Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bartolinitis - Hanan, Masyita, Risky, 70700120040

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

LAPORAN KASUS

Oleh:
Andi Masyita Putri M 70700120024
Risky Awaliah H 70700120028
Andi Besse Hanan Marfu’ah 70700120040

Pembimbing :
Dr. dr. Sitti Musafirah, Sp.KK, FINS-DV

TUGAS KEPANITRAAN KLINIK


BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2020
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan Judul


“Bartolinitis”
Telah memenuhi persyaratan dan telah disetujui Pada Tanggal……….
Oleh:
Pembimbing

dr. Andi Alifia Ayu Delima, M. Kes

Supervisor

Dr. dr. Sitti Musafirah, Sp.KK, FINS-DV

Mengetahui,
Ketua Program Pendidikan Profesi Dokter UIN Alauddin Makassar

dr. Azizah Nurdin, Sp.OG.,M.Kes


NIP: 198409052009012011
BAB I
LAPORAN KASUS

I. Skenario Kasus
Seorang wanita 53 thn, datang kepoli kulit di Balai Kesehatan Kulit, Kelamin
dan Kosmetika dengan keluhan terdapat benjolan pada vagina yang dirasakan
sejak ± 1 bulan disertai rasa nyeri yang memberat 1 minggu ini. Awal mula
pasien merasa gatal dan nyeri serta teraba benjolan kecil lama kelamaan
membesar sehingga mengganggu aktivitas terutam nyeri dirasakan saat duduk.
Keputihan disangkal, riw. Pengobatan tidak ada, riw. Penyakit diabetes
melitus, riw. Keluarga tidak ada.

Identitas Pasien :
a. Nama : Nn P
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. Umur : 53 tahun
II. Anamnesis
a. Anamnesis: Terdapat benjolan pada vagina yang dirasakan sejak ± 1 bulan
disertai rasa nyeri yang memberat 1 minggu ini.
b. Terpimpin:
Awal mula pasien merasa gatal dan nyeri serta teraba benjolan kecil lama
kelamaan membesar sehingga mengganggu aktivitas terutam nyeri
dirasakan saat duduk. Keputihan disangkal.
c. Riwayat alergi : -
d. Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama : -
e. Riwayat DM dan pemgobatan : -

III. Status Generalis:


Dalam batas normal
IV. Pemeriksaan Fisik Umum dan Khusus

Pemeriksaan Dermatologis
- Lokalisasi: regio Genitalia
- Lesi berupa pembengkakan
- Efloresensi: lesi berupa pembengkakan, hiperemis, unilateral
Pemeriksaan Tanda Vital: tidak dilakukan
V. Pemeriksaan Penunjang
Pada scenario tidak dilakukan pemeriksaan penunjang.
VI. Resume
Telah diperiksa seorang pasien wanita 53 thn, datang kepoli kulit di Balai
Kesehatan Kulit, Kelamin dan Kosmetika dengan keluhan terdapat benjolan
pada vagina yang dirasakan sejak ± 1 bulan disertai rasa nyeri yang memberat
1 minggu ini. Awal mula pasien merasa gatal dan nyeri serta teraba benjolan
kecil lama kelamaan membesar sehingga mengganggu aktivitas terutam nyeri
dirasakan saat duduk. Keputihan disangkal, riw. Pengobatan tidak ada, riw.
Penyakit diabetes melitus, riw. Keluarga tidak ada.Lokalisasi: area genitalia
Efloresensi: lesi berupa pembengkakan, hiperemis, unilateral

VII. Diagnosis
Bartolinitis
A. Definisi
Bartholinitis merupakan infeksi kelenjar Bartholini yang letaknya bilateral
pada bagian dasar labia minor. Kelenjar ini bermuara pada posisi kira2 jam 4
dan jam 8. Ukurannya sebesar kacang (0,5-1 cm) dan tidak melebihi 1 cm, dan
pada pemeriksaan dalam keadaan normal kelenjar ini tidak dapat di palpasi,
bertugas mensekresi lendir dengan duktus sepanjang1,5-2cm. Bartolinitis
terjadi bila ada sumbatan pada duktus ini.Bartolinitis ini dapat terjadi
berulang-ulang dan akhirnya dapat menjadi menahun dalam bentuk kista
bartolini.1
B. Epidemiologi
Bartolinitis ini merupakan masalah pada wanita usia subur, kebanyakan kasus
terjadi pada usia reproduktif antara usian pada usia 20 sampai 30 tahun dengan
sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami bartolinitis atau abses dalam hidup
mereka, sehingga hal ini merupakan masalah yang perlu untuk dicermati.
Namun, tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada wanita yang lebih tua
atau lebih muda.8
C. Etiologi
Bartolinitis dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk organisme
yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia dan Gonore
serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan, seperti
Escherichia coli. Umumnya abses melibatkan lebih dari satu jenis organisme.
Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi cairan, dengan
dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista. Meskipun Neisseria
gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang dominan mengisolasi,
bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum.
Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif. Namun,
kista saluran Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap sebagai bagian
eksklusif dari infeksi menular seksual. Selain itu operasi vulvovaginal adalah
penyebab umum kista dan abses tersebut.1
D. Pathogenesis
Etiologi dari bartholinitis adalah infeksi kuman pada kelenjar bartholin yang
terletak pada bagian dalam vagina agak keluar mulai dari chlamidia,gonore
dsb.  Infeksi ini kemudian menyumbat mulut kelenjar tempat diproduksinya
cairan pelumas vagina Penyumbatan pada muara kelenjar Bartholini (akibat
infeksi non spesifik atau trauma)  Peregangan dinding kelenjar Bartholini
dan salurannya  Terbentuk kista pada kelenjar Bartholini  Kolonisasi dan
infeksi pada kista  Terbentuk abses  Jika abses pecah (rupture), maka
ada discharge purulent keluar..1
E. Gambaran Klinis
1.Pada vulva: perubahan warna kulit, membengkak, timbunan nanah dalam
kelenjar, nyeri tekan.
2.Kelenjar bartolin membengkak, terasa nyeri sekali bila penderita berjalan/
duduk, juga dapat disertai demam
3.Kebanyakkan wanita datang dengan keluhan keputihan dan gatal, rasa sakit
saat berhubungan dengan suami, rasa sakit saat buang air kecil, ada benjolan
di sekitar alat kelamin
4.Terdapat abses pada daerah kelamin
5.Pada pemeriksaan fisik ditemukan cairan mukoid berbau danbercampur
dengan darah1
F. Diagnosis
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung suatu
diagnosis. Pada anamnesis ditanyakan tentang gejala seperti panas, gatal,
sudah berapa lama gejala berlangsung, kapan mulai muncul, faktor yang
memperberat gejala, apakah pernah berganti pasangan seks, keluhan saat
berhubungan, riwayat penyakit menular seks sebelumnya, riwayat penyakit
kulit dalam keluarga, riwayat keluarga mengidap penyakit kanker kelamin,
dan riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan hipertensi, riwayat
pengobatan sebelumnya.
Bartholinitis didiagnosis melalui pemeriksaan fisik, khususnya dengan
pemeriksaan dermatologi pelvis. Pada pemeriksaan fisis dengan posisi
litotomi, kista terdapat di bagian unilateral, nyeri, fluktuasi dan terjadi
pembengkakan yang eritem pada posisi jam 4 atau 8 pada labium minus
posterior. Pemeriksaan gram dan kultur jaringan dibutuhkan untuk
mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk mengetahui ada
tidaknya infeksi akibat penyakit menular seksual seperti Gonorrhea dan
Chlamydia. Untuk kultur diambil swab dari abses atau dari daerah lain seperti
serviks. Hasil tes ini baru dilihat setelah 48 jam kemudian, tetapi hal ini tidak
dapat menunda pengobatan. Dari hasil ini dapat diketahui antibiotik yang tepat
yang perlu diberikan. Selain itu direkomendasi dilakukan biopsi pada wanita
lanjut usia untuk mengeliminasi tumor atau keganasan. Jika terdapat sekret
vagina atau drainase cairan, specimen ini dapat dihantar ke laboratorium untuk
pemeriksaan lanjut.1
G. Penatalaksanaan3
Pada kasus bartholinitis dapat diberikan antibiotik yang sesuai bakteri
penyebabnya (umumnya terhadap klamidia, gonokokus, bakteroides dan
escherichia coli) bila belum terjadi abses.
Madikamentosa
 Obat pereda nyeri Paracetamol, Asam Mefenamat dan Ibuprofen dapat
dikonsumsi sebagai pereda rasa sakit.
 Antibiotik : Ceftriaxone, Ciprofloxacin, Doxycycline dan Azithromycin.
Wanita > 40 th  curiga adenocarsinoma  rujuk ke spesialis obstetric
gynecology  rekomendasikan untuk Eksisi dari glandula bartholini
dilakukan untuk mengeksklusi adenocarcinoma
Pada abses dan kista yang simptomatik, membutuhkan tatalaksana
(pengobatan) berupa :
 Insisi drainase + kultur
 Kateter “word”
 Marsupialisasi
 Eksisi gld. Bartholini → pada kasus rekurensi tinggi
H. Komplikasi
Jika bartholinitis tidak tertangani dengan baik maka kelenjar Bartholin akan
tersumbat dan timbullah abses. Jika berlanjut, maka infeksi dapat tersebar
secara sistemik (septicemia). Dapat pula terjadi abses pelviperineal atau
necrotizing fascilitis (meski jarang terjadi). Adapun tingkat kekambuhan telah
dievaluasi antara 5 – 15% setelah episode pertama yang tidak tertangani
dengan marsupilisasi.1
I. Prognosis
Umumnya dapat tertangani dengan baik. untuk kasus bartholinitis tanpa
infeksi, prognosis cenderung baik karena bersifat dapat sembuh sendiri tanpa
pengobatan. Namun, jika tidak tertangani dengan baik maka dapat terjadi
komplikasi yang kemudian prognosis bergantung pada tingkat keparahan
penyakit dan penanganan yang diberikan. 2
VIII. Differensial Diagnosis
Diagnosa Banding
1. Kista Bartholin
A. Definisi
Kista Bartholin adalah penyumbatan ductus kelenjar bagian distal
berupa pembesaran berisi cairan dan merupakan struktur seperti kantong
bengkak (swollen sac-like structure).1
B. Etiologi
Biasanya kelenjar Bartholin tidak dapat teraba tetapi dapat teraba
saat terjadi pembentukan kistik atau abses. Jika lubang pada kelenjar
Bartholin tersumbat, lendir yang dihasilkan oleh kelenjar akan
terakumulasi sehingga terjadi dilatasi kistik ductus ptoksimal dan
obstruksi. Kista Bartholin yang mengalami obstruksi dan terinfeksi dapat
berkembang menjadi abses.2,3
Belum diketahui secara pasti mengapa saluran tersumbat, tetapi
beberapa kasus terkait dengan infeksi bakteri menular seksual (IMS),
seperti Neisseria gonore, Clamydia trachomatis, atau infeksi bakteri lain
seperti Escherichia coli (E. coli). Selain itu salah satu faktor risiko
obstruksi duktus ini diduga disebabkan oleh gesekan selama
berhubungan.4

C. Epidemiologi
Kista kelenjar bartholin menyerang 2% wanita, biasanya pada
tahun-tahun reproduksi, antara usia 20 dan 30 tahun. Mereka sangat
jarang terjadi sebelum pubertas. Kista yang lebih kecil mungkin
asimtomatik dan dapat dibiarkan tidak diobati namun kista yang lebih
besar memerlukan pengobatan.5
Sebuah penelitian yang dilakukan di Korea pada tahun 2009
melaporkan kejadian kista dan abses kelenjar Bartholin terjadi pada wanita
usia 15-50 tahun.[6] Disamping itu, studi tahun 2012 Di Brasil
menjelaskan usia rata-rata 127 wanita dengan kista kelenjar Bartholin
adalah 37,3 tahun, berkisar antara 18 hingga 61 tahun. Sekitar 70%
multipara, dan keluhan yang paling sering adalah nyeri.1
D. Gejala Klinis
Kista Bartholin biasanya hanya menyerang kelenjar di satu sisi
atau unilateral. Ukuran kista dapat bervariasi dari kecil hingga besar (1
hingga 3 cm). Kista Bartholin yang tetap kecil dan tidak terinfeksi
mungkin tidak memberikan gejala apa pun dan biasanya tidak memerlukan
pengobatan apa pun. Terkadang jika kista menjadi besar dapat
menyebabkan ketidaknyamanan atau nyeri, terutama saat berjalan, duduk,
atau saat berhubungan seks. 2
2. Fibroma
A. Definisi
Fibroma adalah tumor jinak yang terdiri dari jaringan ikat atau
fibrosa. Terdapat dua jenis fibroma yang paling sering ditemukan pada
kulit yakni soft fibroma (akrokordon) dan hard fibroma (dermatofibroma).
Akrokordon atau dikenal dengan nama lain skin tag adalah tumor yang
berukuran 2–3 mm, berwarna menyerupai warna kulit atau coklat muda,
berbentuk kubah atau bertangkai dan paling sering muncul pada leher dan
ketiak. Sedangkan dermatofibroma adalah tumor dengan ukuran 3-10 mm,
berwarna cokelat keunguan, terkadang disertai nyeri tekan dan paling
sering muncul pada bagian ekstremitas pada orang dewasa.11
B. Epidemiologi
Lebih sering ditemukan pada rentan usia 20-40 tahun.11
C. Etiologi
Penyebab dari soft fibroma (akrokordon) dan hard fibroma
(dermatofibroma) sangat berbeda. Akrokordon pada umumnya disebabkan
oleh faktor usia (penuaan), obesitas, ketidakseimbangan hormon
(peningkatan hormon estrogen, progesteron dan growth hormone pada
kasus akromegali), infeksi virus (virus Human Papilloma), diabetes
melitus (resistensi insulin), dan sindroma Birt-Hogg-Dube (BHD).
Sedangkan pada dermatofibroma, penyebabnya masih belum diketahui,
namun pada beberapa studi, dermatofibroma erat kaitannya dengan proses
trauma pada kulit seperti akibat gigitan serangga, tato, pemeriksaan
tuberkulin, atau infeksi kulit seperti folikulitis.12
D. Gejala klinik
Berupa nodul asimtomatis, berwarna kecoklatan, merah muda, atau
sewarna kulit, dengan diameter beberapa milimeter hingga dua sentimeter.
Pada beberapa kasus dapat disertai rasa gatal atau nyeri. Pada palpasi, lesi
kulit tampak melekat pada jaringan subkutan. Penekanan pada tepi lesi
akan memperlihatkan dimple sign. Sebagian besar berupa lesi tunggal,
tetapi pada 10% orang akan mengalami dua hingga lima lesi. Effloresensi
ditemukan Lesi dapat berbentuk Makula, papula, nodul, plak berwarna
kecoklatan, merah muda, atau sewarna kulit, dengan diameter beberapa
milimeter hingga dua sentimeter.12
3. Abses Bartolin
A. Definisi
Bartholinitis merupakan infeksi kelenjar Bartholini yang letaknya
bilateral pada bagian dasar labia minor. Kelenjar ini bermuara pada posisi
kira2 jam 4 dan jam 8. Ukurannya sebesar kacang (0,5-1 cm) dan tidak
melebihi 1 cm, dan pada pemeriksaan dalam keadaan normal kelenjar ini
tidak dapat di palpasi, bertugas mensekresi lendir dengan duktus
sepanjang1,5-2cm. Bartolinitis terjadi bila ada sumbatan pada duktus
ini.Bartolinitis ini dapat terjadi berulang-ulang dan akhirnya dapat menjadi
menahun dalam bentuk kista bartolini.6

B. Epidemiologi
Bartolinitis ini merupakan masalah pada wanita usia subur,
kebanyakan kasus terjadi pada usia reproduktif antara usian pada usia 20
sampai 30 tahun dengan sekitar 1 dalam 50 wanita akan mengalami
bartolinitis atau abses dalam hidup mereka, sehingga hal ini merupakan
masalah yang perlu untuk dicermati. Namun, tidak menutup kemungkinan
dapat terjadi pada wanita yang lebih tua atau lebih muda.7
C. Etiologi
Bartolinitis dapat disebabkan oleh sejumlah bakteri. Ini termasuk
organisme yang menyebabkan penyakit menular seksual seperti Klamidia
dan Gonore serta bakteri yang biasanya ditemukan di saluran pencernaan,
seperti Escherichia coli. Umumnya abses melibatkan lebih dari satu jenis
organisme. Obstruksi distal saluran Bartolini bisa mengakibatkan retensi
cairan, dengan dihasilkannya dilatasi dari duktus dan pembentukan kista.
Meskipun Neisseria gonorrhoeae adalah mikroorganisme aerobik yang
dominan mengisolasi, bakteri anaerob adalah patogen yang paling umum.
Chlamydia trachomatis juga mungkin menjadi organisme kausatif.
Namun, kista saluran Bartolini dan abses kelenjar tidak lagi dianggap
sebagai bagian eksklusif dari infeksi menular seksual. Selain itu operasi
vulvovaginal adalah penyebab umum kista dan abses tersebut. 9
D. Diagnosis
Anamnesis yang baik dan pemeriksaan fisik sangat mendukung
suatu diagnosis. Pada anamnesis ditanyakan tentang gejala seperti panas,
gatal, sudah berapa lama gejala berlangsung, kapan mulai muncul, faktor
yang memperberat gejala, apakah pernah berganti pasangan seks, keluhan
saat berhubungan, riwayat penyakit menular seks sebelumnya, riwayat
penyakit kulit dalam keluarga, riwayat keluarga mengidap penyakit kanker
kelamin, dan riwayat penyakit yang lainnya misalnya diabetes dan
hipertensi, riwayat pengobatan sebelumnya.
Bartholinitis didiagnosis melalui pemeriksaan fisik, khususnya
dengan pemeriksaan dermatologi pelvis. Pada pemeriksaan fisis
denganposisi litotomi, kista terdapat di bagian unilateral, nyeri, fluktuasi
dan terjadi pembengkakan yang eritem pada posisi jam 4 atau 8 pada
labium minus posterior. Pemeriksaan gram dan kultur jaringan dibutuhkan
untuk mengidentifikasikan jenis bakteri penyebab abses dan untuk
mengetahui ada tidaknya infeksi akibat penyakit menular seksual seperti
Gonorrhea dan Chlamydia. Untuk kultur diambil swab dari abses atau dari
daerah lain seperti serviks. Hasil tes ini baru dilihat setelah 48 jam
kemudian, tetapi hal ini tidak dapat menunda pengobatan. Dari hasil ini
dapat diketahui antibiotik yang tepat yang perlu diberikan.
Selain itu direkomendasi dilakukan biopsi pada wanita lanjut usia
untuk mengeliminasi tumor atau keganasan. Jika terdapat sekret vagina
atau drainase cairan, specimen ini dapat dihantar ke laboratorium untuk
pemeriksaan lanjut.10
DAFTAR PUSTAKA

1. Patil S, Sultan AH, Thakar R. Bartholin’s cysts and abscesses. J Obstet


Gynecol. 2007; 27(3): 241-5
2. Chen KT. Disorders of Bartholin gland. 2015: 1-10.Available from :
www.uptodate.com.
3. Omole F, Simmons BJ, Hacker Y: Management of Bartholin’s duct cyst and
gland abscess. Am Fam Physician 2003; 68:135-140.
4. Bora SA, Condous G. Bartholin’s, vulval and perineal abscesses. Best Pract
Res Clin Obstet Gynaecol. 2009;23(5):661-666.
5. Yuk JS, Kim YJ, Hur JH. Incidence of Bartholin duct cysts and abscesses in
the Republic of Korea. Int J Gynecol Obstet. 2013;122(1):62-4.
6. Norwitz, E., Schorge, J. (2008). At A Glance : Obstetri & Ginekologi. Edisi 2.
Jakart: Erlangga.
7. Winkjosastro, H., Saifuddin, A.B., Rachimdani, T. (2002). Ilmu Kandungan.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
8. Patil S, Sultah AH, Thakar R, et al: Bartholin’s Cyst and Abscess,
Patient.co.uk: [Online]. 2010 [cited 18 January 2010]. Available from:
URL:http://www.patient.co.uk/health/Bartholin%27s-Cyst-and-Abscess.htm
9. Kementrian Kesehatan RI. 2011.Pedoman Nasional Penanganan Infeksi
Menular Seksual
10. Horowitz IR, Buscema J., Woodruff JD. Surgical conditions of the vulva, in
Rock JA, Thompson JD (eds): The Linde's Operative Gynecology. 8th ed.
Philadelphia, Lippincott-Raven, 1997; pp 890-893.
11. John M, Chirayath S, Paulson S. Multiple soft fibromas of the lid. Indian J
Ophthalmol. 2015;63(3):262-4.
12. Shimizu H. Shimizu’s Textbook of Dermatology. 2nd ed. New Jersey: Wiley
Blackwell. 2017

Anda mungkin juga menyukai