Ringkasan
Ringkasan
Ringkasan
1
M. Ali Hasan, Masail Fiqhiyah Al-Haditsah Pada Masalah-Masalah Kontemporer Hukum Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) h. 79
1
Dalam peraturan perundang undangan di Indonesia, ketentuan kawin hamil
itu sendiri ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut dengan
KHI) yang tercantum dalam Pasal 53 yang selengkapnya berbunyi:
1) Seorang wanita hamil diluar nikah, dapat dikawinkan dengan pria
yang menghamilinya;
2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat
dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya;
3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak
diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
2
“anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai
hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”
3
maka dengan melakukan kawin hamil anak tersebut berubah status menjadi anak sah
dan memiliki pertalian nasab dengan ayah biologis yang telah beralih status menjadi
ayah sahnya. Setelah memiliki pertalian nasab dengan ayahnya, maka memiliki
rentetan implikasi hukum yang panjang, memiliki hak saling mewarisi dengan
ayahnya, ayahnyapun juga memiliki hak menjadi wali nikah jika anak tersebut
berjenis kelamin perempuan ketika akan menikah serta hubungan hukum yang lain
antara anak kandung dan ayah kandung.
Dari uraian tentang implikasi hukum dari ketentuan kawin hamil dalam KHI,
dapat dianalisis untuk ditimbang dan ditakar kemaslahatan apa yang didapatkan dari
konsep tersebut pada satu sisi dan pada sisi yang lain juga dapat dirasakan dan
diperkirakan kerusakan apa saja yang terjadi atau yang mungkin terjadi sebagai akibat
dari konsep tersebut.
Meskipun dia diciptakan sebagai akibat dari perbuatan zina yang dilakukan
oleh kedua orang tua biologisnya dan dilahirkan tanpa adanya ikatan perkawinan
yang sah antara kedua orang tuanya, maka menurut Islam, anak tersebut tetap anak
yang suci dan tidak menanggung segala keburukan yang dilakukan oleh kedua orang
tuanya. Anak tersebut harus dijaga harkat dan martabatnya sebagaimana anak-anak
yang lain.
Konsep kawin hamil dan konsep anak sah menurut KHI sangat terinspirasi
oleh spirit pandangan Islam tentang anak yang terlahir di dunia ini sebagaimana yang
dijelaskan diatas. Oleh karena anak yang terlahir di dunia ini dalam keadaan suci dan
bersih tanpa melihat apakah anak tersebut hasil dari perbuatan zina atau hasil dari
perkawinan yang sah, maka hak-hak anak tersebut harus dilindungi. Apalagi anak
tersebut dilahirkan ketika sudah ada ikatan perkawinan yang sah antara kedua orang
tuanya, maka tidak boleh dibedakan lagi apakah anak tersebut dalam proses
pembenihannya ketika belum ada ikatan perkawinan yang sah antara kedua orang
tuanya atau memang anak tersebut dibenihkan ketika kedua orang tuanya telah
berstatus sebagai suami isteri yang sah.
Pada intinya konsep tersebut lebih banyak berorientasi untuk kepentingan
anak. Konsep itu memberikan perlindungan yang maksimal bagi anak yang dilahirkan
dalam perkawinan yang sah sehingga anak tersebut mendapatkan hak-haknya secara
wajar, sehingga sebagai seorang anak tanpa merasa terganggu apakah dia dahulu
dalam proses pembenihannya dihasilkan dari perbuatan zina atau dihasilkan dari
hubungan suami isteri yang sah. Inilah yang menjadi titik yang krusial dari konsep
kawin hamil dan juga anak sah menurut Kompilasi Hukum Islam.
Dengan konsep tersebut, terkandung kemaslahatan yaitu menyelamatkan dan
melindungi anak yang dilahirkan ketika kedua orang tua biologisnya sudah berstatus
sebagai suami isteri yang sah walaupun anak tersebut dibenihkan ketika kedua orang
tua biologisnya belum menikah. Dengan demikian, anak tersebut memiliki segala
status dan hak yang sama dengan anak sah yang “sejati” yaitu anak yang dihasilkan
dari hubungan suami isteri yang sah.
4
Dengan menyandang status sebagai anak sah tentu sangat berdampak positif
terhadap perkembangan si anak itu sendiri baik dari sisi mental-psikologis anak,
sosial budaya masyarakat di sekelilingnya dan lain sebagainya.
Akan tetapi di sisi yang lain, penerapan konsep kawin hamil dalam perspektif
KHI membawa implikasi-implikasi yang negatif. Satu hal yang nyata terjadi bahwa
dengan adanya legalisasi kawin hamil dan diakuinya anak yang dikandung oleh
wanita yang melakukan kawin hamil sebagai anak sah, maka banyak sekali angka
kawin hamil yang tercatat di Kantor Urusan Agama. Itu artinya banyak sekali angka
kehamilan diluar nikah dan dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan, hal ini
disebabkan kalangan muda mudi yang sedang berpacaran di zaman sekarang tidak
lagi merasa malu, gelisah atau panik jika si perempuannya hamil sebelum nikah.
Mereka menemukan solusi atas masalah yang mereka hadapi yaitu melakukan kawin
hamil. Yang lebih miris lagi, kawin hamil sekarang ini bukan lagi dianggap sebagai
aib yang memalukan, tetapi sudah menjadi trend yang dianggap biasa dan wajar saja
tanpa merasa malu melakukannya. Bahkan yang lebih mengkhawatirkan, mereka
tidak akan cepat cepat menikah sebelum si perempuan hamil duluan. Faktor lain yang
juga mendukung munculnya trend tersebut, para pelaku kawin hamil sama sekali
tidak merasa risau dan menyesal dengan perbuatan hamil diluar nikah yang
dilakukannya karena anak yang dikandungnya tersebut akan mendapat pengakuan
hukum sebagai anak sah yang sama persis dengan anak yang dihasilkan dari
perkawinan yang sah.
Dampak buruk lain yang diakibatkan dari adanya ketentuan hukum kawin
hamil tergambar dari data statistik tingginya angka perceraian di Pengadilan Agama
yang dilatar belakangi bahwa pasangan yang melakukan perceraian tersebut dahulu
adalah pelaku kawin hamil. Mereka menikah karena terpaksa yang disebabkan si
perempuannya sudah hamil terlebih dahulu. Maka untuk menutupi aib tersebut,
mereka melakukan kawin hamil. Jadi pernikahan yang mereka jalin tidak dilandasi
oleh niat yang suci dan tulus untuk beribadah tetapi dilandasi oleh keterpaksaan. Jadi
pondasi kehidupan rumah tangga yang mereka bangun relatif rapuh, akibatnya ketika
ada sedikit masalah yang menerpa kehidupan rumah tangga, mereka mudah sekali
untuk melakukan perceraian.
Dengan adanya fenomena tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa legalisasi
kawin hamil dan diakuinya anak yang dikandung oleh wanita yang melakukan kawin
hamil sebagai anak sah, maka semakin memberi peluang semakin tingginya angka
kehamilan diluar nikah dan lebih jauh lagi semakin membuka kesempatan kepada
para muda mudi yang sedang berpacaran untuk melakukan perzinahan. Mereka
semakin merasa enteng untuk melakukan perbuatan dosa besar itu karena mereka
berpikir kalaupun perbuatan zina yang mereka lakukan berbuah hamil diluar nikah,
maka solusinya mudah yaitu melakukan kawin hamil dan anak yang dikandung
tersebut sudah pasti berstatus anak sah. Namun apabila tidak hamil, mereka menunda
untuk menikah (tetapi terus melakukan perbuatan zina) karena belum siap dengan
resiko dan tanggung jawab sebagai pasangan suami isteri. Bahkan pada masyarakat
5
tertentu, muncul sebuah opini yang menyesatkan yaitu pasangan muda mudi yang
sedang berpacaran merasa perlu melakukan hubungan seksual sebelum menikah
sebagai uji coba untuk mengetahui pasangannya mandul atau tidak. Kalau sudah
berkali-kali mereka melakukan hubungan seksual diluar nikah tetapi wanitanya tidak
hamil juga maka berarti dia mandul dan pihak laki-lakinya urung menikahinya dan
malah meninggalkannya karena dianggap wanita pasangannya itu tidak dapat
memberikan keturunan. Akan tetapi kalau wanitanya bisa hamil, maka pihak laki-
lakinya akan menikahi wanita pasangannya yang hamil tersebut dengan perasaan
bangga karena tidak lama lagi dia akan mendapatkan keturunan yang berstatus
sebagai anak sah.
Mungkin adanya legalisasi kawin hamil seperti yang diatur dalam KHI dan
diakuinya anak yang dikandung oleh wanita yang melakukan kawin hamil sebagai
anak sah, dianggap oleh para perumus ketentuan tersebut sebagai solusi darurat atas
terjadinya kecelakaan hamil diluar nikah. Akan tetapi seiring dengan perkembangan
zaman, ketentuan tersebut disalahgunakan oleh kaum remaja Indonesia dewasa ini
terutama kaum muda mudi yang sedang berpacaran untuk “mencicipi” perbuatan
yang mestinya hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami isteri yang sah.
Di samping alasan-alasan tersebut diatas, adanya legalisasi kawin hamil dan
diakuinya anak hasil kawin hamil sebagai anak sah, akan menimbulkan kekaburan
nasab yang sangat mengkhawatirkan. Seolah olah tidak ada perbedaan sama sekali
antara anak yang dihasilkan dari perkawinan yang suci dan terhormat dengan anak
yang dihasilkan dari perbuatan zina yang keji dan hina. Sementara syariat Islam
sangat mementingkan kesucian nasab sebagai salah satu dari lima hal pokok (al
kulliyyât al khams) yang harus ditegakkan untuk menjaga kelangsungan kehidupan
manusia yang bermartabat. Apabila kesucian nasab tidak dijaga, maka salah satu pilar
kehidupan manusia yang bermartabat akan runtuh.
Ketentuan kawin hamil yang ditindak lanjuti dengan ketentuan anak sah
dalam KHI tidak lain hanyalah upaya “pencucian nasab” yang akhirnya berakibat
pada “pengaburan nasab”.yang sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang
mengajarkan agar pemeluknya menjaga kesucian dan kejelasan nasab. Yang
semestinya janin yang dikandung adalah hasil dari perbuatan zina tetapi dengan
melakukan kawin hamil, nasab janin tersebut “dicuci” sehingga berubah menjadi
anak sah yang nasabnya bersambung kepada suami sah dari ibu yang melahirkannya,
seolah olah anak tersebut dihasilkan dari hubungan suami isteri yang suci.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan betapa besar
dampak negatif atau mafsadah yang ditimbulkan dari ketentuan kawin hamil menurut
KHI yang sudah mulai kehilangan relevansinya. Tidak sebanding dengan
kemaslahatan yang ingin diraih dari adanya konsep tersebut.
Dengan menimbang mashlahah dan mafsadah dari konsep kawin hamil
menurut KHI maka penulis berpendapat bahwa untuk masa sekarang ini lebih besar
dampak negatif yang ditimbulkannya daripada dampak positif yang ingin diraih, oleh
karena itu berdasarkan kaidah fikih :
6
درء اﳌﻔﺎﺳﺪ ﻣﻘﺪم ﻋﻠﻰ ﺟﻠﺐ اﳌﺼﺎﱀ
maka perlu dilakukan peninjauan ulang tentang konsep kawin hamil dan perlu
dilakukan rekonsepsi tentang anak sah agar lebih relevan untuk masyarakat Indonesia
sekarang ini.
Dengan melihat situasi dan kondisi masyarakat Indonesia yang sedang
berada di tepi jurang dekadensi moral yang cukup parah terutama yang terkait dengan
pergaulan bebas antara muda mudi, maka diperlukan upaya pencegahan agar tidak
semakin parah.
Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan
melakukan peninjauan ulang konsep kawin hamil dan rekonsepsi definisi anak sah.
Untuk keperluan tersebut, ada baiknya jika dikaji kembali pemikiran para ulama
klasik tentang kawin hamil. Imam Ahmad bin Hanbal adalah ulama yang menolak
adanya kawin hamil. Menurutnya, wanita yang sedang hamil diluar nikah tidak boleh
dinikahkan dengan laki laki manapun termasuk dengan laki laki yang menghamilinya
kecuali setelah wanita tersebut melahirkan anak yang dikandungnya. Pendapat ini
didasarkan pada alasan agar tidak terjadi kekaburan antara anak hasil hubungan zina
dengan anak hasil dari pernikahan yang sah. Itulah mengapa Islam mengharamkan
perzinahan dan mensakralkan pernikahan. Perbuatan zina adalah perbuatan keji yang
pelakuknya berdosa besar serta mendapat hukuman hadd sedangkan nikah adalah
perbuatan yang mulia dan terhormat yang bernilai ibadah, hasil dari perbuatan keji
dan hasil dari perbuatan ibadah tentu tidak sama. Anak hasil perbuatan zina dan anak
hasil dari pernikahan yang sah harus dibedakan dan tidak boleh dikaburkan. Islam
sangat menjaga kesucian keturunan sebagai salah satu dari lima hal pokok (al-
kulliyyât al-khams) selain agama, jiwa, akal dan harta yang hendak ditegakkan oleh
syariat Islam. Untuk membedakan secara tegas itulah, Imam Ahmad mengharamkan
kawin hamil.
Pendapat Imam Ahmad tersebut selain untuk membedakan secara tegas antara
anak hasil perbuatan zina dengan anak hasil pernikahan yang sah, juga menimbulkan
efek mencegah perbuatan keji dan munkar. Dengan diterapkannya pendapat ini, orang
berpikir ulang untuk melakukan perbuatan zina. Disamping dosanya sangat besar juga
akan mengotori kesucian kehormatan dan keturunannya.
Dalam rangka untuk membedakan antara anak hasil perbuatan zina dengan
anak hasil pernikahan yang sah, juga perlu dilakukan rekonsepsi tentang anak sah
yang terdapat dalam KHI. Al Syafi’i misalnya memberikan batasan untuk
membedakan keduanya. Anak sah adalah anak yang dilahirkan paling cepat enam
bulan setelah akad nikah kedua orang tuanya. Apabila anak tersebut dilahirkan
kurang dari enam bulan setelah pernikahan ke dua orang tuanya, maka berarti anak
7
tersebut adalah anak hasil perbuatan zina yang tidak dapat diberikan status sebagai
anak sah.
Anak yang sah dan anak hasil perbuatan zina (walaupun anak tersebut
dilahirkan setelah kedua orang tua biologisnya kemudian menikah) memiliki
kedudukan dan hak-hak yang berbeda. Anak hasil perbuatan zina nasabnya hanya
bersambung kepada ibu kandungnya, dia tidak memiliki hubungan nasab dengan
ayah biologisnya. Oleh karena itu secara hukum menurut Al-Syafi’i, anak tersebut
tidak memiliki hak apa-apa atas ayah biologisnya. Demikian pula sebaliknya, ayah
biologis anak tersebut juga tidak memiliki hak apa-apa atas anak tersebut. Antara
anak hasil perbuatan zina dan ayah biologisnya tidak dapat saling mewarisi, jika anak
tersebut perempuan, maka ayah biologisnya tidak dapat menjadi wali atas anak
tersebut ketika akan menikah, intinya tidak ada hubungan hukum antara anak tersebut
dengan ayah biologisnya, dia hanya memiliki hubungan hukum dengan ibu yang
melahirkannya.
Konsep Al-Syafi’i ini membedakan dengan sangat tegas antara anak yang
dibenihkan dari hasil pernikahan yang sah dengan anak yang dibenihkan dari
perbuatan zina walaupun ketika anak tersebut dilahirkan kedua orang tuanya sudah
dalam keadaan menikah. Al-Syafi’i mengganggap bahwa hasil dari perbuatan yang
halal di jalan Allah tidak akan sama dengan hasil dari perbuatan keji yang dibenci
oleh Allah. Inilah poin penting dari konsep Al-Syafi’i tentang anak sah dan anak hasil
perbuatan zina. Konsep ini sebagaimana pendapat Imam Ahmad yang mengharamkan
kawin hamil sangat ampuh untuk membuat orang yang akan melakukan perbuatan
zina berpikir seribu kali mengingat begitu besarnya dampak negatif dari perbuatan
keji itu. Bukan hanya pelaku perbuatan zina itu saja yang merasakan dampak
buruknya tetapi anak yang dibenihkan dari perbuatan zina juga ikut merasakannya.
Oleh karena itulah Islam melarang keras perbuatan zina, bahkan mendekati perbuatan
zina saja sudah diharamkan. Islam melarang keras perbuatan zina karena perbuatan
tersebut merusak salah satu dari lima hal pokok yang dijaga oleh syariat Islam yaitu
keturunan (nasl).4
Pendapat Imam Ahmad yang menolak kawin hamil dan konsep Imam Al-
Syafi’i tentang anak sah ini setidaknya memiliki dua alasan kuat untuk diikuti,
pertama, karena memang berbeda antara hasil perbuatan yang dihalalkan oleh Allah
(hubungan suami isteri yang sah) dengan hasil perbuatan yang diharamkan oleh Allah
(perbuatan zina) dan konsekwensi yuridis antara keduanya juga sangat berbeda,
kedua, pendapat kedua imam mazhab tersebut menjadi palang pintu yang efektif
untuk mencegah angka kehamilan diluar nikah sebagai akibat perzinahan yang
semakin tidak terkendali.
4
Ahmad Al Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari’ah, (Jakarta: Amzah, 2009) h. 143.
8
Konsep Imam Ahmad dan Imam Al-Syafi’i yang tegas membedakan antara
anak hasil hubungan suami isteri yang sah dan anak hasil perbuatan zina, tidak berarti
menelantarkan masa depan anak hasil perbuatan zina. Anak tersebut tetap harus
dijaga dan diperhatikan perkembangan dan masa depannya agar menjadi generasi
yang lebih baik daripada kedua orang tuanya. Walaupun tidak ada hak saling
mewarisi antara anak tersebut dengan ayah biologisnya, tetapi Islam masih
memberikan solusi untuk menjaga keadaan perekonomian anak yang tidak bersalah
itu yaitu sang ayah biologis dibolehkan menghibahkan sebagian hartanya kepada
anak darah dagingnya itu. Demikian pula apabila anak tersebut perempuan, walaupun
ayah biologisnya tidak bisa menjadi wali atas anak tersebut ketika akan menikah,
Islam masih memberikan solusi yaitu anak perempuan tersebut masih bisa dinikahkan
dengan mengangkat wali hakim.
Dengan uraian tersebut diatas, konsep Imam Ahmad dan Imam Al-Syafi’i ini
memiliki dua karakter yang kuat. Di satu sisi bersifat tegas tentang status dan
kedudukan serta hak-hak anak sah yang tidak dimiliki oleh anak hasil perbuatan zina
dan di sisi yang lain bersifat solutif terhadap anak hasil perbuatan zina agar masa
depannya tetap cerah dan diharapkan menjadi generasi yang lebih baik daripada
kedua orang tuanya.
Konsep Imam Ahmad dan Imam Al-Syafi’i inilah yang lebih relevan untuk
diadopsi menjadi hukum positif di Indonesia agar moralitas masyarakat Indonesia
khususnya yang menyangkut tata pergaulan antara laki-laki dan perempuan tetap
terjaga.