Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Mini Project TB Juni 2019

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN MINI PROJECT

KARAKTERISTIK PENDERITA TUBERCULOSIS DI


WILAYAH KERJA PUSKESMAS SORAWOLIO PERIODE
JANUARI – MEI 2019

Disusun Oleh :

dr. Wening Maulita


dr. Waiyan Maryati
dr. Hartyn Ariska Hardin
dr. Indah Marfiani Pananrang

Pembimbing
dr. Hasrida Hamid

PROGRAM INTERNSHIP PERIODE 2018-2019


PUSKESMAS SORAWOLIO
KOTA BAUBAU
2019
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tuberkulosis (TB) paru merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini terjadi di seluruh dunia dan merupakan
pembunuh terbesar kedua penyakit infeksi di dunia setelah Human
Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS).
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC (CI
8,8 juta – 12, juta) yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima
negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan
Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di
Kawasan Asia Tenggara (45%) dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika. (WHO,
2014).
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC
2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan perempuan. Bahkan
berdasarkan Survei Prevalensi Tuberculosis prevalensi laki-laki 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Begitu juga pada negara-negara lain. Berdasarkan
survei prevalensi TBC 2013-2014, prevalensi TBC dengan konfirmasi
bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.00 penduduk berumur 15 tahun ke
atas. Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan, prevalensi semakin
rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan. Sama halnya dengan semakin
tinggi tingkat kemampuan social ekonomi prevalensi semakin rendah (Kemenkes
RI, 2018).
Pada tahun 2017 di Sulawesi Tenggara ditemukan 2.587 kasus baru BTA
positif (BTA+), menurun dibandingkan tahun 2016 dengan 3.105 kasus.
Penemuan kasus baru tertinggi yang dilaporkan pada tahun 2017 berasal dari 4
kabupaten yaitu Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Kolaka, dan Baubau. Jumlah
kasus baru di empat kabupaten tersebut mencapai ˃50% dari keseluruhan kasus
baru BTA+ di Sulawesi Tenggara. Baubau berada di urutan keempat kasus
terbanyak di Sultra dengan 228 kasus BTA+ pada tahun 2017 (Datin Sultra,
2018). Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah kasus baru BTA+ tertinggi
rata-rata terjadi di kabupaten/kota yang berpenduduk besar, ini menunjukan
bahwa kejadian kasus baru BTA+ di Sulawesi Tenggara tidak merujuk pada
karakteristik wilayah tertentu, tapi lebih kepada besar kecilnya jumlah penduduk,
ini berarti pula bahwa proporsi kasus BTA+ di masyarakat relatif merata di semua
kabupaten/kota. (Kemenkes RI, 2018).
Untuk wilayah kerja dari Puskesmas Sorawolio sendiri, jumlah insiden
kasus TB yang ditemukan sejak awal tahun 2017 adalah 14 kasus. Kasus-kasus
TB ini didapatkan dari pemeriksaan skrining dahak dengan 12 kasus BTA+ dan 2
kasus terdiagnosis dari foto thorax. Pada tahun 2018 terdapat 15 kasus TB dengan
8 kasus BTA+ dan 7 terdiagnosis dari foto thorax.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitriani (2012) menyatakan bahwa terdapat
hubungan antara umur penderita, tingkat pendapatan keluarga, kondisi lingkungan
rumah, perilaku dan riwayat kontak penderita dengan kejadian tuberkulosis paru.
Narasimhan et al (2013) menyatakan bahwa perkembangan TB paru dari terpapar
hingga menjadi penyakit dipengaruhi oleh karakteristik host dan faktor
lingkungan dan sosial. Adapun karakteristik host adalah durasi terpapar dengan
agen penyebab (M. tuberculosis), umur, jenis kelamin, status imunitas, malnutrisi
(status gizi) dan diabetes. Sedangkan, faktor lingkungan dan sosial meliputi
tingkat keramaian lingkungan, ventilasi udara yang buruk, alkohol, merokok, dan
pekerjaan.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan latar belakang tersebut sebuah studi evaluasi telah dilakukan untuk
menjawab masalah penelitian sebagai berikut :
Bagaimana karakteristik penderita TB di wilayah kerja Puskesmas Sorawolio
periode Januari - Mei 2019?
1.3 Tujuan Kegiatan

1.3.1 Tujuan Umum


Mengetahui karakteristik penderita TB di Puskesmas Sorawolio
periode Januari-Mei 2019

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tuberkulosis paru di
Puskesmas Sorawolio tahun 2019 berdasarkan sosiodemografi yaitu
umur, jenis kelamin, pendidian dan status pekerjaan
2. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tuberkulosis paru di
Puskesmas Sorawolio tahun 2019 berdasarkan gejala
3. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tuberkulosis paru di
Puskesmas Sorawolio tahun 2019 berdasarkan factor resiko
4. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tuberkulosis paru di
Puskesmas Sorawolio tahun 2019 berdasarkan hasil pemeriksaan
penunjang yaitu hasil sputum BTA dan/atau radiologi
5. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tuberkulosis paru di
Puskesmas Sorawolio tahun 2019 berdasarkan tipe penderita
6. Mengetahui distribusi proporsi penderita Tuberkulosis paru di
Puskesmas Sorawolio tahun 2019 berdasarkan kepatuhan minum obat
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini
merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma
pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel
(cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi
kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang
efektif (Daniel, 1999).
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang
kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis
ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).

2.2 Kuman tuberkulosis

Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang tipis lurus berukuran


sekitar 0,4 x 3 µm (Brooks,et al 2004).

Gambar 2.1. Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam


Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan
pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas
asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang
menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) (Daniel,
1999).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob,
sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar,
2007).

2.3 Cara penularan

Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain
bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).

2.4 Risiko penularan

Risiko penularan tiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection


=ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada
daerah dengan ARTI sebesar 1% mempunyai arti bahwa pada tiap tahunnya
diantara 1000 penduduk, 10 orang akan terinfeksi. Sebagian besar orang yang
terinfeksi tidak akan menderita tuberkulosis, hanya sekitar 10% dari yang
terinfeksi yang akan menjadi penderita tuberkulosis (Depkes RI, 2006).
2.5 Patogenesis tuberkulosis

1. Infeksi primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan
kuman tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya,
sehingga dapat melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus
berjalan sampai ke alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat
kuman tuberkulosis berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri
di paru yang mengakibatkan radang dalam paru. Saluran limfe akan
membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus paru, dan ini disebut
kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat dibuktikan
dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan
besarnya respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya
respon daya tahan tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan
kuman tuberkulosis. Meskipun demikian, ada beberapa kuman menetap
sebagai kuman persisten atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan
tubuh tidak mampu menghentikan perkembangan kuman. Akibatnya
dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan menjadi pasien
tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi sampai
menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).

2. Tuberkulosis pasca primer (post primary tuberculosis)


Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau
tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh menurun
akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas dari
tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas dengan
terjadinya kavitas atau efusi pleura (Depkes RI, 2006).
2.6 Faktor Resiko Tuberculosis

2.6.1 Host
Host atau pejamu adalah manusia atau hewan hidup, termasuk burung dan
arthropoda yang dapat memberikan tempat tinggal dalam kondisi alam.
Manusia merupakan reservoar untuk penularan bakteri Mycobacterium
tuberculosis, bakteri tuberkulosis menular melalui droplet nuclei. S (Depkes
RI, 2002). Adanya riwayat kontak dengan penderita juga menjadi factor resiko
yang dipengaruhi oleh faktor lain, seperti kurangnya kesadaran dari keluarga
terhadap kesehatan lingkungan rumah mereka misalnya tidak memiliki
kesadaran untuk membuka setiap jendela-jendela rumah agar ada udara yang
masuk. Selain itu, faktor lain yang mempengaruhinya adalah pada saat batuk
penderita tidak menutup mulut, hal itu dapat menyebabkan penularan melalui
inhalasi droplet yang berasal dari orang yang terinfeksi bakteri tersebut
(Pangalo, 2018)
Host untuk bakteri tuberkulosis paru adalah manusia dan hewan, tetapi
host yang dimaksud disini adalah manusia. Beberapa faktor host yang
mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru adalah :
1. Umur
Lingkungan kerja yang padat serta berhubungan dengan banyak orang
menjadi faktor risiko bagi usia produktif untuk menderita TB paru. Hal
tersebut disebabkan meningkatnya peluang bagi usia produktif untuk
terpapar dengan M.tuberculosis. Sedangkan anak dengan usia<2 tahun
berisiko menderita TB paru yang ditularkan melalui kehidupan rumah
tangga. Lamanya kontak atau terpapar dengan penderita TB paru adalah
faktor risiko untuk tertular (Dotulong, 2015; Narasimhan, 2013)
2. Jenis kelamin
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki yang menderita TB paru
lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini disebabkan laki-laki lebih
banyak merokok dan mengonsumsialkohol yang merupakan faktor risiko
terjadinya infeksi, termasuk TB paru (Dotulong, 2015)
3. Status Gizi
Apabila kualitas dan kuantitas gizi yang masuk dalam tubuh cukup akan
berpengaruh pada daya tahan tubuh sehingga tubuh akan tahan terhadap
infeksi bakteri tuberkulosis paru. Namun apabila keadaan gizi buruk maka
akan mengurangi daya tahan tubuh terhadap penyakit ini, karena
kekurangan kalori dan protein serta kekurangan zat besi, dapat
meningkatkan risiko tuberkulosis paru.
4. Status imunitas
Seseorang dengan status imunitas yang rendah, misalnya pada pasien
HIV/AIDS sangat berisiko untuk menderita TB, menurunnya imunitas
meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Cell mediated immunity adalah
komponen penting pertahanan tubuh yang dilemahkan oleh HIV sehingga
meningkatkan risiko reaktivasi TB paru dan pada umumnya juga
meningkatkan risiko penyebaran yang luas dan menyebabkan extra
pulmonary tuberculosis. Individu dengan penyakit autoimun yang telah
menerima pengobatan tumor necrosis factor – alpha(TNFα) inhibitor juga
berisiko tinggi menderita TB karena TNFα sangat berperan penting dalam
respon imun terhadap bakteri, jamur, parasit dan mikroba lainnya
(Narasimhan, 2013)

2.6.2 Agen
Agen adalah faktor esensial yang harus ada agar penyakit dapat terjadi.
Agent dapat berupa benda hidup, tidak hidup, energi, sesuatu yang abstrak,
suasana sosial, yang dalam jumlah yang berlebih atau kurang merupakan
penyebab utama/esensial dalam terjadinya penyakit (Werdhani, 2009). Agent
yang mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis adalah bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Agent ini dipengaruhi oleh beberapa faktor
diantaranya pathogenitas, infektifitas dan virulensi ( Apsari,2018)
2.6.3 Lingkungan
Lingkungan lembab, ventilasi yang buruk dan kurangnya sinar ultraviolet
berperan penting dalam rantai penularan TB paru. M.tuberculosis merupakan
bakteri yang tidak tahan terhadap sinar ultraviolet, sehingga lingkungan yang
lembab dan sinar ultraviolet kurang menjadi risiko seseorang untuk menderita
TB (Setiati, 2014)

2.7 Gejala Tuberculosis

2.7.1 Gejala sistemik (Setiati, 2014)


1) Demam
Biasanya demam subfebris yang menyerupai deman influenza, tetapi
kadang-kadang mencapai 40-41°C. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya
tahan tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman TB yang masuk.
2) Maleise
Gejala maleisi yang sering ditemukan adalah anoreksia, tidak ada nafsu
makan, sakit kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam dan lain-lain. Gejala
malaise semakin lama semakin berat dan sering hilang timbul secara tidak
teratur.
3) Berat badan turun
Pasien biasanya tidak merasakan penurunan berat badan. Sebaiknya,
berat badan ditanyakan pada saat sekarang dan waktu pasien belum sakit.
4) Rasa lelah
Rasa lelah jarang dikeluhkan oleh pasien.

2.7.2 Gejala respiratorik (Setiati, 2014)


1) Batuk / batuk darah
Batuk terjadi karena adanya iritasi bronkus. Karena terlibatnya
bronkus pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru terjadi
setelah penyakit TB berkembang dalam jaringan paru setelah berminggu-
minggu atau berbulan-bulan peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari
batuk kering (non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan berubah
menjadi produktif (menghasilkan dahak). Batuk dapat menhasilkan darah
karena terdapat pembuluh darah kecil yang pecah.
2) Sesak nafas
Sesak nafas ditemukan pada penderita TB paru yang sudah lanjut,
dimana infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
3) Nyeri dada
Nyeri dada muncul bila infiltrasi sel radang telah sampai ke pleura
sehingga menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura sewaktu
pasien menarik nafas/melepaskan nafasnya.
4) Sering terserang flu
Daya tahan tubuh yang menurun menyebabkan tubuh rentan terhadap
infeksi lain seperti influenza.

2.8 Diagnosis tuberkulosis

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan


dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
1. Diagnosis klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada
atau tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama
adalah batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih.
Gejala tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak
nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat
badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam
walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes
RI, 2006).
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin
ditemukan konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu
demam (subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada
pemeriksaan fisik pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan
terutama pada kasus-kasus dini atau yang sudah terinfiltrasi secara
asimtomatik. Pada TB paru lanjut dengan fibrosis yang luas sering
ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot interkostal. Bila TB mengenai
pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga paru yang sakit akan terlihat
tertinggal dalam pernapasan, perkusi memberikan suara pekak, auskultasi
memberikan suara yang lemah sampai tidak terdengar sama sekali. Dalam
penampilan klinis TB sering asimtomatik dan penyakit baru dicurigai
dengan didapatkannya kelainan radiologis dada pada pemeriksaan rutin
atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
3. Pemeriksaan radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih
memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier
yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB
umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah
atau daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi
masih menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya
berupa bercak-bercak seperti awan dan dengan batas yang tidak tegas.
Bila lesi sudah diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa
bulatan dengan batas tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat
dengan densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas
dengan penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus
maupun pada satu bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat
berupa bercak-bercak halus yang umumnya tersebar merata pada seluruh
lapangan paru. Pada TB yang sudah lanjut, foto dada sering didapatkan
bermacam-macam bayangan sekaligus seperti infiltrat, garis-garis
fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun atelektasis dan emfisema (Bahar,
2007). Sebagaimana gambar TB paru yang sudah lanjut pada foto rontgen
dada di bawah ini :
Gambar 2.2 Tuberkulosis Yang Sudah Lanjut Pada Foto Rontgen Dada (Bahar,
2007)
4. Pemeriksaan bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga
pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif
(Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang.
Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis
sebagai penderita TB BTA positif. Kalau hasil rontgen tidak mendukung
TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum luas
(misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu. Bila
tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi
pemeriksaan dahak SPS. Kalau hasil SPS positif, didiagnosis sebagai
penderita tuberkulosis BTA positif. Kalau hasil SPS tetap negatif,
lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung diagnosis TB.
1) Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita TB
BTA negatif rontgen positif
2) Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut bukan
TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),
sebagaimana bisa dilihat di bawah ini :

Gambar 2.3 Alur Diagnosis Tuberculosis

Berdasarkan diagnosis di atas WHO pada tahun 1991 memberikan


kriteria pada pasien TB paru menjadi :
1) Pasien dengan sputum BTA positif adalah pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis ditemukan BTA,
sekurang kurangnya pada 2 kali pemeriksaan/1 sediaan sputumnya
positif disertai kelainan radiologis yang sesuai dengan gambaran TB
aktif /1 sediaan sputumnya positif disertai biakan yang positif.
2) Pasien dengan sputum BTA negatif adalah pasien yang pada
pemeriksaan sputumnya secara mikroskopis tidak ditemukan BTA
sama sekali, tetapi pada biakannya positif (Bahar, 2007).
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit
yang sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah
limfosit masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai
meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke
normal dan jumlah limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah
normal lagi. Hasil pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia
ringan dengan gambaran normokrom normositer, gama globulin
meningkat, dan kadar natrium darah menurun (Depkes RI, 2006).
c. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan ini masih banyak dipakai untuk membantu
menegakkan diagnosis TB terutama pada anak-anak (balita). Sedangkan
pada dewasa tes tuberkulin hanya untuk menyatakan apakah seorang
individu sedang atau pernah mengalami infeksi Mycobacterium
tuberculosis atau Mycobacterium patogen lainnya (Depkes RI, 2006).
Tes tuberkulin dilakukan dengan cara menyuntikkan 0,1 cc
tuberkulin P.P.D (Purified Protein Derivative) secara intrakutan. Dasar
tes tuberkulin ini adalah reaksi alergi tipe lambat. Setelah 48-72 jam
tuberkulin disuntikkan, akan timbul reaksi berupa indurasi kemerahan.
Cara penyuntikan tes tuberkulin dapat dilihat pada gambar di bawah ini
(Bahar, 2007):

Gambar 2.4. Penyuntikan Tes Tuberkulin


Berdasarkan indurasinya maka hasil tes mantoux dibagi dalam
(Bahar, 2007):
1) Indurasi 0-5 mm (diameternya) : Mantoux negatif = golongan no
sensitivity. Di sini peran antibodi humoral paling menonjol.
2) Indurasi 6-9 mm : Hasil meragukan = golongan normal sensitivity.
Di sini peran antibodi humoral masih menonjol.
3) Indurasi 10-15 mm : Mantoux positif = golongan low grade
sensitivity. Di sini peran kedua antibodi seimbang. d). Indurasi > 15
mm : Mantoux positif kuat = golongan hypersensitivity. Di sini peran
antibodi seluler paling menonjol.
Biasanya hampir seluruh penderita TB paru memberikan reaksi
mantoux yang positif (99,8%). Kelemahan tes ini adalah adanya positif
palsu yakni pada pemberian BCG atau terinfeksi dengan Mycobacterium
lain, negatif palsu pada pasien yang baru 2-10 minggu terpajan
tuberkulosis, alergi, penyakit sistemik serta (Sarkoidosis, LE), penyakit
eksantematous dengan panas yang akut (morbili, cacar air, poliomielitis),
reaksi hipersensitivitas menurun pada penyakit hodgkin, pemberian obat
imunosupresi, usia tua, malnutrisi, uremia, dan penyakit keganasan. Untuk
pasien dengan HIV, tes mantoux ± 5 mm, dinilai positif (Bahar, 2007).

2.9 Komplikasi tuberkulosis

Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan


Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura, empiema,
laringitis. Sedangkan komplikasi lanjut menyebabkan obstruksi jalan nafas,
kerusakan parenkim paru, kor pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan
sindrom gagal napas (terjadi pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).

2.10 Tipe penderita tuberkulosis

Tipe penderita TB berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu :


1. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan.
2. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
3. Pindahan (transfer in)
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan
di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form
TB. 09).
4. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
5. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil
BTA negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
6. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan
yang baik.
7. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya
(Depkes RI, 2006).
2.11 Pengobatan Tuberkulosis Paru

1. Prinsip pengobatan
Terdapat 2 macam aktifitas/sifat obat terhadap TB yaitu aktivitas
bakterisid di mana obat bersifat membunuh kuman–kuman yang sedang
tumbuh (metabolismenya masih aktif) dan aktivitas sterilisasi, obat bersifat
membunuh kuman-kuman yang pertumbuhannya lambat (metabolismenya
kurang aktif). Aktivitas bakterisid biasanya diukur dari kecepatan obat
tersebut membunuh/melenyapkan kuman sehingga pada pembiakan akan
didapatkan hasil yang negatif (2 bulan dari permulaan pengobatan).
Aktivitas sterilisasi diukur dari angka kekambuhan setelah pengobatan
dihentikan. Hampir semua OAT mempunyai sifat bakterisid kecuali
Etambutol dan Tiasetazon yang hanya bersifat bakteriostatik dan masih
berperan untuk mencegah resistensi kuman terhadap obat. Rifampisin dan
Pirazinamid mempunyai aktivitas sterilisasi yang baik, sedangkan INH dan
Streptomisin menempati urutan lebih bawah (Bahar & Amin, 2007).

2. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)


Obat-obat TB dapat diklasifikasikan menjadi 2 jenis regimen, yaitu
obat lapis pertama dan obat lapis kedua. Kedua lapisan obat ini diarahkan
ke penghentian pertumbuhan basil, pengurangan basil dormant dan
pencegahan resistensi. Obat-obatan lapis pertama terdiri dari Isoniazid,
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol dan Streptomisin. Obat-obatan lapis
dua mencakup Rifabutin, Ethionamid, Cycloserine, Para-Amino Salicylic
acid, Clofazimine, Aminoglycosides di luar Streptomycin dan Quinolones.
Obat lapis kedua ini dicadangkan untuk pengobatan kasus-kasus multi
drug resistance. Obat tuberkulosis yang aman diberikan pada perempuan
hamil adalah Isoniazid, Rifampisin, dan Etambutol (Bahar & Amin, 2007).
Jenis OAT lapis pertama dan sifatnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Jenis OAT Sifat Keterangan
Isoniazid Bakterisid Obat ini sangat efektif terhadap kuman
(H) terkuat dalam keadaan metabolik aktif, yaitu
kuman yang sedang berkembang.
Mekanisme kerjanya adalah
menghambat cell-wall biosynthesis
pathway
Rifampisin bakterisid Rifampisin dapat membunuh kuman
(R) semi-dormant (persistent) yang tidak
dapat dibunuh oleh Isoniazid.
Mekanisme kerjanya adalah
menghambat polimerase DNA-
dependent ribonucleic acid (RNA) M.
Tuberculosis

Pirazinamid bakterisid Pirazinamid dapat membunuh kuman


(Z) yang berada dalam sel dengan suasana
asam. Obat ini hanya diberikan dalam 2
bulan pertama pengobatan.
Streptomisin bakterisid obat ini adalah suatu antibiotik golongan
(S) aminoglikosida dan bekerja mencegah
pertumbuhan organisme ekstraselular.
Etambutol bakteriostatik -
(E)
Tabel 2.1. Jenis dan Sifat OAT. (Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007).

3. Regimen pengobatan (metode DOTS)


Pengobatan TB memerlukan waktu sekurang-kurangnya 6 bulan agar
dapat mencegah perkembangan resistensi obat, oleh karena itu WHO telah
menerapkan strategi DOTS dimana petugas kesehatan tambahan yang
berfungsi secara ketat mengawasi pasien minum obat untuk memastikan
kepatuhannya. Oleh karena itu WHO juga telah menetapkan regimen
pengobatan standar yang membagi pasien menjadi 4 kategori berbeda
menurut definisi kasus tersebut, seperti bisa dilihat pada tabel di bawah ini
(Bahar & Amin, 2007) :
Kategori Paduan pengobatan TB
pengobatan Pasien TB alternatif
TB Fase awal Fase
(setiap hari / 3 lanjutan
x seminggu)
I Kasus baru TB paru dahak 2 EHRZ 6 HE
positif; kasus baru TB paru (SHRZ) 4 HR
dahak negatif dengan 2 EHRZ 4 H 3 R3
kelainan luas di paru; kasus (SHRZ)
baru TB ekstra-pulmonal 2 EHRZ
berat (SHRZ)
II Kambuh, dahak positif; 2 SHRZE / 1 5 H3R3E3
pengobatan gagal; HRZE 5 HRE
pengobatan setelah terputus 2 SHRZE / 1
HRZE
III Kasus baru TB paru dahak 2 HRZ atau 6 HE
negatif (selain dari kategori 2H3R3Z3
I); kasus baru TB ekstra- 2 HRZ atau 2 HR/4H
pulmonal yang tidak berat 2H3R3Z3
2 HRZ atau 2 H3R3/4H
2H3R3Z3
IV Kasus kronis (dahak masih TIDAK DIPERGUNAKAN
positif setelah menjalankan (merujuk ke penuntun WHO
pengobatan ulang) guna pemakaian obat lini
kedua yang diawasi pada
pusat-pusat spesialis)
Tabel 2.2. Berbagai Paduan Alternatif Untuk Setiap Kategori Pengobatan
Sesuai tabel di atas, maka paduan OAT yang digunakan untuk program
penanggulangan tuberkulosis di Indonesia adalah (Bahar & Amin, 2007):
a. Kategori I : 2HRZE (S) / 6HE.
Pengobatan fase inisial regimennya terdiri dari 2HRZE (S) setiap hari
selama 2 bulan obat H, R, Z, E atau S. Sputum BTA awal yang positif
setelah 2 bulan diharapkan menjadi negatif, dan kemudian dilanjutkan ke
fase lanjutan 4HR atau 4 H3 R3 atau 6 HE. Apabila sputum BTA masih
positif setelah 2 bulan, fase intensif diperpanjang dengan 4 minggu lagi
tanpa melihat apakah sputum sudah negatif atau tidak.
b. Kategori II : 2HRZES/1HRZE/5H3R3E3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZES/1HRZE yaitu R dengan
H, Z, E, setiap hari selama 3 bulan, ditambah dengan S selama 2 bulan
pertama. Apabila sputum BTA menjadi negatif fase lanjutan bisa segera
dimulai. Apabila sputum BTA masih positif pada minggu ke-12, fase
inisial dengan 4 obat dilanjutkan 1 bulan lagi. Bila akhir bulan ke-2
sputum BTA masih positif, semua obat dihentikan selama 2-3 hari dan
dilakukan kultur sputum untuk uji kepekaan, obat dilanjutkan memakai
fase lanjutan, yaitu 5H3R3E3 atau 5 HRE.
c. Kategori III : 2HRZ/2H3R3
Pengobatan fase inisial terdiri dari 2HRZ atau 2 H3R3, yang dilanjutkan
dengan fase lanjutan 2HR atau 2 H3R3.
d. Kategori IV : Rujuk ke ahli paru atau menggunakan INH seumur hidup
Pada pasien kategori ini mungkin mengalami resistensi ganda,
sputumnya harus dikultur dan dilakukan uji kepekaan obat. Seumur hidup
diberikan H saja sesuai rekomendasi WHO atau menggunakan pengobatan
TB resistensi ganda (MDR-TB).
Selain 4 kategori di atas, disediakan juga paduan obat sisipan (HRZE). Obat
sisipan akan diberikan bila pasien tuberkulosis kategori I dan kategori II pada
tahap akhir intensif pengobatan (setelah melakukan pengobatan selama 2
minggu), hasil pemeriksaan dahak/sputum masih BTA positif (Depkes RI, 2006).
4. Dosis obat
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia
secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan
pasien (Bahar & Amin, 2007):
Jenis Dosis

Isoniazid (H)  harian : 5mg/kg BB


 intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z)  harian : 25mg/kg BB


 intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)  harian = intermiten : 15 mg/kgBB
 usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
 usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E)  harian : 15mg/kg BB
 intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
Tabel 2.3. Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia. (Depkes RI, 2006)
5. Kombinasi obat
Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) untuk paduan
OAT kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah kombinasi 2 atau 4
jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang diminum)
disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini dikemas dalam 1
paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan OAT-
KDT untuk kategori I, II dan sisipan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini (Depkes RI, 2006) :
Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
Tabel 2.4. Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3. (Depkes RI,
2006)

Berat Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan3x seminggu


badan RHZE (150/75/400/275) RH (150/150) + E (400)
+S
Selama 58 hari Selama 28 hari Selama 2 Minggu
30 – 37 kg 2 tab 4KDT + 500mg 2 tab 4KDT 2 tab 2KDT + 2 tab
Streptomisin inj Etambutol
38 – 54 kg 3 tab 4KDT + 750mg 3 tab 4KDT 3 tab 2KDT + 3 tab
Streptomisin inj Etambutol
55 – 70 kg 4 tab 4KDT + 1000mg 4 tab 4KDT 4 tab 2KDT + 4 tab
Streptomisin inj Etambutol
> 71 kg 5 tab 4KDT + 1000mg 5 tab 4KDT 5 tab 2KDT + 5 tab
Streptomisin inj Etambutol
Tabel 2.5. Dosis Paduan OAT KDT Kategori II: 2(RHZE)S/(RHZE)/5(HR)3E3.
(Depkes RI, 2006)

Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari


RHZE (150/75/400/275)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT
≥ 71 kg 5 tablet 4KDT
Tabel 2.6. Dosis OAT untuk Sisipan. (Depkes RI, 2006)
6. Efek samping pengobatan
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda
pada tiap pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini
:
Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid tanda-tanda keracunan pada Hepatitis, ikhterus
(H) syaraf tepi, kesemutan, nyeri
otot dan gangguan
kesadaran. Kelainan yang
lain menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain gatal-
gatal.

Rifampisin gatal-gatal kemerahan kulit, Hepatitis, sindrom


(R) sindrom flu, sindrom perut. respirasi yang ditandai
dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut,
gagal ginjal
Pirazinamid Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,
(Z) demam, mual dan kemerahan serangan arthritis gout

Streptomisin Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII


(S) demam, sakit kepala, muntah yang berkaitan dengan
dan eritema pada kulit keseimbangan dan
pendengaran
Etambutol Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna
(E) berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan
Tabel 2.7. Efek Samping Pengobatan dengan OAT. (Depkes RI, 2006)
Untuk mencegah terjadinya efek samping OAT perlu dilakukan
pemeriksaan kontrol, seperti (Bahar & Amin, 2007):
a. Tes warna untuk mata, bagi pasien yang memakai Etambutol
b. Tes audiometri bagi pasien yang memakai Streptomisin
c. Pemeriksaan darah terhadap enzim hepar, bilirubin, ureum/kreatinin,
darah perifer dan asam urat (untuk pasien yang menggunakan
Pirazinamid)
2.12 Hasil pengobatan tuberkulosis

World Health Organization (1993) menjelaskan bahwa hasil pengobatan


penderita tuberkulosis paru dibedakan menjadi :
1. Sembuh: bila pasien tuberkulosis kategori I dan II yang BTA nya negatif
2 kali atau lebih secara berurutan pada sebulan sebelum akhir
pengobatannya.
2. Pengobatan lengkap: pasien yang telah melakukan pengobatan sesuai
jadwal yaitu selama 6 bulan tanpa ada follow up laboratorium atau hanya
1 kali follow up dengan hasil BTA negatif pada 2 bulan terakhir
pengobatan.
3. Gagal: pasien tuberkulosis yang BTA-nya masih positif pada 2 bulan dan
seterusnya sebelum akhir pengobatan atau BTAnya masih positif pada
akhir pengobatan.
Pasien putus berobat lebih dari 2 bulan sebelum bulan ke-5 dan BTA
terkhir masih positif.
Pasien tuberkulosis kategori II yang BTA menjadi positif pada bulan ke-
2 dari pengobatan.
4. Putus berobat/defaulter: pasien TB yang tidak kembali berobat lebih dari
2 bulan sebelum bulan ke-5 dimana BTA terakhir telah negatif.
5. Meninggal: penderita TB yang meninggal selama pengobatan tanpa
melihat sebab kematiannya.

2.13 Evaluasi pengobatan

Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang


bisa digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
1. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan
pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan
bertambah, berat badan meningkat dll.
2. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA
mulai menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan
sekali sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA
langsung dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan
resistensi dilakukan pada pasien baru yang BTA-nya masih positif
setelah tahap intensif dan pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan
pengobatan ulang (retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap
diperiksakan sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif
pada 3 kali pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya
telah sembuh mulai kambuh lagi.
3. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada
akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti
timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya
tetap batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan
TB parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena
perubahan gambar radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis,
evaluasi foto dada dilakukan setiap 3 bulan sekali (Bayupurnama, 2007).
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian adalah studi deskriptif dengan desain case series.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Sorawolio Kecamatan
Sorawolio Kota Baubau. Pemilihan lokasi ini atas dasar pertimbangan bahwa
belum pernah dilakukan penelitian tentang karakteristik penderita
tuberkulosis paru di Puskesmas Sorawolio, Kecamatan Sorawolio, Kota
Baubau sebelumnya.

3.2.2.Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan April-Juni 2019.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah semua penderita TB yang tercatat
di Puskesmas Sorawolio yang sementara atau masih menjalani pengobatan
tuberculosis selama periode Januari-Mei 2019 yaitu sebanyak 8 orang.

3.3.2. Sampel
Sampel yaitu t dimana besar sampel adalah 7 orang, 1 orang diekslusi
dari sampel penelitian karena meninggal dunia.

3.4. Metode Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan adalah data primer yang diperoleh dari kuesioner
penelitian yang disebar kemudian diisi langsung oleh sampel penelitian.

3.5. Defenisi Operasional

a. Penderita tuberculosis adalah penderita tuberculosis yang ditetapkan


oleh dokter sebagai penderita TB berdasarkan hasil pemeriksaan
penunjang bakteriologis ataupun radiologi.
b. Sosiodemografi
1. Umur adalah umur penderita TB yang pertama kali kunjungan ke
Puskesmas sebagaimana berdasarkan kriteria Riskesdas (2013)
dikategorikan sebagai berikut:
- 15-24 Tahun
- 25-34 Tahun
- 35-44 Tahun
- 45-54 Tahun
- 55-64 Tahun
- 65-74 Tahun
Untuk analisa statistik umur dikategorikan menjadi (Depkes, 2017),
yakni Produktif (15-50 tahun) dan Tidak produktif (<15 tahun
dan>50 tahun).
2. Jenis kelamin adalah jenis kelamin penderita TB terdiri dari Laki-
laki dan Perempuan
3. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang dicapai
penderita TB dikategorikan berdasarkan kriteria Riskesdas (2013)
menjadi Tamat SD, Tamat SMP, Tamat SMA, Tamat D1-D3/PT
4. Status pekerjaan adalah kegiatan atau aktifitas rutin yang dilakukan
penderita TB, dikategorikan berdasarkan Riskesdas (2013) menjadi
Tidak Bekerja, Pegawai, Wiraswasta, Petani/Nelayan/Buruh, , Ibu
Rumah Tangga
c. Gejala adalah gejala yang dialami oleh penderita TB sebelum
terdiagnosis tuberculosis yang terdiri atas batuk lama 2-3 minggu, batuk
berdarah, demam 2-3 minggu, penurunan berat badan > 5 kg tanpa sebab
yang jelas, badan terasa lemas, keringat malam hari serta gejala lainnya.
d. Faktor resiko adalah factor resiko yang dimiliki penderita TB sehingga
rentan terinfeksi tuberculosis yang terdiri dari riwayat kontak, merokok,
status imunitas ( terinfeksi HIV, menderita Diabetes mellitus, penyakit
ginjal atau kanker, penggunaan obat-obat imunosupresor), status gizi
kurang (sebelum terdiagnosis TB), lingkungan ( ventilasi, pencahayaan,
kelembapan, kepadatan penduduk)
e. Pemeriksaan penunjang adalah hasil pemeriksaan tambahan yang
digunakan untuk mendiagnosis pasti penderita tuberculosis terdiri dari
BTA positif, BTA negative dengan foto thorax terinfeksi TB, ataupun
dengan pemeriksaan penunjang lainnya ( biopsy, kultur).
f. Tipe penderita, adalah tipe dari seorang penderita TB yang ditentukan
atas riwayat pengobatan sebelumnya yang terdiri dari Kasus Baru dan
Kasus Kambuh.
g. Kepatuhan berobat adalah ketaatan penderita untuk minum obat secara
teratur dan terus menerus sampai akhir pengobatan yang tercatat pada
kartu status yang terdiri dari:
- Patuh (selalu aktif mengambil obat sesuai dengan tanggal perjanjian)
- Tidak patuh (lebih dari 2 kali tidak pernah mengambil obat)

3.6. Teknik Analisa Data

Data yang diperoleh diolah dengan menggunakan bantuan komputer


program Microsoft Office Excel 2016 untuk mengetahui distribusi frekuensi...
Hasil pengolahan data disajikan dalam bentuk table distribusi frekuensi, diagram
pie, dan diagram bar.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sosiodemografi Penderita Tuberculosis

Hasil penelitian tentang karakteristik penderita tuberculosis di Puskesmas


Sorawolio periode Januari – Mei 2019, diperoleh distribusi berdasarkan
sosiodemografi ( jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan pekerjaan) dapat
dilihat pada table 4.1 berikut ini.
Table 4.1 Distribusi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari –
Mei 2019 berdasarkan sosiodemografi ( jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, dan
pekerjaan)

Jumlah
Variabel
N %
Jenis Kelamin Laki-laki 4 57,1 %
Perempuan 3 42,9 %
Total 7 100 %
Umur Produktif ( 15-50 tahun) 4 57,1 %
Tidak Produktif (<15 dan >50 3 42,9 %
tahun)
Total 7 100 %
Pendidikan Tidak sekolah/tamat SD 1 14,3 %
Tamat SMP 2 28,6 %
Tamat SMA 4 57,1 %
Perguruan Tinggi 0 0%
Total 7 100 %
Pekerjaan Tidak/Belum Bekerja 0 0%
Ibu Rumah Tangga 2 28,6 %
Wiraswasta 3 42,9 %
PNS/Pegawai 0 0%
Petani/Buruh/Sopir 2 28,6 %
Total 7 100 %

Dari table 4.1 diketahui bahwa sampel berjenis kelamin laki-laki sebanyak
4 orang ( 57,1%), sementara sampel berjenis kelamin perempuan berjumlah 3
orang ( 42,9%). Berdasarkan umur, sampel terbanyak berada pada usia produktif
(15-50 tahun) 57,1 % dan sisanya merupakan usia non produktif ( > 50 tahun)
42,9%. Berdasarkan jenjang pendidikan diketahui 4 orang tamat SMA ( 57,1%), 2
orang tamat SMP ( 28,6%), 1 orang tamat SD (14,3%) dan tidak ada yang
melanjutkan ke perguruan tinggi (0%). Berdasarkan pekerjaan, didapatkan sampel
terbanyak bekerja sebagai wiraswasta ( 42,9 %), sementara sisanya bekerja
sebagai IRT (28,6%) dan petani (28,6%).

43%
Laki-laki
57%
Perempuan

Gambar 4.1 Diagram distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

Dari data di atas diketahui bahwa penderita tuberculosis di Puskesmas


Sorawolio periode Januari-Mei 2019 lebih banyak berjenis kelamin laki-laki
(57%) dibandingkan perempuan (43%). Hal ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Pangalo, dkk (2018) yang menunjukan laki-laki lebih rentan
terhadap infeksi tuberculosis sebesar 53,3%. Hasil yang sama juga didapatkan
oleh Apsari (2018), dimana penderita tuberculosis berjenis kelamin laki-laki
mencapai 74,8%.
Di Indonesia, jumlah kasus pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan
yaitu 1,5 kali dibandingkan pada perempuan. Pada masing-masing provinsi di
seluruh Indonesia kasus lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan
perempuan (Kementerian Kesehatan RI, 2016). Hal ini terjadi karena laki-laki
memiliki aktivitas yang lebih tinggi dibandingkan perempuan sehingga
kemungkinan terpapar lebih besar pada laki-laki. Selain itu, kecenderungan
kejadian tuberculosis pada laki-laki dipengaruhi oleh gaya hidup seperti merokok
dan minum alcohol yang meningkatkan resiko untuk terkena tuberculosis ( Azhar,
2013)

43% Tidak Produktif


57% Produktif

Gambar 4.2 Diagram distribusi sampel berdasarkan umur

Diagram di atas menunjukkan bahwa proporsi penderita tuberculosis di


Puskesmas Sorawolio periode Januari-Mei 2019 berada pada usia produktif ( 15-
50 tahun) yaitu 57 %. Hasil ini didukung oleh beberapa penelitian lain yang
menunjukan penderita tuberculosis lebih banyak berada pada usia produktif
sebanyak 71,1 % (Ketut, 2009), 71,6 % (Widhiasnasir, 2017), dan 66,7%
(Pangalo, 2018).
Di Indonesia diperkirakan 75% penderita Tuberkulosis Paru adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Kementrian Kesehatan RI,2010).
Karena Pada usia produktif selalu dibarengi dengan aktivitas yang meningkat
sehingga banyak berinteraksi dengan kegiatan kegiatan yang banyak pengaruh
terhadap resiko tertular penyakit tuberkulosis paru.
0%
14%
Tamat SD
Tamat SMP

57% 29% Tamat SMA


Perguruan Tinggi

Gambar 4.3 Diagram distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan

Berdasarkan diagram di atas di ketahui bahwa penderita tuberculosis di


Puskesmas Sorawolio periode Januari-Mei 2019 umumnya telah menamatkan
pendidikan SMA ( 57 %). Pendidikan berkaitan dengan pengetahuan yang
nantinya berhubungan dengan upaya pencarian pengobatan. Pengetahuan yang
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor pencetus
(predisposing) yang berperan dalam mempengaruhi keputusan seseorang untuk
berperilaku sehat. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka pengetahuan
tentang TB semakin baik sehingga pengendalian agar tidak tertular dan upaya
pengobatan bila terinfeksi juga maksimal (Nurjana, 2015).
0%
29% 28% Tidak bekerja
IRT
Wiraswasta
0% PNS/Pegawai
Petani

43%

Gambar 4.4 Diagram distribusi sampel berdasarkan pekerjaan

Dari data di atas diketahui bahwa penderita tuberculosis di Puskesmas


Sorawolio periode Januari-Mei 2019 sebanyak 43 % bekerja sebagai wiraswasta.
Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk Kecamata Sorawolio umumnya
memperoleh penghasilan dari berdagang. Menurut hasil Riskesdas tahun 2013,
distribusi penderita TB paru berdasarkan jenis pekerjaan terbanyak ditemukan
pada nelayan dan paling rendah pada PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD. Proporsi
penduduk yang terdiagnosis TB paru berdasarkan tingkat pekerjaan pada
penderita TB paru yang tidak bekerja 11,7%, pegawai 10,5%, wiraswasta 9,5,
petani/nelayan/buruh 8,6%, dan lainnya 8,1 % (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Pekerjaan berpengaruh kepada tingkat kesehatan karena jenis pekerjaan seseorang
akan mempengaruhi pendapatan keluarganya. Penurunan pendapatan dapat
menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi
makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi juga terhadap upaya
untuk mencari pengobatan. (Apsari, 2018)
4.2 Gejala Penderita Tuberculosis

Hasil penelitian tentang karakteristik penderita tuberculosis di Puskesmas


Sorawolio periode Januari – Mei 2019, diperoleh distribusi berdasarkan gejala
dapat dilihat pada table berikut.
Tabel 4.2 Distribusi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari –
Mei 2019 berdasarkan gejala

Jumlah
Variabel
N %
Gejala Batuk yang tidak kunjung 6 85,7%
sembuh lebih dari 2-3 minggu
Batuk berdarah 2 28,6%
Penurunan berat badan lebih 7 100%
dari 5 kg tanpa sebab yang
jelas
Demam lebih dari 2 minggu 2 28,6%
Keringat malam tanpa sebab 4 57,1%
yang jelas
Badan terasa lemas dan lelah 3 42,9%
tanpa sebab yang jelas
Gejala lain 2 28,6 %

Berdasarkan table 4.2 diketahui bahwa semua sampel mengalami gejala


penurunan berat badan lebih dari 5 kg tanpa sebab yang jelas (100%), sementara
untuk gejala batuk yang tidak kunjung sembuh lebih dari 2-3 minggu dialami
oleh 6 orang (85,7%). Selain itu, juga terdapat gejala lain yang di alami oleh 2
orang (28,6%) yaitu berupa sesak dan pembesaran kelenjar di leher.
120,00%
100%
100,00%
85,70%
80,00%

57,10%
60,00%
42,90%
40,00%
28,60% 28,60% 28,60%

20,00%

0,00%
Gejala

Batuk 2-3 minggu Batuk darah Penurunan BB > 5kg Demam > 2minggu
Keringat malam Badan lemas Gejala lain

Gambar 4.5 Grafik distribusi sampel berdasarkan gejala

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa gejala yang dialami oleh


penderita tuberculosis bervariasi tergantung individunya dan umumnya
mengalami lebih dari satu gejala. Untuk penderita tuberculosis paru, batuk
merupakan gejala yang paling banyak ditemukan dan yang paling dini dikeluhkan
(Setiati, 2014). Penjelasan ini sesuai dengan hasil yang ditemukan dimana 6 dari
7 penderita tuberculosis mengalami batuk lama 2-3 minggu ( 85,7%). Sementara 1
orangnya ( 14,3%) tidak mengeluhkan batuk karena merupakan penderita
tuburkulosis ekstraparu, dimana gejala yang dikeluhkan adalah adanya benjolan di
sekitar leher.
Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah,
batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang
lebih dari satu bulan. Gejala yang dirasakan oleh seluruh penderita tuberculosis
di Puskesmas Sorawolio periode Januari-Mei 2019 adalah berupa penurunan berat
badan > 5 kg tanpa sebab yang jelas (100%). Hal ini dikarenakan umumnya
penderita tuberculosis mengalami penurunan nafsu makan atau anoreksia. Pasien
biasanya tidak merasakan penurunan berat badan. Sebaiknya, berat badan
ditanyakan pada saat sekarang dan waktu pasien belum sakit ( Setiati, 2014).
4.3 Faktor Resiko Penderita Tuberculosis

Hasil penelitian tentang karakteristik penderita tuberculosis di Puskesmas


Sorawolio periode Januari – Mei 2019 berdasarkan factor resiko diperoleh seperti
pada table berikut.
Tabel 4.3 Distribusi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari –
Mei 2019 berdasarkan factor resiko

Jumlah
Variabel
N %
Faktor resiko Riwayat kontak 4 57,1%
Status imunitas menurun 1 14,3%
Merokok 2 28,6%
Lingkungan 2 28,6%
Status gizi kurang 2 28,6 %

Bedasarkan tabel 4.3 di ketahui bahwa sampel yang memiliki factor resiko
berupa riwayat kontak sebanyak 4 orang (57,1%), status imunitas menurun 1
orang ( 14,3%), sementara sampel yang memiliki factor resiko merokok,
lingkungam dan status gizi kurang masing-masing 2 orang ( 28,6%).

60,00% 57,10%

50,00%

40,00%

28,60% 28,60% 28,60%


30,00%

20,00%
14,30%

10,00%

0,00%
Faktor Resiko

Riwayat kontak Status imunitas Merokok Lingkungan Status gizi

Gambar 4.6 Grafik distribusi sampel berdasarkan factor resiko


Berdasarkan data di atas diketahui bahwa penderita tuberculosis di
Puskesmas Sorawolio periode Januari-Mei 2019 sebanyak 57,1% memiliki factor
resiko berupa riwayat kontak. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan
oleh Pangalo, dkk (2018) yang menunjukkan 53,3% penderita tuberculosis
memiliki riwayat kontak langsung dengan penderita Tuberkulosis Paru. Nilai
Odds Rasio dalam penelitian tersebut adalah lima, berarti subjek penelitian yang
pernah memiliki riwayat kontak dengan penderita memiliki risiko lima kali lebih
besar untuk terkena Tuberkulosis Paru ( Pangalo, 2018). Riwayat kontak anggota
keluarga yang serumah dan terjadi kontak lebih dari atau sama dengan 3 bulan
berisiko untuk terjadinya TB paru terutama kontak yang berlebihan melalui
penciuman, pelukan, berbicara langsung.
Penularan tuberkulosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau
dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei dalam udara sekitar kita. Partikel infeksi
ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung pada ada
tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan kelembaban. Tingkat
penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif
dan foto Toraks positif adalah 17% (Dirjen P2&PL, 2014).
Faktor resiko lain yang juga terdapat pada penderita tuberculosis di
Puskesmas Sorawolio periode Januari-Mei 2019 adalah merokok ( 28,6%).
Lingkungan (28,6%), satus gizi (28,6%) dan status imunitas (14,3%). Berdasarkan
penelitian oleh Pangola, dkk. (2018) diketahui bahwa merokok juga menjadi
factor resiko terjadinya penyakit tuberculosis. Analisis besar risiko untuk
kebiasaan merokok adalah 1,592 dimana disimpulkan bahwa subjek yang
memiliki kebiasaan merokok berisiko 1,59 kali lebih besar tertular Tuberkulois
Paru BTA positif dibandingkan dengan subjek yang tidak memiliki kebiasan
merokok. Merokok meningkatkan risiko terjadinya TB paru sebab mengganggu
pembersihan sekresi mukosa, menurunkan kemampuan fagosit makrofag alveolar,
dan menurunkan respon imun dan atau limfopenia CD4+ akibat kandungan
nikotin dalam rokok (Narasimhan, 2013).
Lingkungan turut menjadi factor resiko penting dalam penularan
tuberculosis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muslimah (2019)
diketahui bahwa lingkungan fisik berupa suhu, kelembapan dan pencahayann
memeberikan hasil signifikan dengan nilan p-value < 0,000. Penelitian
Widiyarsih (2015) memiliki hasil yang sama bahwa terdapat nilai signifikansi
hubungan suhu dengan kejadian TB Paru Analisis lanjutan mengindikasikan
bahwa responden yang tinggal pada suhu ruangan tidak sesuai berisiko 3,125 kali
untuk mengalami TB Paru dibandingkan dengan responden yang tinggal pada
suhu ruangan sesuai peraturan. Penelitian yang dilakukan oleh Kenedyanti (2007)
menyatakan bahwa bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat tumbuh dengan
optimum pada rentang suhu 25oC – 400C, dan dapat berkembang dengan
optimum pada suhu 31oC – 370C sehingga memungkinkan terjadi penularan TB.
Kelembaban merupakan salah satu faktor yang memiliki hubungan sangat
kuat dengan kejadian TB Paru, dibuktikan pada hasil penelitian tahun 2015 di
UPK Puskesmas Perum 2 Kota Pontianak dengan nilai OR= 4,643 (p value 0,007)
(Widiyarsih, 2015). Kelembaban yang tinggi (>60%) dengan mudah menjadi
tempat hidup bakteri dan mendukung keberadaan bakteri tersebut di suatu ruangan
sehingga mempermudah penularanya (Muslimah, 2019). Pencahayaan ruangan
yang tidak memenuhi syarat akan mempunyai peluang 3,7 kali untuk tetular TB
paru dibandingkan dengan rumah dengan kondisi yang memeuhi syarat.
Begitupun luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat juga akan berpeluang 5,2
kali untuk tertular TB paru (Kurniasari, 2012).
Seseorang yang malnutrisi dua kali lebih berisiko menderita TB. Pasien
dengan TB paru sering ditemukan dengan keadaan kekurangan nutrisi seperti
vitamin A, B complex, C dan E, dan selenium yang mendasar dalam integritas
respon imun. Studi menunjukkan, kadar serum vitamin D yang menurun
meningkatkan risiko TB paru (Miyata, 2013). Cegielski, et al ( 2012)
menerangkan status gizi yang buruk mengganggu sistem imun yang diperantarai
Limfosit-T. Hal itu memudahkan terjadinya penyakit infeksi termasuk TB paru.
Hanya 10% dari yang terinfeksi basil TB akan menderita penyakit TB Setelah
terjadi infeksi primer dan sampai pada akhirnya basil TB menyebar ke seluruh
tubuh banyaknya basil TB yang masuk dan daya tahan tubuh host akan
menentukan perjalanan penyakit selanjutnya (Widhiasnasir, 2017).
Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB
adalah daya talan tubuh yang rendah, di antaranya akibat infeksi HIV/AIDS,
penggunaan obat-obat imunisupresor jangka panjang( kortikosteroid), penyakit
ginjal, kanker maupun diabetes mellitus. Pada penelitian ini, diketahui bahwa
yang menjadi factor resiko menurunya stus imunitas penderita adalah diabetes
mellitus. Seseorang dengan diabetes mellitus (DM) lebih berisiko menderita TB
paru dibbandingkan dengan yang tidak mendrita DM. Hal ini disebabkan karena
DM secara langsung merusak respon imunitas innate dan adaptif, dengan
demikian proliferasi bakteri penyebab TB semakin meningkat. Pasien dengan DM
menurunkan produksi IFN-ɣ dan sitokin lainnya sehingga sel T berkurang dan
reduksi chemotaxis netrofil (Narasimhan, 2013).

4.4 Pemeriksaan Penunjang Penderita Tuberculosis

Hasil penelitian tentang karakteristik penderita tuberculosis di Puskesmas


Sorawolio periode Januari – Mei 2019 berdasarkan pemeriksaan penunjang
terdapat pada tabel berikut.
Tabel 4.4 Distribusi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari –
Mei 2019 berdasarkan pemeriksaan penunjang

Jumlah
Variabel
N %
Pemeriksaan Sputum BTA 3x 1 14,3%
penunjang Foto rontgen thorax 5 71,4%
Pemeriksaan lainnya 1 14,3%
Total 7 100%

Dari tabel 4.4 didapatkan hasil bahwa pemeriksaan penunjang terbanyak


untuk diagnosis tuberculosis adalah berdasarkan foto rontgen thorax (71,4%),
sementara sisanya didiagnosis berdasarkan hasil pemeriksaan sputum BTA 3x
sebanyak 1 orang(14,3%) dan pemeriksaan lainnya ( biopsy kelenjar) sebanyak 1
orang (14,3%).
14% 14%

Sputum BTA

Foto rontgen thorax

Pemeriksaan lainnya

72%

Gambar 4.7 Diagram distribusi sampel berdasarkan pemeriksaan penunjang

Berdasarkan diagram di atas diketahui bahwa 72 % penderita tuberculosis


di Puskesmas Sorawolio periode Januari-Mei 2019 didiagnosis berdasarkan pada
pemeriksaan foto thorax. Hasil ini menunjukkan bahwa foto thorax dapat
digunakan sebagai pemeriksaan penunjang untuk melakukan diagnosis pasti
penyakit tuberculosis. Pemeriksaan radiologi (foto thorax) untuk menegakkan
diagnosa TB paru dilakukan bila pemeriksaan sputum hampir selalu negative
( Setiati, 2014).
Dalam upaya pengendalian TB secara Nasional, maka diagnosis TB paru
pada orang dewasa harus ditegakkan terlebih dahulu dengan dengan pemeriksaan
bakteriologis dalam hal ini pemeriksaan sputum BTA SPS ( Sewaktu, Pagi,
Sewaktu) atau kultur. Apabila pemeriksaan secara bakteriologis diperoleh hasil
negatif, maka penegakan diagnosis TB dapat dilakukan secara klinis
menggunakan hasil pemeriksaan klinis dan foto thorax (Kemenkes RI, 2014).
4.5 Tipe Penderita Tuberculosis

Hasil penelitian tentang karakteristik penderita tuberculosis di Puskesmas


Sorawolio periode Januari – Mei 2019 berdasarkan tipe penderita terdapat pada
tabel berikut.
Tabel 4.5 Distribusi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari –
Mei 2019 berdasarkan tipe penderita

Jumlah
Variabel
N %
Tipe Penderita Kasus baru 7 100 %
Kasus kambuh 0 0%
Total 7 100%

Dari table 4.5 diketahui bahwa semua sampel (100 %) merupakan tipe
penderita kasus baru yaitu penderita yang belum memiliki riwayat pengobatan
tuberculosis sebelumnya. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Apsari (2018) yang menunjukkan 97,8% sampel merupakan tipe penderita kasus
baru. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Widhiasnasir (2017) yaitu sebanyak
171 sampel (90 %). Tingginya jumlah penderita TB paru baru menunjukkan
bahwa tingkat penularan semakin tinggi.

4.6 Kepatuhan Minum Obat Penderita Tuberculosis

Hasil penelitian tentang karakteristik penderita tuberculosis di Puskesmas


Sorawolio periode Januari – Mei 2019 berdasarkan kepatuhan minum obat terdapat
pada tabel berikut.

Jumlah
Variabel
N %
Kepatuhan Patuh 7 100 %
Minum Obat Tidak patuh 0 0%
Total 7 100%
Pengawas Keluarga 7 100 %
Minum Obat Petugas kesehatan 0 0%
Total 7 100 %
Berdasarkan tabel 4.6 diketahui bahwa semua sampel patuh meminum
obatnya (100 %), sementara yang menjadi pengawas minum obatnya adalah
keluarga (100 %). Penelitian Apsari (2018) di Puskesmas Batu Anam Kecamatan
Siantar Kabupaten Simalungun memperoleh hasil proporsi tertinggi terdapat pada
penderita yang patuh menjalani pengobatan sebesar 90,1%. Penelitian Amiruddin
(2009), menunjukkan bahwa terdapat 3 variabel yang memengaruhi terjadinya
kesembuhan dalam pengobatan penderita TB Paru di kota Ambon yakni pengawas
menelan obat (PMO), kepatuhan berobat penderita TB Paru dan motivasi pasien
TB Paru dalam berobat ( Sari, 2019)
Dukungan keluarga yang dalam hal ini bertindak sebagai PMO merupakan
salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan untuk pengobatan tuberculosis.
Keluarga berperan dalam memotivasi dan mendukung pasien TB paru untuk
berobat secara teratur. Adanya faktor tersebut dapat mempengaruhi perilaku
minum obat pasien sehingga dapat mendukung jalannya pengobatan secara teratur
sampai pasien dinyatakan sembuh oleh petugas kesehatan (Sari, 2019).

4.7 Pencegahan Tuberculosis

Dari penelitian ini dapat diketahui karakteristik penderita tuberculosis di


Puskesmas Sorawolio peroide Januari-Mei 2019, dan dapat dijadikan acuan
melakukan kegiatan intervensi berupa pencegahan tuberculosis di wilayah kerja
Puskesmas Sorawolio. Dalam buku Kementrian Kesehatan RI, 2010 upaya
pencegahan yang harus dilakukan dapat dikelompokkan menjadi.

4.7.1 Pencegahan Primer


Pencegahan primer yaitu upaya awal pencegahan penyakit Tuberkulosis
Paru sebelum seseorang menderita Tuberkulosis Paru. Pencegahan ini
ditujukan kepada kelompok yang mempunyai faktor risiko tinggi. Dengan
adanya pencegahan ini diharapkan kelompok berisiko ini dapat mencegah
berkembangnya Tuberkulosis Paru secara dini. Pecegahan primer dapat
dilakukan dengan cara:
1) Imunisasi BCG
2) Menjalankan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), antara lain :
a. Menjemur peralatan tidur.
b. Membuka jendela dan pintu setiap pagi agar udara dan sinar
matahari masuk.
c. Aliran udara (ventilasi) yang baik dalam ruangan dapat
mengurangi jumlah bakteri di udara. Sinar matahari langsung dapat
mematikan bakteri.
d. Makan makanan bergizi.
e. Tidak merokok dan minum-minuman keras.
f. Lakukan aktivitas fisik/olahraga secara teratur.
g. Mencuci tangan, peralatan makan dan minuman dengan air bersih
mengalir dan memakai sabun.

4.7.2 Pencegahan Sekunder


Diagnosis dini dan pengobatan menjadi strategi kedua yang dilakukan
dalam upaya pencegahan sekunder. Diagnosis dengan tepat berdasarkan gejala
yang diketahui dari anamnesis, dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik dan
dipastikan dengan melakukan pemeriksaan penunjang. Minum obat
tuberkulosis secara lengkap dan teratur sampai sembuh. Pengobatan
tuberkulosis paru bertujuan untuk menyembuhkan penderita, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan mata rantai penularan dan
mencegah terjadinya resistensi bakteri terhadap Obat Anti Tuberkulosis
(OAT). Untuk menjamin kepatuhan penderita minum obat, dilakukan
pengawasan langsung oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).
Pengobatan tuberkulosis diberikan dalam 2 tahap yaitu tahap intensif dan
Lanjut. Tahap Intensif yaitu penderita mendapat obat setiap hari dan perlu
diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Jika
pengobatan intensif diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi
tidak menular dalam kurung waktu dua minggu. Sebagian besar penderita
tuberkulosis BTA(+) menjadi BTA(-) (konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan yaitu penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun
dalam jangka waktu yang lebih lama. Pada tahap ini penti ng untuk membunuh
bakteri sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

4.7.3 Pencegahan Tertier


1) Pasien tuberkulosis harus menutup mulutnya pada waktu bersin dan
batuk karena pada saat bersin dan batuk ribuan hingga jutaan bakteri
tuberkulosis keluar melalui percikan dahak. Bakteri tuberkulosis yang
keluar bersama percikan dahak yang dikeluarkan pasien tuberkulosis
saat:
a. Bicara : 0-200 bakteri
b. Batuk : 0-3500 bakteri
c. Bersin : 4500-1.000.000 bakteri
2) Tidak membuang dahak di sembarang tempat, tetapi dibuang pada
tempat khusus dan tertutup. Misalnya dengan menggunakan
wadah/kaleng tertutup yang sudah diberi karbol/antiseptik atau pasir.
Kemudian timbunlah kedalam tanah.
3) Mencegah supaya jangan sampai terjadi kelalaian, dan resistensi OAT
dengan memberikan penatalaksanaan kasus dan manajemen yang baik
melalui konsep DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse)
4) Melakukan upaya rehabilitasi mental dan psikologis terhadap penderita
untuk mengembalikan rasa percaya diri dan penghargaan terhadap diri
sendiri
Tanpa pengobatan, setelah lima tahun, 50% dari penderita Tuberkulosis
Paru akan meninggal, 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh
yang tinggi, dan 25% sebagai kasus kronik yang tetap menular (Pedoman
Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, 2011).
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Proporsi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari-


Mei 2019 berdasarkan sosiodemografi diperoleh penderita terbanyak
berjenis kelamin laki-laki, berada pada usia produktif, tingkat pendidikan
SMA dan bekerja wiraswasta.
2. Proporsi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari-
Mei 2019 berdasarkan gejala tertinggi mengalami penurunan berat badan
> 5kg tanpa sebab yang jelas.
3. Proporsi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari-
Mei 2019 berdasarkan factor resiko tertbanyak yaitu adanya riwayat
kontak.
4. Proporsi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari-
Mei 2019 berdasarkan pemeriksaan penunjang terbanyak dengan foto
rontgen thorax
5. Proporsi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari-
Mei 2019 berdasarkan tipe penderita tertinggi yaitu penderita kasus baru
6. Proporsi penderita tuberculosis di Puskesmas Sorawolio periode Januari-
Mei 2019 berdasarkan kepatuhan minum obat yaitu semua patuh dengan
pengawas minum obat 100 % keluarga.

5.2 Saran

1. Bagi petugas kesehatan Puskesmas Sorawolio perlu meningkatkan


pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan penyakit TB, tidak hanya
kuratif tetapi preventif dan promotif serta perlu meningkatkan penemuan
kasus TB, misalnya :
a. Dokter
 Dalam melakukan diagnosis penyakit TB dapat
mempertimbangkan foto thorax dan bahkan pemeriksaan
Gene Xpert sebagai alat penunjang diagnosis jika gejala
sangat mendukung namun hasil pemeriksaan sputum BTA
negatif.
 Dokter dapat melakukan deteksi dini kasus TB melalui
skrining pasien TB di poliklinik.
b. Petugas TB
 Melakukan penyuluhan penyakit Tuberkulosis secara
bertahap dan menyeluruh di setiap kelurahan di
Kecamatan Sorawolio. Hal penting yang harus
disampaikan dalam penyuluhan yaitu ( agar hidup kita
terbebas dari infeksi TB.
 Meningkatkan pengetahuan kader kesehatan melalui
upaya dalam bentuk pendidikan kesehatan atau pelatihan
secara berkala untuk membantu meningkatkan angka
penemuan kasus TB
 Meningkatan kunjungan rumah secara rutin untuk
memantau kepatuhan dan kemajuan pengobatan penderita
tuberkulosis serta memberikan edukasi lebih dalam
tentang pencegahan penularan penyakit TB selain
penggunaan masker juga cara membuang dahak
 Meningkatkan peran dan tenaga keluarga sebagai PMO
secara berkesinambungan agar lebih peduli dan
mendukung program TB dari puskesmas, juga
menganjurkan kepada keluarga yang kontak serumah
dengan penderita TB Paru untuk melakukan pemeriksaan
di puskesmas
 Bekerjasama dengan petugas rekam medis membuat kartu
kontrol pengobatan TB dan melengkapi informasi
mengenai penderita TB, misalnya sosiodemografi,
keluhan, faktor resikonya, efek samping pengobatan dll
untuk meningkatkan kualitas data statistik TB di
Puskesmas Sorawolio sehingga membantu dalam proses
penetapan kebijakan-kebijakan oleh Dinas Kesehatan Kota
Baubau.
c. Seluruh petugas kesehatan
 Membantu meningkatkan angka penemuan kasus TB
dengan melakukan penjaringan secara aktif dari rumah ke
rumah.
 Petugas sanitasi memberikan penyuluhan tentang sanitasi
lingkungan dan masyarakat di wilayah Kecamatan
Sorawolio khususnya lebih memperhatikan kesehatan
lingkungan rumahnya, baik dalam rumah maupun luar
rumah.
 Petugas promkes memberikan penyuluhan mengenai
PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) dan montoring
serta evaluasinya dibantu oleh seluruh petugas kesehatan
ketika melakukan kunjungan rumah warga Kecamatan
Sorawolio
 Petugas laboratorium mengedukasi tersangka penderita
TB cara menampung dahak sehingga layak untuk
dijadikan sampel dalam pemeriksaan sputum BTA juga
membantu mengingatkan penderita TB BTA positif
tentang waktu pemeriksaan sputum BTA ulang.
2. Bagi Pemerintah diharapkan terus memfasilitasi program penanggulangan
tuberculosis (TB) yang telah berjalan agar target dalam program
penanggulangan TB khususnya pada Wilayah Kecamatan Sorawolio dapat
tercapai, misalnya:
a. Pihak kecamatan dan kelurahan
 Bekerjasama dengan puskesmas dalam hal melakukan
penyuluhan penyakit Tuberkulosis secara bertahap dan
menyeluruh di setiap kelurahan di Kecamatan Sorawolio,
dimana pemerintah daerah yang bertugas untuk
mengumpulkan warga dan menyediakan tempat
penyuluhan.
 RT/RW/Lurah menemani petugas kesehatan melakukan
kunjungan rumah warganya yang terinfeksi TB untuk
memberikan edukasi dan motivasi, kemudian melakukan
pendataan faktor resiko penularannya, dan menganjurkan
keluarga dan tetangga di sekitarnya untuk waspada resiko
penularannya.
b. Dinas kesehatan Kota Baubau
 Melakukan sepervisi dan koordinasi secara rutin dan
berkala dengan Puskesmas Sorawolio guna mewujudkan
pemberantasan penyakit TB di Kecamatan Sorawolio.
 Memberikan pelatihan yang terus-menerus kepada petugas
TB, dokter dan tenaga laboratorium di Puskesmas
Sorawolio untuk lebih mampu dan memahami
penanggulangan TB.
 Bisa memberikan imbalan dalam bentuk penghargaan,
uang, barang, dan sebagainya atas kinerja kader kesehatan
yang bersifat sukarela, sehingga dapat memicu semangat
dari kader kesehatan dalam bertugas membatu
pengendalian kasus TB di Kecamatan Sorawolio
3. Bagi Masyarakat
 Segera memeriksakan dirinya ke Puskesmas Sorawolio apabila
memiliki gejala, riwayat kontak dan faktor resiko terinfeksi TB
agar dapat dilakukan diagnosis dini dan tatalaksana yang sesuai.
 Agar meningkatkan pengetahuan tentang penyakit TB Paru dari
definisi, faktor resiko, pengobatan hingga pencegahan melalui
berbagai media seperti penyuluhan dari tenaga kesehatan, bertanya
ke tenaga kesehatan maupun mengambil informasi dari media dan
lingkungan sosial yang terpercaya.
 Harus meningkatkan kesadaran tentang perilaku hidup bersih dan
sehat dalam menjaga kebersihan lingkungan rumah
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :


Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
Apsari, Depri. 2018. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru di Puskesmas Batu
Anam Kecamatan Siantar Kabupaten Simalungun Tahun 2015-2017.
Skripsi: Universitas Sumatra Utara. http://repositori.usu.ac.id
Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru
yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 110, 1996 15.
Azhar K, Perwitasari D. 2013. Kondisi Fisik Rumah Dan Perilaku Dengan
Prevalensi Tb Paru Di Propinsi DKI Jakarta, Banten Dan Sulawesi
Utara. Media Litbangkes. 23(4): 172-81.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Behrman, et al. 2002. Nelson - Ilmu Kesehatan Anak Edisi 15. Jakarta : EGC
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick &
Adelbergh’s: Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa:
Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi
13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
(Dirjen P2&PL). 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Katalog Dalam Terbitan: Kementerian Kesehatan Nasiona
Fitriani, E. 2012. Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Kejadian Tuberkulosis
Paru. Universitas Negeri Semarang. Unnes Journal of Public Health.
Kemenkes RI. 2011. Laporan situasi terkini perkembangan tuberkulosis
diIndonesia Januari-Juni 2011. Jakarta
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta
Kemenkes RI. 2013. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
Indonesia tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan
Kemenkes RI. 2014. Pedoman Nasional PengendalianTuberkulosis :
Indonesia Bebas Tuberkulosis.
Kemenkes RI. 2016. Profil Kesehatan Indonesia tahun 2015. Jakarta
Kemenkes RI. 2018. Tuberculosis. Pusat Data dan Informasi Kementrian
Kesehatan. ISSN 2442-7659
Kenedyanti, E., (2017). “Analisis Kondisi Fisik Rumah, Perilaku, Keberadaan
Mycobacterium tuberculosis Dengan Kejadian Tuberkulosis (TB) Paru
di Wilayah Kerja Puskesmas Mulyorejo, Kecamatan Mulyorejo, Kota
Surabaya”. Skripsi. Surabaya: Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Airlangga .
Kurniasari RAS, Suhartono, Cahyo. 2012. Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis
Paru di Kecamatan Baturetno Kabupaten Wonogiri. Media Kesehatan
Masyarakat Indonesia. 11(2): 198–204
Muslimah, D.D.L. 2019. Keadaan Lingkungan Fisik Dan Dampaknya Pada
Keberadaan Mycobacterium Tuberculosis: Studi Di Wilayah Kerja
Puskesmas Perak Timur Surabaya. Jurnal Kesehatan Lingkungan. Vol.
11 No. 1 Januari 2019 (26 - 34) ISSN: 1829 - 7285
Narasimhan, P et al. 2013. Risk Factor for Tuberculosis. The University of
New South Wales, Kensington, Sydney, NSW 2052, Australia. Hindawi
Publishing Corporation.
Nurjana MA. 2015. Faktor Risiko Terjadinya Tuberkulosis Paru Usia
Produktif (15-49 Tahun) di Indonesia. Media Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan. 25(3): 163–70.
Pangalo, Risye M., dkk. 2018. “Faktor Risiko Kejadian Tuberkulosis Paru Di
Puskesmas Enemawira Kecamatan Tabukan Utara Kabupaten Kepulauan
Sangihe”. Jurnal KESMAS, Vol. 7 No. 5, 2018
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit,
Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta: EGC.
Sari, Levi T. 2019. Hubungan Motivasi Kesembuhan Dengan Kepatuhan
Minum Obat Pada Penderita Tb Paru Dewasa. JuKe Vol. 3 No. 1, Januari
-Juni 2019
Setiati S,ed et al. 2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Interna
Publishing
Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Widhiasnasir, Eka R. 2017. Karakteristik Penderita Tuberkulosis Paru Di Kota
Parepare Tahun 2016. Skripsi. Makassar: Unuversitas Hasanuddin
Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta :
penerbit Buku Kedokteran EGC.
Widyarsih, F., Rochmawati., Saleh,I., (2015). “Faktor Risiko Kejadian
Tuberkulosis Paru Di Unit Pelayanan Kesehatan (Upk) Puskesmas
Perum 2 Pontianak” Jurnal Mahasiswa dan Peneliti Kesehatan, Vol 2
No.2
http://openjurnal.unmuhpnk.ac.id/index.php/JJUM/article/viewFile/
334/26
World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for
National programmes. Geneva : 3-15
World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses
pada 23 Mei 2019 pukul 14:39 WIB
http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-
indonesia/article/55/000100150017/2

Anda mungkin juga menyukai