Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab I

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 60

BAB I

PENDAHULUAN

Benih adalah biji yang dihasilkan oleh tumbuhan yang digunakan untuk
perbanyakan tanaman. Benih diperoleh dari perkembangbiakkan generatif dan
vegetatif. Viabilitas benih adalah keadaan benih yang bisa berkecambah dalam
keadaan normal. Benih dikatakan berkualitas jika memenuhi tiga mutu benih yaitu
mutu fisik, mutu fisiologi, dan mutu genetik. Untuk menguji mutu benih ada
beberapa cara yaitu penentuan bahan kering kecambah normal, penetapan kadar
air benih, pematahan dormansi, daya kecambah, uji vigor, uji tetrazolium,
pemisahan dan pemilahan benih dan pembagian benih dengan seed divider.
Penentuan bahan kering kecambah normal bertujuan untuk mengetahui
viabilitas benih dengan tolak ukur bobot kering. Kadar air benih digunakan untuk
menentukan ketepatan saat panen, penentu tingkat kerusakan mekanis saat
pengolahan, dan kemampuan benih mempertahankan viabilitasnya selama
penyimpanan. Dormansi merupakan keadaan dimana benih tidak berkecambah
walaupun ditanam dalam kondisi optimum. Daya kecambah benih merupakan
tolok ukur kemampuan benih untuk tumbuh normal pada kondisi optimum. Vigor
adalah kemampuan benih tumbuh pada lingkungan yang tidak optimal. Uji
viabilitas benih dengan tetrazolium dimaksudkan untuk mengindikasi adanya sel –
sel yang hidup pada benih. Pembersihan benih dilakukan agar benih bersih dari
kotorn fisik maupun biji – bijian yang mencampurinya.
Tujuan praktikum teknologi benih adalah untuk mengetahui viabilitas
benih dengan berbagai uji. Manfaat praktikum terknologi benih adalah
mengetahui viabilitas benih dengan berbagai uji.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

.1. Penentuan Bahan Kering Kecambah Normal

Kedelai merupakan suatu tanaman jenis polong-polongan yang


digunakan sebagai tanaman pangan sumber protein nabati yang terus
dikembangkan untuk mendapatkan produksi yang unggul. Kedelai merupakan
sumber protein masyarakat Indonesia (Budhi dan Aminah, 2010). Varietas unggul
dari tanaman kedelai telah dikeluarkan Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman
Aneka Kacang dan Umbi salah satunya yaitu Dena 1 dan Dena 2 yaitu merupakan
varietas kedelai toleran naungan. Dena 1 dan Dena 2 merupakan varietas kedelai
yang toleran naungan (Pratiwi dan Artari, 2018). Gepak Kuning merupakan
varietas unggul kedelai yang memiliki keunggulan yaitu tahan terhadap
kekeringan dan lahan yang memiliki keterbatasan air serta dapat tumbuh hingga
73 hari. Gepak kuning merupakan varietas yang memiliki ketahanan yang baik
pada saat musim kemarau maupun musim penghujan (Lagiman et al., 2015).
Daya kecambah benih merupakan jumlah benih berkecambah pada waktu
yang telah ditentukan dengan menghitung persentase daya berkecambahnya. Daya
kecambah menggambarkan viabilitas potensial suatu benih (Sari et al., 2013).
Faktor yang dapat mempengaruhi daya berkecambah benih yaitu vigor benih.
Daya berkecambah benih yang semakin tinggi dipengaruhi oleh tinggi indeks
vigor suatu benih (Umar, 2012).
Daya kecambah kedelai Gepak Kuning menggambarkan viabilitas benih
kedelai Gepak Kuning. Gepak Kuning memiliki daya berkecambah benih yang
tinggi yaitu sebesar 92,5% (Suminar et al., 2018). Daya berkecambah benih Dena
merupakan banyaknya benih berkecambah dengan menghitung persentase daya
berkecambahnya. Standar umum presentase daya berkecambah benih kedelai
yaitu sebesar 82% (Yunasari et al., 2015).
Benih bermutu fisiologis tinggi menghasilkan kecambah dengan berat
kering kecambah yang tinggi. Berat kering kecambah benih dapat digunakan
sebagai tolak ukur viabilitas suatu benih (Nurussintani et al., 2013).
Perkembangan morfologis dari kecambah dapat mempengaruhi tinggi bobot
kering kecambah. Berat kering kecambah dipengaruhi oleh kecepatan
berkecambah dan kecepatan pemanjangan akar (Hartawan, 2016).
Kadar air kecambah merupakan berat air yang terkandung dalam
kecambah yang akan hilang dengan cara pemanasan yang berpengaruh terhadap
periode hidup kecambah. Faktor yang dapat mempengaruhi fase hidup kecambah
yaitu kadar air kecambah (Yuniarti et al., 2013). Kadar air kecambah dapat dilihat
dari bahan kering kecambah, yang memiliki peran penting dalam penyimpanan
kecambah serta memacu proses respirasi kecambah. Kadar air kecambah
berpengaruh pada penyimpanan kecambah (Tatipata, 2010).
Faktor yang mempengaruhi bahan kering yaitu jenis tanaman, fase
pertumbuhan, fotosintesis, serta waktu pemotongan. Hasil fotosintesis
meningkatkan bahan kering kecambah (Anisyah et al., 2014). Daya berkecambah
benih dengan bahan kering memiliki hubungan. Daya berkecambah benih yang
tinggi sebanding dengan besarnya bahan kering kecambah (Fadila et al, 2016).

.2. Penetapan Kadar Air Benih

Kadar air benih merupakan salah satu factor penting yang mempengaruhi
daya simpan benih. Kadar air benih adalah hilangnya air ketika benih dikeringkan
sesuai dengan metode oven (Muslihudin dan Abdillah, 2014). Metode pengukuran
kadar air ada dua yaitu metode langsung dan tidak langsung. Penentuan kadar air
terdapat dua metode yaitu secara langsung dengan menggunakan oven dan secara
tidak langsung menggunakan steinlite moisture tester (Malangia et al., 2012).
Tujuan penetapan kadar air benih yaitu untuk mengukur kadar air pada benih.
Penetapan kadar air benih dilakukan untuk mengetahui sisa air pada benih setelah
melalui proses pengeringan atau penyimpanan (Payung et al., 2016).
Pengukuran benih dengan metode langsung dihitung dari berkurangnya
berat benih akibat hilangnya air dari dalam benih dengan menggunakan oven.
Kadar air benih diukur dengan metode langsung yakni melalui proses pengovenan
dengan suhu 103°C selama 24 jam (Suryanto, 2013). Penentuan kadar air secara
tidak langsung dilakukan dengan menggunakan steinlite moisture tester.
Pengukuran kadar air secara tidak langsung dilakukan dengan steinlite moisture
tester yang dirancang berdasarkan prinsip kerja sensor kapasitif atau muatan
energi listrik (Rosniyana, 2010).
Jagung memiliki kadar air yang tidak terlalu tinggi. Kadar air dalam
jagung secara umum berkisar antara 12–14 % (Kusumawati dan Putri, 2013). Padi
atau gabah secara umum memiliki kadar air. Padi umumnya dipanen pada saat
gabah menguning 90−95%, dengan kadar air gabah 25−27% pada musim hujan
dan 21−24% pada musim kemarau (Ismawari, 2012).
Lama penyimpanan benih dapat mempengaruhi kadar air benih. Kadar
air benih akan terus meningkat karena selama penyimpanan benih menyerap air
dari lingkungan (Solihin et al, 2015). Faktor–faktor yang dapat mempengaruhi
kadar air benih yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor–faktor yang
mempengaruhi kadar air benih yaitu sifat benih, jenih benih, suhu, serta
kelembaban lingkungan (Pratiwi dan Purwanto, 2012).
Kadar air yang tinggi memicu perkembangbiakan jamur. Kadar air benih
terlalu tinggi dapat memacu respirasi dan berbagai cendawan untuk tumbuh serta
akan menyebabkan fosfolipid rusak (Tatipata et al., 2014). Kadar air yang terlalu
sedikit juga akan menurunkan kualitas benih. Pertumbuhan dan produksi semakin
rendah dengan menurunnya kadar air (Karti, 2014).
.3. Metode Pematahan Dormansi Benih

Dormansi benih merupakan suatu kondisi dimana benih tidak


berkecambah walaupun di tanam dalam kondisi yang optimum. Dormansi adalah
suatu keadaan pertumbuhan yang tertunda atau keadaan istirahat merupakan
kondisi yang berlangsung selama suatu periode yang tidak terbatas walaupun
berada dalam keadaan optimum (Husain dan Tuiyo, 2012). Metode pematahan
dormansi terbagi dua yaitu dormansi fisik dan fisiologis. Dormansi fisik adalah
dormansi karena kulit benih keras dan impermeable sehingga menghalangi proses
imbibisi dan pertukaran gas (Lubis et al., 2014). Dormansi fisiologis adalah
proses gagalnya benih berkecambah yang disebabkan oleh sejumlah mekanisme
seperti zat pengatur tumbuh. Dormansi fisiologis disebabkan karena keadaan
fisiologis dari embrio pada benih itu sendiri (Yuniarti et al., 2015). Dormansi
memiliki peran penting dalam proses pembibitan benih dan kelangsungan
generasi suatu tanaman. Sifat dormansi dapat mengganggu proses pembibitan
sehingga diperlukan tahap-tahap untuk dapat memecahkan kondisi dormansi atau
minimal lama dormansi dapat dipersingkat (Manurung et al., 2013).
Faktor yang mempengaruhi dormansi terdiri atas faktor internal dan
faktor eksternal. Dormansi terjadi disebabkan oleh faktor luar (eksternal) dan
faktor dalam (internal). Faktor-faktor yang menyebabkan dormansi pada biji
adalah tidak sempurnanya embrio, embrio yang belum matang secara fisiologis,
kulit biji yang tebal dan keadaan lingkungan untuk perkecambahan (Haryuni dan
Harjanto, 2009). Skarifikasi adalah salah satu cara pendahuluan untuk
mematahkan dormansi pada benih. Proses skarifikasi terbagi dua jenis yaitu
skarifikasi mekanik dan skarifikasi kimiawi. Skarifikasi mekanik seperti
pengamplasan, pengikiran, pemotongan, peretakkan, penusukan bagian tertentu
pada benih agar memudahkan terjadinya difusi air, perendaman dengan air dan
skarifikasi kimiawi untuk melunakkan kulit benih (Yuniarti et al., 2015). Ada
banyak tipe-tipe dormansi pada benih, salah satunya adalah dormansi fisik pada
kulit benih yang keras. Benih yang mempunyai dormansi fisik kulit benih dapat
diberi perlakuan dengan skarifikasi mekanik dan kimia (Suita dan Bustomi, 2014).
Stratifikasi adalah memancing pertumbuhan dan perkecambahan embrio.
Perlakuan yang dilakukan untuk mematahkan dormansi fisik benih adalah dengan
cara merendam benih dengan larutan H2SO4, pengamplasan atau mekanik, dan
dengan air panas. Pematahan dormansi fisik dilakukan dengan merendam benih
dalam larutan H2SO4. H2SO4 digunakan untuk melunakkan dan melembekkan kulit
benih (Nugroho dan Salamah, 2015). Dormansi fisik dapat dipatahkan dengan
cara pengamplasan. Pematahan dormansi fisik dapat dilakukan dengan
pengamplasan yaitu secara mekanik (Kartika et al., 2015). Pematahan dormansi
fisik lainnya yaitu dengan melakukan perendaman benih pada air panas.
Pematahan dormansi fisik mempengaruhi jaringan kulit pada benih yang keras
sehingga dapat mempersingkat waktu untuk air dan udara dapat menembus kulit
benih hingga mampu berkecambah (Yuniarti et al., 2015).
Perendaman benih dengan H2SO4, perkecambahan benih juga bisa
dilakukan dengan perendaman menggunakan KNO3 (fisiologis). KNO3 berfungsi
untuk meningkatkan aktifitas hormon pertumbuhan pada benih. Perlakuan awal
dengan larutan KNO3 berperan merangsang perkecambahan pada hampir seluruh
jenis biji. KNO3 digunakan untuk mempermudah benih dalam melakukan
pergerakan air dan oksigen (Astari et al., 2014). Pematahan dormansi fisiologi
mempengaruhi laju pertumbuhan benih dalam berkecambah serta berpengaruh
terhadap daya serap air pada benih. Pematahan dormansi yang efektif biasanya
menggunakan proses perendaman (Fitriani et al., 2013). Benih padi akan mampu
menjadi tanaman yang menghasilkan beras jika telah melalui proses
perkecambahan. After ripening merupakan benih yang harus di beri perlakuan
penyimpanan agar dapat nantinya berkecambah ketika ditanam. Perkecambahan
benih padi memiliki karakteristik tersendiri yaitu adanya faktor after-ripening
dimana benih padi tidak mampu berkecambah ketika baru di panen dan baru dapat
berkecambah setelah melewati periode penyimpanan kering (Tefa, 2017).
.4. Pengujian Daya Kecambah Benih

Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang dapat ditunjukkan


dalam fenomena pertumbuhannya, gejala metabolisme, kinerja kromosom atau
garis viabilitas. Viabilitas adalah parameter viabilitas dari suatu lot benih yang
menunjukan kemampuan benih untuk menumbuhkan tanaman normal yang
berproduksi normal pada kondisi lapang yang optimum (Utami, 2013). Faktor-
faktor yang mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan dibagi menjadi
faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal mencakup sifat genetik
(ortodoks atau rekalsitran), daya kecambah dan vigor, kondisi fisik dan kadar air
benih awal serta tingkat kematangan benih dan faktor eksternal antara lain
suhu,kelembaban ruang simpan, komposisi kimia benih dan kebersihan
mikrofloradalam benih (Umar, 2012).
Uji perkecambahan dilakukan untuk mengetahui keadaan benih yang
tumbuh normal. Pengujian daya berkecambah yaitu untuk menguji sejumlah benih
yang dapat berkecambah secara normal (Ihwah dan Putra, 2016). Pengujian daya
perkecambahan metode UDK dilakukan dengan metode menyemai benih di atas
kertas yang dilembabkan. Uji Kertas Digulung (UDK) memerlukan lembar
kertas,kemudian media dilembabkan,dan metode selanjutnya menata benih yang
akan disemai (Chaidir et al., 2015). UKDdp dilakukan dengan metode kertas
dilembabkan yang digulung. Uji Kertas Digulung di atas Plastik (UKDdp) yaitu
dengan melembabkan media tanam berupa lembaran kertas, kemudian menata
benih sebanyak jumlah yang ditentukan lalu kertas digulung dan diikat kedua
ujungnya menggunakan karet gelang (Elfiani dan Jakoni, 2015).
Daya perkecambahan dihitung dari persentase kecambah yang hidup
normal. Daya berkecambah ditanyatakan dalam satuan persen, daya berkecambah
dihitung berdasarkan persentase kecambah normal pada hitungan hari pertama
sampai hari terakhir (Utami, 2013). Daya perkecambahan benih yang rendah
disebabkan karena banyaknya serangan cendawan saat benih sedang
berkecambah. Daya perkecambahan benih yang rendah disebabkan oleh proses
imbibisi yang tidak serempak pada benih sehingga pertumbuhan benih menjadi
kecambah yang normal tidak serempak serta banyaknya serangan cendawan saat
benih dikecambahkan (Rahayu dan Suharsi, 2015).
Tanaman cabai dan mentimun merupakan tanaman hortikultura. Cabai
memiliki banyak manfaat dan mempunyai daya perkecambahan minimum standar.
Daya perkecambahan minimum standar untuk benih cabai pada umumnya adalah
sekitar 80% (Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi, 2009). Berbeda dengan
tanaman cabai, kemampuan daya perkecambahan benih tanaman mentimun
memiliki presentase yang cukup besar. Standar daya kecambah benih tanaman
mentimun sebesar 75% (Rudi dan Nengsih, 2018).

.5. Uji Vigor Benih dengan NaCl

Pengujian vigor benih sangat diperlukan untuk mengetahui mutu benih


tersebut. Vigor adalah kemampuan benih tumbuh normal pada kondisi lingkungan
suboptimum (Cutrisni, 2015). Faktor yang mempengaruhi vigor terhadap benih
adalah kondisi lingkungan dan kondisi genetik benih. Faktor genetik meliputi
tingkat kekerasan benih sedangkan faktor lingkungan meliputi kelembaban serta
kesuburan tanah (Darmawan et al., 2014).
Salinitas merupakan penghambat dalam perkecambahan benih. Salinitas
adalah kadar garam yang terlarut di air dalam jumlah yang banyak (Isnasa, 2017).
Salinitas dapat menyebabkan tanaman kesulitan menyerap air disebabkan oleh
osmosis. Salinitas dapat menghambat proses imbibisi pada benih karena garam
yang terlarut dapat menurunkan tekanan osmotik sehingga menyebabkan benih
tidak dapat menyerap air (Puspita, 2017). NaCl merupakan senyawa yang netral
dan diperlukan dalam jumlah yang pas. Fungsi NaCl pada uji vigor benih adalah
untuk memperlambat pertumbuhan kecambah (Puspita, 2017).
Pertumbuhan benih diawali dengan proses imbibisi. Imbibisi adalah
proses masuknya air ke dalam biji melalui pori-pori yang akan menyebabkan kulit
biji tersebut menjadi lunak dan biji menggembung sehingga radikula mudah
menembusnya (Suhendra, 2017). Osmosis merupakan salah satu zat transportasi
yang diperlukan oleh semua makhluk hidup. Osmosis didefinisikan sebagai
perpindahan larutan dari larutan konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah melalui
suatu membran (Yahya, 2015). Salinitas yang tinggi dapat mengakibatkan
terganggunya kondisi lingkungan. Cekaman osmotik terjadi karena salinitas yang
tinggi (Kristiono et al., 2018).
Daya berkecambah benih adalah jumlah benih yang berkecambah pada
waktu yang telah ditentukan dengan cara menghitung presentase daya
berkecambahnya. Daya berkecambah benih dipengaruhi oleh tinggi dan
rendahnya indeks vigor benih (Umar, 2012). Perkecambahan benih kedelai baik
apabila sesuai dengan standar daya kecambah benih. Standar daya kecambah
benih kedelai yang normal adalah sebesar 80% (Rahardjo, 2012). Benih yang
mempunyai vigor baik pertumbuhannya baik juga. Ciri benih yang mempunyai
vigor baik adalah pertumbuhan benih tersebut serempak dan merata (Murniati et
al., 2018).

.1. Struktur Benih

Benih merupakan bagian generatif yang paling penting pada tanaman.


Benih dapat berbentuk biji yang digunakan untuk tujuan budidaya atau
perbanyakan tanaman (Wardhani dan Ansyah, 2017). Benih memililiki struktur
yang menunjang pertumbuhan pada masa perkecambahan. Benih terdiri dari tiga
struktur utama yaitu kulit, embrio yang terdiri dari plumula dan radikula, dan
cadangan makanan (Pahan, 2012). Kulit merupakan bagian terluar dari benih.
Kulit berfungsi sebagai pelindung bagian dalam benih dan melindungi benih dari
kekeringan (Marthen et al., 2018).
Embrio merupakan hasil dari perkembangbiakan pada tanaman. Embrio
adalah calon tanaman baru yang dihasilkan dari penyatuan gamet jantan dan
gamet betina (Dwiyani et al., 2012). Radikula terdapat pada masa perkecambahan
benih. Radikula merupakan bagian benih yang akan menjadi akar (Setyaningsih,
2018). Plumula terletak di dekat radikula dan merupakan calon batang tanaman.
Plumula adalah bagian tanaman yang menjadi bakal batang yang ditopang oleh
bagian epikotil dan hipokotil (Putra et al., 2016).
Benih tanaman monokotil seperti jagung memiliki beberapa bagian yang
mempunya fungsi masing-masing. Struktur benih tanaman monokotil terdiri atas
kulit benih, kotiledon, endosperma, plumula, radikal, embrio, koleoptil, dan
koleoriza (Elfiani dan Jakoni, 2015). Bagian-bagian benih dikotil mempunyai
peran yang berbeda. Endosperma berfungsi sebagai cadangan makanan (Rusmin,
2017). Kotiledon pada benih monokotil hanya terdapat pada saat proses
perkecambahan yang digunakan untuk memenuhi nutrisi bagi benih. Kotiledon
merupakan bagian yang berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan
untuk proses perkecambahan (Haryanti dan Budihastuti, 2015). Koleoptil dan
koleoriza merupakan bagian yang tidak dimiliki oleh benih tanaman dikotil.
Koleoptil berfungsi untuk melindungi plumula sedangkan koleoriza berfungsi
untuk melindungi radikula (Kartahadimaja et al., 2017).
Benih tanaman dikotil seperti kedelai memiliki struktur yang berbeda
dengan benih tanaman monokotil. Benih tanaman dikotil terdiri dari embrio,
radikula, kotiledon, kulit benih, dan plumula (Elfiani dan Jakoni, 2015). Bagian
benih dikotil ini mempunyai fungsinya masing-masing. Kotiledon merupakan
bagian yang berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan makanan yang
digunakan pada saat proses perkecambahan benih (Haryanti dan Budihastuti,
2015).
Benih dikotil dan monokotil memiliki perbedaan struktur. Perbedaan
struktur benih dikotil dan monokotil yaitu benih dikotil tidak memiliki koleoptil
dan koleoriza yaitu pelindung plumula dan radikula (Putra et al., 2016).
Perbedaan kedua yaitu ada tidaknya endosperma. Benih dikotil menggunakan
kotiledon sebagai cadangan makanan sedangkan pada benih monokotil
menggunakan endosperma sebagai cadangan makanan (Haryanti dan Budihastuti,
2015).

.1. Uji Cepat Viabilitas Benih dengan Tetrazolium

Viabilitas adalah kemampuan benih untuk berkecambah dan


menghasilkan kecambah yang normal dalam kondisi lingkungan yang optimum.
Viabilitas merupakan kemampuan benih untuk tumbuh dan berproduksi secara
normal dalam keadaan lingkungan yang optimum atau mampu disimpan dalam
kondisi simpan yang suboptimum dan benih dapat tahan disimpan lama dalam
keadaan yang optimum (Sadjad, 2009). Tolok ukur viabilitas benih terdiri dari
viabilitas potensial dan vigor benih. Viabilitas potensial merupakan kemampuan
benih untuk tumbuh normal dan berproduksi normal pada kondisi lingkungan
yang optimum. Tinggi atau rendahnya viabilitas potensial dapat diukur dengan
tolok ukur yaitu daya berkecambah benih atau daya tumbuh benih dan berat
kering kecambah normal (Widajati et al., 2013).
Uji tetrazolium merupakan uji cepat untuk mengetahui viabilitas benih
dengan menggunakan senyawa 2, 3, 5-trifenil tetrazolium klorida. Uji tetrazolium
digunakan untuk mengindikasi benih secara cepat adanya sel-sel hidup dalam
benih viabel yang ditandai dengan adanya salah satu organ benih yang berwarna
merah (Kusumawati et al., 2013). Larutan tetrazolium di imbibisi oleh benih dan
pada sel – sel benih yang hidup sehingga akan terjadi proses reduksi. Benih viabel
akan berwarna merah pada organ benih karena adanya endapan formazan yang
terbentuk dari proses reduksi 2, 3, 5-trifenil tetrazolium klorida yang di hasilkan
oleh hidrogen (Ilyas dan Widajati, 2015). Uji tetrazolium bertujuan untuk
mengetahui mutu pada benih sehingga benih dapat tumbuh dengan baik.
Pengujian menggunakan larutan tertrazolium yang bertujuan untuk mendapatkan
mutu viabel pada benih secara cepat (Rahmayani et al., 2015). Pelaksanaan
pengujian viabilitas benih dengan menggunakan indikator gejala pertumbuhan
kecambah pada benih memerlukan waktu yang relatif lama. Faktor yang dapat
memepengaruhi benih yaitu kerusakan benih. Faktor–faktor yang mempengaruhi
viabilitas suatu benih adalah masa dormansi, penyakit dan kerusakan bahan kimia
yang digunakan pada benih (Subantoro dan Prabowo, 2013).
Prinsip metode tetrazolium yaitu bahwa setiap sel yang hidup akan
berwarna merah oleh reduksi dari suatu pewarnaan garam tetrazolium dan
membentuk endapan formazan merah sedangkan sel-sel mati akan berwarna putih.
Enzim yang mendorong terjadinya proses endapan formazan adalah
dehidrogenase yang berkaitan dengan respirasi (Burg, 2011). Uji tetrazolium
adalah metode pewarnaan topografis yang digunakan untuk menguji viabilitas
benih secara cepat dengan menggunakan bahan kimia berupa garam tetrazolium.
Larutan tetrazolium di imbibisi ke dalam benih sehingga berikatan dengan
hidrogen yang dilepas oleh enzim dehidrogenase pada proses reduksi dalam sel
hidup sehingga menghasilkan endapan formazan yang berwarna merah
mengindikasikan benih viabel (Rahmayani et al., 2015). Benih yang viabel akan
berwarna merah sedangkan benih non viabel berwarna putih. Pola pewarnaan
benih dikategori viabel apabila bagian benih terwarnai seluruhnya, benih
dikategorikan semi viabel apabila warna merah memudar di bagian tengah, benih
non-viabel bila embrio berwarna putih (Dina 2009).

.8. Pembersihan Benih

Kedelai merupakan salah satu tanaman palawija atau yang tergolong


kedalam polong polongan dan mengandung protein nabati yang tinggi. Bentuk
dari biji kedelai tersebut ada yang bulat, bulat agak lonjong, hingga bulat agak
pipih. Morfologi biji kedelai yaitu berbentuk bulat agak pipih berwarna krem dan
termasuk tanaman dengan biji monokotil (Krisnawati, 2016). Uji kemurnian benih
merupakan tahapan yang harus dilakukan untuk mengendalikan mutu genetik lot
benih. Kebenaran dan keseragaman varietas harus selalu terjaga agar dapat
menghasilkan benih yang bermutu (Mulsanti et al., 2013). Kemurnian benih
merupakan keadaan dimana tidak adanya benda lain yang mengumpul jadi satu
dalam sekelompok benih. Kemurnian benih didapat dari proses pembersihan
benih dari kotoran-kotoran, biji lain, dan biji yang cacat fisik. Tujuan pembersihan
benih yaitu untuk menjaga ukuran benih murni ketika disimpan dalam jangka
waktu yang lama (Raka et al., 2012).
Uji kemurnian benih akan menghasilkan benih murni dan akan bebas dari
varietas lainnya. Benih murni yaitu benih yang bebas dari varietas lain, berukuran
penuh dan seragam, daya kecambah di atas 80% dengan bibit yang tumbuh kekar,
bebas dari biji gulma, bebas hama dan penyakit (Lesilolo et al., 2013). kualitas
dan viabilitas benih perlu dijaga agar tetap dapat tumbuh dengan baik. Perlakuan
benih perlu dilakukan untuk menjaga kualitas benih (Situmeang et al., 2014.
Hubungan mutu fisik dan mutu fisiologis benih erat hubungannya dengan faktor
genetik, pertumbuhan dan lingkungan (Ningsih et al., 2015). Benih murni
memiliki persentase standar kemurnian benih. Kemurnian benih minimal sebesar
97%, lalu campuran dari varietas lain maksimal sebesar 1%, dan kotoran yang ada
pada benih maksimal sebesar 3% (Prasekti,2015).

.9. Alat Pembagi Benih

Alat pembagi benih atau seed divider merupakan alat pemisah atau alat
pembagi benih menjadi dua bagian yang sama jumlahnya. Alat pembagi benih
berfungsi untuk membagi tepat benih menjadi dua bagian (Sari et al, 2015). Alat
pembagi benih memiliki berbagai macam jenis antara lain boerner divider,
conical seed divider, soil divider, centrifugal divider. Conical seed divider
merupakan alat pembagi benih berupa corong, kerucut, dan penyekat agar benih
langsung masuk kedalam dua celah (Sudrajat et al, 2015).
Prinsip kerja alat pembagi benih yaitu membagi dengan memanfaatkan
gaya gravitasi. Alat pembagi benih melepaskan katup sehingga benih jatuh
dikedua pintu celah sehingga terbagi sama rata (Puteri et al, 2014). Mekanisme
kerja alat pembagi benih yaitu pada saat katup terbuka, benih akan masuk karena
adanya gaya gravitasi ke kerucut yang akan terbagi menjadi dua bagian yang sama
rata. Alat pembagi benih bekerja dengan membagi benih dengan seimbang (Shari
et al, 2013). Kelemahan seed divider yaitu alat tidak dapat membagi semua jenis
benih, hanya beberapa jenis benih saja yang dapat dibagi menggunakan seed
divider. Hal tersebut sesuai dengan pendapat (Pertiwi et al, 2014) yang
menyatakan bahwa jenis benih yang dapat dibagi menggunakan alat pembagi
benih salah satunya adalah benih tanaman kedelai.
.1. Subkultur Plantet Anggrek

Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) merupakan bunga yang memiliki


warna bunga yang bervariasi. Mahkota bunga anggrek bagian kedua cuping
tumbuuh menyamping tegak melebar dan bagian tepi depannya berwarna kuning
dengan garis kemerahan (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 2010). Walaupun
tumbuh di daerah tropis, anggrek membutuhkan sedikit cahaya matahari (12.000-
20.000 lux) sebagai penunjang hidupnya karena tidak tahan terhadap sengatan
matahari langsung. Kelembapan udara yang diperlukan rata-rata 70-80% dengan
suhu udara hangat di bawah 29oC (Puspitaningtyas dan Mursidawati, 2010).
Anggrek bulan diperbanyak dengan cara kultur jaringan. Anggrek
termasuk tanaman yang sulit dikembangbiakkan dikarenakan bijinya tidak
memiliki endosperm sehingga sulit tumbuh di alam (Paramartha, 2012). Waktu
tumbuh anggrek dibutuhkan selama beberapa bulan. Anggrek bulan
(Phalaenopsis amabilis) memiliki karakter umur genjah dan mampu berbunga
pada usia 13 bulan sejak aklimatisasi (Widiarsih dan Dwimahyani, 2013).
Perbanyakan anggrek lebih efektif dengan perbanyakan secara vegetatif.
Perbanyakan anggrek bulan dengan kultur jaringan lebih efektif dalam penyediaan
bibit anggrek yang lebih banyak dan lebih seragam dalam waktu yang relatif
singkat (Rupawan et al., 2014). Kultur jaringan dapat dipegaruhi oleh beberapa
faktor. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur
jaringan yaitu genotipe, media kultur, lingkungan tumbuh, dan eksplan yang
digunakan (Rahmi et al., 2010).
Kultur jaringan merupakan salah satu metode perbanyakan tanaman
secara vegetatif. Kultur jaringan adalah metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman yang ditumbuhkan dengan kondisi aseptik sehingga dapat
memperbanyak diri dan tumbuh lengkap (Susanti, 2014). Kultur jaringan
dilakukan melalui beberapa tahap. Tahap yang dilakukan pada kultur jaringan
yaitu melalui induksi, multiplikasi, perakaran, dan aklimatisasi (Herawan et al.,
2015).
Kultur jaringan memiliki keunggulan tersendiri dalam bidang
perbanyakan tanaman. Keunggulan kultur jaringan yaitu tanaman bebas dari
penyakit (terutama virus) dan perbanyakannya tidak bergantung musim (Dinarti,
2017). Kultur jaringan juga memiliki kelemahan. Teknik kultur jaringan memiliki
beberapa kelemahan yaitu memerlukan kondisi steril, memakan banyak waktu,
sering terjadi mutasi dalam proses kultur in vitro dan sejumlah tanaman bersifat
rekalsitran pada tahap regenerasi (Suparthana, 2014).
Media kultur in vitro terdiri dari media dasar dan pengatur tumbuh.
Media kultur in vitro yang digunakan adalah media dasar Murashige dan Skoog
(MS), sedangkan zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah kinetin,
paclobutrazol dan ABA (Purnamaningsih, 2009). Kelebihan media Murashige and
Skoog (MS) dapat menunjang pertumbuhan jaringan tanaman. Murashige and
Skoog (MS) mengandung unsur hara makro dan mikro yang tinggi sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan jaringan tanaman (Hasanah et al., 2014). Media
Murashige and Skoog (MS) memiliki kandungan unsur hara makro dan unsur hara
mikro didalamnya. Media dasar Murashige dan Skoog (MS) mengandung unsur
hara makro N, P, K, dan mikro Fe dan diperkaya dengan vitamin dan zat pengatur
tumbuh (Kristina dan Syahid, 2012). Media kultur ditingkatkan pertumbuhannya
dengan menambahkan bahan–bahan tertentu. Penambahan bahan organik
kompleks, air kelapa, pisang, pepton, tripton, dan kasein hidrolisat, dalam media
kultur dapat meningkatkan pertumbuhan plantlet anggrek (Djajanegara, 2010).
Transplantasi merupakan suatu metode yang dilakukan sebelum
melakukan subkultur. Transplantasi adalah suatu metode yang dilakukan dengan
memindahkan embrio yang diisolasi yang embrionya telah dikeluarkan secara
aseptik kedalam suatu media (Mashud dan Matana, 2009). Subkultur adalah tahap
untuk memindahkan eksplan ke media multiplikasi. Subkultur merupakan salah
satu tahapan yang perlu dilakukan untuk menjamin tanaman selalu mendapat hara
yang cukup untuk pertumbuhan yang optimal serta dapat membentuk tunas dan
akar dengan kombinasi dan konsentrasi hormon yang sesuai (Febryanti, 2017).
Subkultur memiliki syarat tersendiri dalam proses perlakuannya. Subkultur
dilakukan dengan cara memindahkan eksplan ke medium yang sama setelah
tunas–tunasnya dipisahkan untuk mengurangi kompetisi nutrisi dan untuk
elongasi (Wibowo et al., 2010).
Aklimatisasi adalah kegiatan dari proses kultur jaringan dengan
memindahkan planlet dari ruangn aseptik ke lapangan. Aklimatisasi adalah tahap
akhir dan perbanyakan secara kultur jaringan, aklimatisasi dilakukan
untukpenyesuaian bibit terhadap kondisi di luar botol (Munir dan Zulman, 2011).
Faktor yang dapat mempengaruhi proses aklimatisasi yaitu terdapat empat faktor.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan plantlet anggrek selama
tahap aklimatisasi adalah media tanam, intensitas cahaya, kelembaban dan suhu
ruang (Zulkarnain, 2009).
BAB III

MATERI DAN METODE

3.1. Materi

Materi yang digunakan dalam praktikum teknologi benih meliputi alat


dan bahan. Bahan yang digunakan adalah benih kacang tanah, benih jagung
hibrida, benih padi, benih gamal, benih mentimun, benih cabai, benih kedelai,
NaCl 1%, aquades, KNO3 0,2%, air panas, dan H2SO4 1%, label. Alat yang
digunakan adalah alat pengecambah benih yang berfungsi untuk tempat
mengecambahkan benih, timbangan analitik berfungsi untuk menimbang bobot
awal, bobot setelah di oven, serta bahan kering kecambah, oven berfungsi untuk
mengeringkan kecambah, mortar dan alu berfungsi untuk menghaluskan benih,
steinlite moisture tester berfungsi untuk mengukur kadar air benih dengan metode
tidak langsung, amplas berfungsi untuk menghilangkan kulit benih, kertas tissue
berfungsi untuk tempat tumbuh benih, plastik berfungsi sebagai pembungkus
kertas tissue, karet berfungsi untuk mengeratkan plastik, amplop berfungsi
sebagai tempat benih untuk masuk ke oven, cawan petri berfungsi sebagai tempat
menaruh benih, dan sprayer berfungsi sebagai penyemprot air untuk benih.

.2. Metode
3.21. Penentuan Bahan Kering Kecambah Normal

Metode yang dilakukan dalam penentuan bahan kering kecambah normal


yaitu 25 butir benih Dena ditanam dengan metode UKD (Uji Kertas Digulung)
setiap gulung dan dikecambahkan dalam alat pengecambah benih, daya kecambah
benih dihitung pada hari ke-5. bahan kering kecambah normal diukur dengan cara
amplop ditimbang untuk mengetahui bobot awal (Ko), kotiledon dibuang,
kecambah yang sudah dibuang kotiledonnya dimasukan ke amplop. Amplop berisi
kecambah dimasukan ke oven suhu 60°C selama 2 x 24 jam, amplop ditunggu
hingga dingin dan ditimbang (Ka), kantong berisi kecambah dimasukan kedalam
oven selama 2 jam, tunggu sampai dingin dan ditimbang bahan kering kecambah
(K1), bahan kering kecambah dihitung dengan rumus sebagai berikut :
BK = Bobot setelah dioven (K1) – Bobot amplop (Ko).

.2.2. Penetapan Kadar Air Benih

Metode langsung yaitu dengan benih jagung hibrida diambil untuk


masing-masing lot 5 g sebanyak 2 ulangan, kemudian dihancurkan dengan
menggunakan mortar dan alu, kemudian cawan (B1) ditimbang. Benih yang sudah
dihancurkan dimasukkan kedalam cawan dan kembali ditimbang (B2). Cawan
tersebut dimasukkan ke dalam oven 60℃ selama 1 x 24 jam dan setelah 1 hari
cawan di oven dikeluarkan dari oven, lalu ditunggu hingga dingin. Benih
ditimbang dengan cawan yang telah di oven dan dicatat beratnya. Metode tidak
langsung yaitu dengan menggunakan alat steinlite moisture tester dan dilakukan
sesuai dengan petunjuk penggunaan alat untuk masing-masing lot.
.2.3. Metode Pematahan Dormansi Benih

Metode yang dilakukan dalam praktikum pematahan dormansi benih


adalah benih padi yang baru dipanen didormansikan secara fisiologis. Dormansi
secara fisologis diberi perlakuan control (P0), perendaman dengan KNO 3 0,2%
(P1), dan perendaman dengan air selama 24 jam (P2). Dormansi secara fisik
dilakukan dengan benih gamal. Diberi perlakuan control (D0), perendaman
dengan air panas selama 10 menit (D1), direndam dalam H2SO4 1% (D2), dan
secara mekanik dengan cara diamplas (D3). Setiap metode digunakan benih
sebanyak 25 butir dan ulangan sebanyak 2 kali, selanjutnya benih di susun di atas
kertas tissue disemprot dengan air digulung lalu disimpan di dalam alat
pengecambah benih, selanjutnya dilakukan pengamatan selama 14 hari.

.2.4. Pengujian Daya Kecambah Benih

Metode yang dilakukan dalam praktikum pengujian daya kecambah


benih adalah metode UDK (Uji Diatas Kertas). PengujianUDK dilakuka untuk
benih cabai dengan caracawan petri dilapisi dengan kertastisu, kemudian
dilembabkan dengan air secara merata, benih cabai ditanam diatas media yang
sudah dilembabkan sebanyak 25 butir cawan peti ditutup. Cawan petri berisi benih
cabai diletakkan di suhu ruang media disiram setiap hari dan dilakukan
pengamatan kecambah normal terhadap jumlah kecambah normal, abnormal dan
matipada hari ke 7setelah tanam. Metode UKDdp (Uji Kertas Digulung dilapisi
plastik) untuk benih timun. Pengujian benih timun dengan cara kertas tisudilapisi
sebanyak dengan plastik dibawahnya, disemprot dengan air hingga lembab, benih
timun ditanam diatas media sebanyak 25 butir kemudian ditutup dengan kertas
tisu. Gulungan tisu di ikat tiap ujungnya menggunakan karet gelang, diletakkan
gulungan tersebut pada alat pengecambah benih, media setiap hari dilembabkan
dan melakukan pengamatan terhadap kecambah normal pada hari ke 14 setelah
tanam.
.2.5. Uji Vigor Benih dengan NaCl

Metode yang digunakan pada praktikum uji vigor benih dengan NaCl
adalah masing – masing lot benih ditanam sebanyak 25 butir pada kertas tissue
yang sudah dilembabkan dengan larutan NaCl 1% dan dibuat perlakuan kontrol.
Perkecambahan benih dilakukan dengan metode UKDdp. Benih disimpan pada
tempat pengecambahan dan dirawat setiap hari dengan disiram sesuai
perlakuannya. Benih diamati setelah hari ke-7 dan dihitung daya kecambahnya.

.2.6. Struktur Benih

Metode yang digunakan pada praktikum struktur benih adalah benih


kedelai dan jagung direndam selama 24 jam sampai lunak. Benih diiris dengan
arah vertikal agar bagiannya mudah diamati. Benih yang sudah diiris lalu
digambar dan diberi keterangan masing – masing bagiannya.

.2.8. Proses Pembersihan Benih

Metode yang digunakan pada praktikum proses pemberihan benih adalah


benih kedelai yang masih tercampur dengan kotoran dan benih lain ditimbang
seberat 50 gram. Benih kedelai dipisahkan secara manual dari kotoran, benih lain,
dan benih yang jelek. Bahan ditimbang dan dihitung persentase kemurnian
benihnya.

.2.9. Alat pembagi benih atau Seed Divider


Metode yang digunakan dalam praktikum alat pembagi benih adalah 100
gram benih kedelai ditimbang sebanyak 3 kali ulangan. benih dimasukkan ke
dalam alat pembagin dan benih ditimbang pada masing-masing pintu.

.2.10. Kultur Jaringan Anggrek

Metode yang dilakukan pada Praktikum Teknologi Benih acara Kultur


Jaringan Anggrek adalah bahan ditimbang sesuai anjuran. Larutan gula dan agar
dibuat dan diaduk dengan hot plate stirer pada suhu 175o C bersama dengan
bahan stok sebanyak 500 ml. Larutan dimasukkan dalam botol kultur kemudian
ditutup dengan plastik dan diberi karet. Larutan disterilisasi basah menggunakan
autoklaf selama 1 jam. Kultur anggrek diinkubasi dalam botol kultur dan
diletakkan dalam kultur selama 1 minggu. Kultur jaringan diamati setiap minggu
selama 1 minggu dan pertumbuhan kultur pada media didokumentasi.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Penentuan Bahan Kering Kecambah Normal

Berdasarkan Praktikum Teknologi Benih Acara Penentuan Bahan Kering


Kecambah Normal yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 1. Hasil Pengamatan Daya Berkecambah dan Bahan Kering Kecambah


Lot Benih Ulangan Daya Total Bahan Bahan
Berkecamba Kering kering/
h (%) Kecambah Kecambah
Normal (g) (g)
Dena 1 40% 0,867 0,086
2 40% 0,939 0,093
3 40% 0,133 0,013
Rata-rata 40% 0,646 0,064
Gepak Kuning 1 92% 0,863 0,037
2 96% 1,038 0,043
3 60% 3,036 0,202
Rata-rata 82,6% 1,645 0,094
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan data diatas dapat diketahui bahwa daya berkecambah


kedelai Dena sebesar 40% dibawah standar dan kedelai Gepak Kuning sebesar
82,6% sesuai dengan standar umum daya berkecambah. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Yunasari et al. (2015) yang menyatakan bahwa standar umum
presentase daya berkecambah benih kedelai yaitu sebesar 82%. Daya
berkecambah dari benih Gepak Kuning lebih besar daripada benih Dena
dikarenakan tingginya vigor benih Gepak Kuning. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Umar (2012) yang menyatakan bahwa daya berkecambah benih yang
tinggi dipengaruhi oleh vigor benih yang tinggi.
Total bahan kering kecambah normal pada benih Dena sebesar 0,646 g
dan pada benih Gepak Kuning 1,645 g. Besarnya bahan kering kecambah pada
benih Gepak Kuning sebanding dengan viabilitas benih yang lebih tinggi. Hal
tersebut sesuai dengan pendapat Fadila et al. (2016) yang menyatakan bahwa
semakin tinggi daya berkecambah benih, maka kemampuan berkecambah dan
kandungan bahan kering benih akan meningkat.Bahan kering kecambah
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman, fase pertumbuhan, dan
waktu pemotongan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Anisyah et al. (2014)
yang menyatakan bahwa bahan kering kecambah dipengaruhi oleh hasil
fotosintesis.

4.2. Penetapan Kadar Air Benih

Berdasarkan praktikum Penetapan Kadar Air Benih diperoleh hasil


sebagai berikut:

Tabel 2. Kadar Air Benih dengan Metode Langsung


Ulangan Kadar Air Benih (%)
1 5,92
2 5,40
Rata-rata 5,66
Sumber: Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan tabel data diatas dapat diperoleh bahwa bahwa kadar air
pada benih jagung hibrida dengan metode langsung didapatkan hasil yang cukup
rendah yaitu 5,66%. Hal ini sesuai dengan pendapat Kusumawati dan Putri (2013)
yang menyatakan bahwa pada umumnya jagung memiliki kadar air 10–14 %.
Kadar air jagung yang rendah dapat disebabkan oleh lamanya penyimpanan benih.
Hal ini sesuai dengan pendapat Solihin et al. (2015) yang menyatakan bahwa
kurangnya jangka waktu pengeringan dan penyimpanan jagung dapat
menyebabkan benih belum sempat untuk menyerap air dari lingkungan.

Tabel 3. Kadar Air Benih dengan Metode Tidak Langsung


Jenis Benih Kadar Air Benih (%)
Jagung 12,6
Padi 11,6
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan data yang diperoleh, kadar air benih jagung hibrida dengan
metode tidak langsung diperoleh hasil yang nomal yaitu sebesar 12,6 %. Hal ini
sesuai dengan pendapat Kusumawati dan Putri (2013) yang menyatakan bahwa
pada umumnya jagung memiliki kadar air 10 – 14 %. Kadar air benih padi
diperoleh hasil yang cukup rendah yaitu sebesar 11,6 %. Hal ini sesuai dengan
pendapat Ismawari (2012) yang menyatakan bahwa kadar air padi pada umumnya
sebesar 25−27% pada musim hujan dan 21−24% pada musim kemarau. Faktor
yang mempengaruhi kadar air padi yaitu faktor internal antara lain sifat dan jenis
benih, sedangkan faktor eksternal antara lain suhu dan kelembaban. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pratiwi dan Purwanto (2012) yang menyatakan bahwa faktor
yang mempengaruhi kadar air benih yaitu faktor internal yang terdiri dari sifat dan
jenih benih, dan faktor ekternal yang terdiri dari suhu dan kelembaban
lingkungan. Tujuan penetapan kadar air benih yaitu untuk mengetahui sisa kadar
air pada benih. Hal ini sesuai dengan pendapat Payung et al. (2016) yang
menyatakan bahwa penetapan kadar air benih dilakukan untuk mengetahui sisa air
pada benih setelah melalui proses pengeringan atau penyimpanan.

.3. Metode Pematahan Dormansi Benih

Berdasarkan praktikum pematahan dormansi benih diperoleh hasil


sebagai beikut:

Tabel 4. Hasil Pengamatan Dormansi Fisiologis Benih Padi(Oryza sativa L.)


Jumlah benih yang berkecambah pada perlakuan
Kontrol KNO3 Air panas
Total kecambah 23 25 24
Daya berkecambah (%) 92 100 96
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan praktikum yang telah dilaksanakan dapat diketahui bahwa


benih yang berkecambah normal atau benih yang dapat dipatahkan dormansinya
paling baik adalah benih yang diberi perlakuan KNO3. Perlakuan perendaman
dalam larutan KNO3 diketahui dapat mengaktifkan metabolisme sel dan
mempercepat perkecambahan. Hal ini sesuai pendapat Faustina et al. (2012) yang
menyatakan bahwa perlakuan awal dengan larutan KNO 3 berperan merangsang
perkecambahan pada hampir seluruh jenis biji. Perlakuan kontrol benih padi yang
tidak diberikan perlakuan untuk mematahkan dormansi sehingga menyebabkan
benih padi P0 memiliki persentase paling rendah. Padi yang telah direndam
dengan air panas akan mengalami perkecambahan karena telah terjadi pematahaan
dormansi benih. Hal ini sesuai pendapat Sandi et al. (2014) yang menyatakan
bahwa perendaman benih dengan air panas dapat mematahkan dormansi benih.
After ripening terjadi karena adanya komponen tertentu sebagai pra syarat
perkecambahan yang belum siap. Beberapa jenis benih memerlukan waktu
penyimpanan tertentu untuk mematahkan dormansinya secara alami karena benih
tersebut mengalami after repening (Simanjuntak, 2012).

Tabel 5. Hasil Pengamatan Dormansi Fisik Benih Gamal (Gliricidia sepium)


Jumlah benih yang berkecambah pada perlakuan
Kontrol Fisik Kimia Mekanik
Total kecambah 0 0 0 0
Daya berkecambah (%) 0 0 0 0
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan tabel diatas hasil yang diperoleh adalah perlakuan secara


kontrol, fisik, kimia dan mekanik semuanya memperoleh hasil yang sama yaitu 0.
Pertumbuhan suatu benih dipengaruhi oleh faktor luar seperti lingkungan dan
lainnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryuni dan Harjanto (2009) yang
menyatakan bahwa perkecambahan benih dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu faktor
internal berupa tingkat kematangan benih dan eksternal yaitu pengaruh suhu,
cahaya, air, dan media tumbuh. Perendaman benih gamal yang dilakukan selama
kurang lebih 10 menit dapat melunakan jaringan kulit benih gamal yang tebal dan
keras. Hal ini sesuai pendapat Sandi et al. (2014) yang menyatakan bahwa
perendaman benih dengan lama waktu yang berbeda-beda mampu melunakkan
dan membuka pori-pori kulit benih yang keras.
Benih yang mempunyai sifat berupa dormansi fisik pada kulit benih
dapat diberi perlakuan dengan skarifikasi mekanik dan kimia. Hal ini sesuai
dengan pendapat Kartika et al. (2015) yang menyatakan bahwa pematahan
dormansi fisik dapat dilakukan dengan pengamplasan yaitu perlakuan secara
mekanik. Perlakuan yang dilakukan untuk mematahkan dormansi fisik adalah
dengan cara merendam benih dengan larutan H2SO4 dan pengamplasan atau
mekanik. Hal ini sesuai dengan pendapat Nugroho dan Salamah (2015) yang
menyatakan bahwa pematahan dormansi fisik dilakukan dengan merendam benih
dalam larutan H2SO4 bertujuan untuk melunakkan dan melembekkan kulit benih.

.4. Pengujian Daya Kecambah Benih

Berdasarkan praktikum Uji Daya Kecambah Benih didapatkan hasil


sebagai berikut :

Tabel 6. Hasil Perhitungan Daya Berkecambah Benih Cabai (Capsicum annum


L.) dan Mentimun (Cucumis sativus L.)
Jenis Benih Daya Berkecambah (%)
Cabai 75%
Mentimun 15%
Sumber: Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan tabel diatas diperoleh hasil bahwa daya perkecambahan


benih cabai sebesar 75%. Daya kecambah cabai tergolong rendah karena standar
minimum daya perkecambahan benih cabai adalah 80%. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi (2009) yang menyatakan
bahwa bahwa daya berkecambah minimum untuk benih cabai adalah sekitar 80%.
Daya perkecambahan benih timun lebih kecil dari cabai yaitu sebesar 15%. Daya
kecambah mentimun tergolong rendah karena standar daya perkecambahan timun
adalah 75%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rudi dan Nengsih (2018) yang
menyatakan bahwa Standar Nasional Indonesia daya kecambah benih tanaman
mentimun sebesar 75%. Daya perkecambahan benih yang rendah disebabkan
karena banyaknya serangan cendawan saat benih berkecambah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Rahayu dan Suharsi (2015) daya perkecambahan benih yang
rendah disebabkan oleh proses imbibisi yang tidak serempak pada benih sehingga
pertumbuhan benih menjadi kecambah normal tidak serempak serta banyaknya
serangan cendawan saat benih dikecambahkan.
Viabilitas benih merupakan daya hidup benih yang dapat ditunjukkan
dalam fenomena pertumbuhannya, gejala metabolisme, kinerja kromosom atau
garis viabilitas. Hal ini sesuai dengan pendapat Umar (2012) yang menyatakan
bahwa viabilitas potensial adalah parameter viabilitas dari suatu lot benih yang
menunjukan kemampuan benih untuk menumbuhkan tanaman normal yang
berproduksi normal pada kondisi lapang yang optimum. Faktor-faktor yang
mempengaruhi viabilitas benih selama penyimpanan dibagi menjadi faktor
internal dan faktor eksternal. Hal ini sesuai dengan pernyataan Utami (2013) yang
menyatakan bahwa faktor internal mencakup sifat genetik (ortodoks atau
rekalsitran), daya kecambah dan vigor, kondisi fisik dan kadar air benih awal serta
tingkat kematangan benih dan faktor eksternal antara lain suhu, kelembaban ruang
simpan, komposisi kimia benih dan kebersihan mikroflora dalam benih.

.5. Uji Vigor Benih dengan NaCl

Berdasarkan praktikum Uji Vigor Benih dengan NaCl diperoleh hasil


sebagai berikut:

Tabel 7. Uji Vigor Benih Kedelai Varietas Dena dengan NaCl.


Jumlah Jumlah Daya
Jumlah
Perlakuan Kecambah Kecambah Berkecambah
Benih mati
normal abnormal (%)
Kontrol 9 5 1 36%
NaCl 1 1 23 4%
Sumber: Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan hasil pada tabel, daya berkecambah benih kedelai pada


perlakuan kontrol sebesar 36% sedangkan pada benih dengan perlakuan NaCl
sebesar 4%. Daya kecambah benih dengan perlakuan NaCl sebesar 4%. Hasil ini
tidak sesuai dengan standar daya kecambah pada benih kedelai. Hal ini sesuai
dengan pendapat Rahardjo (2012) yang menyatakan bahwa standar daya
kecambah benih kedelai sebesar 80%. Hasil tersebut menandakan bahwa vigor
benih kedelai yang digunakan rendah. Hal ini sesuai dengan pendapat Umar
(2012) yang menyatakan bahwa daya berkecambah benih dipengaruhi oleh tinggi
dan rendahnya indeks vigor benih.
Daya kecambah pada perlakuan NaCl lebih kecil daripada kontrol yang
berarti terjadi penghambatan pertumbuhan kecambah pada perlakuan NaCl. Hal
ini sesuai dengan pendapat Puspita (2017) yang menyatakan bahwa fungsi NaCl
pada uji vigor benih adalah untuk memperlambat pertumbuhan kecambah.
Larutan NaCl digunakan untuk membuat kondisi tanah menjadi salin. Hal ini
sesuai dengan pendapat Puspita (2017) yang menyatakan bahwa salinitas dapat
menghambat proses imbibisi pada benih karena garam menurunkan tekanan
osmotik sehingga menyebabkan benih tidak dapat menyerap air.
Salinitas yang tinggi mengakibatkan terjadinya cekaman osmotik.
Larutan NaCl yang diberikan pada benih menyebabkan konsentrasi larutan di luar
benih lebih lebih tinggi daripada konsentrasi larutan di dalam benih. Hal ini sesuai
dengan pendapat Kristiono et al. (2018) yang menyatakan bahwa cekaman
osmotik terjadi karena salinitas yang tinggi. Faktor yang mempengaruhi vigor
benih adalah lingkungan dan genetik benih. Hal ini sesuai dengan pendapat
Darmawan et al. (2014) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi
vigor terhadap benih adalah kondisi lingkungan dan kondisi genetik benih, faktor
genetik meliputi tingkat kekerasan benih sedangkan faktor lingkungan meliputi
kelembaban serta kesuburan tanah. Daya kecambah benih dikatakan baik jika
benih tersebut tumbuh seragam. Hal ini sesuai dengan pendapat Murniati et al.
(2018) yang menyatakan bahwa ciri benih yang mempunyai vigor baik adalah
pertumbuhan benih tersebut serempak dan merata.

.6. Struktur Benih

Berdasarkan praktikum acara struktur benih yang telah dilakukan


diperoleh hasil sebagai berikut:

6 2
4
5 4
6
1
3
2
2
1

Sumber : Data Primer Praktikikum Sumber:


Teknologi Benih, 2019. http://dimasupdate.blogspot.com/2013/
12/struktur-biji-tumbuhan-dikotil-
dan.html

Ilustrasi 1. Gambar Struktur Benih Jagung (Zea mays)


Keterangan: 1. Plumula
2. Endosperma
3. Radikula
4. Kotiledon
5. Kulit Benih

2
6. Embrio

Berdasarkan tabel di atas dapat diperoleh bahwa benih tanaman jagung


terdiri atas kulit, endosperma, kotiledon, plumula, radikula, embrio, koleoptil, dan
koleoriza. Hal ini sesuai dengan pendapat Elfiani dan Jakoni (2015) yang
menyatakan bahwa struktur benih monokotil terdiri atas atas kulit benih, plumula,
radikula, kotiledon, embrio, endosperma, koleoptil, dan koleoriza. Kulit benih
berfungsi untuk melindungi benih dan mencegah kekeringan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Marthen et al. (2018) yang menyatakan bahwa kulit benih
berfungsi sebagai pelindung bagian dalam benih dan melindungi benih dari
kekeringan. Embrio merupakan hasil dari perkembangbiakan tanaman. Hal ini
sesuai dengan pendapat Dwiyani et al. (2012) yang menyatakan bahwa embrio
adalah calon tanaman baru yang dihasilkan dari penyatuan gamet jantan dan
betina. Endosperma merupakan cadangan makanan pada tanaman monokotil. Hal
ini sesuai dengan pendapat Rusmin (2017) yang menyatakan bahwa pada tanaman
monokotil endosperma berfungsi sebagai cadangan makanan. Kotiledon berfungsi
sebagai cadangan makanan bagi benih saat masa perkecambahan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Haryanti dan Budihastuti (2015) yang menyatakan bahwa
kotiledon adalah bagian yang berfungsi sebagai tempat menyimpan cadangan
makanan untuk proses perkecambahan.
Plumula merupakan bagian yang akan tumbuh menjadi batang pada
tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra et al. (2016) yang menyatakan
bahwa plumula adalah calon batang yang ditopang oleh epikotil dan hipokotil.
Radikula merupakan bagian benih yang akan menjadi akar. Hal ini sesuai dengan
pendapat Setyaningsih (2018) yang menyatakan bahwa radikula merupakan
bagian yang akan menjadi akar pada tanaman. Koleoptil merupakan bagian benih
yang berfungsi sebagai pelindung plumula sedangkan koleoriza berfungsi
melindungi radikula. Hal ini sesuai dengan pendapat Kartahadimaja dkk. (2017)
yang menyatakan bahwa koleoptil merupakan bagian benih yang berfungsi untuk
melindungi plumula sedangkan koleoriza berfungsi untuk melindungi radikula.
5 4
4
2 2

1 5
1
3 3

Sumber : Data Primer Praktikum Sumber :


Teknologi Benih, 2019. http://trisnamonalia.blogspot.com/20
18/09/struktur-benih-dan-buah.html

Ilustrasi 2. Gambar Struktur Benih Kedelai (Glycine max)


Keterangan: 1. Radikula
2. Plumula
3. Kotiledon
4. Kulit Benih
5. Embrio

Berdasarkan tabel di atas dapat diperoleh hasil bahwa benih tanaman


kedelai terdiri dari kulit, embrio, plumula, radikula, dan kotiledon. Hal ini sesuai
dengan pendapat Elfiani dan Jakoni (2015) yang menyatakan bahwa benih
tanaman dikotil terdiri dari kulit benih, radikula, kotiledon, embrio, dan plumula.
Kulit benih merupakan bagian yang berfungsi untuk melindungi benih dan
mencegah kekeringan. Hal ini sesuai dengan pendapat Marthen et al. (2018) yang
menyatakan bahwa kulit benih berfungsi sebagai pelindung bagian dalam benih
dan melindungi benih dari kekeringan. Kotiledon berfungsi sebagai cadangan
makanan pada saat perkecambahan. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryanti dan
Budihastuti (2015) yang menyatakan bahwa kotiledon merupakan bagian yang
berfungsi sebagai cadangan makanan saat benih berkecambah. Plumula
merupakan bagian yang akan tumbuh menjadi batang. Hal ini sesuai dengan
pendapat Putra et al. (2016) yang menyatakan bahwa plumula merupakan calon
batang yang ditopang oleh epikotil dan hipokotil.
Radikula merupakan bagian benih yang akan menjadi akar. Hal ini sesuai
dengan pendapat Setyaningsih (2018) yang menyatakan bahwa radikula
merupakan bagian yang akan menjadi akar pada tanaman. Embrio merupakan
hasil dari perkembangbiakan tanaman. Hal ini sesuai dengan pendapat Dwiyani et
al. (2012) yang menyatakan bahwa embrio adalah calon tanaman baru yang
dihasilkan dari penyatuan gamet jantan dan betina.
Perbedaan struktur benih dikotil dan monokotil adalah benih tanaman
dikotil tidak memiliki koleoptil dan koleoriza untuk melindungi plumula dan
radikula. Hal ini sesuai dengan pendapat Putra et al. (2016) yang menyatakan
bahwa benih tanaman dikotil tidak memiliki koleoptil dan koleoriza yang
berfungsi sebagai pelindung plumula dan radikula. Perbedaan kedua adalah benih
tanaman dikotil tidak memiliki endosperma sebagai cadangan makanannya tetapi
kotiledon. Hal ini sesuai dengan pendapat Haryanti dan Budihastuti (2015) yang
menyatakan bahwa benih tanaman dikotil menggunakan kotiledon sebagai
cadangan makanannya.

.7. Uji Cepat Viabilitas Benih dengan Tetrazolium

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai


berikut :

Tabel 8. Hasil Pengujian Benih Dengan Tetrazolium


Benih Benih Viabel Benih Semi Benih Non
Viabel Viabel
Jagung 8 1 1
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan tabel diatas diperoleh bahwa benih yang memiliki tingkat


viabilitas tinggi disebut benih viabel ada 8, benih yang tingkat viabilitas sedang
disebut benih semi viabel ada 1 dan benih yang tinggat viabilitasnya rendah
disebut benih non viabel ada 1. Benih viabel memiliki warna merah terang
sedangkan benih yang semi viabel memliki warna merah muda. Hal ini sesuai
dengan pendapat Burg (2011) yang menyatakan setiap benih sel hidup akan
berwarna merah oleh reduksi dari suatu pewarnaan garam tetrazolium dan
membentuk endapan formazon merah, sedangkan benih non viabel akan berwarna
putih. Enzim yang mendorong terjadinya proses tetrazolium adalah dehidrogenase
yang berkaitan dengan respirasi. Benih yang berwarna merah muda menunjukan
bahwa benih memilki viabilitas rendah (semi viabel) tetapi benih masih tetap
hidup. Hal ini sesuai dengan pendapat Dina (2009) yang menyatakan benih viabel
bagian embrio berwarna merah, benih non-viable bila tidak terwarnai seluruhnya,
sebagian besar kotiledon tidak terwarnai, bagian luar berwarna merah, tetapi
bagian dalam kotiledon terlihat adanya batas yang nyata daerah yang tidak
terwarnai.
Warna merah pada benih menunjukan adanya reaksi dari proses
tetrazolium yang terbentuk karena adanya endapan formazan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Ilyas dan Widajati (2015) yang menyatakan larutan tetrazolium
di imbibisi oleh benih dan pada sel benih yang hidup akan terjadi proses reduksi,
benih yang hidup akan berwarna merah karena adanya endapan formazan,
endapan formazan terbentuk karena proses reduksi 2, 3, 5-trifenil tetrazolium
klorida oleh hidrogen sebagai produk aktivitas enzim dehidrogenase, benih yang
mati tidak terbentuk formazan, sehingga tidak berubah warna. Faktor – faktor
yang dapat mempengaruhi viabilitas suatu benih yaitu dapat berupa penyakit pada
benih, kerusakan pada benih masa dormansi, dan bahan kimia. Hal ini sesuai
dengan pendapat Subantoro dan Prabowo (2013) yang menyatakan faktor – faktor
yang mempengaruhi viabilitas suatu benih adalah masa dormansi, penyakit dan
kerusakan bahan kimia yang digunakan.

.8. Proses Pembersihan Benih

Berdasarkan praktikum Proses Pembersihan Benih, diperoleh hasil


sebagai berikut :
Tabel 9. Efisiensi Pemilahan Benih
Fraksi kemurnian benih Berat (g) Persentase(%)
Benih kedelai 48 96,39
Benih lain 0,5 1
Kotoran 1,3 2,61
Total 49,8 100
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan hasil praktikum bahwa benih setelah dipisahkan, didapat


benih kedelai murni sebesar 48 g dengan presentase 96%. Persentase efisiensi
pembersihan benih yang diperoleh termasuk dibawah standar. Hal ini sesuai
dengan pendapat Prasekti (2015) yang menyatakan bahwa kemurnian benih
minimal 97%, campuran dari varietas lain maksimal 1%, dan kotoran yang ada
pada benih maksimal 3%. Kemurnian benih kedelai ini didapat setelah proses
pembersihan benih dari benih lain, benih cacat dan kotoran lain dan bertujuan
untuk menjaga ukuran benih ketika disimpan karena ukuran benih mempengaruhi
viabilitas dan vigor benih. Hal ini sesuai dengan pendapat Raka et al. (2012) yang
menyatakan bahwa proses pembersihan benih dilakukan agar mampu menjaga
kualitas benih selama penyimpanan dalam waktu yang lama. Mutu benih lain
dipengaruhi oleh beberapa faktor eksternal seperti lingkungan dan perawatan pada
masa pertumbuhan, sedangkan faktor internal dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal
ini sesuai dengan pendapat Chattopadhyay et al. (2011) yang menyatakan bahwa
mutu benih dipengaruhi oleh faktor lingkungan, perawatan selama pertumbuhan
dari gulma dan hama dan faktor genetik.

.9. Alat Pembagi Benih

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data sebagai


betikut:

Tabel 10. Hasil Pengamatan Alat Pembagi Benih


Benih Ulangan Berat Benih Berat Benih Perbandingan Berat
Pada Pintu 1 Pada Pintu 2 Benih Pintu 1 : Pintu
2
Kedela 1. 50.9 50.9 1:1
i 2. 49.59 51.59 1 : 1.04
3. 50.59 49.59 1.02 : 1
Rerata 50,36 50.69
Sumber: Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh data bahwa rata-


rata berat benih pada pintu 1 adalah 50.36 gram, rata-rata berat benih pada pintu 2
adalah 50.69 gram, hal tersebut menunjukan bahwa benih dapat terbagi dengan
jumlah yang sama besar dengan alat pembagi benih. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Sari et al. (2015) yang menyatakan bahwa alat pembagi benih berfungsi
untuk membagi benih sama rata. Mekanisme kerja alat pembagi benih antara lain
pada saat katup terbuka, benih akan masuk karena adanya gaya gravitasi ke
kerucut yang akan terbagi menjadi dua bagian yang sama rata. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Shari et al. (2013) yang menyatakan bahwa alat pembagi benih
bekerja dengan membagi benih dengan seimbang.

4.10. Subkultur Plantet Anggrek

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai


berikut:

Sumber: Data Primer Praktikum


Teknologi Benih, 2019.
Ilustrasi 3. Kultur Jaringan Anggrek
Berdasarkan ilustrasi diatas dapat diketahui bahwa anggrek dapat
dilakukan perbanyakan secara vegetatif dengan cara kultur jaringan. Hal ini sesuai
dengan pendapat Susanti (2014) yang menyatakan bahwa kultur jaringan adalah
metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman yang ditumbuhkan dengan
kondisi aseptik sehingga dapat memperbanyak diri dan tumbuh lengkap. Anggrek
bulan diperbanyak dengan kultur jaringan karena sulit tumbuh dengan
menggunakan biji. Hal ini sesuai dengan pendapat Paramartha (2012) yang
menyatakan bahwa secara umum anggrek termasuk tanaman yang sulit
dikembangbiakkan dikarenakan bijinya tidak memiliki endosperm sehingga sulit
tumbuh di alam. Anggrek lebih efektif dengan perbanyakan menggunakan kultur
jaringan. Hal ini sesuai dengan pendapat Rupawan et al. (2014) yang meyatakan
bahwa perbanyakan anggrek dengan kultur jaringan terbukti lebih ampuh dalam
penyediaan bibit anggrek yang lebih banyak dan seragam dalam waktu yang
relatif singkat.

Sumber: Data Primer Praktikum


Teknologi Benih, 2019.
Ilustrasi 4. Media Kultur Jaringan
Media kultur jaringan terdiri dari media dasar dan pengatur tumbuh.
Media Murashige dan Skoog (MS) berisi yaitu N, P, K, dan Fe, dan zat pengatur
tubuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Kristina dan Syahid (2012) yang
menyatakan bahwa Media dasar Murashige dan Skoog (MS) mengandung unsur
hara makro N, P, K, dan mikro Fe, dan diperkaya dengan vitamin dan zat pengatur
tumbuh yaitu 2,4-D, dan FeSO3NaSO4. Kelebihan media Murashige and Skoog
(MS) adalah dapat menunjang pertumbuhan pada jaringan tanaman. Hal ini sesuai
dengan pendapat Hasanah et al. (2014) yang menyatakan bahwa Murashige and
Skoog (MS) mengandung unsur hara makro dan mikro yang tinggi sehingga dapat
mempengaruhi pertumbuhan jaringan tanaman.

Sumber: Data Primer Praktikum Teknologi


Benih, 2019.
Ilustrasi 5. Proses Subkultur
Subkultur dilakukan dengan cara memindahkan eksplan dari media lama
ke media baru. Hal ini sesuai dengan pendapat Wibowo et al. (2010) yang
menyatakan bahwa subkultur dilakukan dengan cara memindahkan eksplan ke
medium yang sama setelah tunas–tunasnya dipisahkan untuk mengurangi
kompetisi nutrisi dan untuk elongasi. Subkultur adalah suatu tahapan untuk
pertumbuhan secara optimal. Hal ini sesuai dengan pendapat Febryanti (2017)
yang menyatakan bahwa subkultur merupakan salah satu tahapan yang perlu
dilakukan untuk menjamin tanaman selalu mendapat hara yang cukup untuk
pertumbuhan yang optimal serta dapat membentuk tunas dan akar dengan
kombinasi dan konsentrasi hormon yang sesuai.
Sumber: Data Primer Praktikum
Teknologi Benih, 2019.
Ilustrasi 6. Hasil Pengamatan Kultur Jaringan Anggrek hari ke-10.

Hasil pengamatan kultur jaringan anggrek mengalami kontaminasi yang


disebabkan oleh jamur. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuliarti (2010) yang
menyatakan bahwa gangguan kontaminasi yang sangat umum terjadi pada
kegiatan kultur jaringan adalah jamur. Keberhasilan kultur jaringan dipengaruhi
oleh beberapa faktor. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahmi et al. (2010) yang
menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis
dalam kultur jaringan yaitu genotipe, media kultur, lingkungan tumbuh, dan
eksplan yang digunakan.
BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan hasil praktikum dapat disimpulkan bahwa bahan kering pada kedelai
varietas Dena lebih kecil daripada varietas Gepak Kuning. Penetapan kadar air
benih metode langsung diperoleh kadar air benih dibawah standar, metode tidak
langsung kadar air benih jagung sesuai standar sedangkan kadar air benih padi
dibawah standar. Metode pematahan dormansi benih pada pengamatan dormansi
fisiologi benih padi paling baik direndam dengan KNO 3 sedangkan pada dormansi
fisik menggunakan benih gamal tidak ada satupun yang berkecambah. Pengujian
daya berkecambah benih pada benih cabai dan mentimun memiliki daya
berkecambah dan viabilitas yang rendah. Uji vigor benih dengan NaCl
menghasilkan daya berkecambah perlakuan kontrol lebih tinggi dibandingkan
dengan perlakuan NaCl. Srtuktur benih pada benih monokotil terdiri dari
endosperma, kotiledon, epikotil, embrio, dan radikula sedangkan benih dikotil
terdiri dari kulit biji, kotiledon, embrio, plumula dan hipokotil. Uji cepat viabilitas
benih dengan tetrazolium pada benih jagung menghasilkan benih viabel, benih
semi viabel, dan benih non viabel . Proses pembersihan benih menghasilkan benih
murni kedelai sesuai standar. Alat pembagi benih membagi benih menjadi dua lot
benih yang mempunyai bobot yang sama. Subkultur planlet anggrek berhasil
menghasilkan bibit anggrek.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan adalah melakukan penyiraman benih secara


teratur dan merata sehingga benih dapat diamati dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

Anisyah, F., R. Sipayung, dan C. Hanum. 2014. Pertumbuhan dan produksi


bawang merah dengan pemberian berbagai pupuk organik. J.
Agroekoteknologi. 2(2):482-496.

Astari, R. P., Rosmayati, dan E. S. Bayu. 2014. Pengaruh pematahan dormansi


secara fisik dan kimia terhadap kemampuan berkecambah benih mucuna
(Mucuna bracteata D.C). J. Online Agroekoteknologi. 2 (2) : 803 – 812.

Budhi, G. S., dan M. Aminah. 2010. Swasembada kedelai: antara harapan dan
kenyataan. J. Forum Penelitian Agro Ekonomi. 28(1): 55-68.

Burg JvD 2011. Tetrazolium Testing dalam Training Manual of HORTSYS


Project. Jakarta.

Chattopadhyay, A., S. Dutta dan S. Chatterjee. 2011. Seed Yield And Quality Of
Okra As Influenced By Sowing Dates. J. Of Biotechnology. 10(28) : 5461-
5467.

Chaidir, L., Epi, dan A. Taofik. 2015. Eksplorasi, identifikasi, dan perbanyakan
tanaman ciplukan (Physalis angulata L.) dengan menggunakan metode
generatif dan vegetatif. J. UINSGD. 9 (1) : 82 – 103.

Cutrisni., F. C. Suwarno, dan Suwarno. 2015. Pengujian vigor daya simpan


dengan metode pengusangan cepat fisik dan vigor kekuatan tumbuh pada
benih padi. J. Buletin Agrohorti. 3 (3) : 366 – 376.

Dina 2009. Uji tetrazolium secara kualitatif dan kuantitatif sebagai tolok ukur
vigor benih kedelai (Glycine max L. Merr) serta hubungannya dengan
pertumbuhan tanaman dai lapang[tesis]. Bogor : Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Dwiyani, R., A. Purwantoro, dan A. Indrianto. 2012. Konservasi anggrek alam


Indonesia (Vanda tricolor L.) varietas suavis melalui kultur embrio secara
in-vitro. J. Bumi Lestari, 12(1) : 93 – 98.

Darmawan A.C., Respatijarti, L. Soetopo . 2014. Pengaruh tingkat kemasakan


benih terhadap pertumbuhan dan produksi cabai rawit (Capsicum frutescent
l.). J. Produksi Tanaman, 2(4): 339-346.

Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi. 2009. Standard prosedur operasional


produksi benih cabai (Capsicum annuum L.) Kabupaten Ciamis Provinsi
Jawa Barat. Direktorat Perbenihan dan Sarana Produksi, Direktorat Jenderal
Hortikultura, Jawa Barat.
Elfiani, Jakoni. 2015. Pengujian daya berkecambah benih dan evaluasi struktur
kecambah benih. J. Dinamika Pertanian. 30(1): 45-52.

Fadila, N., Syamsuddin, R. Hayati. 2016. Pengaruh tingkat kekerasan buah dan
letak benih dalam buah terhadap viabilitas dan vigor benih kakao
(Theobrama cacao L.). J. Floratek. 11(1): 59-65.

Faustina, E., P. Yudoyono, dan R. Rabaniyah. (2012). Pengaruh Cara Pelepasan


Aril Dan Konsentrasi Kno3 Terhadap Pematahan Dormansi Benih Pepaya
(Carica papaya L.). J. Veget alika, No. 1(1): 1-11.S

Hartawan, R. 2016. Skarifikasi dan KNO3 Mematahkan Dormansi Serta


Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih Aren (Arrenga pinnata Merr.). J.
Media Pertanian. 1(1): 1-10.

Husain, I. dan R. Tuiyo. 2012. Pematahan Dormansi Benih Kemiri (Aleurites


moluccana, L. Willd) yang Direndam dengan Zat Pengatur Tumbuh
Organik Basmingro dan Pengaruhnya terhadap Viabilitas Benih. JATT. 1
(2) : 95 – 100.

Ihwah, A dan H. M. Putra. 2016. Analisis pengendalian produk akhir benih


jagung manis ditinjau dari uji kadar air refraksi dan daya tumbuh. J.
Teknologi Pertanian. 17 (2) : 139 – 148.

Irawanto, R., E. E. Ariyanti., dan R. Hendrian. 2015. Jeruju (Acanthus ilicifolius) :


Biji, perkecambahan dan potensinya. J. Biodiv, 1(5) : 1011-1018.

Isnasa, I. N., Respatijarti, dan S. L. Purnamaningsih. 2017. Penampilan 8 genotip


tanaman tomat (Lycopersicum esculentum M.) J. Produksi Tanaman. 5 (5) :
765 – 773.

Kartika, Surahman, dan Susanti. 2015. Pematahan Dormansi Benih Kelapa Sawit
(Elaeis guineensis Jacq.) Menggunakan KNO3 dan Skarifikasi. J. Pertanian
dan Lingkungan. 8 (2) : 48 – 55.

Kristiono, A., R. D. Purwaningrahayu, dan A. Taufiq. 2018. Respons tanaman


kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau terhadap cekaman salinitas. J.
Palawija. 28 (1) : 132- 138.

Lagiman, Basuki, B. Rochim, dan E. Wantoro. 2015. Keragaman Sifat Agronomi


dan Hasil Lima Genotip Kedelai Generasi F3 Hasil Persilangan. J. Agrivet.
19(1):30-35.
Lesilolo, M., K., J. Riry., dan E. A. Matalula. 2013. Pengujian viabilitas dan vigor
benih beberapa jenis tanaman yang beredar di pasaran kota ambon. J.
Agrologia, 2(1) : 1-9.

Lubis,Y. A., M. Riniarti, dan A. Bintoro. 2014. Pengaruh Lama Waktu


Perendaman dengan Air terhadap Daya Berkecambah Trembesi (Samanea
saman). J. Sylva Lestari. 2(2) : 25 – 32.

Manurung, D., L. A. P. Putri, dan M. K. Bangun. 2013. Pengaruh perlakuan


Pematahan Dormansi terhadap Viabilitas Benih Aren (Arenga pinnata
Merr.). J. Online Agroekoteknologi. 1 (3) : 768 -782.

Morla,S.,C.S.V. Ramachandra, dan R.C. Ani. 2011. Faktor-faktor yang


mempengaruhi perkecambahan biji dan pertumbuhan bibit tanaman tomat
yang dibudidayakan dalam kondisi in vitro. J. Ilmu Kimia, Biologi dan Fisik
1: 328-334.

Murniati, E., M. Sari, dan E. Fatimah. 2018. Pengaruh pemeraman buah dan
periode simpan terhadap viabilitas benih papaya (Carica papaya L.). J.
Agrinomi Indonesia. 36 (2) : 139 – 145.

Nugroho, A. T. dan Z. Salamah. 2015. Pengaruh Lama Perendaman dan


Konsentrasi Asam Sulfat (H2SO4) terhadap Perkecambahan Biji Sengon
Laut (Paraserianthes falcataria) sebagai Materi Pembelajaran Biologi
SMA Kelas XII untuk Mencapai K.D 3.1 Kurikulum 2013. Jupemasi
PBIO. 2 (1) : 230 – 236.

Nurussintani, W., Damanhuri, dan S. L. Purnamaningsih. 2013. Perlakuan


Pematahan Dormansi Terhadap Daya Tumbuh Benih 3 Varietas Kacang
Tanah (Arachis hypogaea). J. Protan. 1(1): 86-93.

Pratiwi, H., dan R. Artari. 2018. Respon Morfo-Fisiologi Genotipe Kedelai


terhadap Naungan Jagung dan Ubi Kayu. J. Agronomi Indonesia. 46(1): 48-
56.

Puspita, D. Y., Koesriharti., dan N. Aini. 2017. Respon perkecambahan varietas


dan galur tanaman mentimun (Cucumis sativus L.) pada beberapa tingkat
salinitas. J. Produksi Tanaman. 5 (11) : 1784 – 1790.

Rahardjo, P. 2012. Pengaruh pemberian abu sekan padi sebagai bahan desikan
pada penyimpanan benih terhadap daya tumbuh dan pertumbuhan bibit
kakao. J. Pelita Perkebunan. 28 (2) : 91 – 99.

Rudi, H dan Y. Nengsih. 2018. Penggunaan benih bermutu untk meningkatkan


produksi menuju ketahanan pangan. J. Agrotek, 8(3) : 57-67.
Sandi, A. L. I., Indriyanto, dan Duryat. 2014. Ukuran Benih dan Skarifikasi
dengan Air Panas Terhadap Perkecambahan Benih Pohon Kuku (Pericopsis
mooniana). J. Sylva Lestari, No. 3 (2): 83-92.

Sari, M., E. Widajati, dan P. R. Asih. 2013. Seed Coasting Pengganti Fungsi
Polong Pada Penyimpanan Benih Kacang Tanah. J. Agron. Indonesia. 41(3):
215-220.

Suhendra, D., D. J. Zebua., R. T. Hutasoit. 2017. Viabilitas biji kakao


(Theobroma cacao L.) dengan beberapa lama perendaman dengan daging
buah dan tanpa daging buah. J. Agroplasma. 4 (1) : 20 – 25.

Tatipata, A. 2010. Perubahan Asam lemak Selama Penyimpanan Benih Kedelai


(Glycine max L. Merr) dan Hubungannya dengan Viabilitas Benih. J.
Agron. Indonesia. 38(1): 30-35.

Umar, S. 2012. Pengaruh Pemberian Bahan Organik Terhadap Daya Simpan


Benih Kedelai {Glycine max (L.) Merr.}. J. Berita Biologi. 11 (3) : 401 –
410.

Utami,S. 2013. Uji viabilitas dan vigoritas benih padi local ramos adaptif deli
serdang dengan berbagai tingkat dosis irradiasi sinar gamma di persemaian.
J. Agrium, 18(2) : 1-23.

Yahya. 2015. Perbedaan tingkat laju osmosis antara umbi Solonum tuberosum dan
Doucus carota. J. Pembelajaran Biologi. 4 (1) : 197 – 206.

Yuanasari, B. S., N. Kendarini, D. Saptadi. 2015. Peningkatan viabilitas benih


kedelai hitam (Glycine max L. Merr) melalui invigorasi osmoconditioning.
J. Produksi Tanaman. 3 (6) : 518 – 527.

Pahan, I. 2012. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya, Jakarta.

Putra, D. R., Budi, U., Afifuddin, D. 2016. Morfologi Perakaran Tumbuhan


Monokotil Dan Tumbuhan Dikotil. J. Peronema Forestry Scince. 5(3) : 25 –
35.
Rahmayani, S.F., T.K. Suharsi., dan M. Surahman. 2015. Pengujian Tetrazolium
dan Respirasi Benih Koro Pedang (Canavalia ensiformis) Tetrazolium and
Seed Respiration Tests of The Jack Bean Seed (Canavalia ensiformis). Bul.
Agrohorti, 3 (1): 95 – 104.

Rohaeti, E. 2015. Sintesis Poliuretan Ramah Lingkungan. UNY Press.


Yogyakarta.

Rusmin, D. 2017. Pengembangan budidaya purwoceng (Pimpinella pruatjan


Molk.) sebagai tanaman obat. J. Perspektif. 16 (2): 79-92.
Sadjad. 2009. Prinsip-Prinsip dalam Mempertahankan Mutu Benih dalam
Penyimpanan. Jawa Timur. Malang.

Setyaningsih, D. W. 2017. Pengaruh lama perendaman terhadap perkecambahan


tanaman palem raja. J. Penelitian Ilmu Eksakta. 19 (2): 70-75.

Sari, E. P., Agustiansyah, Y. Nurmiaty. 2015. Pengaruh penyemprotan boron dan


silika terhadap pertumbuhan dan produksi (Glycine Max (L) Merril). J.
Agrotek Tropika. 3 (1) : 36 – 40.
Sudrajat, D. J., Nurhasybi, Y. Bramasto. 2015. Standar Pengujian dan Mutu Benih
Tanaman Hutan. Bogor, Jawa Barat.

Subantoro, R dan R. Prabowo. 2013. Pengkajian Viabilitas Benih Dengan


Tetrazolium Test Pada Jagung dan Kedelai. MEDIARGO, 2 (9): 1- 8.

Wardhani, R. M., R. A. Ansyah. 2017. Analisis produktifitas padi penangkar


benih dengan petani konsumsi. J. Ilmu Pertanian, Kehutanan, dan
Agroteknologi. 17 (2) : 1411 – 5336.

Widajati E., Murniati E., Palupi E.R., Kartika T., Suharto M.R. dan Qodir A.
2013. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB. Bogor.

Yuniarti, N., Megawati , Dan Budi Leksono. 2013. Pengaruh Metode Ekstraksi
Dan Ukuran Benih Terhadap Mutu Fisik-Fisiologis Benih Acacia
Crassicarpa. J. Penelitian Hutan Tanaman. 10(3) : 129 – 137.
Budhi, G. S., dan Aminah, M. 2010. Swasembada kedelai antara harapan dan
kenyataan. J. Agro Ekonomi. 28 (1), 55 – 68.

Burg JvD 2011. Tetrazolium Testing dalam Training Manual of HORTSYS


Project. Jakarta.

Chattopadhyay, A., S. Dutta dan S. Chatterjee. 2011. Seed Yield And Quality Of
Okra As Influenced By Sowing Dates. J. Of Biotechnology. 10(28) : 5461-
5467.

Dina 2009. Uji tetrazolium secara kualitatif dan kuantitatif sebagai tolok ukur
vigor benih kedelai (Glycine max L. Merr) serta hubungannya dengan
pertumbuhan tanaman dai lapang[tesis]. Bogor : Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Elfiani dan Jakoni. 2017. Pengujian daya berkecambah benih dan evaluasi struktur
kecambah benih. J. Dinamika Pertanian. 30 (1) : 45-52.
Haryanti, S dan R. Budihastuti. 2015. Morfoanatomi, berat basah kotiledon dan
ketebalan kecambah kacang hijau (Phaseolus vulgaris L.) pada naungan
yang berbeda. J. Anatomi dan Fisiologi. 23 (1) : 47-56.

Ilyas S. dan Widajati E. 2015. Teknik dan Prosedur Pengujian Mutu Benih
Tanaman Pangan. IPB. Bogor.

Kartahadimaja, J., E. E. Syuriani, dan N. A. Hakim. 2017. Pengaruh penyimpanan


jangka panjang terhadap viabilitas dan vigor empat galur benih inbred
jagung. J. Penelitian Pertanian Terapan. 13 (3): 35-48.

Krisnawati, A dan Adie.M.M. 2016. Ragam Karakter Morfologi Kulit Biji


Beberapa Genotipe Plasma Nutfah Kedelai. J. Litbang Pertanian. 14(1),14 –
18.

Lesilolo, M. K., J. Riry, dan E. A. Matatula. 2013. Pengujian Viabilitas dan Vigor
Benih Beberapa Jenis Tanaman yang Beredar di Pasaran Kota Ambon. J.
Agrologia, 2 (1) : 1 – 9.

Mulsanti, I. W., M. Surahman, S. Wahyuni, dan D. W. Utami. 2013. Identifikasi


Galur Tetua Padi Hibrida dengan Marka SSR Spesifik dan Pemanfaatannya
dalam Uji Kemurnian Benih. J. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 32
(1) : 221 – 238.

Ningsih, M. K., M. P. Biantary, dan Jumani. 2015. Uji Mutu Fisik dan Fisiologis
Benih Pohon Penghasil Gaharu (Aquilaria Microcarpa Baill.) berdasarkan
Fenotipe Pohon Induk di KHDTK Samboja Kabupaten Kutai Kartanegara.
J. AGRIFOR, 14 (2) : 221 – 238.

Pahan, I. 2012. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Penebar Swadaya, Jakarta.

Prasekti, Y. H. 2015. Analisa Ekonomi Usaha Penangkar Benih Padi Ciherang (di
Kelurahan Tanaman Kec. Tulungagung Kab. Tulungagung). J. Agribisnis
Fakultas Pertanian, 11 (13) : 1 – 11.

Rahmayani, S.F., T.K. Suharsi., dan M. Surahman. 2015. Pengujian Tetrazolium


dan Respirasi Benih Koro Pedang (Canavalia ensiformis) Tetrazolium and
Seed Respiration Tests of The Jack Bean Seed (Canavalia ensiformis). Bul.
Agrohorti, 3 (1): 95 – 104.

Rohaeti, E. 2015. Sintesis Poliuretan Ramah Lingkungan. UNY Press.


Yogyakarta.

Rusmin, D. 2017. Pengembangan budidaya purwoceng (Pimpinella pruatjan


Molk.) sebagai tanaman obat. J. Perspektif. 16 (2): 79-92.
Sadjad. 2009. Prinsip-Prinsip dalam Mempertahankan Mutu Benih dalam
Penyimpanan. Jawa Timur. Malang.

Setyaningsih, D. W. 2017. Pengaruh lama perendaman terhadap perkecambahan


tanaman palem raja. J. Penelitian Ilmu Eksakta. 19 (2): 70-75.

Sari, E. P., Agustiansyah, Y. Nurmiaty. 2015. Pengaruh penyemprotan boron dan


silika terhadap pertumbuhan dan produksi (Glycine Max (L) Merril). J.
Agrotek Tropika. 3 (1) : 36 – 40.
Sudrajat, D. J., Nurhasybi, Y. Bramasto. 2015. Standar Pengujian dan Mutu Benih
Tanaman Hutan. Bogor, Jawa Barat.

Subantoro, R dan R. Prabowo. 2013. Pengkajian Viabilitas Benih Dengan


Tetrazolium Test Pada Jagung dan Kedelai. MEDIARGO, 2 (9): 1- 8.

Wardhani, R. M., R. A. Ansyah. 2017. Analisis produktifitas padi penangkar


benih dengan petani konsumsi. J. Ilmu Pertanian, Kehutanan, dan
Agroteknologi. 17 (2) : 1411 – 5336.

Widajati E., Murniati E., Palupi E.R., Kartika T., Suharto M.R. dan Qodir A.
2013. Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. IPB. Bogor.

Yuniarti, N., Megawati , Dan Budi Leksono. 2013. Pengaruh Metode Ekstraksi
Dan Ukuran Benih Terhadap Mutu Fisik-Fisiologis Benih Acacia
Crassicarpa. J. Penelitian Hutan Tanaman. 10(3) : 129 – 137.
Puteri, E. A., Y. Nurmiaty, Agustiansyah. 2014. Pengaruh aplikasi fosfor dan
silica terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai (Glycine Max (L)
Merril). J. Agrootek Tropika. 2 (2) : 241 – 245.

Pertiwi, P. D., Agustiansyah. Y. Nurmiaty. 2014. Pengaruh giberelin (GA3)


terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai (Glycine Max (L)
Merril). J. Agrotek Tropika. 2 (2) : 276 – 281.

Sari, E. P., Agustiansyah, Y. Nurmiaty. 2015. Pengaruh penyemprotan boron dan


silika terhadap pertumbuhan dan produksi (Glycine Max (L) Merril). J.
Agrotek Tropika. 3 (1) : 36 – 40.

Sudrajat, D. J., Nurhasybi, Y. Bramasto. 2015. Standar Pengujian dan Mutu Benih
Tanaman Hutan. Bogor, Jawa Barat.

Shari, P., Y. Nurmiaty, N. Nurmauli. 2013. Pengujian vigor benih kedelai varietas
Grobogan hasil pemupukan NPK majemuk pada umur simpan dua bulan. J.
Agrotek Tropika. 1 (2) : 183 – 188.
Dinarti, D. 2017. Perbanyakan tunas mikro pada beberapa umur simpan umbi dan
pembentukan umbi mikro bawang merah pada dua suhu ruang kultur. J.
Agronomi Indonesia, 39(2) : 97 – 102.

Djajanegara, I. 2010. Pemanfaatan limbah buah pisang dan air kelapa sebagai
bahan media kultur jaingan anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis) tipe 229.
J. Teknologi Lingkungan, 11(3) : 373 – 380.

Febryanti, N. L. P. K., M. R Defiani, dan I. A. Astarini. 2017. Induksi


pertumbuhan tunas dari eksplan anggrek Dendrobium Heterocarpum L.
Dengan pemberian hormon Zeatin dan NAA. Metamorfosa: J. Biological
Sciences, 4(1) : 41-47.

Hasanah, U., E. R. Suwarsi, dan Sumadi. 2014. Pemanfataan pupuk daun, air
kelapa dan bubur pisang sebagai komponen medium pertumbuhan plantlet
anggrek Dendrobium Kelemense. J. Biosaintifika, 6(2) : 137-144.

Herawan, T., M. Na'iem, S. Indrioko, dan A. Indrianto. 2015. Kultur jaringan


cendana (Santalum album L.) menggunakan eksplan mata tunas. J.
Pemuliaan Tanaman Hutan, 9(3) : 177-188.

Kristina, N. N., dan S. F. Syahid, S. F. (2012). Induksi Perakaran dan Aklimatisasi


Tanaman Tabat Barito Setelah Konservasi In Vitro Jangka Panjang. J. Bul.
Littro, 23(1) : 11 – 20.

Mashud, N., dan Y. Matana. 2009. Transplantasi embrio kelapa. J. Buletin


Plasma. 1(31) : 19 – 27.

Munir, R., dan H. U. Zulman. 2011. Pengaruh berbagai media dengan inokulan
mikoriza terhadap aklimatisasi anggrek dendrobium (Dendrobium sp.). J.
Jerami, 4(2) : 70 – 78.

Paramartha, A. I., D. Ermavitalini, dan S. Nurfadilah. 2012. Pengaruh


penambahan kombinasi konsentrasi zpt naa dan bap terhadap pertumbuhan
dan perkembangan biji Dendrobium taurulinum JJ Smith secara in vitro. J.
Sains dan Seni ITS, 1(1) : E40-E43.

Purnamaningsih, R., I. Mariska, dan Y. Supriati. 2009. Penggunaan


Paclobutrazoldan aba dal Nenas Simadu melalui kultur in vitro. J. Berita
Biologi, 9(6) : 751-758.

Puspitaningtyas dan Mursidawati. 2010. Seleksi Bakteri Antagonis Untuk


Mengendalikan Layu Fusarium pada Tanaman Phalaenopsis. J.
Hortikultura, 22(3) : 276 – 284.
Rahmi, I., I. Suliansyah, dan T. Bustamam. 2010. Pengaruh pemberian beberapa
konsentrasi BAP dan NAA terhadap multiplikasi tunas pucuk jeruk kanci
(Citrus sp.) secara in vitro. J. Jerami, 3(3) : 210-219.
Rupawan, I. M., Z. Basri, dan M. Bustami. 2014. Pertumbuhan anggrek vanda
(Vanda sp.) pada berbagai komposisi media secara in vitro. J. Agrotekbis,
2(5) : 488 – 494.

Suparthana, I. P., M. Nogawa, dan M. Kojima. 2014. Identifikasi Transgene pada


tanaman Padi (oryza sativa var. koshihikari) yang ditransformasi dengan
bantuan Agrobacterium tumefaciens, menggunakan metode tanpa teknik
kultur jaringan. J. Media Ilmiah Teknologi Pangan, 1(1) : 24 – 30.

Susanti, T. 2014. Asesmen Penalaran Inch. J. Al-Ta lim, 21(1) : 72-78.

Wibowo, A., T. Joko., dan S. Subandiyah. 2010. Peningkatan ketahanan tanaman


pisang kepok kuning terhadap penyakit darah melalui variasi somaklonal
dan simbiosis endofitik. J. Perlindungan Tanaman Indonesia, 16(1) : 15 –21.

Widiarsih, S., dan I. Dwimahyani. 2013. Aplikasi iradiasi gamma untuk


pemuliaan mutasi anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis Bl.) umur genjah.
J. Ilmiah Aplikasi Isotop dan Radiasi, 9(1) : 59 – 66.

Yuliarti, N. 2010. Kultur Jaringan Tanaman Skala Rumah Tangga. Penerbit Andi,
Yogyakarta.

Zulkarnain. 2009. Kultur JaringanTanaman Solusi PerbanyakanTanaman Budi


Daya. Bumi Aksara, Jakarta.
LAMPIRAN

Lampiran 1. Perhitungan Bahan Kering Kecambah


Lot Benih Ulangan Daya Total Bahan Bahan
Berkecamba Kering Kering/
h (%) Kecambah Kecambah
Normal (g) (g)
A 1. 40% 0.867 g 0.086 g
2. 40% 0.939 g 0.093 g
3. 40% 0.133 g 0.013 g
Rata-rata 40% 0.646 g 0.064 g
B 1. 92% 0.863 g 0.037 g
2. 96% 1.038 g 0.043 g
3. 60% 3.036 g 0.202 g
Rata-rata 82.6% 1.645 g 0.094 g
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Benih 2019.

Lampiran 2. Kadar Air Benih (Metode Langsung)


Ulangan Berat Berat cawan + Berat cawan + Kadar Air
Cawan benih sebelum benih setelah Benih (%)
(B1) dioven (B2) dioven (B3)
1 19,671 24,633 24,339 5,92%
2 22,785 27,630 27,368 5,40%
Rata-rata 21,228 26,131 25,853 5,66%
Sumber : Data Primer PraktikumTeknologiBenih, 2019.

Lampiran 3. Kadar Air Benih (MetodeTidak Langsung)


Ulangan Kadar Air Benih (%)
BenihJagung 12,6 %
BenihPadi 11,6%
Rata-rata 12,1 %
Sumber : Data Primer PraktikumTeknologiBenih, 2019.
Lampiran 4. Pengamatan Dormansi Fisiologi Benih

Benih Cabai (Capsicum annum L.) Benih Mentimun (Cucumis sativus L.)
Sumber: Data Primer Praktikum Teknologi Benih, 2019.

Perhitungan daya berkecambah benih :


1.) Daya berkecambah benih Mentimun (Cucumis sativusL.)
Benih yang berkecambah
Daya Berkecambah = x 100 %
Jumlah benih
3
= x 100 %
20
= 15 %

2.) Daya berkecambah benih cabai (Capsicum annum L.)


Benih yang berkecambah
Daya Berkecambah = x 100 %
Jumlah benih
15
= x 100 %
20
= 75 %
Lampiran 5. Perhitungan Uji Vigor Benih dengan NaCl
Kecambah normal Kecambah abnormal Benih mati
LAMPIRAN 6.

Benih Jagung Larutan Tetrazolium

Benih Jagung yang direndam Hasil Benih Jagung yang telah


tetrazolium direndam tetrazolium

Lampiran 7. Dokumentasi Alat dan Bahan


Alat dan Bahan Keterangan

Agar
Gula

Makro

Mikro

Vitamin
24-D

FeSO3NaSO4

Kultur Anggrek

Erlenmeyer sebagai tempat larutan


dicampurkan
Hot plate stirer untuk
menghomogenkan larutan

Autoklaf untuk sterilisasi basah media

Botol kultur sebagai tempat media


dan tempat tumbuh kultur anggrek

Lampiran 8. Dokumentasi Alat dan Bahan


Bahan Keterangan

Benih Mentimun

Berfungsi sebagai media untuk


praktikum
Berfungsi sebagai media untuk
praktikum

Benih Cabai

Berfungsi sebagai media untuk


praktikum

Benih Kedelai

Berfungsi sebagai media untuk


praktikum

Benih Padi
Benih gama

Berfungsi sebagai media untuk


praktikum
Berfungsi sebagai media untuk
praktikum

Jagumg

Berfungsi sebagai media untuk


praktikum

Kotoran

Hasil pembagian benih

Pembagi Benih
Berfungsi untuk sebagai larutan

Larutan NaCl

Berfungsi untuk menyiram tanaman

Aquades

Media subkultur eksplan in vitro

Kultur Jaringan

Berfungsi sebagai wadah benih pada


saat di oven

Cawan Poselen
Berfungsi untuk menamai

Label

Berfungsi sebagai wadah untuk


aquades

Sprayer

Berfungsi untuk mengeringkan benih

Oven

Berfungsi untuk mengukur kadar air


benih secara tidak langsung

Steinlite Moisture Tester


Berfungsi untuk mengikat plastik

Karet

Berfungsi untuk menimbang kotoran

Timbangan Analitik

Berfungsi untuk menimbang masa


benih

Timbangan Digital

Berfungsi untuk membungkus media


benih

Plastik
Berfungsi sebagai media untuk
tumbuh benih

Tissue

Anda mungkin juga menyukai