Krisis Hipertensi
Krisis Hipertensi
Krisis Hipertensi
Oleh
ALDIO RAIS MONY
(2019-84-006)
Pembimbing
dr. Siti Hajar Malawat, Sp.PD
1
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan cinta kasih-Nya penulis dapat menyelesaikan referat guna
penyelesaian tugas kepaniteraan klinik pada bagian Penyakit Dalam dengan judul
“PENATALAKSANAAN KRISIS HIPERTENSI”.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, banyak pihak yang telah terlibat untuk
penyelesaiannya. Oleh karena itu, penulis ingin berterima kasih kepada:
1. dr. Siti Hajar Malawat, Sp.PD selaku dokter spesialis pembimbing referat, yang
membimbing penulisan referat ini sampai selesai.
2. Orang tua dan semua pihak yang telah membantu dan tidak bisa disebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa sesungguhnya referat ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh sebab itu penulis mengharapkan banyak masukan berupa
kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perkembangan penulisan referat
diwaktu yang akan datang.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih, semoga referat ini dapat
bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
JNC 8 merupakan klasifikasi hipertensi terbaru dari Joint National
Committee yang berpusat di Amerika Serikat sejak desember 2013. JNC 8 telah
merilis panduan baru pada manajemen hipertensi orang dewasa terkait dengan
penyakit kardiovaskuler. Para penulis membentuk sembilan rekomendasi yang
dibahas secara rinci bersama dengan bukti pendukung. Bukti diambil dari
penelitian terkontrol secara acak dan diklasifikasikan menjadi:6
- Rekomendasi kuat, dari evidence base terdapat banyak bukti penting yang
menguntungkan
- Rekomendasi sedang, dari evidence base terdapat bukti yang
menguntungkan
- Rekomendasi lemah, dari evidence base terdapat sedikit bukti yang
menguntungkan
- Rekomendasi berlawanan, terbukti tidak menguntungkan dan merusak
(harmful).
- Opini ahli
- Tidak direkomendasikan
Beberapa rekomendasi terbaru antara lain:6
1. Pada pasien berusia ≥ 60 tahun, mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah sistolik ≥ 150 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg dengan target terapi
untuk sistolik < 150 mmHg dan diastolik < 90 mmHg. (Rekomendasi Kuat-
grade A)
2. Pada pasien berusia < 60 tahun, mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah diastolik ≥ 90mmHg dengan target < 90mmHg. (Untuk usia 30-59
tahun, Rekomendasi kuat -Grade A; Untuk usia 18-29 tahun, Opini Ahli -
kelas E )
3. Pada pasien berusia < 60 tahun, mulai pengobatan farmakologis pada tekanan
darah sistolik ≥ 140mmHg dengan target terapi < 140mmHg . (Opini Ahli -
kelas E )
4. Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis, mulai
pengobatan farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau
5
diastolik ≥ 90mmHg dengan target terapi sistolik < 140mmHg dan diastolik <
90mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )
5. Pada pasien berusia ≥ 18 tahun dengan diabetes, mulai pengobatan
farmakologis pada tekanan darah sistolik ≥ 140mmHg atau diastolik BP ≥
90mmHg dengan target terapi untuk sistolik gol BP < 140mmHg dan
diastolik gol BP < 90mmHg . ( Opini Ahli - kelas E )
6. Pada populasi umum bukan kulit hitam, termasuk orang-orang dengan
diabetes , pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe
thiazide, CCB , ACE inhibitor atau ARB ( Rekomendasi sedang-Grade B )
Rekomendasi ini berbeda dengan JNC 7 yang mana panel merekomendasikan
diuretik tipe thiazide sebagai terapi awal untuk sebagian besar pasien .
7. Pada populasi umum kulit hitam, termasuk orang-orang dengan diabetes,
pengobatan antihipertensi awal harus mencakup diuretik tipe thiazide atau
CCB . ( Untuk penduduk kulit hitam umum : Rekomendasi Sedang - Grade B
, untuk pasien hitam dengan diabetes : Rekomendasi lemah-Grade C)
8. Pada penduduk usia ≥ 18 tahun dengan penyakit ginjal kronis, pengobatan
awal atau tambahan antihipertensi harus mencakup ACE inhibitor atau ARB
untuk meningkatkan outcome ginjal . (Rekomendasi sedang -Grade B )
9. Jika target tekanan darah tidak tercapai dalam waktu satu bulan pengobatan,
tiingkatkan dosis obat awal atau menambahkan obat kedua dari salah satu
kelas dalam Rekomendasi 6. Jika target tekanan darah tidak dapat dicapai
dengan dua obat , tambahkan dan titrasi obat ketiga dari daftar yang tersedia.
Jangan gunakan ACEI dan ARB bersama-sama pada pasien yang sama . Jika
target tekanan darah tidak dapat dicapai hanya dengan menggunakan obat-
obatan dalam Rekomendasi 6 karena kontraindikasi atau kebutuhan untuk
menggunakan lebih dari 3 obat untuk mencapai target tekanan darah, maka
obat antihipertensi dari kelas lain dapat digunakan. (Opini Ahli - kelas E )
2.3 Epidemiologi
Insiden hipertensi tergantung komposisi ras populasi yang diteliti dan kriteria
yang digunakan untuk menjelaskan kondisi. Pada populasi kulit putih di daerah
6
pinggiran kota seperti pada penelitian Framingham, hampir seperlima populasi
mempunyai tekanan darah lebih besar dari 160/95, sementara hampir setengah
populsi mempunyai tekanan lebih besar dari 140/90. Prevalensi yang lebih tinggi
ditemukan pada populasi bukan kulit putih.7
Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya
populasi lanjut usia, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar
juga akan bertambah, dimana baik hipertensi sistolik maupun kombinasi
hipertensi sistolik dan diastolik sering timbul pada lebih dari separuh orang yang
berusia di atas 65 tahun.2
Hasil penelitian Oktora (2007) mengenai gambaran penderita hipertensi yang
dirawat inap di bagian penyakit dalam RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun
2005 didapatkan penderita hipertesi meningkat secara nyata pada kelompok umur
45-54 tahun yaitu sebesar 24,07% dan mencapai puncaknya pada kelompok umur
≥65 tahun yaitu sebesar 31,48% Jika dibandingkan antara pria dan wanita
didapatkan wanita lebih banyak menderita hipertensi yaitu sebesar 58,02% dan
pria sebesar 41,98%.
2.5 Patofisiologi
7
Banyak faktor yang dapat menyebabkan hipertensi menjadi krisis hipertensi.
Hipertensi kronis jarang menyebabkan terjadinya krisis hipertensi karena adaptasi
pembuluh darah sehingga kerusakan organ target dapat dicegah. Krisis hipertensi
terjadi karena peningkatan tahanan vaskuler sistemik. Endotel memiliki peranan
penting dalam mengatur homeostasis tekanan darah dengan mensekresikan
beberapa substansi seperti nitrit oxide (NO) dan prostasiklin. Peningkatan
vasoreaktif dapat dipresipitasi oleh pelepasan substansi vasokonstriksi seperti
angiotensin II, norepinefrin atau keadaan yang menyebabkan suatu kondisi
hipovolemia. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron (RAAS) berperan
penting pada proses hipertensi berat. Angiotensin II menyebabkan cedera pada
pembuluh darah sehingga terjadi aktivasi gen proinflamatori seperti interleukin 6
dan NF-kβ. Selama terjadi peningkatan tekanan darah, endotel mengkompensasi
dengan melepaskan vasodilator seperti NO. Saat endotel tidak lagi mampu
mengkompensasi maka akan terjadi peningkatan tekanan darah dan kerusakan
endotel.1,2
8
Kegagalan mekanisme tubuh dalam mengkompensasi menyebabkan
peningkatan resistensi pembuluh darah dan kerusakan endotel. Mekanisme pasti
kerusakan endotel belum diketahui secara pasti. Hal ini mungkin berhubungan
dengan respon imun sehingga terjadi pelepasan sitokin, vasokonstriktor endotelin
dan peningkatan ekspresi endothelial adhesion molecules. Peningkatan ekspresi
cell adhesion molecules seerti P-selectin, atau intracellular adhesion molecule 1
oleh sel endotel menyebabkan terjadinya inflamasi yang menyebabkan
bertambahnya kerusakan fungsi sel endotel, peningkatan permeabilitas endotel,
menghambat aktivitas fibrinolitik endotel dan aktivasi kaskade koagulasi.
Agregasi trombosit dan degranulasi pada endotel yang mengalami kerusakan akan
memicu terjadinya inflamasi lebih lanjut, thrombosis dan vasokonstriksi.1,2
Gambar 2.1 Perubahan pada vaskular selama krisis hipertensi
9
- Gagal jantung
2. Otak (stroke atau transient ischemic attack)
3. Penyakit ginjal kronis
4. Penyakit arteri perifer
5. Retinopati
Beberapa peneliti menemukan bahwa penyebab kerusakan organ-organ
tersebut dapat diakibatkan langsung dari kenaikan tekanan darah, atau karena efek
tidak langsung, antara lain adanya auto antibodi terhadap reseptor AT1
angiotensin II, stress oksidatif, down regulation dari ekspresi nitric oxide
synthase, dan lain-lain. Penelitian lain juga membuktikan bahwa diet tinggi garam
dan sensitivitas terhadap garam berperan besar dalam timbulnya kerusakan organ
target, misalnya kerusakan pembuluh darah akibat meningkatnya ekspresi
transforming growth factor-β (TGF-β).2
Adanya kerusakan organ target terutama pada jantung dan pembuluh darah
akan memperburuk prognosis pasien hipertensi. Tingginya morbiditas dan
mortalitas pasien hipertensi terutama disebabkan oleh timbulnya penyakit
kardiovaskular. Faktor resiko penyakit kardiovaskular pada pasien hipertensi
antara lain adalah:2
- Merokok
- Obesitas
- Kurangnya aktivitas fisik
- Dislipidemia
- Diabetes melitus
- Mikroalbuminuria atau perhitungan LFG <60 ml/menit
- Umur (laki laki >55 tahun, perempuan >65 tahun)
- Riwayat keluarga dengan penyakit jantung kardiovaskular prematur
(laki laki < 55 tahun, perempuan <65 tahun)
Pasien dengan pre-hipertensi berisiko mengalami peningkatan tekanan darah
menjadi hipertensi; mereka yang tekanan darahnya berkisar antara 130-139/80-89
mmHg dalam sepanjang hidupnya akan memiliki dua kali risiko menjadi
hipertensi dan mengalami penyakit kardiovaskular dari pada yang tekanan
10
darahnya lebih rendah. Pada orang yang berumur lebih dari 50 tahun, tekanan
darah sistolik > 140 mmHg merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk
terjadinya penyakit kardiovaskular dari pada tekanan darah diastolik:2
- Risiko penyakit kardiovaskular dimulai pada tekanan darah 115/75
mmHg, meningkat dua kali dengan tiap kenaikan 20/10 mmHg.
- Risiko penyakit kardiovaskular bersifat kontinyu, konsisten, dan
independen dari faktor risiko lainnya.
- Individu berumur 55 tahun memiliki 90% risiko untuk mengalami
hipertensi.
2.7 Gambaran Klinis Krisis Hipertensi
Sebagian besar penderita dengan hipertensi tidak mempunyai gejala spesifik
yang menunjukkan kenaikan tekanan darahnya dan hanya diidentifikasi dari
pemeriksaan fisik, sehingga peninggian tekanan darah tidak jarang merupakan
satu satunya tanda pada hipertensi. Gejala yang ditimbulkan berbeda beda
tergantung tingginya tekanan darah. Kadang kadang hipertensi esensial berjalan
tanpa gejala dan baru timbul gejala setelah terjadi komplikasi pada organ target
seperti pada ginjal, mata, otak dan jantung. Gejala seperti sakit kepala, epistaksis
dan migren dapat ditemukan sebagai gejala klinis hipertensi esensial meskipun
tidak jarang yang tanpa gejala. Pada hasil observasi mengenai hipertensi di Paris,
dari 1771 pasien hipertensi yang tidak dapat diobati, gejala sakit kepala
menduduki urutan pertama, diikuti oleh palpitasi, nokturia, pusing dan tinnitus.
Pada observasi tersebut tidak didapatkan korelasi antara tingginya tekanan darah
dan gejala yang timbul.8
Pada survey hipertensi di Indonesia tercatat sebagai keluhan yang
dihubungkan dengan hipertensi. Pada penelitian A. Gani,dkk. Gejala klinisi
seperti pusing, cepat marah dan telinga berdenging merupakan gejala yang sering
dijumpai, selain gejala lain seperti mimisan, sukar tidur dan sesak nafas.
Penelitian ini tidak berbeda dengan Harmaji,dkk yang melaporkan mendapatkan
keluhan pusing, rasa berat di tengkuk dan sukar tidur adalah gejala yang paling
sering dijumpai pada pasien hipertensi, rasa mudah lelah dan cepat marah juga
banyak dijumpai, sedangkan mimisan jarang ditemukan.9
11
2.8 Diagnosis
Diagnosis krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil
terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Pada pemeriksaan yang
menyeluruh kita sudah dapat mendiagnosis suatu krisis hipertensi.
1. Anamnesis meliputi:2
a. Lamanya menderita hipertensi dan derajat tekanan darah
b. Indikasi adanya hipertensi sekunder
- Keluarga dengan penyakit ginjal (ginjal polikistik).
- Adanya penyakit ginjal, infeksi saluran kemih, hematuri, pemakaian
obat obat analgesik dan obat/ bahan lain.
- Episode berkeringat, sakit kepala, kecemasan, palpitasi
(feokromositoma).
- Episode lemah otot dan tetani (aldosteronisme).
c. Faktor faktor risiko
- Riwayat hipertensi atau kardiovaskular pada pasien atau keluarga.
- Riwayat hiperlipidemia pada pasien atau keluarga.
- Riwayat diabetes melitus pada pasien atau keluarga.
- Kebiasaan merokok.
- Pola makan.
- Kegemukan, intesnitas olah raga
- Kepribadian.
d. Gejala kerusakan organ
- Otak dan mata: sakit kepala, vertigo, gangguan penglihatan,
transient ischemic attacks, defisit sensoris atau motoris.
- Jantung: palpitasi, nyeri dada, sesak napas, bengkak di kaki.
- Ginjal: haus, poliuri, nokturia, dan hematuria.
- Arteri perifer: ekstremitas dingin, klaudikasio intermiten.
e. Pengobatan antihipertensi sebelumnya
f. Faktor faktor pribadi, keluarga dan lingkungan
12
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran tekanan darah dikedua lengan,
mencari kerusakan organ sasaran (retinopati, gangguan neurologi, payah
jantung kongestif, diseksi aorta). Palpasi denyut nadi di keempat ekstremitas.
Auskultasi untuk mendengar ada atau tidaknya bruit pembuluh darah besar,
bising jantung dan ronki paru. Selain itu harus juga dicari berbagai komplikasi
krisis hipertensi lainnya dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung
kongestif dan udema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit
jantung koroner.1,10
13
- Sebagai pedoman dalam pemilihan obat antihipertensi
- Tekanan darah yang resisten terhadap pengobatan antihipertensi
- Gejala hipotensi yang berhubungan dengan pengobatan
antihipertensi.
c. Pengukuran sendiri oleh pasien
Pengukuran sendiri di rumah memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kekurangannya adalah masalah ketepatan pengukuran, sedang
kelebihannya antara lain dapat memberikan banyak hasil pengukuran.
Beberapa peneliti bahwa pengukuran di rumah lebih mewakili kondisi
tekanan darah sehari hari. Pengukuran tekanan darah di rumah juga
diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan menigkatkan
keberhasilan pengendalian tekanan darah serta menurunkan biaya.2
3. Pemeriksaan Penunjang 1,10
- Pemeriksaan laboratorium awal : Urinalisis, darah lengkap dan
elektrolit
- Pemeriksaan penunjang : Elektrokardiografi dan foto thoraks
- Pemeriksaan penunjang lainnya bila memungkinkan : CT Scan
Kepala,
- Echocardiogram.
14
-
Menurunkan konsumsi alkohol yang berlebihan (2-4 mmHg)
-
Latihan fisik; 30 menit/hari (4-9 mmHg)
-
Menurunan asupan garam ; 2,4 gram-6 gram (2-8 mmHg)
-
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur serta menurunkan asupan
lemak.
b. Farmakologi1,10,11,13
Penatalaksanaan hipertensi emergensi:
1. Harus dilakukan di RS dengan fasilitas pemantauan yang memadai.
2. Pengobatan parenteral diberikan secara bolus atau infus sesegera
mungkin.
3. Tekanan darah harus diturunkan dalam hitungan menit sampai jam
dengan langkah sebagai berikut:13,14
- 5 - 120 menit pertama tekanan darah rata rata (mean arterial
blood) diturunkan 20-25%.
- 2- 6 jam kemudian diturunkan sampai 160/100 mmHg.
- 6-24 jam berikutnya diturunkan sampai <140/90 mmHg bila
tidak ada gejala iskemia organ.
15
- Diltiazem 10 mg IV diberikan selama 1-3 menit kemudian
diteruskan dengan infus 50 mg/jam selama 20 menit.
- Bila tekanan darah telah turun >20% dari awal, dosis
diberikan 30 mg/jam sampai target tercapai.
- Diteruskan dengan dosis maintanance 5-10 mg/jam dengan
observasi 4 jam kemudiandiganti dengan tablet oral.
3. Nicardipin (Perdipin) IV 12 mg dan 10 mg/ampul
- Nicardipin diberikan 10-30 mcg/kgBB bolus
- Bila tekanan darah stabil diteruskan dengan 0,5-6
mcg/kgBB/menit sampai target tercapai.
4. Labetalol (Normodyne) IV
Diberikan 20-80 mg IV bolus setiap 10 meit atau dapat diberikan
dalam cairan infus dengan dosis 2 mg/menit.
5. Nitropruside (Nitropress, Nipride) IV
Diberikan dalam cairan infus dengan dosis 0,25-10 mcg/kg/menit.
16
intrakranial;
Nitroprusside 0,25-10 mcg / kg / Langsung 2-3 menit penggunaan jangka
IV * menit panjang dapat
menyebabkan
keracunan tiosianat,
*
obat ini belum beredar resmi di Indonesia.
17
-
Diuretika, terutama jenis Thiazide (Thiaz) atau Aldosterone antagonist (Aldo
Ant)
-
Beta Blocker (BB)
-
Calcium Channel Blocker atau Calcium antagonist (CCB)
-
Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI)
-
Angiotensin II Receptor Blocker atau AT1 receptor antagonist/blocker
(ARB).
Diuretika golongan tiazid bekerja meningkatkan ekskresi natrium, air dan
klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler akibatnya
terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Yang termasuk golongan
tiazid antara lain:13,16,17
-
Hidroklorotiazid (HCT), dosis: 12,5-25 mg, 1 x sehari.
-
Klortalidon, dosis: 12,5-25 mg, 1 x sehari.
-
Indapamid, dosis: 1,25-2,5 mg, 1 x sehari.
-
Bendroflumetiazid, dosis: 2,5-5 mg, 1 x sehari.
-
Metolazon, dosis: 2,5-5, 1 x sehari.
-
Xipamid, dosis: 10-20 mg, 1 x sehari.
Yang termasuk golongan beta bloker, antara lain:13,17,18
-
Kardioselektif: asebutolol, atenolol, bisoprolol, metoprolol.
-
Non selektif: alprenolol, karteolol, nadolol, oksprenolol, pindolol,
propranolol, timolol, karvedilol, labetalol.17
-
Golongan antagonis kalsium: Nifedipin, verapamil, diltiazem, amilodipin,
nikardipin, isradipin, felodipin.13,18
-
Golongan ACEI: Kaptopril, benazepril, enalapril, fosinopril, lisinopril,
perindopril, quinapril, trandolapril, dan imidapril.13,18
-
Golongan ARB: Losartan, valsartan, irbesartan, telmisartan,dan
candesartan.13,19
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hipertensi emergensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan darah yang
berat (>180/120 mm Hg) disertai kerusakan organ target -
baru/progresif/perburukan, memerlukan intervensi penurunan tekanan darah
segera dalam kurun waktu menit/jam dengan obat-obatan parenteral (intravena).
Monitoring ketat dilakukan di unit perawatan intensif (intensive care unit)
terhadap target penurunan tekanan darah dan kerusakan organ target. Patogenesis
Hipertensi emergensi terkait mekanisme autoregulasi pada vaskuler otak dan
ginjal melibatkan saluran kalsium tipe-L (L-type calcium channels). Presentasi
klinis pada orgat target akan terjadi bila peningkatan tekanan darah melewati “set-
point” autoregulasi (breakthrough hyperperfuion). Endothelium berperan sentral
pada patofisiologi hipertensi emergensi, dengan mengontrol resistensi vaskuler
dan adaptif terhadap perubahan akut resistensi vaskuler. Pada hipertensi
emergensi, terjadi ketidakmampuan kontrol endothelium terhadap tonus vaskuler
mengakibatkan hiperperfusi, peningkatan permeabilitas, edema perivaskuler dan
nekrosis fibrinoid arteriolar. Mediator utama yang terlibat pada patofisiologi
hipertensi emergensi adalah humorally-mediated peripheral vasoconstriction.
Hipertensi emergensi berkaitan dengan peningkatan biomarker inflamasi,
koagulasi, aktivasi platelet dan fibrinolisis. Evaluasi diagnostik berdasarkan:
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang. Prinsip umum tatalaksana
hipertensi emergensi adalah penurunan tekanan darah gradual yang bertujuan
memulihkan autoregulasi dan menghindari kerusakan organ target lebih lanjut.
19
Rekomendasi target penurunan tekanan darah sesuai ACC/AHA-2017, dengan
memperhatikan ada atau tidaknya kondisi memaksa (compelling condition).
Aspek spesifik tatalaksana hipertensi emergensi adalah pemilihan obat anti-
hipertensi intra-vena kerja-singkat (short-acting) memperhatikan: tipe emergensi
organ target, obat pilihan pertama atau kedua, obat yang dihindari dan tujuan
penurunan tekanan darah. Mekanisme kerja obat anti-hipertensi intra-vena secara
garis besar dikelompokkan menjadi 2: efek vasodilator dan inhibitor adrenergik.
Sedangkan pemilihan obat-obatan untuk hipertensi urgensi lebih luas
dibandingkan hipertensi emergensi, mengingat hampir semua anti-hipertensi yang
dipergunakan akan menurunkan tekanan darah secara efektif sesuai durasi
kerjanya. Pada referat ini telah dibahas tatalaksana hipertensi emergensi
berdasarkan guideline terbaru.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
10. Riaz, Kamran. Hypertensive Heart Disease. Available From
Http://Www.Emedicine.Com/MED/Topic3432.Httm.
11. Vidt D. Hypertensive Crises: Emergencies And Urgencies. Clev Clinic Med.
2003.
12. Baim, Donald S. Hypertensive Vascular Disease In : Harrison’s Principles Of
Internal Medicine. 7th Ed. USA. The Mc Graw Hill Companies, Inc. 2008. P
241.
13. Vaughan CJ, Norman D. Hypertensive Emergincies. The Lancet. 2000: 356.
14. Sarafidis PA, Bakris GL. Evaluation And Treatment Of Hypertensive
Emergencies And Urgencies. In: Feehally J, Floege J, Tonelli M, Johnson RJ,
Editors. Comprehensive Clinical Nephrology 2019. 6th Edition. Elsevier.P.
444-452 8.
15. Vaughan CJ, Delanty N. Hypertensive Emergency. Lancet 2000; 356: 411-
417 9.
16. Derhaschnig U, Testori C, Riedmueller, Aschauer S, Wolzt M, Jilma B.
Hypertensive Emergencies Are Associated With Elevated Markers Of
Inflammation, Coagulation, Platelet Activation And Fibrinolysis. Journal Of
Human Hypertension 2013; 27:368-373 10.
17. Elliot WJ. Hypertensive Emergencies And Urgencies. Bakris GL, Sorrentino
MJ, Editors. Hypertension – A Companion To Braunwald’s Heart Disease
2018. 3thedition. Elsevier.P.427- 432 11.
18. Ramos AP, Varon J. Current And Newer Agents For Hypertensive
Emergencies.Curr Hypertens Rep 2014; 16:452-458 12.
19. Mallidi J, Penumesta S, Lotfi A. Management Of Hypertensive Emergencies.
J Hypertens 2013;2(2):1-6
22