Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Stres Dan Kesehatan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

STRES DAN KESEHATAN

MATA KULIAH BIOPSIKOLOGI

Dosen Pengampu:
Andy Chandra, S.Psi, M.Psi, Psikolog

Disusun oleh:
Al Erris Annisa Edelweis (228600059)
Catur Eka Zulfi (228600094)
Ghaitsah Zhahira Shafa (228600032)
Inni Indriani (228600112)
Vidya Gesha Br Brahmana (228600029)
Vika Nur Febrianti (228600033)

PRODI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini sebatas
pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak
Andy Chandra, S.Psi, M.Psi, Psikolog. Selaku dosen pengampu mata kuliah Biopsikologi
yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai STRES DAN KESEHATAN. Kami juga menyadari sepenuhnya
bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kita
harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa
yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang baik.
Adapun makalah ini ditulis dari hasil penyusunan data-data sekunder yang diperoleh dari
berbagai sumber yang berkaitan dengan psikologi serta infomasi dari media massa yang
berhubungan dengan tema. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun
yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri
maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan
kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa akan datang.

Selasa, 30 Mei 2023

Kelompok 13

i
DAFTAR ISI

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Stres

1. Definisi Stres
Stres merupakan keadaan ketika seseorang merasa ketidaknyamanan mental dan batin
yang disebabkan oleh perasaan tertekan. Definisi stres menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (2000) adalah gangguan atau kekacauan mental dan emosional yang disebabkan
oleh faktor ekstrinsik. Menurut American Institute of Stress (2010), tidak ada definisi yang
pasti untuk stres karena setiap individu akan memiliki reaksi yang berbeda terhadap stres
yang sama. Stres bersifat individu dan pada dasarnya bersifat merusak bila tidak adanya
keseimbangan antara daya tahan mental individu dengan beban stres yang dirasakan.
Stres adalah gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan
tuntutan kehidupan (Vincent Cornelli, dalam Jenita DT Donsu, 2017). Menurut Charles D.
Speilberger, menyebutkan stres adalah tuntutantuntutan eksternal yang mengenai seseorang
misalnya objek dalam lingkungan atau sesuatu stimulus yang secara obyektif adalah
berbahaya. Stres juga bias diartikan sebagai tekanan, ketegangan, gangguan yang tidak
menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang (Jenita DT Donsu, 2017).
Cofer & Appley (1964) menyatakan bahwa stres adalah kondisi organik seseorang pada
saat ia menyadari bahwa keberadaan atau integritas diri dalam keadaan bahaya, dan ia harus
meningkatkan seluruh energy untuk melindungi diri (Jenita DT Donsu, 2017). Cranwell-Ward
(1987) menyebutkan stres sebagai reaksi-reaksi fisiologik dan psikologik yang terjadi jika
orang mempersepsi suatu ketidakseimbangan antara tingkat tuntutan yang dibebankan
kepadanya dan kemampuannya untuk memenuhi tuntutan itu (Jenita DT Donsu, 2017).
Anggota IKAPI (2007) menyatakan stres adalah reaksi non-spesifik manusia terhadap
rangsangan atau tekanan (stimulus stressor). Stres merupakan suatu reaksi adaptif, bersifat
sanga individual, sehingga suatu stres bagi seseorang belum tentu sama tanggapannya bagi
orang lain (Jenita DT Donsu, 2017). Stres adalah segala sesuatu di mana tuntutan non-
spesifik mengharuskan seorang individu untuk merespons atau melakukan tindakan (Potter
dan Perry, dalam Jenita DT Donsu, 2017). Menurut Hawari (2008) bahwa Hans Selve
menyatakan stres adalah respon tubuh yang sifatnya non-spesifik terhadap setiap tuntutan
beban atasnya (Jenita DT Donsu, 2017).
Stres juga bisa berarti ketegangan, tekanan batin, tegangan, dan konflik yang berarti:
a. Reaksi atau respon tubuh terhadap stresor psikososial (tekanan mental atau beban
kehidupan).
b. Kekuatan yang mendesak atau mencekam, yang menimbulkan suatu ketegangan dalam diri
seseorang.
c. Reaksi tubuh terhadap situasi yang menimbulkan tekanan, perubahan, ketegangan emosi
dan lain-lain

2
d. Reaksi tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan yang
dipengaruhi baik oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan tersebut.
Berdasarkan pengertian tersebut peneliti dapat menyimpulkan stres merupakan : sebuah
respon yang dialami setiap individu dan akan menimbulkan dampak , baik itu dampak positif
dan dampak negatif apabila stres tersebut tidak bisa di tangani.
2. Teori Ahli Mengenai Stress
a. Teori stres Lazarus & Folkman
Stres Model Transaksional, Stres model transaksional berfokus pada respon emosi dan
proses kognitif yang mana didasarkan pada interaksi manusia dengan lingkungan (Jovanovic,
Lazaridis & Stefanovic, 2006). Atau dengan kata lain, stres model ini menekankan pada
peranan penilaian individu terhadap penyebab stres yang mana akan menentukan respon
individu tersebut (Staal, 2004).
Richard Lazarus dan Susan Folkman adalah tokoh yang terkenal dalam mengembangkan
teori stres model transaksional. Lazarus dan Folkman (1984) menyatakan bahwa stres adalah
hubungan antara individu dengan lingkungannya yang dievaluasi oleh seseorang sebagai
tuntutan atau ketidakmampuan dalam mengahadapi situasi yang membahayakan atau
mengancam kesehatan. Lebih lanjut, Lazarus dan Folkman menegaskan bahwa appraisal
adalah faktor utama dalam menentukan seberapa banyak jumlah stres yang dialami oleh
seseorang saat berhadapan dengan situasi berbahaya (mengancam).
Dengan kata lain, stres adalah hasil dari terjadinya transaksi antara individu dengan
penyebab stres yang melibatkan proses pengevaluasian (Dewe et al., 2012). Selain itu,
sumber stres merupakan kejadian atau situasi yang melebihi kemamampuan pikiran atau
tubuh saat berhadapan dengan sumber stres tersebut. Ketika situasi tersebut memberikan
rangsangan, maka individu akan melakukan appraisal (penilaian) dan coping
(penanggulangan). Oleh karena itu, stres bisa berlanjut ke tahap yang lebih parah atau sedikit
demi sedikit semakin berkurang. Hal tersebut ditentukan bagaimana usaha seseorang
berurusan dengan sumber stres.
Appraisal atau proses penilaian adalah suatu tindakan pengevaluasian, penafsiran, dan
tanggapan tentang peristiwa-persitiwa yang ada (Olff, Langeland & Gersons, 2005). Merujuk
pada Lazarus dan Folkman (1984), ada dua tahap penilaian yang dilakukan oleh manusia
ketika sedang mengalami stres yaitu: (1) primary appraisal dan (2) secondary appraisal.
Penilaian tahap awal (primary appraisal) dilakukan oleh individu pada saat mulai mengalami
sesuatu peristiwa. Secara khusus, individu mengevaluasi pengaruh yang memungkinkan
timbul dari adanya tuntutan-tuntutan terhadap sumber daya yang ada pada kondisi kesehatan
(Lyon, 2012). Lazarus dan Folkman (1984) membagi proses primary appraisal ini dalam tiga
tahap, yaitu (1) irrelevant, (3) benign-positive, dan (3) stressful.
Irrelevant (tidak berkaitan) terjadi ketika seseorang berhadapan dengan situasi yang tidak
memberikan dampak apapun terhadap kesejahteraan (kesehatan) seseorang. Dengan kata lain,
seseorang tidak membutuhkan usaha apapun ketika menghadapi sebuah permasalahan atau
kejadian karena tidak ada yang dihilangkan dan diterima dalam proses transaksi ini. Benign-
positive (berdampak baik) terjadi ketika hasil dari pertempuran berdampak positif pada
peningkatan kesejahteraan individu. Sebagai hasilnya, akan timbul luapan perasaan emosi

3
seperti bahagia, kasih, senang, dan sebagainya. Stressful terjadi ketika individu tidak lagi
memiliki kemampuan secara personal untuk menghadapi penyebabpenyebab stres. Sebagai
akibatnya individu akan mengalami (1) harmful, (2) threatening, dan (3) challenging.
Harm/loss adalah tanda bahwa sesuatu yang membahayakan sedang terjadi pada. Threat
adalah tanda bahwa adanya kemungkinan-kemungkinan yang membahayakan itu akan
berlanjut dikemudian hari. Challenge merupakan keterlibatan individu dengan tuntutan yang
ada. Tantangan-tantangan tesebut menimbulkan emosi seperti pengharapan, keinginan dan
keyakinan (Lazarus & Folkman, 1984).
Secondary appraisal atau penilaian tahap kedua adalah proses penentuan jenis coping
yang bisa dilakukan dalam mengahadapi situasi-situasi yang mengancam (Lyon, 2012).
Coping tergantung pada penilaian terhadap hal apa yang bisa dilakukan untuk mengubah
situasi (Lazarus, 1993). Lazarus dan Folkman (1984) membagi dua metode coping
(penanggulangan) yang dilakukan ketika menghadapi stres yaitu (1) problemfocused coping
(penanggulangan berfokus pada masalah) dan (2) emotion-focused coping (penanggulangan
berfokus pada emosi).
Problem-focused coping adalah cara menanggulangi stres dengan berfokus pada
permasalahan yang dihadapi. Coping yang berfokus pada masalah ini bisa dilakukan apabila
masih ada memungkinkan melakukan sesuatu hal (Lazarus, 1993) untuk menanggulangi
stres. Atau dengan kata lain, problem-focused coping dilakukan untuk menghidari atau
mengurangi stres dengan cara langsung menghadapi sumber stres atau masalah yang terjadi.
Emotion-focused coping adalah cara penanggulangan stres dengan melibatkan emosi. Atau
dengan kata lain, seseorang yang mengalami stres akan melibatkan emosinya dan
menggunakan peniliannya terhadap sumber-sumber stres yang ada. Coping yang berfokus
pada emosi dilakukan karena tidak ada lagi yang bisa dilakukan (Lazarus, 1993) terhadap
sumber stres. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penanggulangan stress yang
berfokus pada masalah adalah berurusan dengan situasi secara langsung. Sedangkan
penanggulangan stres yang berfokus pada emosi berususan dengan diri sendiri.
b. Teori stres Hans Selye
Stres Model Respons Stres model respons dikembangkan oleh Hans Selye. Selye adalah ahli
yang dikenal luas karena penelitian dan teorinya tentang stres yang berkaitan dengan aspek
fisik dan kesehatan (Lyon, 2012). Merujuk pada Bartlett (1998), pada tahun 1946, Selye
menulis sebuah karya ilmiah yang berjudul “The General Adaptation Syndrome and Diseases
of Adaptation” dan menggunakan istilah stres untuk mengacu secara khusus pada tekananan
yang berasal dari luar individu. Namun, empat tahun kemudian, yaitu di tahun 1950, Selye
mengganti defenisi stres tersebut menjadi respons seseorang terhadap stimulus yang
diberikan. Selye menekankan bahwa stres merupakan reaksi atau tanggapan tubuh yang
secara spesifik terhadap penyebab stres yang mana mempengaruhi kepada seseorang.
Lyon (2012) mengistilahkan reaksi tubuh terhadap sumber stres sebagai variable terikat
atau hasil. Hasil stres itu bersumber dari dalam diri individu (Staal, 2004). Hasil stres itupun
meliputi perubahan kondisi psikis, emosional, dan psikologis (Carr & Umberson, 2013).
Misalnya, ketika seseorang mengalami situasi yang mengkhawatirkan, tubuh secara spontan
bereaksi terhadap ancaman tersebut. Ancaman tersebut termasuk sumber stres, dan respons
tubuh terhadap ancaman itu merupakan stres respons (Scheneidrman, Ironson & Siegel,
2005). Dengan demikian, perpaduan antara sumber stres dan hasil stres mengarahkan pada

4
pengertian bahwa stres tidak bisa dipisahkan dari reaksi tubuh terhadap sumber-sumber stres
yang ada. Atau dengan kata lain, tubuh tidak akan memberikan respon apapun kalau tidak ada
rangsangan. Oleh karena itu, stres respons dapat disimpulkan sebagai reaksi tubuh secara
jasmaniah terhadap sumber-sumber stres yang ada atau rangsangan yang menyerang tubuh.
Untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana tubuh memberikan respons terhadap sumber
stress, Selye pun memperkenalkan sebuah model stress. Adapun model stress yang
diperkenalkan Selye adalah General Adaptation Syndrome atau disingkat dengan istilah GAS
(Rice, 2011). Sesuai pada GAS (Gambar 1.), ada tiga tahapan stres respons, yaitu (1) alarm
(tanda bahaya), (2) resistance (perlawanan), dan (3) exhaustion (kelelahan).
1. Tahapan pertama
Stres respons dalam General Adaptation Syndrome adalah alarm. Alarm merupakan suatu
kondisi yang tidak diinginkan dan terjadi ketika ada perbedaan antara kenyataan yang sedang
terjadi dan situasi yang diharapkan (Ursin & Eriksen, 2004). Sebagai akibatnya, tubuh
menerima rangsangan dan secara alami mengaktifkan reaksi flight-or-fight karena adanya
kondisi yang berpotensi mengancam kestabilan kondisi tubuh (Lyon, 2012). Pada tahap
pertama ini akan timbul seperti sakit di dada, jantung berdebar-debar, sakit kepala, disfagia
(kesulitan menelan), kram, dan lain sebagainya (Rice, 2011).
2. Tahapan kedua
Tahapan kedua dari General Adaptation Syndrome adalah resistance (perlawanan).
Perlawanan terjadi saat alarm tidak berakhir atau terus menerus berlangsung. Dampaknya,
kekuatan fisik pun dikerahkan untuk melanjutkan kerusakan-kerusakan karena rangsangan-
rangsangan yang membahayakan sedang menyerang (Lyon, 2012). Peristiwa ini terjadi
karena pada tahap kedua terjadi konflik dengan tahap pertama (Rice, 2011). Oleh karena itu,
selama proses perlawanan di tahap resistance ada kemungkinan akan timbulnya penyakit,
seperti radang sendi, kanker, dan hipertensi (Lyon, 2012). Ketika stres masih berlangsung
terusmenerus, maka selanjutnya stres berada pada pada tahap terakhir.
3. Tahapan Ketiga
Pada tahap ketiga ini tubuh sudah merasakan exhaustion (kelelahan) (Lyon, 2012).
Kondisi ini dikarenakan tubuh benar-benar tidak sanggup lagi mengadakan perlawanan
terhadap sumber stres. Atau dengan kata lain, tubuh sudah menyerah karena kehabisan
kemampuan untuk menghadapi serangan yang mengancam. Oleh karena itu, pada tahap
ketiga ini, menurut Lyon (2012) dan Rice (2011) organ-organ tubuh bisa berhenti berfungsi
atau bisa mengakibatkan kematian pada seseorang
Stres dapat menjadi gejala awal penyakit jiwa Stres merupakan kondisi dimana individu tidak
mampu beradaptasi dengan stressor yang dialaminya. Apabila stres tidak segera ditangani,
semakin lama akan memicu terjadinya penyakit jiwa. Beberapa individu dapat beradaptasi
dengan stressor yang dialami, sementara sebagian yang lain tidak. Stres sendiri dapat
bersumber dari dalam dan dari luar individu, berikut adalah beberapa sumber stres /stressor :
a. Sumber stress dari dalam
- Karakter pribadi
- Pribadi tertutup
5
- Sensitif-mudah tersinggung
- Sulit bergaul
- Ambisius (ingin mengerjakan semuanya)
- Perfeksionis (ingin menjadi yg terbaik) - Pola pikir negatif -Tidak yakin diri - Cepat cemas
b. Sumber stres dari luar
– Lingkungan/alam : bencana alam
– Lingkungan keluarga : anak-istri, Hubungan tidak harmonis, Komunikasi tidak baik,
PROBLEM ANAK (sakit-prestasi sekolah-perilaku)
– Lingkungan kerja: Sistem organisasi tidak baik, Hubungan atasan-bawahan jelek

Konsep “sehat”, World Health Organization (WHO) merumuskan dalam cakupan yang
sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya
terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Dalam definisi ini, sehat bukan sekedar
terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun tentunya belum tentu
dikatakan sehat. Dia semestinya dalam keadaan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun
sosial. World Health Organization (WHO) membuat defenisi universal yang menyatakan
bahwa pengertian sehat adalah suatu keadaan kondisi fisik,
Kualitas hidup adalah persepsi individual terhadap posisinya dalam kehidupan, dalam
konteks budaya, sistem nilai dimana mereka berada dan hubungannya terhadap tujuan hidup,
harapan, standar, dan lainnya yang terkait. Masalah yang mencakup kualitas hidup sangat
luas dan kompleks termasuk masalah kesehatan fisik, status psikologik, tingkat kebebasan,
hubungan sosial dan lingkungan dimana mereka berada (World Health Organization, 2012).
Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatau keadaan ideal, dari sisi
biologis, psiologis, dan sosial sehingga seseorang dapat melakukan aktifitas secara optimal.
Definisi sehat yang dikemukakan oleh WHO mengandung 3 karakteristik yaitu:
1. Merefleksikan perhatian pada individu sebagai manusia
2. Memandang sehat dalam konteks lingkungan internal dan ektersnal.
3. Sehat diartikan sebagai hidup yang kreatif dan produktif.
Menurut WHO, ada tiga komponen penting yang merupakan satu kesatuan dalam defenisi
sehat yaitu:
a. Sehat Jasmani
Sehat jasmani merupakan komponen penting dalam arti sehat seutuhnya, berupa sosok
manusia yang berpenampilan kulit bersih, mata bersinar, rambut tersisir rapi, berpakaian rapi,
berotot, tidak gemuk, nafas tidak bau, selera makan baik, tidur nyenyak, gesit dan seluruh
fungsi fisiologi tubuh berjalan normal.
b. Sehat Mental
Sehat mental dan sehat jasmani selalu dihubungkan satu sama lain dalam pepatah kuno
“Jiwa yang sehat terdapat di dalam tubuh yang sehat” (Men Sana In Corpore Sano).

6
c. Sehat Spritual
Spritual merupakan komponen tambahan pada pengertian sehat oleh WHO dan memiliki
arti penting dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Setiap individu perlu mendapat
pendidikan formal maupun informal, kesempatan untuk berlibur, mendengar alunan lagu dan
musik, siraman rohani seperti ceramah agama dan lainnya agar terjadi keseimbangan jiwa
yang dinamis dan tidak monoton.
Sehat bukan merupakan suatu kondisi tetapi merupakan penyesuaian, dan bukan
merupakan suatu keadaan tetapi merupakan proses dan yang dimaksud dengan proses disini
adalah adaptasi individu yang tidak hanya terhadap fisik mereka tetapi terhadap lingkungan
sosialnya. Sampai saat ini faktor penyebab turunnya kualitas hidup pada manusia baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama belum diketahui secara pasti. Masalahnya antara lain
sulitnya melakukan penelitian terhadap manusia untuk mencari hubungan sebab-akibat.
Diakui masalahnya sangat kompleks dan banyak faktor (multifaktorial) yang berpengaruh
terhadap kualitas hidup manusia.
Dari definisi tersebut jelas terlihat bahwa kesehatan bukanlah semata-mata keadaan bebas
dari penyakit, cacat, dan kelemahan. Manusia selalu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh
dari unsur jasmani, mental, spiritual maupun sosial yang dititikberatkan pada kualitas hidup
dan produktivitas sosial ekonomi. Adanya suatu interaksi dan interdependensi antara sehat
fisik, sehat sosial, sehat mental, dan sehat spiritual merupakan hal terpenting dalam kesatuan
tersebut.
Definisi kesehatan menurut para ahli
1. Pengertian Sehat Menurut Ahli WHO
Sehat adalah kondisi normal seseorang yang merupakan hak hidupnya. Sehat
berhubungan dengan hukum alam yang mengatur tubuh, jiwa, dan lingkungan berupa udara
segar, sinar matahari, diet seimbang, bekerja, istirahat, tidur, santai, kebersihan serta pikiran,
kebiasaan dan gaya hidup yang baik.
2. Sehat Menurut Undang-undang
Undang-Undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 mendefenisikan Kesehatan adalah yang
meliputi fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi. Sehat fisik yang dimaksud disini
adalah tidak merasa sakit dan memang secara klinis tidak sakit, semua organ tubuh normal
dan berfungsi normal dan tidak ada gangguan fungsi tubuh. Sehat mental (jiwa), mencakup:
a) Sehat Pikiran
Tercermin dari cara berpikir seseorang yakni mampu berpikir secara logis (masuk akal)
atau berpikir runtut
b) Sehat Spiritual
Tercerimin dari cara seseorang dalam mengekspresikan rasa syukur, pujian, atau
penyembahan terhadap pencinta alam dan seisinya yang dapat dilihat dari praktek keagamaan
dan kepercayaannya serta perbuatan baik yang sesuai dengan norma-norma masyarakat.
c) Sehat Emosional

7
Tercermin dari kemampuan seseorang untuk mengekspresikan emosinya atau
pengendalian diri yang baik.dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan
sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan
kontribusi untuk komunitasnya.
3. Menurut Pender (1982)
sehat adalah perwujudan individu yang diperoleh melalui kepuasan dalam berhubungan
dengan orang lain (aktualisasi). Perilaku yang sesuai dengan tujuan, perawatan didi yang
kompeten sedangkan penyesuaian diperlukan.
1. Sehat Jasmani

2. Sehat Mental
Menurut Dr. Jalaluddin dalam bukunya “Psikologi Agama” bahwa:“Kesehatan mental
merupakan suatu kondisi batin yang senantiasa berada dalam keadaan tenang, aman dan
tentram, dan upaya untuk menemukan ketenangan batin dapat dilakukan antara lain melalui
penyesuaian diri secara resignasi (penyerahan diri sepenuhnya kepada Tuhan)”. Sedangkan
menurut paham ilmu kedokteran, kesehatan mental merupakan suatu kondisi yang
memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional yang optimal dari seseorang
dan perkembangan itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Zakiah Daradjat mendefenisikan bahwa mental yang sehat adalah terwujudnya
keserasian yang sungguh-sungguh antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian
diri antara individu dengan dirinya sendiri dan lingkungannya berdasarkan keimanan dan
ketakwaan serta bertujuan untuk mencapai hidup bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.
Jika mental sehat dicapai, maka individu memiliki integrasi, penyesuaian dan identifikasi
positif terhadap orang lain. Dalam hal ini, individu belajar menerima tanggung jawab,
menjadi mandiri dan mencapai integrasi tingkah laku.
Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa
orang yang sehat mentalnya adalah terwujudnya keharmonisan dalam fungsi jiwa serta
tercapainya kemampuan untuk menghadapi permasalahan sehari-hari, sehingga merasakan
kebahagiaan dan kepuasan dalam dirinya. Seseorang dikatakan memiliki mental yang sehat,
bila ia terhindar dari gejala penyakit jiwa dan memanfatkan potensi yang dimilikinya untuk
menyelaraskan fungsi jiwa dalam dirinya.
Golongan yang kurang sehat mentalnya adalah orang yang merasa terganggu
ketentraman hatinya. Adanya abnormalitas mental ini biasanya disebabkan karena
ketidakmampuan individu dalam menghadapi kenyataan hidup, sehingga muncul konflik
mental pada dirinya . Gejala-gejala umum yang kurang sehat mentalnya, yakni dapat dilihat
dalam beberapa segi, antara lain:
1. Perasaan Orang yang kurang sehat mentalnya akan selalu merasa gelisah karena
kurang mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapinya.
2. Pikiran Orang yang kurang sehat mentalnya akan mempengaruhi pikirannya, sehingga
ia merasa kurang mampu melanjutkan sesutu yang telah direncanakan sebelumnya, seperti

8
tidak dapat berkonsentrasi dalam melakukan sesuatu pekerjan, pemalas, pelupa, apatis dan
sebgainya.
3. Kelakuan Pada umumnya orang yang kurang sehat mentalnya akan tampak pada
kelakuan-kelakuannya yang tidak baik, seperti keras kepala, suka berdusta, mencuri,
menyeleweng, menyiksa orang lain, dan segala yang bersifat negative.
Dari penjelasan tersebut, maka dalam hal ini tentunya pembinaan yang dimaksud adalah
pembinaan kepribadian secara keseluruhan. Pembinaan mental secara efektif dilakukan
dengan memperhatikan faktor kejiwaan sasaran yang akan dibina. Pembinaan yang dilakukan
meliputi pembinaan moral, pembentukan sikap dan mental yang pada umumnya dilakukan
sejak anak masih kecil. Pembinaan mental merupakan salah satu cara untuk membentuk
akhlak manusia agar memiliki pribadi yang bermoral, berbudi pekerti yang luhur dan
bersusila, sehingga seseorang dapat terhindar dari sifat tercela sebagai langkah
penanggulangan terhadap timbulnya kenakalan remaja.
Pembentukan sikap, pembinaan moral dan pribadi pada umumnya terjadi melalui
pengalaman sejak kecil. Agar anak mempunyai kepribadian yang kuat dan sikap mental yang
sehat serta akhlak yang terpuji, semuanya dapat diusahakan melalui penglihatan,
pendengaran, maupun perlakuan yang diterimanya dan akan ikut menentukan pembinaan
pribadinya. Pembinaan mental/jiwa merupakan tumpuan perhatian pertama dalam misi
Islam. Untuk menciptakan manusia yang berakhlak mulia, Islam telah mengajarkan bahwa
pembinaan jiwa harus lebih diutamakan daripada pembinaan fisik atau pembinaan pada
aspek-aspek lain, karena dari jiwa yang baik inilah akan lahir perbuatan-perbuatan yang baik
yang pada gilirannya akan menghasilkan kebaikan dan kebahagiaan pada seluruh kehidupan
manusia lahir dan batin.
Istilah “KESEHATAN MENTAL” di ambil dari konsep mental hygiene. Kata mental di
ambil dari bahasa Yunani, pengertiannya sama dengan psyche dalam bahasa latin yang
artinya psikis, jiwa atau kejiwaan. Jadi istilah mental hygiene dimaknakan sebagai kesehatan
mental atau jiwa yang dinamis bukan statis karena menunjukkan adanya usaha peningkatan.
(Notosoedirjo & Latipun,2001:21).
Pentingnya memperhatikan penyakit jiwa Pentingnya mengetahui, mencegah dan
menyembuhkan penyakit mental / jiwa sama pentingnya dengan menjaga kesehatan fisik atau
jasmani. Kerena kesehatan mental juga memengaruhi kesehatan jasmani begitu pula
sebaliknya. Beberapa hal yang melandasi pentingnya sosialisasi mengenai pentingnya
menjaga kesehatan mental didasari karena beberapa hal sebagai berikut:
a) Masalah kesehatan jiwa seringkali terabaikan
b) Masyarakat masih banyak yang belum memahami masalahpenyakit mental/jiwa
c) Masyarakat tidak /kurang mengenali gejala-gejala penyakit jiwa / mental
d) Penyakit jiwa belum /kurang menjadi prioritas upaya kesehatan di masyarakat

Anda mungkin juga menyukai