Lembaga Pembiayaan Syariah
Lembaga Pembiayaan Syariah
Lembaga Pembiayaan Syariah
KELAS :3E
DISUSUN OLEH : KELOMPOK 8
1. MARISA LUMBAN GAOL (220510276)
2. LEDINA PUTRI (220510219)
3. DHIYA AULIA ( 220510316)
4. NADIA SABITHA HARRIN ( 220510314 )
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MALIKUSSALEH
T.A 2022/2023
KATA PENGHANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat
dan hidanyah-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas penyusunan Makalah dengan judul
“PERADILAN HUKUM ADAT”.penulisan makalah ini kami susun untuk memenuhi tugas
kelompok Mata Kuliah Hukum Adat.
Dalam penyusunan makalah ini kami buat dengan usaha semaksimal mungkin dan
dengan penjelasan sesuai literatur yang kami pakai agat mudah di pahami oleh pembaca.
Jika di temukan adanya ketidaksempurnaan makalah ini kami menerima kritik dan saran
yang membangun dari pembaca. Agar kami dapat melakukan perbaikan untuk penulisan yang
berikutnya.
Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGHANTAR ............................................................................................................................... i
BAB I ........................................................................................................................................................... 2
PENDAHULUAN
BAB II........................................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN ......................................................................................................................................... 4
1. PENGERTIAN .............................................................................................................................. 4
2. LEMBAGA PEMBIAYAAN SYARIAH ..................................................................................... 4
1. PENGERTIAN .............................................................................................................................. 5
2. MEKANISME SEWA GUNA USAHA SYARIAH .................................................................... 5
3. PRINSIP SEWA GUNA USAHA SYARIAH ............................................................................. 5
1. PENGERTIAN............................................................................................................................... 7
2. DASAR HUKUM .......................................................................................................................... 7
3. MEKANISME KARTU KREDIT SYARIAH .............................................................................. 7
PENUTUP ................................................................................................................................................... 8
1. KESIMPULAN .......................................................................................................................... 9
2. SARAN .......................................................................................................................................... 9
1.3 Tujuan
1. Mengetahui sarta memahami mengenai Lembaga Pembiayan dalam pandangan Islam .
2. Mengetahui bagaimana lembaga pembiayaan itu berjalan .
3. Mengetahui jenis jenis lembaga pembiayaan.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Lembaga Pembiayaan
1. Pengertian Lembaga Pembiayaan
Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang melakukan urusan pembiayaan dalam bentuk
penyediaan dana atau barang modal. Dalam Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2009
menjelaskan bahwa lembaga pembiayaan sebagai badan usaha uang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal. Lembaga pembiayaan
merupakan salah satu bentuk usaha yang mempunyai peran sangat penting dalam pembiayaan.
Kegiatan lembaga pembiayaan ini dilakukan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal
dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat dalam bentuk giro, deposito,
tabungan dan surat sanggup bayar. Oleh karena itu, lembaga pembiayaan juga berperan sebagai
salah satu lembaga sumber pembiayaan alternatif yang potensial untukmenunjang perekonomian
nasional. Lembaga pembiayaan adalah badan usaha yang dilakukan kegiatan pembiayaan dalam
bentuk penyediaan dana atau modal dengan tidak menarik dana secara langsung dari masyarakat.
Dari pengertian tersebut di atas terdapat beberapa unsur-unsur:
a. Badan usaha, yaitu perusahaan pembiayaan yang khusus didirikan untuk melakukan kegiatan
yang termasuk dalam bidang usaha lembaga pembiayaan.
b. Kegiatan pembiayaan, yaitu melakukan kegiatan atau aktivitas dengan cara membiayai pada
pihak-pihak atau sektor usaha yang membutuhkan.
c. Penyediaan dana, yaitu perbuatan menyediakan dana untuk suatu keperluan.
d. Barang modal, yaitu barang yang dipakai untuk menghasilkan sesuatu.
e. Tidak menarik dana secara langsung.
f.Masyarakat, yaitu sejumlah orang yang hidup bersama di suatu tempat.
2. Anjak Piutang
Anjak Piutang (Factoring) menurut Perpres No. 9 Tahun 2009 adalah anjak kegiatan pembiayaan
dalam bentuk pembelian piutang dagang jangka pendek suatu Perusahaan berikut pengurusan
atas piutang tersebut.
3. Kartu Kredit
Menurut Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2009, usaha kartu kredit adalah kegiatan
pembiayaan untuk pembelian barang dan/atau jasa dengan menggunakan kartu kredit.
Kegiataan usaha pembiayaan dan sumber pendanaan perusahaan pembiayaan syariah harus
sesuai dengan ajaran Islam (in complinace with syariah) yang bebas dari unsur riba, haram, dan
gharar. Oleh karena itu, perusahaan pembiayaan syariah harus diatur dalam peraturan yang jelas.
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, untuk memberikan kerangka hukum yang jelas dan
memadai terhadap sumber pendanaan, pembiayaan dan akad syariah yang menjadi dasar
kegiataan perusahaan pembiayaan syariah, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan (BAPEPAM-LK) mengeluarkan peraturan No: PER-03/BL/2007 tentang Kegiataan
Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah dan No: PER-04/BL/2007 tentang Akad-
Akad yang Digunakan Dalam Kegiataan Perusahaan Pembiayaan Berdasarkan Prinsip Syariah.
Pasal 5 Peraturan Ketua BAPEPAM LK No: PER-03/BL/2007 jelas menyatakan: “Setiap
perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah wajib
menyalurkan dana untuk kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.”
Adapun yang dimaksud dengan prinsip syariah, sebagaimana menurut Pasal 1 butir 6 adalah
sebagai berikut: “Prinsip Syariah adalah ketentuan hukum Islam yang menjadi pedoman dalam
kegiatan operasional perusahaan dan transaksi antara lembaga keuangan atau lembaga bisnis
syariah dengan pihak lain yang telah dan akan diatur oleh DSN-MUI.”
Berdasarkan ketentuan di atas, dapat dipahami bahwa kepatuhan terhadap prinsip syariah bagi
perusahaan pembiayaan yang menjalankan aktifitasnya berdasarkan prinsip syariah adalah suatu
kemestian yang tidak boleh dilanggar. Prinsip syariah tersebut merupakan peraturan-peraturan
yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) dalam
bentuk fatwa. Fatwa ini sebagai guideline bagi perusahaan pembiayaan syariah dalam
menjalankan kegiatan pembiayaannya.
Adapun yang dimaksud dengan kegiatan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, sesuai yang
diatur dalam Pasal 6 Peraturan Ketua BAPEPAM LK No: PER-03/BL/2007 adalah sebagai
berikut:
1. Sewa Guna Usaha, yang dilakukan berdasarkan: Ijarah; Ijarah Muntahiya Bittamlik;
2.Anjak Piutang, yang dilakukan berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
3.Pembiayaan Konsumen, yang dilakukan berdasarkan: Murabahah; Salam; atau Istishna’.
4.Usaha Kartu Kredit yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah.
Kegiataan pembiayaan lainya yang dilakukan sesuai dengan Prinsip Syariah. Pada dasarnya,
sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, kegiataan usaha perusahaan pembiayaan
konvesional dengan perusahaan pembiayaan syariah adalah sama, yang membedakan antara
keduanya adalah model akad yang digunakan dalam menjalankan kegiatan usaha tersebut.
Ketentuan di atas menjelaskan akad-akad apa saja yang sesuai untuk diaplikasikan pada setiap
kegiataan usaha yang ada.
Pembiayaan syariah bisa melakukan atau mengembangkan model kegiataan pembiayaan lain
diluar model kegiataan pembiayaan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, ada peluang bagi
perusahaan pembiayaan syariah untuk mengembangkan produk-produk pembiayaan baru yang
lebih variatif yang dianggap profitable sehingga kegiataan perusahaan menjadi lebih
berkembang. Produk-produk baru tersebut baru bisa dijalankan oleh perusahaan pembiayaan
syariah setelah mendapatkan opini dari Dewan Pengawas Syariah dan disetujui oleh OJK.
2.2. AL IJARAH - SEWA GUNA USAHA (LEASING)
1. Pengertian Ijarah
Perusahaan sewa guna usaha di Indonesia lebih dikenal dengan nama leasing. Kegiatan utama
perusahaan sewa guna usaha adalah bergerak di bidang pembiayaan untuk keperluan barang-
barang modal yang diinginkan oleh nasabah. Pembiayaan disini dimaksudkan jika seorang
nasabah membutuhkan barang-barang modal seperti peralatan kantor atau mobil dengan cara
disewa atau dibeli secara kredit dapat diperoleh diperusahaan leasing. Pihak leasing dapat
membiayai keinginan nasabah sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati kedua belah pihak.
Al Ijarah adalah akad perpindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership milkiyyah) atas barang itu
sendiri.1 Secara harfiah Ijarah berarti memberikan sesuatu dengan sewa, dan secara teknis ia
menyangkut penggunaan property milik orang lain bedasarkan ongkos sewa yang diminta atau
sering disebut leasing (sewa beli) atau ijarah yang sering dipraktikkan oleh bank-bank Islam.
Perbedaan antara penjualan (bai) dan Ijarah adalah pemindahan kepemilikan vis-avis
pemindahan manfaat.
1 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah: Wacana Ulama & Cendikia, (Jakarta: Tazkia
Institute, 1999), hal 155. 1 Maksudnya, property yang disewakan tetap dalam pemilikan orang
yang menyewakan dan hanya manfaatnya saja yang dipindahkan kepada penyewa.
2 Ijarah sering juga diketahui sebagai sewa guna usaha, yaitu perjanjian antara lessor
(perusahaan leasing) dengan lesse (nasabah) di mana pihak lessor menyediakan barang dengan
hak penggunaan oleh lesse dengan imbalan pembayaran sewa untuk jangka waktu tertentu.
2. Dasar Hukum
1. Al Qur’an
َ ۞ ِ َ َ ُ نٞ ِ َ ََ ۡ َ نۡ أَ د رَ َ ن اۡ أِ ذۡ إُ ۡ َ َ َ َ حُ َ َ ۡ ُ َ ٰ َ ۡ وَ ْ أ آ ُ ِ َۡ ۡ َ ُ ۡ َ ٓ ِ ُ ۡ َ وفَ اُ ءِ ۡ َ ۡ َ ْ وٱُ ا وٱَ ٱَ ْ آ ُ َ ۡ نَ أ ٱ
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada dosa bagimu apabila
kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. bertakwalah kamu kepada Allah dan
Ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al Baqarah: 233)
2. Al Hadits
)روى ابن عبس أن النبي صلى هللا علیھ وسلم احتجم واعطى الحجام اجر ه (رواه أحمد والبخا رومسلم
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Berbekamlah kamu,
kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu.” (HR. Bukhari dan Muslim).
3.Prinsip- Prinsip Syariah dalam Ijarah
Rukun dan ketentuan umum yang telah diatur dalam syariah sebagai prinsip yang digunakan
sebagai landasan operasional Ijarah dapat dibagi dalam beberapa ketentuan;
1. Sighat (ucapan) Sighat kontrak ijarah adalah pernyataan niat dari dua pihak yang berkontrak,
baik secara verbal atau tulisan. Pernyataan tersebut berupa penawaran dari pemilik asset dan
penerimaan yang dinyatakan oleh penyewa.
2. Pelaksanaan Ijarah Hukum dasar Ijarah adalah bahwa kontrak itu harus bisa dilaksanakan.
Bila tidak ada keterangan bagaimana pelaksanaan kontrak itu, atau tidak tercantum kapan
kontrak itu dimulai, maka ijarah akan dimulai pada saat berkontrak dan akan dilaksanakan mulai
saat itu. Para ulama sependapat bahwa pelaksanaan sebuah kontrak ijarah dapat ditunda sampai
suatu waktu. Tetapi hal semacam itu dianggap oleh madzhab Hanafi sebagai kontrak yang tidak
mengikat, dan karenanya mereka berpendapat bahwa ijarah yang mengikat adalah kontrak yang
sudah dilaksanakan.
3. Syarat mengikat Ijarah Sebagian besar ulama sepakat bahwa ijarah seperti jual-beli.
Keduanya tidak bisa dibuat terikat kepada sebuah peristiwa pada masa yang akan dating atau
pada syarat tertentu. Tetapi Ibnu Taimiyah dan Ibn al Jauziyah membolehkannya.
4. Pihak yang Berkontrak Orang yang dianggap boleh melaukan kontrak ijarah adalah yang
balligh dan berakal sehat. Kalangan ulama sepakat bahwa ijarah tidak sah bila dilakukan oleh
orang-orang yang tidak kompeten. Orang yang dianggap kompeten adalah yang mempunyai
kualifikasi dalam menggunakan uang. Untuk kesempurnaan ijarah juga disyaratkan agar masing-
masing pihak sepenuhnya rela atas kontrak tersebut. Selain itu, masing-masing pihak harus
mempunyai wewenang untuk melakukan kontrak. Ini berasal dari pandangan madzhab Hanafi
dan madzhab Maliki yang mengatakan bahwa kewenangan bertindak adalah syarat bagi kontrak
untuk bisa dilaksanakan.
5. Objek Objek Ijarah adalah manfaat dari penggunaan asset serta sewa atas manfaat tersebut.
6. Manfaat Kontrak harus terdiri dari penggunaan atau manfaat dari sebuah asset tertentu.
Misalnya, seseorang berkata kepada yang lain, “Saya sewakankepada Anda ini.” Atau
penggunaan sebuah asset yang spesifikasinya diteriama berdasarkan penjelasan pemberi sewa,
contohnya “Saya sewakan kepada Anda sebuah rumah, spesifikasinya begini dan begitu.”
7. Syarat Manfaat Sesuatu yang harus menjadi objek ijarah, sekali lagi adalah manfaat
penggunaan asset. Bukan asset itu sendiri. Manfaat harus bisa dinilai dan memang dimungkinkan
untuk dilaksanakan dalam kontrak. Penyewaan mobil mogok atau rusak permanen untuk dipakai
sebagai kendaraan, jelas tidak diperkenankan. Manfaat juga harus dikenali sedemikian rupa
supaya bisa menghilangkan jahalah (ketidaktahuan) yang akanmengakibatkan sengketa. Para
ulama sepakat bahwa jahalah yang mengakibatkan sengketa yang membatalkan kontrak
8. Spesifikasi Manfaat Manfaat harus diuraikan secara spesifik dengan menyatakan keadaan
rinci suatu objek tersebut serta atau jangka waktunya.
Berdasarkan uraian tentang manfaat tersebut, ijarah dibagi menjadi dua kategori:
a. Ijarah asset yang manfaatnya dipenuhi dengan asset tertentu. Dalam ijarah ini, jika asset rusak
maka ijarah menjadi batal. Contohnya adalah menyewakan rumah untuk tempat tinggal. Bila
rumah tersebut ternyata tak bisa ditempati, ijarahpun batal.
b. Ijarah yang spesifikasinya diterima berdasarkan penjelasan pemberi sewa. Dalam ijarah,
perumusan manfaat didasarkan pada penjelasan pemberi sewa. Bila dalam waktu tertentu
manfaat tersebut tidak dapat dipenuhi, misalnya karena kerusakan asset, pemberi sewa harus
menyediakan penggantian.
Laba dari system ijarah wa iqtina adalah boleh, meskipun ada kesamaan dengan beban bunga.
Menurut para fukaha, syariat membolehkan suatu beban tertentu yang berhubungan dengan aset
berwujud (tangible asset) (sebagai kebaikan dari asset uang [financial aset]), karena dengan
mengubah modal financial menjadi aset berwujud maka penyandang dana telah menerima resiko
yang boleh dikompensasikan. Ijarah wa iqtina boleh mengambil opsi pembelian atau kalau tidak,
opsi keharusan membeli pada akhir masa kontrak. Karena yang membedakan dari Ijarah adalah
bahwa aset tetap menjadi bank syariah, maka bank harus menawarkannya untuk disewakan
setiap kali masa sewanya habis agar aset-aset itu tetap dipergunakan dalam jangka waktu yang
lama.
Dengan cara pembiayaan ini, bank menaggung resiko resesi atau menurunnya permintaan
terhadap asset-aset tersebut. Leasing juga diperbolehkan dengan alasan bahwa karena tetap
mempertahankan kepemilikan atas asset maka bank menanggung resiko keusangan yang lebih
cepat. Perlengkapan persewaan sering digunakan dengan cara yang sifatnya sementara, apakah
situasinya ‘persewaan’ atau sewa, pihak yang menyewakan bertanggungjawab atas
pemeliharaan.
Dalam hal ‘persewaan’ maka orang yang menyewakan, khususnya, juga bertanggungjawab
untuk mengatasi keusangan produk, sehingga persewaan dapat dianggap sebagai bisnis yang
berorientasi jasa. Leasing yang islami merupakan aktivitas utama bank-bank syariah.
.
2.3 Anjak piutang
1. Pengertian Anjak Piutang Syariah
anjak piutang (factoring)secara syariah adalah kegiatan pengalihan piutang dagang jangka
pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas piutang tersebut sesuai dengan prinsip
syariah. Sedangkan dalam Pasal 8 Ayat 3, disebutkan bahwa anjak piutang merupakan
pengalihan piutang yang dilakukan berdasarkan akad wakâlah bil ujrah, yaitu pelimpahan
kuasa oleh satu pihak (al-muwakil)kepada pihak lain (al-wakil)dalam hal-hal yang boleh
diwakilkan dengan pemberian keuntungan (ujrah).Dalam kegiatannya, perusahaan
anjakpiutang melakukan:
(1) mengambil alih tagihan suatu perusahaan baik dengan cara dibeli atau dengan cara
lainnya sesuai dengan kesepakatan;
(2) mengelola usaha penjualan kredit (pembiayaan) suatu perusahaan. Adapun sumber
keuntungan perusahaan anjak piutang adalah biaya yang dikenakan kepada kliennya,
yang terdiri atas:
- jasa penagihan (service charge) yang besarnya tergantung pada kesepakatan;
- biaya administrasi (discount charge) yang besarnya juga tergantung pada kesepakatan.
Berdasarkan hal tersebut, sangatlah jelas bahwa perusahaan anjak piutang merupakan
perusahaan yang membantu dalam mengelola masalah hutang piutang, baik pengambil
alihan atau pembelian piutang yang bertujuan memperlancar kegiatan perusahaan dan
menghindari kredit (pembiayaan) macet agar perusahaan yang mempunyai masalah
hutang piutang dapat melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan baik dan lancar.
2. Manfaat Anjak Piutang (Factoring)
Keterlibatan berbagai pihak dalam kegiatan anjak piutang akan memberikan atau
memperoleh keuntungan bagi masing-masing pihak yang terlibat, baik perusahaan
anjak piutang, klien, maupun customer.
Secara umum anjak piutang memberikan manfaat, sebagai berikut:
1.Manfaat bagi klien, di mana manfaat yang dapat diterima klien terdiri dari:
a.Manfaat karena menerima jasa pembiayaan, antara lain:
1)Peningkatan penjualan, yakni dengan adanya jasa pembiayaan memungkinkan
klien melakukan penjualan dengan cara kredit (pembiayaan). Penjualan dengan
kredit ini sebenarnya sulit untuk dilakukanapabila klien mengalami kesulitan modal.
Namun dengan adanya jasa anjak piutang, klien mampu menjual dengan cara kredit.
Penjualan dengan cara kredit meningkatkan kemampuan dan daya tarik bagi pembeli
dengan dana terbatas.
2)Kelancaran modal kerja, yakni jasa anjak piutang memungkinkan klien untuk
mengkonversikan piutangnya yang belum jatuh tempo menjadi dana tunai dengan prosedur
yang relatif mudah dan cepat. Tersedianya dana tunai yang lebih besar ini dapat
dimanfaatkan oleh klien untuk mendanai kegiatan operasional klien seperti pembelian
bahan baku, pembayaran gaji pegawai, dan lain-lain.
3)Pengurangan risiko tidak tertagihnya piutang, yakni pembayaran dengan cara without
recoursememungkinkan adanya pengalihan sebagian risiko tidak tertagihnya piutang kepada
lembaga factoring. Pengalihan risiko ini sangat menguntungkan bagi kelancaran dan
kepastian usaha bagi pihak klien.16
b..Manfaat yang diterima karena jasa non pembiayaan, antara lain:
1) Memudahkan penagihan piutang, yaitu jasa penagihan piutang yang diberikanoleh
lembaga factoringyang dalam ini klien tidak perlu secara langsung melakukan penagihan
piutang pada customersehingga waktu dan tenaga karyawan dapat dimanfaatkan untuk
melakukan kegiatan lain yang lebih produktif.
2) Efisiensi usaha, yakni jasa administrasi penjualan memungkinkan klien untuk mengelola
kegiatan penjualan secara lebih rapi dan efisien karena administrasinya dilakukan oleh
pihak factoringyang sudah lebih berpengalaman.
3) Peningkatan kualitas piutang, yaitu jasa administrasi penjualan memungkinkan
pemberian fasilitas kredit kepada pembeli secara lebih efektif, sehingga kemungkinan
tertagihnya piutang menjadi lebih tinggi.
Konsep anjak piutang (factoring) yang berdasarkan prinsip syariah sering dikatakan
sama dengan istilah hiwalah, karena secara operasionalmirip dengan pelaksanaan hiwalahdi
perbankan syariah. Hal ini dikemukakan oleh M. Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank
Syariah: Selain itu, konsep factoringsyariahsama dengan istilah hiwalahjuga dikemukakan
oleh Herry Sutanto dan Khaerul Umam dalam bukunya yang berjudulManajemen
Pemasaran Bank Syariah.
Oleh karena itu, perjanjian pengalihan piutang atau anjak piutang (factoring) dalam fikih
muamalahdisebut dengan istilah hiwalah. Hiwalah merupakan pemindahan hutang dari
satu tanggungan kepada tanggunganyang lain dengan hutang yang sama.
M. Syafi’i Antonio menjelaskan bahwa hiwalahadalah pengalihan utang dari orang yang
berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya.Sedangkan menurut Zulkifli,
hiwalahadalah akad pemindahan piutang nasabah (muhil) kepada bank (muhal ‘alaih)dari
nasabah lain (muhal). Muhil meminta muhal ‘alaihuntuk membayarkan terlebih dulu piutang
yang timbul dari jual beli. Pada saat piutang tersebut jatuh tempo, muhalakan membayar
kepada muhal‘alaih.
Kemudian, muhal‘alaihakan memperoleh imbalan jasa pemindahan.Untuk mengantisipasi
risiko kerugian yang akan timbul, bank perlu melakukan surveyatas kemampuan pihak
yang berhutang dan kebenaran transaksi antara yang memindahkan piutang dengan yang
berhutang. Hukum hiwalahadalah mubah sepanjang tidak merugikan semua pihak.
Namun demikian, hiwalahdibolehkan pada hutang yang tidak berbentuk barang/benda
karena hiwalahadalah perpindahan hutang.
2. Dasar Hukum
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam QS. al-Baqarah ayat 245:
َّم ن َذ ا ٱَّلِذ ى ُيْقِرُض ٱَهَّلل َقْر ًضا َح َس ًنا َفُيَٰض ِع َف ۥُه َل ٓۥُه َأْض َع اًفا َك ِثيَر ًةۚ َو ٱُهَّلل َيْقِبُض َو َيْبُۜص ُط َوِإَلْيِه ُتْر َجُعوَن
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan
lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-
Nya lah kamu dikembalikan.” (QS. al-Baqarah 245 )
Berdasarkan ayat di atas, Islam menganjurkan untuk melunasi hutang jika sudah sanggup
membayarnya agar terlepas dari tanggung jawab. Jika sesorang mampu membayar
hutang tetapi ia tidak melakukannya, maka ia bertindak zalim.Namun, jika tidak bisa
membayarnya secara langsung, maka hutang tersebutdapat dialihkan kepada seseorang
yang lain. Hal ini diperkuat dengan Hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Muslim
dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda:
َْع ْبَتْيَل فـٍّ ِيَلى َم َل ْع ُم ُك َدَح َأِع ْبُتا َأِذ َا ٌفْم ُل ظِِّ نَىْغ اُلْلَطم
“Menunda pembayaran bagi orang yang mampu adalah suatu kedzaliman dan jika salah
seorang dari kamu diikutkan (dihiwalahkan) kepada orang yang mampu/kaya, terimalah
hiwalahitu.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Berdasarkan hadis tersebut, Rasulullah SAW memberitahukan kepada orang yang
menghutangkan, jika orang yang berhutang meng-hiwalah-kan kepada orang yang
mampu/kaya, hendaklah ia menerima hiwalahtersebut dan hendaklah ia menagih kepada
orang yang di-hiwalah-kan agar haknya dapat terpenuhi. Dengan demikian, hiwalah ini
sangat penting karena memudahkan penyelesaian hutang piutang, terutama dalam dunia
perdagangan besar.
Dalam lembaga keuangan syariah, hiwalah merupakan akad pelengkap yang dimaksudkan
untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan dan tidak ditujukan untuk mencari
keuntungan, karena dasar akadnya adalah ta’awun atau tabarru’.Oleh sebab itu, tidak
diperbolehkan adanya pengambilan keuntungan atas pelaksanaan akad tersebut. Hal ini
dikarenakan inti dari akad tabarru’ adalah untuk menolong/membantu orang yang
mengalami kesulitan, misalnya kurang mampu dalam membayar hutang.
Saat ini setiap lembaga keuangan syariah mengenakan fee atas akad-akad tabarru’ dengan
alasan sebagai biaya administrasi. Sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Siti Fatimah bahwa
lembaga keuangan syariah saat ini mengenakan fee atas akad-akad tabarru’ dengan alasan
sebagai insentif atau bonus.
Namun demikian, adanya anjak piutang bertujuan menghindari terjadinya kredit
(pembiayan) macet dari pihak debitur yang akan mengakibatkan kerugian yang besar bagi
pihak klien atau perusahaan klien, sehingga solusinya adalahpihak klien menjual
piutang/mengalihkan piutang kepada perusahaan factoring untuk memperlancar kegiatan
penyelesaian hutang piutang dan membantu pihak klien dalam mengelola penjualannya
secara kredit agar teratur yang timbul dari transaksi perdagangan.
2.4 Kartu Kredit
1. Pengertian Kartu Kredit dalam Syariah
Dalam Expert Dictionary, kartu kredit didefinisikan dengan, “kartu yang dikeluarkan oleh pihak
bank dan sejenisnya untuk memungkinkan pembawanya membeli barang-barang yang
dibutuhkan secara hutang.” System kartu kredit adalah suatu jenis penyelesaian transaksi ritel
dan sisitem kredit, yang namanya berasal dari kartu plastic yang diterbitkan kepeda pengguna
system tersebut. Sebuah kartu kredit berbeda dengan kartu debit, dimana penerbit kartu kredit
meminjamkan konsumen uang dan bukan mengambil uang dari rekening.
Kebanyakan kartu kredit memiliki bentuk dan ukuran yang sama seperti yang dispesifikasi oleh
standar ISO 7810.5 Konsep dasar kartu kredit yaitu suatu alat identifikasi pribadi yang
dimaksudkan untuk menunda pembayaran atas transaksi jual beli barang dan jasa. Namun dalam
praktiknya terdapat beberapa prosedur yang cukup kompleks. Dibeberapa Negara, perusahaan
harus tunduk pada undang-undang yang mengaturnya. Di Ingris misalnya, perusahaan kartu
diatur dengan Consumers Credit Act 1974. Oleh karena itu perusahaan harus mengikuti aturan–
aturan disamping ketentuan perbankan dan kontrak perjanjian .
2.Mekanisme Kartu Kredit
Persyaratan pokok untuk menjadi anggota atau pemegang kartu adalah harus memenuhi
ketentuan minimum jumlah penghasilan pertahunnya. Pemegang kartu diharuskan membayar
uang pangkal dan iuran tahunan yang besarnya tergantung dari jenis kartu. Gold Card lebih
mahal daripada regular atau Classic Card. Selanjutnya, pemegang kartu dapat menggunakan
kartunya setiap melakukan transaksi kepada semua pedagang atau merchant (service
establishment) yang menerima merek kartu yang dimiliki.
Keuntungan menggunakan kartu debit diantaranya yaitu tidak seperti kartu kredit yang
membebankan biaya lebih tinggi dan tingkat bunga ketika uang muka diperoleh, kartu debit
dapat digunakan untuk mendapat uang tunai dari ATM atau transaksi berbasis PIN tanpa
tambahan biaya, selain biaya ATM asing. Adapun kerugian menggunakan kartu debit yaitu
penggunaan kartu debit biasanya tidak terbatas pada dana yang ada di rekening, kebanyakan
bank memungkinkan batas tertentu atas saldo bank yang tersedia yang dapat menyebabkan
cerukan biaya jika trransaksi pengguna tidak mencerminkan adanya keseimbangan.
Status pengguna kartu debit tersebut sama dengan hawalah, hawalah hukumnya mubah.
Rasulullah saw bersabda : ” orang kaya yang menangguh-nangguhkan (pembayaran hutang)
adalah zalim. Jika salah seorang diantara kalian memindahkan (hutang) kepada orang kaya, maka
hendaknya dia pindahkan (hutangnya).” Menurut Ibn Rusyd, hawalah merupakan bentuk
transaksi yang sah dan dikecualikan dari praktik pembayaran hutang dengan hutang. Dalam
praktek hawalah, biasanya ada empat hal: muhil (orang yang memindahkan hak), muhtal (orang
yang diminta memindahkan hak), muhal ‘alaihi (orang yang menerima hak), muhal bihi
(hak/tanggungan yang dipidahkan). Dengan logika hawalah, maka bisa didipetakan bahwa
pemegang kartu debit bertindak sebagai muhil, sementara pihak bank adalah muhtal, dan pihak
ketiga yang mendapatkan haknya disebut muhal ‘alaihi dan pihak (uang) yang diberikan
kepadanya disebut muhal bihi.
Hukum kartu kredit berbeda dengan hukum kartu debit. Kartu kredit haram, dalil keharamannya
dikembalikan pada dalil tentang riba.
3. Dasar Hukum
Allah SWT berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.”
(Q.s. Al-Baqarah 02:278) “
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan
bertawakalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Dan peliharalah dirimu
dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir. Dan taatilah Allah dan Rasul,
supaya kamu diberi rahmat”
(Q.s Ali Imran 3:130-132).
Transaksi menggunakan kartu kredit merupakan bentuk dain (hutang) dari pengguna kartu
kepada pihak bank, disertai dengan bunga dan denda.Adanya punishment (penalty/denda) dalam
kartu kredit merupakan kesepakatan antara dua pihak yang melakukan akad atas sejumlah
kompensasi tertentu pada saat mangkir dari komitmen awal. Syarat punishment faktanya adalah
denda terhadap orang yang tidak memenuhi komitmen tersebut. Kedua pihak yang melakukan
akad bisa memprediksi dharar (kerugian) terlebih dahulu. Uang yang dideskripsikan dalam
tanggungan statusnya adalah utang. Adanya syarat denda atas utang merupakan riba. Ibnu
Taimiyah berkata,”para ulama sepakat bahwa pemberi utang, jika mensyaratkan adanya
tambahan atas utang yang diberikan, maka syarat itu haram”. Ibn Qudamah mengatakan,”setiap
utang yang didalamnya mensyaratkan adanya tambahan maka syarat itu haram, dan tidak ada
satu pun perbedaan pendapat.” Dengan demikian dari segi akadnya bahwa kartu kredit tidak
terlepas dari riba begitu pula dengan denda/penalty yang terjadi akibat keterlambatan bayar dari
tenggat waktu yang diberikan oleh bank termasuk riba karena merupakan tambahan harta atas
hutang. KARTU PEMBIAYAAN SYARIAH Produk kartu pembiayaan didukung oleh Fatwa
DSN MUI tahun 2006 dan Bank Indonesia tahun 2007.
Menurut DSN MUI, kartu pembiayaan syariah adalah kartu yang berfungsi sebagai kartu kredit
antara pihak berdasarkan prinsip syariah. Pihak yang dimaksud adalah penerbit kartu atau bank,
pemegang kartu atau nasabah serta penerima kartu.Melihat bahwa kartu kredit termasuk
transaksi riba, yang status akadnya batil dan diharamkan dalam islam, maka bank syariah
mengeluarkan produk kartu kredit syariah. Adapun akad yang digunakan adalah akad ijaroh,
qard dan kafalah. Akad ijaroh atau disebut sewa, dengan menggunakan akad ini, nasabah
dikenakan charge sewa penggunaan jasa kartu pembiayaan syariah atau sering disebut dengan
wakalah bil ujroh. Bank syariah menjadi wakil pembayaran dan mendapatkan fee atas
perwakilan tersebut. Pemberian fee tersebut dapat dikenakan atas dasar keikut sertaan member
kartu pada nasabah.
Akad Qard atau pinjaman, Qardul Hasan yaitu pinjaman yang baik. Disebut pinjaman yang baik
karena pinjaman tersebut tidak diberikan bunga atau imbalan. Bank syariah ketika memberikan
fasilitas pinjaman dalam kartu pembiayaan berlaku sebagai pemberi jaminan. Akad kafalah atau
saling menanggung. Bank penerbit kartu pembiayaan adalah penjamin atau kafil atas pemberian
kafalah tersebut, bank syariah dapat memberikan fee atas jasa tanggungannya. Kartu pembiayaan
syariah memiliki keistimewaan lebih bila dibandingkan dengan dengan kartu kredit
konvensional, seperti penggunaanya untuk sector produktif, bukan konsumtif. Nasabah
pemegang kartu pembiayaan syarah juga dapat membayar Zakat, infak dan shodakoh secara
otomatis (autodebet) jika nasabah inginkan.
Disamping itu kartu plastic syariah (kartu pembiayaan syariah) memiliki batasan-batasan yaitu:
tidak menimbulkan riba, tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah, tidak
mendorong pengeluaran yang berlebihan dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal
pembelanjaan, pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan financial untuk melunasi pada
waktunya, tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah. Penerbitan kartu plastic
syariah di Indonesia seperti kartu kredit yang diterbitkan oleh Bank Danamon menggandeng
Master Card menerbitkan Dirham Card, BII memiliki produk kartu kredit syariah yaitu tipe BII
Syariah Card gold dan platimun, sedangkan kartu debit syariah seperti kartu ATM Syariah Plus
yang diterbitkan oleh BNI Syariah, Shar-E diterbitkan BMI, kartu charge diterbitkan oleh BII
Syariah (BII Syariah Card).
Sebagai lembaga bisnis, penerbit kartu plastic syariah boleh mengambil fee dengan ketentuan:
1. Iuran keanggotaan (membership fee), penerbit kartu berhak menerima iuran keanggotaan
(rusum al-udhuwiyah) termasuk perpanjangan masa keanggotaan dari pemegang kartu sebagai
imbalan (ujrah) atas izin penggunaan fasilitas kartu.
2. Merchant fee, penerbit kartu boleh menerima fee yang diambil dari harga objek transaksi atau
pelayanan sebagai upah/imbalan (ujrah) atas perantara (samsarah), pemasaran (taswiq) dan
penagihan (tahsil al-dayn)
3. Fee penarikan uang tunai, penerbit kartu boleh menerina fee penarikan uang tunai (rusum sahb
al-nuqud) sebagai fee atas pelayanan dan penggunaan fasilitas yang besarnya tidak dikaitkan
dengan penarikan.
4. Fee kafalah, penerbit kartu boleh menerima fee dari pemegang kartu atas pemberian kafalah.
5. Semua bentuk fee harus ditetapkan pada saat akad aplikasi kartu secara jelas dan tetap, kecuali
untuk merchant fee.
Bab III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam akad pembiayaan syariah, seluruh klausul telah dibakukan oleh Bank Syariah di Riau
kecuali beberapa hal, seperti komparisi, jumlah pembiayaan, tujuan pembiayaan, jangka waktu,
rasio-rasio keuangan, dan jaminan. Jadi, nasabah masih mempunyai peluang untuk
merundingkan atau meminta perubahan atas klausul-klausul inti suatu akad pembiayaan.
Nasabah masih bisa turut terlibat dalam merumuskan isi akad pembiayaan syariah sepanjang
aman bagi dua pihak dan tidak merugikan.
terdapat kesepakatan para pihak yang ditandai dengan adanya pengikatan perjanjian baku
pembiayaan, yang antara lain berisi: komparisi, jangka waktu, margin keuntungan atau bagi
hasil, biaya-biaya, tata cara pembiayaan, jaminan, asuransi, dan cara-cara penyelesaian yang
ditempuh jika terjadi perselisihan. Adanya kesepakatan para pihak, yang ditandai dengan adanya
pengikatan perjanjian baku 345 pembiayaan, yang antara lain berisi: komparisi, jangka waktu,
margin keuntungan atau bagi hasil, biaya-biaya, tata cara pembiayaan, jaminan, asuransi, dan
cara-cara penyelesaian yang ditempuh jika terjadi perselisihan.
3.2 Saran
Masih ada anggapan bank syariah tidak jauh beda dengan bank konvensional. Kalangan awam
juga menilai bahwa bank syariah dalam mengambil keuntungan lebih besar daripada bank
konvensional, karena kalangan awam menilai bank syariah identik dengan harga murah.
Sehingga jika terjadi penjualan barang lebih tinggi dari bank konvensional, maka bank syariah
dinilai lebih tidak Islami, karena itu perlu kiranya dicarikan kemasan produk murabahah yang
memberikan keuntungan secara adil antara pihak bank dan nasabah.
Lembaga Pembiayaan diharapkan lebih ketat dalam pengawasan pembiayaan terutama mengenai
akad. Karena akad merupakan prinsip dasar dari sekian banyak kegiatan manusia. Namun selama
ini masih sangat kurang dipahami oleh masyarakat tentang pentingnya akad salah satunya akad
346 murabahah. Makaperlu peran bersama untuk mensosialisasikan bank syari’ah tidak hanya
kalangan menengah ke atas tapi juga kalangan menengah ke bawah (awam), peran Majelis
Ulama Indonesia, perguruan tinggi Islam, para pakar ekonomi Islam, mereka yang memiliki
harta dan peduli terhadap Islam bersama-sama membangun dan memberikan pemahaman kepada
masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. Ketiga, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta. Anonimus, 2001
Al-Kaaf, Abdullah Zakiy, 2005, Ekonomi dalam Perspektif Islam, Pustaka Setia, Bandung
Ahmad, Muhammad dan Fathi Ahmad Bdul karim, 1999, Sistim, Prinsip dan Tujuan Ekonomi
Islam, Pustaka Setia, Bandung. A Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islami, Raja Grafindo
Persada, Jakarta. Abdulmannan, A, 1997,
Teori dan praktek Ekonomi Islam, Dana Bhakti Prima Yasa. Yogyakarta. Ali, H. Mohammad
Daud, 2005, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Ali, H. Zainuddin, 2008, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta. al-Ghazāli, Abu Hamid, 2010, al-Mustasfa Min’ilmu al-Ushul, Dar alKutub
al-‘Ilmiyah, Lebanon.
Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional Untuk Lembaga Keuangan Syariah. Dewan Syariah
Nasional-Majelis Ulama Indonesia dan Bank Indonesia. Al-Kashif, Abd. El-Rehim Mohamed,
2008
“Islamic institutions offering financial services: the constructive role and implications of their
modes for efforts to combat serious financial crime”, Comp. Law. 2008, 29(7), 218-224,
Company Lawyer. Anshori, Abdul Ghofur dan Yulkarnain Harahab, 2008,
Hukum Islam: Dinamika dan Perkembangannya di Indonesia, Total Media, Yogyakarta. Anshori,
Abdul Ghofur, (a), 2006, Gadai Syariah di Indonesia: Implementasi dan Institusionalisasi, Cet.
Pertama, Gadjah Mada Press, Yogyakarta. Antonio, Muhammad Syafi’i, 2002, Bank Syariah
dari Teori ke Praktik, Gema Insani Press, Jakarta. Aziz, Abdul, 2008, Ekonomi Islam: Analisis
Mikro dan Makro, Graha Ilmu, Yogyakarta.
az-Zuhaili, Wahbah, 2005, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Dar al-Fikri, Damaskus. Anwar,
Syamsul, (c), 2007, Hukum Perjanjian Syariah, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Badrulzaman, Mariam Darus, 2001, KUHPerdata, Buku III, Hukum Perikatan dengan
Penjelasan, Alumni, Bandung. Basyir, KH. Ahmad Azhar, 2000, Asas-asas Hukum Muamalat
(Hukum Perdata Islam), UII Press, Yogyakarta.