Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

LP Fekal

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

ELIMINASI FEKAL

A. Konsep dasar Eleminasi Fekal


1. Pengertian
Eliminasi merupakan proses pembuangan sisa-sisa metabolisme tubuh.
Pembuangan dapat melalui urine ataupun bowel (Tarwoto Wartonah Edisi 4).
Eliminasi fekal atau defekasi merupakan proses pembuangan sisa metabolisme
yang tidak terpakai. Eliminasi yang teratur penting untuk fungsi tubuh normal.
Perubahan pada defekasi dapat menyebabkan masalah pada GI dan bagian tubuh
lain, karena sisa-sisa produk adalah racun. Pola defekasi bersifat individual,
bervariasi dari beberapa kali sehari sampai berapa kali seminggu. Jumlah feses
yang dikeluarkanpun bervariasi jumlahnya tiap individu.
Eliminasi fekal adalah proses pembuangan sisa metabolisme tubuh berupa
feses (bowel). Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga
disebut bowel movement. Frekuensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi
dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3 kali perminggu. Banyaknya feses juga
bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik mendorong feses kedalam
kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang dan individu
menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi.
Eliminasi produk sisa pencernaan yang teratur merupakan aspek yang
penting untuk fungsi normal tubuh. Perubahan eliminasi dapat menyebabkan
masalah pada system gastrointestinal dan system tubuh lainya. Karena fungsi usus
bergantung pada keseimbangan beberapa faktor, pola dan kebiasaan eliminasi
bervariasi di antara individu. Namun, telah terbukti bahwa pengeluaran feses yang
sering, dalam jumlah besar dan karakteristiknya normal biasanya berbanding lurus
dengan rendahnya insiden kanker kolorektal (Robinson dan Weigley,1989 dalam
Potter & Perry Edisi 4)

1
2. Fisiologi Defekasi.
Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum, sedangkan
fisiologi defekasi adalah mekanisme perjalanan makanan hingga akhirnya keluar
menjadi feses melalui anus dalam proses defekasi. Frekuensi defekasi sangat
bersifat individual, yang beragam dari beberapa kali sehari hingga dua atau tiga
kali seminggu. Jumlah yang dikeluarkan juga bervariasi pada setiap orang. Jika
gelombang peristaltic menggerakkan feses ke kolon sigmoid dan rektum, saraf
sensorik di rektum di stimulasi dan individu menjadi ingin defekasi. Jika sfingter
anal internal relaks, maka feses akan bergerak menuju anus. Setelah individu di
dudukkan pada toilet, sfingter anal eksternal akan berelaksasi secara volunter.
Pengeluaran feses dibantu oleh kontraksi otot abdomen dan diagfragma, yang
meningkatkan tekanan abdomen dan oleh kontraksi otot dasar panggul, yang
memindahkan feses ke saluran anus. Berikut ini akan dibahas secara singkat organ-
organ yang berperan dalam sistem pencernaan beserta fungsinya.
a. Mulut
Proses pertama dalam sistem pencernaan berlangsung di mulut. Makanan akan
dipotong, diiris, dan dirobek dengan bantuan gigi. Makanan yang masuk ke
mulut dipotong menjadi bagian yang lebih kecil agar mudah di telan dan untuk
memperluas permukaan makanan yang akan terkena enzim. Setelah makanan
dipotong menjadi bagian yang lebih kecil, maka selanjutnya makanan akan
diteruskan ke faring dengan bantuan lidah.
b. Faring
Faring adalah rongga dibelakang tenggorokan yang berfungsi dalam sistem
pencernaan dan pernafasan. Dalam sistem pencernaan, faring berfungsi sebagai
penghubung antara mulut dan esofagus.
c. Esofagus
Esofagus adalah saluran berotot yang relatif lurus yang terbentang antara faring
dan lambung. Pada saat menelan, makanan akan dipicu oleh gelombang
peristaltik yang akan mendorong bolus menelusuri esofagus dan masuk ke
lambung.

2
d. Lambung
Lambung adalah organ yang terletak antara esofagus dan usus halus. Di dalam
lambung makanan yang masuk akan disimpan lalu disalurkan ke usus halus.
Sebelum makanan masuk ke usus halus, makanan terlebih dahulu akan
dihaluskan dan dicampurkan kembali sehingga menjadi campuran cairan kental
yang biasa disebut dengan kimus. Lambung menyalurkan kimus ke usus halus
sesuai dengan kapasitas usus halus dalam mencerna dan menyerap makanan
dan biasanya satu porsi makanan menghabiskan waktu dalam hitungan menit.
e. Usus halus
Usus halus adalah tempat sebagian besar pencernaan dan penyerapan
berlangsung.
f. Usus besar
Usus besar adalah organ pengering dan penyimpan makanan. Kolon
mengekstrasi H2O dan garam dari isi lumennya untuk membentuk masa padat
yang disebut feses. Fungsi utama usus besar adalah untuk menyimpan feses
sebelum defekasi. Kolon terdiri dari 7 bagian, yaitu sekum, kolon asendens,
kolon transversal, kolon desendens, kolon sigmoid, rektum dan anus. Usus
besar adalah sebuah saluran otot yang dilapisi oleh mukosa. Serat otot yang
dilapisi oleh membrane mukosa. Serat otot berbentuk sikular dan longitudinal
yang memungkinkan usus membesar dan berkontraksi melebar dan
memanjang. Otot longitudinal lebih pendek dibandingkan kolon, oleh karena
itu usus besar membentuk kantung atau yang biasa disebut dengan haustra.
Kolon juga memberi fungsi perlindungan karena mensekresikan lendir. Lendir
ini berperan untuk melindungi usus besar dari trauma akibat pembentukan
asam di dalam feses dan berperan sebagai pengikat yang akan menyatukan
materi fekal. Lendir ini juga akan melindungi usus besar dari aktifitas bakteri.
Di dalam usus besar terdapat 3 tipe pergerakan yaitu gerakan haustral churning,
peristalsis kolon, peristalsis masa. Gerakan haustral churning akan
menggerakan makanan ke belakang dan ke depan yang berperan untuk
menyatukan materi feses, membantu penyerapan air dan untuk menggerakan isi
usus kedepan. Gerakan peristalsis kolon adalah gerakan yang menyerupai

3
gelombang yang akan mendorong isi usus kedepan. Gerakan ini sangat lambat
dan diduga sangat sedikit menggerakan materi feses tersebut disepanjang usus
besar. Yang ketiga adalah gerakan peristalsis massa. Gerakan ini melibatkan
suatu gerakan kontraksi yang sangat kuat sehingga menggerakkan sebagian
besar kolon. Biasanya gerakan ini terjadi setelah makan, distimulasi oleh
keberadaan makanan di dalam lambung dan usus halus. Gerakan peristalsis
massa hanya terjadi beberapa kali dalam sehari pada orang dewasa.

g. Rektum dan Anus


Rektum pada orang dewasa biasanya memiliki panjang 10 - 15 cm sedangkan
saluran anus memiliki panjang 2,5 - 3 cm. Di dalam rektum terdapat lipatan-
lipatan yang dapat meluas secara vertical. Setiap lipatan vertikal berisi sebuah
vena dan arteri. Diyakini bahwa lipatan ini membantu menahan feses di dalam
rektum. Jika vena mengalami distensi seperti yang dapat terjadi jika terdapat
tekanan berulang. Saluran anus diikat oleh otot sfingter internal dan eksternal.
Sfingter internal berada dibawah kontrol involunter dan dipersarafi oleh sistem
saraf otonom, sedangkan sfingter eksternal berada di bawah kontrol volunter
dan dipersarafi ooleh sistem saraf somatik.

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Eliminasi Fekal


Pada defekasi bertahap dalam kehidupan yang berbeda. Keadaan diet,
asupan dan haluran cairan, aktivitas, faktor psikologis, gaya hidup, pengobatan dan
prosedur medis, serta penyakit juga mempengaruhi defekasi.

4
a. Perkembangan
Bayi yang baru lahir, batita, anak - anak,dan lansia adalah kelompok yang
anggotanya memiliki kesamaan dalam pola eliminasi.
1) Bayi yang baru lahir
Mekonium, adalah materi feses pertama yang dikeluarkan oleh bayi baru lahir,
normalnya terjadi dalam 24 jam pertama setelah lahir. Bayi sering
mengeluarkan feses, sering kali setiap sesudah makan. Karena usus belum
matur, air tidak diserap dengan baik dan feses menjadi lunak, cair, dan sering
dikeluarkan. Apabila usus telah matur, flora bakteri meningkat. Setelah
makanan padat diperkenalkan, feses menjadi lebih keras dan frekuensi defekasi
berkurang.
2) Batita
Sedikit kontrol defekasi telah mulai dimiliki pada usia 1 ^ sampai 2 tahun. Pada
saat ini anak - anak telah belajar berjalan dan sistem saraf dan sistem otot telah
terbentuk cukup baik untuk memungkinkan kontrol defekasi. Keinginan untuk
mengontrol defekasi di siang hari dan untuk menggunakan toilet secara umum
dimulai pada saat anak menyadari ketidaknyamanan yang disebabkan oleh
popok yang kotor dan sensasi yang menunjukkan kebutuhan untuk defekasi.
Kontrol di siang hari umumnya diperoleh pada usia 2 / 2 tahun., setelah sebuah
proses pelatihan eliminasi.
3) Anak usia sekolah dan remaja
Anak usia sekolah dan remaja memiliki kebiasaan defekasi yang sama dengan
kebiasaan mereka saat dewasa. Pola defekasi beragam dalam hal frekuensi,
kuantitas, dan konsistensi. Beberapa anak usia sekolah dapat menunda defekasi
karena aktivitas seperti bermain.
4) Lansia
Konstipasi adalah masalah umumpada populasi lansia. Ini, sebagian, akibat
pengurangan tingkat aktivitas, ketidakcukupan jumlah asupan cairan dan serat,
serta kelemahan otot. Banyak lansia percaya bahwa “keteraturan” berarti
melakukan defekasi setiap hari. Mereka yang tidak memenuhi kriteria ini
sering kali mencari obat yang dijual bebas untuk meredakan kondisi yang

5
mereka yakini sebagai konstipasi. Lansia harus dijelaskan bahwa pola normal
eliminasi fekal sangat beragam.
Bagi beberapa orang dapat setiap dua hari sekali bagi orang lain, dua kali dalam
satu hari. Kecukupan serat dalam diet, kecukupan latihan, dan asupan cairan 6
sampai 8 gelas sehari merupakan upaya pencegahan yang essensial terhadap
konstipasi. Berespons terhadap refleks gastrokolik (peningkatan peristalsis kolon
setelah makanan memasuki lambung) juga merupakan pertimbangan yang sangat
penting. Individu paruh baya harus diperingatkan bahwa penggunaan laksatif
secara konsisten akan menghambat refleks defekasi alamiah dan diduga
menyebabakan konstipasi dan bukan menyembuhkannya.
b. Diet
Bagian massa (selulosa, serat) yang besar di dalam diet dibutuhkan untuk
memberikan volume fekal. Diet lunak dan diet rendah serat berkurang memiliki
massa dan oleh karena itu kurang menghasilkan sisa dalam produk buangan untuk
menstimulasi refleks defekasi. Makanan tertentu sulit atau tidak mungkin untuk
dicerna oleh beberapa orang. Ketidakmampuan ini menyebabkan masalah
pencernaan dan dalam beberapa keadaan dapat menghasilkan feses yang encer.
c. Cairan
Bahkan jika asupan cairan atau haluaran (misalnya urine atau muntah) cairan
berlebihan karena alasan tertentu, tubuh terus akan menyerap kembali cairan dari
kime saat bergerak di sepanjang kolon. Kime jadi lebih lebih kering dibandingkan
normal, menghasilkan feses yang keras. Selain itu pengurangan asupan cairan
memperlambat perjalanan kime disepanjang usus, makin meningkatkan penyerapan
kembali cairan dari kime.
d. Aktivitas
Aktivitas menstimulasi peristalsis, sehingga memfasilitasi pergerakan kime
disepanjang kolon. Otot abdomen dan panggul yang lemah sering kali tidak efektif
dalam meningkatkan tekanan intra abdomen selama defekasi atau dalam
mengontrol defekasi.
e. Faktor psikologis
Beberapa orang yang merasa cemas atau marah mengalami peningkatan
aktivitas peristaltik dan selanjutnya mual dan diare. Sebaliknya, beberapa orang

6
yang mengalami depresi dapat mengalami perlambatan motilitas usus, yang
menyebabkan konstipasi. Bagaimana seseorang berespons terhadap keadaan
emosional ini adalah hasil dari perbedaaan individu dalam respons sistem saraf
enterik terhadap vagal dari otak.
f. Kebiasaan defekasi
Pelatihan defekasi sejak dini dapat membentuk kebiasaan defekasi pada waktu
yang teratur. Banyak orang yang melakukan defekasi setelah sarapan, saat refleks
gastrokolik menyebabkan gelombang peristaltik massa di usus besar.
g. Obat-obatan
Beberapa orang memiliki efek samping yang dapat mengganggu eliminasi
normal. Beberapa obat menyebabkan diare: obat lain seperti obat penenang tertentu
dalam dosis besar dan pemberian morfin dan kodein secara berulang, menyebabkan
konstipasi karena obat tersebut menurunkan aktivitas gastrointestinal melalui
kerjanya pada sistem saraf pusat.
h. Proses diagnostik
Sebelum prosedur diagnostik tertentu seperti visualisasi kolon, klien dilarang
mengomsumsi makanan atau minuman. Bilas enema dapat dilakukan pada klien
sebelum pemeriksaan. Dalam kondisi ini, defekasi normal biasanya tidak akan
terjadi sampai klien mengomsumsi makanan kembali.
i. Anastesia dan pembedahan
Anestesi umum menyebabkan pergerakan kolon normal berhenti atau
melambat dengan menghambat stimulasi saraf parasimpatis ke otot kolon. Klien
yang mendapatkan anastesia regional atau spinal kemungkinan lebih jarang
mengalami masalah ini. Pembedahan yang melibatkan penanganan usus secara
langsung dapat menyebabkan penghentian pergerakan usus secara sementara.
Kondisi ini disebut ileus.
j. Kondisi patologis
Cedera medula spinalis dan cedera kepala dapat menurunkan stimulasi sensorik
untuk defekasi. Hambatan mobilitas dapat membatasi kemampuan klien untuk
merespons terhadap desakan defekasi dan klien dapat mengalami konstipasi, atau
seorang klien dapat mengalami inkontinensia fekal karena buruknya fungsi sfingter
anal.

7
DIARE

k. Nyeri
Klien yang tidak mengalami ketidaknyamanan saat defekasi sering menekan
keinginan akibat defekasinya untuk menghindari nyeri. Akibatnya klien tersebut
dapat mengalami konstipasi. Klien yang meminum analgesik narkotik untuk
mengatasi nyeri dapat juga mengalami konstipasi sebagai efek samping obat
tersebut.

4. Pohon masalah
a.Diare (Nanda International2012).

8
b. Konstipasi dan Risiko konstipasi (Nanda International2012).

9
5. Masalah-masalah Yang Terjadi Pada Eliminasi Fekal
Berikut ini adalah masalah umum yang terkait dengan eliminasi fekal, yaitu:
a. Konstipasi
Konstipasi dapat didefinisikan sebagai defekasi kurang dari tiga kali per
minggu. Ini menunjukkan pengeluaran feses yang kering, keras atau tanpa
pengeluaran feses. Konstipasi juga dapat diartikan sebagai penurunan defekasi
normal yang disertai pengeluaran feses sulit dan tidak tuntas serta feses kering
(SDKI, 2016). Konstipasi terjadi jika pergerakan feses di usus besar berjalan
lambat, sehingga memungkinkan bertambahnya waktu reabsorpsi cairan di usu
besar. Konstipasi mengakibatkan sulitnya pengeluaran feses dan bertambahnya
upaya atau penekanan otot-otot volunter defekasi.
Namun, sangat penting untuk mendefinisikan konstipasi terkait dengan pola
eliminasi regular sesorang. Beberapa orang secara normal melakukan defekasi
hanya beberapa kali seminggu; sementara orang lain melakukan defekasi lebih
dari satu kali sehari. Pengkajian cermat mengenai kebiasaan seseorang
dibutuhkan sebelum diagnosa konstipasi dibuat. Contoh Batasan Karakter
Konstisipasi
a. Penurunan frekuensi defekasi
b.Feses keras, kering, memiliki bentuk
c. Mengejan saat defekasi; defekasi terasa nyeri
d.Melaporkan tentang rasa penuh pada rektum atau mengejan atau
mengeluarkan feses secara tidak komplet.
e. Nyeri abdomen, kram, atau distensi
f. Penggunaan laksatif
g.Penurunan nafsu makan
h.Sakit kepala
Banyak penyebab dan faktor-faktor yang menyebabkan konstipasi, yaitu:
a. Ketidakcukupan asuran serat
b.Ketidakcukupan asuran cairan
c. Ketidakcukupan aktivitas atau imobilitas
d.Kebiasaan defekasi yang tidak teratur
e. Perubahan rutinitas harian

10
f. Kurangn privasi
g. Penggunaan laksatif atau enema kronis
h. Gangguan emosional seperti depresi atau kebingungan mental
i. Medikasi seperti opiat atau garam zat besi.
Konstipasi dapat berbahaya bagi beberapa klien. Mengejan akibat
konstisipasi seringkali disertai dengan menahan napas. Manuver Valsava ini
dapat menyebabkan masalah serius pada penderita penyakit jantung, cedera
otak, atau penyakit pernapasan. Menahan napas meningkatkan tekanan
intratoraks dan intrakranial.
b. Impaksi Fekal
Impaksi fekal adalah suatu massa atau pengumpulan fese yang keras
didalam lipatan rektum. Impaksi terjadi akibat retensi dan akumulasi materi
fekal yang berkepanjangan. Pada impaksi berat, feses terakumulasi dan meluas
sampai ke kolon sigmoid dan sekitarnya. Impaksi fekal dapat dikenali dengan
keluarnya rembesan cairan fekal (diare) dan tidak ad feses normal. Cairan feses
merembes sampai keluar dari massa yang terimpaksi. Impaksi dapat juga dikaji
dengan pemeriksaan rektum menggunakan jari tangan, yang sering kali dapat
mempalpasi massa yang mengeras.
Seiring dengan pembesaran cairan feses dan konstipasi, gejala meliputi
keinginan yang sering namun bukan keinginan yang produktif untuk melakukan
defeksi dan sering mengalami nyeri rektal. Muncul perasaan umum menalami
suatu penyakit; klien anoreksik, abdomen menjadi terdistensi, dan dapt terjadi
mual dan muntah. Penyebab impaksi fekal biasanya adalah kebiasaan defekasi
yang bukruk dan konstipasi. Penggunaan barium dalam pemeriksaan radiologi
pada saluran pencernaanatas dan bawah juga menjasi sebuat faktor penyebab.
Oleh karena itu, setelah pemeriksaan ini, laksatif atau enema biasanya
digunakan untuk memastikan pengeluaran barium.
Pemeriksaan impaksi menggunakan jari di rektum harus dilakukan secara
lembut dan hati-hati. Walaupun pemeriksaan digital (jari tangan) berada dalam
ruang lingkup praktik keperawatan, beberapa kebijakan lembaga memerlukan
impaksi fekal secara digital.

11
Walaupun impaksi fekal secara umum dapat dicegah, kadng kala
dibutuhkan terapi untuk feses yang mengalami impaksi. Jika dicurigai adanya
impaksi fekal, klien sering kali diberikan suatu minyak sebagai enema retensi,
lalu diberikan enema pembersih pada 2 sampai 4 jam kemudian, dan enema
pembersih tambahan setiap hari, supositoria, atau pelunak feses setiap hari. Jika
upaya ini gagal, sering kali dibutuhkan pengeluaran feses secara manual.
c. Diare
Diare menunjuk pada pengeluaran feses encer dan peningkatan frekuensi
defekasi. Diare merupakan kondisi yang berlawanan dengan konstipasi dan
terjadi akibat cepatnya pergerakan isi fekal di usus besar. Cepatnya pergerakan
kime mengurangi waktu usus besar untuk menyerap kembali air dan elektrolit.
Beberapa orang mengeluarkan feses dengan frekuensi sering, tetapi diare tidak
terjadi kecuali feses relatif tidak terbentuk dan mengandung cairan yang
berlebihan.
Seseorang yang mengalami diare sering kali merasa sulit atau tidak
mungkin mengendalikan keinginan defekasi dalam waktu yang sangat lama.
Diare dan ancaman inkontinensia merupakan sumber kekhawatiran dan rasa
malu. Sering kali kram spasmodik dikaitkan dengan diare. Bising usus
meningkat. Dengan diare persisten, biasanya terjadi iritasi di dareah anus yang
meluas ke perineum dan bokong. Keletihan, kelemahan, lelah dan emasiasi
(kurus dan lemah) merupakan akibar dari diare yang berkepanjangan.
Apabila penyebab diare adalah karena adanya iritan di saluran usus, diare
diduga sebagai suatu mekanisme pembilasan pelindung. Namun, diare dapat
mengakibatkan kehilangan cairan dan elektrolit berat di dalam tubuh, yang
dapat terjadi dalam periode waktu singkat yang menakutkan, terutama pada
bayi, anak kecil, dan lansia. Penyebab utama diare dan respon fisiologi tubuh:

Penyebab Efek Fisiologis


Stress psikologis Meningkatkan motilitas usus dan sekresi
(mis.,ansietas) Obat-obatan lendir
Antibiotik
Inflamasi dan infeksi mukosa akibat
pertumbuhan mikroorganisme usus yang

12
Zat Besi berlebihan
Katartik Iritasi mukosa usus
Alergi terhadap makanan, Iritasi mukosa usus
Pencernaan makann atau cairan yang tidak
cairan, obat-obatan
komplet
Intoleransi terhadap makanan
atau cairan Peningkatan motilitas usus dan sekresi lendir
Penyakit kolon (mis., Sindrom Penurunan cairan absorpsi
malabsorpsi penyakit Inflamasi mukosa sering kali menyebakan
Crohn) pembentukan tukak
Feses bersifat asam dan mengandug enzim pencernaan yang sangat mengiritasi
kulit. Oleh karena itu, area di sekitar area anus harus dijaga tetap bersih dan
kering dan dilindungi dengan zink oksida atau salep lain. Selain itu, pengumpul
fekal dapat digunakan
d. Inkontinensia Alvi
Inkontinensia alvi (bowel), atau disebut juga inkontinensia fekal, adalah
hilangnya kemampuan volunter untuk mengontrol pengeluaran fekal dan gas
dari spingter anal. Inkontinensia dapat terjadi pada waktu-waktu tertentu,
seperti setelah makan, atau dapat terjadi secara tidak teratur. Dua tipe
inkontinensia alvi digambarkan: parsial dan mayor. Inkontinensia parsial adalah
ketidakmampuan untuk mengontrol flatus atau mencegah pengotoran minor.
Inkontinensia mayor adalah ketidakmampuan untuk mengontrol feses pada
konsistensi normal.
Inkontinensia fekal secara umum dihubungkan dengan gangguan fungsi
sfingter anal atau suplai sarafnya, seperti beberapa penyakit neuromuskular,
trauma medula spinalis, dan tumor pada otot sfingter anal eksternal.
Inkontinensia fekal adalah masalah yang membuat distres emosional yang pada
akhirnya dapat menyebabkan isolasi sosial. Penderita dapat menarik diri ke
dalam rumahnya, atau jika di rumah sakit, mereka tetap berada di dalam kamar
mereka meminimalkan rasa malu akibat pengotoran oleh fekal. Beberapa
prosedur bedah digunakan untuk penatalaksanaan inkontinensia fekal.
Penatalaksanaan ini meliputi perbaikan sfingter dan disversi fekal atau
kolostomi.
e. Flatulens

13
Terdapat tiga sumber utama flatus:
1) Kerja bakteria dalam kime di usus besar.
2) Udara yang tertelan
3) Gas yang berdifusi di antara aliran darah dan usus.
Sebagian besar gas yang tertelan akan dikeluarkan melalui mulut dengan
sendawa. Namun, sejumlah gas dapat terkumpul di perut, yang menyebabkan
distensi lambung. Gas yang terbentuk di usus besar terutama diabsobsi melalui
kapiler usus ke sirkulasi. Flatulens adalah keberadaan flatus yang berlebihan di
usus dan menyebabkan peregangan dan inflasi usus (distensi usus). Flatulens
dapat terjadi di kolon akibat beragam penyebab, seperti makanan (mis., kol,
bawang merah), bedah abdomen, atau narkotik.
Apabila gas dikeluarkan dengan meningkatkan aktivitas kolon sebelum gas
tersebut dapat diabsobsi, gas dapat dikeluarkan melalui anus. Apabila gas yang
berlebihan tidak dapat dikeluarkan melalui anus, mungkin perlu memasukkan
slang rektal untuk mengeluarkannya.

6. Penatalaksanaan medis
a. Diare
Abnormalitas berupa kondisi dimana terjadi frekuensi defekasi yang
abnormal (lebih dari 3 kali/hari) serta perubahan dalam isi (lebih dari 200 g/hari)
dan konsistensi (feses cair) disebut dengan diare (Brunner & Suddarth, 1996).
Penatalaksanaan medis diarahkan pada pengendalian atau pengobatan penyakit
dasar. Obat tertentu dapat mengurangi beratnya diare dan penyakit (cari dosis obat
diare). Dalam penatalaksanaan untuk diare ringan, cairan oral harus segera
ditingkatkan dan glukosa oral serta larutan elektrolit dapat diberikan untuk
rehidrasi pasien.
Pada diare sedang sebagai akibat dari sumber non-infeksius, obat tidak
spesifik seperti difenoksilat (Lomotil) dan loperamid (Imodium) diberikan untuk
menurunkan motilitas. Bila diare sangat berat atau preparat infeksius teridentifikasi
maka preparat antimikrobial diberikan. Untuk hidrasi yang cepat, mungkin
diperlukan juga terapi cairan intravena (biasanya pada anak kecil atau lansia).
Adapun penatalaksanaan pada diare akut menurut (Sudoyo & Setiyohadi, 2006)
terdiri dari rehidrasi, diet, obat anti-diare dan obat antimikroba.

14
1) Rehidrasi
Jika pasien pada keadaan umum baik dan tidak dehidrasi maka asupan cairan
yang adekuat dapat dicapai dengan minuman ringan, sari buah, dan sup. Jika
pasien kehilangan cairan yang banyak dan dehidrasi maka penatalaksanaan
yang dilakukan leibh agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan
cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula atau starch harus diberikan.
Untuk memberikan rehidrasi, perlu dinilai dulu derajat dehidrasi. Dehidrasi
terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Dehidrasi ringan jika pasien
mengalami kekurangan cairan 2-5 % dari berat badan. Sedang jika 5-8% dan
berat jika 8-10%. Dalam menentukan jumlah cairan yang akan diberikan sesuai
yaitu sesuai dengan jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Ada beberapa macam
pemberian cairan:
a) BJ plasma
B J plasma — Lr025
Kebutuhuan cairan =----------------------------- X Berat badan X 4 ml.
0,001
b) Metode Pierce
Dehidrasi ringan, kebutuhan cairan = 5% x Berat badan (kg) Dehidarasi
sedang, kebutuhan cairan = 8% x berat badan (kg) Dehidrasi berat,
kebutuhan cairan= 10% berat badan (kg)
c) Metode Daldiyono
Jika skor < 3 dan tidak ada syok maka hanya diberikan cairan peroral
(sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Jika skor lebih atau sama 3 disertai
syok diberikan cairan per intravena. Pemberian cairan rehidrasi dapat melalui
oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena.
Jika dehidrasi ringan/sedang pasien dapat diberikan cairan per oral atau
selang nasogastrik kecuali bila kontra indikasi atau oral/saluran cerna atas tak
dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit yang hipotonik
dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCl, 2,5 g Natrium Bikarbonat dan 1,5
g KCl tiap liter. Contohnya oralit generik, renalyte, pharolit, dll. Pemberian
cairan terbagi atas:

15
a) Dua jam pertama (tahap rehidrasi inisial) D jumlah total kebutuhan cairan
pada rumus BJ plasma/Daldiyono diberikan langsung dalam 2 jam agar
rehidrasi optimal.
b) 1 jam berikut/jam ke-3 (tahap 2) D pemberian berdasarkan kehilangan
cairan selama 2 jam pemberian rehidrasi inisial sebelumnya. Jika tidak syok
atau skor Daldiyono < 3 dapat diganti cairan per oral.
c) Jam selanjutnya cairan diberikan berdasarkan kehilangan cairan Jika
dehidrasi sedang/berat maka sebaiknya pasien diberikan cairan melalui
infus pembuluh darah.
2) Diet
Jika tidak muntah-muntah hebat maka pasien diare tidak dianjurkan puasa.
Susu sapi harus dihindarkan karena adanya defisiensi laktase transien yang
disebabkan oleh infeksi virus dan bakteri. Minuman berkafein dan alkohol juga
harus dihindari karena dapat meningkatkan motilitas dan sekresi usus.
3) Obat anti-diare
Woodley & Whelan menyebutkan bahwa obat anti diare non spesifik umumnya
digunakan secara berlebihan. Pada diare akut tidak diperlukan. Obat anti
peristaltik bisa mencetuskan megacolon toxica pada pasien dengan infeksi
balterial invasif. Obat diare non spesifik terdiri dari agensia pebentuk tinja yang
mempat (bulk forming), absorben dan agensia opioid (berhati-hati pada pasien
dengan asma, penyakit paru kronis, hipertrofi prostat benigna dan glaucoma
akut bersudut sempit. Adapun obat yang dapat mengurangi gejala. 1) paling
efektif D derival opioid (loperamide, difenoksilat-atropin dan tinkur opium).
Bismuth subsalisilat dapat digunakan terapi kontraindikasi pada pasien HIV
karena dapat menimbulkan ensefalopati bismuth. Obat antimotilitas harus hati-
hati pada pasien disentri yang panas (e.g infeksi Shigella) bila tanpa anti
mikroba karena dapat memperlama penyembuhn penyakit. 2) obat yang
mengeraskan tinja: atapulgite 4 x 2 tab/hari, smectite 3 x 1 saset diberikan tiap
diare encer sampai diare berhenti. 3) obat anti sekretorik/anti enkephalinase:
Hidrasec 3 x 1 tab/hari.
4) Obat antimikroba.

16
Pengobatan empirik diindikasikan pada pasien yang diduga mengalmi infeksi
bakteri invasif, diare turis, atau imunosupresif. Obat pilihan yaitu kuinolon
(misal siprofloksasin 500 mg 2x/hari selama 5 - 7 hari). Obat ini baik untuk
bakteri patogen invarsif (Campylobacter, Shigella, Salmonella, yersinia dan
Aeromonas species). Alternatif lain yaitu kontrimoksazol
(trimetoprim/sulfametoksazol, 160/800 mg 2x/hari atau eritromisin 250 - 500
mg 4x/hari), Metronidazol 250 mg 3x/hari selama 7 hari diberikan bagi yang
dicurigai giardiasis.
b. Konstipasi
Konstipasi merupakan tidak teraturnya defekasi dan abnormal, selain itu
juga terjadi pengerasan feses yang tidak normal dan membuat pasasenya sulit dan
kadang menimbulkan nyeri (Brunner & Suddarth, 1996). Penatalaksanaan medis
konstipasi ditujukan pada penyebab dasar konstipasi. Salah satunya adalah
penghentian penyalahgunaan laksatif. Laksatif dipakai untuk mengeluarkan feses
(Kee & Hayes, 1993). Adapun penatalaksanaan lain meliputi anjuran memasukan
serat dalam diet dengan peningkatan asupan cairan dan pembuatan program latihan
rutih untuk memperkuat otot abdomen. Hasilnya dapat berupa dampak biologis
berupa teknik yang dapat digunakan untuk membantu pasien belajar merelaksasi
mekanisme sfingter untuk pengeluaran feses. Dalam program diet sangatlah
dianjurkan untuk menambahkan 6 sampai 12 sendok teh penuh sekam. Hal ini
untuk memunculkan gerakan yang cepat pada kolon dan feses dalam jumlah
banyak dan lembut, konseling diet harus menganjurkan diet tinggi sisa.
Jika penggunaan laksatif diperlukan, salah satu dari hal berkut ini dapat
dilakukan: preparat pembentuk bulk, preparat salin dan osmotik, lubrikan, stimulan
atau pelunak feses. Osmotik laktasif mecakup garam atau salin, laktulose dan
glieserin. Garam hiperosmolar menarik air ke kolon dan meningkatkan air di dalm
tinja untuk menambah bentuk sehingga meningkatkan peristaltik (Kee & Hayes,
1993). Laksatif pembentuk bulk merupakan bahan-bahan berserat yang
meningkatkan ukuran tinja dengan menyerap air ke dalam usus, meningkatkan
ukuran tinja dan peristaltik. Defekasi biasanya timbul dalam 6-24 jam (Kee &
Hayes, 1993). Untuk konstipasi, enema dan supositoria rektal secara umum tidak
dianjurkan dan harus diberikan untuk pengobatan pada impaksi atau persiapan

17
usus untuk pembedahan atau prosedur diagnostik. Jika penggunaan laksatif jangka
panjang benar-benar diperlukan maka preparat pembentuk-bulk diberikan dalam
kombinasi dengan laksatif osmotik. Selain itu, diperlukan juga terapi obat- obatan
khusus yang dapat digunakan untuk meningkatkan fungsi motorik instrinsik usus.
Sebagai contoh penggunaan preparat prokinetik seperti Cisaprinde dapat
menigkatkan frekuensi defekasi.
Menurut Sudoyo et. All (2006), pengobatan untuk konstipasi idiopatik
berupa diet tinggi serat 20-30 gram per hari, banyak minum, jika mungkin hentikan
laksatif dan obat-obat tidak penting (**lihat penjelasan sebelumya mengenai
laksatif). Jika hal ini tidak berhasil, lakkan pemeriksaan motilitas (manometri anus
dan tes transit kolon). Pada keadaaan ini baru dapat dipakai laksatif berupa
laktulosa, serat. Obat-obat prokinetik seperti cisapride, tegaserod dapat dipakai.
Sjamsuhidayat & Jong dalam Buku Ajar Ilmu Bedah menyatakan bahwa
diperlukan juga pemeriksaan rektum digital (rectal toucher) jika konstipasi
merupakan gangguan. Jika penyumbatan feses diteruskan harus dikeluarkan secara
digital bahkan proses sedasi ataupun anestesi mungkin diperlukan. Penyumbatan
feses yang letaknya agak tinggi dapat dibantu dengan minyak enema.
Shrock dalam Handbook of Surgery menyebutkan bahwa penyeluaran feses
yang tertumpuk di rektum dapat memperbesar kemungkinan terjadinya hemoroid,
fisura anus dan tukak.
c. Obstipasi
Obstipasi merupakan konstipasi berat dimana biasanya disebabkan karena
pergerakan feses dalam usus terhalang (adanya obstruksi usus). Obstipasi
disebabkan karena obstruksi intestinal. Beberapa penatalaksanaannya meliputi:
Perawatan Medis. Resustasi untuk mengoreksi cairan dan elektrolit tubuh,
pengobatan untuk mencegah parahnya sakit dan nasograstis decompression pada
obstruksi parah untuk mencegah muntah dan aspirasi.

1) Operasi

18
Obstipasi obstruksi total bersifat sangat urgent untuk dilakukan tindakan
operasi karena jika terlambat akan terjadi perforasi usus akibat tekanan tinggi.
2) Diet
Pada obstruksi total dianjurkan untuk tidak makan apa-apa. Pada obstruksi
parsial dapat diberikan makanan cair dan obat-obatan. Tjay & Rahardja (2007)
mengemukakan bahwa pengobatan untuk obstipasi disesuaikan dengan
penyebabnya. Obstipasi insidentil (dikarenakan tinja keras) ditangani dengan
penggunaan laksans dengan daya melunakkan (gliserol dan bisakodil).
Obstipasi kronis diatasi dengan laksansia dengan daya memperbesar isi usus
(laktulosa & Psyllium). Pilihan lainnya adalah garam-garam anorganik
(MgSO4, Mg-Oksida). Obat-obat ini paling aman, jika masih tidak bisa diatasi,
bisa diberikan bisakodil. Jika obstipasi tidak diatasi maka akan menyebabkan
tinja membatu, wasir, fisura bahkan inkontinensi tinja.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
Untuk mengkaji pola eliminasi dan menentukan adanya kelainan, perawat
melakukan pengkajian riwayat keperawatan, pengkajian fisik abdomen,
menginspeksi karikteristik feses, dan meninjau kembali hasil pemeriksaan yang
berhubungan
a. Identitas pasien dan penanggung jawab
Mengkaji mengenai identitas pasien dan keluarga untuk kelengkapan berkas
pasien.
b. Riwayat keperawatan
Banyak riwayat keperawatan dapat dikelompokkan berdasarkan faktor-faktor
yang mempengaruhi eliminasi.
1) Penentuan pola eliminasi klien yang biasa, termasuk frekuensi dan waktu
defekasi dalam sehari.
2) Identifikasi rutinitas yang dilakukan untuk meningkatkan eliminasi normal.
Contoh rutinitas tersebut adalah konsumsi cairan panas, penggunaan
laksatif, pengonsumsian makanan tertentu, atau mengambil waktu untuk
defekasi selama kurun waktu tertentu dalam satu hari.

19
3) Gambaran setiap perubahan terbaru dalam pola eliminasi
4) Deskripsi klien tentang karakteristik feses. Perawat menentukan wama khas
feses, konsistensi feses yang biasanya encer atau padat atau lunak atau
keras
5) Riwayat diet. Perawat menetapkan jenis makanan yang klien inginkan
dalam sehari. perawat menghitung penyajian buah-buahan, sayur-sayuran,
sereal, dan roti
6) Gambaran asupan cairan setiap hari. Hal ini meliputi tipe dan jumlah cairan
7) Riwayat olahraga. perawat meminta klien menjelaskan tipe dan jumlah
olahraga yang dilakukannya setiap hari secara spesifik
8) Pengkajian penggunaan alat bantuan buatan di rumah. Perawat mengkaji
apakah klien menggunakan enema, laksatif, atau makanan khusus sebelum
defekasi.
9) Riwayat pembedahan atau penyakit yang mempengaruhi saluran GI.
Informasi ini seringkali dapat membantu menjelaskan gejala-gejala yang
muncul.
10) Keberadaan dan status diversi usus. Apabila klien memiliki ostomi, perawat
mengkaji frekuensi drainase fese s, karakter fe ses, penampilan dan kondisi
stoma
11) Riwayat pengobatan. Perawat menanyakan apakah klien mengonsumsi
obat-obatan (seperti laksatif, antasid, suplemen zat besi, dan analgesik)
yang mungkin mengubah defekasi atau karakteristik feses.
12) Status emosional. Emosi klien dapat mengubah frekuensi defekasi secara
bermakna. Selama pengkajian, observasi emosi klien, nada suara, dan sikap
yang dapat menunjukkan perilaku penting yang mengindikasikan adanya
stres.
13) Riwayat sosial. Klien mungkin memiliki banyak aturan dalam
kehidupannya. Tempat klien tinggal dapat mempengaruhi kebiasaan klien
dalam defekasi dan berkemih.

20
14) Mobilitas dan ketangkasan. Mobilitas dan ketangkasan klien perlu
dievaluasi untuk menentukan perlu tidaknya peralatan atau personel
tambahan untuk membantu klien.
c. Pola fungsional Gordon
Menurut pola fungsi Gordon 1982, terdapat 11 pengkajian pola fungsi
kesehatan sebagai berikut (Potter, 1996) :
1) Pola persepsi - Managemen kesehatan
Menggambarkan persepsi, pemeliharaan dan penanganan keseshatan, persepsi
terhadap arti kesehatan dan penatalaksanaan kesehatan, kemampuan menyusun
tujuan, pengetahuan tentang praktek kesehatan.
2) Pola Nutrisi - Metabolik
Menggambarkan masukan nutrisi, balance cairan dan elektrolit, nafsu makan,
pola makan, diet, fluktuasi BB dalam 6 bulan terakhir, kesulitan menelan,
mual/muntah, kebutuhan jumlah zat gizi, masalah/penyembuhan luka pada
kulit, maknan kesukaan.
3) Pola Eliminasi
Menjelaskan pola fungsi eksresi, kandung kemih dan kulit kebiasaan defekasi,
ada tidaknya masalah defekasi, masalah miksi (oliguri, disuri, dll), penggunaan
kateter, frekuensi defekasi dan miksi, karakteristik urine dan feses, pola input
cairan, infeksi saluran kemih, masalah bau badan perspitasi berlebih, dll.
URINE

21
22
Jumlah dalam 24 jam 1.200 - 1.500 ml
Warna Kuning, j
ernih
Konsistensi
Cairan jernih
Bau
Aroma khas
Sterilitas Tidak ada mikroorganisme
pH 4,5 - 8
Berat j 1,003 - 1.030
enis
Negative
Glukosa
Badan keton (aseton) Negative
Darah Negative

23
FESES
Warna Cokelat

Konsistensi : Lembap, berbentuk


Bau : Aromatik (dipengaruhi oleh makanan)
Frekuensi Bervariasi (1-3 kali sampai setiap kali tiap 3 hari)
Bentuk : Silindris

Jumlah : 100-400 g setiap hari (tergantung, sesuai diet)


Kandungan lemak <69/24 jam
Mukus Negative
Darah Negative
Pus Negative
Parasit Negative
(Hidayat, 2010)
4) Pola Latihan - Aktivitas
Menggambarkan pola latihan, aktivitas, fungsi pernafasan dan sirkulasi.
Pentingny latihan / gerak dalam keadaan sehat dan sakit, gerak tubuh dan
kesehatan berhubungan satu sama lain kemampuan klien dalam menata diri
apabila tingkat kemampuan :
0 : mandiri
1 : dengan alat bantu
2 : dibantu orang lain
3 : dibantu orang dan alat
4 : tergantung dalam melakukan ADL, kekuatan otot dan ROM, riwayat
penyakit jantung, frekuensi, irama dan kedalaman nafas, bunyi nafas, riwayat
penyakit paru.
5) Pola Kognitif Preseptual
Menjelaskan persepsi sensori dan kognitif. Pola persepsi sensori meliputi
pengkajian fungsi penglihatan, pendengaran, perasaan, pembau dan
komponensasinya terhadap tubuh. Sedangkan pola kognitif di dalamnya
mengandung kemampuan daya ingat klien terhadap peristiwa yang telah lama
terjadi dan atau baru terjadi dan kemampuan orientasi klien terhadap waktu,
tempat, dan nama (orang, atau benda yang lain), tingkat pendidikan, persepsi

24
nyeri dan penanganan nyeri, kemampuan untuk mengikuti, menilai nyeri skala
1-10, pemakaian alat bantu dengar, melihat, kehilangan bagian tubuh atau
fungsinya, tingkat kesadaran orientasi pasien, adakah gangguan penglihatan,
pendengaran, persepsi sensori (nyeri), penciuman, dll.
6) Pola Istirahat - Tidur
Menggambarkan pola tidur, istirahatdan persepsi tentang energy. Jumlah jam
tidurpada siang dan malam, masalah selama tidur, insomnia atau mimpi buruk,
penggunaan obat, mengeluh letih.
7) Pola Konsepsi diri - Persepsi diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi terhadap kemampuan-
kemampuan konsep diri antara lain gambaran diri, peran, identitas dan ide diri
sendiri. Manusia sebagi sistem terbuka dimana keseluruhan bagian manusia
akan berinteraksi dengan lingkungannya. Disamping sebagai sistem terbuka,
manusia juga sebagai makhluk bio-psiko-sosio-kultural spiritual dan dalam
pandangan secara holistic. Adanya kecemasan, ketakutan atau penilaian
terhadap diri, dampak sakit terhadap diri, kontak mata, asetif atau passive,
isyarat non verbal, ekspresi wajah, merasa tak berdaya, gugup/relaks.
8) Pola peran dan hubungan
Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota
keluarga dan masyarakat tempat tinggal klien, pekerjaan, tempat tinggal, tidak
punya rumah, tingkah laku passive/agresif terhadap orang lain, masalah
keuangan, dll.
9) Pola reproduksi / seksual
Menggambarkan kepuasan atau masalah yang aktual atau dirasakan dengan
seksualitas, dampak sakit terhadap seksualitas, riwayat penyakit hubungan sex,
pemeriksaan genital.
10) Pola pertahanan diri (koping - toleransi stres)
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan penggunaan system
pendukun, penggunaan obat untuk menanggani stres, interaksi dengan orang
terdekat, menangis, kontak mata, metode koping yang biasa digunakan , efek
penyakit terhadap tingkat stres.

25
11) Pola keyakinan dan nilai
Menggambarkan dan menjelaskan pola nilai, keyakinan termasuk spiritual.
Menerangkan sikap dan keyakinan klien dalam melaksanakan agama yang
dipeluk dan onsekuensinya. Agama, kegiatan keagamaan dalam budaya,
berbagi dengan orang lain, bukti melaksanakan nilai dan kepercayaan, mencari
bantuan spiritual dan pantangan dalam agama selama sakit
d. Pengkajian fisik
Perawat melakukan pengkajian fisik system dan fungsi tubuh yang
kemungkinan dipengaruhi oleh adanya masalah eliminasi.
1)Mulut.
Pengkajian meliputi inspeski gigi, lidah, dan gusi klien. Gigi yang buruk
atau struktur gigi yang buruk mempengaruhi kemampuan mengunyah.
2)Abdomen.
a)Perawat menginspeksi keempat kuadran abdomen untuk melihat warna,
bentuk,kesimetrisan, dan warna kulit. Inspeksi juga mencakup memeriksa
adanya masa, gelombang peristaltik, jaringan parut, pola pembuluh darah
vena, stoma, dan lesi. Dalam kondisi normal, gelombang peristalis tidak
terlihat. Namun, gelombang peristaltik yang terlihat dapat merupakan tanda
adanya obstruksi usus
b)Perawat mengauskultasi abdomen dengan menggunakan stetoskop untuk
mengkaji bising usus di setiap kuadran. Bising usus normal terjadi setiap 5
sampai 15 detik dan berlangsung selama ^ sampai beberapa detik. Sambil
mengauskultasi, perawat. Memperhatikan karakter dan frekuensi bising
usus. Peningkatan nada hentakan pada bising usus atau bunyi "tinkling"
(bunyi gemerincing) dapat terdengar, jika terjadi distensi. Tidak adanya
bising usus atau bising usus yang hipoaktif (bising usus kurang dari lima
kali per menit) terjadi jika klien menderita ileus paralitik, seperti yang
terjadi pada klien setelah menjalani pembedahan abdomen. Bising usus
yang bernada tinggi dan hiperaktif (bising usus 35 kali atau lebih per menit)
terjadi pada obstruksi usus dan gangguan inflamasi.
c)Perawat mempalpasi abdomen untuk melihat adanya masa atau area nyeri
tekan. Penting bagi klien untuk rileks. Ketegangan otot-otot abdomen

26
mengganggu hasil palpasi organ atau masa yang berada di bawah abdomen
tersebut
d) Perkusi mendeteksi lesi, cairan, atau gas di dalam abdomen.
3) Rektum
Perawat menginspeksi daerah di sekitar anus untuk melihat adanya lesi,
perubahan warna, inflamasi, dan hemoroid. Untuk memeriksa rektum, perawat
melakukan palpasi dengan hati-hati. Setelah mengenakan sarung tangan sekali
pakai, perawat mengoleskan lubrikan ke jari telunjuk. Kemudian perawat
meminta klien mengedan dan saat klien melakukannya, perawat memasukkan
jari telunjuknya ke dalam sfingter anus yang sedang relaksasi menuju umbilikus
klien. Sfingter biasanya berkonstriksi mengelilingi jari perawat. Perawat harus
mempalpasi semua sisi dinding rektum klien dengan metode tertentu untuk
mengetahui adanya nodul atau tekstur yang tidak teratur. Mukosa rektum
normalnya lunak dan halus.
4) Feses, amati feses pasien dan catat konstitensi, bentuk bau, warna, dan
jumlahnya.
Karakteristik Normal Abnormal Kemungkinan
Penyebab
Warna Orang dewasa : Seperti tanah liat Tidak ada pigmen
Coklat atau putih empedu
(obstruksi
empedu);studi
diagnostik
menggunakan
barium

Bayi : kuning Hitam atau seperti Obat (mis : zat


ter besi ); perdarahan
dari saluran
pencernaan atas
(mis: lambung
usus halus); diet

tinggi lemak.

27
Daftar Pustaka
• Carpenito-Moyet, Lynda Juall. 2012. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi
13. Jakarta: EGC.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosis Keperawatan : Definisi dan
Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul dan Uliyah, Musrifatul. 2015. Pengantar
Kebutuhan Dasar Manusia Edisi 2-Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.
Kozier, Barbara. 2011. Fundamental Keperawatan volume 1 edisi 7. Jakarta:
EGC.
Mubarak & Chayatin. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: EGC.
Nanda.2012-2014.,Panduan Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC.
Potter & Perry. 2010. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 2.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC.
Potter, Patricia A., Perry, Anne Griffin. 2005. Buku Ajar Fundamental
Keperawatan: Konsep, Proses Dan Praktik. Edisi 4. Jakarta : EGC.
Tarwoto dan Wartonah. 2006. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses
Keperawatan Edisi 3. Jakarta: Salemba Medika.
Vaughans Bennita W. 2013. Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Rpha
Publishing.
Wilkinson, Judith M., Ahern, Nancy R. 2012. Buku Saku Diagnosis
Keperawatan: Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil NOC. Edisi
9. Jakarta: EGC.

28

Anda mungkin juga menyukai