data
AKI sering terjadi di berbagai wilayah di Indonesia. Antar pihak
memiliki dasar perhitungan, sehingga program aksi yang dikembangkan
belum tepat sasaran. Selain itu, persoalan birokrasi juga dapat

27
menghambat pelaksanaan program. Disamping itu, persoalan
pengetahuan kesehatan ibu, kepedulian keluarga (masyarakat) serta
kemiskinan masih menjadi faktor kritis yang harus ditangani oleh
semua pihak yang terkait. Organisasi perempuan yang merupakan
elemen masyarakat dituntut dapat berpartisipasi sesuai dengan visi-misi
kelembagaannya serta bersinergi dengan pihak lainnya. Gambar 1
memperlihatkan bahwa partisipasi organisasi perempuan dibutuhkan
kondisi yang mendukung, diantaranya: komitmen organisasi yang kuat,
kemitraan yang harmonis serta kapabilitas SDM yang optimal. Kondisi
tersebut dapat terbangun jika organisasi perempuan memiliki efektivitas
kelembagaan untuk bersinergi dengan pihak-pihak yang terkait melalui
program-program yang relevan dengan visi-misinya. Selain itu,
dibutuhkan prioritas strategi guna membangun komitmen dan
penguatan jejaring/kemitraan. Upaya pemberdayaan perempuan juga
dapat diperankan oleh organisasi masyarakat untuk membebaskan
perempuan dari kemiskinan, yang berpengaruh terhadap status
kesehatan dan sosial perempuan dalam keluarga.
b. Tahapan Kegiatan
Kajian “Partisipasi Organisasi Perempuan dalam Menurunkan
Angka Kematian Ibu di Propinsi Jawa Barat” ini rencana akan
dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Kajian menggunakan soft system methodology (SSM) dengan 7
tahapan, yaitu: 1) sebagai solusi. identifikasi situasi permasalahan
yang dihadapi; 2) mengekpresikan situasi permasalahan dalam
bentuk rich picture; 3) menyusun root definition yang sesuai dengan
sistem yang dikaji; 4) merancang model konseptual dengan
pendekatan sistem; 5) membandingkan model konseptual dengan
situasi permasalahan yang ada; 6) pembahasan untuk perubahan
yang diinginkan; dan 7) tindakan perbaikan sebagai solusi.
2. Penerapan SSM diawali dengan penyusunan Kerangka Acuan Kerja,
kemudian telaah pustaka, survai pakar, diskusi kelompok terarah

28
(focus groups discussion/FGD), wawancara mendalam dengan pihak
terkait maupun pakar serta analisis dan sintesis data.
3. Penjaminan kualitas dilakukakan dengan koordinasi antara
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
terkait penyusunan proposal, penyusunan rencana kerja, pemilihan
metode kajian dan instrumen analisis, dan pelaporan.
4. Verifikasi dan validasi melalui diseminasi dan penjaringan umpan
balik yang dilakukan dalam Seminar/Workshop dengan para pihak
yang berkepentingan.
5. Dukungan yang diperlukan untuk pelaksanaan kajian ini, seperti
pengadaan literatur, data dan informasi,
diskusi/rapat/seminar/workshop, pakar/nara sumber akan disediakan
oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
melalui deputi yang terkait. Gambaran umum tahapan seperti
disajikan berikut ini.
c. Survei Lapang
Survei lapang untuk pendalaman kajian akan dilaksanakan di
Kabupaten Cirebon. Pemilihan lokasi kajian didasarkan pertimbangan
kondisi angka kematian ibu yang relatif tinggi di Propinsi Jawa Barat.
Pada tahun 2014 angka kematian ibu di Kabupaten Cirebon sebesar 58
per 100.000 kelahiran hidup. AKI tersebut terjadi penurunan hingga 53
per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015. Melihat kondisi tersebut
ada indikasi upaya penurunan AKI di Kabupaten Cirebon berjalan
dengan baik. Keberhasilan tersebut tidak terlepas peran pemerintah dan
partisipasi masyarakat. Terkait partisipasi masyarakat, dalam kajian ini
diamati tingkat partisipasi organisasi perempuan.

2. Analisa situasional
Indikator Angka Kematian Ibu Maternal atau Angka Kematian Ibu
(AKI) atau Maternal Mortality Rate (MMR) menunjukan jumlah kematian
ibu karena kehamilan, persalinan dan masa nifas pada setiap 100 000

29
kelahiran hidup dalam satu wilayah pada kurun waktu tertentu. Sampai
saat ini AKI diperoleh dari survei – survei terbatas seperti yang tercantum
pada Tabel berikut ini. AKI berguna untuk menggambarkan tingkat
kesadaran perilaku hidup sehat, status gizi dan kesehatan ibu, kondisi
lingkungan, tingkat pelayanan kesehatan terutama untuk ibu hamil,
pelayanan kesehatan sewaktu ibu melahirkan dan masa nifas.
Beberapa determinan penting yang mempengaruhi AKI secara langsung
antara lain, status gizi, anemia pada kehamilan, keadaan tiga terlambat dan
empat terlalu. Faktor mendasar penyebab kematian ibu adalah tingkat
pendidikan ibu, kesehatan lingkungan fisik maupun budaya, keadaan
ekonomi keluarga dan pola kerja rumah tangga. Adanya pandangan
masyarakat bahwa ibu hamil, melahirkan dan menyusui adalah proses
alami, menyebabkan kematian ibu tidak diperlakukan secara khusus,
seperti dibiarkan dan membiarkan diri untuk bekerja berat, makan dengan
gizi dan porsi yang kurang memadai.
Survei yang dilaksanakan Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat
Tahun 2003 menunjukan bahwa AKI Provinsi Jawa Barat sebesar 321,15
per 100.000 kelahiran hidup dengan pembagian perkelompok wilayah.
Pada umumnya kematian ibu terjadi pada saat melahirkan (60,87%),
waktu nifas (30,43%) dan waktu hamil (8,70%). Hal ini sejalan dengan
data mengenai jumlah kematian ibu maternal dari laporan sarana
pelayanan kesehatan. Ditinjau dari sudut pendidikannya, maka diduga
terdapat korelasi yang kuat antara pendidikan perempuan dengan besarnya
Angka Kematian ibu, seperti di daerah Pantura dimana AKI-nya tinggi
dimana ternyata perempuan berumur 10 tahun keatas yang tidak
bersekolah mencapai 15,53%.
Berdasarkan Profil Kesehatan Kabupaten/Kota tahun 2012 jumlah
kematian ibu maternal yang terlaporkan sebanyak 818 orang
(87,99/100.000 kelahiran hidup), tertinggi terdapat di Kabupaten
Sukabumi dan Cirebon dan terendah di Kota Cirebon dan Kota Bandung.

30
3. Strategi pengembangan
a. Pendekatan Sistem
Organisasi massa untuk meningkatkan perannya dalam pembangunan,
tentu diperlukan perubahan. Perubahan yang terjadi kadang tidak
terstruktur atau berstruktur rumit (ill-structured), sehingga perlu
dilakukan perencanaan strategi pendukung perubahannya. Oleh karena
itu pemikiran sistem diperlukan untuk mencari keterpaduan aspek-
aspek perubahan agar pemahaman atau pengetahuan perubahannya
utuh. Dengan menggunakan analisis CATWOE teridentifikasi arah
perubahan, pelaku serta pihak yang terlibat didalamnya. Untuk
penguatan organisasi massa perempuan berdasarkan analisis tersebut
dijelaskan sebagai berikut.
1. Customer; penerima manfaat pengembangan organisasi perempuan
adalah KPPPA dan Masyarakat,
2. Actor; pelaku utama pengembangan organisasi perempuan adalah
organisasi massa perempuan,
3. Transformation; perubahan yang dilakukan untuk pengembangan
organisisasi perempuan melalui perkuatan pemahaman dan
pengetahuan organisasi perempuan tentang konstruksi sosial dalam
relasi gender,
4. World view; paradigma perubahan untuk pengembangan organisasi
perempuan yaitu kepekaan dan responsif terhadap berbagai
konstruksi sosial dalam masyarakat,
5. Owner; pihak yang dapat melakukan perubahan dan memiliki
kewenangan untuk pengembangan adalah pimpinan organisasi
yang progresif,
6. Environment constraint; hal-hal yang menjadi kendala dalam
pengembangan organisasi perempuan, yaitu Peran strategis
organisasi perempuan yang belum banyak difahami dalam
mengerakan masyarakat; Tokoh masyarakat yang menjadi teladan
masyarakat masih ada mempertahankan nilai sosial-budaya yang

31
tidak relevan dengan perkembangan; serta Kapasitas SDM, sumber
daya organisasi, dan sarana prasarana.
Hasil analisis tersebut juga digunakan sebagai dasar untuk
menyusun definisi jangkar penguatan organisasi massa perempuan agar
lebih berperan aktif dalam pembangunan, khususnya dalam
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak. Definisi jangkar
yang sesuai dan terkait isu kematian ibu diformulasikan sebagai berikut:
Meningkatkan kapasitas SDM dan kapabilitas organisasi dalam
membangun kesadaran gender dalam masyarakat yang didukung
dengan peningkatan prasarana-sarana organisasi, melalui mekanisme
kaderisasi dalam jumlah dan kualitas serta pembangunan pusat-pusat
pelayanan masyarakat sampai pelosok desa, sehingga mampu mengatasi
kekurangan kader organisasi, memperluas jangkauan pelayanan
organisasi yang lebih peka dan responsif terhadap isu gender dan
perempuan di masyarakat agar mensukseskan program pembangunan.
Berdasarkan pendekatan sistem tersebut upaya yang dilakukan
untuk peningkatan partisipasi organisasi perempuan diantaranya
perkuatan kapasitas SDM, kapabilitas organisasi melalui kaderisasi
serta pembangunan prasarana-sarana pendukungnya.
b. Peningkatan Partisipasi Organisasi Perempuan
Untuk peningkatan partisipasi organisasi perempuan berdasarkan
aspek keterlibatan, kontribusi serta tanggungjawabnya, berdasarkan
observasi program aksi yang dilaksanakan oleh Aisyiyah di Kabupaten
Cirebon, diperoleh beberapa kondisi organisasi perempuan sebagai
berikut:
1. Instansi yang memiliki kewenangan memberikan pelayanan
kesehatan masyarakat sebagai mitra organisasi perempuan belum
memiliki keterbukaan informasi dan jaringan. Hal ini
mengakibatkan kesulitan koordinasi dengan pihak terkait lainnya.

32
2. Peraturan instansi pelayanan kesehatan yang sulit diterapkan oleh
organsisasi perempuan yang memiliki kepedulian terhadap
pelayanan kesehatan.
3. Organisasi perempuan belum dilibatkan dalam
MUSREMBANGDA (Musyawarah Perencanaan Pembangunan
Daerah).
Namun demikian, organisasi Aisyiyah telah melaksanakan program
aksinya berpartisipasi menurunkan AKI dan pemberdayaan perempuan,
seperti diuraikan dalam Tabel 9 berikut. Program aksi Aisyiyah sebagian
besar didanai dari program MAMPU, meskipun diantara programnya
memiliki kemitraan dengan BPJS, Puskesmas dan perguruan tinggi
Muhamaddiyah. Aisyiyah juga memiliki program aksi yang belum
mendapatkan pendanaan, sehingga masih diikutkan dalam program
MAMPU.

D. Survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan BBL


dan Neonatus
Angka Kematian Bayi berhasil diturunkan secara tajam dari 68 per 1.000
kelahiran hidup pada tahun 1990an menjadi 34 per 1.000 kelahiran hidup
(SDKI 2007). Penurunan kematian neonatal berlangsung lambat yaitu dari 32
per 1.000 kelahiran hidup pada tahun 1990an menjadi 19 per 1.000 kelahiran
hidup (SDKI 2007), dimana 55,8% dari kematian bayi terjadi pada periode
neonatal, sekitar 78,5%-nya terjadi pada umur 0-6 hari (Riskesdas 2007).
Masalah utama bayi baru lahir pada masa perinatal dapat menyebabkan
kematian, kesakitan dan kecacatan. Hal ini merupakan akibat dari kondisi
kesehatan ibu yang jelek, perawatan selama kehamilan yang tidak adekuat,
penanganan selama persalinan yang tidak tepat dan tidak bersih, serta
perawatan neonatal yang tidak adekuat. Bila ibu meninggal saat melahirkan,
kesempatan hidup yang dimiliki bayinya menjadi semakin kecil. Kematian
neonatal tidak dapat diturunkan secara bermakna tanpa dukungan upaya
menurunkan kematian ibu dan meningkatkan kesehatan ibu. Perawatan

33
antenatal dan pertolongan persalinan sesuai standar, harus disertai dengan
perawatan neonatal yang adekuat dan upaya-upaya untuk menurunkan
kematian bayi akibat bayi berat lahir rendah, infeksi pasca lahir (seperti tetanus
neonatorum, sepsis), hipotermia dan asfiksia. Sebagian besar kematian
neonatal yang terjadi pasca lahir disebabkan oleh penyakit – penyakit yang
dapat dicegah dan diobati dengan biaya yang tidak mahal, mudah dilakukan,
bisa dikerjakan dan efektif. Intervensi imunisasi Tetanus Toxoid pada ibu
hamil menurunkan kematian neonatal hingga 33-58% (The Lancet Neonatal
Survival 2005).
Di negara berkembang, sekitar 3% bayi mengalami asfiksia lahir tingkat
sedang dan berat. Bayi asfiksia yang mampu bertahan hidup namun mengalami
kerusakan otak, jumlahnya cukup banyak. Hal ini disebabkan karena resusitasi
tidak adekuat atau salah prosedur. Resusitasi yang dilaksanakan secara adekuat
dapat mencegah kematian dan kecacatan pada bayi karena hipoksia. Intervensi
post natal terhadap peningkatan ketrampilan resusitasi bayi baru lahir dapat
menurunkan kematian neonatal hingga 6-42% (The Lancet Neonatal Survival
2005).

Sekitar 11,5 % bayi lahir dengan berat lahir rendah kurang dari 2500 gram
(Riskesdas 2007). Data dari SKRT 2001 menunjukkan bahwa Bayi Berat Lahir
Rendah (BBLR) merupakan salah satu faktor terpenting kematian neonatal.
Penyumbang utama kematian BBLR adalah prematuritas, infeksi, asfiksia
lahir, hipotermia dan pemberian ASI yang kurang adekuat. Beberapa penelitian
telah membuktikan bahwa kematian karena hipotermia pada bayi berat lahir
rendah (BBLR) dan bayi prematur jumlahnya cukup bermakna.
Perilaku/kebiasaan yang merugikan seperti memandikan bayi segera setelah
lahir atau tidak segera menyelimuti bayi setelah lahir, dapat meningkatkan
risiko hipotermia pada bayi baru lahir. Intervensi untuk menjaga bayi baru lahir
tetap hangat dapat menurunkan kematian neonatal sebanyak 18-42% (The
Lancet Neonatal Survival 2005).

34
Salah satu penyakit infeksi yang merupakan penyebab kematian bayi baru
lahir adalah Pneumonia, suatu infeksi yang dapat terjadi saat lahir atau setelah
lahir. Faktor risiko terpenting terjadinya Pneumonia adalah perawatan yang
tidak bersih, hipotermia dan pemberian ASI yang kurang adekuat. Pneumonia
pada bayi baru lahir gejalanya tidak jelas dan seringkali tidak diketahui sampai
keadaannya sudah sangat terlambat.
Air susu ibu (ASI) adalah makanan terbaik bagi bayi hingga berusia 6
bulan.Walaupun proporsi bayi yang pernah mendapat ASI cukup tinggi yaitu
95,7% (SDKI 2007), namun proporsi ASI eksklusif pada bayi 0 - 6 bulan
masih rendah yaitu 32,4% (SDKI 2007), demikian juga dengan proporsi bayi
mendapat ASI sekitar 1 jam setelah lahir yaitu 43,9% (SDKI 2007). Tidak
memberikan kolostrum merupakan salah satu kebiasaan merugikan yang sering
ditemukan. Pemberian ASI dapat menurunkan kematian neonatal hingga 55-
87% (The Lancet Neonatal Survival 2005).
Penurunan Angka Kematian Neonatal memerlukan upaya bersama tenaga
kesehatan dengan melibatkan dukun bayi, keluarga dan masyarakat dalam
memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas bagi ibu dan bayi baru lahir.
Untuk mengukur keberhasilan penerapan intervensi yang efektif dan efisien,
dapat dimonitor melalui indikator cakupan pelayanan yang mencerminkan
jangkauan dan kualitas pelayanan kesehatan bayi baru lahir. Penurunan angka
kematian neonatal dapat dicapai dengan memberikan pelayanan kesehatan
yang berkualitas dan berkesinambungan sejak bayi dalam kandungan, saat lahir
hingga masa neonatal.

35
E. Survey kesehatan yang dugunakan untuk peningkatan informasi tentang
KB : HAK KESEHATAN REPRODUKSI YANG PERLU
DIPERHATIKAN OLEH PROGRAM PELAYANAN KELUARGA
BERENCANA
Hak kesehatan reproduksi adalah hak asasi manusia yang seharusnya
diperoleh masyarakat khususnya akseptor Keluarga Berencana (KB) melalui
pelayanan KB berkualitas yang menjadi program pemerintah. Pelayanan
berkualitas termasuk kualitas medik, artinya menawarkan metode kontrasepsi
yang cocok dengan pelayanan yang tersedia, ditunjang dengan konseling yang
tepat, dan tenaga penyelenggaranya (provider) yang berkompeten secara
teknis. Pelayanan juga harus mengakomodasi harapan perempuan yang
membutuhkan hubungan interpersonal agar dapat diketahui pandangan dan
pendapat perempuan tersebut (POGI, 2003). Program KB bertujuan
mengendalikan fertilitas yang membutuhan metode kontrasepsi yang
berkualitas agar dapat meningkatkan kesehatan reproduksi dan kesehatan
seksual. Pelaksanaannya dipengaruhi sumberdaya pelaksanaan program KB,
cara pandang masyarakat sendiri terhadap kesehatan reproduksi dan pelayanan
KB, serta pemakaian alat kontrasepsi. Badan Kependudukan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) merupakan badan yang diberi tanggung jawab
dalam pengaturan laju pertambahan penduduk. BKKBN memiliki visi Seluruh
Keluarga Ikut KB” dan misi baru BKKBN yaitu “Mewujudkan Keluarga Kecil
Bahagia dan Sejahtera”. Kementerian Kesehatan memiliki kewajiban
menindaklanjuti tugas BKKBN dengan memberikan pelayanan KB kepada
masyarakat yang membutuhkan (BKKBN, 2010). Konferensi Internasional
tentang KB dan kependudukan di Kairo tahun 1994 menyetujui bahwa secara
umum akses terhadap pelayanan kesehatan reproduksi harus dapat diwujudkan
sampai tahun 2015. Hak reproduksi diurai dalam 12 hak yaitu hak untuk hidup,
mendapat kebebasan dan keamanan, kesetaraan dan kebebasan dari
diskriminasi, privasi, kebebasan berpikir, mendapat informasi dan edukasi,
memilih dan merencanakan berkeluarga, memutuskan memiliki anak,
pelayanan kesehatan, menikmati kemajuan iptek, kebebasan berserikat dan

36
berpartisipasi serta terbebas dari kesakitan dan kesalahan pengobatan (NFPA,
1995). Penggunaan alat kontrasepsi diperoleh melalui pelayanan yang
diselenggarakan oleh pelayanan KB baik pemerintah maupun swasta. Hasil
survei mini oleh BKKBN
menunjukkan bahwa sumber pelayanan swasta lebih banyak dilakukan
akseptor di kota Malang dengan pembiayaan mandiri sedang di Kabupaten
Kotim pelayanan lebih banyak di peroleh dari pemerintah dengan pembiayaan
gratis (BKKBN, 2010). Tujuan program KB bukan hanya sekadar
mengendalikan jumlah penduduk, tetapi juga membangun cara pandang
masyarakat terhadap visi tersebut. Dukungan kebijakan diharapkan sebagai
pendorong pelayanan kesehatan reproduksi termasuk di dalamnya Keluarga
Berencana dan alat kontrasepsi. Landasan hukum yang mengatur tentang
kesehatan reproduksi dan KB di Indonesia tertuang dalam berbagai peraturan
perundang undangan yang terbaru diatur dalam Undang-undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mulai berlaku pada tanggal diundangkan
13 Oktober 2009. Pengaturannya terdapat dalam Bab VI Upaya Kesehatan,
Bagian Keenam dengan judul Kesehatan Reproduksi. Dimulai dengan pasal 71
sampai pasal 77. Keluarga Berencana diatur secara khusus dalam
ketentuan pasal 78. Pengaturan tentang hak reproduksi dan KB dalam Undang-
undang No. 36 merupakan pengganti dari UU Kesehatan tahun 1992 yang telah
dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku. Peraturan pelaksanaan dari UU Kesehatan tahun
1992 yang belum diganti dengan yang baru serta tidak bertentangan dengan
Undang Undang No. 36 Tahun 2009 masih tetap berlaku. Sesuai dengan
ketentuan pasal 203 Undang undang No 36 Tahun 2009 disebutkan bahwa
“Pada saat Undang undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang
undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dinyatakan masih tetap
berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang
Undang ini”. Pengaturan sedemikian bermaksud mencegah kekosongan atau
kevakuman hukum. Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana juga diatur
dalam legislasi dan regulasi lain. BKKBN sebagai instansi non departemen

37
yang mengatur tentang organisasi dan tatakerja dalam Surat Keputusan Menteri
Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN No. 10/HK.010/B5/2001
Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja BKKBN Pusat dan Surat
Keputusan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan/Kepala BKKBN No.
74/HK.010/B5/2001 Tahun 2001 tentang Tata Kerja BKKBN Provinsi dan
Kabupaten/Kota. Melalui penelitian dan kajian implementasi kebijakan ini
diharapkan dapat memberikan masukan bagi pengambil kebijakan khususnya
tentang informasi KB kepada akseptor.
1. Metode
Jenis penelitian ini adalah observasional dengan mengkaji salah satu hak
reproduksi yaitu "hak mendapat informasi dan edukasi" yang dikaitkan
dengan kajian peraturan dan hukum terkait. Dilakukan analisis dokumen
peraturan perundang-undangan, data kualitatif dari wawancara dengan
informan yang terdiri dari sejumlah 8 orang akseptor KB (isteri) di setiap
puskesmas penelitian, wawancara dengan 2 orang PLKB di setiap
puskesmas dan FGD dengan para suami. Observasi kepada bidan saat
pelayanan KB suntik atau implant yang dilakukan untuk mengamati
praktek tindakan menyuntik obat KB atau memasang implant yang sesuai
standar operasional prosedur pada sebanyak 5 orang bidan di poli
KIA/KB per puskesmas dan mengamati konseling yang dilakukan
petugas. Penelitian dilaksanakan di 2 (dua) daerah yaitu kota Malang di
provinsi Jawa Timur (Jatim) dan kota Sampit di Kalimantan Tengah
(Kalteng), dengan waktu pelaksanaan 10 bulan (Maret sampai dengan
Desember 2011). Alasan pemilihan 2 propinsi tersebut adalah
berdasarkan gambaran persentase pengguna alat/cara KB yang cukup
tinggi di 2 propinsi tersebut yaitu Jatim 59,4% dan Kalteng 65,7% serta
perbedaan sosial budaya di kota Malang yang dihuni oleh masyarakat
dengan budaya arek dan kota Sampit dengan masyarakat budaya
Sampit/Dayak. Penelitian ini melakukan wawancara dan pengamatan
pelaksanaan pelayanan KB di puskesmas yang menjadi sampel penelitian
yaitu masing-masing di dua puskesmas di kota Malang (puskesmas

38
Arjuno dan puskesmas Gribig) dan kabupaten Kota Waringin
Timur/Kotim (puskesmas Ketapang-2 di kota Sampit dan puskesmas
Cembaga Mulya di kecamatan Cempaka). Puskesmas Arjuno yang
terletak di tengah kota dan di lingkungan perumahan elit, sedangkan
puskesmas Gribig berlokasi di pinggiran kota di daerah padat penduduk
dan perkampungan. Puskesmas Ketapang-2 yang lokasi di tengah kota
dan puskesmas Cempaga Mulya di kecamatan Cembaga
terletak di lokasi sekitar perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet.
Data kualitatif yang diperoleh dari FGD dan wawancara mendalam
dengan berbagai informan
yang telah direkam akan ditranskripkan dan selanjutnya akan dilakukan
analisis isi dan dinarasikan. Keabsahan atau kredibilitas data kualitatif
diperiksa secara triangulasi yaitu triangulasi sumber, metode, dan
investigator. Teknik triangulasi sumber dengan pengecekan anggota,
perpanjangan kehadiran peneliti, diskusi teman sejawat, pengamatan
secara terus menerus, dan pengecekan referensi.
2. Hasil dan pembahasan
Pencapaian pelayanan KB berkualitas memerlukan strategi yang tepat
dengan memperhatikan tipologi budaya dan karakteristik masyarakat
sasaran dengan memperhatikan hak kesehatan reproduksi individu.
Berbagai penelitian telah banyak dilakukan memberikan gambaran masih
belum terpenuhinya pelayanan berkualitas yang diterima masyarakat.
Diduga, akses masyarakat terhadap pelayanan KB berkualitas masih
rendah meskipun hasil Mini survei BKKBN tahun 2010 menunjukkan
67,5% wanita Pasangan Usia Subur (PUS) menggunakan alat/cara
kontrasepsi dengan berbagai cara (BKKBN, 2010). Penelitian di
Kabupaten Kotawaringin Timur menunjukkan bahwa calon akseptor
menerima tindakan pemasangan susuk tanpa melakukan pernyataan
tertulis persetujuan tindakan (informed consent). Dari pengamatan
peneliti terhadap lembar catatan KB di puskesmas Kota Malang, ternyata
tidak semua kartu ditandatangani oleh akseptor sebagai pernyataan

39
persetujuan mendapat suatu tindakan. Disini terlihat kurangnya
perlindungan
terhadap hak klien. Pedoman Etik dalam Obstetri dan Ginekologi (POGI)
Tahun 2003, mengatur tentang Pengendalian Kesuburan/Fertilitas, yang
tertuang dalam Bab IX, Pasal 27 sampai dengan 31. Dalam pasal 28
dinyatakan bahwa kontrasepsi mantap (kontap) pada perempuan harus
melalui konseling yang hati-hati, agar merupakan pilihan yang matang
antara suami istri. Dalam hal ini berarti, informed consent harus ditanda
tangani pasangan suami istri (POGI, 2003). Penelitian di Kota Malang
dan Kabupaten
Kotawaringin Timur ini menunjukkan masih banyak klien memperoleh
pelayanan KB yang kurang berkualitas tetapi mentolerirnya sehingga
tetap merasa puas dengan pelayanan tersebut. Masih cukup banyak juga
klien yang mengeluhkan kurangnya penjelasan dari petugas puskesmas.
Petugas kesehatan selain sebagian kurang terampil terhadap tindakan
cara kontrasepsi tertentu, juga kurang melakukan konseling dan
pemberian informasi. Penyediaan alat dan obat kontrasepsi tidak selalu
berkesinambungan sehingga masih ada keluhan tentang ketidaktersediaan
alat dan obat kontrasepsi (alokon) saat datang ke puskesmas. Ditemukan
fakta di lapangan bahwa
klien dalam pemilihan jenis alokon kurang didasari oleh pengetahuan
yang cukup. Pengetahuan yang rendah khususnya pada keluarga miskin
didaerah perdesaan menyebabkan pemilihan jenis alokon tidak
didasarkan pada pemahaman cara kerja alokon yang benar. Kurangnya
informasi menyebabkan kurangnya pengetahuan klien dalam memilih
jenis KB. Kenyataan ini didukung penelitian lain oleh Iswarati dkk
(2009) bahwa pemberian KIE dari semua petugas berpengaruh terhadap
pengambilan keputusan bersama (suami dan isteri) untuk ber KB.
Sebagaimana hasil penelitian Budisuari dkk., menyatakan bahwa peserta
KB mengeluhkan tentang proses pelayanan KB di Puskesmas terutama
terkait dengan kewajiban tenaga kesehatan untuk memberikan informasi

40
(2007). Hal ini membuktikan belum terpenuhinya hak mendapat
informasi seperti yang tertuang dalam UU no. 36/2009. Dalam peraturan
yang berlaku maupun dikaitkan dengan hasil pertemuan di Kairo (ICPD)
tahun 1994 maka tampaknya masih terjadi kurangnya informasi dalam
pelaksanaan KB (NHFA, 1995).

F. Survey kesehatan yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan pada


lansia
Baru-baru ini Pemerintah melalui Kementerian PPN/Bappenas bersama
Badan Pusat Statistik (BPS) dan United Nations Population Fund (UNFPA)
merilis hasil proyeksi penduduk Indonesia hingga 2045 mendatang. Pada tahun
2045 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 318,9 juta jiwa (dengan
asumsi Total Fertility Rate (TFR) bertahan di angka 2,1). Hasil proyeksi juga
menunjukkan bahwa pada tahun 2045 jumlah penduduk lanjut usia (lansia) g–
yang didefinisikan sebagai penduduk kelompok usia 60 tahun ke atas
berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 1998 – mengalami
peningkatan sekitar 19,8 persen (Bappenas, dkk., 2018). Dengan kata lain
sekitar seperlima penduduk Indonesia di tahun tersebut merupakan lansia. Tren
ini diperkirakan akan terus berlanjut mengingat menurunnya angka fertilitas
dan meningkatnya angka harapan hidup di Indonesia. Pada tahun 2015, angka
harapan hidup (AHH) bertambah panjang menjadi 70,8 (SUPAS 2015), yang
semula pada tahun 1971 hanya berkisar 55,1 tahun. Angka ini diprediksi akan
meningkat di tahun 2035 menjadi sekitar 72 tahun (Adioetomo & Mujahid,
2014; Arifin, dkk., 2012). Oleh karena itu, diperlukan strategi yang tepat untuk
menghadapi fenomena penuaan penduduk yang terjadi saat ini dan ke depan.
1. Isu terkait lansia
Hasil proyeksi penduduk Indonesia 2015-2045 menunjukkan terjadinya
fenomena penuaan penduduk. Maka dari itu, Indonesia dihadapkan pada
tantangan yang tidak sedikit dalam menghadapi fenomena ini. Salah
satunya adalah bagaimana menjaga kualitas hidup lansia, khususnya
terkait kesehatan lansia. Hidup lebih lama belum tentu berarti hidup dalam

41
kondisi sehat. Prevalensi penyakit pada lansia mengalami peningkatan dari
waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan kerentanan terhadap penyakit dan
disabilitas meningkat seiring dengan usia (Christensen, dkk., 2009; Gatimu
dkk., 2016). Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, angka
kesakitan pada lansia di tahun 2014 sebesar 25,05% yang berarti pada
setiap 100 lansia, terdapat 25 orang yang sakit (Kemenkes RI, 2016).
Selain itu, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kependudukan – LIPI di Kota Medan, faktor yang mempengaruhi kualitas
hidup lansia adalah kesehatan dan peran keluarga (Vibriyanti,
2017).Dengan kata lain bahwa lansia akan menjawab hidupnya berkualitas
jika mereka merasa sehat dan hidup dekat dengan keluarga. Permasalahan
lain seperti faktor ekonomi juga perlu diperhatikan. Hasil studi
Situmorang, dkk., (2017) dengan menggunakan data Susenas 2013
memperlihatkan bahwa lebih dari sepertiga lansia masih aktif bekerja yang
sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar (SD) kebawah. Melihat fakta
tersebut, besar kemungkinan mereka bekerja di sektor informal dengan
penghasilan yang kurang memadai. Belum lagi ketika menengok
permasalahan terkait kehidupan sosial dan lingkungan ramah lansia. Masih
minimnya infrastruktur ramah lansiajuga masih menjadi pekerjaan rumah
tersendiri di Indonesia.
2. Integrasi program terkait lansia
Untuk negara berkembang seperti Indonesia, tantangan yang dihadapi jauh
lebih kompleks dibanding negara-negara maju yang telah lebih dulu masuk
pada populasi menua. Terdapat dua alasan utama yang mendasari.
Pertama, penuaan penduduk di negara-negara berkembang diproyeksikan
akan berkembang jauh lebih cepat dari pada negara-negara maju. Yang
kedua, negara berkembang menghadapi penuaan populasi penduduk saat
tingkat pembangunan ekonomi lebih rendah dibandingkan dengan negara
maju. Kebijakan terkait lansia di Indonesia diatur dalam UU Nomor 13
Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia yang menitikberatkan pada
pemenuhan hak dasar lansia yang meliputi pelayanan keagamaan,

42
kesehatan, kesempatan kerja, pendidikan, kemudahan fasilitas, dan
pelayanan sarana dan prasarana umumserta bantuan hukum, sosial, dan
perlindungan sosial. Kemudian untuk pelaksanaannya dikeluarkannya
Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 2004. Saat ini, permasalahan terkait
lansia yang mencakup kesehatan, ekonomi, sosial, dan lingkungan telah
ditangani oleh berbagai pemangku kepentingan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat daerah. Namun demikian, pada prakteknya seringkali
program-program yang dilaksanakan masih bersifat parsial dan berjalan
sendiri-sendiri. Jika mencoba menelaah beberapa program terkait lansia di
masyarakat, seperti Bina Keluarga Lansia (BKL) oleh BKKBN dan
Posyandu Lansia oleh Kementerian Kesehatan RI misalnya, kedua
program ini cenderung belum terintegrasi dengan baik padahal memiliki
tujuan yang sama. Bahkan di tingkat daerah, kegiatan BKL cenderung
minim tidak segencar kegiatan posyandu lansia. Berdasarkan hasil
penelitian Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI (2018) di tiga provinsi,
yaitu Provinsi Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Sumatera Utara,
sebagian besar posyandu lansia berjalan rutin meskipun wilayah
cakupannya tergantung daerah masing-masing. Ada wilayah yang telah
terdapat posyandu lansia di setiap rukun warga (RW), meskipun ada juga
yang masih hanya di tingkat kelurahan. Kegiatan yang dilakukan fokus
pada pemeriksaan kesehatan dasar, seperti tensi darah.
Sedangkan untuk BKL yang berada di tingkat kecamatan, selain minim
kegiatan, keberadaannya pun semakin tidak terlihat. Ada beberapa kasus
BKL yang aktif karena faktor kader yang aktif, namun lebih banyak yang
mengalami stagnasi. Alasan yang dikeluarkan selama ini adalah karena
BKL lebih fokus pada pemberdayaan keluarga. Bagaimana keluarga
berperan untuk menjaga lansia. Namun, hal ini pun masih belum terlihat
dampaknya terhadap kehidupan lansia. Salah satu penyebabnya disinyalir
karena BKL yang seringkali berupa sosialisasi di masyarakat cenderung
kurang memperhatikan tindak lanjut dari kegiatan sosialisasi tersebut.
Namun yang perlu digarisbawahi dari persoalan ini adalah kedua program

43
tersebut tidak saling melengkapi dan tidak terintegrasi dengan baik.
Padahal ide adanya BKL ini jika diintegrasikan dengan posyandu lansia
akan sangat baik dalam meningkatkan kualitas lansia. Oleh karena itu,
yang perlu dipikirkan bersama saat ini adalah bagaimana program-program
yang ada saat ini dapat terintegrasi dengan baik. Menjadi sangat penting
jika masing-masing stakeholders terkait dapat bekerjasama dalam satu
program yang sama namun dengan tugas yang berbeda sesuai dengan
kapasitas instansinya demi terciptanya lansia berkualitas nke depan, yaitu
lansia yang sehat jasmani dan rohani serta mandiri dalam kehidupannya

44
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dengan memberikan asuhan intranatal yang tepat dan sesuai dengan standar,
diharapkan dapat menurunkan angka kematian ibu dan bayi
Pendekatan yang membutuhkan kemampuan analisis yang berhubungan
dengan aspek sosial, nilai-nilai dan budaya setempat.
Adapun tujuan dari asuhan intranatal dalam kebidanan komunitas yaitu :
1. Memastikan persalinan yang telah direncanakan
2. Memastikan persiapan persalinan bersih, aman, dan dalam suasana yang
menyenangkan
3. Mempersiapkan transportasi, serta biaya rujukan apabila diperlukan.
Manajemen asuhan intranatal dirumah dibagi dalam empat tahap sesuai dengan
tahap yang ada dalam persalinan. Yaitu kala I,II,III,IV. Dengan memberikan
asuhan intranatal yang baik dan sesuai standar, bidan dapat memberikan
pertolongan persalinan yang memadai dan tepat waktu, meningkatkan cakupan
persalinan oleh tenaga kesehatan, dan menurunkan angka kejadian sepsis
puerpuralis pada ibu nifas, sehingga membantu angka kematian ataupun
kesakitan ibu dan bayi.

B. Saran
Dengan dibuatnya makalah kebidanan komunitas. Saya berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi pembaca. saya juga berharap para pembaca memberi
masukan serta sarannya untuk kesempurnaan makalah selanjutnya.

45
DAFTAR PUSTAKA

Yulifah Rita, Tri johan Agus Yuswanto.2011.Asuhan Kebidana


Komunitas.Jakarta : Salemba Medikan
Dewi Pudiastuti Ratna,2011.Buku ajar Kebidanan Komunitas.Yogyakarta : Nuha
Medika
Marmi.2012.Intranatal Care Asuhan Kebidanan Pada Persalinan.Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
BKKBN. BPS. Kemenkes. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun
2007. Jakarta : BPS ; 2007.
BKKBN. BPS. Kemenkes. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia Tahun
2012. Jakarta : BPS ; 2012.
Bappenas, BPS dan UNFPA. (2018). Proyeksi Penduduk Indonesia 2010 – 2045.
Jakarta. Badan Pusat Statistik Indonesia.

BPS. (2015). Survei Penduduk Antar Sensus 2015. Jakarta: Badan Pusat Statistik.

46

Anda mungkin juga menyukai