Mini Project TB Juni 2019
Mini Project TB Juni 2019
Mini Project TB Juni 2019
Disusun Oleh :
Pembimbing
dr. Hasrida Hamid
PENDAHULUAN
Dengan latar belakang tersebut sebuah studi evaluasi telah dilakukan untuk
menjawab masalah penelitian sebagai berikut :
Bagaimana karakteristik penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Sorawolio
periode Januari - Mei 2019?
1.3 Tujuan Kegiatan
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain
bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).
1. Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus
berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat
kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri
di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap
sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan
tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien
tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai
menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).
2.6.1 Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam.
Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium
tuberculosis, bakteri tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. S (Depkes
RI, 2002). Adanya riwayat kontak dengan penderita juga menjadi factor resiko
yang dipengaruhi oleh faktor lain, seperti kurangnya kesadaran dari keluarga
terhadap kesehatan lingkungan rumah mereka misalnya tidak memiliki
kesadaran untuk membuka setiap jendela-jendela rumah agar ada udara yang
masuk. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhinya adalah pada saat batuk
penderita tidak menutup mulut, hal itu dapat menyebabkan penularan melalui
inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut
(Pangalo, 2018)
Host untuk bakteri tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi
host yang dimaksud disini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
1. Umur
Lingkungan kerja yang padat serta berhubungan dengan banyak orang
menjadi faktor risiko bagi usia produktif untuk menderita TB paru. Hal
tersebut disebabkan meningkatnya peluang bagi usia produktif untuk
terpapar dengan M.tuberculosis. Sedangkan anak dengan usia<2 tahun
berisiko menderita TB paru yang ditularkan melalui kehidupan rumah
tangga. Lamanya kontak atau terpapar dengan penderita TB paru adalah
faktor risiko untuk tertular (Dotulong, 2015; Narasimhan, 2013)
2. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita TB paru
lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan laki-laki lebih
banyak merokok dan mengonsumsialkohol yang merupakan faktor risiko
terjadinya infeksi, termasuk TB paru (Dotulong, 2015)
3. Status Gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap
infeksi bakteri tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka
akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena
kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat
meningkatkan risiko tuberkulosis paru.
4. Status imunitas
Seseorang dengan status imunitas yang rendah, misalnya pada pasien
HIV/AIDS sangat berisiko untuk menderita TB, menurunnya imunitas
meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Cell mediated immunity adalah
komponen penting pertahanan tubuh yang dilemahkan oleh HIV sehingga
meningkatkan risiko reaktivasi TB paru dan pada umumnya juga
meningkatkan risiko penyebaran yang luas dan menyebabkan extra
pulmonary tuberculosis. Individu dengan penyakit autoimun yang telah
menerima pengobatan tumor necrosis factor – alpha(TNFα) inhibitor juga
berisiko tinggi menderita TB karena TNFα sangat berperan penting dalam
respon imun terhadap bakteri, jamur, parasit dan mikroba lainnya
(Narasimhan, 2013)
2.6.2 Agen
Agen adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi.
Agent dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak,
suasana sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan
penyebab utama/esensial dalam terjadinya penyakit (Werdhani, 2009). Agent
yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi ( Apsari,2018)
2.6.3 Lingkungan
Lingkungan lembab, ventilasi yang buruk dan kurangnya sinar ultraviolet
berperan penting dalam rantai penularan TB paru. M.tuberculosis merupakan
bakteri yang tidak tahan terhadap sinar ultraviolet, sehingga lingkungan yang
lembab dan sinar ultraviolet kurang menjadi risiko seseorang untuk menderita
TB (Setiati, 2014)
1. Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan
dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali
Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih
berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan
Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan
Streptomisin menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin, 2007).
3.2.2.Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2019.
3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB yang tercatat
di Puskesmas Sorawolio yang sementara atau masih menjalani pengobatan
tuberculosis selama periode Januari-Mei 2019 yaitu sebanyak 8 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel yaitu t dimana besar sampel adalah 7 orang, 1 orang diekslusi
dari sampel penelitian karena meninggal dunia.
Jumlah
Variabel
N %
Jenis Kelamin Laki-laki 4 57,1 %
Perempuan 3 42,9 %
Total 7 100 %
Umur Produktif ( 15-50 tahun) 4 57,1 %
Tidak Produktif (<15 dan >50 3 42,9 %
tahun)
Total 7 100 %
Pendidikan Tidak sekolah/tamat SD 1 14,3 %
Tamat SMP 2 28,6 %
Tamat SMA 4 57,1 %
Perguruan Tinggi 0 0%
Total 7 100 %
Pekerjaan Tidak/Belum Bekerja 0 0%
Ibu Rumah Tangga 2 28,6 %
Wiraswasta 3 42,9 %
PNS/Pegawai 0 0%
Petani/Buruh/Sopir 2 28,6 %
Total 7 100 %
Dari table 4.1 diketahui bahwa sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak
4 orang ( 57,1%), sementara sampel berjenis kelamin perempuan berjumlah 3
orang ( 42,9%). Berdasarkan umur, sampel terbanyak berada pada usia produktif
(15-50 tahun) 57,1 % dan sisanya merupakan usia non produktif ( > 50 tahun)
42,9%. Berdasarkan jenjang pendidikan diketahui 4 orang tamat SMA ( 57,1%), 2
orang tamat SMP ( 28,6%), 1 orang tamat SD (14,3%) dan tidak ada yang
melanjutkan ke perguruan tinggi (0%). Berdasarkan pekerjaan, didapatkan sampel
terbanyak bekerja sebagai wiraswasta ( 42,9 %), sementara sisanya bekerja
sebagai IRT (28,6%) dan petani (28,6%).
43%
Laki-laki
57%
Perempuan
43%
Jumlah
Variabel
N %
Gejala Batuk yang tidak kunjung 6 85,7%
sembuh lebih dari 2-3 minggu
Batuk berdarah 2 28,6%
Penurunan berat badan lebih 7 100%
dari 5 kg tanpa sebab yang
jelas
Demam lebih dari 2 minggu 2 28,6%
Keringat malam tanpa sebab 4 57,1%
yang jelas
Badan terasa lemas dan lelah 3 42,9%
tanpa sebab yang jelas
Gejala lain 2 28,6 %
57,10%
60,00%
42,90%
40,00%
28,60% 28,60% 28,60%
20,00%
0,00%
Gejala
Batuk 2-3 minggu Batuk darah Penurunan BB > 5kg Demam > 2minggu
Keringat malam Badan lemas Gejala lain
Jumlah
Variabel
N %
Faktor resiko Riwayat kontak 4 57,1%
Status imunitas menurun 1 14,3%
Merokok 2 28,6%
Lingkungan 2 28,6%
Status gizi kurang 2 28,6 %
Bedasarkan tabel 4.3 di ketahui bahwa sampel yang memiliki factor resiko
berupa riwayat kontak sebanyak 4 orang (57,1%), status imunitas menurun 1
orang ( 14,3%), sementara sampel yang memiliki factor resiko merokok,
lingkungam dan status gizi kurang masing-masing 2 orang ( 28,6%).
60,00% 57,10%
50,00%
40,00%
20,00%
14,30%
10,00%
0,00%
Faktor Resiko
Jumlah
Variabel
N %
Pemeriksaan Sputum BTA 3x 1 14,3%
penunjang Foto rontgen thorax 5 71,4%
Pemeriksaan lainnya 1 14,3%
Total 7 100%
Sputum BTA
Pemeriksaan lainnya
72%
Jumlah
Variabel
N %
Tipe Penderita Kasus baru 7 100 %
Kasus kambuh 0 0%
Total 7 100%
Dari table 4.5 diketahui bahwa semua sampel (100 %) merupakan tipe
penderita kasus baru yaitu penderita yang belum memiliki riwayat pengobatan
tuberculosis sebelumnya. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Apsari (2018) yang menunjukkan 97,8% sampel merupakan tipe penderita kasus
baru. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Widhiasnasir (2017) yaitu sebanyak
171 sampel (90 %). Tingginya jumlah penderita TB paru baru menunjukkan
bahwa tingkat penularan semakin tinggi.
Jumlah
Variabel
N %
Kepatuhan Patuh 7 100 %
Minum Obat Tidak patuh 0 0%
Total 7 100%
Pengawas Keluarga 7 100 %
Minum Obat Petugas kesehatan 0 0%
Total 7 100 %
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa semua sampel patuh meminum
obatnya (100 %), sementara yang menjadi pengawas minum obatnya adalah
keluarga (100 %). Penelitian Apsari (2018) di Puskesmas Batu Anam Kecamatan
Siantar Kabupaten Simalungun memperoleh hasil proporsi tertinggi terdapat pada
penderita yang patuh menjalani pengobatan sebesar 90,1%. Penelitian Amiruddin
(2009), menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang memengaruhi terjadinya
kesembuhan dalam pengobatan penderita TB Paru di kota Ambon yakni pengawas
menelan obat (PMO), kepatuhan berobat penderita TB Paru dan motivasi pasien
TB Paru dalam berobat ( Sari, 2019)
Dukungan keluarga yang dalam hal ini bertindak sebagai PMO merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan untuk pengobatan tuberculosis.
Keluarga berperan dalam memotivasi dan mendukung pasien TB paru untuk
berobat secara teratur. Adanya faktor tersebut dapat mempengaruhi perilaku
minum obat pasien sehingga dapat mendukung jalannya pengobatan secara teratur
sampai pasien dinyatakan sembuh oleh petugas kesehatan (Sari, 2019).
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran