Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Laporan Kasus DF

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 50

DEMAM DENGUE

Oleh :

Pembimbing :

dr. Yulinar, Sp.A

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DEPARTEMEN/KSM ILMU KESEHATAN ANAK

RST DR. SOEDJONO /FK UNISULLA

TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas
karunia-Nya, laporan PBL yang berjudul “Demam Dengue” ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Laporan kasus responsi ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Dr. dr. Ketut Suega, Sp.PD – KHOM selaku ketua Departemen/KSM
Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD , Denpasar.
2. dr. I Made Susila Susila Utama, Sp.PD- KPTI selaku koordinator pendidikan
di Departemen/KSM Penyakit Dalam RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.
3. Prof.Dr.dr.Tjokorda Raka Putra,SpPD-KR, selaku pembimbing laporan PBL
di RSUP Sanglah/FK UNUD, Denpasar.
4. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga laporan kasus ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah
kesehatan dan memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar, September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL..............................................Error! Bookmark not defined.


KATA PENGANTAR............................................Error! Bookmark not defined.
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................3
2.1 Definisi....................................................................................................3
2.2 Etiologi....................................................................................................3
2.3 Epidemiologi...........................................................................................4
2.4 Patogenesis..............................................................................................5
2.5 Faktor Risiko...........................................................................................8
2.6 Manifestasi Klinis....................................................................................8
2.7 Diagnosis...............................................................................................11
2.8 Penatalaksanaan.....................................................................................17
2.9 Upaya Pencegahan.................................................................................26
BAB III LAPORAN KASUS................................................................................28
I. Identitas Pasien...............................................................................................28
II. Anamnesis.....................................................................................................28
III. Pemeriksaan Fisik........................................................................................30
IV. Pemeriksaan Penunjang...............................................................................33
V. Diagnosis......................................................................................................34
VI. Penatalaksanaan...........................................................................................34
BAB IV KUNJUNGAN LAPANGAN..................................................................35
BAB V SIMPULAN..............................................................................................42
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN

Demam Dengue (DD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus dengue,
yang ditularkan oleh nyamuk. Sedangkan d emam berdarah dengue (DBD) merupakan
gejala demam dengue disertai dengan tanda kebocoran plasma (plasma leakage).
DBD merupakan penyakit yang banyak ditemukan di sebagian besar wilayah tropis
dan subtropis, terutama Asia Tenggara, Amerika Tengah, Amerika dan Karibia. Inang
(host) alami DBD adalah manusia, agentnya adalah virus dengue yang termasuk ke
dalam famili Flaviridae dan genus Flavivirus, terdiri dari 4 serotipe yaitu Den-1,
Den-2, Den3 dan Den-41, ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang
terinfeksi, khususnya nyamuk Aedes aegypti dan Ae. albopictus 2
yang terdapat
hampir di seluruh pelosok Indonesia.3
Sampai saat ini penyakit DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat
dan endemis di Indonesia. Penyakit ini dapat mengakibatkan Kejadian Luar Biasa
(KLB) di beberapa daerah endemis yang terjadi hampir setiap tahunnya pada musim
penghujan.4 World Health Organization (WHO) mencatat sejak tahun 1968 hingga
tahun 2009, Negara Indonesia merupakan Negara dengan kasus DBD tertinggi di
Asia Tenggara. Jumlah kasus DBD di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 156.086
kasus dengan jumlah kematian akibat DBD sebanyak 1.358 orang.5
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue dan mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi
antara yang paling ringan, demam dengue (DD), demam berdarah dengue (DBD) dan
demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome (DSS).
Manifestasi klinis ditandai dengan demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari;
pendarahan diatesis seperti uji tourniquet positif, trombositopenia dengan jumlah
trombosit ≤ 100 x 109/L dan peningkatan hematorit, leukopenia dan kebocoran
plasma akibat peningkatan permeabilitas pembuluh pada demam berdarah dengue..2
Salah satu faktor risiko penularan demam dengue adalah pertumbuhan
penduduk perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan
prasarana transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi
sehingga memungkinkan terjadinya KLB. Tidak ada terapi spesifik pada demam
dengue, prinsip utama adalah terapi suportif adekuat, yang dapat menurunkan angka
kematian hingga <1%. Khusus untuk pasien DBD terapi utama adalah rehidrasi dan
menangani pendarahan untuk menurunkan mortalitas. Hal yang penting dalam dam
dengue dan DBD adalah pencegahan penularan virus dengue.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit Demam berdarah (DD) adalah penyakit akut yang disebabkan oleh virus
dengue, yang ditularkan oleh nyamuk, sedangkan Demam berdarah dengue (DBD)
disertai dengan tanda kebocoran plasma. Penyakit ini terutama menyerang anak-anak
yang bertendensi menimbulkan syok dan kematian.7,8 Menurut World Health
Organization (WHO), demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit yang
disebabkan oleh gigitan nyamuk Aedes yang terinfeksi salah satu dari empat tipe
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri sendi yang
disertai leukopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan diathesis hemoragik.
Pada demam berdarah dengue terjadi perembesan plasma yang ditandai dengan
hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di rongga
tubuh.9,10

2.2 Etiologi
Demam dengue disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan oleh nyamuk.
Virus dengue ini termasuk kelompok B Arthropod Virus (Arbovirus) yang sekarang
dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviride, dan mempunyai 4 jenis serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Infeksi dari salah satu serotipe
menimbulkan antibodi terhadap virus yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk untuk serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan terhadap serotipe lain. Seorang yang tinggal di daerah endemis dengue
dapat terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe yang berbeda selama hidupnya. Serotipe DEN-
3 merupakan serotipe yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan
manifestasi klinik yang berat. 7,9
Beberapa pasien demam dengue terus berkembang menjadi demam berdarah
dengue (DBD) yang berat. Biasanya demam mulai mereda pada 3-7 hari setelah onset
gejala. Pada pasien juga bisa didapatkan tanda peringatan (warning sign) yaitu sakit
perut, muntah terus-menerus, perubahan suhu (demam hipotermia), perdarahan, atau
perubahan status mental (mudah marah,bingung). Menurut WHO kriteria demam
berdarah dengue ialah demam yang berlangsung 2-7 hari, terdapat manifestasi
perdarahan, trombositopenia (jumlah trombosit < 100.000/mm3), dan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah.9

2.3 Epidemiologi
Sampai saat ini penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi
masalah kesehatan masyarakat dan endemis di Indonesia. Penyakit ini dapat
mengakibatkan Kejadian Luar Biasa (KLB) di beberapa daerah endemis yang terjadi
hampir setiap tahunnya pada musim penghujan. Sejak tahun 1952 infeksi virus
dengue menimbulkan manifestasi klinis berat yaitu demam berdarah dengue (DBD)
yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian menyebar ke Thailand, Vietnam,
Malaysia bahkan Indonesia.4
Demam berdarah dengue sering terjadi pada anak usia kurang dari 15 tahun.
Sekitar 50% penderita DBD berusia 10-15 tahun yang merupakan golongan usia
yang tersering menderita DBD dibandingkan dengan bayi dan orang dewasa. Nyamuk
Aedes aegypti yang aktif menggigit pada siang hari dengan dua puncak aktivitas yaitu
pada pukul 08.00 – 12.00 dan 15.00 – 17.00.9,11
Jumlah kasus DBD di Indonesia pada tahun 2010 sebanyak 156.086 kasus
dengan jumlah kematian akibat DBD sebanyak 1.358 orang, Insidence rate (IR) 65,7
per 100.000 penduduk dan case fatality rate (CFR) sebesar 0,87%. Terjadi penurunan
IR DBD jika dibandingkan dengan tahun 2009 yaitu sebesar 68,22 per 100.000
penduduk. Demikian juga dengan CFR yang mengalami sedikit penurunan, pada
tahun 2009 CFR DBD sebesar 0,89%.5
World Health Organization (WHO) mencatat sejak tahun 1968 hingga tahun
2009, Indonesia merupakan Negara dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara.
Penyakit DBD masih menjadi permasalahan yang serius di Provinsi Jawa Tengah, hal
ini terbukti dengan adanya 35 kabupaten/kota yang sudah pernah terjangkit penyakit
DBD. Sedangkan insidence rate (IR) DBD di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2011
sebesar 15,27/100.000 penduduk. Apabila dibandingkan dengan tahun 2010 yang
jumlahnya 59,8/100.000 penduduk pada tahun 2011 mengalami penurunan yang
sangat derastis. Angka kematian / Case Fatality Rate (CFR) DBD di Provinsi Jawa
Tengah pada tahun 2011 ialah 1,29%. Angka kesakitan tertinggi pada tahun 2011
berada di Kota Semarang dan terendah di Kabupaten Wonogiri sebesar 4,29/100.000
penduduk.4
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor
antara lain imunitas penjamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue,
keganasan (virulensi) virus dengue dan kondisi geografis setempat.9

2.4 Patogenesis
Demam dengue atau demam berdarah dengue tidak ditularkan dari manusia ke
manusia. Virus dengue masuk ke dalam tubuh nyamuk setelah menggigit manusia
yang mengalami viremia. Nyamuk Aedes spp yang sudah terinfesi virus dengue, akan
tetap infektif sepanjang hidupnya dan terus menularkan kepada individu yang rentan
pada saat menggigit dan menghisap darah.12 Setelah masuk ke dalam tubuh manusia,
virus de-ngue akan menuju organ sasaran yaitu sel kuffer hepar, endotel pembuluh
darah, nodus limpaticus, sumsum tulang dan paru-paru. Beberapa penelitian
menunjukkan, sel monosit dan makrofag mempunyai peran pada infeksi ini, dimulai
dengan menempel dan masuknya genom virus ke dalam sel dengan bantuan organel
sel dan membentuk komponen perantara dan komponen struktur virus. Setelah
komponen struktur dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. 13 Infeksi ini menimbulkan
reaksi immunitas protektif terhadap serotipe virus tersebut tetapi tidak ada cross
protective terhadap serotipe virus lainnya. 14
Secara invitro, antobodi terhadap virus dengue mempunyai 4 fungsi biologis
yaitu netralisasi virus, sitolisis komplemen, antibody dependent cell-mediated
cytotoxity (ADCC) dan ADE.15
Gambar 1. Proses patogenesis infeksi dengue

Berdasarkan perannya, terdiri dari antobodi netralisasi atau neutralizing


antibody yang memiliki serotipe spesifik yang dapat mencegah infeksi virus, dan
antibody non netralizing serotype yang mempunyai peran reaktif silang dan dapat
meningkatkan infeksi yang berperan dalam patogenesis DBD dan DSS. Terdapat dua
teori atau hipotesis immunopatogenesis DBD dan DSS yang masih kontroversial
yaitu infeksi sekunder (secondary heterologus infection) dan antibody dependent
enhancement (ADE).13 Dalam teori atau hipotesis infeksi sekunder disebutkan, bila
seseorang mendapatkan infeksi sekunder oleh satu serotipe virus dengue, akan terjadi
proses kekebalan terhadap infeksi serotipe virus dengue tersebut untuk jangka waktu
yang lama. Tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder oleh serotipe
virus dengue lainnya, maka akan terjadi infeksi yang berat. Ini terjadi karena antibodi
heterologus yang terbentuk pada infeksi primer, akan membentuk kompleks dengan
infeksi virus dengue serotipe baru yang berbeda yang tidak dapat dinetralisasi bahkan
cenderung membentuk kompleks yang infeksius dan bersifat oponisasi internalisasi,
selanjutnya akan teraktifasi dan memproduksi IL-1, IL6, tumor necrosis factor-alpha
(TNF-A) dan platelet activating factor (PAF); akibatnya akan terjadi peningkatan
(enhancement) infeksi virus dengue.13 TNF alpha akan menyebabkan kebocoran
dinding pembuluh darah, merembesnya cairan plasma ke jaringan tubuh yang
disebabkan kerusakan endothel pembuluh darah yang mekanismenya sampai saat ini
belum diketahui dengan jelas.16
Pendapat lain menjelaskan, kompleks imun yang terbentuk akan merangsang
komplemen yang farmakologisnya cepat dan pendek dan bersifat vasoaktif dan
prokoagulan sehingga menimbulkan kebocoran plasma (syock hipolemik) dan
perdarahan.17 Anak di bawah usia 2 tahun yang lahir dari ibu yang terinfeksi virus
dengue dan terjadi infeksi dari ibu ke anak, dalam tubuh anak tersebut terjadi non
neutralizing antibodies akibat adanya infeksi yang persisten. Akibatnya, bila terjadi
infeksi virus dengue pada anak tersebut, maka akan langsung terjadi proses
enhancing yang akan memacu makrofag mudah terinfeksi dan teraktifasi dan
mengeluarkan IL-1, IL-6 dan TNF alpha juga PAF.18-19
Pada teori ADE disebutkan, jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus
tertentu, maka dapat mencegah penyakit yang diakibatkan oleh virus tersebut, tetapi
sebaliknya apabila antibodinya tidak dapat menetralisasi virus, justru akan
menimbulkan penyakit yang berat.13 Kinetik immunoglobulin spesifik virus dengue
di dalam serum penderita DD, DBD dan DSS, didominasi oleh IgM, IgG1 dan
IgG3.20
Selain kedua teori tersebut, masih ada teori-teori lain tentang patogenesis
DBD, di antaranya adalah teori virulensi virus yang mendasarkan pada perbedaan
serotipe virus dengue yaitu DEN 1, DEN 2, DEN 3 dan DEN 4 yang kesemuanya
dapat ditemukan pada kasus-kasus fatal tetapi berbeda antara daerah satu dengan
lainnya. Selanjutnya ada teori antigen-antibodi yang berdasarkan pada penderita atau
kejadian DBD terjadi penurunan aktivitas sistem komplemen yang ditandai
penurunan kadar C3, C4 dan C5. Disamping itu, pada 48-72% penderita DBD,
terbentuk kompleks imun antara IgG dengan virus dengue yang dapat menempel pada
trombosit, sel B dan sel organ tubuh lainnya dan akan mempengaruhi aktivitas
komponen sistem imun yang lain. Selain itu ada teori moderator yang menyatakan
bahwa makrofag yang terinfeksi virus dengue akan melepas berbagai mediator seperti
interferon, IL-1, IL-6, IL-12, TNF dan lain-lain, yang bersama endotoksin
bertanggungjawab pada terjadinya syok septik, demam dan peningkatan
permeabilitas kapiler.21
Pada infeksi virus dengue, viremia terjadi sangat cepat, hanya dalam beberapa
hari dapat terjadi infeksi di beberapa tempat tapi derajat kerusakan jaringan (tissue
destruction) yang ditimbulkan tidak cukup untuk menyebabkan kematian karena
infeksi virus; kematian yang terjadi lebih disebabkan oleh gangguan metabolik.13

2.5 Faktor Risiko


Salah satu faktor risiko penularan DBD adalah pertumbuhan penduduk
perkotaan yang cepat, mobilisasi penduduk karena membaiknya sarana dan prasarana
transportasi dan terganggu atau melemahnya pengendalian populasi sehingga
memungkin terjadinya KLB.6 Faktor risiko lainnya adalah kemiskinan yang
mengakibatkan orang tidak mempunyai kemampuan untuk menyediakan rumah yang
layak dan sehat, pasokan air minum dan pembuangan sampah yang benar. 22 Tetapi di
lain pihak, DBD juga bisa menyerang penduduk yang lebih makmur terutama yang
biasa bepergian.22 Dari penelitian di Pekanbaru Provinsi Riau, diketahui faktor yang
berpengaruh terhadap kejadian DBD adalah pendidikan dan pekerjaan masyarakat,
jarak antar rumah, keberadaan tempat penampungan air, keberadaan tanaman hias
dan pekarangan serta mobilisai penduduk; sedangkan tata letak rumah dan
keberadaan jentik tidak menjadi faktor risiko.23

2.6 Manifestasi Klinis


Tabel 1. Gejala dan Tanda DD dan Derajat DBD
DD/DBD Derajat Gejala dan Tanda Laboratorium

DD Demam yang disertai  Leukopenia (≤ 5000


salah satu : sel/mm3)
 Trombositopenia (≤
 Sakit kepala 150.000 sel/mm3)
 Nyeri retroorbital  Peningkatan
 Mialgia hematocrit (5– 10%)
 Atralgia/nyeri  Tidak ada bukti
tulang kebocoran plasma
 Ruam kulit
 Manifestasi
perdarahan
 Tidak ada bukti
kbocoran plasma
I Demam dan manifestasi  Trombositopenia (≤
perdarahan (uji 100.000 sel/mm3),
tourniquet positif ) serta,  Peningkatan
hematocrit (≥20%)
Adanya bukti kebocoran
plasma

DBD II Seperti pada derajat I  Trombositopenia (≤


ditambah perdarahan 100.000 sel/mm3),
spontan  Peningkatan
hematocrit (≥20%)

DBD III Seperti derajat I dan II  Trombositopenia (≤


ditambah kegagalan 100.000 sel/mm3),
sirkulasi nadi lemah,  Peningkatan
tekanan darah hematocrit (≥20%)
menyempit (≤20
mmHg), hipotensi,
gelisah

DBD IV Seperti pada derajat III  Trombositopenia (≤


ditambah syok yang 100.000 sel/mm3),
nyata dimana tekanan  Peningkatan
darah dan nadi tidak hematocrit (≥20%)
dapat terdeteksi

Manifestasi klinik untuk demam berdarah dengue (DBD) yaitu:


 Demam tinggi, timbul mendadak, kontinua, kadang bifasik.
 Berlangsung antara 2-7 hari.
 Muka kemerahan (facial flushing) , anoreksi, mialgia dan artralgia.
 Nyeri epigastrik, muntah, nyeri abdomen menyebar
 Kadang disertai sakit tenggorok.
 Faring dan konjungtiva yang kemerahan.
 Dapat disertai kejang demam.24
Pasien yang terinfeksi dengue apabila terdapat demam <7 hari, ruam,
manifestasi perdarahan (rumple leede (+), nyeri kepala dan retroorbital, mialgia,
arthralgia, leukopeni (<4000µl), kasus DBD lingkungan (+). Adapun tanda bahaya
(warning signs) yaitu pada fase febris klinis tidak ada perbaikan atau memburuk,
tidak mau minum, muntah terus-menerus, nyeri perut hebat, letargi dan/gelisah,
perubahan perilaku, perdarahan (mimisan, muntah & BAB hitam, menstruasi
berlebih, urin berwarna hitam/hemoglobinuria atau hematuria, pening, pucat (tangan-
kaki teraba dingin), diuresis berkurang dalam 4-6 jam. Warning signs tersebut
digunakan untuk menilai syok pada penderita penyakit demam berdarah dengue
(DBD).24
Tanda atau gejala DBD yang muncul seperti bintik-bintik merah pada kulit.
Selain itu suhu badan lebih dari 38 0C, badan terasa lemah dan lesu, gelisah, ujung
tangan dan kaki dingin berkeringat, nyeri ulu hati, dan muntah. Dapat pula disertai
perdarahan seperti mimisan dan buang air besar bercampur darah serta turunnya
jumlah trombosit hingga 100.000/mm.25
Menurut WHO (2012) demam dengue memiliki tiga fase diantaranya fase
demam, fase kritis dan fase penyembuhan. Pada fase demam, penderita akan
mengalami demam tinggi secara mendadak selama 2-7 hari yang sering dijumpai
dengan wajah kemerahan, eritema kulit, myalgia, arthralgia, nyeri retroorbital, rasa
sakit di seluruh tubuh, fotofobia dan sakit kepala serta gejala umum seperti anoreksia,
mual dan muntah. Tanda bahaya (warning sign) penyakit dengue meliputi nyeri
perut, muntah berkepanjangan, letargi, pembesaran hepar >2 cm, perdarahan mukosa,
trombositopeni dan penumpukan cairan di rongga tubuh karena terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah kapiler.24,26 Pada waktu transisi yaitu dari fase
demam menjadi tidak demam, pasien yang tidak diikuti dengan peningkatan
pemeabilitas kapiler tidak akan berlanjut menjadi fase kritis. Ketika terjadi penurunan
demam tinggi, pasien dengan peningkatan permeabilitas mungkin menunjukan tanda
bahaya yaitu yang terbanyak adalah kebocoran plasma. Pada fase kritis terjadi
penurunan suhu menjadi 37.5-38°C atau kurang pada hari ke 3-8 dari penyakit.
Progresivitas leukopenia yang diikuti oleh penurunan jumlah platelet mendahului
kebocoran plasma. Peningkatan hematokrit merupakan tanda awal terjadinya
perubahan pada tekanan darah dan denyut nadi. Terapi cairan digunakan untuk
mengatasi plasma leakage. Efusi pleura dan asites secara klinis dapat dideteksi
setelah terapi cairan intravena.26
Fase terakhir adalah fase penyembuhan. Setelah pasien bertahan selama 24-48
jam fase kritis, reabsorbsi kompartemen ekstravaskuler bertahap terjadi selama 48-72
jam. Fase ini ditandai dengan keadaan umum membaik, nafsu makan kembali normal,
gejala gastrointestinal membaik dan status hemodinamik stabil.26

2.7 Diagnosis
Demam Dengue memiliki spektrum presentasi klinis yang luas, seringkali
dengan klinis yang tidak dapat diprediksi dan dibedakan dengan klinis penyakit lain.
Tentu saja klinis, sebagian kecil berkembang menjadi penyakit berat, sebagian besar
ditandai dengan kebocoran plasma dengan atau tanpa haemorrhage. Menentukan
derajat keparahan Demam Dengue sebaiknya dilakukan pada evaluasi penilaian awal
ketika pasien masih di triage, untuk menentukan derajat serta seberapa intensif terapi
yang diberikan selanjutnya. Adapun klasifikasi Demam dengue pada tabel berikut :
Tabel 2. Klasifikasi Demam Dengue
Diagnosis Kriteria
Dengue ± Warning Sign Probable dengue : Warning Sign :
Pasien memiliki riwayat  Nyeri perut atau
tinggal atau sehabis bengkak
bepergian ke daerah  Muntah persisten
endemis Dengue. Kriteria  Akumulasi
nya meliouti demam dan cairan
diikuti leh kriteria berikut :  Pendarahan
 Mual, muntah mukosa
 Ruam  Letargi,
 Nyeri sendi kelelahan
 Tes Torniquet  Pembesaran liver
(+) > 2 cm
 Leukopenia  Lab :
 Tanda Warning peningkatan
Sign Hematocrite
dengan penurunan
jumlah platelet

Severe Dengue Sever Plasma Leakage :


 Syok (DSS)
 Akumulasi
cairan dengan
distress pernapasan
Severe Bleeding :
Evaluasi dari pemeriksaan
fisik
Kerusakan Organ
 Liver :
SGOT/SGPT
≥1000
 CNS : ganggua
kesadaran
 Gangguan
jantung dan organ
lain

WHO membuat kriteria diagnose DBD ditegakkan jika memenuhi 2 kriteria


klinis ditambah dengan 2 kriteria laboratorium dibawah ini :

Tabel 3. Kriteria Penegakan Diagnosis DBD


Kriteria Klinis Kriteria Laboratorium

1. Demam tinggi mendadak, terus Trombositopenia (≤100.000 mm3)


menerus selama 2- 7 hari

2. Terdapat manfestasi perdarahan Hematokrit ≥ 20%


seperti tourniquet positif,
petechiae, echimosis, purpura
perdarahan mukosa, epistaksis,
perdarahan gusi, hematemesis dan
atau melena,
3. Pembesaran hati

4. Syok yang ditandai dengan


nadilemah dan cepat, tekanan nadi
turun, tekanan darah turun,kulit
dingin dan lembab terutama ujung
jari, sianosis sekitar mulut, gelisah

2.8 Pemeriksaan Laboratorium


Menegakkan diagnosis infeksi dengue dengan menggunakan pemeriksaan
laboratorium sangat berperan penting pada perawatan pasien, surveilans
epidemiologi, pemahaman patogenesis infeksi dengue dan riset formulasi vaksin.
Diagnosis definitif infeksi virus dengue hanya dapat dilakukan di laboratorium
dengan cara isolasi virus, deteksi antigen virus atau RNA dalam serum atau jaringan
tubuh (PCR), dan deteksi spesifik dalam serum pasien. Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan adalah pemeriksaan darah rutin untuk menapis dan membantu
menegakkan diagnosis pasien demam berdarah dengue.27
1. Tes respon imunologi berdasarkan tes antibodi IgM dan IgG.
Viremia akibat dengue biasanya berlangsung singkat, biasanya terjadi
2-3 hari sebelum timbulnya demam kemudian masa penyakit berlangsung
selama empat sampai tujuh hari. Selama periode ini virus dengue, asam
nukleat dan beredar antigen virus dapat dideteksi (Gambar 2). Respon
antibodi terhadap infeksi terdiri dari kemunculan berbagai jenis
imunoglobulin; dan IgM dan IgG merupakan imunoglobulin memiliki nilai
diagnostik pada dengue. Antibodi IgM dapat terdeteksi pada hari 3-5 setelah
mulai sakit, naik cepat sekitar dua minggu dan selanjutnya menurun hingga
tingkat yang tidak terdeteksi setelah 2-3 bulan.
Antibodi IgG dapat dijumpai pada kadar yang rendah hingga akhir
minggu pertama, kemudian meningkat secara tetap bertahap dan dapat
bertahan untuk jangka yang panjang (selama bertahun-tahun). Karena
munculnya antibodi IgM ini cukup lambat, yaitu setelah lima hari sejak
timbulnya demam, uji serologis ini biasanya memberikan hasil negatif selama
lima hari pertama sejak pasien mulai sakit. Pada infeksi dengue sekunder
(ketika host sebelumnya telah terinfeksi virus DBD), titer antibodi meningkat
pesat. Antibodi IgG dapat terdeteksi dengan kadar yang tinggi, bahkan di fase
awal, dan bertahan beberapa bulan sampai seumur hidup. Tingkat antibodi
IgM secara signifikan lebih rendah dalam kasus-kasus infeksi sekunder. Oleh
karena itu, rasio IgM / IgG biasanya digunakan untuk membedakan antara
infeksi dengue primer dan sekunder. Trombositopenia biasanya diamati antara
ketiga dan hari kedelapan penyakit diikuti oleh perubahan hematokrit.

Gambar 1. Serologi Ig M dan Ig G pada infeksi dengue


2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
PCR dapat digunakan untuk mendeteksi DENV pada lima hari
pertama setelah onset penyakit. Beberapa uji PCR dapat mendeteksi genom
virus serta mengisolasi virus untuk mengenali karakteristik virus yang
menginfeksi. Real Time RT-PCR assay saat ini telah berkembang, namun
masih belum tersedia secara umum. RT-PCR sangat bermanfaat mendeteksi
virus pada awal terjadinya infeksi dengan sensitivitas 80-90% dan spesifisitas
mencapai 95%. Hasil PCR yang positif membuktikan adanya infeksi yang
baru, serta dapat memberikan konfirmasi terhadap serotype virus yang
menginfeksi. Hasil PCR negatif diinterpretasika sebagai “indeterminate”.
Oleh karena itu, pada pasien dengan hasil PCR negatif perlu dilakukan
konfirmasi serologis setelah hari kelima onset penyakit
3. Pemeriksaan protein NS1
Protein nonstructural 1 (NS1) merupakan salah satu dari tujuh protein
nonstruktural yang diproduksi oleh DENV. Protein NS1 intrasel berperan
sebagai kofaktor dalam proses replikasi virus, sementara NS1 yang terdapat di
permukaan sel maupun dalam bentuk sekresi bersifat imunogenik. Protein
NS1 jenis ini berperan untuk memunculkan respon imun dari penjamu serta
terlibat dalam patogenesis infeksi. terdapat antigen NS1 dengan jumlah yang
banyak di dalam sirkulasi. Oleh karena itu, pemeriksaan antigen NS1 sangat
bermanfaat untuk mendiagnosa infeksi dengue, terutama pada fase awal
infeksi sebelum IgM dan IgG dapat terdeteksi (World Health Organization,
2015). Pemeriksaan untuk mendeteksi NS1 telah tersedia secara luas. salah
satu yang banyak digunakan adalah ELISA. Pemeriksaan ELISA memiliki
spesifisitas yang tinggi. Sebagai contoh, PanbioNS1 capture ELISA memiliki
sensitivitas 60,4-66% dan spesifisitas 97,9-99%
Menurut Kriteria WHO (2011) pemeriksaan laboratorium demam berdarah
dengue adalah sebagai berikut :
 Pemeriksaan Leukosit
Pada fase awal infeksi, jumlah leukosit akan normal atau sedikit
menurun. Leukopenia merupakan gejala khas DBD yang terjadi beriringan
dengan trombositopenia. Leukopenia merupakan penurunan jumlah total
leukosit di dalam sirkulasi, termasuk penurunan jumlah netrofil, limfosit dan
monosit. Hal ini dapat terjadi akibat penurunan produksi maupun peningkatan
penggunaan dan penghancuran leukosit. Infeksi virus akut menyebabkan
terjadinya netropenia. Netropenia biasa terjadi pada dua hari pertama dan
dapat menetap selama 3-7 hari. Viremia akut menyebabkan kerusakan pada
leukosit. Jumlah sel darah putih dan neutrofil akan turun, hingga mencapai
titik terendah di akhir fase demam. Perubahan pada jumlah total sel darah
putih (<5000sel/mm3) dan rasio neutrofil-limfosit (neutrophil-
limfosit)berguna untuk memprediksi periode kritis kebocoran plasma. Hal ini
mengawali terjadinya trombositopenia atau naiknya hematokrit. Limfositosis
relatif dengan limfosit atipikal meningkat biasa ditemukan pada akhir fase
demam hingga fase pemulihan.

 Pemeriksaan Platelet
Pemeriksaan platelet digunakan untuk menentukan derajat dari
kebocoran plasma pada infeksi dengue. Umumnya akan terjadi penurunan
jumlah trombosit disertai peningkatan hemtokrit. Trombositopenia awalnya
terjadi akibat penekanan terhadap sumsum tulang pada fase demam viremia.
Trombositopenia progresif disertai penurunan demam disebabkan oleh
destruksi platelet oleh sistem imun. Hal ini didukung oleh adanya kompleks
virus-antibodi yang telah terdeteksi pada permukaan platelet dari pasien DBD.
Perlekatan platelet dengan sel endotel akibat tingginya pelepasan
plateletactivating factor oleh monosit dan infeksi sekunder oleh serotype
berbeda juga semakin memperberat trombositopenia pada pasien.
Trombositopenia berkaitan dengan gejala klinis dari perdarahan yang muncul.
Jumlah platelet normal selama fase awal demam. Penurunan ringan dapat
terjadi selanjutnya. Penurunan jumlah platele secara tiba-tiba hingga di bawah
100.000 terjadi di akhir fase demam sebelum onset syok ataupun demam
surut. Jumlah platelet berkorelasi dengan keparahan DBD. Selain itu, terdapat
kerusakan pada fungsi platelet. Perubahan ini terjadi secara singkat dan
kembali normal selama fase pemulihan.
 Pemeriksaan Hematokrit
Hematokrit normal pada fase awal demam. Peningkatan kecil dapat
terjadi karena demam tinggi, anoreksi, dan muntah. Peningkatan hematokrit
secara tiba-tiba terlihat setelah jumlah platelet berkurang. Hemokonsentrasi
atau naiknya hematokrit sebesar 20% dari batas normal merupakan bukti
obyektif adanya kebocoran plasma.
 Penemuan lain adalah hipoproteinemia/ albuminemia (sebagai kosekuensi
kebocoran plasma), hiponatremia, dan kenaikan ringan AST serum (<=200
U/L) dengan rasio AST:ALT>2.
 Albuminuria ringan sesaat juga dapat terlihat
 Pada sebagian besar kasus, pemeriksaan koagulasi dan faktor fibrinolitik
menunjukkan berkurangnya fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII,
dan antitrombin. Pengurangan antiplasmin (penghambat plasmin) juga
terdeteksi pada beberapa kasus. Pada kasus berat dengan disfungsi hepar,
kofaktor protrombin tergantung vitamin K berkurang, seperti faktor V,VII,IX,
dan X.
 Waktu tromboplastin (PPT) sebagian dan waktu protrombin (PT) memanjang
pada sepertiga sampai setengah kasus DBD. Waktu trombin juga memanjang
di kasus yang berat.
 Hiponatremia terjadi beberapa kali pada DBD dan lebih parah pada syok.
 Hipokalsemia (dikoreksi dengan hipoalbuminemia) terjadi pada seluruh kasus
DBD, levelnya lebih rendah pada derajat 3 dan 4
 Asidosis metabolik juga sering ditemukan di kasus dengan syok
berkepanjangan. Kadar nitrogen urea dalam darah meningkat pada syok
berkepanjangan.28

2.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya penatalaksanaan demam dengue/demam berdarah dengue
bersifat simtomatis dan suportif yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma sebagai
akibat peningkatan permeabilitas kapiler dan perdarahan. Pasien demam dengue (DD)
dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi
pada kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatn intensif. Diagnosis dini dan
memberikan edukasi untuk segera dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal
yang penting untuk mengurangi angka kematian. Di pihak lain, perjalanan penyakit
DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu masuk keadaan umumnya tampak
baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak tertolong. Kunci keberhasilan
tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter untuk dapat mengatasi
masa peralihan dari fase penurunan suhu (fase kritis, fase syok) dengan baik.
Spektrum klinis infeksi dengue mencakup infeksi asimtomatik, DD dan DBD, yang
ditandai dengan kebocoran plasma dan manifestasi perdarahan. Pada akhir masa
inkubasi, penyakit dimulai secara tiba-tiba dan diikuti oleh tiga tahap, demam, kritis
dan fase pemulihan.

2.9.1 Demam Dengue


Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien
dianjurkan :
a. Tirah baring, selama masa demam
b. Obat antipiretik atau kompres hangat bila diperlukan.
c. Dianjurkan pemberian cairan dan elektrolit per oral, jus buah, susu
disamping air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.
d. Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematocrit sampai fase konvalesens.

Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda
penyembuhan. Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap
komplikasi yang dapat terjadi selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan
oleh karena kemungkinan kita sulit membedakan antara DD dan DBD pada fase
demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu turun, yaitu pada DD akan terjadi
penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal kegagalan sirkulasi (syok).
Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai syok. Oleh
karena itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat dan buang air
besar berlebih. Pada pasien yang tidak mengalami komplikasi setelah suhu turun 2-3
hari, tidak perlu lagi observasi.
2.9.2 Demam Berdarah Dengue (DBD)
Perbedaan patofiologis utama antara DBD dan penyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dan
gangguan hemostasis. Gambaran klinis DBD sangat khas yaitu demam tinggi
mendadak., diastasis hemoragik, hepatomegaly dan kegagalan sirkulasi. Maka
keberhasilan tatalaksana DBD terletak pada bagaian mendeteksi secara dini fase kritis
yaitu saat suhu turun yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi.

1. Fase Demam
Pemberian antipiretik bermanfaat menurukan demam <390C. Apabila cairan
oral tidak dapat diberikan oleh karena tidak minum, muntah atau nyeri perut yang
berlebihan, makan cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-
kadang diperlukan, tetapi perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat
mengurangi lama demam pada DBD. Rasa haus dan keadaan dehidrasi dapat timbul
sebagai akibat demam tinggi, anoreksia dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan
jus buah, air the manis, sirup, susu. Pasien perlu diberikan minum 50ml/kgBB dalam
4-6 jam pertama.

2. Pemantauan pasien DBB selama fase krisis


Fase kritis DBD (trombositopenia sekitar 100.000 sel / mm3) merupakan
periode terjadinya kebocoran plasma yang dimulai sekitar waktu dari penurunan suhu
badan hingga normal atau transisi dari demam ke tidak demam. Trombositopenia
adalah indikator yang sensitif pada kebocoran plasma, tetapi juga dapat diamati pada
pasien dengan DD. Peningkatan hematokrit > 10% dari baseline merupakan indikator
objektif awal kebocoran plasma. Pemberian cairan intravena harus dimulai jika
asupan oral buruk atau peningkatan hematokrit terus berlanjut serta jika terdapat
warning sign.

Parameter-parameter berikut harus dipantau :

 Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan serta tanda dan gejala
lainnya.
 Perfusi perifer dapat dilakukan sesering mungkin sesuai indikasi karena hal
tersebut merupakan petanda awal syok dan mudah/cepat untuk dilakukan.
 Tanda-tanda vital seperti suhu, denyut nadi, laju pernapasan dan tekanan
darah harus diperiksa setidaknya setiap 2-4 jam pada pasien non-syok dan 1-
2 jam pada pasien syok.
 Hematokrit serial harus dilakukan setidaknya setiap empat sampai enam jam
dalam kasus yang stabil dan harus lebih sering pada pasien yang tidak stabil
atau dicurigai mengalami perdarahan. Harus dicatat bahwa hematokrit harus
dilakukan sebelum resusitasi cairan. Jika hal ini tidak dilakukan, maka
pemeriksaan hematokrit harus dilakukan setelah bolus cairan dan jangan saat
pemberian bolus cairan sedang berjalan.
 Jumlah urine harus dicatat setidaknya setiap 8 sampai 12 jam pada kasus tidak
berat, per jam pada pasien dengan syok atau dengan kelebihan cairan. Selama
periode ini jumlah output urine harus sekitar 0,5 ml/kg/ jam (harus
didasarkan pada berat badan ideal).
Pada pasien-pasien dewasa atau mereka yang mengalami obesitas atau penderita
diabetes melitus harus menjalani pemeriksaan kadar gula darah. Sementara itu, pasien
yang mengalami syok dan atau dengan komplikasi harus menjalani pemeriksaan
laboratorium seperti diperlihatkan di kotak 13 Perbaikan terhadap nilai laboratorium
yang tidak normal harus dilakukan seperti misalnya: hipoglikemia, hipokalsemia serta
asidosis metabolik yang tidak respon dengan resusitasi cairan. Pemberian vitamin K1
intravena dapat diberikan jika terdapat pemanjangan waktu protrombin. Perlu dicatat
bahwa pada tempat-tempat dimana fasilitas laboratorium tidak memadai, kalsium
glukonat dan vitamin K1 harus diberikan sebagai bagian dari terapi intravena. Pada
keadaan syok dan tidak respon dengan cairan resusitasi intravena, asidosis mesti
dikoreksi dengan NaHCO3 jika pH < 7,3 dan bikarbonat serum < 15 mEq/L.
1. Terapi cairan intravena pada DBD selama periode kritis
Indikasi cairan IV:
 Jika pasien tidak bisa diberi asupan oral yang memadai atau muntah.
 Jika HCT terus meningkat 10% -20% meskipun rehidrasi oral sudah
diberikan.
 Adanya ancaman munculnya syok

Prinsip-prinsip umum terapi cairan pada DHF meliputi berikut ini:


 Larutan kristaloid isotonik harus diberikan selama fase kritis kecuali bayi
usia < 6 bulan lebih tepat menggunakan natrium klorida 0,45%.
 Larutan koloid Hiper-onkotik (osmolaritas > 300 mOsm / l) seperti
dekstran 40 atau larutan starch dapat digunakan jika kebocoran plasma
masif, dan tidak ada respon dengan pemberian kristaloid dalam jumlah
yang optimal (seperti yang direkomendasikan). Larutan koloid iso-onkotik
seperti plasma dan hemaccel kemungkinan tidak efektif.
 Pemberian cairan untuk pemeliharaan + 5% dehidrasi harus diberikan
untuk sekedar mempertahankan volume intravaskular dan sirkulasi.
 Durasi pemberian terapi cairan intravena tidak boleh melebihi 24 hingga
48 jam bagi mereka dengan syok. Namun, bagi pasien yang tidak syok,
durasi terapi cairan intravena bisa lebih lama namun tidak lebih dari 60
sampai 72 jam. Hal ini karena pasien yang tidak syok baru saja memasuki
fase kebocoran plasma sementara pasien yang sudah syok, kebocoran
plasma berlangsung dalam durasi yang lebih panjang hingga terapi
intravena dimulai.
 Pada pasien obesitas, yang digunakan sebagai panduan untuk menghitung
volume cairan adalah berat badan ideal.

A. Penanganan Pasien dengan Warning Sign


Hal yang perlu dipastikan dari warning sign adalah apakah warning sign
tersebut bukan suatu gastroenteritis akut, refleks vasovagal, hipoglikemia, dan
sebagainya. Munculnya trombositopenia yang dibarengi dengan bukti kebocoran
plasma seperti kenaikan haemotokrit dan efusi pleura dapat membedakan antara
DBD/SSD dari penyebab yang lain. Pemeriksaan kadar gula darah dan tes
laboratorium dapat dilakukan untuk menemukan menyebabkan. Untuk masalah-
masalah lainnya, pemberian cairan intravena, terapi suportif dan simtomatik harus
diberikan sementara pasien tetap berada di bawah pengawan di rumah sakit. Pasien
dapat dipulangkan ke rumah dalam waktu 8 sampai 24 jam jika menunjukkan repon
pemulihan yang cepat dan tidak dalam fase kritis (platelet > 100 000 sel / mm3).
Manajemen DBD derajat I, II (kasus non-syok) Secara umum, masukan cairan
(oral + IV) bertujuan untuk pemeliharaan (untuk sehari) + 5% defisit (oral dan cairan
IV bersama-sama), yang diberikan dalam 48 jam. Misalnya, pada anak dengan berat
badan 20 kg, defisit dari 5% adalah 50 ml / kg x 20 = 1000 ml. Pemeliharaan adalah
1500 ml untuk satu hari. Oleh karena itu, total M + 5% adalah 2.500 ml. Pada pasien
non-syok, jmlah cairan ini akan diberikan dalam 48 jam pertama. Kecepatan infus
cairan 2.500 ml ini dapat diberikan sesuai. Kecepatan pemberian cairan IV harus
disesuaikan dengan tingkat kehilangan plasma, dan disesuaikan dengan kondisi
klinis, tanda-tanda vital, produksi urin dan nilai hematokrit.

B. Manajemen syok : DBD derajat III


SSD merupakan syok hipovolemik disebabkan oleh kebocoran plasma dan
ditandai dengan meningkatnya resistensi vaskuler sistemik, dengan manifestasi
tekanan nadi yang menyempit (tekanan sistolik dipertahankan dengan peningkatan
tekanan diastolik, misalnya 100/90 mmHg ) . Ketika hipotensi muncul, selain
kebocoran plasma, kita harus menduga bahwa mungkin telah terjadi pendarahan yang
masif, dimana yang paling sering adalah perdarahan saluran cerna yang bisa saja
tidak tampak/tersembunyi. Perlu dicatat bahwa resusitasi cairan dari SSD berbeda
dari syok yang lain misalnya syok septik . Sebagian besar kasus SSD akan
memberikan respon terhadap pemberian cairan 10 ml/kg (pada anak-anak) atau 300-
500 ml (pada orang dewasa) dalam 1 jam atau bila perlu secara bolus. Namun,
sebelum memutuskan untuk mengurangi jumlah cairan IV yang diberikan, kondisi
klinis, tanda-tanda vital , produksi urin dan nilai hematokrit harus diperiksa terlebih
dahulu untuk memastikan perbaikan klinis.

C. Manajemen Syok : DBD derajat IV


Resusitasi cairan awal pada DBD derajat IV harus lebih agresif agar cepat
mengembalikan tekanan darah. Pemantauan laboratorium harus dilakukan sesegera
mungkin untuk menilai ABCS dan keterlibatan organ. Bahkan hipotensi yang ringan
pun harus segera ditangani secara agresif. 10 ml/kg cairan bolus harus diberikan
secepat mungkin, idealnya dihabiskan dalam waktu 10 sampai 15 menit. Jika tekanan
darah berhasil diperbaiki, cairan intravena lebih lanjut dapat diberikan sebagaimana
penanganan pada derajat III. Jika syok tidak tertangani setelah pemberian 10 ml/kg
pertama, ulangi bolus 10 ml/kg kedua sementara hasil laboratorium harus dikejar dan
dikoreksi segera mungkin. Transfusi darah merupakan langkah berikutnya harus
segera dikerjakan (setelah menilai HCT praresusitasi) diikuti dengan monitoring
ketat, misalnya kateterisasi kandung kemih terus menerus, kateterisasi vena sentral
atau intraarterial. Perlu dicatat bahwa perbaikan pada tekanan darah sangat penting
untuk keberhasilan penanganan dan jika ini tidak dapat dicapai dengan cepat maka
prognosis bisa menjadi buruk. Obat inotropik dapat digunakan untuk menaikkan
tekanan darah, jika pemberian cairan dianggap cukup adekuat seperti misalnya,
tekanan vena sentral tinggi (CVP), kardiomegali, atau diketahui memiliki
fungsi/kontraktilitas jantung yang buruk. Jika tekanan darah berhasil dikoreksi setelah
pemberian resusitasi cairan dengan atau tanpa transfusi darah, dan dijumpai adanya
gangguan fungsi organ, maka pasien harus mendapat penanganan suportif yang
sesuai. Contoh penanganan suportif terhadap fungsi organ adalah dialisis peritoneal,
contiuous renal replacement therapy (CRRT) serta ventilasi mekanik. Jika akses
intravena tidak bisa didapat dengan segera, maka dapat dicobakan larutan elektrolit
oral jika pasien sadar atau cara lain adalah jalur intraosseous. Akses intraosseous
merupakan suatu bagian dari upaya untuk menyelamatkan nyawa dan harus bisa
dicapai dalam 2-5 menit atau jika telah dua kali mengalami kegagalan dalam
mencapai akses vena perifer atau jika jalur oral juga gagal.

D. Manajemen perdarahan massif


 Jika sumber perdarahan dapat diidentifikasi, upaya harus dilakukan untuk
menghentikan pendarahan jika mungkin. Epistaksis berat, misalnya, dapat
dikontrol dengan nasal packing. Transfusi darah harus segera dilakukan dan
tidak boleh ditunda sampai nilai HCT mengalami penurunan. Jika jumlah
darah yang hilang dapat diukur, maka jumlah tersebut harus digantikan.
Namun, jika pengukuran tidak mungkin dilakukan, berikan 10 ml/kg whole
blood atau 5 ml/kg packed red cell dan evaluasi respon terapi. Pasien
mungkin memerlukan pengulangan satu kali atau lebih.
 Pada perdarahan saluran cerna, antagonis H-2 dan penghambat pompa proton
bisa digunakan, namun belum ada studi yang tepat untuk menunjukkan
efikasinya.
 Tidak ada bukti yang mendukung penggunaan komponen darah seperti
trombosit konsentrat, fresh frozen plasma (FFP) atau kriopresipitat.
Penggunaannya dapat memberikan meningkatkan resiko kelebihan cairan.
 Rekombinan factor VII diketahui bisa bermanfaat pada beberapa pasien yang
belum mengalami kegagalan organ, namun harganya sangat mahal dan
umumnya tidak tersedia.
E. Manajemen pasien berisiko tinggi
 Pasien obesitas memiliki cadangan pernapasan yang lebih kecil, sehingga
perlu mendapat perhatian agar pemberian infus cairan intravena tidak
berlebih. Menghitung pemberian cairan resusitasi harus berdasarkan berat
badan ideal. Pemberian koloid harus lebih dipertimbangkan pada tahap awal
terapi cairan. Setelah stabil, furosemide dapat diberikan untuk menginduksi
diuresis.
 Bayi juga memiliki cadangan kurang pernapasan dan lebih rentan terhadap
kerusakan hati dan ketidakseimbangan elektrolit. Durasi kebocoran plasma
lebih singkat pada bayi, oleh karena itu biasanya cepat memberikan respon
dengan resusitasi cairan. Oleh karena itu, bayi harus lebih sering dievaluasi
untuk upaya pemberian cairan melalui oral dan juga pemantauan produksi
urin.
 Insulin intravena biasanya diperlukan untuk mengontrol kadar gula darah pada
pasien demam berdarah dengan diabetes mellitus. Dalam hal ini kristaloid
yang digunakan hendaknya yang tidak mengandung glukosa
 Wanita hamil dengan demam berdarah harus dirawat segera untuk memantau
perjalanan penyakit lebih intens. Perawatan bersama dengan dokter
kebidanan, serta spesialisasi anak juga sangat penting. Pada keadaan yang
berat, keluarga pasien harus diberikan inform concern. Jumlah dan kecepatan
pemberian cairan IV untuk wanita hamil sama dengan wanita tidak hamil
yakni menggunakan berat badan pra-hamil untuk menghitung kebutuhan
cairan.
 Respon kardiovaskular terhadap terapi pada DBD dapat menjadi kabur pada
pasien penderita hipertensi yang mungkin sedang mengkonsumsi obat anti-
hipertensi.
 Terapi anti-koagulan sebaiknya dihentikan sementara waktu selama fase
kritis.
 Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati: Pasien-pasien ini beresiko
mengalami hemolisis dan kemungkinan akan membutuhkan transfusi darah.
Perhatian khusus harus diberikan terhadap terapi hiperhidrasi dan alkalinisasi,
dimana prosedur ini dapat menyebabkan kelebihan cairan dan hipokalsemia.
 Penyakit jantung bawaan dan iskemik: Terapi cairan harus lebih berhati-hati
sebab pasien kemungkinan memiliki kapasitas jantung yang lebih rendah
 Untuk pasien yang sebelumnya mendapat terapi steroid, pengobatan steroid
terus dianjurkan tapi jalur pemberian sebaiknya dapat diubah.
3. Manajemen fase pemulihan
 Pemulihan dapat dikenali oleh perbaikan dalam parameter klinis, nafsu makan
dan keadaan umum.
 Status hemodinamik seperti perfusi perifer yang baik dan kestabilan tanda-
tanda vital harus diperhatikan.
 Penurunan HCT kembali ke baseline atau lebih rendah serta diuresis yang
berangsur normal.
 Cairan intravena harus dihentikan.
 Pada pasien dengan efusi masif dan ascites, hypervolemia dapat terjadi dan
terapi diuretik dapat dipertimbang untuk mencegah edema paru.
 Hipokalemia dapat terjadi karena adanya stres dan upaya diuresis harus
diimbangi dengan asupan buah-buahan atau suplemen yang kaya akan kalium.
 Bradikardia cukup sering ditemukan dan pemantauan intensif perlu dilakukan
untuk kemungkinan komplikasi yang jarang seperti blok irama jantung atau
kontraksi prematur ventrikel (VPC)
 Pulihnya ruam kulit ditemukan pada 20% -30% dari pasien.

Tanda-tanda pemulihan
 Nadi, tekanan darah dan laju pernapasan stabil
 Suhu normal.
 Tidak ada bukti perdarahan eksternal atau internal.
 Nafsu makan membaik.
 Tidak ada muntah, tidak ada sakit perut
 Produksi urin baik.
 Hematokrit yang stabil pada nilai baseline.
 Ruam petekie yang muncul pada fase penyembuhan bisa disertai rasa
gatal, terutama pada ekstremitas.

Kriteria untuk pemulangan pasien


 Tidak adanya demam selama setidaknya 24 jam tanpa menggunakan
terapi antidemam.
 Nafsu makan membaik.
 Perbaikan klinis Terlihat.
 Jumlah produksi urine memuaskan.
 Minimal 2-3 hari telah berlalu setelah sembuh dari shock
 Tidak ada gangguan pernapasan akibat efusi pleura dan tidak ada ascites.
 Jumlah trombosit lebih dari 50 000/mm3. Jika tidak, pasien dapat
dianjurkan untuk menghindari kegiatan traumatis setidaknya 1-2 minggu
hingga trombosit menjadi normal. Pada kebanyakan kasus yang kompleks,
trombosit meningkat normal dalam waktu 3-5 hari.

3.10 Upaya Pencegahan Infeksi Dengue


Untuk memberantas penyakit DD/DBD, seluruh masyarakat harus menjaga
kebersihan agar rumah dan lingkungannya bebas dari nyamuk aedes aegypti. Nyamuk
tersebut dapat berkembang di tempat penampungan air seperti bak mandi, bak WC,
tempayan, drum dan barang yang memungkinkan air tergenang seperti tempat
minumburung, pot tanaman air, kalung dan lain-lain yang dibuang sembarangan.
Dalam pemberantasan penyakit ini yang paling penting adalah upaya membasmi
jentik nyamuk yaitu dengan 3M : mengubur, menutup dan menguras. Selain itu dapat
pula dengan cara :
1. Perlindungan diri
Uapaya yang dapat dilakukan untuk menghindari gigitan nyamuk aedes
aegypti dengan cara memakai lotion nyamuk, obat anti nyamuk bakar
maupun kelambu.
2. Pengendalian biologis
Upaya pengendalian biologis contohnya dengan memelihara ikan pemakan
jentik.
3. Pengendalian dengan Bahan Kimia
Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk
nyamuk dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (fogging). Untuk
pemberantasan larva dapat digunakan abate 1% SG. Cara ini biasanya
digunakan dengan menaburkan abatekedalam bejana tempat penampungan
air seperti bak mandi, tempayan, drumdapat mencegah adanya jentik selama
2-3 bulan.
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN


Nama : GAA
No RM 00969405
Umur : 43 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku : Bali
Bangsa : Indonesia
Agama : Hindu
Alamat : Jalan Diponegoro G VB No.12 Denpasar
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Pegawai swasta
Status Pernikahan : Menikah
Tanggal MRS : 18 Juni 2018
Tanggal Pemeriksaan : 30 Juni 2018

3.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama: Demam
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke IGD RSUP Sanglah pada tanggal 18 Juni 2018 dengan
keluhan demam. Pasien mengeluh demam sejak 4 hari sebelum masuk rumah sakit.
Demam muncul mendadak disertai dengan menggigil dan dirasakan pasien hampir
sepanjang hari. Demam dirasakan di seluruh tubuh. Demam sangat mengganggu
aktivitas dan tidur pasien. Demam hari pertama hingga ketiga dikatakan naik turun
namun pasien tidak sempat mengukur suhu tubuhnya saat itu. Pasien sempat berobat
ke Puskemas, demam dikatakan membaik dengan obat penurun panas, namun
dikatakan naik kembali. Pasien kemudian dirujuk ke RSAD Udayana tetapi rawat
inap penuh sehingga pasien kemudian dibawa ke RSUP Sanglah. Tidak ada faktor
yang memperberat keluhan tersebut.

Pasien juga mengeluh sakit kepala sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan ini dirasakan secara tiba-tiba, bersamaan dengan keluhan demam. Sakit
kepala dirasakan mulai dari bagian belakang kepala hingga ke daerah mata dan
telinga. Sakit kepala dikatakan seperti ditekan beban berat hingga menyebabkan
pasien tidak bisa beraktivitas. Pasien mengatakan keluhan sakit kepala membaik
dengan tidur dan memberat ketika suhu tubuh meningkat.

Selain itu, pasien juga mengeluhkan adanya nyeri sendi yang dirasakan sejak
hari pertama demam. Keluhan nyeri sendi dikatakan muncul secara tiba-tiba,
bersamaan dengan keluhan demam. Nyeri sendi dikatakan dirasakan pada seluruh
tubuh. Keluhan ini dirasakan terus-menerus. Pada saat pemeriksaan pasien
mengatakan keluhan nyeri sendi mulai berkurang.

Saat MRS di RSUP Sanglah, pasien juga mengeluhkan batuk. Batuk dikatakan
dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Keluhan batuk dikatakan tanpa
dahak. Batuk dikatakan muncul secara tiba-tiba dan memberat sejak pagi hari.
Keluhan mual dikatakan ada namun tidak disertai muntah. Keluhan nyeri perut dan
perdarahan pada gusi, mimisan dan perdarahan pervaginam disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mengatakan pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya yaitu 3 tahun


yang lalu dan mendapat perawatan di RSUP Sanglah. Pasien mengaku memiliki
riwayat penyakit diabetes mellitus sejak 2 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki
alergi terhadap obat maupun makanan. Riwayat menerima transfusi darah disangkal.

Riwayat Pengobatan

Pasien sempat dirawat jalan di puskesmas dan mendapatkan Parasetamol.


Untuk riwayat DM Tipe II pasien mengkonsumsi obat metformin 500 mg 2 kali
sehari yang didapat d puskesmas. Pasien menyangkal mengkonsumsi obat herbal atau
tradisional.

Riwayat Keluarga

Keluarga pasien yang tinggal satu rumah dan berinteraksi dengan pasien, tidak
ada yang memiliki riwayat keluhan demam. Riwayat penyakit sistemik seperti
diabetes melitus, hipertensi, penyakit ginjal, penyakit jantung, dan asma di keluarga
pasien disangkal.

Riwayat Sosial

Pasien adalah seorang pegawai di sebuah perusahaan garmen. Pasien


mengatakan sempat memaksakan diri untuk kerja sehari sebelum keluhannya muncul.
Pasien juga mengaku masih melakukan aktivitas rumah tangga seperti biasa. Pasien
mengatakan bahwa sekitar 2 minggu SMRS ada tetangganya yang dirawat di rumah
sakit karena demam berdarah.

3.3 PEMERIKSAAN FISIK


Tanda-Tanda Vital (18/06/2018)
Kondisi Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 V5 M6
Tekanan darah : 150/100 mmHg
Nadi : 78 kali/menit
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu aksila : 37,5o C
VAS : 2/10
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 157 cm
IMT : 22,3 kg/m2 (gizi baik)
Pemeriksaan Umum (18/09/2018)
Mata : anemia -/-, ikterus -/-, refleks pupil +/+ isokor, conjunctival bleeding -/-

Telinga : Daun telinga N/N

Hidung : Hidung luar N/N

Tenggorok : Tonsil T1/ T1, hiperemi -/- , lidah typhoid (-)

Faring : Dalam batas normal


Mulut :

• Bibir : Kering, sianosis (-)


• Mukosa mulut: Basah, stomatitis angularis(-)
• Gusi : Dalam batas normal
• Lidah : Atropi (-), dalam batas normal
Leher : JVP PR 0 cmH20, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

Thoraks : Simetris

Cor: Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

Palpasi : Teraba iktus cordis di ICS V midclavicula line

sinistra Perkusi : Batas kanan : PSL dekstra

Batas kiri : MCL sinistra

Auskultasi : S1S2 normal, regular, murmur

(-)

Pulmo: Inspeksi : Simetris

Normal Normal

Normal Normal
Palpasi : Vokal fremitus Normal Normal

Perkusi : Sonor Sonor

Sonor Sonor

Sonor Sonor

Auskultasi : Vesikuler + +

+ +

+ +
Ronki - -

- -

- -

Wheezing
--

--

--

Abdomen

Inspeksi : distensi (-)

Auskultasi : bising usus (+) 14 kali/menit normal

Palpasi : nyeri tekan (-)


hepar dan lien tidak teraba

Perkusi : Timpani (+) N, liver span 8 cm

Ekstrimitas : Edema Hangat + +


- -

- - + +

Status Lokalis

Hasil Uji Tourniquet (-)

3.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Darah Lengkap

Hasil
Parameter 18/6 18/6 19/6 19/6 20/6 20/6 Nilai
Unit
(01:00) (18:10) (08:56) (19:28) (07:07) (18:55) Normal
WBC 3 4,10-
3.88 2.91 2.92 3.49 3.49 4.33 10 /μL 11,00
NE% 52.08 21.38 28.94 24.52 33.00 38.70 % 47-80
LYM% 35.91 64.66 59.19 66.38 52.42 52.42 % 13-40
MONO% 2,00-
10.96 11.83 10.41 7.47 9.87 7.02 %
11,00
EO% 0.33 0.93 1.31 1.06 1.58 1.39 % 0-5
BA% 0.72 1.00 0.33 0.58 0.59 0.47 % 0-2
RBC 3 4,00-
4.65 4.23 4.08 4.27 4.26 4.35 10 /μL 5,20
HGB 12,00-
14.24 12.74 12.83 12.36 12.88 12.90 g/dl
16,00
HCT 36,00-
40.30 37.10 35.34 35.84 37.53 36.29 %
46,00
MCV 80,00-
86.71 87.86 86.58 84.02 88.13 83.47 Fl
100,00
MCH 26,00-
30.65 30.10 31.44 28.98 30.25 29.66 Pg
34,00
MCHC 31,00-
35.34 34.33 36.32 34.49 34.33 35.54 g/dl
36,00
RDW 11,60-
10.56 10.65 10.81 10.96 10.58 10.39 %
14,80
PLT 3 140-
86.78 92.65 76.96 93.94 87.74 94.47 10 /μL 440

Kimia klinik (19/09/2018)


Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Keterangan
Rujukan

Kolesterol total 150 Mg/dL 140-199

Trigleserida 130 Mg/dL <150

Kolesterol HDL 29 mg/dL 40-65

Kolesterol LDL 97 mg/dL <130

Hb-A1c 8.8 % 4.8-5.9 Tinggi

3.5 Diagnosis Kerja


1. Suspect Demam Dengue Hari IV tanpa tanda
peringatan (warning sign)
2. Hipertensi grade I
3. Diabetes Mellitus Tipe II
3.6 Penatalaksanaan
- Masuk rumah sakit (MRS)
- Infus RL 30 tpm
- Diet 1800 kkalori/hari
- Paracetamol 500 mg tiap 8 jam PO
- Metformin 500 mg tiap 12 jam PO
- Amlodipin 5 mg tiap 24 jam
- KIE Minum 1,5 – 2 liter / hari
3.7 Rencana Diagnosis
- Serologi Dengue hari ke-7 (tanggal 21/06/2018): hasil positif pada IgG Anti
DHF dan negatif pada IgM Anti DHF
3.8 Monitoring
- Vital sign
- Keluhan
- DL tiap hari
- BS 2 jam pp tiap hari

BAB IV
KUNJUNGAN LAPANGAN

4.1 Alur Kunjungan Lapangan


Praktek Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) dilakukan pada tanggal 30 Juni
2018 bertempat di Jalan Diponegoro GVB No.12 Denpasar. Saat melakukan
kunjungan kami mendapat sambutan hangat dari pasien dan keluarga. Tujuan
diadakannya kunjungan ini adalah untuk mengenal lebih dekat kehidupan pasien
sehari-hari, mengidentifikasi permasalahan terkait dengan penyakit pasien dan faktor
resiko apa saja yang terdapat pada pasien terkait dengan penyakit pasien. Kunjungan
ini juga bertujuan untuk memberikan edukasi kepada pasien dan keluarga mengenai
kondisi penyakit yang dialami pasien.

4.2 Identifikasi Masalah


Permasalahan yang masih menjadi kendala bagi pasien dalam menghadapi
penyakitnya antara lain sebagai berikut :
1. Lingkungan rumah pasien yang merupakan lingkungan padat penduduk di kota
Denpasar. Jarak rumah pasien dengan rumah tetangganya yang berdekatan
membuat lingkungan rumah pasien sempit dan sangat terbatas ruang geraknya.
Permasalahan lingkungan yang padat tersebut juga mengakibatkan sirkulasi udara
dan kebersihan lingkungan rumah pasien menjadi terganggu. Rumah pasien
merupakan bangunan permanen dengan dinding batako, dan terdapat beberapa
penerangan dari jendela rumah pasien. Lantai rumah beralas semen. Penerangan
rumah pasien kurang, karena jarang terbuka, sehingga di dalam rumah cenderung
gelap dan lembab. Selain itu, halaman sekitar rumah pasien banyak terdapat hewan
peliharaan. Serta banyak terdapat perabotan rumah tangga yang menumpuk di
tempat cuci piring dan tergenang air. Menurut pasien, keluarga tersebut biasa
mencuci perabotan rumah tangga jika sudah terkumpul semua.
2. Terdapatnya hewan peliharaan dalam jumlah yang banyak di halaman rumah
pasien. Suami pasien memiliki kegemaran memelihara hewan peliharaan seperti
burung dan ayam dalam jumlah banyak di rumahnya. Pasien mengatakan bahwa
terkadang kesulitan dalam membersihkan kotoran hewan peliharaan suaminya
tersebut sehingga mengakibatkan lingkungan rumah pasien menjadi kotor.
3. Pasien sudah mulai bisa menerapkan pola hidup sehat, salah satunya adalah pasien
saat ini tidak mengonsumsi kopi, mengurangi konsumsi nasi, serta makan –
makanan sesuai dengan yang dianjurkan untuk keluhan diabetes mellitusnya.

4.3 Analisis Kebutuhan Pasien


1. Kebutuhan fisik biomedis
a. Kecukupan gizi
Pasien sehari-hari dirumah mengonsumsi makanan yang dimasaknya sendiri.
Suami pasien cukup memahami kebutuhan setiap makanan yang harus
dikonsumsi pasien sesuai dengan riwayat penyakit diabetes mellitus yang dialami
oleh pasien. Porsi nasi yang dimakan oleh pasien juga dibatasi, dengan lauk-pauk
seperti tempe, ikan, telur, dan sayuran. Konsumsi buah-buahan dan air yang
diminum oleh pasien juga selau diingat oleh suami pasien.
Perhitungan kebutuhan kalori pada pasien :

 Berat badan ideal = 90% x (TB cm- 100) x 1kg


= 51,3 kg
 Status gizi = (BB aktual : BB ideal) x 100% = (55 kg : 51,3kg) x 100% =
107 % (baik)
 Jumlah kebutuhan kalori per hari
o Kebutuhan kalori basal = BB ideal x 25 kalori (perempuan)
= 51,3kg x 25 = 1282,5 kalori
o Kebutuhan aktivitas (ringan) = + 30% x Kebutuhan kalori basal
= 20% x 1282,5= +384,75 kalori
o Kebutuhan usia = -5% x 1282,5 = - 64,125 kalori
o Kebutuhan berat badan = -20% x 1282,5= - 256,5 kalori

Jadi total kebutuhan kalori perhari untuk penderita 1282,5 + 384,75 –


64,125– 256,5 = 1346,625 kalori  dibulatkan menjadi 1347 kalori.
Distribusi makanan:
1. Karbohidrat 60% = 60% x 1347 kalori = 808,2 kalori dari karbohidrat.
Karbohidrat dibutuhkan sebesar 808,2 kalori setara dengan 202,05 gram
karbohidrat (880,8 kalori : 4 kalori/gram karbohidrat).
2. Protein 20% = 20% x 1347 kalori = 269,4 kalori dari protein. Protein
dibutuhkan sebesar 269,4 kalori setara dengan 67,35 gram protein (269,4
kalori : 4 kalori/gram protein).
3. Lemak 20% = 20% x 1347 kalori = 269,4 kalori dari lemak.
Lemak dibutuhkan sebesar 269,4 kalori setara dengan 29,9 gram lemak
(269,4 kalori : 9 kalori/gram lemak).

Nutrisi harian pasien yang disarankan mengingat pasien juga seorang


penderita diabetes mellitus dengan kebutuhan kalori sejumlah 1347 kalori
adalah:
Waktu Jumlah Jenis
Makan Pagi ± 20% dari total - Nasi putih (100 gr)
asupan harian - Sayuran (100gr)
(269,4 kalori) - Tempe (50 gr)
Selingan Pagi ± 10% dari total - Air Jahe (100 gr)
asupan harian - Melon (100gr)
(134,7 kalori)
Makan Siang ± 30% dari total - Nasi putih (120 gr)
asupan harian - Telur ayam rebus (60 gr)
(404,1 kalori) - Tempe 2 potong (10 gr)
- Sop (100 gr)
Selingan Siang ± 15% dari total - Melon / buah (100 gr)
asupan harian
(202,05 kalori)
Makan malam ± 25% dari total - Nasi putih (100 gr)
asupan harian - Sayur (100 gr)
(336,75 kalori) - Melon / buah (150 gr)

b. Kegiatan Fisik
Pasien merupakan seorang pegawai di sebuah perusahaan garmen di
Denpasar. Pada pagi hari sekitar jam 09.00 WITA pasien biasanya memulai
pekerjaanya, pukul 12.00 pasien biasanya makan siang dan beristirahat
sejenak. Setelah itu pasien melanjutkan pekerjaannya hingga pukul 16.00
WITA. Sehari – hari pasien jarang berolahraga, bahkan pasien hampir tidak
pernah melakukan olahraga.
c. Akses ke Tempat Pelayanan Kesehatan
Pasien tinggal di Jalan Diponegoro GVB Denpasar. Sekitar 2 km dari
rumah pasien terdapat Puskesmas. Jarak dari tempuh dari rumah pasien ± 10
menit dari jika menggunakan motor. Rumah pasien berjarak ± 10 km dari
RSUP Sanglah Denpasar. Penyakit demam dengue merupakan infeksi yang
terjadi disebabkan oleh gigitan nyamuk aedes aegypti. Komplikasi dari
demam dengue salah satunya adalah syok dengue yang dapat berdampak pada
gangguan kesadaran pasien. Oleh karena itu pasien rutin melakukan kontrol
poli atau puskesmas terdekat untuk memantau keberhasilan pengobatan,
mencegah perburukan penyakit dan timbulnya komplikasi. Sebelum dirawat
di RSUP Sanglah, pasien biasanya kontrol ke Puskesmas dan RSAD Udayana.
Pasien mampu mengendarai kendaraan secara mandiri ke tempat pelayanan
kesehatan untuk melakukan pemeriksaan dan terkadang diantar oleh
suaminya.
d. Lingkungan
Pasien berasal dari Karangasem yang sudah lama merantau ke Denpasar,
saat ini pasien tinggal bersama suami dan keponakannya. Pasien dan
keluarganya disatu pekarangan rumah. Lingkungan tempat tinggal pasien cukup
padat karena terdiri dari satu bangunan. Tempat tinggal pasien terletak di
pinggir jalan. Bangunan tempat tinggal pasien merupakan bangunan permanen.
Tempat tinggal pasien terdiri dari tiga kamar tidur, satu kamar tamu, dengan
sebagian teras depan rumah dijadikan tempat kosong untuk tempat tamu diluar
kamar. Kamar mandi terletak di bangunan yang sama digunakan bersama
dengan keluarga lainnya. Di depan bangunan kamar pasien terdapat halaman,
sempit dan beberapa kandang untuk hewan peliharaan suaminya dan beberapa
sangkar burung yang tergantung di depan bangunan rumah pasien dan merajan
(tempat suci). Secara keseluruhan tempat tinggal pasien tidak terlalu rapi
dengan terlihatnya beberapa sampah dan kotoran hewan peliharaan yang
berserakan di halaman depan. Ventilasi udara tempat tinggal pasien kurang.
Pasien menggunakan sumber air sumur bor untuk mandi, mencuci baju, air
minum, dan keperluan memasak.
2. Kebutuhan Bio-Psiksosial
a. Lingkungan Biologis
Keluhan pasien didasarkan karena adanya demam dengue dan riwayat
diabetes mellitus. Oleh sebab itu, sangat perlu diperhatikan pola hidup sehat
serta pengobatan terhadap kondisi pasien untuk mencegah terjadinya komplikasi
yang lebih berat.
b. Faktor Psikologis
Dalam keadaan sakit dan selama menjalani perawatan pasien membutuhkan
dukungan dari keluarga. Suami pasien selalu mengingatkan pasien untuk
mengonsumsi obat – obatan, menjaga asupan makan dan minum pasien, serta
menemani pasien untuk melakukan kontrol ke Puskesmas. Anak dan keponakan
pasien sangat memerhatikan kondisi kesehatan pasien. Suami pasien juga
membantu dalam mencari nafkah, sehingga pasien tidak merasa terbebani
karena tidak mampu bekerja selama sakit.
c. Faktor Sosial dan Kultural
Lingkungan sekitar tempat tinggal pasien jarang yang mengetahui keadaan
yang dialami pasien saat ini, mengingat lingkungan tempat tinggal pasien
merupakan lingkungan para perantau yang memiliki aktivitas padat. Pasien
mendapatkan dukungan dari teman dan lingkungan kerja pasien. Selama pasien
dirawat di rumah sakit dan juga saat pasien sudah di perbolehkan untuk pulang,
teman dan kerabat pasien ada beberapa berdatangan ke tempat tinggal pasien.
d. Faktor Spiritual
Keluarga pasien selalu mengingatkan dan mengajak pasien untuk terus
beribadah mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan
begitu dapat menjauhkan pasien dari pikiran – pikiran negatif tentang penyakit
serta tetap bersemangat dalam menjalani kehidupan kedepannya.

4.4 Penyelesaian Masalah


Terkait dengan beberapa permasalah pasien yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka kami mengusulkan penyelesaian untuk masalah pasien yaitu :
1. Edukasi pasien dan keluarga secara lebih lengkap mengenai penyakit yang
dialami pasien yaitu infeksi dengue, dan diabetes mellitus serta penatalaksanaan
yang dilakukan terkait penyakit yang dialami pasien.
2. Edukasi pasien dan keluarga untuk selalu menjaga kebersihan lingkungan
rumahnya. Pengaturan sirkulasi ruangan sangat penting mengingat tidak ada
ventilasi di rumah pasien, terlebih lagi pasien tinggal di lingkungan yang pada
penduduk. Menyarankan juga untuk selalu membersihkan tempat penampungan
air di rumah pasien setiap 1 minggu sekali untuk menghindari tumbuhnya jentik
nyamuk serta menggunakan obat nyamuk.
3. Memberikan motivasi dan semangat kepada pasien dan keluarga mengenai hal-
hal positif dan memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa pasien
membutuhkan dukungan dari keluarga, baik dukungan secara psikis maupun
yang lain.
4. Memberikan penjelasan mengenai komplikasi-komplikasi yang dapat terjadi
akibat penyakit pasien dan tindakan yang dilakukan untuk mencegah terjadinya
komplikasi tersebut. Contohnya seperti pada pasien dengan demam dengue akan
memungkin terjadi kekambuhan, terjadi demam berdarah hingga syok yang
mengancam nyawa, sehingga pasien selalu disarankan untuk selalu menjaga
kondisi dan segera ke tempat pelayanan kesehatan apabila ada gejala yang
mengarahkan ke demam berdarah dengue.
5. Edukasi dan mengajak pasien untuk memulai melakukan olahraga yang ringan
ketika waktu senggang. Olah raga yang dapat dilakukan seperti berjalan kaki,
bersepeda, atau senam. Memberikan edukasi kepada suami pasien untuk
memperhatikan dan mengingatkan pasien mengenai pola makan yang sehat.
6. Pasien diingatkan untuk mengonsumsi obat yang diberikan dan rutin melakukan
kontrol ke puskesmas. Kontrol dilakukan bukan hanya pada saat keluhan sudah
memberat namun juga disaat pasien tidak ada keluhan, dengan tujuan adalah
untuk mengevaluasi kondisi pasien.
BAB V
KESIMPULAN

Penyakit demam berdarah dengue (DBD) masih menjadi masalah


kesehatan masyarakat dan endemis di Indonesia. Demam berdarah dengue (DBD)
adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue dan mengakibatkan
spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara yang paling ringan, demam dengue
(DD), DBD dan demam dengue yang disertai renjatan atau dengue shock syndrome
(DSS).
Berdasarkan kasus yang diuraikan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang pasien didiagnosis dengan Demam Dengue tanpa warning
sign dan telah diberiksan tatalaksana komprehensif sesuai teori. Pada kunjungan yang
dilakukan telah diidenfikasi masalah pada pasien yaitu masalah kebersihan
lingkungan rumah pasien.
Telah dilakukan edukasi pasien dan keluarga secara lebih lengkap mengenai
penyakit yang dialami pasien yaitu demam dengue, dan diabetes mellitus serta
penatalaksanaan yang dilakukan terkait penyakit yang dialami pasien. memberikan
motivasi dan semangat kepada pasien dan keluarga mengenai hal-hal positif dan
memberikan penjelasan kepada keluarga bahwa pasien membutuhkan dukungan dari
keluarga, baik dukungan secara psikis maupun yang lain, edukasi dan mengajak
pasien untuk memulai melakukan olahraga yang ringan ketika waktu senggang.
Pasien diingatkan untuk mengonsumsi obat yang diberikan dan rutin
melakukan kontrol ke puskesmas. Kontrol dilakukan bukan hanya pada saat keluhan
sudah memberat namun juga disaat pasien tidak ada keluhan, dengan tujuan adalah
untuk mengevaluasi kondisi pasien.
Dokumentasi Hasil Kunjungan
DAFTAR PUSTAKA

1. Kurane I. Dengue Hemorrhagic Fever with Spesial Emphasis on


Immunopathogenesis. Comparative Immunology, Microbiology & Infectious
Disease. 2007; Vol 30:329-40.
2. WHO. Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit Demam Dengue dan
Demam Berdarah Dengue. Jakarta: WHO & Departemen Kesehatan RI; 2003.
3. Lestari K. Epidemiologi Dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD)
Di Indonesia. Farmaka. Desember 2007; Vol. 5 No. 3: hal . 12-29.
4. .Susanti, Y. Management Function Enquiry Dengue Fever Dengue
Epidemiology In Health City Semarang. Medical Faculty of the University of
Dian Nuswantoro. Semarang; 2014.
5. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Profil Kesehatan Indonesia 2010
[internet]. 2011 [cited 2011 Oct 21]. Available from :
http://www.depkes.go.id/downloads/profil_kesehatan_indonesia_ 2010.pdf
6. Wilder-Smith A, Gubler D. Geographic Expansion of Dengue: the Impact of
International Travel. Med Clin NAm. 2008; Vol. 92: p. 1377-90.
7. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Linkungan. Tata
laksana demam berdarah dengue di Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan
Republik Indonesia: 2006.p 1-6.
8. Tedy B.S, TH. Analisis Faktor Risiko Perilaku Masyarakat Terhadap
Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kelurahan Helvetia Tengah
Medan Tahun 2005. Jurnal Mutiara Kesehatan Indonesia. Vol. 1, No. 2, Edisi
Desember 2005.
9. CDC. 2009. Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. U.S. Department of
Health and Human Service Centers for Disease Control and Prevention.
(http://www.cdc.gov/Dengue/resources/Dengue&DHF%20Information%20fo
r%20Health%20Care%20Practitioners_2009.pdf)
10. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam Berdarah Dengue. In:
SudoyoAru W Setiyohadi B, Alwi I, Setiati S, Simadibrata M, editors. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.
p. 2773-79.
11. Rezeki, Sri H et al. 2004. Tata Laksana Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia Direktorat jendral 58
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Edisi ke-3.
Jakarta: Departemen Kesehatan
12. WHO. Dengue: Guidlines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control.
New Edition. Geneva: World Health Organization; 2009
13. Soegijanto S. Patogenesa dan Perubahan Patofisiologi Infeksi Virus Dengue.
www.pediatrikcom/buletin/200602208ma2gi-buletindoc; 2002 [cited 2010];
Available from: www.pediatrikcom/ buletin/20060220-8ma2gi-buletindoc.
14. Koraka P, Suharti C, Setiati CE, Mairuhu AT, Van Gorp E, Hack CE, et al.
Kinetics of Dengue Virus-specific Immunoglobulin Classes and Subclasses
Correlate with Clinical Outcome of Infection. J Clin Microbio. 2001;Vol. 39
4332-8.
15. Darwis D. Kegawatan Demam Berdarah Dengue Pada Anak. Naskah lengkap,
pelatihan bagi dokter spesialis anak dan dokter spesialis penyakit dalam pada
tata laksana kasus DBD. Jakarta: Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 1999.
16. Dewi BE, Takasaki T, Sudiro TM, Nelwan R, Kurane I. Elevated Levels of
Solube Tumour Necrosis Factor Receptor 1, Thrombomodulin and Solube
Endothelial Cell adhesion Molecules in Patients with Dengue Hemorrhagic
Fever. Dengue Bulletin. 2007;Vol 31:103-10.
17. Gibson RV. Dengue Conundrums. International Journal of Antimicrobial
Agents. 2010;Vol 36(26-39).
18. Sowandoyo E, editor. Demam Berdarah Dengue pada Orang Dewasa, Gejala
Klinik dan Penatalaksanaannya. Seminar Demam Berdarah Dengue di
Indonesia 1998; RS Sumberwaras. Jakarta.
19. Wang S, Patarapotikul HR. AntibodyEnhanced Binding of Dengue Vitus to
Human Platelets. J Virology. 1995;Vol. 213:1254-7.
20. Soegijanto S. Prospek Pemanfaatan Vaksin Dengue Untuk Menurunkan
Prevalensi di Masyarakat. Dipresentasikan di Peringatan 90 Tahun Pendidikan
Dokter di FK Unair; Surabaya; 2003.
21. Avirutnan P, Malasit P, Seliger B, Bhakti S, Husmann M. Dengue Virus
Infection of Human Endothelial Cells Leads to Chemokin Production,
Complement Activation, and Apoptosis. J Immunol. 1998;Vol 161:6338-46.
22. Knowlton K, Solomon G, Rotkin-Ellman M, Pitch F. Mosquito-Borne
Dengue Fever Threat Spreading in the Americas. New York: Natural
Resources Defense Council Issue Paper; 2009
23. Roose A. Hubungan Sosiodemografi dan Lingkungan dengan Kejadian
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kecamatan Bukit Raya Kota
Pekanbaru. Medan: Universitas Sumatera Utara; 2008.
24. Hapsari, MMDEAH. Tatalaksana Infeksi Dengue. Divisi Infeksi & Penyakit
Tropis Departemen Kesehatan Anak RSUP Dr KariAdi Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro. Semarang 2014.
25. Depkes RI. Gerakan Indonesia Cinta Sehat Pembangunan Kesehatan dengan
Upaya Promotive- Preventive dengan Tidak Mengabaikan Kuratif dan
Rehabilitatif. Jakarta. 2012.
26. WHO. Handbook for clinical management of dengue. WHO Library
Cataloguing in Publication Data; 2012. p. 39.
27. Sudaryono. Perbedaan Manifestasi Klinis dan Laboratorium Berdasarkan
Jenis Imunoglobulin pada Penderita Demam Berdarah Dengue. Perpustakaan:
Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2011.
28. WHO. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and
Dengue Haemorrhagic Fever. Revised and expanded edition. 2011.

Anda mungkin juga menyukai