Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Ushul Fiqh (Kel 5)

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 16

KEDUDUKAN IJMA’ SEBAGAI DALIL HUKUM, FUNGSI,

PERINGKAT, KETETAPAN SERTA KONSEKWENSI PENEGASIAN


IJMA’ DALAM KONTRUKSI HUKUM

MAKALAH

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih: Teori dan
Metodologi

Dosen Pengampu: Dr. Yuliatin, MHI

Disusun Oleh:
Umi Khoirun Nisa

KONSENTRASI HUKUM KELUARGA ISLAM


ILMU SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTHAN THAHA SAIFUDDIN JAMBI
1444 H / 2023 M
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan Rahmat serta karunia-Nya. Sehingga saya dapat menyelesaikan

makalah Tentang Kedudukan Ijma’ Sebagai Dalil Hukum, Fungsi Peringkat,

Ketetapan Serta Konsekwensi Penegasian Ijma’ Dalam Kontruksi Hukum

dengan tepat pada waktunya, untuk melengkapi tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu

Diharapkan makalah ini dapat memberikan informasi kepada kita semua.

Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan

demi kesempurnaan makalah ini.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada Dosen mata kuliah ini Ibu

Dr. Yuliatin, MHI serta kepada semua pihak yang telah membantu dalam

penyusunan makalah ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa senantiasa melindungi

kita semua dari segala usaha kita.Aamiin.

Jambi, 07 November 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................i
DAFTAR ISI..........................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................................................….1
B. Rumusan Masalah...................................................................................….1
C. Tujuan Penelitian....................................................................................….2

BAB II: PEMBAHASAN


A. kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum, fungsi, dan peringkat.................….3
B. Ketetapan serta konsekwensi penegasian ijma’ dalam
kontruksi hukum......................................................................................….7

BAB III: PENUTUP


A. Kesimpulan ..............................................................................................
B. Saran...............................................................................................................…

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai sebuah ajaran, Islam memiliki keistimewaan tersendiri
dibanding dengan agama lain yang ada di dunia ini. Keistimew.aan itu
paling tidak dapat dilihat dari fenomena yang terjadi pada masyarakat
dunia penghuni bumi ini, yaitu suatu realitas akan kebenaran Islam sebagai
ajaran yang dapat diterima sepanjang zaman dan di tempat manapun ]uga.
Fenomena ini ada, boleh jadi karena Islam memiliki dua karakter yang
menarik, yaitu orisinil dalam konsepsi dan kondisional dalam aplikasi. Hal
ini dapat terlihat empat sumber hukum dalam Islam. Yaitu qur'an, Hadits,
Ijma' dan Qiyas. Yang kesemuanya banya:k memberikan kontribusi bagi
umat Islam. Khusus pada permasalahan ljma' yang akan banyak diuraikan
pada makalah ini, juga memiliki fungsi guna memenuhi dua karakter Islam
di atas. Di mana ke beradaan Ijma' sebagai sumber hukum Islam, menjadi
demikian penting bahkan kekuatan hujjahnya satu tingkat di bawah Qur'
an dan Hadits. Sebagian orang memperdebatkan akan layak tidaknya Ijma'
dijadikan hujjah bagi permasalahan hkum. Hal ini didasarkan atas qoth'i
atau tidaknya Ijma' itu sendiri. Tetapi yang jelas bahwa jumhur ulama
berpendapat, keberadaan Ijma' sebagai sumber hukum Islam setelah
Qur'an dan Hadits tidak diragukan lagi.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum, fungsi, dan
peringkat?
2. Bagaimana Ketetapan serta konsekwensi penegasian ijma’ dalam
kontruksi hukum?

1
C. Tujuan Penelian
1. Untuk mengetahui bagaimana kedudukan ijma’ sebagai dalil hukum,
fungsi dan peringkat?
2. Untuk mengetahui bagaimana ketetapan serta konsekwensi penegasian
ijma’ dalam kontruksi hukum?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kedudukan Ijma’ Sebagai Dalil Hukum, Fungsi dan Peringkat


Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah sesuatu
yang biasa terjadi termasuk dalam soal ijma apakah dapat dipandang
sebagai dalil syar’i atau tidak.
Pada prinsipnya Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa ijma
sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan hukum suatu kasus yang
tidak ada hukumnya dalam nash harus mempunyai landasan. Jumhur
ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma menempati salah satu sumber
atau dalil hukum sesudah Al Quran dan Sunnah.1
Ini berarti bahwa ijma dapat menetapkan hukum yang mengikat
dan wajib dipatuhi umat Islam bila tidak ada ketetapan hukumnya dalam
Al Quran dan Sunnah. Untuk menguatkan pendapat ini, Jumhur Ulama
mengemukakan beberapa ayat dan hadits Nabi diantaranya QS. An Nisa
ayat 115 :
“ Dan barang siapa yang menetang Rasul sesudah jelas kebenaran
baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang
mukmin, maka biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke neraka jahannam ”.

Zamakhsari mengomentari bahwa ayat ini menunjukkan ijma


mempunyai hujjah yang tidak boleh diperselisihkan sebagaimana Al
Quran dan Hadits. Sedang Amidy mengatakan bahwa ayat ini merupakan
ayat yang ama kuat petunjuknya tentang kehujjahan ijma, dimana Allah
Swt mengancam orang yang mengikuti bukan jalan orang mukmin
dengan memasukkan ke neraka jahannam dan tempat yang paling buruk.

1
T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1980), h. 25.

3
Jalan orang mukmin diartikan sebagai apa yang disepakati untuk
dilakukan oleh orang mukmin. Inilah yang disebut ijma.2
Begitu juga dalam al-Quran surah An Nisa (4) ayat 59 ” Hai
orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri
diantara kamu”. Perintah mentaati ulil amri sesudah mentaati Allah dan
Rasul berarti untuk mematuhi ijma, karena ulil amri berarti orang yang
mengurus kehidupan umat, baik dalam urusan dunia maupun urusan
agama, dalam hal ini adalah ulama. Kepatuhan akan ulama salah satunya
adalah bila mereka sepakat tentang sesuatu hukum dan inilah yang
disebut ijma.3
Kemudian, bahwasanya suatu hukum yang telah disepakati oleh
pendapat semua mujtahid ummat Islam, pada hakekatnya hukum ummat
Islam. Hal ini sebagaimana had.its nabi sebagai berikut:4
Artinya: "Tidaklah berkumpul ummatku untuk melakukkan
kesalahan”.
Artinya: "Apa-apa yang menurut pendapat kaum muslimin baik,
maka ia baik (pula) di sisi Allah". (lihat Az Zahaili, 1986 : 542-
543).
Hadits-hadits di atas menurut Abdul Wahab Khalaf menunjukkan
bahwa suatu hukum yang disepakati oleh seluruh ulama mujtahid
sebenarnya merupakan hukum bagi umat Islam seluruhnya diperankan
oleh para mujtahid. Oleh sebab itu, sesuai dengan kandungan hadits di
atas tidak mungkin para mujtahid tersebut melakukan kesalahan dalam
menetapkan hukum. Apabila seluruh umat telah sepakat melalui para
mujtahid ini, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. 5 Namun
demikian dalil yang dijadikan hujjah oleh jumhur ulama tentang

2
Abdullah, Sulaiman, , Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
(Jakarta: Sinar Grafika,1995), h. 55.
3
Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan
Masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana,2007), h. 23.
4
Zakaria Syafe'I, IJMA SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM (Kajian tentang
Kehujjahan Ijma' dan Pengingkarannya), No. 67/XIII/1997
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih. (Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu 1997)

4
kedudukan ijma dibantah oleh ulama syiah. Ulama syiah tidak
mendudukkan ijma sebagai dalil hukum. Ijma diterima hanya dalam
kedudukannya menyingkap atau menjelaskan adanya sunnah dan tidak
menganggap ijma sebagai dalil yang berdiri sendiri di samping Al Quran
dan Hadits.
Mengomentari perbedaan pendapat antara jumhur ulama dengan
golongan syiah, Zakky al Din Sya’ban mengatakan apa yang menjadi
pegangan jumhur ulama bahwa ijma merupakan hujjah adalah pendapat
yang rajih (kuat) dengan tidak perlu memperhatikan yang menyalahinya.6
Sebagian ulama ushul berpendapat bahwa jika ada satu atau dua
atau tiga oran mujtahid tidak sepakat tentang sesuatu perkara, maka tidak
berarti tidak dapat dijadikan sebagai hujjah. Dengan kata lain, meskipun
kesepakatan itu hanya sebagian besar dan tidak secara keseluruhan
mujtahid, ia dapat dijadikan hujjah. Jika dicermati secara jelas akan
perbedaan pandangan di atas terletak pada rumusan ijma dan kenyataan
praktis yang dihadapi. Lebih-lebih umat Islam dan ulama yang telah
menyebar keseluruh penjuru dunia. Secara teoritis, ijma dengan
kebulatan pendapat dari seluruh mujtahid dapat saja terjadi dan ijma
memang telah terjadi, akan tetapi bagi ulama yang menolak tidak
mungkin terjadi ijma karena secara praktis memang sulit mencapai kata
sepakat karena banyaknya ulama mujtahid.
Dilihat dari segi terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara
para ulama ushul fiqih membagi ijma kepada dua bentuk:
1. Ijma Syarih/Lafdzhi yaitu kesepakatan para mujtahid pada satu waktu
terhadap hukum suatu kejadian atau peristiwa dengan menyajikan
pendapat masing-masing secara jelas yang dilakukan dengan cara
memberi fatwa atau memberi keputusan. Imam Syafii memberikan
interpretasi terhadap ijma syarih yaitu, jika engkau atau salah seorang
ulama mengatakan, hukum ini telah disepakati, maka niscaya setiap
ulama yang engkau temui juga menyatakan seperti apa yang engkau

6
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih. (Bandung : Gema Risalah Press 1997)

5
katakana. Jumhur Ulama menyatakan bahwa Ijma syarih merupakan
ijma hakiki sekaligus dapat dijadikan sebagai hujjah syar’iyyah.
Namun demikian ijma syarih ini sangat langka terjadi. Jangankan yang
dilakukan dalam suatu majelis pertemuan, tidak dalam forumpun sulit
dilakukan. Karena itu sebagian ulama berpendapat bahwa ijma syarih
hanya mungkin terjadi pada masa sahabat. Bila ijma syarih ini
berangsung maka di’alah (penunjukkannya) terhadap hukum adalah
dalam tingkatan qothi dan hukum yang ditetapkan bersifat qothi yang
tidak diragukan lagi kebenarannya sehingga mempunyai kekuatan
yang mengikat dan tidak boleh seorangpun pada masa itu untuk
menyanggah dan merubahnya7.
2. Ijma Sukuti yaitu kesepakatan ulama melalui cara seorang atau lebih
mengemukakan pendapatnya secara jelas terhadap suatu kejadian yang
dilakukan dengan cara memberi fatwa atau memberi keputusan dan
mujtahid lainnya tidak menanggapi pendapat tersebut dalam hal
penyesuaiannya dan perbedaannya.
Sebagian ulama tidak menjadikan ijma sukuti sebagai hujjah dengan
alasan (a) Kepada orang yang diam tidak dapat dianggap berbicara dan
mempunyai pendapat, karenanya tidak dapat dibebankan kepadanya
pendapat yang ia sendiri tidak mengatakannya.. (b) Diam tidak dapat
dipandang setuju, mungkin ia belum berijtihad, mungkin ia telah
berijtihad tetapi belum memperoleh hasil yang mantap. Dengan segala
kemungkinan di atas maka diam tidak dapat dipandang sebagai hujjah.
Namun ada juga ulama yang berpendapat kebolehan ijma sukuti
sebagai hujjah yaitu : (a) Seorang ulama yang berdiam sesudah
merenung, berfikir dan menganalisa permasalahan dari segala segi,
maka diam adalah menunjukkan suatu sikap dan hal ini ditempatkan
pada setuju menurut ketentuan urf atau adat. (b) Suatu tindakan yang
terlarang bagi seorang mujtahid mendiamkan sesuatu yang ia tidak
setujui jika pendapatnya itu dipandang salah. Bila seorang mujtahid itu

7
Muhamad Abu Zahrah. Ushul Fiqih. (Jakarta : Pustaka Firdaus 2002)

6
bersikap diam dalam keadaan yang ia bebas untuk menolaknya, maka
ia harus dipandang dengan husnuzhhan bahwa ia setuju. (c) Seorang
mujtahid yang berbicara melontarkan pendapatnya dalam menghadapi
kasus hukum sangat jarang terjadi. Biasanya yang sering terjadi dalam
setiap masa adalah ada sebagian mujtahid mengemukakan pendapat
dan yang lain menerimanya secara diam-diam.8

B. Ketetapan Serta Konsekwensi Penegasian Ijma’ Dalam Kontruksi


Hukum
Ulama ushul fiqh klasik, diantaranya ulama jumhur klasik
menyatakan tidaklah sulit untuk melakukan ijma’, bahkan secara aktual
ijma’ telah ada, mereka memberikan contoh hukum-hukum yang telah
disepakati seperti tentang pembagian waris nenek sebesar seperenam dari
harta warisan. Akan tetapi ulama klasik lainnya seperti Imam Ahmad bin
Hanbal berpendapat, bahwa siapa yang mengatakan adanya ijma’ terhadap
hukum suatu masalah, maka ia telah berdusta, karena kemungkinan saja
ada mujtahid yang tidak setuju, Oleh karena itu, menurutnya untuk
mengetahui ijma’ tersebut sangatlah sulit dilakukan.9
Menrut Abdul Wahab Khallaf, Ijma’ akan mungkin terjadi apabila
masalahnya diserahkan kepada pemerintah, karena pemerintah sebagai ulil
Amri dapat mengetahui mujtahid-mujtahidnya, dan setiap pemerintah
dapat mengetahui dan menentukan mujtahid suatu bangsa dan disepakati
juga oleh mujtahid seluruh dunia Islam10. Sedangkan Hasbi Ash-Shiddieqy
berpendapat, bahwa ijma’ sama dengan mengumpulkan para ahli
permusyawaratan untuk bemusyawarah sebagai wakil rakyat atas perintah/

8
Sulaiman abdullah. Sumber Hukum Islam Permasalahan & Fleksibelitasnya. (Jakarta :
Sinar Grafika 1995.)
9
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, Cet.Ke-1, Jilid 2, Ictiar Baru Van
Hove, Jakarta, 1996 h. 669
10
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Terjemahan Nor Isandar dkk,Rajawali Press,
Jakarta, 1993 h .67

7
undangan kepala Negara itulah yang mungkin terjadi sepanjang masa.
Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu bakar dan Umar.11
Ulama yang pro pada pendapat bahwa ijma’ tidak mungkin terjadi
lagi, karena pada waktu terjadi pristiwa pengambil hukum dengan cara
ijma’, pada masa itu para ulama mujtahid masih saling kenal, tempat
tinggal mereka masih berdekatan, wilayah umat Islam atau negara belum
begitu luas seperti sekarang, dan masih memungkin masing-masing
mujtahid dapat memperhatikan pendapat mereka masing-masing, tentang
persoalan hukum yang di ajukan kepada mereka. Ulama klasik seperti
Imam as-Syafi’i, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim alJauziah , (dari
mazhab Hanbali), begitu juga pandagan ulama yang sudah modern seperti
Muhammad Abu Zahrah, Muhammad Hudri Bek dan Fath adDuraini
( guru besar fiq dan Ushul Fiqh dari Unversitas Suriah, Damacus, dan
Wahbah az-Zuhaili, mereka berpendapat tidak mungkin akan terjadi ijma’
seperti pada masa sahabat. Maka persoalan isu-isu seperti keputusan
anggota MPR RI, atau DPR RI tentang Undang-undang atau keputusan
kepala daerah seperti Gubernur/Bupati/Walikota seperti PERDA tentang
larang judi, minuman keras dan sebagainya yang muncul pada zaman
kotemporer atau globalisasi tidak akan mungkin dapat mengakomodasi
persoalan hukum baru, artinya ijma’ tidak dapat diterapkan sebagai
metode penetapan hukum baru pada era sekarang. Mereka memberikan
dasar pemikiran bahwa ijma dapat terjadi karena mengharuskan semua
mujtahid disemua negara harus hadir dan memberikan respon pada
persoalan yang diajukan kepada mereka, kemudian persyaratan yang
masuk dalam kategori mujtahid juga sangat ketat. Menurut Wahbah az-
Zuhaili, syarat ijma’ adalah (1) yang melakukan ijma’ tersebut adalah
orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad, (2) kesepakatan itu
muncul dari mujtahid yang bersifat adil (berpendirian kuat terhadap
agamanya), (3) Mujtahid yang terlibat adalah yang berusaha

11
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Cet. Ke-3, Bulan Bintang, Jakarta,
1983), h.173

8
menghindarkan diri dari ucapan atau dari perbuatan bid’ah. Ketiga syarat
ini disepakati oleh seluruh ulama.12
Sedangkan pada zaman sekarang sangat sulit dan langka ulama
yang menguasai semua bidang ke ilmuan apalagi yang masuk dalam
kategori mujtahid. Akan tetapi kalau kita melihat dari subtansi dari tujuan
ijma’ sebagai salah satu metode penetapan hukum, di karenakan ada
persoalan baru yang muncul ditengah-tengah kehidupan masyarakat,
sedangkan dalilnya dalam al-Qur’an dan al-Hadits tidak ditemukan. Maka
perlu kita mempertimbangkan pendapat Abdul Wahab Khallaf, bahwa
Ijma’ akan mungkin terjadi apabila masalahnya diserahkan kepada
pemerintah, karena pemerintah sebagai ulil Amri dapat mengetahui
mujtahid-mujtahidnya, dan setiap pemerintah dapat mengetahui dan
menentukan mujtahid suatu bangasa dan disepakati juga oleh mujtahid
seluruh dunia Islam”. Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy, bahwa ijma’ sama
dengan mengumpulkan para ahli permusyawaratan untuk bemusyawarah
sebagai wakil rakyat atas perintah/ undangan kepala Negara, itulah yang
mungkin terjadi sepanjang masa. Inilah ijma’ yang terjadi di masa Abu
bakar dan Umar”.
Kalau memperhatikan pengertian dari subtansi pengertian ijma’
tersebut, kemudian didukung oleh pendapat Abdul Wahab Khallaf dan
Hasbi ash-Shidieqy, ada kemungkinan bahwa Keputusan MPR RI, DPR
RI dan keputusan kepala daerah atau menghimpun berbagai macam fatwa
yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai lembaga seperti fatwa ulama
NU dan fatwa ulama majlis Tarjih Muhammadiyah dan Fatwa MUI, yang
kebetulan subatansi dari isi fatwa tersebut sama-sama menyatakan bahwa
merokok itu haram karena merusak kesehatan manusia.dapat dianggap
sebagai ijma’, paling dapat kita sebut sebagai ijma’ lokal. Pada zaman
sekarang, ada kemungkinan untuk menghimpun pendapat para ulama atau
mujtahid lokal maupun pendapat mujtahid seluruh dunia, tidak musti harus

12
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islami, Juz I,( al-Maktabah al-Assad, 2006),
h.512

9
bertemu dalam satu majlis, akan tetapi dapat di akses melalui teknologi
Internet, atau melalui akun fecebook, atau akun Twitter. Tetapi
memberikan persoalan melalui media Internet dan mengharapkan jawaban
oleh orang yang berkualitas mujtahid tentu akan mengandung beberapa
kelemahan, karena pada media tersebut, kemungkinan orang yang bukan
ulama mujtahid juga dapat memberikan jawaban dan penipuan dalam
memberikan jawaban yang tidak di harapkan. Kelemahan selanjutnya
media internet belum ada ulama yang menggunakan, bahwa madia ini
dapat digunakan sebagai sarana untuk ijma’ ( kesepakatan Mujtahid)’
untuk mengakses atau menghimpun) pendapat para mujtahid lakal maupun
secara internasional dari berbagai negara didunia.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Perbedaan-perbedaan pendapat dikalangan ulama adalah sesuatu
yang biasa terjadi termasuk dalam soal ijma apakah dapat dipandang
sebagai dalil syar’i atau tidak. Pada prinsipnya Jumhur ulama ushul fiqih
menyatakan bahwa ijma sebagai upaya para mujtahid dalam menetapkan
hukum suatu kasus yang tidak ada hukumnya dalam nash harus
mempunyai landasan. Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma
menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Al Quran dan
Sunnah.

Dilihat dari segi terjadinya kesepakatan terhadap hukum syara


para ulama ushul fiqih membagi ijma kepada dua bentuk:
1. Ijma Syarih/Lafdzhi
2. Ijma Sukuti

Ulama yang pro pada pendapat bahwa ijma’ tidak mungkin


terjadi lagi, karena pada waktu terjadi pristiwa pengambil hukum dengan
cara ijma’, pada masa itu para ulama mujtahid masih saling kenal, tempat
tinggal mereka masih berdekatan, wilayah umat Islam atau negara belum
begitu luas seperti sekarang, dan masih memungkin masing-masing
mujtahid dapat memperhatikan pendapat mereka masing-masing, tentang
persoalan hukum yang di ajukan kepada mereka.
Kalau memperhatikan pengertian dari subtansi pengertian ijma’
tersebut, kemudian didukung oleh pendapat Abdul Wahab Khallaf dan
Hasbi ash-Shidieqy, ada kemungkinan bahwa Keputusan MPR RI, DPR
RI dan keputusan kepala daerah atau menghimpun berbagai macam
fatwa yang dikeluarkan oleh ulama dari berbagai lembaga seperti fatwa
ulama NU dan fatwa ulama majlis Tarjih Muhammadiyah dan Fatwa
MUI, yang kebetulan subatansi dari isi fatwa tersebut sama-sama

11
menyatakan bahwa merokok itu haram karena merusak kesehatan
manusia.dapat dianggap sebagai ijma’, paling dapat kita sebut sebagai
ijma’ lokal.
B. Saran
Supaya makalah yang telah kami buat dan diskusikan ini dapat
menjadi pertimbangan sebagai salah satu bahan ataupun materi dalam
bidang mata kuliah Ushul Fikih: Teori dan Metodologi dan dapat menjadi
bacaan yang berguna bagi pembacanya. Kritik dan saran dari pembaca
sangat kami harapkan supaya kami dapat memperbaikinya.

12
DAFTAR PUSTAKA

T. M. Hasbi Ash-Siddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Jakarta : Bulan


Bintang, 1980.
Abdullah Sulaiman, , Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya,
Jakarta: Sinar Grafika,1995
Djazuli, A., Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam
Menyelesaikan Masalah-masalah yang Praktis, Jakarta: Kencana,2007
Zakaria Syafe'I, Ijma Sebagai Sumber Hukum Islam, Kajian tentang Kehujjahan
Ijma' dan Pengingkarannya, No. 67/XIII/1997.
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqih. Jakarta : PT. Logos Wacana Ilmu 1997
Abdul Wahhab Khalaf, Ilmu Ushul Fiqih. Bandung : Gema Risalah Press 1997
Muhamad Abu Zahrah. Ushul Fiqih. Jakarta : Pustaka Firdaus 2002
Sulaiman abdullah. Sumber Hukum Islam Permasalahan & Fleksibelitasnya.
Jakarta : Sinar Grafika 1995.
Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Huukm Islam, Cet.Ke-1, Jilid 2, Ictiar
Baru Van Hove, Jakarta, 1996.
Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Cet. Ke-3, Bulan Bintang,
Jakarta, 1983.
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al Fiqh al Islami, Juz I, al-Maktabah al-Assad, 2006

13

Anda mungkin juga menyukai