AGUS WAHYUDA TBIO-3 SEM 5 - ARTIKEL O3 EKOLOGI HEWAN - Compressed
AGUS WAHYUDA TBIO-3 SEM 5 - ARTIKEL O3 EKOLOGI HEWAN - Compressed
AGUS WAHYUDA TBIO-3 SEM 5 - ARTIKEL O3 EKOLOGI HEWAN - Compressed
AGUS WAHYUDA
NIM 0310193093
TADRIS BIOLOGI 3 SEMESTER V
DOSEN PENGAMPU : RONI AFRIADI M.Pd
Email : aguswahyuda157@gmail.com
A. Ananlisis Materi
a. Pengertian Komunitas
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah
tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki derajat
keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi.
Komunitas ialah beberapa kelompok makhluk yang hidup bersama-sama dalam suatu tempat
yang bersamaan, misalnya populasi semut, populasi kutu daun, dan pohon tempat mereka hidup
membentuk suatu masyarakat atau suatu komunitas. Dengan memperhatikan keanekaragaman
dalam komunitas dapatlah diperoleh gambaran tentang kedewasaan organisasi komunitas
tersebut. Komunitas dengan populasi ibarat makhluk dengan sistem organnya, tetapi dengan tingkat
organisasi yang lebih tinggi sehingga memiliki sifat yang khusus atau kelebihan yang tidak dimiliki
oleh baik sistem organ maupun organisasi hidup lainnya.
Perubahan komunitas yang sesuai dengan perubahan lingkungan yang terjadi akan
berlangsung terus sampai pada suatu saat terjadi suatu komunitas padat sehingga timbulnya jenis
tumbuhan atau hewan baru akan kecil sekali kemungkinannya. Namun, perubahan akan selalu
terjadi. Oleh karena itu, komunitas padat yang stabil tidak mungkin dapat dicapai. Perubahan
komunitas tidak hanya terjadi oleh timbulnya penghuni baru, tetapi juga hilangnya penghuni yang
pertama.
Sering terjadi, spesies tumbuhan dan hewan dijumpai berulangkali dalam berbagai komunitas
dan menjalankan fungsi yang agak berbeda. Kombinasi antara habitat , tempat suatu spesies hidup,
dengan fungsi spesies dalam habitat itu memberikan pengertian nicia (niche). Konsep nicia ini
penting karena selain dapat digunakan untuk meramal macam tumbuhan dan hewan yang yang dapat
c. Struktur Komunitas
Struktur yang diakibatkan oleh penyebaran organisme di dalam, dan interaksinya dengan
lingkungannya dapat disebut pola. Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari
susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan
vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi
konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat. Hasil analisis komunitas
tumbuhan diajikan secara deskripsi mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur
suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antarspesies, tetapi juga oleh jumlah
individu dari setiap spesies organisme. Hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu
spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada
keseimbangan sistem dan akhirnya berpengaruh pada stabilitas komunitas itu sendiri (Heddy, dkk.,
1986).
Ada sejumlah cara untuk mendapatkan informasi tentang struktur dan komposisi komunitas
tumbuhan darat. Namun yang paling luas diterapkan adalah cara pencuplikan dengan kuadrat atau
plot berukuran baku. Cara pencuplikan kuadrat dapat digunakan pada semua tipe komunitas
tumbuhan dan juga untuk mempelajari komunitas hewan yang menempati atau tidak berpindah.
Rincian mengenai pencuplikan kuadrat meliputi ukuran, cacah, dan susunan plot cuplikan harus
ditentukan untuk membentuk komuniatas tertentu yang dicuplik berdasarkan pada informasi yang
diinginkan (Supriatno, 2001).
Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan diperlukan parameter kualitatif. Adapun
beberapa parameter kualitatif komunitas tumbuhan antara lain fisiognomi, fenologi, periodisitas,
stratifikasi, kelimpahan, penyebaran, daya hidup, dan bentuk pertumbuhan. Sedangkan parameter
kuantitatif dalam analisis komunitas tumbuhan adalah densitas, frekuensi, luas penutupan,indeks
Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui
seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada setiap tahap
pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah
dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai
makanan semakin besar pula energi yang tersedia.
Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling terhubung, rantai makanan di dalam suatu
komunitas yang kompleks antar komunitas, selain daripada itu, suatu rantai makanan adalah suatu
kelompok organisma yang melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (yaitu., cahaya
matahari, phytoplankton, zooplankton, larval ikan, kecil ikan, ikan besar, binatang menyusui). Jenis
dan variasi rantai makanan adalah sama banyak seperti jenis/spesies di antara mereka dan tempat
kediaman yang mendukung mereka. Selanjutnya, rantai makanan dianalisa didasarkan pada
pemahaman bagaimana rantai makanan tersebut memperbaiki mekanisme pembentukannya (gambar
). Ini dapat lebih lanjut dianalisa sebab bagaimanapun jenis tunggal boleh menduduki lebih dari
satu tingkatan trophic di dalam suatu rantai makanan ( Krebs 1972 in Johannessen et al, 2005).
Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam rantai makanan (Johannessen et al, 2005)
yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab phytoplankton dan zooplankton
adalah komponen rantai makanan utama dan penting, dimana bagian ini berisi informasi yang
mendukung keberadaan organisme tersebut. Sedangkan, infauna benthic adalah proses yang
melengkapi pentingnya rantai makanan di dalam ekosistem pantai berlumpur. Selanjutnya,
pembahasan ini penekananya pada bagaimana mata rantai antara rantai makanan dan tempat
berlundungnya (tidal flat; pantai berlumpur).
1. PHYTOPLANKTON
Pertumbuhan phytoplankton di wilayah pantai berlumpur diatur dengan suatu interaksi antara
matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta convergensi yang di akibatkan oleh arus
laut. Sampai jumlah tertentu produksi phytoplankton tergantung pada cuaca, dengan pencampuran
dan stratifikasi kolom air yang mengendalikan produktivitas utama. Percampuran massa air vertikal
yang kuat mempunyai suatu efek negatif terhadap produktivitas, dengan mengurangi perkembangan
phytoplankton maka terjadi penambahan energi itu sendiri dan penting bagi fotosintesis.
Bagaimanapun, pencampuran vertikal adalah juga diuntungkan karena proses penambahan energi,
yang membawa bahan gizi (nutrient) dari air menuju ke permukaan di mana mereka dapat digunakan
oleh phytoplankton.
Zooplankton dan heterotrophs lain (suatu tingkatan organisma trophic sekunder yang berlaku
sebagai consumer utama organik) di dalam kolom air mengisi suatu relung ekologis penting sebagai
mata rantai antara produksi phytoplankton utama dan produktivitas ikan. Ikan contohnya, dengan
ukuran panjang antara 50 - 200 milimeter, seperti; ikan herring juvenile dan dewasa, smelt,
stickleback, sand lance, dan ikan salem dewasa, minyak ikan, hake, pollock, lingcod, sablefish, dan
ikan hiu kecil, memperoleh bagian terbesar gizi mereka dari zooplankton dan heterotrophs lain.
Infauna Benthic (organisma yang tinggal di sedimen) dan epifauna (organisma yang
mempertahankan hidup di sedimen) adalah suatu kumpulan taxa berbeda-beda mencakup clam,
ketam, cacing, keong, udang, dan ikan. Sedangkan burrowers, adalah binatang pemakan bangkai,
pemangsa, dan pemberi makan/tempat makan sejumlah phytoplankton, zooplankton, sedimen,
detritus dan nutrient lainnya.
Mereka berperan penting dalam jaring makanan di pantai berlumpur, juga bertindak sebagai
konvertor untuk pembuatan bahan-bahan organik pada tingkatan trophic lebih tinggi, sehingga
menyokong peningkatan produktivitas alam bebas (wildlife) dan ikan. Di lain pihak, ikan-ikan
demersal, neretic, dan pemangsa terestrial contohnya elasmobranchs ( ikan hiu, skates dan manta
rays-pari), flatfish dan bottomdwelling jenis lainnya; shorebirds; mamalia laut, termasuk ikan paus
dan berang-berang laut; dan manusia. Dengan diuraikannya secara rinci bagaimana berbagai rantai
makanan terhubung ke dalam suatu jaringan makanan terpadu pada benthic community dalam system
Jaring- jaring makanan, yaitu rantai-rantai makanan yang saling berhubungan satu sama lain
sedemikian rupa sehingga membentuk seperi jaring-jaring. Jaring-jaring makanan terjadi karena
setiap jenis makhluk hidup tidak hanya memakan satu jenis makhluk hidup lainnya.
Laut merupakan salah satu bagian utama dari komposisi permukaan bumi. Perbandingan
daratan dan lautan adalah 30 % bagian dari permukaan bumi adalah daratan, dan 70 % sisanya
adalah lautan. Presentase wilayah lautan yang besar ini akan lebih mudah diamati jika dibagi
berdasarkan sub–sub bagian, dan prinsip ekologi yang berlangsung didalamnya. Nybaken (1992)
membagi secara garis besar daerah perairan laut, menjadi 2 (dua) kawasan utama yaitu pelagik dan
bentik. Zona pelagik adalah zona permukaan laut yang menerima cahaya matahari (fotik), sedangkan
zona bentik adalah zona dasar laut yang kurang atau tidak sama sekali menerima cahaya matahari
(afotik).
Pada zona pelagik terdapat 3 jenis ekosistem utama, dan umum dijumpai, yaitu ekosistem
terumbu karang, padang lamun, dan hutan mangrove. Ketiga ekosistem ini memiliki produktivitas
primer yang tinggi. Terumbu karang merupakan suatu ekosistem yang memiliki produktivitas
tertinggi di seluruh ekosistem alamiah yang terdapat di sekitarnya. Romimohtarto dan Juwana
(1999) menyatakan bahwa produktivitas primer rata-rata terumbu karang adalah 20.000
Kcal/m2/tahun atau sekitar 10 g/m2/hari. Nybakken (1992) menyatakan terumbu memiliki
kemampuan untuk menahan bahan organik dan menjalankan fungsinya seperti layaknya sebuah
kolam yang akan menampung sesuatu segala dari luar.
Bahan organik yang tertampung adalah indikator kesuburan ekosistem terumbu karang.
Karena bahan organik tersebut akan didekomposisi oleh bakteri dan selanjutnya menjadi nutrien
anorganik yang dapat dimanfaatkan oleh produser untuk kebutuhan fotosintesis. Nutrien tersebut
berupa Karbon organik, Nitrogen, dan Posfat. Selanjutnya kesuburan ekosistem terumbu karang,
menghadirkan keanekaragaman (biodiversity) organisme perairan di dalamnya. Dimana organisme-
organisme perairan ini memiliki fungsi secara ekonomi dan ekologi. Secara ekonomi, Nontji (1993)
menjelaskan bahwa organisme yang hidup di terumbu mempunyai nilai niaga seperti udang karang,
rajungan, kerang lola dan berbagai jenis ikan karang, yang biasanya dimanfaatkan sebagai ikan hias.
Secara garis besar tingkat trofik dalam jejaring makanan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok produsen yang bersifat autotrof karena dapat memanfaatkan energi matahari untuk
mengubah bahan-bahan anorganik menjadi karbohidrat dan oksigen yang diperlukan seluruh
makhluk hidup, dan kelompok konsumen yang tidak dapat mengasimilasi bahan makanan dan
oksigen secara mandiri (heterotrof).
Nybakken (1992) mengelompokkan produsen yang terdapat pada jaring makanan karang
adalah alga koralin, alga hijau alga coklat dan zooxanthella. Dari gambar diatas dapat diamati bahwa
produser dikonsumsi oleh sejumlah organisme avertebrata seperti bintang laut raksasa ( Acanthaster
planci ) dan invertebrata seperti ikan kepe-kepe (Chaetodontidae). Terdapat juga organisme yang
memakan alga yang banyak terdapat di ekosistem karang seperti ikan famili Acanthuridae. Tipe
pemangsaan yang ada adalah 50-70 % karnivora. Goldman dan Talbot 1976 dalam Nybakken (1992)
menyatakan bahwa banyak dari ikan karnivora di ekosistem terumbu karang adalah opurtunistik.
Mengambil apa saja yang berguna bagi mereka. Mereka juga memakan mangsa yang berbeda pada
tingkatan yang berbeda dalam siklus kehidupan mereka.
Struktur trofik pada ekosistem dapat disajikan dalam bentuk piramida ekologi, dimana tingkat
pertama atau tingkat produsen merupakan tingkatan yang paling dasar dari tingkat-tingkat
berikutnya hingga membentuk puncaknya.
Piramida ekologi (seperti pada gambar) dapat mengukur struktur tropik dan fungsi tropik
berupa : piramida jumlah individu (A), piramida biomassa (B), dan piramida energi. Piramida
biomassa dianggap lebih baik daripada piramida jumlah individu karena disini hubungan kuantitatif
biomassa dapat terlihat. Piramida ekologi memberikan gambaran kasar tentang efek hubungan
rantaipangan untuk kelompok ekologi secara menyuluruh (Resosoedarmo, 1985)
a. Piramida Jumlah
b. Piramida Biomassa
c .Piramida energi
Seringkali piramida biomassa tidak selalu memberi informasi yang kita butuhkan tentang
ekosistem tertentu. Lain dengan Piramida energi yang dibuat berdasarkan observasi yang dilakukan
dalam waktu yang lama. Piramida energi mampu memberikan gambaran paling akurat tentang aliran
energi dalam ekosistem. Piramida energi disebut juga piramida produktifitas dan dinyatakan dalam
mg berat kering/m2/waktu. Dibandingkan dengan kedua piramida yang lain, piramida nergi
merupakan piramida terbaik yang dapat menggambarkan dinamika kehidupan dari komponen-
komponen penyusun ekosistem karena :
1. Dapat memberikan gambaran yang dinamis dan menyeluruh dalam satuan ruang dan waktu
tentang kecepatan perpindahan energi potensial dalam bentuk materi (bahan makanan) di
sepanjang rantai makanan atau tingkat tropik yang berurutan.
2. Bentuk piramida tidak dipengaruhi oleh variasi dalam ukuran maupun laju metabolisme
individu-individu yang berada pada setiap tingkatan tropik. Oleh karena itu apabila semua
Energi yang berpindah melalui sebuah ekosistem berada dalam sebuah urutan transformasi.
Pertama produsen merubah sinar matahari menjadi energi kimia yang disimpan di dalam
protoplasma (sel-sel tumbuhan) di dalam tanaman. Selanjutnya konsumen pertama memakan
tanaman, merubah energi menjadi bentuk energi kimia yang berbeda yang disimpan di dalam sel-sel
tubuh. Energi ini berubah kembali ketika konsumen kedua makan konsumen pertama.
Sebagian besar organisme memiliki efisiensi ekologi yang rendah. Ini berarti mereka hanya
dapat merubah sedikit bagian dari energi yang tersedia bagi mereka untuk disimpan menjadi energi
kimia. Contohnya tanaman-tanaman hijau hanya dapat merubah sekitar 0,1 hingga 1 % tenaga
matahari yang mencapainya ke dalam protoplasma. Sebagian besar energi yang tertangkap di bakar
untuk pertumbuhan tanaman dan lepas ke dalam lingkungan sebagai panas. Begitu juga herbivora
atau binatang pemakan tumbuhan dan karnivora binatang pemakan daging merubah energi ke dalam
sel-sel tubuh hanya sebagian dari zat makanan yang dikonsumsi. Karena begitu banyaknya energi
yang lepas sebagai panas pada setiap langkah dari rantai makanan, semua ekosistem
mengembangkan sebuah piramida energi. Tanaman sebagai produsen menempati bagian dasar
piramid, herbivora (konsumen pertama) membentuk bagian berikutnya, dan karnivora (komsumen
kedua) membentuk puncak piramida. Piramid tersebut mencerminkan kenyataan bahwa banyak
energi yang melewati tanaman dibandingkan dengan herbivora, dan lebih banyak yang melalui
herbivora dibandingkan dengan karnivora.
Di dalam ekosistem-ekosistem daratan piramida energi tersebut menghasilkan sebuah
piramida biomasa (berat). Ini berarti bahwa berat total dari tanaman-tanaman adalah lebih besar
dibandingkan dengan berat total herbivora yang melampaui berat total karnivora. Tetapi di dalam
lautan biomasa (berat) tanaman-tanaman dan binatang-binatang adalah sama.
Gambar : Aliran energi melalui Silver Spring (Berdasarkan data yang diperoleh Howard T.
Odum)
Dari aliran energi dan data Odum untuk produktivitas bersih pada berbagai tingkatan tropik di
Silver Springs, kita memperoleh piramida energi seperti yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini
:
Gambar : Piramida energi di Silver Springs, Florida. Angka merupakan hasil bersih pada
setiap tingkatan tropik yang dinyatakan dalam kkal/m2/tahun. (Berdasarkan data yang
diperoleh Howard T. Odum)
Pada setiap mata rantai makanan sebagian besar energi matahari, yang semuanya ditangkap
oleh autotrof yang berfotosintesis, dihamburkan kembali ke alam sekitarnya (sebagai panas). Maka
kita dapat menyimpulkan bahwa jumlah total energi yang tersimpan dalam tubuh popuasi tertentu
tergantung pada tingkatan tropiknya. Sebagai contoh seperti pada gambar,jumlah total energi yang
terdapat dalam populasi katak harus jauh lebih kecil daripada yang ada dalam serangga yang
merupakan mangsanya. Pada gilirannya, serangga hanya mempunyai sedikit energi yang disimpan
EKOLOGI HEWAN Page 15
dalam tumbuhan yang dimakannya. Penurunan jumlah total energi yang tersedia pada tingkat tropik
dapat diterangkan melalui piramida energi (Kimball, 1983)
Gambar 10 : Piramida energi. Pada setiap rantai makanan, energi yang semula
disimpan oleh tumbuhan rumput autotrofik dihamburkan
Piramida jumlah dalam suatu akre rumput taman ( Odum, dalam Kimball,1983)
Piramida biomassa di Silver Spring, Florida (a) dan piramida terbalik biomassa dalam suatu
danau (Kimball,1983)
Piramida ekologi pada ekosistem perairan terbuka hingga hutan-hutan yang luas
o P = produsen, C1= konsumen primer, C2= konsumen sekunder, C3= konsumen tersier
(karnivora puncak), S = saprotrof (bakteri & cendawan), D = pengurai (bakteri, cendawan +
detrivora).
o A. Data tumbuhan padang rumput dari Evans dan Cain,1952; data binatang dari
Walcott,1937; hutan daerah beriklim sedang didasrkan atas hutan-hutan Wytham dekat
Oxford, England
o B. Saluran Inggris, Harvey 1950, Danau Wisconsin (danau Webwer), Juday 1942, Padang
Tua Georgia, E.P.Odum, 1957 ; terumbu karang, Hutan Panama, F.B.Golley dan G. Child
o C. Silver Springs, H.T. Odum, 1957
o D. Danau Italia (Lago Magiore), Ravera 1969
o E. Arthropoda tanah, Engelmann, 1968
Interaksi adalah hubungan antara makhluk hidup yang satu dengan makhluk hidup yang
lainnya. Ada dua macam interaksi berdasarkan jenis organisme yaitu interaksi intraspesifik
dan interaksi interspesifik. Interaksi intraspesies adalah hubungan antara organisme yang berasal dari
satu spesies, sedangkan interaksi interspesies adalah hubungan yang terjadi antara organisme yang
berasal dari spesies yang berbeda (Elfidasari, 2007).
Kompetisi adalah interaksi antar individu yang muncul akibat kesamaan kebutuhan akan
sumberdaya yang bersifat terbatas, sehingga membatasi kemampuan bertahan (survival),
pertumbuhan dan reproduksi individu penyaing. Kompetisi terjadi sejak awal pertumbuhan tanaman.
Semakin dewasa tanaman, maka tingkat kompetisinya semakin meningkat hingga suatu saat akan
mencapai klimaks kemudian akan menurun secara bertahap. Saat tanaman peka terhadap kompetisi ,
hal itu disebut periode kritis (Soejono, 2009).
Ketika dua atau lebih jenis tanaman tumbuh bersamaan akan terjadi interaksi, masing-masing
tanaman harus memiliki ruang yang cukup untuk memaksimumkan kerjasama dan meminimumkan
kompetisi yang terjadi. Oleh karena itu, dalam tanaman tumpangsari perlu dipertimbangkan berbagai
hal yaitu pengaturan jarak tanam, populasi tanaman, umur panen tiap-tiap tanaman, dan juga
arsitektur tanaman (Apriliyani, 2014).
Kompetisi interspesifik antar kedua spesies dapat mengakibatkan kepunahan salah satu atau
kedua kompetitor di habitat mereka, atau keduanya saling berkoeksistensi di habitatnnya. Pada
keadaan terjadinya kepunahan (bisa akibat migrasi atau kematian) satu spesies, salah satu spesies
kompetitor itu unggul dan mendesak spesies yang lemah. Bila spesies yang lemah tidak mengubah
nichenya sehingga tingkat keberimpitan nichenya berkurang maka akan terjadilah kepunahan
populasi di habitat tersebut. Seandainya spesies yang lemah dapat menyesuaikan diri dengan spesies
unggul maka keduanya dapat berkoeksistensi di habitat tersebut atau mencapai keseimbangan (Suin,
2003).
Kompetisi interspesifik antara kedua spesies dapat mengakibatkan kepunahan salah satu atau
kedua kompetitor di habitat mereka, atau keduanya saling berkoeksistensi di habitatnya. Pada
keadaan terjadinya kepunahan (bisa akibat dari migrasi atau mati) satu spesies, salah satu spesies
kompetitor itu unggul dan mendesak spesies yang lemah. Bila spesies yang lemah tidak mengubah
nichenya sehingga tigkat keberimpitan nichenya berkurang maka akan terjadilah kepunahan populasi
di habitat tersebut. Seandainya spesies yang lemah tadi dapat menyesuaikan diri dengan spesies yang
lebih unggul maka keduanya dapat berkoeksistensi di habitat tersebut (Nurdin, 2003).
Penjarangan adalah proses perkembangan dari berdirinya tanaman dari semaian ke individu
dewasa memberi kesan adanya kompetisi pada sumber yang terbatas. Penjarangan muncul sebagai
hasil dari kompetisi intraspesifik pada sumber yang terbatas. Sebagai populasi lokal dari
perkembangan pertumbuhan, tanaman individu menaikkan kuantitas dari nutrisi, air, dan ruang
untuk individu yanng sukses berkompetisi pada habitatnya (Molles, 2005).
h. Suksesi
Proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah secara teratur
disebut suksesi. Suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitas atau
ekosistem. Proses suksesi berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimaks.
Dikatakan bahwa dalam tingkat klimaks ini komunitas telah mencapai homeostatis (Desmukh,
1992).
Di dalam kondisi klimaks ini spesies-spesies itu dapat mengatur dirinya sendiri dan dapat
mengolah habitat sedemikian rupa sehingga cenderung untuk melawan inovasi baru. Di dalam
konsep klimaks ini Clements (1974) berpendapat bahwa:
1. Suksesi dimulai dari kondisi lingkungan yang berbeda, tetapi akhirnya punya klimaks yang
sama.
2. Klimaks hanya dapat dicapai dengan kondisi iklim tertentu, sehingga klimaks dengan iklim itu
saling berhubungan. Dan kemudian klimaks ini disebut klimaks klimatik.
3. Setiap kelompok vegetasi masing-masing mempunyai klimaks.
Adakalanya vegetasi terhalang untuk mencapai klimaks, oleh karena beberapa faktor selain
iklim. Misalnya adanya penebangan, dipakai untuk penggembalaan hewan, tergenang dan lain-lain.
Dengan demikian vegetasi dalam tahap perkembangan yang tidak sempurna (tahap sebelum klimaks
yang sebenarnya) baik oleh faktor alam atau buatan. Keadaan ini disebut sub klimaks. Komunitas
tanaman sub klimaks akan cenderung untuk mencapai klimaks sebenarnya jika faktor-faktor
penghalang/penghambat dihilangkan. Gangguan dapat menyebabkan modifikasi klimaks yang
sebenarnya dan ini menyebabkan terbentuknya sub klimaks yang berubah (termodifikasi). Keadaan
seperti ini disebut Disklimak. Sebagai contoh vegetasi terbakar menyebabkan tumbuh dan
berkembangnya vegetasi yang sesuai dengan tanah bekas terbakar tersebut. Odum (1996)
mengistilahkan klimaks tersebut dengan Pyrix Klimaks. Tumbuh-tumbuhan yang dominan pada
pyrix klimaks antara lain: Melastoma polyanthum, Melaleuca leucadendron dan Macaranga sp. Jika
Odum (1996) mengatakan bahwa komunitas untuk mencapai klimaks akan bervariasi tidak
hanya disebabkan oleh adanya perbedaan iklim dan situasi fisiografis, tetapi ditentukan juga oleh
sifat-sifat ekosistem yang berbeda. Whittaker merupakan penyokong monoklimaks, mengatakan
bahwa teori monoklimaks menekankan esensialitas (pentingnya) kesatuan vegetasi yang mencapai
klimaks di suatu habitat. Ahli-ahli lain seperti Oosting, Henry, mengatakan bahwa teori poliklimaks
lebih praktis. Hal ini disokong oleh Michols, Tansley dan ahli-ahli Rusia. Smitthusen, Whittaker dan
ahli ekologi Amerika yang lain menyokong konsep poliklimaks dan semuanya percaya karena ada
fakta bahwa tingkatan klimaks dinyatakan oleh lingkungan individu serta komunitas tanaman dan
bukannya oleh iklim setempat.
Perilaku kompetisi diawali oleh sikap agresif. Sikap agresif yang ditunjukkan oleh salah
seekor lutung jantan. Pejantan yang dominan akan mengganggu dan mengejar lutung jantan yang
lain, sambil bersuara. Pejantan yang kalah akan keluar dari kelompok makan atau berpindah lokasi
makan. Perilaku agresif menunjukkan adanya dominansi oleh jantan dewasa untuk menguasai
sumberdaya yang ada Perilaku agresif sangat sulit dijumpai karena hanya terjadi pada saat-saat
tertentu. Saputra (2012), mengatakan perilaku yang sedikit dilakukan adalah objek manipulasi,
mendekap di dada, cuddling, agresif dan kawin. Hal ini disebabkan karena perilaku tersebut
merupakan perilaku yang dilakukan pada saat-saat tertentu saja.
Aktivitas makan lutung dilakukan dengan cara memetik dengan tangannya. Bagian yang
dimakan adalah pucuk daun yang masih muda. Rata-rata sisa makan dari lutung sebanyak 1/3 bagian
dijatuhkan ke lantai dasar hutan oleh lutung Jawa (Ihsanu, 2013). Lutung betina memakan pucuk
daun dalam posisi duduk pada ranting dengan infant disampingnya juga dalam posisi duduk pada
ranting serta selalu mengubah arah tempat duduk lutung, Penelitian ini sejalan dengan Shofa (2014),
posisi duduk lutung saat makan yang ditemukan dalam penelitian ini diduga karena ranting pada
pohon pakan tersebut mampu untuk menopang tubuh lutung dan sumber pakannya mudah dijangkau,
sehingga lutung lebih banyak melakukan aktivitas makannya dengan cara duduk. Ketika sedang
Cara makan Lutung Budeng sangat bervariasi, tapi saat pakan dimakan sikap tubuh Lutung
Budeng selalu dalam posisi duduk. Hal ini sejalan dengan penelitian Nursal (2001) yang menyatakan
bahawa sikap tubuh (body gesture) Lutung Budeng saat makan selalu stabil, yakni duduk. Lutung
Budeng makan dengan cara menarik salah satu ranting yang terletak di dekatnya kemudian meraih
pucuk daun menggunakan tangan yang lain, ranting kemudian dilepaskan dan memasukkan daun ke
mulut, digigit sebagian lalu dikunyah sedangkan daun sisa dibuang. Anak makan kurang dari lima
meter atau berdekatan dengan induknya (Nursal, 2001).
Perilaku berikutnya adalah perilaku meniru yang dilakukan oleh Individu jantan dengan
infant dengan presentase sebesar 13,33% . Kejadian ini berlangsung pada pukul 15.01 WIB. Perilaku
diawali dengan individu jantan yang melompat dari ranting satu ke ranting yang lainnya untuk
mencari daun muda atau pucuk daun diikuti oleh Infant yang meniru tingkah laku melompat
dibelakang lutung jantan. Kegiatan ini dilakukan oleh infant sebagai bentuk belajar mencari pucuk
daun muda dengan cara meniru induk ataupun individu jantan dewasa. Berbagai jenis hewan dapat
melakukan perilaku sebagai akibat dari pengamatan dan meniru hewan lainnya. Banyak hewan
predator, termasuk kucing, anjing dan serigala kelihatannya belajar dasar taktik berburu dengan
mengamati dan menirukan induknya. Pada beberapa kasus, faktor genetis dan mencoba-coba dalam
tipe belajar ini memegang peran penting.
Jumlah kejadian interaksi kooperasi pada Lutung Budeng adalah lima kejadian, dua kali
kejadian di waktu pagi hari dan tiga kali kejadian di waktu sore hari. Perilaku efimeltik yang
ditunjukkan berupa tingkah laku grooming yang dilakukan oleh individu betina dengan individu
betina serta tingkah laku bermain yang dilakukan oleh individu betina dengan infant. Perilaku
efimeletik dilakukan oleh sesama individu betina dengan tingkah laku berupa grooming. Kejadian
ini berlangsung sore hari pada pukul 14.15 WIB, perilaku berupa grooming/menelisik yang
dilakukan antara individu betina dengan individu betina. Perilaku menelisik/mencari kutu pada
bagian ketiak betina yang lain secara bergantian. Aktivitas grooming adalah aktivitas membersihkan
diri atau merawat diri dari kotoran dan parasit yang dilakukan dengan cara mengusap, meraba,
menelisik,menggaruk, menjilat dan menggigit.
Jadi atas dasar itu dapat saya simpulkan bahwa Bentuk interaksi intraspesifik Lutung Budeng
(Trachypithecus auratus) menunjukkan bahwa interaksi intraspesifik kooperasi terdapat perilaku
efimeletik dan play, netralisme terdapat perilaku ingestif dan alelometik, kompetisi terdapat perilaku
agonistik, serta komensalisme terdapat perilaku efimeletik dan etefimeletik.
2. Jurnal Kedua
Sifat Interaksi Interspesifik Berdasarkan hasil analisis tentang keberadaan bersama di antara
ketiga spesies rusa dalam suatu kumpulan di suatu tempat dalam satu hari (pagi sampai sore) di areal
penangkaran, diketahui bahwa secara umum persentase rataan waktu keberadaan bersama diantara
spesies-spesies rusa berada dalam rentang 17- 36%. Selain itu selama penelitian juga sangat jarang
(< 3 kali) ditemukan terjadinya perkelahian antar individu spesies rusa yang berbeda, tercatat hanya
satu kali. Mengacu pada kriteria dan indikator serta standar nilai yang digunakan didalam
menentukan sifat interaksi interspesifik diantara ketiga spesies rusa, maka dapat dinyatakan bahwa
sifat interaksi interspesifik diantara rusa bawean, rusa totol dan rusa timor tergolong netral (nol),
artinya tidak menimbulkan kerugian dan tidak menguntungkan diantara spesies yang ada. Situasi ini
menunjukkan bahwa penempatan rusa bawean, rusa totol dan rusa timor dalam sutau areal
penangkaran dengan model ranching tanpa ada pembatas untuk masing-masing spesies rusa dapat
dikembangkan karena tidak menimbulkan dampak negatif terhadap keberlanjutan hidup dan
kehidupan dari spesies-spesies rusa yang ditangkarkan.
Jadi dapat saya simpulkan bahwa Interaksi interspesifik di antara ketiga spesies rusa yang
ditangkarkan secara bersama-sama di dalam satu areal penangkaran bersifat netral (nol).
Keterkaitan materi dengan jurnal menurut yang saya pahami bahwasannya pada materi
Komunitas dalam ekosistem, rantai makanan yang melingkupi piramida makanan, hubungan
intraspesifik dan interspesifik hewan serta suksesi yang terjadi pada lingkungan hewan.
Dan Di dalam suatu ekosistem akan terjadi rantai makanan yang meliputi piramida makanan,
selain itu akan terjadi pula hubungan intraspesifik lingkungan dan interspesifik hewan serta akan
terjadi suksesi yang terjadi pada lingkungan hewan. Maka dengan itu komunitas dalam ekosistem
akan sangat mempengaruhi suatu ekosistem yang ada baik dari segi rantai makanan, hubungan
interspesifik dan suksesi.
Keterkaitan dengan kehidupan sehari-hari menurut yang saya tangkap , pada setiap
lingkungan atau komunitas di dalam suatu ekosistem pasti akan mengalami hubungan interspesifik
yang meliputi (i) netralisme yaitu hubungan antara makhluk hidup yang tidak saling menguntungkan
dan tidak saling merugikan satu sama lain, (ii) mutualisme yaitu hubunganantara dua jenis makhluk
hidup yang saling menguntungkan,bila keduanya berada pada satu tempat akan hidup layak tapi bila
keduanya berpisah masing-masing jenis tidak dapat hidup layak, (iii) parasitisme yaitu hubungan
yang hanya menguntungkan satu jenis makhluk hidup saja, sedangkan jenis lainnya dirugikan, (iv)
predatorisme yaitu hubungan pemangsaan antara satu jenis makhluk hidup terhadap makhluk hidup
yang lain, (v) kooperasi adalah hubungan antara dua makluk hidup yang bersifat saling membantu
antara keduanya, (vi) kompetisi adalah bentuk hubungan yang terjadi akibat adanya keterbatasan
sumber daya alam pada suatu tempat, (vii) komensalisme adalah hubungan antara dua makhluk
hidup, makhluk hidup yang satu mendapat keuntungan sedang yang lainnya tidak dirugikan, (viii)
antagonis adalah hubungan dua makhluk.
Contohnya pada kerbau dan kutu, terjadi hubungan parasitisme, pada ikan hiu dan ikan
remora terjadi hubungan komensalisme, dan pada kambing dan sapi terjadi hubungan kompetisi
Dengan mempertimbangkan uraian sebelumnya, dapat dinyatakan bahwa banyak hal di alam
yang terjadi tidak hanya menjadi sebuah takdir Ilahi semata, tetapi hal itu lebih banyak disebabkan
hukum keseimbangan alam yang tidak terjaga. Jika alam tidak dijaga keharmonisan dan
keseimbangannya, maka secara hukum alam (sunnatullah) keteraturan yang ada pada alam akan
terganggu dan dapat berakibat munculnya bencana alam. Al-Qur’an selalu menegaskan akan
perlunya keselarasan karena Alam ini diciptakan secara teratur.
Krisis ekologis merupakan dampak dari pengerukan kekayaan alam yang berkepanjangan.
Dan bencana dapat terjadi dari krisis ekologis yang sangat akut. Padahal, kerusakan atas alam sangat
kontras dengan ajaran Islam. Sebagai salah satu agama samawi, Islam memiliki peran besar dalam
rangka mencegah dan menanggulangi krisis tersebut. Di dalam al-Qur’an dijelaskan dalam surat Al-
Rum (30): 41, sebagai berikut
Artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar
mereka kembali (ke jalan yang benar).
Penafsiran ayat di atas dalam lintasan tafsir klasik cenderung seragam. Misalnya, Ibnu Katsir,
dalam Tafsir Ibn Katsir, dan Abu Bakr al-Jaza`iri, dalam Aisir al-Tafasir, ketika menafsirkann ayat
di atas, keduanya menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerusakan (fasad) dengan perbuatan
syirik, pembunuhan, maksiat, dan segala pelanggaran terhadap Allah. Hal ini disebabkan, pada saat
itu belum terjadi kerusakan lingkungan seperti sekarang, sehingga fasad dimaknai sebagai kerusakan
sosial dan kerusakan spiritual semata.
Sedikit berbeda dari kedua ahli tafsir di atas, Quraish Shihab memaknai fasad sebagai
kerusakan alam yang akan menimbulkan penderitaan kepada manusia. Di dalam salah satu karya
fenomenalnya, Tafsir al-Misbah, dijelaskan bahwa terjadinya kerusakan merupakan akibat dari dosa
dan pelanggaran yang dilakukan oleh manusia, sehingga mengakibatkan gangguan keseimbangan di
darat dan di laut.
Padahal, Allah swt. juga memberikan suatu ‘sinyal’ untuk tidak berbuat kerusakan dengan
ayat di atas. Kerusakan alam yang disebabkan tingkah laku manusia tidak hanya apa yang diutarakan
dalam kitab suci (al-Qur`an dan hadis), menurut Lynn White Jr, krisis lingkungan yang tengah
terjadi sekarang ini adalah akibat kesalahan manusia menanggapi persoalan ekologisnya. Dengan
EKOLOGI HEWAN Page 28
demikian, tidak dapat dipungkiri, kerusakan alam, krisis ekologis, dan adanya berbagai macam
bencana, secara langsung atau tidak dan secara spontan atau dalam rentan waktu tertentu, disebabkan
oleh perbuatan manusia itu sendiri.
Jadi kita sebagai manusia harus tetap menjaga lingkungan abiotic maupun biotik agar
keberlangsungan hewan tetap terjaga dan keseimbangan alam juga setabil sehingga hewan tidak
mengalami kepunahan akibat ulah kita yang tanpa kita sadari serta Komunitas dalam ekosistem,
rantai makanan yang melingkupi piramida makanan, hubungan intraspesifik dan interspesifik hewan
serta suksesi yang terjadi pada lingkungan hewan tetap terjaga marilah kita jaga keseimbangan alam
agar generasi yang akan datang dapat menikmati apa yang kita nikmati sekarang.
Komunitas ialah beberapa kelompok makhluk yang hidup bersama-sama dalam suatu tempat
yang bersamaan, misalnya populasi semut, populasi kutu daun, dan pohon tempat mereka hidup
membentuk suatu masyarakat atau suatu komunitas. Struktur yang diakibatkan oleh penyebaran
organisme di dalam, dan interaksinya dengan lingkungannya dapat disebut pola. Analisis komunitas
tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur
vegetasi.
Suatu organisme hidup akan selalu membutuhkan organisme lain dan lingkungan hidupnya.
Hubungan yang terjadi antara individu dengan lingkungannya sangat kompleks, bersifat saling
mempengaruhi atau timbal balik. Hubungan timbal balik antara unsur-unsur hayati dengan nonhayati
membentuk sistem ekologi yang disebut ekosistem. Di dalam ekosistem terjadi rantai makanan,
aliran energi, dan siklus biogeokimia Setiap ekosistem juga memiliki suatu struktur tropic (trophic
structure) dari hubungan makan-memakan. Para ahli ekologi membagi spesies dalam suatu
komunitas atau ekosistem ke dalam tingkat-tingkat tropic (trophic levels) berdasarkan nutriennya.
Abella, Scott R. 2010. Disturbance and Plant Succession in the Mojave and Sonoran Deserts
of the American Southwest. Int. J. Environ. Res. Public Health 2010, 7, 1248-1284;
doi:10.3390/ijerph7041248
Clement. 1974. Plant Succession. An Analysis of The Development of Vegetation.
Washington : Carnegie. Inst.
Desmukh, I.1992. Ekologi dan Biologi Tropika. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Irwan, Z. O.1992. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem, Komunitas, Di
Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
Michael, P.1994. Metode Ekologi untuk Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium. Jakarta:
UI Press
Mukhtar, A.S & Heriyanto, N.M. 2012. Keadaan Suksesi Tumbuhan pada Kawasan Bekas
Tambang Batubara di Kalimantan Timur. Bogor : Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
Odum, E. P., 1996. Dasar-dasar Ekologi Edisi Ketiga. Yogyakarta: UGM Press
Purnomo, Harsoyo. 2011. Perubahan Komunitas Gulma dalam Suksesi Sekunder pada Area
Persawahan dengan Genangan Air yang Berbeda. Jurnal Bioma. Vol.1 (2), Oktober 2011
Resco.V, Ferrio.J, Carreira.J, Calvod.L, Casals.P,Ferrero.A, Marco.E, Moreno.J, Ramirez.
D.A,Sebastien.T, Valladaresi.F, Williams. D.G. 2011. The stable isotope ecology of
terrestrial plant succession. JournalPlant Ecology & Diversity Vol. 4, No. 2–3, June–
September 2011 : 117–130.
Resosoedarmo, R. S.1989. Pengantar Ekologi. Bandung: PT.Remaja Rosdakarya.
Sastrodinoto,S.1980. Biologi Umum I. Jakarta: PT. Gramedia
Wirakusumah, S., 2003. Dasar-dasar Ekologi :Menopang Pengetahuan Ilmu-ilmu
Lingkungan. Jakarta: UI Press