Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Kelompok 5 - Gaya Kepemimpinan BJ Habibie

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 29

i

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN

POLITEKNIK KEUANGAN NEGARA STAN

TANGERANG SELATAN

Analisis Gaya Kepemimpinan Sebagai Solusi Permasalahan Era Awal Reformasi

(Analisis Gaya Kepemimpinan Presiden B.J. Habibie)

Disusun Oleh:

Kelompok 5 (7-01)

Brilian Praptawijaya (1401170042 / 07)

Hany Sukma Setyaningtyas (1401170045 / 14)

Ihsan Daffa Hendriawan (1401170011 / 17)

Ikasari Khoirunisa (1401170017 / 18)

Talitha Syahda Amany (1401170023 / 28)

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kepemimpinan

Program Studi Diploma IV Akuntansi Reguler

Semester VII T.A. 2020/2021


ii

DAFTAR ISI

Daftar Isi ii

BAB I PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 6

C. Tujuan Makalah6

D. Pembatasan 6

BAB II LANDASAN TEORI 8

A. Gaya Kepemimpinan 8

B. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan 8

BAB III PEMBAHASAN 13

A. Gaya Kepemimpinan yang tepat pada Era Awal Reformasi 13

B. Biografi dan Deskripsi Kepemimpinan Habibie 17

BAB IV SIMPULAN 25

DAFTAR PUSTAKA 27
iii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemimpin memiliki peran penting dalam memberikan arahan dan petunjuk

kepada bawahannya. Dalam konsep negara, seorang pemimpin berperan penting

dalam mengatur rakyat dan bawahannya menuju ke arah yang lebih baik.

Pemimpin juga berperan dalam mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang sesuai

dengan keadaan negara dan dapat memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya.

Peran pemimpin tersebut sangatlah krusial bagi kemajuan negara dan pencapaian

tujuan negara tersebut.

Proses pengaturan yang dilakukan oleh pemimpin seperti halnya suatu seni.

Sebagai seni, proses yang dilaksanakan oleh pemimpin tersebut memiliki

karakteristik yang berbeda-beda. Kesamaan latar belakang seorang pemimpin

belum tentu akan menunjukkan kesamaan karakteristik proses pengaturan yang

dilakukannya. Karakteristik proses pengaturan tersebut disebut sebagai gaya

kepemimpinan.

Pada kenyataannya, gaya kepemimpinan bukan hanya sebuah seni yang

bebas. Gaya kepemimpinan harus dapat mengantarkan negara kepada

penyelesaian permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Gaya kepemimpinan

yang tidak selaras dengan kondisi negara dapat mengancam pencapaian tujuan
iv

negara tersebut. Kesesuaian gaya kepemimpinan dengan kebutuhan masyarakat

dan negara menjadi faktor utama kestabilan suatu negara.

Tahun 1998 adalah satu contoh tahun ujian kestabilan negara Indonesia. Pada

tahun tersebut, terjadi krisis di berbagai bidang seperti bidang ekonomi, sosial

politik, dan keamanan. Krisis ini menuntut adanya pemimpin dengan gaya

kepemimpinan yang sesungguhnya dibutuhkan oleh masyarakat dan negara.

Salah satu krisis yang terjadi pada tahun 1998 adalah krisis ekonomi. Krisis

ini terjadi sebagai akibat dari jatuhnya nilai tukar baht terhadap dolar pada Juli

1997 yang mengantarkan Thailand pada krisis moneter terparah sepanjang

sejarah. Krisis moneter tersebut menyebar ke negara-negara Asia seperti

Indonesia, Korea Selatan, dan Malaysia. Selama krisis, nilai rupiah merosot dari

Rp4.000,00/ U$ pada Oktober 1997 menjadi Rp16.650/U$ pada Juni 1998.

Perekonomian Indonesia, yang sebelumnya digadang sangat kuat hingga

mendapat julukan “Macan Asia yang Tertidur”, mengalami penurunan signifikan

karena krisis tersebut. Indonesia menangani krisis moneter tersebut dengan

melakukan berbagai gerakan seperti Gerakan Cinta Rupiah (Gentar) dan Gerakan

Nasional Cinta Indonesia (Genta) yang bertujuan untuk meningkatkan

penggunaan mata uang rupiah dan mengurangi dolar di pasar uang dalam negeri.

Akan tetapi, gerakan-gerakan tersebut tidak berhasil meningkatkan nilai rupiah.

Krisis ekonomi berhasil menyingkap fakta yang sebelumnya memiliki

keterbatasan publikasi bahwa utang valuta asing korporasi swasta Indonesia


v

mencapai US$ 75 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin kala itu tidak

melakukan transparansi terkait keadaan ekonomi Indonesia yang sesungguhnya

rentan. Pemimpin kala itu menanamkan intervensi ke berbagai entitas termasuk

entitas-entitas yang memegang pengaruh penting dalam perekonomian untuk

kepentingan golongan. Oleh karena itu, informasi ekonomi swasta tidak

dilakukan transparansi yang memadai. Masyarakat hanya dituntut untuk percaya

bahwa keadaan ekonomi Indonesia baik-baik saja. Pada akhirnya, pemerintah

harus menandatangani tiga kali kontrak LoI (Letter of Intent) dengan IMF untuk

dapat memulihkan perekonomian.

Terbukanya informasi-informasi perekonomian karena krisis moneter

tersebut menyebabkan semakin hilangnya kepercayaan masyarakat kepada

pemerintah. Sebelumnya, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sudah

mulai memudar karena krisis sosial politik yang terjadi di Indonesia. Krisis ini

ditandai dengan sistem sentralisasi di berbagai bidang. Pemimpin negara

melakukan pemusatan kekuasaan di bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, dan

budaya. Pada bidang politik, pemerintah memegang kendali kekuasaan atas

lembaga legislatif (MPR/DPR), ABRI, dan partai politik utamanya (Aprilia et al.,

2014). Kendali bidang politik juga ditandai dengan pengadaan fusi partai secara

drastis dan proses politik yang tidak transparan hingga kaderisasi aktivis politik

yang tidak menjamin jenjang karir yang jelas. Kaderisasi tersebut juga didukung

dengan pengendalian perwakilan di parlemen supaya mendukung keputusan

pemimpin. Hal tersebut menjadi bukti pembatasan pluralitas dalam aspirasi. Pada
vi

masa itu, banyak keputusan berupa kebijakan yang ditetapkan tanpa transparansi

yang memadai dan berlangsung secara mendadak. Kebijakan tersebut dinilai

hanya menguntungkan penguasa, seperti kebijakan penetapan tarif pajak jalan tol,

kebijakan pengadaan bahan peledak, dan kebijakan izin pembangunan kilang

minyak oleh swasta. Selain itu, pemimpin negara juga melakukan pengendalian

kekuasaan di bidang hukum dengan menunggangi lembaga yudikatif. Dalam

bidang sosial kemasyarakatan, pemimpin kala itu membatasi pers. Organisasi,

surat kabar, dan buku-buku yang mengkritik kebijakan pemerintahan dibungkam

dan dilarang beredar. Pembatasan pembelaan HAM juga terjadi. Banyak kasus

kerusuhan dan pembunuhan yang tidak tuntas diselesaikan oleh pemerintah,

misalnya adalah kasus Marsinah dan kasus Trisakti. Penanganan kasus tersebut

pun tidak dipublikasikan secara memadai oleh pemerintah. Kasus lemahnya

penegakan HAM tersebut menjadi bukti bahwa pemimpin saat itu tidak

melindungi hak warga negaranya dengan baik. Kejadian tersebut juga menjadi

bukti adanya krisis keamanan di Indonesia.

Karena adanya krisis-krisis tersebut, masyarakat Indonesia mengalami

penderitaan bertubi-tubi. Krisis ekonomi mengakibatkan masyarakat sulit

mendapatkan bahan kebutuhan pokok sehingga banyak masyarakat yang

kelaparan. Banyak perusahaan terdaftar di pasar modal yang menyandang status

bangkrut. Krisis tersebut juga mengakibatkan pemutusan kontrak hubungan kerja

karena perusahaan tidak mampu membayar gaji karyawan. Hal tersebut

berdampak pada lonjakan jumlah pengangguran dan masyarakat miskin di


vii

Indonesia. Keadaan tersebut meningkatkan sensitivitas dan anarkisme masyarakat

sehingga kerusuhan terjadi di berbagai tempat seperti di tempat penjualan bahan

kebutuhan pokok. Penyerangan yang dilakukan oleh pihak pemerintah pun

menjadi ancaman yang harus sehari-hari dihadapi oleh masyarakat. Kejadian-

kejadian tersebut mengakibatkan keamanan dan kesejahteraan masyarakat

terganggu. Karena itulah, masyarakat Indonesia membutuhkan dan menuntut

adanya sosok pemimpin yang baru. Sosok pemimpin tersebut diharapkan dapat

menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang terjadi, termasuk di dalamnya

memberikan keamanan dan martabat kepada masyarakat. Oleh karena itu,

menarik untuk menganalisis gaya kepemimpinan yang dibutuhkan untuk

menjawab kebutuhan masyarakat dan negara Indonesia pada masa itu supaya

dapat keluar dari krisis-krisis yang terjadi.

Puncak krisis yang terjadi mengantarkan Indonesia pada pergantian

kepemimpinan. Pada 21 Mei 1998, B.J. Habibie dilantik untuk menjadi pemimpin

negara Indonesia selanjutnya. Beliau dituntut untuk menyelesaikan

permasalahan-permasalahan yang muncul selama krisis multidimensi terjadi.

Sebagai pemimpin baru yang menjabat pada masa transisi reformasi, menarik

untuk menganalisis kesesuaian gaya kepemimpinan B.J. Habibie dalam

menangani permasalahan-permasalahan tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, penulis hendak menganalisis gaya kepemimpinan

yang tepat untuk menjawab permasalahan era awal reformasi dan menganalisis

kesesuaian gaya kepemimpinan B.J. Habibie dalam menjawab permasalahan


viii

tersebut. Dengan demikian, judul makalah ini adalah “Analisis Gaya

Kepemimpinan Sebagai Solusi Permasalahan Era Awal Reformasi (Analisis

Gaya Kepemimpinan Presiden B.J. Habibie)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pernyataan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam

makalah ini adalah sebagai berikut.

1. Apa gaya kepemimpinan yang tepat untuk menjawab permasalahan era awal

reformasi?

2. Apakah gaya kepemimpinan BJ. Habibie dapat menjawab permasalahan era

awal reformasi?

C. Tujuan Makalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, makalah ini bertujuan untuk:

1. menganalisis gaya kepemimpinan yang tepat untuk menjawab permasalahan

era awal reformasi, dan

2. menganalisis gaya kepemimpinan BJ. Habibie dalam menjawab permasalahan

era awal reformasi.

D. Pembatasan

Makalah ini ditulis dengan fokus pada gaya kepemimpinan yang secara teori

dapat menjawab permasalahan era awal reformasi di antara gaya kepemimpinan

menurut Robert Albanese dan D. Van Vleet (1994), yaitu karismatik, otoriter,
ix

demokratis, dan moralis. Berdasarkan macam gaya kepemimpinan tersebut,

makalah ini membahas mengenai gaya kepemimpinan BJ Habibie selama

menjabat sebagai Presiden ke-3 Republik Indonesia, yaitu selama masa awal

reformasi pada tahun 1998-1999. Data dalam makalah ini dikumpulkan dengan

metode pengumpulan data kepustakaan.


x

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan adalah pola perilaku yang terlibat dalam oleh pemimpin

ketika berhadapan dengan anggota-anggotanya. Efektivitas gaya kepemimpinan

tergantung pada situasi organisasi (Omolayo, 2004). Gaya kepemimpinan adalah

pendekatan yang memberikan arahan, melaksanakan rencana, dan memotivasi

orang (Northouse, 2015). Seorang pemimpin harus mengidentifikasi gaya

kepemimpinan terbaik untuk mengelola anggota dalam sebuah organisasinya agar

berjalan efektif dan efisien. Dalam suatu negara, keefektifan gaya kepemimpinan

sangat terkait dengan seberapa mampu seorang pemimpin dalam menjalankan

suatu negara yang dipimpinnya dengan mementingkan kepentingan seluruh

rakyat.

B. Jenis-jenis Gaya Kepemimpinan

Robert Albanese dan D. Van Vleet (1994) menyatakan bahwa terdapat empat

gaya kepemimpinan yang dibedakan berdasarkan kepribadian, yaitu:

1. Gaya Kepemimpinan Karismatik

Gaya kepemimpinan karismatik adalah gaya kepemimpinan yang

mampu menarik perhatian dari banyak orang karena faktor-faktor karismatik

yang dimiliki seorang pemimpin merupakan anugerah dari Tuhan. Dalam

kaitannya dengan kehidupan bernegara, seorang pemimpin dengan gaya


xi

kepemimpinan karismatik memiliki kelebihan dalam menarik orang untuk

memilihnya. Pemimpin dengan gaya kepemimpinan karismatik biasanya

lancar berbicara di depan umum, visioner, dan mengerti apa yang diinginkan

oleh orang-orang. Namun di sisi lain, seorang pemimpin dengan gaya

kepemimpinan karismatik sering dianalogikan seperti politikus pada

umumnya yang senang “obral janji”. Karena kepiawaiannya dalam berbicara,

seringkali hal ini mendisrupsi kemampuan pemimpin tersebut dalam

memimpin. Orang-orang percaya pada seorang pemimpin tersebut karena

dianggap mampu dalam memimpin, padahal belum tentu demikian. Namun,

seorang pemimpin karismatik dapat berhasil apabila dapat berkomitmen

dalam mencapai tujuannya, sekalipun terdapat kemungkinan bahwa tujuan

tersebut akan gagal. Selain itu, pemimpin karismatik dapat bersikap selalu

berkembang dalam meningkatkan kepiawaiannya dalam memimpin.

2. Gaya Kepemimpinan Otoriter

Gaya kepemimpinan otoriter adalah gaya kepemimpinan yang

memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang akan diambil dari dirinya

sendiri. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang oleh seorang

pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan anggota yang dipimpinnya

hanya bertugas untuk melaksanakan perintah atas keputusan dan kebijakan

yang telah diambil. Pada gaya kepemimpinan otoriter, pemimpin

mengendalikan seluruh aspek dalam kegiatan. Pemimpin memberikan target-

target sasaran yang ingin dicapai dan memberikan arahan tentang cara

mencapai sasaran tersebut. Pada kehidupan bernegara, banyak pemimpin-


xii

pemimpin diktator suatu negara memiliki gaya kepemimpinan ini, yang

berpusat pada satu orang saja.

Gaya kepemimpinan ini memiliki kelebihan dalam hal pencapaian

prestasinya. Seorang pemimpin otoriter sangat terfokus pada pencapaian

tujuannya tanpa ada pihak-pihak yang dapat menghalangi. Ketika seorang

pemimpin otoriter telah menentukan suatu tujuan, tujuan tersebut harus

tercapai bagaimanapun caranya. Oleh karena itu, pemimpin dengan gaya

kepemimpinan ini cenderung memiliki sifat yang dingin dan kejam. Gaya

kepemimpinan ini mengesampingkan pendapat anggota dan pihak lain

karena menganggap dirinya sendiri yang paling benar yang dapat

menyebabkan anggotanya segan terhadap pemimpin tersebut karena takut

semata. Namun, gaya kepemimpinan ini bisa efektif apabila terdapat

permasalahan yang membutuhkan keputusan sentralistik secara cepat dan

tidak berbelit-belit melewati proses birokrasi yang panjang.

3. Gaya Kepemimpinan Demokratis

Bertolak belakang dengan gaya kepemimpinan otoriter, gaya

kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan

wewenang secara luas kepada para bawahan. Apabila terjadi suatu

permasalahan, seorang pemimpin demokratis selalu mengikutsertakan

bawahan sebagai suatu tim yang utuh walaupun masih memiliki suatu tujuan

tertentu. Anggota yang dipimpin oleh seorang pemimpin demokratis diberi

tanggung jawab lebih dan keleluasaan dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi oleh organisasi. Dalam gaya kepemimpinan demokratis, pemimpin


xiii

memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para

bawahannya dan tidak memaksakan kehendak mengenai tujuan yang harus

dicapai melainkan mengikutsertakan anggotanya untuk bermusyawarah.

Gaya kepemimpinan demokratis memiliki kelebihan dalam melihat

keseluruhan permasalahan, bukan hanya dari sudut pandangnya saja. Oleh

karena itu, dalam melakukan proses pemecahan masalah, kemungkinan

terjadinya win-win solution semakin besar karena peran pemimpin yang

bersikap layaknya diplomat yang mempertimbangkan kepentingan-

kepentingan seluruh pihak. Selain itu, gaya kepemimpinan demokratis lebih

disegani oleh anggotanya karena cara kepemimpinannya dan bukan karena

ditakuti seperti layaknya pemimpin otoriter. Pemimpin dengan gaya

kepemimpinan ini cenderung bersifat sabar dan sanggup menampung

aspirasi-aspirasi anggotanya. Namun di sisi lain, hal ini dapat dimanfaatkan

oleh anggotanya dengan memanfaatkan kebaikan dan kesabaran pemimpin

tersebut untuk mendorong agenda-agenda yang mungkin bukan merupakan

keputusan yang tepat. Gaya kepemimpinan demokratis dapat efektif apabila

permasalahan yang dihadapi merupakan masalah yang kompleks dan

berdampak pada orang banyak karena pemimpin yang demokratis akan lebih

mendengarkan saran-saran anggotanya dan tidak merasa paling benar

layaknya seorang pemimpin otoriter.

4. Gaya Kepemimpinan Moralis

Gaya kepemimpinan moralis adalah gaya kepemimpinan yang paling

menghargai anggotanya. Seorang pemimpin yang memiliki gaya


xiv

kepemimpinan moralis biasanya bersifat hangat dan sopan kepada semua

orang dan pada dasarnya memiliki empati yang tinggi terhadap permasalahan

yang dihadapi para anggotanya. Seperti layaknya pemimpin karismatik,

pemimpin moralis juga sering dipercayai anggotanya karena sifatnya yang

baik dan hangat terlepas dari kemampuannya dalam memimpin. Namun,

pemimpin moralis juga memiliki kekurangan dalam hal sifat emosionalnya

yang sering berubah. Gaya kepemimpinan moralis dapat efektif apabila

seorang pemimpin moralis dapat mengatasi kelabilan emosionalnya dan

dapat membuktikan bahwa dia tidak sekadar baik, tetapi juga mampu untuk

mengemban tugas-tugasnya sebagai seorang pemimpin.


xv

BAB III

PEMBAHASAN

A. Gaya Kepemimpinan yang tepat pada Era Awal Reformasi

Pada awal reformasi, kondisi sektor ekonomi Indonesia berada dalam masa

krisis. Krisis ini berawal dari krisis moneter di Thailand yang pada akhirnya

menyebar ke Indonesia. Nilai tukar rupiah merosot hingga Rp 16.650/U$ dan

pertumbuhan ekonomi minus hingga -13,13%. Krisis ekonomi tersebut berhasil

mengungkap fakta perekonomian negara yang sebelumnya memiliki keterbatasan

publikasi. Fakta tersebut adalah terkait utang valuta asing korporasi swasta

Indonesia mencapai US$75 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa pemimpin kala

itu tidak melakukan transparansi memadai terkait keadaan ekonomi Indonesia

yang sebenarnya rentan dan tidak memiliki struktur yang kuat sehingga sangat

sensitif dengan keadaan perekonomian negara lain. Selain itu, sistem perbankan

nasional juga dinyatakan gagal karena banyak diintervensi oleh kepentingan

politik (Setiyo, 2016). Pemimpin negara tidak menetapkan kebijakan yang ketat

terkait pendirian dan pengoperasian bank sehingga pada masa itu terjadi

liberalisasi bank. Terdapat banyak bank yang didirikan tanpa memenuhi prinsip

tata kelola yang baik. Beberapa bank merupakan entitas dalam satu grup yang

sama yang melakukan transaksi dan pendanaan silang.

Pemimpin kala itu melakukan pengaturan kaderisasi dan penempatan orang-

orang pilihannya pada institusi-institusi yang vital bagi perekonomian negara.


xvi

Institusi pemerintahan dikuasai oleh pihak-pihak yang sudah berumur (old

generation), yang cenderung koruptif dan menolak saran perubahan sehingga

kebijakan penanganan krisis cenderung tidak memiliki pilihan (Setiyo, 2016).

Akibatnya, negara tidak memiliki pilihan lain selain menandatangani kontrak

pinjaman dengan IMF.

Krisis tersebut mengakibatkan angka pemutusan hubungan kerja meningkat

karena perusahaan melakukan efisiensi ataupun penghentian operasi (pailit). BPS

mencatat jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan pada tahun

1998 menyentuh angka 49,5 juta jiwa atau mencapai 24,20% dari total penduduk

Indonesia.

Pada sektor sosial politik, sistem sentralisasi yang berlangsung sejak orde

baru yang mana pemerintah pusat menjadi pengambil kebijakan di berbagai

bidang juga banyak mendapat kritikan dan ketidakpercayaan dari masyarakat

waktu itu. Kebijakan tersebut dinilai hanya menguntungkan penguasa, seperti

misalnya kebijakan penetapan tarif pajak jalan tol, kebijakan pengadaan bahan

peledak, dan kebijakan izin pembangunan kilang minyak oleh swasta.

Permasalahan di atas menjadi fokus masalah yang harus ditangani pada masa

reformasi. Permasalahan berupa kurangnya transparansi pemerintah dalam

kebijakan dan pembentukan peraturan dalam sektor ekonomi berdampak besar

bagi keadaan ekonomi dan sosial Indonesia saat itu. Berdasarkan pembahasan di

atas, permasalahan transparansi menjadi hal yang perlu diperhatikan. Perlu

adanya pembentukan tim independen untuk menangani permasalahan dan

pemulihan ekonomi Indonesia pada saat itu.


xvii

Sebelum masa reformasi, pemimpin negara juga melakukan pengendalian

kekuasaan di bidang hukum dengan menunggangi lembaga yudikatif. Pemimpin

negara saat itu mengeluarkan kebijakan terkait perekrutan hakim. Pada akhirnya,

kursi-kursi yudikatif juga berisi pion-pion pemimpin negara saat itu. Kekuasaan

yudikatif pun menjadi dipertanyakan independensinya.

Dalam bidang sosial kemasyarakatan, masyarakat menuntut adanya

pembebasan pers, penegakan Hak Asasi Manusia, dan penyelesaian kasus Hak

Asasi Manusia yang terjadi selama orde baru hingga kerusuhan krisis 1998. Hal

ini karena pada masa tersebut, banyak kasus HAM yang terjadi, tetapi lemah

secara pengusutan dan penyelesaian hukum. Kasus-kasus tersebut di antaranya

adalah kasus Marsinah, kasus Trisakti, hingga tuntutan pembebasan tahanan

politik pada masa orde baru.

Berdasarkan pemasalahan - permasalahan yang ada dan hilangnya

kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemerintah pada era awal reformasi,

dibutuhkan pemimpin dengan gaya yang tepat untuk mengambil keputusan

berupa kebijakan dan langkah untuk memulihkan berbagai sektor yang ada

hingga mengembalikan kepercayaan masyarakat. Masalah yang ada pada era

awal reformasi ini sangat kompleks karena terjadi di berbagai bidang dan

menyangkut seluruh masyarakat Indonesia.

Gaya kepemimpinan demokrasi menjadi gaya kepemimpinan yang

menjawab permasalahan yang telah kami jabarkan diatas. Sesuai yang

dikemukakan oleh Robert Albanese dan D. Van Vleet (1994) bahwa gaya

kepemimpinan demokratis dapat efektif apabila permasalahan yang dihadapi


xviii

merupakan masalah yang kompleks dan berdampak pada orang banyak karena

pemimpin yang demokratis akan lebih mendengarkan saran-saran anggotanya dan

tidak merasa paling benar layaknya seorang pemimpin otoriter. Permasalahan

dimana gaya sentralistik yang terjadi pada zaman orde baru yang di era awal

reformasi mendapat banyak kritik sangat sesuai apabila seorang pemimpin

memiliki gaya kepemimpinan demokratis dimana gaya kepemimpinan

demokratis memberikan wewenang secara luas kepada para bawahan. Disini

dapat diketahui bahwa gaya kepimpinan demokratis lebih mengedepankan

desentralisasi dibanding dengan sentralisasi. Permasalahan tranparansi,

kebebasan pers, serta penegakkan HAM yang dituntut pada era awal reformasi

oleh banyak pihak dapat dikendalikan dengan baik oleh pemimpin dengan gaya

demokratis karena kesabaran yang menjadi salah satu karakter yang ada dalam

kepemimpinan gaya demokratis menjadi sebuah kunci dimana pemimpin bisa

mendengarkan aspirasi seluruh pihak. Gaya kepemimpinan demokratis juga

memiliki kelebihan dalam melihat keseluruhan permasalahan, bukan hanya dari

sudut pandangnya saja. Sehingga dalam melakukan proses pemecahan masalah,

kemungkinan terjadinya win-win solution semakin besar karena peran pemimpin

yang bersikap layaknya diplomat yang mempertimbangkan kepentingan-

kepentingan seluruh pihak. Dari analisis yang telah kami jabarkan diatas, menurut

kami gaya kepemimpinan demokratis menjadi gaya kepemimpinan yang tepat

untuk menjawab permasalahan era awal reformasi.


xix

B. Biografi dan Deskripsi Kepemimpinan Habibie

Prof. Dr. Ing. H. Bacharuddin Jusuf Habibie atau BJ Habibie merupakan

Presiden ke-3 Republik Indonesia. Beliau lahir di Pare-Pare, 25 Juni 1936. BJ

Habibie merupakan anak dari pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti

Marini Puspowardojo. Dalam bidang pendidikan, Habibie menamatkan sekolah

di Jerman dan mendapatkan gelar Diploma Ing dan Doktor Ingenieur dari

Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean (Wink,

2017). Habibie kemudian memutuskan untuk bekerja pada perusahaan

penerbangan di Jerman. Pada tahun 1978, Habibie diminta untuk kembali ke

Indonesia dan diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi hingga

tahun 1998. Kemudian, beliau menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia di

bawah pimpinan Soeharto pada tahun 1998 dalam Kabinet Pembangunan VII.

Krisis 1998 menyulut gerakan reformasi di berbagai wilayah di Indonesia.

Gerakan reformasi ini merupakan luapan ketidakpuasan dan kekecewaan rakyat

Indonesia terhadap pemerintah Indonesia. Puncaknya yaitu pada tanggal 18 Mei

1998, mahasiswa mulai menduduki gedung DPR/MPR (Sari, 2020). Gelombang

massa ini mendesak Presiden Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya.

Di tengah situasi yang semakin kacau, pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden

Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden. Maka, sesuai dengan Undang-

Undang Dasar 1945, Habibie yang kala itu merupakan Wakil Presiden

menggantikan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia ke-3 dan memulai

era reformasi.
xx

Setelah diangkat menjadi Presiden, BJ Habibie segera memulai pemerintahan

dengan menyusun kabinet yang diberi nama Kabinet Reformasi Pembangunan.

Kabinet tersebut disusun sesuai dengan tuntutan zaman, aspirasi, dan kehendak

rakyat serta profesional, berdedikasi, dan memiliki integritas yang tinggi

(Habibie, 2006). Habibie menaruh harapan bahwa bangsa Indonesia akan menjadi

bangsa yang demokratis dan transparan.

Pada masa awal kepemimpinannya, Habibie membuka lebar-lebar pintu

untuk segala masukan dan saran terkait dengan pemerintahannya. Hal ini

disampaikan oleh beliau dalam pidato setelah upacara pengambilan sumpah

jabatan presiden. Beliau mengatakan bahwa “menyadari tugas-tugas dan mulia

tersebut, saya dengan segala kerendahan hati membuka diri terhadap semua

masukan dan kritik dari masyarakat untuk mempercepat proses reformasi, menuju

kesejahteraan Bangsa dan Negara yang kita cita-citakan bersama. Untuk

mewujudkan cita-cita luhur tersebut, saya sekali lagi mengharapkan dukungan

sepenuhnya dari semua pihak.” Tidak hanya menerima masukan dari rakyat,

Habibie menerima pendapat dan masukan dari bawahannya dan

mengikutsertakan mereka dalam pengambilan keputusan. Sikap ini tercermin

ketika Habibie bertemu dengan beberapa tokoh, seperti Jenderal Wiranto dan

Pangkostrad Letnan Jenderal Prabowo. Selain itu, beliau juga mengadakan sidang

seminggu sekali yang dihadiri oleh para anggota kabinet untuk mendengarkan

laporan dan perkembangan masalah di Indonesia. Beliau menerima masukan-


xxi

masukan dari bawahannya dan menjadikan hal tersebut sebagai pertimbangan

atas pengambilan keputusannya.

Keterbukaan atas masukan terus dilakukan oleh Habibie selama masa

jabatannya sebagai presiden. Dalam penyelesaian masalah Timor Timur, Habibie

mengundang Uskup Belo untuk mendengarkan pendapat dan pandangan dari

warga Timor Timur. Kemudian, ketika Habibie berusaha meredam ketidakpastian

yang terjadi di dalam negeri, beliau mengadakan dialog dengan tokoh-tokoh

nasional seperti Emil Salim, Rudini, Adnan Buyung Nasution, Nurcholish

Madjid, Amien Rais, dan John Sapi’ie yang mendiskusikan permasalahan yang

ada dalam masyarakat serta saran mengenai penyelesaian masalah tersebut.

Dengan keterbukaannya terhadap saran dari masyarakat tidak serta merta

membuat Habibie mengambil keputusan tanpa pertimbangan yang rasional dan

matang. Beliau mempertimbangkan dan menganalisis ulang masukan-masukan

yang diterimanya dan disesuaikan dengan keadaan yang ada. Selanjutnya, beliau

mempertimbangkan dampaknya terhadap keselamatan dan kesejahteraan bangsa

Indonesia. Contohnya, ketika tokoh-tokoh nasional tersebut mengusulkan kepada

Habibie untuk segera mengadakan pemilihan umum, Habibie menolak usulan

tersebut. Ia mendasarkan keputusannya pada belum matangnya kesiapan untuk

pemilu pada saat itu.

Dalam memberikan tugas kepada bawahan, Habibie selalu mempercayai

mereka untuk mengemban tugas tersebut. Habibie percaya dengan karakter yang

dimiliki oleh bawahannya. Namun, Habibie tetap mengontrol dan mengawasi


xxii

mereka dengan seperlunya. Beliau selalu mengecek ulang pekerjaan bawahannya.

Ketika Habibie menerima laporan dari menteri-menteri dalam sidang kabinet

mengenai permasalahan yang terjadi di Indonesia, beliau mengecek ulang

kevalidan informasi tersebut melalui sumber-sumber nonformal dari beberapa

tokoh, seperti tokoh dari gerakan mahasiswa. Selain itu, beliau juga mencari

informasi dari berbagai bidang seperti dunia bisnis, agama, dan ekonomi. Hal ini

dilakukan untuk melihat permasalahan dari berbagai perspektif untuk

menghasilkan keputusan yang komprehensif.

Habibie juga mengatakan dalam bukunya bahwa menjadi presiden itu bukan

segalanya, yang penting adalah cara agar rakyat Indonesia yang sudah lama

berjuang dan rela menderita, bisa mencapai masa depan yang cerah, tenteram,

dan sejahtera. Dengan berlandaskan prinsip yang ia pegang dengan teguh

tersebut, Habibie tidak mementingkan kepentingan pribadi. Beliau selalu

berusaha meletakkan kepentingan rakyat sebagai prioritasnya. Hal ini terlihat

ketika Habibie senantiasa memantau dan mendengarkan komentar dari dalam dan

luar negeri mengenai perkembangan Indonesia. Beliau juga memantau berita

mengenai free fall atau jatuhnya nilai rupiah terhadap dolar AS. Habibie

menyadari bahwa beliau tidak boleh mengambil risiko sedikitpun. Apabila beliau

membuat suatu kebijakan yang salah akan menyebabkan permasalahan yang

berdampak buruk bagi rakyat dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dalam

membuat keputusan, Habibie menggunakan cara berpikir yang berlaku umum.

Beliau sadar betul bahwa di tengah situasi yang kacau dan penuh ketidakpastian,
xxiii

beliau harus berhati-hati dalam mengambil setiap langkah dan selalu

memprioritaskan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Selain itu, Habibie selalu berusaha untuk mengambil keputusan yang

memiliki pengaruh jangka panjang bagi Indonesia. Pemikirannya jauh ke depan.

Beliau tidak mengutamakan kesuksesan pemerintahannya tetapi mengutamakan

keberhasilan rakyat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Habibie berusaha

meletakkan dasar-dasar untuk perbaikan. Sebagai contoh, beliau menunda

pelaksanaan pemilu karena menurut beliau perlu untuk mengubah dasar

hukumnya terlebih dahulu sebelum dilaksanakan pemilu. Hal ini bertujuan agar

dalam pemerintahan selanjutnya, pemilu dapat dijalankan dengan demokratis.

Selain itu, keputusan Habibie untuk memisahkan Kejaksaan Agung dari kabinet

dan menjadikan Kejaksaan Agung sebagai lembaga independen merupakan

langkah agar Kejaksaan Agung lebih stabil dan transparan serta tidak terpengaruh

oleh pemerintah. Benih-benih transparansi ini beliau tanamkan demi

keberlangsungan negara Indonesia.

Berdasarkan penjelasan tersebut, BJ Habibie merupakan seorang pemimpin

yang demokratis. Beliau selalu membuka masukan dan saran dari berbagai

kalangan seperti tokoh nasional, menteri-menteri, serta masyarakat secara umum.

Habibie juga mendelegasikan tugas-tugas yang diembannya kepada bawahannya

dan mengikutsertakan bawahannya dalam menyelesaikan permasalahan. Selain

itu, Habibie menempatkan kesejahteraan dan keselamatan rakyat Indonesia

sebagai prioritas utama dalam setiap pengambilan keputusan yang dilakukannya.


xxiv

Dengan segala permasalahan yang beliau hadapi di era awal reformasi, beliau

menyelesaikannya dengan cara-cara yang demokratis.

Gaya kepemimpinan demokratis BJ Habibie telah menghasilkan kebijakan-

kebijakan untuk mengatasi permasalahan masa transisi Orde Baru ke Reformasi.

Kebijakan yang demokratis dibuat di masa pemerintahan B.J. Habibie antara lain

mencabut Surat Izin Usaha Pers (SIUP), mengizinkan pembentukan banyak partai

politik, menginisiasi pembentukan undang-undang otonomi daerah,

menyelenggarakan Pemilu 1999, dan menyelesaikan masalah Timor Timur.

Kebebasan Pers adalah salah satu wujud kebebasan berpendapat dan ciri

penting dari demokrasi. B.J. Habibie menetapkan Undang-Undang No. 41 Tahun

1999 tentang Kebebasan Pers dan mencabut SIUP. Sejak saat itu, media massa

secara bebas mengajukan kritik dan saran kepada pemerintah. Habibie yang

membuka kebebasan pers sesuai amanat UUD 1945 pasal 28F tentang kebebasan

mengeluarkan pikiran dan pendapat menunjukan dirinya adalah pemimpin yang

demokratis. Selain itu, Habibie membuka batasan-batasan dalam pembentukan

partai politik. Hal ini dibuktikan dengan adanya 48 partai politik yang terdaftar

dalam Pemilu 1999 setelah Undang-Undang No. 20 Tahun 1999 tentang Partai

Politik diberlakukan. Dahulu, hanya dibatasi 3 partai politik yang diperbolehkan

ikut dalam pemilu. Banyak partai politik merupakan ciri-ciri demokrasi. Hal ini

membuktikan kepemimpinan Habibie yang demokratis.

Pemilihan umum biasa disebut pesta demokrasi. Hal ini disebabkan oleh

rakyat dapat menyalurkan aspirasinya secara langsung melalui pemilu untuk


xxv

memilih wakil-wakilnya di pemerintahan. Pemilu juga merupakan ciri khusus

pemerintahan yang demokratis. Habibie telah berhasil menyelenggarakan

Pemilihan Umum 1999 yang merupakan pemilihan umum demokratis pertama

setelah Pemilu 1955. Alasannya adalah partisipasi peserta yang tinggi, yakni ada

98.348.208 orang atau 93,03 persen dari total pemilih yang berpartisipasi dalam

Pemilu 1999. Hal ini menunjukan bahwa rakyat menaruh harapan besar kepada

wakil-wakil mereka kelak. Pemilu 1999 dilakukan dengan asas LUBER dan

JURDIL sesuai peraturan baru, yaitu Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang

Pemilihan Umum untuk memilih anggota DPR/MPR. Dalam Pemilu 1999, PNS

yang dulunya diwajibkan mendukung Partai Golkar diberikan kebebasan untuk

menentukan suara sesuai aspirasi masing-masing. Hal tersebut adalah contoh

kepatuhan pada asas pemilu, yakni bebas.

B.J. Habibie menginisiasi pemberian otonomi daerah untuk mengatasi

kesenjangan antara pusat dan daerah. Tujuan otonomi daerah adalah

mendelegasikan wewenang yang seluas-luasnya kepada daerah otonom. Dalam

Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah, Pemerintah

Daerah dapat menyelenggarakan semua kewenangan pemerintahan kecuali,

politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, kebijakan moneter, sistem

peradilan, dan masalah keagamaan. Pendelegasian wewenang ini supaya daerah

memberi saran secara aktif kepada Pemerintah Pusat dan tercipta koordinasi

antara daerah dan pusat. Habibie menunjukan ciri demokratis dengan

pendelegasian tersebut.
xxvi

Status Timor Timur yang dipermasalahkan oleh Dewan Keamanan PBB

membuat Habibie bertekad menyelesaikannya sebelum pemilihan presiden dan

wakil presiden berikutnya. Pertemuan dengan Uskop Belo, tokoh masyarakat

Timor Timur, disambut positif oleh Habibie. Pertemuan ini diselenggarakan

dalam rangka penyampaian aspirasi masyarakat Timor Timur. Negosiasi demi

negosiasi telah dilakukan, seperti penawaran Otonomi Luas dengan status khusus

bagi rakyat Timor Timur. Perjanjian Tripartit di New York pada 5 Mei 1999

menghasilkan keputusan untuk melakukan jajak pendapat demi menyelesaikan

masalah Timor Timur. Jajak pendapat yang berlangsung pada 30 Agustus 1999

diikuti oleh seluruh warga Timor Timur. Hal ini mencerminkan pelepasan Timor

Timur melalui cara yang demokratis.


xxvii

BAB IV

SIMPULAN

Berdasarkan landasan teori yang diuraikan dalam Bab II dan pembahasan yang

dijelaskan dalam Bab III, dapat ditarik simpulan antara lain sebagai berikut.

1. Berdasarkan analisis permasalahan-permasalahan yang terjadi pada awal masa

reformasi dan keadaan pemerintahan beserta karakter pemimpin yang

melatarblakangi permasalahan tersebut, gaya kepemimpinan yang dapat

dikatakan sesuai untuk menjawab permasalahan tersebut adalah gaya

kepemimpinan demokratis. Hal ini karena permasalahan yang dihadapi

merupakan masalah yang kompleks dan berdampak pada orang banyak.

Pemimpin yang demokratis akan lebih mendengarkan saran-saran anggotanya

dan tidak merasa paling benar layaknya seorang pemimpin otoriter. Masyarakat

membutuhkan pemimpin tersebut, pemimpin yang dapat menjamin keamanan

dan martabatnya. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang dapat menjamin

bahwa pemerintahan dijalankan demi kepentingan rakyat, salah satunya dengan

tidak membatasi opini dan pendapat masyarakat dalam pemerintahan.

Permasalahan tranparansi, kebebasan pers, serta penegakkan HAM yang

dituntut pada era awal reformasi dapat dikendalikan dengan baik oleh pemimpin

dengan gaya demokratis karena sifat kesabaran mendengarkan aspirasi seluruh

pihak.
xxviii

2. Berdasarkan analisis jenis gaya kepemimpinan dan analisis karakteristik

kepemimpinan B.J. Habibie selama menjabat sebagai presiden, dapat

disimpulkan bahwa B.J. Habibie memiliki gaya kepemimpinan demokratis. Hal

ini ditunjukkan melalui dialog dan sidang seminggu sekali yang beliau

laksanakan dengan bawahannya untuk menampung aspirasi dan menerima

laporan perkembangan masalah di Indonesia. Beliau juga menyelesaikan

masalah Timor Timur dengan mendengarkan pendapat warga Timor Timur

melalui Uskup Belo. B.J. Habibie juga mempercayakan tugas kepada

bawahannya dengan tetap mengontrol seperlunya. Selain itu, B.J. Habibie

meletakkan kepentingan rakyat sebagai prioritasnya dengan terus mengikuti

perkembangan Indonesia melalui komentar dari dalam dan luar negeri. Beliau

juga menetapkan undang-undang kebebasan pers dan undang-undang pemilu

untuk memastikan keterlibatan masyarakat dalam pemerintah. Melalui gaya

kepemimpinan tersebut, B.J. Habibie menjawab permasalahan keterbatasan

pers, keterbatasan transparansi pemerintahan, dan terbatasnya keterlibatan

masyarakat dalam pemerintahan yang terjadi hingga masa awal reformasi.

Walaupun kemudian, gaya kepemimpinan tersebut mengantarkan pada

keputusan mengenai pelepasan Timor Timur yang menjadi kontroversi.


xxix

DAFTAR PUSTAKA

Aprilia et al. (2014). Berakhirnya Pemerintahan Presiden Soeharto Tahun 1998.


Artikel Hasil Penelitian Mahasiswa, 1-9.
Badan Pusat Statistik. 2018. Jumlah Penduduk Miskin, Persentase Penduduk Miskin
dan Garis Kemiskinan, 1970-2017. 05 Januari 2018.
https://www.bps.go.id/statictable/2014/01/30/1494/jumlah-penduduk-miskin-
persentase-penduduk-miskin-dan-garis-kemiskinan-1970-2017.html (Diakses 07
November 2020).
Habibie, Bacharuddin Jusuf. (2006). Detik-Detik yang Menentukan Jalan Panjang
Indonesia Menuju Demokrasi. Jakarta: THC Mandiri.
Sari, Haryanti Puspa (18 Mei 2020). Saat Mahasiswa Kuasai DPR pada 18 Mei 1998
hingga Dukungan Harmoko. nasional.kompas.com.
https://nasional.kompas.com/read/2020/05/18/06514041/saat-mahasiswa-
kuasai-dpr-pada-18-mei-1998-hingga-dukungan-harmoko. (Diakses pada 6
November 2020).
Lavinda (18 Mei 2018). Bhat, Peluit Krisis Mata Uang Asia. cnnindonesia.com.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180502033958-532-294984/baht-
peluit-krisis-mata-uang-asia. (Diakses pada 6 November 2020).
Paramita, Patricia Dhiana. (2013). Gaya Kepemimpinan (Style of Leadership) Yang
Efektif Dalam Suatu Organisasi.
Robert Albanese, David D. Van Fleet. (1994). Organizational Behavior: A Managerial
Viewpoint. Texas: Dryden Press.
Saputra, A. (29 November 2018). Soal Korupsi di Era Soeharto, Ini Hasil Riset Ketua
Pukat UGM. news.detik.com https://news.detik.com/berita/d-4322222/soal-
korupsi-di-era-soeharto-ini-hasil-riset-ketua-pukat-ugm. (Diakses pada 7
November 2020).
Sembiring, Febri Manna B.R., Saiman, M., Tugiman. (2013). B. J. Habibie Political
Policy in 1998 up to 1999. Riau: Universitas Riau
Setiyo (9 April 2016). Mengenang Kembali Krisis Ekonomi Asia 1997-1998.
ajarekonomi.com. https://www.ajarekonomi.com/2016/04/mengenang-kembali-
krisis-ekonomi-asia.html. (Diakses pada 7 Novermber 2020).
Wink (13 Januari 2017). Biografi BJ Habibie, Kisah Perjalanan Bapak Teknologi
Indonesia. biografiku.com. https://www.biografiku.com/biografi-bj-habibie/.
(Diakses pada 6 November 2020).
Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah
Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kebebasan Pers

Anda mungkin juga menyukai