Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                
0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
20 tayangan6 halaman

Antologi 1

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1/ 6

Perasaan Ini Belum Terungkapkan

Seharian sudah aku merenenungi itu, dan sempat menyalahkan diriku sendiri.
Dia sudah tidak disini lagi, dikelas ini. Andai kata semangat pun juga sulit
untukku ekspresikan. Padahal menjelang satu minggu kelulusan bagiku sangat
menyenangkan, dulu. Ikhlas saja yang bisa kurasakan saat ini. Selebihnya rasa
bersalah dan perasaan lalu masih bernaung di lubuk hati.

________________________________~~~~~___________________________

Jika warna hijau pastel dan putih semi krem dipadukan membuat perasaan
damai dan manis, ya kira-kira begitulah perasaanku hari ini. Mungkin karena hari
jum'at dan besok serta lusa adalah hari libur, makanya aku tenang-tenang saja.
Menjalani hari-hari akhir di sekolah disaat-saat seperti ini tak begitu buruk juga
kataku. Sudah satu minggu ini sekolahku mengadakan pembelajaran tatap muka
Kembali. Pandemi satu tahun ini membuatku lupa bagaimana memberi salam
kepada ibu dan ayah, mengambil uang saku di meja, pulang terlambat karena
nongkrong dan masih banyak lagi.

Aku menyetel segera mesin motorku, sudah pukul enam lewat lima belas
menit. "Ah, kurang lima menit. Nanti saja deh" kataku dalam hati. Entah
mengapa sering sekali aku menargetkan hal-hal sepele seperti tadi. Rasanya tak
nyaman jika harus menghitung waktu yang meleset 1 atau 2 menit. Menyebalkan
sekali bagiku.

Masker sudah, bekal sudah, buku dan alat tulis juga sudah. Waktu yang tepat
untukku berangkat.

"Ibu, aku berangkat, kelihatannya nanti aku pulang telat, gak usah ditelfon ya
bu" pamitku pada seseorang yang setiap hari tak hentinya mengoceh akibat
ulahku yang terkadang membuatnya emosi.

"Iya iya, hati-hati mbak, gak usah ngebut, bekalnya nanti setelah bel langsung
dimakan, jangan lupa cuci tangan kalo di sekolah. O iya mbak motornya ditaruh
rapi di parkiran, entar lecet lagi ibu gak mau tahu lo ya" benar kataku bukan,
begitulah ocehan khas ibu.

Aku hanya mengangguk saja dan tersenyum tentunya. Tak lupa dengan Ayah,
satu-satunya sosok yang sabar menghadapi aku dan ibu yang berbeda karakter
ini. Segera saja aku berpamitan
"Yah, Shena pamit dulu ya, aku sudah bilang ke Ibu tadi kalo gak usah ditelfon
pas aku pulang telat" ucapku sembari mencium tangan Ayah. Ide-ide jahil
terlintas,

"Kalo Ibu lupa, diingatkan ya Yah, Shena nanti gak usah ditelfon" dengan
nada agak keras aku menjahili Ibu yang terkadang terserang penyakit lupa.
Bergegas aku menaiki motorku dan melaju menuju ke sekolah.

Jalanan hari ini ramai, karena memang aku menunda waktu berangkat pagi
dan satu lagi, ini hari Jum'at. Motorku melaju dengan kecepatan sedang dan
teratur di sisi kiri jalan. Sepanjang jalan tak jarang aku menenmui anak
sepantaranku namun beda sekoah juga melintas di jalur yang sama denganku.

Gerbang hijau dengan tulisan SMA NUSAKARYA 5 kini sudah terlihat dari
jarak 10 meter. Terus saja aku melengang agar cepet memasuki gerbang
sekolahku itu.
Dari kaca spion aku menoleh, Dia ada disana. Motor khasnya yang seringkali
aku dengar, kacamata yang selalu disanggah di kedua mata indahnya dan satu
lagi, sifat dingin dan tertutupnya yang setiap hari kutemui. Entah darimana aku
melihat, bagiku dia siswa yang unik.

Motor yang kukendarai langsung saja kutempatkan di pojok utara tempat


parkir. Dia berada di sampingku. Coba ku tak hiraukan, tapi perasaanku
sebenarnya tak karuan. Sebisanya ku alihkan pandangan ke segala arah, entah
itupun aku terlihat gugup atau tidak, aku tak peduli.

Berselang berapa menit ku berjalan ringan menuju kelas, tak jauh tapi serasa
jauh jika dengan perasaan yang tak tentu seperti ini. Benar memang dia sekelas
denganku, tapi bila bertemu dan berjalan searah berdua seperti ini, campur aduk
sudah rasanya, tak biasa.

Aku tak tahu mendapatkan kekuatan dari mana, reflek ditengah jalan menuju
kelas aku tak segan bertanya pada dia.

“Eh ada kamu, Desta. Kok tumben pagi-pagi udah dateng, biasanya waktu bel
bunyi aja motormu belum masuk kandang parkir” candaku, agar tak canggung. Ia
menoleh, menunggingkan senyum khasnya, manis. Meski tertutup oleh masker,
dari sorot matanya sudah terlihat ia sedang memekarkan senyumannya.
"Hehe...iya nih, Shen. Lagi pengen aja". Singkat sekali tapi aku lega,
pertanyaanku tak jadi angin. Aku mengangguk lalu melanjutkan langkahku
disampingnya.
Sudah pukul 6.50, sepuluh menit lagi pelajaran akan dimulai. Ku letakkan tas
dikursi bangku belakang dan segera merapikan tempat dudukku. Tak ada yang
harus ku perbuat, membuka ponsel mungkin suatu hal yang menarik. Berita-
berita kekinian sliweran di beranda medsosku.

"Ah berita artis mulu, bosen deh aku ngeliatnya. Media sekarang tuh ya, kalo
gak sensasi ya gosip" Celoteh Reisa, teman sebangkuku.
Sekolahku memang sudah mengadakan pembelajaran tatap muka sejak 1
minggu lalu. Kebetulan sekali Reisa ini sebelumnya satu shift denganku, dan
juga ia yang menawai duduk sebangku dengannya. Entah, menurutku dia itu
gadis yang sedikit cerewet namun kritis tapi terkadang pertanyaannya gak logis.

"Emang kamu tau media jaman dulu kaya apa? Sok tua deh, umur aja baru
18" Sahutku sembari melontarkan guyonan. Reisa menoleh, memberi tatapan
sinis. Tapi tak apa, dia tak serius.
"Shen, gak asik deh ya kalo masalah tua-tuaan umur gini dibahas". Aku
terkekeh saja melihat gelagatnya.

Memang dia tipe anak yang moodbooster sekali, tetapi itu jarang. Seringnya ia
membuat jengkel.

"Eh Shen, gimana tuh si Desta, kok kamunya diem-diem aja ih. Tadi aku
sempet lihat juga kalian jalannya barengan. Hayoo.. " bocah ini memang agak
sewot, tapi ya kubiarkan saja dia mengoceh sekenanya.

"Apa sih Sa, gak penting banget. Volumenya tu agak kecil gitu lo ih, nanti dia
denger" sahutku sembari membuka buku pelajaran jam pertama, untuk
pengalihan lebih tepatnya. Ia terkekeh, mencoba menggodaku lagi
"Ah masa, Desta gak denger tuh" ucapnya dengan nada yang lebih keras.
Desta menoleh karena merasa terpanggil mungkin. Aku hanya menggeleng lalu
mengode Reisa untuk tidak rese seperti tadi, mencoba tak acuh dengan sikap
jahilnya itu lagi.

Tak berselang lama Pak Hendri, guru Bahasa Indonesia, melangkah masuk
menuju kelas ini. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh lebih lima menit. Pelajaran
berlangsung seperti biasanya. Dia, duduk dibangku sebelah timur agak jauh dari
pandanganku. Sesekali saja aku melirik kesana, yang kadang ia juga menengok
ke arahku. Aku tahu, memang ia tipe anak yang pendiam dan kurang bisa untuk
mengekspresikan perasaannya.

Hal itu mungkin suatu keunikan yang aku dapatkan dari berbedanya dia
dengan siswa lain. Tak seperti Ardhi yang rada tengil, Fendi yang emosionalnya
tinggi, ataupun Tio yang hobi sekali menjahili anak perempuan. Butuh waktu
untukku bisa membicarakan apa yang terjadi kepadaku kini. Ya selain sudah
terbayang bagaimana reaksinya, aku juga tak mau pertemanan ini merenggang,
pikirku.

Guru Bahasa Indonesia kali ini menjelaskan tentang materi novel. Bagiku, bab
tentang karya-karya seperti ini sangat menyenangkan untukku bisa berpetualang
dalam imajinasi. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa sampai saat ini aku
menyukai sesuatu yang berbau fantasi.

"Anak-anak, sebagai tugas minggu ini silakan kalian mencari contoh 1 novel
untuk dianalisa. Minggu depan waktunya pengumpulan. Ok Bapak Akhiri,
Selamat siang" Segera Pak Hendri melengang keluar dari pintu kelas.

Jam pelajaran berikutnya ternyata tidak terisi alias jamkos. Aku dan Reisa
mengobrol saja di bangku. Sesekali membahas musik, film, buku, trending topik
artis dan yang tak tertinggal, Desta. "Nih Shen ada artis baru lahiran, kira-kira
mau dikasih nama siapa ya" ujar Reisa yang sok serius "Lah, ya gak tau, suka-
suka ibunya aja lah"
sewotku balik.

"Iya juga ya, tapi ya gak papa kali netizen kaya kita ini kasih saran nama"
timpalnya.

"Terserah kamu aja deh Sa, aku mau lihat-lihat instagram dulu" sahutku
mengiyakan Reisa.

Pembelajaran hari ini akhirnya usai. Setelah pembelajaran Bahasa Indonesia


dan Kimia yang bagiku cukup mudah untuk dipahami. Dua minggu lagi,
menjelang ujian dan 1 minggu berikutnya untuk hari kelulusan. Bagiku sudah
waktunya untuk mengungkapkan apa yang sedang kurasakan saat ini kepada
Desta. Rasa mengganjal akan terus menghantuiku jika ini tak terungkapkan.
Apapun jawabannya, aku pasti menerimanya.

Besok hari libur, mungkin rencananya aku akan dirumah saja. Pandemi
memang seberpengaruh ini kepadaku, menjadi pribadi yang lebih pemalas.
Senja sore ini begitu cantik sekali, cuaca pun juga mendung. Ku abadikan saja
pemandangan kali ini sambil bersantai ria di loteng rumah. Rugi sekali jika potret
senja yang seiindah ini tak ku unggah ke media sosialku. Dengan sedikit polesan
filter dan lagu ala anak senja agar tak cenderung membosankan.

Satu notifikasi muncul, Desta. Ia membalas status yang baru saja ku unggah
tadi. "Bagus sekali, Shen. Lagi ada dimana kamu?" Tulisnya dalam pesan.
Perasaanku kini girang, tak karuan. Tumben sekali Desta memberikanku pesan
singkat seperti ini. Segera aku membalasnya "Terima kasih, Ta. Aku lagi di
loteng rumah aja nih hehe" balasku. Tiga menit berlalu tak kunjung dibalas.

Aku tetap mengharap-harap. Setelah beberapa kali kulihat notifikasi akhirnya


aku memberanikan diri mengirim balasan pesan yang kedua. "Oh iya Ta,
ngomong-ngomong hari Minggu pagi, kamu sibuk gak?" tulisku. Sepuluh menit
kemudian pesan terbaca dan dibalas olehnya "Ngga nih, ada apa emang
Shen?". "Ngga apa-apa sih. Cuma mau nawarin, kalo ku ajak ke perpustakaan
kota kira-kira kamu bisa ngga?" balasku langsung.

Hampir dua jam pesan keduaku yang ku kirimkan tadi belum terbaca oleh
Desta. Mungkin saja ia juga sedang sibuk. Namun tak berapa saat aku
membatinnya, notifikasi pesan darinya muncul di layar hpku.

"Boleh, aku juga pengen cari-cari komik nih" tulisnya dalam pesan. Aku
senang bukan main kali ini. Segera kukabarkan ini pada Reisa. Dugaanku pada
reaksi Reisa tentu selalu sama, rese.

"Wah, lampu ijo nih Shen. Kapan lagi ya kan hehehe." tulis Reisya pada
balasannya dengan dibubuhi stiker tersenyum jahil. Bunga-bunga perasaan
seketika muncul. Begitu indahnya hari ini.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku sudah mengirimkan pesan
pada Desta, jika jemput saja jam 10 dan kuberikan alamat rumahku. Ini pertama
kali aku bisa pergi berdua dengan Desta, yang notabenenya anak paling cuek
seantero kelasku. Haha, terlihat berlebihan sekali. Saat sedang bersiap-siap
untuk berganti pakaian, Ibu mencoba menjahiliku.

"Waduh, anak gadis ini mau kemana sih kok udah rapi-rapi aja" dengan nada
melembut dan terkesan menggodaku. "Apa sih Bu, gak ada ah. Shena tuh cuma
mau main aja" Rona tersipu di pipiku tak bisa kusembunyikan. Ibu melihatnya.

"Yah, lihat nih anak gadismu sudah pintar berdandan. Mesti ada apa-apanya"
goda Ibu lagi sambil mencoba memanggil Ayah dan berlari kecil menghindariku.

Jam sepuluh lewat lima belas menit. Desta tak kunjung datang. Pikirku ia
masih mengeluarkan otor atau apalah itu. Aku mencoba menghubunginya. Ia
tak aktif. Ku tinggal saja menari-narikan jariku di sosial media. Satu jam, dua jam.
Tak kunjung ia datang. Mengapa? Apa ia lupa?.

Entahlah, hari ini aku sudah tak ada minat untuk menyentuh ponselku lagi. Ku
lemparkan saja ke segala arah tempat tidurku. Kuhabiskan hari ini dengan
membaca novel dan berdiam di loteng.
Senin mulai merekah. Tapi suasana hati masih memerah. Semangatku seperti
lapuk, tak ada harap-harap yang biasanya selalu muncul di pagi hari. Ku
berangkatkan diri ke sekolah dengan pikiran dan hati yang hambar. Aku tak
mempedulikan keramaian sana sini.

"Shena… oh Tuhan kamu kemana aja sih. Aku telfonin dari kemarin lo. Bikin
khawatir aja ih" Celoteh Reisa. Aku berjalan menuju bangkuku dan diam, tak
membuka suara. "Shen, jangan diem aja dong, kamu harus tau tentang ini". Aku
menengok kecil ke arah Reisya, tanda bertanya balik padanya.

"Desta, Shen" katanya. Aku tetap diam. Bagiku cerita Reisya kali ini sudah tak
begitu penting.

"Desta kecelakaan, tadi pagi aku baru dapet kabar dari Ardhi. Desta udah gak
ada, Shen" nada Reisya melirih. Kali ini aku bereaksi. Terkejut, tak tentu
perasaanku.

"Kata Ardhi, kecelakaannya kemarin pagi jam sepuluh di depan toko bunga
angkasa, deket arah rumah kamu" lanjut Reisya mendetailkan.

Aku tak tahu, harus menyalahkan siapa. Ini terjadi begitu saja. Aku merenung,
belum sempat kata-kata itu tersampaikan. Ini kesalahanku, aku yang salah. Aku
berburuk sangka. Kali ini aku benar-benar diam.

Anda mungkin juga menyukai