Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Laporan Farmakologi 1 LD50

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI 1
MENENTUKAN LD50 (LETHAL DOSE) SUPERMETRIN (SUTRIN 100 ec) PADA
TIKUS

Disusun Oleh :
Kelompok 05
Farmasi F
1. Vita Maulidya Aristawaty (201810410311266)
2. Ferdian Heri Artanto (201810410311268)
3. Ilham Fatahillah Ar Rasyd (201810410311271)
4. Diandra Arthamevia Prameswari (201810410311272)
5. Afiyah Chantika Fatmasary (201810410311273)
6. Rifka Khairiyah (201810410311274)
7. Aisyah Bidarina Kartono (201810410311275)
8. Syavina Nur Annisa (201810410311276)

Program Studi Farmasi


Universitas Muhammadiyah Malang
2019
DAFTAR ISI

a. Tujuan.............................................................................................................................3
B. Dasar Teori.....................................................................................................................3
C. Alat Dan Bahan..............................................................................................................5
D. Prosedur..........................................................................................................................6
E. Dosis...............................................................................................................................6
F. Tabel Pengamatan..........................................................................................................7
G. Hasil Pengamatan...........................................................................................................8
H. Pembahasan....................................................................................................................9
I. Kesimpulan...................................................................................................................11
Bahan Diskusi......................................................................................................................12
Daftar Pustaka......................................................................................................................13

2
PRAKTIKUM III
MENENTUKAN LD50 (LETHAL DOSE) SUPERMETRIN (SUTRIN 100 ec) PADA
TIKUS

A. TUJUAN
1. Mengamati perubahan aktivitas perilaku setelah pemberian supermetrin secara per
sonde.
2. Menentukan LD50 supermetrin pada tikus.

B. DASAR TEORI
Pestisida adalah semua zat kimia dan bahan lain serta jasad renik dan virus
yang dipergunnakan untuk memberantas hama dan penyakit pada tanaman, mengatur
atau merangsang pertumbuhan tanaman. Selain pada tanaman, adapula pestisida
yang digunnakan untuk pemberantasan dan pencegahan hama,binatang dan jasad
renik.
Kebanyakan bahan kimia yang digunnakan sebagai pestisida merupakan
toksikan umum pada berbagai organisme, termasuk manusia. Pestisida organofospat
dan pestisida karbamat menimbulkan pada berbagai efek melalui inhibitor
Asetilkolinesterase pada saraf. Pestisida ini menghambat enzim Asetilkolinesterase
(AchE) melalui proses fosfolilase bagian eter anion. Aktivitas AchE tetap di hambat
sampai enzim baru terbentuk kembali atau suatu reaktivator kolisterase diberikan.
Ada dua jenis enzin kolinesterase : Asetilkolinesterase (AchE) ditemukan pada
banyak jenis jaringan penghantar seperti saraf dan otot, jaringan pusat dan tepi, serta
motorik dan sensorik, serta kolinergik dan non kolinergik. Akivitas enzim ini lebih
tinggi dari pada neuron mtorik dibanding neuron sensorik, AchE juga banyak
ditemukan di membran sel darah merah. Pseudokolinesterase (BuchE) atau
kolinesterase plasma, butirilkolinesterase atau asetilkolin asilhidrolase ditemukan
utamanya adalah hati. Perbedaan dengan AchE, enzim ini menghidrolisis butirilkolin
lebih cepat. Penumpukan AchE terjadi akibat terhambatnya enzim AchE inilah yang
menimbulkan gejala keracunan. Gejala klinik baru akan muncul atau timbul bila
aktivitas kolinesterase 50% dari nrmal atau lebih rendah. Efek keracunan berupa
anemia, pusing-ataksia dan kebingungan.
ASSTI RUNIA Y.O.D.E.N.C.A (2008). Faktor-faktor yang berhubungan
dengan keracunan pestisida organofosfat, karbamat dan kejadian anemia pada petani
hostikultura di Desa Tejosan Kecamatan Ngamblak, Kabupaten Magelang (Doctoral
Dissenation, UNDIP).
Dosis letalis adalah takaran obat yang apabila diberikan dalam keadaan biasa
atau normal dapat menimbulkan kematian pada pasien. Dosis letal dibagi menjadi 2 :
a. Dosis letal 50 (LD50) : Takaran dosis yang bisa menyebabkan kematian 50% pada
hewan percobaan.
b. Dosis letal 100 : Takaran dosis yang bisa menyebabkan kematian 100% pada
hewan percobaan.

3
(Elmitra,M.Farm,Apt. 2017. Dasar-dasar farmasetika dan sediaan semisolid.
Yogyakarta cv: Budi Utomo)
Perhitungan LD50 didasarkan atas perhitungan statistik. Nilai LD 50 dapat
berbeda-beda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan berbagai macam di laboratorium.
Karena itu harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedur yang dipakai, misalnya
berat badan dan umur tikus, zat pelarut, jenis kelamin (jantan atau betina),
lingkungan dan sebagainya.
Uji tokisitas adalah suatu uji untuk mendeteksi efek toksik suatu zat pada
sistem biologi dan untuk memperoleh data dosis respon yang khas dari sediaan uji.
Data yang diperoleh dapat digunnakan untuk mengetahui derajat bahaya sediaan uji
tersebut bila terjadi pemaparan pada manusia. Sehingga dapat ditentukan dosis
penggunaannya demi keamanan manusia. Faktor yang menentukan uji toksisitas
pada secara invivo adalah pemilihan species hewan uji, galur dan jumlah hewan sera
penanganannya, cara pemberian sediaan, pemilihan dsis, efek samping sediaan,
teknik dan prosedur pengujian.
Tujuan uji toksisitas akut adalah mendeteksi toksisitas inrinsik suatu zat,
menentukan organ sasaran, kepekaan species, memperoleh informasi bahaya setelah
pemaparan suatu zat secara akut. Batas dosis harus ditentukan sedemikian rupa
sehingga didapat suatu kurva dosis respon berupa respon bertahap. Efek yang
didapat pada toksisitas akut biasanya terdiri mortalitas dan mortiditas. Berdasarkan
sudut pandang kuantitatif, efek ini diukur menggunakan LD 50, ED50, LC50 atau EC50.
LD50 dan ED50 mewakili dosis dari zat yang menyebabkan kematian (LD50). LC50 dan
EC50 menunjukkan konsentrasi zat yang memaparkan organisme sehingga
menimbulkan kematian (LC50) atau beberapa efek pasti lain (EC50) pada 50%
populasi yang terpapar.
Uji toksisitas jangka panjang mencakup pemberian zat secara berulang dalam
waktu lebih lama dari uji toksisitas akut. Uji toksisitas jangka panjang terdiri dari :
a. Uji toksisitas subkronis adalah pengujian untuk mendeteksi efek toksik yang
muncul setelah pemberian sediaan uji dengan dosis berulag yang diberikan
selama kurang dari setengah usia harapan hidup hewan (pada tikus 3 bulan
dengan usia tikus 24 bulan).
b. Uji toksisitas kronis sama dengan subkronis dengan waktu lebih panjang yaitu 6
bulan, sedangkan uji toksisitas seumur hidup dilakukan seumur hidup hewan. Uji
toksisias kronis lebih dari 6 bulan tidak bermanfaat kecuali untuk melihat
karsinogenitas. Karsinogenitas yaitu kemampuan suatu obat untuk menimbulkan
penyakit kanker.
Pada uji toksisitas kronis diusahakan atau diutamakan menguji kemanan
obat atau bahan kimia lain.
Keracunan akut cepat dan mudah diketahui, karena terjadi mendadak.
Gejala keracunan ini dapat menyerupai gejala penyakit saluran pencernaan, mual,
muntah, diare, kejaang, dan lain-lain. Keracunan kronis dapat terjadi karena paparan

4
bahan kimia atau obat dalam waktu yang lama. Untuk mendiagnosa keracunan
kronis lebih sulit dari pada keracunan akut, karena gejalannya timbul perlahan-lahan
dan lama setelah erpapar racun.
(TIM UB 2017. Buku Ajar Farmakologi Dasar, Malang. UB press)
Supermetrin termasuk insektisida kontak dan sistemik yang bekerja sebagai
racun lambung atau racun perut. Supermetrin merupakan insektisida golongan
pyretiroid dan bersifat sangat toksik karena merupakan yang menyerang sistem saraf
sehingga hama cepat terbunuh. Supermetrin menganggu aliran Na+ dalam sel darah
sehingga saluran natrium selalu terbuka dan menyebabkan reaksi yang berlebihan
oleh saraf.
Shah et al (2007) melakukan uji efek Supermetrin pada kelinci dan didapat
penurunan komponen sel darah merah (RBC), Hemoglobin (HB) serta peningkatan
yang signifikan pada sel darah putih (WBC) dan limfom.
Penggunaan Supermetrin sangat populer karena effektifitasnya dan murah
harganya. Supermetrin memiliki gugus kromofor yang ditandai dengan adanya
ikatan rangkap terkonjugasi pada struktur Supermetrin, serta memiliki gugus
aukokrom. Bahan ini bisa bertahan dalam waktu lama, namun dalam lingkungan
yang terpapar dengan air hingga matahari, effektifitasnya hanya bertahan selama
beberapa minggu saja. Supermetrin sangat toksik dan bisa bertahan lama dalam
substat kayu yang dilapisi. Namun disisi lain sifatnya degradable atau mudah
diuraikan di alam.

No Kelas LD50 ( mg/Kg BB)


1. Luar biasa toksik L atau Kurang
2. Sangat toksik 1-50
3. Cukup toksik 50-500
4. Sedikit toksik 500-5000
5. Praktis tidak toksik 5000-15000
6. Relatif kurang berbahaya ≥15000
(LOOMIS 1978)

C. ALAT DAN BAHAN


Alat :
- Sonde
- Kasa
- Pinset
- Kandang
- Sarung tangan
- Stopwatch

Bahan :
- Tikus 3 ekor
- Alkohol

5
- Rizotin 100ec (dosis 25 mg/kg BB, 100 mg/kg BB, 400 mg/kg BB)

D. PROSEDUR
Prosedur Kerja :
1. Siapkan sonde yang berisi sutrin 100 ec untuk masing-masing tikus dengan dosis
25 mg/kgBB, 100 mg/gBB, 400 mg/kgBB.
2. Pegang tikus dalam posisi terlentang secara gentle.
3. Berikan sutrin 100 ec per sonde pada masing-masing tikus
4. Amati perubahan perilaku masing-masing tikus (seperti yang tertera pada lembar
pengamatan) dengan seksama.

FLOWCHART

Pegang tikus dalam posisi terlentang

Siapkan sonde berisi rizotin 100ec

Tikus III 400


Tikus I 25 mg/kg BB Tikus II 100 mg/kg BB
mg/kg BB

Amati perubahan perilaku masing-masing tikus (seperti


yang tertera pada lembar pengamatan) dengan
seksama

E. DOSIS
1. Tikus 1
BB = 145 g
Dosis = 25 mg/ kg BB
Sediaan = Rizotin 100 g/L = 100 mg/ml
25 mg x mg
Dosis untuk tikus = =
1 kg 0,145 kg
x=3,625 mg

6
100 mg 3,625 mg
Sediaan yang diberikan (mL) = =
1 ml x ml
x=0,03625 ml¿ 0,04 ml

2. Tikus 2
BB = 162 g
Dosis = 100 mg/ kg BB
Sediaan = Rizotin 100 g/L = 100 mg/ml
100 mg x mg
Dosis untuk tikus = =
1 kg 0,162 kg
x=16,2 mg
100 mg 16,2mg
Sediaan yang diberikan (mL) = =
1 ml x ml
x=0,162 ml¿ 0,16 ml
3. Tikus 3
BB = 140 g
Dosis = 400 mg/ kg BB
Sediaan = Rizotin 100 g/L = 100 mg/ml
400 mg x mg
Dosis untuk tikus = =
1 kg 0,140 kg
x=56 mg
100 mg 56 mg
Sediaan yang diberikan (mL) = =
1 ml x ml
x=0,056 ml

F. TABEL PENGAMATAN

Nomor Postur Aktiv Righting Test Air


Menit Ataxia Analge Ptosis Mati
Eksperimen Tubuh Motor Reflex Kasa Liur
1 + + - - + - - - -
5 2 + + - - + - - - -
3 + + - - ++ - - - +
1 + + - - + - - - -
10 2 + + - - + + - - -
3 + + + - ++ ++ - - +
1 ++ ++ - - + - - - -
15 2 + + - - + + - - -
3 + ++ ++ - +++ ++ - - +
1 ++ +++ - - + + ++ - -
30 2 + +++ - - + + + - +
3 + +++ ++ - +++ ++ - - +
60 1 + + + - + ++ + - -
2 + +++ - - + + + - +

7
3 ++ +++ ++ - ++ ++ - - +

G. HASIL PENGAMATAN

1. Tentukan Onset of Action (mula kerja) dari perubahan perilaku seperti biasa
Tikus 1 : Tidak terdapat mula kerja yang dapat dilihat, tikus 1 mengalami
kondisi yang sama saat sebelum di sonde dengan setelah disonde.
Tikus 2 : Mula kerja dapat dilihat dari pengamatan analgesia pada menit ke-
10.
Tikus 3 : Mula kerja dapat dilihat dari pengamatan air liur yang keluar pada
menit ke-5, test kasa pada menit-5, ataxia dan analgesi pada menit
ke-10.

2. Penentuan LD50 (dosis lethal) dari seluruh kelas (6 kelompok)

Respon mati (+/-) pada tikus no. % indikasi yang berespon


Dosis
1 2 3 4 5 6
25 mg/kg BB - + - - - - 16,67 %
100 mg/kg BB - - - - - - 0%
400 mg/kg BB + + - + + + 83,33 %

% Indikasi yang berespon = Jumlah tikus mati / jumlah tikus total x 100%
Pengamatan kematian tikus dalam waktu 1 x 24 jam

3. Tentukan LD50 dengan menggunakan persamaan regresi y = bx + a (menggunakan


kalkulator)
a = - 2,775
b = 0,2063
r = 0,9286

y = bx + a
50 = 0,2063x + (-2,775)
x = 255,82 mg/kg BB
Jadi, dosis yang menyebabkan kematian pada 50% individu adalah 225,82 mg/kg
BB

8
H. PEMBAHASAN
LD50 (lethal dose 50) adalah dosis yang menimbulkan kematian pada 50%
individu. LD50 dinyatakan sebagai miligram dari zat aktif uji/kilogram berat badan
hewan uji (mg/kg). Perhitungan LD50 didasarkan atas perhitungan statistic. Nilai LD 50
dapat berbeda 0,002 sampai 16 kali bila dilakukan berbagai macam laboratorium. Jadi,
harus dijelaskan lebih lanjut tentang prosedure yang dipakai, misal berat badan, umur
tikus, zat pelarut, jenis kelamin, lingkungan, dan sebagainnya.
Praktikum ini dilakukan pada hewan uji tikus putih. Dengan menyiapkan
sonde yang berisi supermetrin (sutrin 100 ec) untuk masing-masing tikus dengan dosis
25 mg/kgBB, 100 mg/kgBB, 400 mg/kgBB kemudian diberikan supermetrin (sutrin
100 ec) per sonde terhadap tikus yang telah diberi tanda spidol pada masing-masing
ekor agar dapat diketahui perbedaan pemberian dosisnya.. Setelah itu mengamati
perubahan perilaku masing-masing tikus.
Menentukan onset of action dari perubahan perilaku.
Tikus 1 : Tidak terdapat mula kerja yang dapat dilihat, tikus 1 mengalami kondisi
yang sama saat sebelum di sonde dengan setelah disonde.
Tikus 2 : Mula kerja dapat dilihat dari pengamatan analgesia pada menit ke-10.
Tikus 3 : Mula kerja dapat dilihat dari pengamatan air liur yang keluar pada menit
ke-5, test kasa pada menit-5, ataxia dan analgesi pada menit ke-10.
Berdasarkan hasil pengamatan kami, pada pemberian supermetrin (sutrin 100
ec) dengan dosis yang berbeda akan menimbulkan perubahan perilaku yang berbeda-
beda. Perubahan perilaku yang berbeda dikarenakan kerja obat yang berbanding lurus
dengan dosis yang di berikan.
1. Postur tubuh = Melihat tingkah kesadaran tikus
Tikus 1 : Terjadi perubahan pada menit ke-15 setelah disonde
Tikus 2 : Tidak terjadi perubahan pada postur tubuh setelah disonde
Tikus 3 : Terjadi perubahan pada menit-30 setelah disonde
2. Aktifitas motor = Mengetahui kemampuan hewan coba dalam merespon
suatu rangsangan
Tikus 1 : Terjadi perubahan pada menit -15 setelah disonde
Tikus 2 : Terjadi perubahan pada menit -30 setelah disonde
Tikus 3 : Terjadi perubahan pada menit - 15 setelah disonde
3. Ataxia = Melihat gerakan berjalan inkoordinasi
Tikus 1 : Tidak terjadi perubahan hingga menit - 60 setelah disonde
Tikus 2 : Tidak terjadi perubahan sama sekali setelah disonde
Tikus 3 : Terjadi perubahan pada menit -10 setelah disonde
4. Righting reflex = Melihat gerak refleks tubuh dari tikus apabila badannya
dimiringkan atau ditelentangkan.
Tidak terjadi perubahan sama sekali pada tikus 1, 2, maupun tikus 3.

9
5. Test kasa = Melihat gerak refleks dari tikus akibat pemberian obat
yang menyebabkan tubuh tikus tidak seimbang bila kasa di balikkan.
Tikus 1 : Tidak terjadi perubahan sama sekali setelah disonde
Tikus 2 : Tidak terjadi perubahan sama sekali setelah disonde
Tikus 3 : Terjadi perubahan pada menit-5 setelah disonde
6. Analgesia = Melihat efek analgesik yang ditimbulkan dari pemberian
supermetrin (sutrin 100 ec)
Tikus 1 : Tidak terjadi perubahan analgesia hingga menit-30 pada saat sela jari
dijepit.
Tikus 2 : Tidak ada respon pada menit-10 pada saat sela jari dijepit
Tikus 3 : Tidak ada respon pada menit-10 saat sela jari di jepit
7. Ptosis = Melihat Palpebratikus yang mulai memberikan reaksi.
Tikus 1 : Tidak menunjukkan hal positif dari menit pertama , hingga menit ke-60
baru menunjukkan hal positif.
Tikus 2 : Tidak menunjukkan hal positif hingga menit ke-30
Tikus 3 : Tidak menunjukkan hal positif sama sekali dari menit pertama hingga
menit ke-60
8. Air liur
Tikus 1 : Tidak menunjukkan hal positif sama sekali hingga menit ke-60
Tikus 2 : Menunjukkan hal positif pada menit ke-30
Tikus 3 : Sudah menunjukkan hal positif dari menit ke-5

Efek toksik dari pestisida tersebut terlihat dari perubahan tingkah laku berupa
penurunan kesadaran yaitu postur tubuh , penurunan aktifitas motorik, ataksia, test
kasa, analgesia, ptosis dan kematian. Efek toksik pestisida lainnya adalah kontraksi
ginjal, hipersaliva (air liur), depresi pernapasan, miosis. Hal ini disebabkan oleh
mekanisme kerja pestisida yang menghambat pengeluaran asetilkolin esterase pada
aktivitas kolinergik sehingga reseptor kolinergik merangsang pengeluaran asetilkolin
esterase terus menerus anpa dihidrolisis yang menyebabkan terjadinya akumulasi
asetilkolin. Toksisitas pestisida sangat tergantung pada cara masuknya pestisida di
dalam tubuh. Semakin tinggi LD50 suatu zat menunjukkan bahwa pestisida yang
bersangkutan tidak begitu berbahaya bagi manusia.
Menurut hasil pengamatan yang kami dapatkan, terdapat beberapa kesalahan
pada kelompok lain dimana Tikus 1 yang seharusnya tidak mati dengan dosis yang
rendah dibandingkan Tikus 2 namun pada kelompok tersebut Tikus 1 mati. Dan tidak
adanya tikus yang mati sama sekali di kelompok yang lain. Hal itu dapat disebabkan
karena kesalahan saat melakukan teknik menyonde sehingga hasil yang didapatkan
tidak sesuai.

I. KESIMPULAN
Pada praktikum ini kami dapat menyimpulkan bahwa dosis yang dapat
menyebabkan kematian pada 50% individu adalah 255,82 mg/kg BB. Hal ini berarti
bahwa supermetrin didefinisikan sebagai zat yang bersifat cukup toksik (berdasarkan
tabel LOOMIS 1978, pada dasar teori). Pada dosis tersebut sebenarnya sudah mampu

10
menyebabkan kematian pada 50% individu hewan coba, yaitu sekitar 6 tikus.
Sedangkan pada dosis maksimal yang diberikan 400 mg/kg BB, merupakan LD 50 yang
sudah tentu dapat menimbulkan kematian pada seluruh tikus.

BAHAN DISKUSI

Jelaskan mekanisme perunahan perilaku seperti di atas !


Mekanisme kerjanya yaitu menghambat enzim asetilkolinesterae sehingga terjadi
akumulasi. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah acetylcholine meningkat dan

11
berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer.
Ach yang ditimbun dalam sistem safar pusat akan menginduksi tremor, inkoordinasi dan
kejang kejang. Dalam system saraf autonom,akumulasi achE ini akan menyebabkan
diare,urinasi tanpa sadar,beokokonstriksi, dan miosis. Akumulasinya pada taut
neuromusukular akan mengakibatkan konstraksi otot yang diikuti kelemahan,hilangnya
reflek dan paralisis.
Mekanisme terjadinya toksisitas obat,berbagai mekanisme dapat mendasari
toksisias obat. Biasanya relasi toksis merupakan kelanjutkan dari efek
farmakodinamikanya. Karena itu,gejala toksis merupakan efek farmakodinamiknya.
Karena itu, gejala toksis merupakan efek farmakodinamika, dalam percobaan toksikologi
harus menggunakan dosis yang sangat besar, karena ngin ditemukan kelainan jaringan atau
efek toksikyang jelas. Dengan cara ini reaksi yang jarang terjadi bisa dibuat lebih sering.
Bila dengan dosis terapi efek hipotoksis hanya terjadi ada 1 per 10.000 orang,maka
diperkirakan ribuan tikus untuk percobaan dengan dosis ini ,sebelum terlihat reaksi pada 1-
2 ekor tikus saja. Selain itu waktu observasi akan jauh lebih pendek apabila menggunakan
dosis yang besar,sehingga akan mengurangi biaya pemeriksaan.
Namun akan timbul kesulitan daam interpetasi hasilnya pada manusia sebab
kelainan yang ditemukan tidak dapat diekstrapularikan begitu saja pada manusia.
Interpetasi ini harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan besarnya dosis
dan kondisi percobaan (Farmakologi dan terapi Ed.5.2011 Fakultas kedokteran UI

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku Petunjuk Praktikum Farmakologi 1


2. Elmitra,M.Farm,Apt. 2017. Dasar-Dasar Farmasetika Dan Sediaan Semisolid.
Yogyakarta CV: Budi Utomo
3. TIM UB 2017. Buku Ajar Farmakologi Dasar, Malang. UB Press

12
4. Neal, Michael J. At a Glance Farmakologi Medis, 2002. Jakarta : Erlangga

13

Anda mungkin juga menyukai