Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Teori Belajar Bahasa

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 7

Nama kelompok 3:

1) Imelda Septia Ningrum 210210402046


2) Shelyna Purnomo Fazri 210210402049
3) Uril Handayani 210210402075
4) Ruhil Gusti Ramadhan 210210402076

A. Pengertian Teori Belajar Nativisme


Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari
filsafat nativisma sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu
pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir,
dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran ini adalah Arthur Schopenhauer seorang
filosof Jerman yang hidup tahun 1788-1880 dan Noam Chomsky pada awal tahun 1960.
Teori nativisme terbentuk sebagai bantahan terhadap teori behavioris. Nativisme
berpendapat bahwa dalam proses pemerolehan bahasa pertama, anak perlahan
menggunakan kemampuan lingualnya yang telah terprogram secara genetis. Sehingga
menurut para pakar teori ini, lingkungan tidak mempunyai pengaruh dalam proses
pemerolehan bahasa. Chomsky berpendapat bahwa bahasa itu terlalu kompleks dan
mustahil dapat dipelajari oleh manusia dalam waktu singkat atau hanya dengan proses
peniruan yang diyakini kaum behavioristik. Sehingga ia menegaskan bahwa bahasa hanya
dapat dikuasai oleh manusia, karena:
1) Perilaku bahasa adalah sesuatu yang genetis, dimana memiliki pola
pengembangan dan lingkungan hanya memiliki peran kecil dalam pematangan
sebuah bahasa.
Jadi kemampuan bahasa itu sudah alami dimiliki manusia, seorang anak pasti
bisa menguasai bahasa apapun sesuai dimana ia dibesarkan. Anak yang lahir di
indonesia pasti bisa bahasa indonesia, dan anak yang dilahirkan di amerika juga
bisa dipastikan bisa berbahasa inggris.
2) Bahasa bisa dikuasai dalam waktu yang relatif singkat.
Tanpa adanya perangkat yang disebut LAD seorang anak tidak mungkin bisa
memiliki kemampuan berbahasa dalam waktu relatif cepat dan bisa
menggunakannya dengan sistem bahasa dan sistem bunyi yang rumit.
B. Proses Pemerolehan Bahasa Menurut Teori Nativis
Pemerolehan bahasa adalah proses penguasaan bahasa yang dilakukan seorang anak
secara nature atau alamiah pada saat dia belajar bahasa ibunya. Dalam proses ini,
biasanya anak belajar tanpa sengaja dari lingkungannya, dengan kata lain tidak melalui
proses belajar-mengajar formal.
Terdapat 3 pandangan dalam pemerolehan bahasa ini, yaitu: teori behaviorisme,
nativis dan kognitif. Yang pertama menurut pandangan teori behaviorisme. Teori ini
mengatakan bahwa anak dilahirkan tanpa membawa apa-apa, seperti kertas kosong.
Pandangan ini percaya bahwa anak tidak dibekali apa-apa oleh penciptanya dan
lingkunganlah yang menjadi faktor utama dalam membentuk kemampuan anak. Jadi
menurut aliran ini, seorang anak belajar bahasa dengan memperoleh bahasa dari
lingkungan bahasa yang ada disekitarnya, dengan cara mengulang-ulang wacana bahasa
yang digunakan dalam lingkungannya, sampai tingkah laku berbahasa itu menjadi
kebiasaan.
Pandangan behaviorime ini berbeda dengan pandangan nativis. Menurut Teori nativis
lingkungan tidak berpengaruh terlalu penting. Menurut Chomsky anak sejak lahir sudah
dibekali dengan kemampuan berbahasa atau alat pemerolehan bahasa (Language
Acquisition Device, yang disingkat LAD). Alat ini digunakan untuk mengamati secara
sistematis bahasa yang ada di sekitarnya. LAD ini dianggap sebagai suatu bagian fisiologi
dari otak yang dikhususkan untuk memproses bahasa, dan hanya manusia yang memiliki
alat ini, sehingga hanya manusia yang mampu berbahasa. Jadi dengan adanya bekal atau
alat tersebut anak hanya perlu mendapat rangsangan dari alam sekitarnya untuk
menghidupkan apa yang ada didalam perangkat bahasa tersebut.
Nah sekarang kita kenalan dengan LAD (Language Acquisition Devices). LAD
adalah perangkat yang dimiliki manusia, dimana dengan perangkat ini setiap anak dapat
menguasai sistem bahasa yang kompleks, bunyi bahasa, kosakata, tata bahasa, ilmu
semantik, dan lain-lain yang memungkinkan setiap anak bisa berbahasa dengan baik.
Perangkat ini terdiri dari 3 bagian penting, yaitu: otak atau sistem saraf pusat, alat dengar
dan alat ucap
Proses bahasa terjadi secara rumit dimana sistem syaraf pusat menjadi kendali utama
dalam memproses bahasa. Sebelah kiri dari sistem syaraf pusat diyakini sebagai tempat
untuk menghasil-kan bahasa, berbicara dan menulis. Di sebelah otak kanan ada wilayah
wernicke dan pada bagian tengah ada wilayah motor suplementer yang berfungsi
mengendalikan unsur fisik penghasil ujaran (Simanjuntak, 1990: 194). Proses yang rumit
itu bisa disederhana-kan dengan alur berikut; bunyi bahasa didengarkan dan difahami
melalua wernicke, lalu dialihkan ke daerah Broca untuk mempersipakan respon bahasa,
kemudian baru dikirim ke daerah motor seperti alat ucap atau tulis untuk kemudian
dihasilkan respon berupa bahasa fisik, baik ucapan, isyarat maupun tulisan (Etty
Rohayati, 2012).
C. Tahapan pemerolehan bahasa menurut teori nativisme
Proses pemerolehan bahasa menurut teori nativisme berlangsung melalui beberapa
tahapan, yaitu:
1. Tahap pertama, yaitu masa bayi baru lahir sampai usia 2 tahun, disebut sebagai tahap
pembentukan bahasa. Pada tahap ini, bayi mampu mengenali dan membedakan
berbagai suara dan intonasi bahasa yang dikenal disekitarnya. Kemampuan ini
disebut sebagai kemampuan fonetik.
2. Tahap kedua, yaitu usia 2 tahun sampai 3 tahun, disebut sebagai tahap pembentukan
kosakata. Pada tahap ini, anak mulai menyusun kata-kata menjadi kalimat sederhana
dan memahami arti dari kata-kata tersebut. Kemampuan ini disebut sebagai
kemampuan semantik.
3. Tahap ketiga, yaitu usia 3 tahun ke atas, disebut sebagai tahap pembentukan tata
bahasa. Pada tahap ini, anak mulai memahami tata bahasa yang kompleks, seperti
aturan-aturan tata bahasa, keterkaitan antara subjek dan predikat, dan sejenisnya.
Kemampuan ini disebut kemampuan sintaksis.
Proses pemerolehan bahasa terjadi secara alami dan spontan tanpa adanya pengajaran
formal dari orang tua atau lingkungan sekitar. Kemampuan bawaan manusia untuk
memahami bahasa ini disebut sebagai "instink bahasa". Konteks sosial dan budaya
memengaruhi bagaimana bahasa dipakai, tetapi tidak memengaruhi kemampuan dasar
manusia dalam memperoleh bahasa.
D. Berikut ini beberapa argumentasi, atau pertimbangan, yang dikemukakan oleh
kaum Nativis untuk mendukung Hipotesis Bawaan.
1. Anak-anak menguasai bahasa pertama sebelum mereka berusia lima tahun (Elliot,
1987). Dalam umur semuda ini anak menguasai suatu sistem yang kompleks tanpa
arahan formal. Padahal, data bahasa yang dijadikan sumber rujukan sering tidak
berurutan. Ujaran-ujaran orang dewasa yang didengar oleh anak-anak tidak selalu
berwujud kalimat yang benar secara gramitikal. Kalimat-kalimat sering tidak lengkap
dan sering terjadi salah ucap. Di samping itu, data bahasa berasal dari beberapa
sumber yang berbeda. Misalnya tuturan ibu, kakak, nenek, kakek dan sebagainya
tidak selalu sama dalam gaya bahasa penggunaan kosakata, pengucapan dan
sebagainya. Oleh karena itu anak tidak mungkin menguasai bahasa dalam waktu
singkat hanya dengan meniru saja.
2. Data bahasa yang diterima terbatas, namun kemampuan anak-anak memproses dan
membentuk ujaran-ujaran tidak terbatas. Dengan kaidah bahasa dan kosakata yang
telah mereka kuasai, mereka dapat menuturkan ujaraan-ujaran yang belum pernah
mereka dengar. Dengan kata lain, mereka memiliki kreativitas bahasa (linguistic
creativity).
3. Kaum Nativis berpendapat bahwa ujaran anak bukan tiruan dari apa yang didengarnya
dari orang tuanya atau orang di sekitarnya. Anak yang berbahasa Inggris
mengucapkan All gone milk tentunya bukan karena ia meniru tuturan orang tuanya.
Bahkan mungkin orang tuanya yang menirukan ujaran anaknya.
4. Berdasarkan kenyataan yang ada, anak-anak dapat membentuk kalimat atau ujaran
yang belum pernah mereka dengar. Mereka dapat menyusun kalimat berdasarkan
kombinasi-kombinasi dari kata-kata yang sudah mereka kuasai, tetapi kalimat-kalimat
atau ujaran-ujaran tersebut belum pernah mereka dengar. Jika belajar bahasa hanya
berdasarkan peniruan, maka tidak mungkin anak dapat menyusun kalimat atau ujaran
yang belum pernah mereka dengar.
5. Anak-anak mampu menguasai kaidah-kaidah bahasanya walaupun mereka tidak
secara formal menerima penjelasan mengenai tata bahasa atau kaidah bahasa.
6. Anak-anak mampu menguasai kurang lebih dua belas kata sehari (Chomsky, 1988,
dikutip oleh Z. Hamid, 1989). Mereka menguasai kosakata tanpa bersusah payah dan
mungkin sambil bermain, berlari, bercerita dan sebagainya. Demikian pula hasil
penelitian Clark (1982) pada anak-anak dengan latarbelakang bahasa yang berbeda,
yakni bahasa Inggris, Jerman, dan Perancis, menunjukkan bahwa anak-anak
menciptakan kata-kata baru berdasarkan kata-kata yang telah dikuasai. Di dalam
berbicara mengenai tindakan (action), tampaknya anak-anak mengambil kata-kata
benda yang telah diketahui untuk menciptakan kata kerja dengan makna baru. Berikut
ini beberapa contoh: I’m souping untuk I’m eating soup; Don’t hair me untuk Don’t
brush my hair; Towel me, Mommy. Mereka juga menciptakan kata mejemuk baru,
misalnya fix man untuk mechanic; dan kata benda baru, misalnya, winder untuk
mesin pembuat es krim. Kenyataan ini, yakni kemampuan menguasai kosakata baru
dan kreativitas leksikal, menunjukkan bahwa rangsangan yang sedikit sudah memadai
untuk dapat memicu pengetahuan yang sudah dimiliki oleh anak yakni kemampuan
yang dibawa sejak lahir.

Keenam hal di atas ini adalah beberapa argumentasi yang diajukan oleh kaum Nativis
untuk menunjukkan bahwa anak-anak telah dilengkapi dengan alat khusus untuk
memperoleh bahasa, baik tata bahasa, sistem bunyi, maupun kosakatanya. Tanpa
LAD, tanpa dibekali kemampuan yang dibawa sejak lahir, mustahil anak-anak dapat
memiliki kemahiran berbahasa.
E. Kelebihan dan Kekurangan Teori Nativisme
 Kelebihan
1. Dapat menonjolkan bakat yang manusia miliki
Melalui adanya teori ini besar harapan bagi manusia dapat memaksimalkan
bakat dan kemampuan dasar yang mereka miliki karena sudah mengetahui bakat
yang dapat ia kembangkan. Hal ini, nantinya mempermudah manusia menumbuh
kembangkan sesuatu hal yang berpotensi besar untuk dirinya agar mengalami
kemajuan hidup.
2. Mendorong perwujudan diri sebagai manusia berkompetensi
Teori tersebut memberikan harapan yang besar untuk manusia untuk lebih
inovatif serta kreatif didalam usahanya untuk mengembangkan bakat dan minat
supaya berkompeten sebagai manusia yang mampu melewati persaingan dengan
manusia lain didalam menghadapi rintangan dan tantangan era modern yang kian
hari semakin dibutuhkannya insan berkompeten yang memiliki keunggulan lebih
dibanding lainnya.
3. Membantu manusia dalam penentuan dari sebuah pilihan
Diharapkan dengan teori tersebut manusia mampu memiliki sikap bijak
didalam menentukan setiap pilihan mereka, dan jika pilihannya telah ditentukan
ia akan mempunyai komitmen tinggi dan berpegang secara teguh dalam pilihan
yang ia pilih tersebut serta memiliki keyakinan ia telah memilih pilihan terbaik.
4. Mendorong perkembangan potensi diri manusia.
Agar manusia mempunyai peranan aktif dalam mengembangkan potensi diri
yang dimiliki agar mereka menjadi pribadi dengan ciri khas ataupun ciri khusus
selaku jati diri manusia.
 Kekurangan
Pandangan negative dari teori ini adalah seolah-olah manusia memiliki sifat-
sifat sulit diubah karena sifat-sifat turunan telah melekat padanya sejak lahir. Teori
ini berasumsi keturunan baik psti menjadi sosok baik dan keturunan jahat menjadi
sosok jahat. Dengan kata lain menyatakan bahwa sifat manusia merupakan hal
permanen tidak dapat diubah oleh siapapun dan apapun. Pandangan berikutnya
adalah tentang pendidikan hanya menjadi hal pesimistis serta mendeskreditkan
golongan manusia yang hanya “kebetulan” mempunyai keturunan yang tak baik.
F. Teori nativisme dalam pembelajaran bahasa Indonesia dapat diimplementasikan
melalui beberapa cara, yaitu:
1. Memberikan pengalaman langsung
Memberikan pengalaman langsung dalam pembelajaran bahasa Indonesia
akan membantu siswa mempelajari bahasa secara alami seperti anak kecil yang
belajar bahasa mereka. Siswa dapat diberi kesempatan untuk berbicara langsung
dengan penutur asli bahasa Indonesia atau melakukan aktivitas yang melibatkan
penggunaan bahasa seperti berkunjung ke pasar tradisional, berkomunikasi dengan
tetangga, atau melakukan kegiatan yang menuntut penggunaan bahasa Indonesia
secara aktif.
2. Menggunakan media elektronik
Implementasi teori nativisme juga dapat dilakukan dengan menggunakan
media elektronik seperti video atau audio yang menampilkan penutur asli bahasa
Indonesia yang berbicara secara alami. Siswa dapat diminta untuk menonton atau
mendengarkan rekaman tersebut secara teratur untuk membantu mereka
mempelajari tata bahasa dan kosakata bahasa Indonesia dengan lebih efektif.
3. Menggunakan metode komunikatif
Metode komunikatif adalah pendekatan yang memiliki kesamaan dengan teori
nativisme dalam memperkenalkan bahasa seperti anak kecil alami. Metode ini fokus
pada kemampuan berkomunikasi secara efektif dalam bahasa target siswa yang
sedang dipelajari. Oleh karena itu, siswa akan ditempatkan dalam situasi
komunikatif yang melibatkan penggunaan bahasa Indonesia secara aktif.
4. Menggunakan lingkungan yang mendukung
Lingkungan belajar yang mendukung adalah elemen penting dalam
implementasi teori nativisme. Lingkungan yang mendukung memiliki unsur
penggunaan bahasa Indonesia secara aktif, seperti poster dengan kosakata bahasa
Indonesia yang dipajang di kelas atau di sekitar sekolah, serta dukungan penutur
asli bahasa Indonesia yang dapat berinteraksi dengan siswa dan memberikan
masukan terkait penggunaan bahasa Indonesia.
Dalam praktiknya, penerapan teori nativisme dalam pembelajaran bahasa Indonesia
banyak dilakukan melalui penggunaan metode pembelajaran yang difokuskan pada
penggunaan bahasa secara alami dan komunikatif. Penting untuk memperhatikan
lingkungan belajar yang mendukung dan memanfaatkan teknologi untuk membantu
meningkatkan kemampuan siswa dalam belajar. bahasa Indonesia secara efektif.

Anda mungkin juga menyukai