Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Makalah Askep Infark - Miokard Kelompok 5

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 43

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA INFARK MIOKARD AKUT


Mata Kuliah : Keperawatan Gawat Darurat

Oleh kelompok 5 :

Kelas : A3 kep. / Semester VI

Dosen MK : Ns. Yanerit Purba, S.Kep, M.Kes

1. JEFRI LAIRA NIM : 1714201143


2. RELEN E. TUMIMOMOR NIM : 1714201139
3. REIVE RORING NIM : 1614201227
4. GRACE LAUDIN NIM :…………….

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN INDONESIA
MANADO
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat TYM karena atas berkat dan rahmat-Nya
kami kelompok 5 dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada
Infark Miokard Akut”.
Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas perkuliahan, yaitu sebagai tugas
Keperawatan Gawat Darurat, di Fakultas Keperawatan Universitas Pembangunan Indonesia
Manado.
Dalam pembuatan makalah, banyak mendapatkan bantuan dan dorongan dari teman-
teman satu kelompok , sehingga makalah ini terselesaikan sesuai dengan yang diharapkan.
Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu kami
mengharapkan kepada pembaca dan teman-teman agar memberikan kritik dan saran yang
sifatnya membangun.

Manado, 14 Mei 2020

Tim Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar........................................................................................................................i

Daftar Isi.................................................................................................................................ii

A. Asuhan Keperawatan Pada Infark Miokard Akut.


BAB I.......................................................................................................................................

1. Latar belakang...........................................................................................................2
2. Rumusan Masalah......................................................................................................3
3. Tujuan.........................................................................................................................3

BAB II......................................................................................................................................

a. Definisi.......................................................................................................................4
b. Etiologi.......................................................................................................................4
c. Klasifikasi...................................................................................................................5
d. Manifestasi.................................................................................................................5
e. Patofisiologi................................................................................................................6
f. Pemeriksaan diagnostik..............................................................................................8
g. Penatalaksanaan........................................................................................................12
h. Komplikasi...............................................................................................................16
i. Asuhan keperawatan.................................................................................................21

BAB III

1. Kesimpulan ..............................................................................................................25

B. Upaya-upaya pencegahan primer, sekunder dan tersier pada kasus IMA…………....26


C. Trend dan issue/Hasil penelitian terkait pada kasus IMA………………………….....29
D. Evidence Based Practices dalam penatalaksanaan kasus IMA………………………..32
E. Manajemen kasus kegawatdaruratan IMA…………………………………………….34
F. Peran dan fungsi perawat dalam advokasi pada kasus IMA………………………….38

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………….

ii
A. Askep IMA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sekitar 64,5 juta orang Amerika memiliki tipe penyakit kardiovaskuler atau lebih.
Walaupun angka kematian akibat penyakit kardiovaskuler menurun sebesar 9,2% antara
tahun 1991 dan 2001, penyakit kardiovaskuler tetap menjadi pembunuh nomor satu dan
terhitung sebesar 38,5 % dari semua kematian di Amerika serikat. Kurang lebih 2600
orang Amerika meninggal setiap hari akibat penyakit kardiovaskuler, yang
menggambarkan rata-rata satu kematian setiap 34 detik. Dari mereka yang meninggal
akibat penyakit kardiovaskuler, mayoritas (54%) meninggal akibat penyakit jantung
coroner (infark miokardium [IM] dan angina pektoris).
Kurang lebih 565.000 orang Amerika mengalami IM baru setiap tahun dan sekitar
300.000 mengalami IM ulang setiap tahun. Usia rata-rata pada saat IM pertama kali
adalah 65,8 tahun pada pria dan 70,4 tahun pada wanita. Sekitar 25% pria dan 38%
wanita akan meninggal dalam satu tahun setelah IM awal.
Di Indonesia, sejak sepuluh tahun terakhir dan dengan adanya fasilitas-fasilitas
penunjang diagnostic serta unit perawatan untuk penyakit jantung, infark miokard sudah
banyak yang terdiagnosa atau dengan kata lain, Indonesia menunjukkan angka kenaikan
yang jelas terhadap penyakit infark miokardium ini.
Infark miokard atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung, adalah keadaan di
mana terjadi nekrosis pada miokardium akibat terganggunya aliran darah ke otot jantung.
Secara umum, infark miokard dapat terjadi secara tiba-tiba dan dapat mengancam hidup
seseorang. Infark miokard apabila tidak segera ditangani atau dirawat dengan cepat dan
tepat, dapat menimbulkan komplikasi seperti CHF, syok kardiogenik dan kematian.
Seperti besarnya angka statistic mortalitas dan morbiditas yang muncul, banyak
kemajuan yang telah dibuat dalam pencegahan, diagnosis, penatalaksanaan dan proses
rehabilitasi untuk klien dengan infark miokard ini.
Untuk itu, satu diantara peran perawat yang berpikir kritis adalah menurunkan
mortalitas yang berkaitan dengan penyakit jantung, khususnya yang dibahas dalam
makalah ini adalah infark miokardium. Perawat perlu keterampilan dan pengetahuan yang
diwujudkan dengan pemberian asuhan keperawatan tanpa melupakan usaha
rehabilitasinya.

1
Penyuluhan terhadap pasien dan dukungan psikologis yag diberikan oleh perawat
memungkinkan pasien dan keluarga mereka untuk kembali kerumah dan memaksimalkan
status kesehatan mereka.

2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dpat di buat adalah :
2.1 Bagaimana pengertian infark miokardium ?
2.2 Bagaimana etiologi infark miokardium ?
2.3 Apa saja klasifikasi dari infark miokardium ?
2.4 Bagaimana manifestasi klinis pada klien dengan infark miokardium ?
2.5 Bagaimana pathway dari infark miokardium ?
2.6 Apa saja pemeriksaan diagnostik untuk infark miokardium ?
2.7 Bagaimana penatalaksanaan dari infark miokardium ?
2.8 Apa saja komplikasi dari infark miokardium ?
2.9 Bagaimana asuhan keperawatan dari infark miokardium ?

3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari pembuatan makalah ini
adalah :
3.1 Mengetahui bagaimana pengertian infark miokardium ?
3.2 Mengetahui bagaimana etiologi infark miokardium ?
3.3 Mengetahui apa saja klasifikasi dari infark miokardium ?
3.4 Mengetahui bagaimana manifestasi klinis pada klien dengan infark miokardium ?
3.5 Mengetahui bagaimana pathway dari infark miokardium ?
2.6 Mengetahui apa saja pemeriksaan diagnostik untuk infark miokardium ?
2.7 Mengetahui bagaimana penatalaksanaan dari infark miokardium ?
2.8 Mengetahui apa saja komplikasi dari infark miokardium ?
2.9 Mengetahui bagaimana asuhan keperawatan dari infark miokardium ?

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Infark miokard akut adalah penumpukan plak yang menyebabkan sumbatan
penuh pada arteri coroner sehingga terjadi jaringan nekrosis pada jantung. Infark
Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung yang
menyebabkan sel otot jantung mati.
Infark Miokard Akut adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh karena
sumbatan pada arteri coroner. Sumbatan akut terjadi oleh karena adanya
aterosklerotik pada dinding arteri coroner sehingga menyumbat aliran darah ke
jaringan otot jantung (Sudoyo Aru, dkk 2009)

B. Etiologi
Tidak dapat dirubah :
1. Usia
Usia yang semakin tinggi menyebabkan keretanan terjadinya aterosklerosis
karena menurunnya elastisitas dan kemampuan pembuluh darah.
2. Riwayat keluarga
Keluarga yang mengalami penyakit Infark Miokard keturunannya beresiko
tinggi terkena infark miokard juga.
3. Jenis kelamin
Pria lebih beresiko terkena infark miokard dan wanita setelah menopause.
Karena hormin estrogen berfungsi untuk melindungi tubuh dari terjadinya infark
miokard.
Dapat dirubah:
1. Dislipidemia
2. Smoking
3. Penyakit metabolic (diabetes)
4. Obesitas
5. Penyakit ginjal kronik
6. Penggunaan alkohol berlebihan
7. Penggunaan obat NSAID

4
C. Klasifikasi

Ada dua tipe dasar infark miokard akut:


a. Transmural
Yang berhubungan dengan aterosklerosis melibatkan arteri koroner utama. Hal
ini dapat subclassified ke anterior, posterior, atau lebih rendah. infarcts
Transmural memperpanjang melalui seluruh ketebalan otot jantung dan biasanya
akibat dari oklusi lengkap suplai darah daerah tersebut.
b. Subendocardial
Melibatkan sejumlah kecil di dinding subendocardial dari ventrikel kiri,
septum ventrikel, atau otot papiler. infarcts Subendocardial dianggap akibat dari
suplai darah lokal menurun, mungkin dari penyempitan arteri koroner. Daerah
subendocardial terjauh dari suplai darah jantung dan lebih rentan terhadap jenis
patologi.

D. Manifestasi Klinis
1) Dyspnea dapat menyertai nyeri dada atau terjadi sebagai keluhan
terisolasi
2) Mual dan/atau nyeri abdominal sering hadir dalam infark yang
melibatkan dinding inferior
3) Ansietas
4) Lightheadedness (berkunang-kunang) dan Sinkop (pingsan)
5) Batuk
6) Mual dan muntah
7) Diaforesis
8) Wheezing

5
E. Patofisiologi/ pathway

ETIOLOGI REVERSIBLE

Smoking Obesitas Penyakit ginjal kronik Penyakit


Dislipidemia Konsumsi
metabolik
alkohol
(diabetes)
berlebihan
Hipernikotinemia Penumpukkan lipid di Tidak terjadi filtrasi
arteri koroner
Darah
Penumpukan ion Zat kimia menjadi lebih
Menumpuk menumpuk
artherosklerosis kental
di arteri
koroner Menempel di dinding
Penyempitan
Suplai darah turun arteri koroner
arteri koroner Suplai darah turun

Oksigen tidak
Oksigen tidak
adekuat Iskhemia adekuat

Penurunan Infark miokard Metabolisme


kontraktilitas anaerob
miokard meningkat
6
Kelemahan Asam laktat
miokard meningkat
Penurunan curah jantung Vol akhir diastolik Nyeri
ventrikel kiri
meningkat

Tekanan atrium kiri


meningkat

Tekanan vena
pulmonalis
meningkat

Hipertensi kapiler
paru

Oedem paru Gangguan


pertukaran gas

7
F. Pemeriksaan Diagnostik
a. EKG
Kompleks QRS normal menunjukkan resultan gaya elektrik miokard ketika
ventrikel berdepolarisasi. Bagian nekrosis tidak berespon secara elektrik. Vektor gaya
bergerak menjauhi bagian nekrosis dan terekam oleh elektroda pada daerah infark
sebagai defleksi negatif abnormal. Infark yang menunjukkan abnormalitas gelombang
Q disebut infark gelombang Q. Pada sebagian kasus infark miokard, hasil rekaman
EKG tidak menunjukkan gelombang Q abnormal. Hal ini dapat terjadi pada infark
miokard dengan daerah nekrotik kecil atau tersebar. Gelombang Q dikatakan
abnormal jika durasinya ≥ 0,04 detik. Namun hal ini tidak berlaku untuk gelombang
Q di lead III, aVR, dan V1, karena normalnya gelombang Q di lead ini lebar dan
dalam (Chou, 2016).
Pada injury miokard, area yang terlibat tidak berdepolarisasi secara sempurna.
Area tersebut lebih positif dibandingkan daerah yang normal pada akhir proses
depolarisasi. Jika elektroda diletakkan di daerah ini, maka potensial yang positif akan
terekam dalam bentuk elevasi segmen ST. Jika elektroda diletakkan di daerah sehat
yang berseberangan dengan area injury, maka terekam potensial yang negatif dan
ditunjukkan dalam bentuk ST depresi. ST depresi juga terjadi pada injury
subendokard, dimana elektroda dipisahkan dari daerah injury oleh daerah normal.
Vektor ST bergerak menjauhi elektroda, yang menyebabkan gambaran ST depresi
(Chou, 2016).
Iskemik miokard memperlambat proses repolarisasi. Area iskemik menjadi lebih
negatif dibandingkan area yang sehat pada masa repolarisasi. Vektor T bergerak
menjauhi daerah iskemik. Elektroda yang terletak di daerah iskemik merekam
gerakan ini sebagai gelombang T negatif. Iskemia subendokard tidak mengubah arah
gambaran gelombang T, mengingat proses repolarisasi secara normal bergerak dari
epikard ke arah endokard. Karena potensial elektrik dihasilkan repolarisasi
subendokardium terhambat, maka gelombang T terekam sangat tinggi (Chou, 2016).
Menurut Ramrakha (2018), pada infark miokard dengan elevasi segmen ST,
lokasi infark dapat ditentukan dari perubahan EKG.

8
Penentuan lokasi infark berdasarkan perubahan gambaran EKG dapat dilihat di Tabel
2.1

Lokasi Perubahan Gambaran EKG


Anterior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q
di V1-V4/V5
Anteroseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q
di V1-V3
Anterolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q
di V1-V6 dan I dan aVL
Lateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q
di V5-V6 dan inversi gelombang
T/elevasi ST/gelombang Q di I dan aVL
Inferolateral Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q
di II, III, aVF, dan V5-V6 (kadang-
kadang I dan aVL).
Inferior Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q
di II, III, dan aVF
Inferoseptal Elevasi segmen ST dan/atau gelombang Q
di II, III, aVF, V1-V3
True Posterior Gelombang R tinggi di V1-V2 dengan
segmen ST depresi di V1-V3. Gelombang
T tegak di V1-V2
RV Infraction Elevasi segmen ST di precordial lead
(V3R-V4R). Biasanya ditemukan
konjungsi pada infark inferior. Keadaan
ini hanya tampak dalam beberapa jam
pertama infark.

b. Ekokardiogram
Ekokardiogram digunakan untuk evaluasi lebih jauh mengenai fungsi jantung,
khususnya fungsi ventrikel. Fraksi loncatan dapat ditentukan dengan ekokardiogram.
c. Pemeriksaan enzim jantung

9
Pemeriksaan rangkaian enzim meliputi kreatin kinase dan laktat dehidrogenase.
a) Kreatin kinase dan isoenzimnya
Kreatin kinase ( CK, dengan isoenzimnya CK-MB ) dipandang sebagai
indikasi yang paling sensitif dan dapat dipercaya diantara semua enzim jantung
dalam menegankkan diagnosa infark miokardium. Terdapat tiga macam isoenzim
CK, yaitu CK-MM (otot skeletal), CK-MB (otot jantung) dan CK-BB (jaringan
otak).
CK-MB adalah isoenzim yang hanya ditemukan pada sel jantung dan akan
meningkat apabila terjadi kerusakan pada sel-sel jantung.
b) Laktat dehidrogenase dan isoenzimnya
LDH kurang bisa dipercaya sebagai indikator kerusakan jantung seperti
CK. Tetapi, karena reaksinya lebih lambat dan meningkat lebih lama dari enzim
jantung lainnya, LDH sangat berguna untuk mendiagnosa MI pada pasien yang
mengalami MI akut tetapi terlambat dibawa kerumah sakit.
c) Troponin T & I Merupakan protein tanda paling spesifik cidera otot jantung,
terutama Troponin T (TnT) yang sudah terdeteksi 3-4 jam pasca kerusakan
miokard dan masih tetap tinggi dalam serum selama 1-3 minggu. Pengukuran
serial enzim jantung diukur selama 3 hari pertama.
d. Elektrolit, ketidakseimbangan dapat mempengaruhi konduksi dan dapat
mempengaruhi kontraktilitas.
e. Sel darah putih, leukosit (10.000-20.000) tampak pada hari kedua sehubungan dengan
proses inflamasi.
f. GDA atau oksimetri nadi, dapat menunjukkan hipoksia.
g. Kolesterol atau trigliserida serum : meningkat menunjukkan arterisklerosis.
h. Foto dada, mungkin normal atau menunjukkan pembesaran jantung diduga GJK.
i. Angiografi koroner, menggambarkan penyempitan atau sumbatan arteri koroner.

10
a) Kadar normal hasil laboratorium
1. Kalium
- 3.8 sampai 5.5 mEq/liter
- Kadar diatas normal : obstruksi usus tingkat tinggi penurunan sekresi natrium
(kemungkinan karena gagal ginjal), asidosismetabolik, luka bakar parah.
- Kadar dibawah normal : kehilangan cairan tubuh, aldosteronisme, poliuria
dan terapi diuretik.
2. Magnesium
- 1.5–2.5 mEq/L
- Diatas normal : gagal ginjal, insufisiensi adrenal, kelebihan magnesium.
- Dibawah normal : diare kronik, aldosterorisme primer, terapi diuretik,
malnutrisi, sindrom malabsorbsi, gangguan konservasi ginjal.
3. Kreatinin kinase
- CK total pria : 25 sampai 130 unit/liter
- CK total wanita : 10-150 unit/liter
- Diatas normal: pascakonvulsi; kardiomiopati alkoholik; infark pulmoner,
infark serebral, atau infark miokard; hipokalemia berat; keracunan karbon
monoksida; hipertermia malignan.
- Dibawah normal: tidak ada makna klinisnya.
4. CKMB (Creatinkinase Label M dan B)
- Kadar normal : tidak terdeteksi sampai 7 unit/liter.
- Diatas normal : infark miokard, cedera hebat pada otot skelet.
- Dibawah normal : tidak ada makna klinisnya.
5. Troponin I
Menurut Kosasih (2008), nilai rujukan untuk Troponin I (metode
immunoassay) :
- Nilai antara 0,04 dan 0,1 ng/mL diinterpretasikan sebagai tak pasti
- Nilai di atas o,1 ng/mL diinterpretasikan sebagai nekrosis sebagian sel
otot jantung
- Pada operasi jantung dan takikardia yang berlangsung lama, nilai dapat
sedikit lebih tinggi

11
- Pada orang normal nilai kurang dari kurang dari 0,2 ng/mL
- Batas pengukuran Ultra Troponin I mulai 0,01 sampai 30,00 µg/L dengan
sensitivitas 98,23% dan spesifisitas 95,29%. 
- Kadar Troponin I Normal < 0,01 µg/L.
6. Troponin T
- Nilai normal troponin T adalah 0-0.10 ng/Ml

G. Penatalaksanaan
a. Terapi farmakologis
Obat-obat antiangina bertujuan untuk meningkatkan aliran darah, baik dengan
menambah suplai oksigen maupun mengurangi kebutuhan miokardium akan oksigen.
Jenis antiangina meliputi hal-hal berikut:
a) Morfin sulfat
Morfin sulfat merupakan suatu anlagetik nakrotik, biasanya digunakan
untuk mengobati angina yang berkaitan dengan infark miokardium akut. Morfin
menghilangkan sakit, memperlebar pembuluh vena dan mengurangi beban
jantung. Dosis standar morfin sulfat adalah 2-5 mg IV, diulang setiap 5-30 menit
sampai sakit dada hilang.
b) Nitrat
Nitrat atau vasodilator koroner merupakan agen-agen pertama yang digunakan
untuk meredakan angina
c) Penghambat beta
Penghambat beta dapat mengurangi denyut jantung. Obat ini digunakan sebagai
anti angina, antiaritmia dan antihipertensi.
1) Antiplatelet
Pemberian terapi antiplatelet dikelompokkan dalam tiga kategori sebagai
berikut:
a) Bila dilakukan PTCA Primer
a. Aspirin oral dengan dosis 150-325 mg
b. Clopidogrel dosis pembebanan (loading dose) 300-600mg

12
c. GPIIb/IIIa inhibitor (abciximab)
b) Bila diberikan trombolitik
a. Aspirin oral dosis 150-325 mg
b. Clopidogrel 300 mg bila usia < 75 thn dan 75 mg bila usia > 75
c) Bila tidak diberikan trombolitik
a. Aspirin oral dgn dosis 150-325 mg
b. Clopidogrel oral 75 mg

2) Antikoagulan (Antitrombin)
a) Bila dilakukan PTCA Primer
Diberikan heparin bolus 100 UI/kgBB dan selama tindakan ACT
dipertahankan sekitar 250-300. Bivalirudin diberikan bolus 0,75 mg
kgBB intravena dan diteruskan infus 0,75 mg/KgBB/jam.
b) Bila diberikan trombolitik
1) Enoxaparin
Bila usia <75 thn dan kreatinin < 2,5 mg/dL maka diberikan bolus
ntravena 30 mg dan dilanjukan 1 mg/kgBB per 12 jam. Bila usia di
atas 75 thn dan CCT < 30 ml maka dosis bolus 0,75 mg/kgBB dan
dosis pemeliharaan diberikan satu kali sehari.
2) Heparin
Bolus 60 UI/kgBB dengan dosis maksimum 4000UI dan diikuti
dengan infus drip 12 UI/kgBB maksimum 1000 UI/jam diteruskan
selama 24-48 jam.

3) Fondaparinux
Diberikan 2,5 mg bolus intravena dan diikuti dosis pemeliharaan 2,5
mg per hari selama 8 hari.

13
b. Terapi Reperfusi
1. Reperfusi Farmakologik
Diberikan pada pasien STEMI yang tidak mungkin atau tidak ada fasilitas
untuk reperfusi mekanik (primary PTCA). Obatobat trombolitik yang dapat
diberikan :
a. Streptokinase : 1,5 juta unit intravena dalam 30-60 menit
b. Alteplase (t-PA): 15 mg bolus intravena dan dilanjutkan o,75 mg/kgBB dalam
30 menit, lalu 0,5 mg/kgBB dalam 60 menit
2. Reperfusi Mekanik
Reperfusi mekanik dengan PTCA lebih unggul dalam keberhasilan melnacarkan
kembali aliran koroner dibandingkan dengan reperfusi farmakologik. Ada tiga
jenis reperfusi mekanik:

a) PTCA primer
Pelebaran arteri koroner dgn PTCA pada STEMI dengan mula terjadi < 12
jam dengan rentang waktu antara pasien datang ke rumahsakit sampai balon
koroner dikembangkan (door to balloon time) < 2 jam. Biasanya
diindikasikan pada pasien dengan renjatan (syok) atau kontraindikasi terhadap
trombolitik.
b) Rescue PTCA

14
Bila trombolitik gagal pada pasien dengan infark luas dan onset < 12 jam.
Parameter klinik kegagalan trombolitik adalah turunnya elevasi segment ST
<50% dalam 60-90 menit pasca pemberian trombolitik.
c) Facilitated PTCA
Untuk mengurangi efek keterlambatan tindakan PTCA, diberikan
trombolitik dosis penuh sebelum dilakukan PTCA terencana.

c. Rehabilitasi Jantung
Program rehabilitasi jantung adalah suatu proses pemulihan dan penyembuhan
seseorang yang mengalami kelainan jantung, ketingkat yang optimal baik secara
phisik, mental, sosial dan vokasional. Terdapat 3 fase Rehabilitasi Jantung (Wilson,
1991).
a) Fase I
1) Tujuan Fase I ; rehabilitasi pada fase ini untuk mengembalikan kondisi
(Reconditioning) yaitu mengatasi akibat negatif dari tirah baring
(Deconditiong) yang disebabkan karena sakitnya dan karena tindakan
pembedahan. Lamanya antara 7-14 hari. Penderita dipulangkan setelah uji
latih jantung dengan beban (Predischarge exercise test).
2) Target Fase I: mencapai kapasitas aerobik 3 mets yaitu mampu jalan 1,5 km
selama 30 menit, kenyataan, tidak selalu tepat 1,5 km/30 kadang kurang
lebih.
3) Yang dikerjakan pada Fase I Ruang ICU: ROM-Chest
Fisiotherapi/Breathing exercise Ruang Intermendiate: Latihan ADL-Latihan
duduk-Latihan berdiri-Latihan jalan Ruang Rehab (GP.2): Latihan jalan di
kamardiluar kamar Gymnasium: Latihan jalan dengan dosis yang
meningkat, hingga mencapai 1,5 km/30’ latihan sepeda 5’ tanpa beban.
Pengawasan dengan telementri, tensi nadi dan adanya keluhan. Fase I
diakhiri dengan Evaluasi Tread Mill Test. Selanjutnya masuk ke F.II.

b) Fase II

15
1) Tujuan Fase II, untuk menghindari progresifitas penyakit lebih jauh.
Dilakukan edukasi, evaluasi psikososial, vokasional dan seksual. Penderita
sudah pulang dari Rumah Sakit, masih latihan di UPF Rehabilitasi. Waktu
latihan 4-8 minggu.
2) Target Fase II: Mencapai kapasitas aerobik 6 Mets yaitu mampu jalan 3 km
selama 30 dan mampu.
3) Yang dikerjakan pada fase II ( Gymnasium ) Latihan jalan dengan dosis
yang meningkat, hingga mencapai 3 km selama 30 menit latihan sepeda 10’
tanpa beban.Pengawasan dengan telementri, tensi nadi dan adanya keluhan
Fase II diakhiri dengan Evaluasi Tread Mill Test, bila tidak masuk ke F.III
bekerja kembali.

c) Fase III
1) Tujuan Fase III (pemeliharaan): Maintenence, memelihara hasil yang
dicapai supaya tidak mundur. Mencegah progresifitas, memberikan latihan
dan pengaturan diet. Dalam waktu 6 bulan diharapkan regresi terjadi. Fase
III dihubungkan dengan upaya Prevensi sekunder yaitu
2) Target Fase III: Mencapai kapasitas aerobik 6-8 Mets, yaitu mampu jalan 3-
4 km selama 30 kenyataan, tidak selalu tepat 3-4 km/ 30 kadang kurang
kadang lebih.
3) Yang dikerjakan pada fase III ( Gymnasium ) Latihan jalan dengan dosis
yang meningkat, hingga mencapai 3-4 km selama 30 menit latihan sepeda
15’ tanpa beban. Pengawasan dengan telementri, tensi nadi dan adanya
keluhan Fase II diakhiri Evaluasi Tread Mill Test, bila tidak masuk ke F.III
Aktivitas pada Rehabilitasi Jantung, dilakukan latihan : ROM, Breathing exercise,
ADL, Latihan duduk, Senam, latihan berdiri, latihan jalan, sepeda dan penyuluhan
(P.K.Wilson,1991)

H. Komplikasi
1. Aritmia
Henti jantung terjadi bila jantung tiba-tiba berhenti berdenyut. Akibatnya, terjadi
pengentian sirkulasi efektif. Pada aritmia, semua kerja jantung berhenti, terjadi

16
kedutan otot yang tidak seirama, terjadi kehilangan kesadaran mendadak, tidak ada
denyutan dan bunyi jantung tidak terdengar. Pupil mata berdilatasi selama 45 detik,
kadang-kadang terjadi kejang. Terdapat interval waktu sekitar 4 menit antara
berhentinya sirkulasi dengan terjadinya kerusakan otak menetap. Intervalnya dapat
bervariasi tergantung usia klien. Selama periode tersebut, diagnosis henti jantung
harus sudah ditegakkan dan sirkulasi harus segera dikembalikan.
Gangguan irama jantung atau aritmia merupakan jenis komplikasi yang paling
sering terjadi pada infark miokardium. Insiden gangguan ini sekitar 90%. Aritmia
timbul akibat perubahan elektrofisiologi sel-sel miokardium. Perubahan
elektrofisiologi ini bermanifestasi sebagai perubahan bentuk potensial aksi, yaitu
rekaman grafik aktivitas listrik sel. Misalnya, perangsangan simpatis akan
meningkatkan depolarisasi spontan, sehingga meningkatkan kecepatan denyut
jantung. Secara klinis, diagnosis aritmia ditegakkan berdasarkan pada interpretasi
elektrokardiogram.
Beberapa faktor predisposisi tingginya insiden aritmia pada penyakit aterosklerosis
koroner adalah sebagai berikut:
a) Iskemia jaringan
b) Hipoksemia
c) Pengaruh sistem saraf otonom
d) Gangguan metabolisme
e) Kelainan hemodinamik
f) Obat-obatan
g) Ketidakseimbangan elektrolit

2. Defek septum ventrikel


Nekrosis septum interventrikular dapat menyebabkan ruptum dinding septyum
sehingga terjadi depek septum ventrikel. Pada hakikatnya, ruptur membentuk
saluran keluar ke dua dari ventrikel kiri pada tiap kontraksi ventrikel, kemudian
aliran terpecah menjadi dua yaitu melalui aorta dan melalui defek septum
ventrikel. Karena tekanan jantung kiri jauh lebih besar dari pada jantung kanan,
maka darah akan menyerong melalui defek dari kiri ke kanan, dari daerah lebih

17
besar tekanan nya menuju daerah yang lebih rendah tekanan nya. Darah yang
dapat dipindahkan ke jantung kanan cukup besar jumlah nya sehingga jumlah
darah yang dikeluarkan aorta menjadi berkurang. Akibatnya, curah jantung sangat
berkurang disertai peningkatan kerja ventrikel kanan dan kongesti paru.

3. Syok Kardiogenik
Syok kardiogenik diakibatkan oleh disfungsi ventrikel kiri sesudah mengalami
infark yang masif, biasanya mengenai lebih dari 40% ventrikel kiri.
Timbul lingkaran setan akibat perubahan hemodinamik progresif hebat yang
ireversibel dengan manifestasi meliputi hal-hal berikut:
a) Penurunan perfusi perifer
b) Penurunan perfusi koroner
c) Peningkatan kongesti paru-paru
d) Hipotensi, asidosis metabolik dan hipoksemia yang selanjutnya makin menekan
fungsi miokardium.

4. Gagal jantung Kongestif


Gagal jantung kongestif merupakan komplikasi yang paling sering terjadi setelah
serangan infark. Hal ini terjadi karena kongesti sirkulasi akibat disfungsi miokardium.
Tempat kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat. Disfungsi ventrikel kiri atau
gagal jantung kiri menimbulkan kongesti vena pulmonalis, sedangkan disfungsi
ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti vena sistemik.

5. Perikarditis
Infark transmural dapat membuat lapisan epikardium yang langsung berkontak
dan menjadi kasar, sehingga merangsang permukaan perikardium dan menimbulkan
reaksi peradangan. Kadang-kadang terjadi efusi perikardial atau penimbunan cairan
antara kedua lapisan. Penimbunan cairan ini biasanya tidak sampai menyebabkan
terjadinya temponade jantung.

18
6. Difungsi otot papilaris
Disfungsi iskemik atau ruptur nekrotik otot papilaris akan mengganggu fungsi
katup mitralis, sehingga memungkin eversi daun katup ke dalam atrium selama
sistolik. Inkompetensi katup mengakibatkan aliran retrograd dari ventrikel kiri
kedalam atrium kiri dengan dua akibat, yaitu pengurang aliran ke aorta,
sertapeningkatan kongesti pada atrium kiri dan vena pulmonalis meskipun jauh lebih
jarang terjadi, ruptur otot papilaris dapat juga terjadi pada ventrikel kanan. Hal ini
akan mengakibatkan regurgitasi trikuspidalis yang berat dan gagal ventrikel kanan.

7. Edema paru akut


Edema paru adalah timbunan cairan abnormal dalam paru, baik dirongga
interstisial maupun dalam alveoli. Edema paru merupakan tanda adanya kongesti
paru tingkat lanjut, dimana cairan mengalami kebocoran melalui dinding kapiler,
merembes keluar dan menimbulkan disritmia yang sangat berat. Kongesti paru
terjadi jika dasar vaskular paru menerima darah yang berlebihan dariventrikel kanan
yang tidak mampu diakomodasi dan diambil oleh jantung kiri. Sedikit
ketidakseimbanga antara aliran masuk pada sisi kanan dan aliran kleluar pada sisi kiri
jantung tersebut mengakibatkan konsekuensi yang berat.
Oleh karena adanya timbunan cairan, paru menjadi kaku dan tidak dapat
mengembang serta udara tidak dapat masuk, akibatnya terjadi hipoksia berat.
Kemqatian pada edema paru tidak dapat dihindari lagi. Apabila segera dilakukan
tindakan yang tepat, serangan dapat dihentikan serta klien dapat selamat dari
komplikasi ini dan kekambuhan dapat dicegah. Untung nya edema paru tidak terjadi
mendadak, tetapi didahului oleh gejala kongesti yang dipantau sebelumnya.

8. Ruptur jantung
Ruptur dinding ventrikel jantung yang bebas dapat terjadi pada awal perjalanan
infark selama fase pembuangan jaringan nekrotik sebelum pembentukan parut.
Dinding nekrotik yang tipis pecah,sehingga terjadi perdarahan terjadi kedalam
kantong perikardium yang relatif tidak elastis dapat berkembang. Kantong
perikardium yang terisi oleh darah menekan jantung, sehimgga menimbulkan apa

19
yang dinamakan tamponade jantung . secara normal, kantong perikardium berisi
cairan sebanyak 50 ml. Cairan perikardium akan terakumulasi secara lambat tanpa
menyebabkan gejala nyata.namun, perkembangan efusi yang cepat dapat
meregangkan perikardium sampai ukuran maksimal dan menyebabkan penurunan
curah jantung. Tamponade jantung ini akan mengurangi aliran balik vena dan curah
jantung.

9) Aneurisma ventrikel
Penonjolan miokardium paradoks yang bersifat sementara pada iskemia miokardium
sering terjadi, dan pada sekitar 15% klien aneurisme ventrikel akan menetap.
Aneurisme ini biasanya terjadi pada permukaan arterior atau apeks jantung.
Aneurisme ventrikel akan mengembang bagaikan balon pada setiap sistol dan
teregang secara pasif oleh sebagian curah sekuncup.

10) Tromboembolisme
Nekrosis endotel ventrikel akan membuat permukaan endotel mejadi kasar yang
merupakan predisposisi pembentukan trombus.pecahan trombus mural intrakardium
dapat terlepas dan terjadi embolisasi sistemik.
Kurangnya mobilitas klien penyakit jantung dan adanya gangguan sirkulasi yang
menyertai kelainan ini berperan dalam pembentukan trombus intrakarnial dan
intravaskular. Begitu klien meningkatkan aktifitasnya setela mobilitas yang lama,
sebuah trombus dapat terlepas (trombus yang terlepas dinamakan embolus) dan dapat
terbawa ke otak, ginja, usus dan paru.
Emboli sistemik ,emboli ini dapat berasal dari ventrikel kiri. Sumbatan vaskular dapat
menyebabkan struk atau infark ginjal,juga dapat menganggu suplai darah ke
ekstremitas.

20
I. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
1. Aktivitas( gejala : kelemahan, kelelahan, tidak dapat tidur, pola hidup menetap,
jadwal olah raga tak teratur )
2. ( Tanda ; takhikardia, dispnea pada istirahat/aktivitas )
3. Sirkulasi ( gejala: Infark Myokard sebelumnya, penyakit arteri koroner, PJK.
DM.)
4. Tanda : TD 160/84 mmHg,. Dapat normal atau naik turun, perubahan postural
dicatat, dari tidur sampai duduk/berrdiri. Nadi:118 x/menit. dapat normal,
inadekuat, penuh, atau lemah, pengisian kapiler lambat / tidak teratur.
5. Tanda : cemas, dan lemah
6. Makanan/cairan : ( gejala: mual, kehilangan nafsu makan, nyeri ulu
hati/terbakar)
7. Tanda: perubahan mental atau kelemahan.
8. Ketidaknyamanan ( Gejala : nyeri dada yang timbulnya setelah makan ,
dapat/tidak berhubungan dengan aktivitas tidak hilang dengan istirahat atau
nitroglyserin , lokasi tipikal pada dada anterior, substernal, perikordia, dapat
menyebar ke tangan, rahang, atau wajah. Kualitas : berat,menetap, tertekan.)
9. Tanda : serasa ada gajah yang menimpa di dada
10. Pernafasan (normal RR 28x/menit)

b. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan Curah Jantung b.d perubahan faktor-faktor listrik, penurunan
karakteristik miokard.

21
2. Gangguan pertukaran gas b.d. gangguan aliran darah ke alveoli.
3. Nyeri akut b.d. iskemia jaringan sekunder terhadap sumbatan arteri ditandai
dengan : penurunan curah jantung.

c. INTERVENSI

Diagnosa Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi


Penurunan curah jantung NOC NIC
b.d. perubahan faktor-  Efektifitas pompa Perawatan jantung:
faktor listrik, penurunan jantung  Evaluasi adanya nyeri
karakteristik miokard.  Status sirkulasi dada (intensitas, lokasi,
 Status tanda vital durasi)
Kriteria hasil:  Catat adanya disritmia
 Tanda vital dalam jantung
rentang normal  Catat adanya tanda dan
(tekanan darah, nadi, gejala penurunan cardiac
respirasi) output
 Dapat mentoleransi  Monitor status
aktivitas, tidak ada pernapasan yang
kelelahan menandakan gagal
 Tidak ada edema paru, jantung
perifer, dan tidak ada  Monitor abdomen sebagai
asites indicator penurunan
 Tidak ada penurunan perfusi
kesadaran  Monitor adanya
perubahan tekanan darah
 Atur periode latihan dan
istirahat untuk
menghindari kelelahan
 Monitor toleransi
aktivitas pasien
 Anjurkan untuk
menurunkan stress
Memonitor tanda vital:
 Monitor TD, nadi, suhu,
dan RR
Gangguan pertukaran gas NOC NIC

22
b.d. gangguan aliran  Status pernapasan: Manajemen jalan napas:
darah ke alveoli. pertukaran gas  Posisikan pasien untuk
 Status pernapasan: memaksimalkan ventilasi
ventilasi  Monitor respirasi dan
 Status tanda vital status O2
Kriteria hasil: Memonitor pernapasan:
 Mendemonstrasikan  Monitor rata-rata
peningkatan ventilasi kedalaman, irama dan
dan oksigenasi yang usaha respirasi
adekuat  Monitor pola napas:
 Tanda-tanda vital bradipnea, takipnea,
dalam rentan normal kussmaul, hiperventilasi
Nyeri akut b.d. iskemia NOC NIC
jaringan sekunder  Tingkat nyeri Manajemen nyeri:
terhadap sumbatan arteri  Kontrol nyeri  Lakukan pengkajian nyeri
ditandai dengan :  Tingkat kenyamanan secara komprehensif
penurunan curah jantung. Kriteria hasil: termasuk lokasi,
 Mampu mengontrol karakteristik, durasi,
nyeri (tahu penyebab frekuensi, kualitas dan
nyeri, mampu faktor presipitasi
menggunakan teknik  Observasi reaksi non-
non-farmakologi untuk verbal dari
mengurangi) ketidaknyamanan
 Melaporkan bahwa  Gunakan teknik
nyeri berkurang komunikasi terapeutik
dengan menggunakan untuk mengetahui
manajemen nyeri pengalaman nyeri pasien
 Mampu mengenali  Kaji kultur yang
nyeri (skala, intensitas, mempengaruhi respon
frekuensi, dan tanda nyeri
nyeri)  Evaluasi pengalaman
 Menyatakan rasa nyeri masa lampau
nyaman setelah nyeri  Kontrol lingkungan yang
berkurang dapat mempengaruhi
nyeri seperti suhu
ruangan, pencahayaan,
dan kebisingan
 Kurangi faktor presipitasi
 Pilih dan lakukan
penanganan nyeri
(farmakologi, non-
farmakologi, dan
interpersonal)
 Kaji tipe dan sumber
nyeri untuk menentukan

23
intervensi
 Ajarkan tentang teknik
non-farmakologi
 Berikan analgetik untuk
mengurangi nyeri
 Evaluasi keefektifan
kontrol nyeri
 Tingkatkan istirahat
 Kolaborasikan dengan
dokter jika ada keluhan
dan tindakan nyeri tidak
berhasil
 Monitor penerimaan
pasien tentang
manajemen nyeri

Manajemen analgetik:
 Tentukan
lokasi,karakteristik,
kualitas, dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat
 Tentukan pilihan
analgetik tergantung tipe
dan beratnya nyeri
 Tentukan analgetik
pilihan, rute pemberian,
dan dosis optimal
 Pilih rute pemberian
secara IV, IM untuk
pengobatan nyeri secara
teratur
 Monitor vital sign
sebelum dan sesudah
pemberian analgetik
pertama kali
 Berikan analgetik tepat
waktu terutama saat nyeri
hebat
 Evaluasi efektivitas
analgetik, tanda dan
gejala

24
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Infark Miokard Akut adalah penyakit jantung yang disebabkan oleh karena
sumbatan pada arteri coroner. Sumbatan akut terjadi oleh karena adanya aterosklerotik
pada dinding arteri coroner sehingga menyumbat aliran darah ke jaringan otot jantung.
Infark miokard atau yang lebih dikenal dengan serangan jantung, adalah keadaan
di mana terjadi nekrosis pada miokardium akibat terganggunya aliran darah ke otot
jantung. Secara umum, infark miokard dapat terjadi secara tiba-tiba dan dapat mengancam
hidup seseorang. Infark miokard apabila tidak segera ditangani atau dirawat dengan cepat
dan tepat, dapat menimbulkan komplikasi seperti CHF, syok kardiogenik dan kematian.
Di Indonesia, sejak sepuluh tahun terakhir dan dengan adanya fasilitas-fasilitas
penunjang diagnostic serta unit perawatan untuk penyakit jantung, infark miokard sudah
banyak yang terdiagnosa atau dengan kata lain, Indonesia menunjukkan angka kenaikan
yang jelas terhadap penyakit infark miokardium ini.

25
B. Upaya-upaya pencegahan primer, sekunder dan tersier pada kasus IMA
1. Pencegahan Primer
Pencegahan Primer yaitu upaya awal pencegahan penyakit jantung sebelum
seseorang menderita penyakit jantung. Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok
yang mempunyai faktor risiko tinggi. Dengan adanya pencegahan ini diharapkan
kelompok yang berisiko ini dapat mencegah berkembangnya proses atherosklerosis
secara dini. Upaya-upaya pencegahan disarankan meliputi:
a. Mengontrol kolesterol darah, yaitu dengan cara mengidentifikasi jenis makanan
yang kaya akan kolesterol kemudian mengurangi konsumsinya serta
mengkonsumsi serat yang larut.
b. Mengontrol tekanan darah. Banyak kasus tekanan darah tinggi tidak dapat
disembuhkan. Keadaan ini berasal dari suatu kecenderungan genetik yang
bercampur dengan faktor risiko seperti stress, kegemukan, terlalu banyak
konsumsi garam dan kurang gerak badan. Upaya pengendalian yang dapat
dilakukan adalah mengatur diet, menjaga berat badan, menurunkan stress dan
melakukan olahraga.
c. Berhenti merokok. Program-program pendidikan umum dan kampanye anti
merokok perlu dilaksanakan secara intensif di rumah sakit dan tempat umum
lainnya.
d. Aktivitas fisik. Manfaat melakukan akvifitas fisik dan olahraga bagi penyakit
jantung antara lain adalah perbaikan fungsi dan efisiensi kardiovaskular,
pengurangan faktor risiko lain yang mengganggu pembuluh darah koroner. Ada
dua jenis olahraga, yaitu olahraga aerobik dan olahraga anaerobik. Olahraga

26
aerobik adalah olahraga yang dilakukan secara terus-menerus dimana kebutuhan
oksigen masih dapat dipenuhi tubuh. Sebagai contoh olahraga aerobik adalah
gerak jalan cepat, jogging, lari, senam, renang, dan bersepeda. Olahraga anaerobik
adalah olahraga dimana kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi seluruhnya oleh
tubuh. Sebagai contoh angkat besi, lari sprint 100 M, tenis lapangan, dan bulu
tangkis.

2. Pencegahan Sekunder
Yaitu upaya untuk mencegah atau menghambat timbulnya komplikasi melalui
tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan yang tepat pada penderita penyakit
jantung. Disini diperlukan perubahan pola hidup terhadap faktor-faktor yang dapat
dikendalikan dan kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah menderita penyakit
jantung. Pencegahan ini ditujukan untuk menurunkan mortalitas.
Dalam hal ini dilakukan beberapa pemeriksaan yakni:
a. Pemeriksaan Fisik
Penderita sering tampak ketakutan, gelisah dan tegang. Mereka sering
mengurut-urut dadanya (Levine sign). Penderita dengan disfungsi ventrikel kiri
teraba dingin, nadi bervariasi, bisa brakikardia atau bahkan takikardia. Kadang
juga disertai dengan nadi yang tidak teratur oleh aritmia. Tekanan darah biasanya
normal, tetapi karena terjadi penurunan curah jantung tekanan sitolik sering turun.
Pulse pressure (tekanan nadi) sering menurun karena tekanan diastolik
meningkat. Penderita dengan syok kardiogenik tekanan darah sistolik menurun
<90 mmHg disertai dengan tanda-tanda gangguan perfusi perifer. Pada
pemeriksaan auskultasi jantung suara jantung (S1) melemah dan sering tidak
terdengar. Sering terjadi suara gallop S3 atau S4. Jika disertai komplikasi
regurgitasi mitral dapat mendengar bising jantung sistolik blowing di apeks. Jika
ada ruptur septum ventrikel dapat terdengar bising pansistolik di parasternal kiri.
Kadang (6-30%) juga didapatkan adanya suara friction rub.
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium

27
Ada beberapa serum marker untuk Infark Miokard Akut, yaitu
creatinekinase (CK), CK isoenzim (CK-MB), serum glutamic oxaloacetic
transaminase (SGOT), lactic dehydrogenase (LDH) dan cardiac troponin
(cTnI,cTnT). Enzim CK meningkat dalam 4-8 jam dan menurun ke kadar
normal dalam 2-3 hari dengan kadar puncak pada 24 jam. , CK isoenzim (CK-
MB) meningkat dalam 4-8 jam dan menurun ke kadar normal dalam 2-3 hari
dengan kadar puncak pada 24 jam. , CK isoenzim (CK-MB) meningkat dalam
3-12 jam pertama dan mencapai puncak dalam 18-36 jam selanjutnya menjadi
normal setelah 3-4 hari. Sementara lactic dehydrogenase (LDH) meningkat
pada 10 jam dengan kadar puncaknya tercapai dalam 24-28 jam kemabali
normal setelah 10-14 hari.
2. Elektrokardiografi
Pemeriksaan EKG menunjukkan adanya elevasi segmen-ST sesuai dengan
lokasi dinding ventrikel yang mengalami infark. Pada fase hiperakut,
perubahan EKG didahului oleh gelombang T yang meninggi, kemudian elevasi
segmen-T selanjutnya terbentuk gelombang Q yang patologis disertai elevasi
segmen-ST.2
3. Ekokardiografi
Ekokardiografi sangat berguna di dalam ruangan Coronary Care Unit
(CCU) karena dapat mendiagnosa dengan cepat dan tepat adanya iskemia
miokard terutama bila elektrokardiogram penderita tidak jelas dan kadar enzim
jantung belum meningkat. Ciri khas adanya nekrosis miokard ekokardiografi
adalah adanya abnormalitas pergerakan dinding ventikel.
4. Arteriografi Koroner
Dengan kateter khusus melalui cara kateterisasi perkutan, disuntikkan zat
kontras ke dalam arteri koroner yang hendak diperiksa. Dengan cara ini
tampaklah arteri koroner yang menyempit dan beratnya stenosis dapat pula
dinilai.
5. Radioisotop
Pemeriksaan sistem kardiovaskular dengan radionuklear dilakukan dengan
menyuntikkan zat radioaktif secara intravena, kemudian zat tersebut dideteksi

28
di dalam tubuh manusia. Zat-zat yang biasa digunakan adalah thallium dan
technetium 99m (Tc-99m).

3. Pencegahan Tersier
Merupakan upaya untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat atau
kematian serta usaha untuk rehabilitasi. Komplikasi penyakit infark miokard akut tak
terbatas hanya saat pasien dirawat di rumah sakit saja, demikian pula tanggung jawab
para ahli kesehatan agar pasien hidup sehat sejahtera, tidak berarti selesai dengan
keluarnya pasien dari rumah sakit. Sedini mungkin, pasien mengikuti program
rehabilitasi kardiovaskular, dan kemudian terus dilanjutkan meskipun pasien pulang ke
rumah. Pengertian rehabilitasi jantung oleh American Heart Association dan The Task
Force on Cardiovascular Rehabilitation of the National Heart, Lung and Blood
Institute, adalah proses untuk memulihkan dan memelihara potensi fisik, psikologis,
sosial, pendidikan dan pekerjaan pasien.
Pencegahan ini merupakan upaya agar tidak terjadi kambuh pada penderita dan
penderita dapat melaksanakan aktivitasnya kembali. Ini dapat dilakukan setelah
penyakit jantung dianggap sudah tidak membahayakan lagi. Upaya pencegahan ini
mencegah terjadinya komplikasi yang lebih atau kematian. Seringkali setelah terkena
penyakit jantung seseorang merasa sudah lumpuh dan tidak boleh melakukan
pekerjaan, tetapi dengan mengikuti program rehabilitasi ini diharapkan dapat kembali
bekerja seperti biasanya dengan melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa dan
dibutuhkan pemantauan yang cukup ketat.

C. Trend dan issue/Hasil penelitian terkait pada kasus IMA


Infark miokard akut (acute myocardial infarct) di Indonesia masih belum
diketahui secara jelas. Di Amerika Serikat, diperkirakan angka mortalitas akibat penyakit
kardiovaskuler adalah 222,9 per 100.000 penduduk.
a. Global
Di Amerika Serikat pada tahun 2013 angka mortalitas akibat penyakit
kardiovaskular mencapai 222,9 per 100.000 penduduk. Sementara hanya penyakit

29
jantung koroner saja menyebabkan 1 dari 7 total kematian di Amerika Serikat.[6] Di
negara Tiongkok, terjadi peningkatan tren prevalensi pasien yang dirawat inap
karena STEMI dari 3,5 per 100.000 tahun 2011 menjadi 15,4 per 100.000 pada tahun
2011.[8]
b. Indonesia
Data pasti tingkat kejadian, morbiditas, dan mortalitas infark miokard di
Indonesia terbatas. Namun secara nasional terdapat 0,5% prevalensi penyakit jantung
koroner yang didiagnosis dokter menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 di mana
prevalensi paling tinggi berada di provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, DKI
Jakarta dan Aceh.
Data Jakarta Acute Coronary Syndrome Registry menyebutkan bahwa pada tahun
2015-2016 terdapat 654 pasien dengan STEMI. Dari pasien yang mengalami STEMI
hanya 59% yang mendapat terapi reperfusi. Hampir 80% kasus infark datang setelah
lewat 12 jam sejak onset serangan.

Penyakit jantung merupakan penyakit yang menempati posisi tertinggi penyebab


kematian dan kecacatan baik di dunia maupun di Indonesia. Penyakit jantung dilaporkan
sebagai penyebab kematian tertinggi di Amerika (Overbaugh,2015). Data Riset
Kesehatan Dasar (2018) melaporkan penyakit jantung koroner (PJK) menempati
penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Beberapa studi melaporkan terdapat penurunan
insiden penyakit jantung diantaranya penyakit jantung koroner, infark berulang dan
tingkat mortalitas penyakit jantung dengan menurunkan faktor risiko, diantaranya latihan
fisik. Namun, serangan infark miokard yang dialami setelah aktivitas fisik dan intervensi
bedrest saat penanganan awal dapat menimbulkan persepsi bahwa latihan fisik harus
dihindari setelah serangan infark miokard. Hal ini menyebabkan perlunya informasi yang
memadai dan tepat untuk meminimalkan kesalahpahaman atau ketakutan pasien dalam
memulai aktivitas fisik setelah serangan dalam upaya pemulihan fungsi jantungnya.
Metode: Mengidentifikasi literatur yang relevan mengenai latihan fisik pada STEMI
dalam bentuk artikel dan hasil penelitian. Hasil: Empat (4) diantara artikel penelitian
yang direview adalah penelitian dengan desain randomized controlled trial (RCT). Secara
umum, keempat penelitian tersebut menemukan bahwa latihan fisik dapat memberikan
keuntungan yang signifikan baik secara langsung terhadap pengembalian fungsi jantung

30
maupun secara tidak langsung berupa penurunan faktor risiko.. Meskipun demikian,
terdapat 1 laporan survey yang menjelaskan bahwa terdapat risiko injuri pada latihan fisik
pada pasien STEMI, namun dapat dimimalisir dengan pengetahuan dan pelaksanaan
latihafisik yang sesuai prosedur. Kesimpulan: latihan fisik dini pada paien STEMI
memberikan dampak positif yang menguntungkan bagi perbaikan fungsi jantung secara
umum, baik melalui mekanisme perbaikan langsung maupun melalui penurunan faktor
risiko. Maka perawat perlu berperan aktif dalam program latihan fisik dengan
menyediakan informasi dan memfasilitasi program rehabilitasi tersebut.

D. Evidence Based Practices dalam penatalaksanaan kasus IMA

1. Pengertian evidence based practice

Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu tenaga
kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi terbaru
yang dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif dan efisien
sehingga dapat memberikan perawatan terbaik kepada pasien (Macnee, 2011).
Sedangkan menurut (Bostwick, 2013) evidence based practice adalah starategi untuk
memperolah pengetahuan dan skill untuk bisa meningkatkan tingkah laku yang positif
sehingga bisa menerapakan EBP didalam praktik.

2. EBP dalam Penatalaksanaan kasus Infark Miokard Akut


Pasien yang mengalami STEMI segera dibawa ke UGD dan dilakukan tatalaksana
awal dalam waktu 10 menit pertama (Moser & Riegel, 2008):
1. Tirah baring (bed rest total).
2. Oksigen 4 L/menit (saturasi oksigen dipertahankan > 90%).
3. Aspirin 160-325 mg (dikunyah)
4. Berikan tablet nitrat 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drip bila nyeri.
5. Clopidogrel 300 mg peroral (jika sebelumnya belum pernah diberi)
6. Morvin IV bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.

31
7. Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner) dan reperfusi
miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi ≤ 12 jam.

Tatalaksana jangka panjang menurut (Moser & Riegel, 2008) diantaranya:

1. Perbaikan gaya hidup (berhenti merokok, aktifitas fisik teratur, diet, dan
penurunan berat badan pada pasien obese dan overweight)
2. Kontrol tekanan darah dan DM.
3. Intervensi profil lipid (pemberian statin dengan tidak bergantung pada kadar
kolesterol dimulai pada 1-4 hari sejak MRS dengan tujuan mencapai kadar LDL <
100 mg/dl; terapi penurun kadar lipid secara intensif dengan target LDL <70
mg/dl yang diberikan 10 hari sejak MRS)
4. Meneruskan pemakaian anti platelet dan anti koagulan.
5. Pemakaian beta- bloker (diberikan pada semua pasien, termasuk pasien dengan
fungsi ventrikel kiri yang menurun, dengan atau tanpa gejala gagal jantung).
6. ACE inhibitor (diberikan pada pasien dengan left ventrikel ejection fraction
(LVEF) < 40%, diabetes, hipertensi, atau penyakit ginjal kronis.
7. Penghambat reseptor angiotensin (salah satu pertimbangan untuk pasien yang tak
toleransi terhadap ACE inhibitor dan atau dengan gagal jantung atau infark
miokard dengan LVEF < 40%.
8. Antagonis reseptor aldosteron (dipertimbangkan untuk pasien pasca infark
miokardium yang telah mendapat ACE inhibitor, beta- bloker serta LVEF
9. <40% dan dengan diabetes atau gagal jantung, tanpa disfungsi renal atu
hiperkalemia.
10. Rehabilitasi dan kembali keaktifitas fisik (guna mengetahui status kardiovaskuler
dan penilaian kapasitas fisik fungsional, pasien disarankan latihan trad mill pada
4- 7 minggu setelah perawatan.

Reperfusi

a. Terapi trombolitik
Pemberian terapi trombolitik jangan menunggu hasil pemeriksaan enzim
jantung, karena penundaan yang tidak perlu dapat mengurangi miokardium yang

32
seharusnya dapat diselamatkan. Jika keluhan pasien sesuai dengan STEMI dan
kadar enzim jantung meningkat, namun tidak terdapat ST elevasi pada EKG,
maka diagnosisnya adalah infark non ST elevasi (NSTEMI). Pasien harus
mendapat terapi heparin, aspirin dan obat-obatan anti angina. Terapi trombolitik
tidak boleh diberikan pada infark non ST elevasi. Obat-obat trombolitik
diantaranya Streptokinase, Tissue Plasminogen Activator (tPA),

b. Primary PTCA
Primary PTCA terbukti memiliki keberhasilan membuka dan
mempertahankan patensi arteri koroner yang tersumbat dibandingkan trombolitik.
Namun tindakan ini masih terbatas pada beberapa rumah sakit besar (Griffin &
Topol, 2004). Primary PTCA harus dipertimbangkan sebagai alternative tindakan
reperfusi pada pusat jantung yang telah berpengalaman. Tindakan ini tidak
dianjurkan jika door to needle melebihi 60 – 90 menit, pada pasien yang memiliki
kontraindikasi absolute untuk tindakan trombolitik, pada pasien dengan syok
kardiogenik (Moser & Riegel, 2008).

c. Penanganan di ICCU
Menurut Moser & Riegel (2008) penanganan penyakit jantung koroner
dibagi dua yaitu tindakan umum dan monitoring.
1. Tindakan Umum
a) Istirahat total di tempat tidur minimal 12 jam
b) Mobilisasi dini dianjurkan pada infark tanpa komplikasi
c) Sedasi bila diperlukan
d) Penggunaan tempat untuk BAB atau BAK di samping tempat tidur (bed
side commode) dan penggunaan perlengkapan mandi di tempat tidur (bed
side washing) pada umumnya aman.
e) Valsava manuver/mengedan dapat menyebabkan gangguan
hemodinamik dan elektrokardiografi yang berbahaya, sehingga
penggunaan laksan untuk mencegah konstipasi sangat dianjurkan.
2. Monitoring

33
a) Keadaan umum
b) Tanda-tanda vital
c) Pulse oxymetri dan monitoring EKG

E. Manajemen kasus kegawatdaruratan IMA


Penyakit kardiovaskuler merupakan salah satu masalah kesehatan utama yang
terjadi di negara maju maupun negara berkembang. Penyakit ini menjadi penyebab
nomor satu kematian di dunia setiap tahunnya. Pada tahun 2017 diperkirakan sebanyak
17,3 juta kematian disebabkan oleh penyakit kardiovaskuler. Data yang didapatkan dari
penelitian yang di lakukan Direktorat Jenderal Yanmedik Indonesia pada tahun 2016
adalah jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap di Rumah Sakit di
Indonesia adalah 239.548 jiwa. Penyakit jantung iskemik merupaka kasus yang banyak
terjadi dengan jumlah 110.183 kasus. Care fatelity rate atau CFR tertinggi terjadi pada
infark mikard akut sebesar 13,49% dan kemudian diikuti oleh gagal jantung sebesar
13,42% dan penyakit jantung lainnya adalah 13,37%. Kematian yang disebabkan oleh
miokardium, keadaan yang sama juga bisa dialami di Indonesia khusunya daerah
perkotaan dimana pola penyakit infark miokardium sudah sama dengan pola-pola negara
maju.
Salah satu penyakit kardiovaskuler adalah Infark Miokard Akut atau yang biasa
disingkat IMA. Data dari WHO tahun 2017 menunjukkan bahwa pada tahun 2015 Infark
Miokard Akut atau IMA merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung 12,2%
kematian di dunia diakibatkan oleh penyakit ini. Pada tahun 2017 di Indonesia sendiri

34
Miokard Akut atau IMA merupakan penyebab kematian pertama dengan angka mortalitas
2.200.000 atau 14%.
Infark Miokard Akut atau IMA terjadi bila ada infark atau nekrosis otot jantung
karena kurangnya suplai oksigen dan darah pada miokard ataupun terjadi
ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen pada miokard. Pada dasarnya
otot jantung memerlukan keseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen untuk
menjalankan fungsinya. Oklusi arteri koronaria bisa menyebabkan Infark Miokard Akut
atau IMA, namun trombosis atau perdarahan ke dalam plak ateroma juga dapat menjadi
penyebab. Infark Miokard Akut atau IMA juga dapat timbul akibat dari spasme arterial
atau embolisasi dari bekuan darah atau material ateroma proksimal dari tempat obstruksi.
Infark miokard diakibatkan oleh iskemia pada mikard yang berkepanjangan, yang
bersifat irreversibel. Waktu yang diperlukan bagi sel-sel otot jantung mengalami
kerusakan, adalah iskemia selama 15-20 menit. Infark miokard hampir selalu terjadi di
ventrikel kiri dan dengan nyata mengurangi fungsi ventrikel kiri: makin luas daerah
infark, makin kurang daya kontraksinya. Jika dilihat secara fungsional, infark miokard
menyebabkan berkurangnya kontraksi dengan gerak dinding yang abnormal,
terganggunya kepaduan ventrikel kiri, berkurangnya volume denyutan, berkurangnya
waktu pengeluaran dan meningkatkan tekanan akhir distole ventrikel kiri. gangguan
fungsi tidak hanya tergantung luasnya infark tetapi dilihat juga dari lokasi terjadinya
infark karena berhubungan dengan pasokan darah.
Fase terjadi infark yaitu yang pertama adalah hiperakut berlangsung beberapa
jam, pola EKG didapatkan ST elevasi tinggi, gelombang T positif tinggi. Selanjutnya
lanjutan atau berkembang penuh berlangsung beberapa jam sampai dengan hari,pola
EKG didapatkan Q patologis. Gelombang T inversi, dan segmen ST elevasi. Resolusi
berlangsung beberapa minggu,pola EKG didapatkan gelombang T positif normal, dan
segmen isoelektris. Stabilisasi kronik didapatkan Q patologis permanen. Lokasi
terjadinya infark bermacam-macam. Adapun lokasi infark adalah sebagai berikut: sub-
endokardial, intramural, transmral dan subepikardial. Luas dan lokasi kerusakan miokard
berbeda setiap kasusnya dan tergantung pada hal-hal berikut ini, antara lain: lokasi dan
derajat aterosklerosis, lokasi, derajat,ada/ tidaknya spasme arteri koronaria, ukuran

35
vaskularisasi yang terganggu, jauhnya sirkulasi kolateral dan kebutuhan oksigen miokard
yang perfusinya terganggu.
Gejala utama jika seseorang mengalami Infark Miokard Akut atau IMA adalah
nyeri dada. Nyeri dada ini terjadi secara tiba-tiba dan berlangsung terus menerus. Nyeri
dada terletak di bagian bawah sternum dan perut atas. Nyeri akan terasa lebih semakin
berat dan dapat tidak tertahankan. Rasa nyeri tersebut bisa menyebar ke bahu dan bahu.
Lengan yang biasanya terasa nyeri adalah lengan bagian kiri. Nyeri juga dapat menjalar
ke dagu dan leher,namun itu hanya terjadi pada beberapa kasus.
Nyeri yang dirasa penderita Infark Miokard Akut atau IMA berbeda dengan nyeri
yang dirasakan penderita angina. Nyeri pada Infark Miokard Akut atau IMA muncul
secara spontan dan menetap selama beberapa jam bahkan beberapa hari meski telah
beristirahat ataupun telah meminum obat. Nyeri muncul secara spontan disini
dimaksudkan nyeri ini muncul bukan karena bekerja berat atau gangguan emosi. Gejala
yang dirasakan penderita Infark Miokard Akut atau IMA selain nyeri adalah napas
pendek, pucat, berkeringat dingin, pusing dan kepala ringan, dan mual serta muntah.
Penderita diabetes mellitus tidak merasakan nyeri berat jika menderita Infark Miokard
Akut atau IMA karena neuropati yang menyertai diabetes mempengaruhi neuroreseptor,
sehingga nyeri tidak terasa karena ditumpulkan.
Orang yang beresiko menderita Infark Miokard Akut atau IMA adalah orang yang
merokok, hiperlipidemia, hipertensi, diabetes, obesitas, gaya hidup banyak duduk, dan
stres. Jika dilihat dari jenis kelamin, pria yang berusia lebih dari 50 tahun, cenderung
akan mengalami Infark Miokard Akut atau IMA seperti wanita yang telah mengalami
menopause atau pascamenopause. Infark Miokard Akut atau IMA juga dapat terjadi pada
orang yang memiliki anggota keluarga dengan penyakit kardiovaskuler. Dari penelitian
diperoleh sebanyak 38 (88,4%) orang laki-laki dan 5 (11,6%) orang perempuan
menderita infark miokard. Penderita Infark Miokard Akut atau IMA paling banyak
berada pada usia 50-59 tahun, yaitu sebanyak 14 (32,6) pasien (Yasmin,2015). Beberapa
faktor resiko yang dapat diubah terbagi menjadi 2, yaitu mayor dan minor. Adapun yang
termasuk ke dalam kelompok mayor yaitu hiperlipidemia, hipertensi, merokok, diabetes
mellitus, diet tinggi lemak jenuh dan kalori, sedangkan yang termasuk ke dalam

36
kelompok minor adalah inaktifitas fisik, pola kepribadian tipe A (emosional, agresif,
ambisius, kompetitif), dan juga stress psikologis berlebihan.
Terdapat beberapa studi diagnostik yang dilakukan dan didapatkan pada Infark
Miokard Akut atau IMA. Studi diagnostik itu antara lain yang pertama adalah hasil dari
sel darah putih adalah sekitar (10.000 – 20.000 mm3) yang muncul pada hari kedua
setelah serangan infark karena inflamasi atau biasa disebut leukositosis. Sedimentasi
meningkat pada hari ke 2-3 setelah serangan yang menunjukkan adanya inflamasi.
Kardiak iso-enzim menunjukkan pola keusakan yang khas, untuk membedakan kerusakan
otot jantung dengan otot jantung lain. Tes fungsi ginjal menunjukkan peningkatan kadar
BUN ( Blood Urea Nitrogen ) dan kreatinin karena penurunan laju filtrasi glomerulus
(glomerulo filtrasi rate/ GFR) terjadi akibat penurunan curah jantung. Analisis Gas Darah
( Blood Gas Analysis,BGA) menilai oksigenasi jaringan (hipoksia) dan perubahan
keseimbangan asam-basa darah. Kadar elektrolit menilai abnormalitas kadar natrium,
kalium atau kalsium yang membahayakan kontraksi otot jantung. Peningkatan kadar
serum kolesterol atau trigeliserida dapat meningkatkan risiko arteriosklerosis. Kultur
darah mengesampingkan septikemia yang mungkin menyerang otot jantung. Level obat
dilakukan untuk menilai derajat toksisitas obat tertentu (seperti digoxin). Hasil
interpretasi EKG menunjukkan segmen ST elevasi abnormaol menunjukkan adanya injuri
miokard, gelombang T inversi (arrow head ) menunjukkan adanya iskemia miokard dan
Q patologis menunjukkan adanya nekrosis miokard. Radiologi yang dilakukan adalah
thorax rontgen, echocardiogram, dan radioactive isotope. Thorax rontgen untuk menilai
kardiomegali karena gagal jantung kongestif. Echocardiogram untuk menilai struktur
dan fungsi abnormal otot dan katup jantung. Radioactive isotope untuk menilai area
iskemia serta non- perfusi koroner dan miokard.
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3
kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiograf (EKG) dan
peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak ada
hubungan dengan aktifitas atau latihan yang telah dilakukan. Hasil dari EKG yang khas
adalah timbulnya elevasi segmen ST dan inversi gelombang T.
Berdasarkan EKG 12 sandapan Infark Miokard Akut atau IMA diklasifikasikan
menjadi 2, yaitu Infark Miokard Akut ST-elevasi (STEMI) dan Infark Miokard Akut non

37
ST-elevasi (NSTEMI). Infark Miokard Akut STEMI (ST-elevasi) yaitu oklusi total dari
arteri koroner yang menyebabkan area infark yang lebih luas meliputi seluruh ketebalan
miokardium, yang ditandai dengan elevasi segmen ST pada EKG. Infark miokard akut
non ST-elevasi (NSTEMI) meruapakan oklusi sebagian dari arteri koroner tanpa
melibatkan seluruh ketebalan miokardium, sehingga tidak ada elevasi segmen ST pada
EKG.
Beberapa komplikasi yang disebabkan oleh Infark Miokard Akut atau IMA, yaitu
disfungsi ventrikular, gangguan hemodinamik, syok kardiogenik, infark ventrikel kanan,
aritmia pasca STEMI, ekstrasistol ventrikel, takikardia dan fibrilasi ventrikel, fibrilasi
atrium, aritmia supraventrikular, asistol ventrikel, bradiaritmia dan blok dan juga
komplikasi mekanik. Pada disfungsi ventrikular, ventrikel kiri mengalami perubahan
serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non
infark. Syok kardiogenik dapat terjadi jika penderita juga mempunyai penyakit arteri
koroner multivesel. Syok kardiogenik ini ditemukan 10 % pada saat masuk dan 90% saat
masa perawatan. Angka mortalitas dan morbiditas komplikasi yang terjadi pada Infark
Miokard Akut atau IMA yang masih tinggi dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor
berikut ini seperi keterlambatan mencari pengobatan, kecepatan serta ketepatan diagnosis
dan penanganan dokter. Kecepatan penanganan dinilai dari time window (kurang dari 6
jam) antara onset nyeri dada sampai tiba di rumah sakit dan mendapat penanganan di
rumah sakit. Apabila time window berperan dalam kejadian komplikasi, maka perlu
dikaji apa saja yang menjadi faktor keterlambatannya. Ketepatan dinilai dari modalitas
terapi yang dipilih oleh dokter yang menangani. Evaluasi tentang kecepatan dan
ketepatan penanganan terhadap pasien Infark Miokard Akut atau IMA diperlukan untuk
mencegah timbulnya komplikasi.

F. Peran dan fungsi perawat dalam advokasi pada kasus IMA

1. Definisi peran advokasi perawat

Advokasi didefinisikan sebagai tindakan perawat dalam memberikan saran


tentang pengobatan dan proses kesembuhan. Advokasi perawat itu yaitu peran

38
perawat dimana dia memberikan saran kepada pasien. Saran yang berhubungan
dengan pengobatan dan proses kesembuhan.
Advokasi sebagai pembelaan kepada pasien dalam hal ekonomi, kenyamanan dan
lingkungan. Advokat adalah pembelaan artinya perawat yang membela pasien. Itu
dari sisi ekonomi bisa, dari kenyamanan juga bisa, lingkungan juga bisa.
Advokasi didefinisikan sebagai perlindungan kepada pasien dalam hal kesehatan,
tentang cara hidup sehat dan biaya Advokasi perawat itu mungkin perlindungan dari
perawat baik itu di rumah sakit maupun pada fasilitas kesehatan lainnya,
perlindungan pasien dalam segala hal, yang pertama itu untuk kesehatannya,
perlindungan dalam kesehatannya kemudian bisa dari cara hidup sehat.

2. Pelaksanaan tindakan peran advokasi perawat

Advokasi dilakukan dengan memberikan informasi tentang diagnose, latihan, dan


penyembuhan. Misalkan pasien terdiagnosa sakit ini, harus makan-makan dan lain
sebagainya terus apa latihan, exercise atau lain sebagainya perawat memberitahu
Advokasi dilakukan dengan menjadi penghubung antara pasien dengan tim
kesehatan lain seperti dokter atau ahli gizi, dan sebagai penengah juga antara medis
dan pasien.
Perawat kolaborasi dengan dokter, pengobatan apa yang dibutuhkan oleh pasien
kemudian sampaikan pengobatan yang terbaik untuk pasien dan apakah pasien itu
bisa menerima.

3. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan peran advokasi

Faktor yang menghambat terlaksananya peran advokasi perawat yaitu


kepemimpinan dokter. Karena dokter itu yang menguasai rumah sakit. Ketika dokter
memberikan terapi terus. Faktor yang menghambat terlaksananya peran advokasi
perawat yaitu terbatasnya jumlah tenaga perawa. Seringkali karna kendala waktu
berinteraksi kepada pasien itu waktunya sangat sedikit,

39
Faktor yang mendukung terlaksananya peran advokasi perawat yaitu kondisi
pasien yang membutuhkan perawat. Faktor pendukung disini dari kondisi pasien
dokter juga mendukung karena klien biasanya minta langsung kepada dokter.
Faktor yang mendukung terlaksananya peran advokasi perawat yaitu dukungan
instansi yang selalu memotivasi dan memberikan kemudahan untuk melakukan peran
advokasi. Informasi dari atasan, direktur, kemudian dari kepala bidang keperawatan
terus kepala ruang sendiri dan dianjurkan diharuskan untuk selalu memberikan
advokasi pada pasien, perlindungan-perlindungan seperti, jadi pasien itu tidak merasa
terbebani selama opname dan menjalani perawatan di rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, volume 2. Jakarta:EGC.
Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. 2012. Patofisiologis: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Vol 2 Ed 6. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika wijaya kusuma, Volume I, Nomor 1,
Januari 2007, 41-48.
https://www.alomedika.com/penyakit/kardiologi/infrak-miokard-akut/epidemiologi
https://www.repository.usu.ac.id/upaya-pencegahan/infrak-miokard-akut

40
41

Anda mungkin juga menyukai