Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Jurnal BG Achis

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 15

ILMU KELAUTAN Available online at:

Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK


ISSN : 2684-7051
KONDISI EKOSISTEM TERUMBU KARANG DI ZONA BUDIDAYA LAUT
PULAU PELAPIS

CONDITIONS OF CORAL REEFS ECOSYSTEM IN THE MARICULTURE


ZONE OF PELAPIS ISLAND

Dahlia Wulan Sari1, Herti Herawati2, Achis Martua Siregar3


1
Prodi Manajemen Sumber Daya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Nahdlatul Ulama Kalimantan
Barat, Indonesia
2
Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Kalimantan Barat, Indonesia
3
Yayasan Jejak Pesisir Nusantara, Kalimantan Barat, Indonesia

Korespondensi : dahliawulansari@gmail.com

ABSTRAK
Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem pesisir dengan tingkat keanekaragaman tinggi namun
rentan terhadap berbagai gangguan yang bersifat lokal maupun regional. Ekosistem terumbu karang juga
menjadi habitat alami beberapa jenis rumput laut yang bernilai ekonomis tinggi dan menjadi kesesuaian
lokasi untuk budidaya rumput laut. Oleh karena itu, penelitian mengenai kondisi terumbu karang di zona
perikanan budidaya Pulau Pelapis menjadi hal yang penting untuk dikaji. Data yang diperoleh akan menjadi
salah satu acuan dalam pengelolaan wilayah serta pengembangan kegiatan budidaya laut berkelanjutan.
Pengamatan ekosistem terumbu karang di Zona Budidaya Laut Pulau Pelapis, Kabupaten Kayong Utara
dilakukan dengan menggunakan Scuba pada kedalaman 5-7 m. Pengambilan data terumbu karang dilakukan
menggunakan metode Line Intercept Transect (LIT). Data kondisi perairan diperoleh secara insitu dan
melalui analisis di laboratorium. Hasil penelitian menunjukkan kondisi perairan di Zona Budidaya Laut
sesuai untuk pertumbuhan terumbu karang. Ekosistem karang pada Stasiun 2 termasuk dalam kategori baik
dan kategori rusak sedang pada Stasiun 1 dengan persentase tutupan karang masing-masing sebesar 62,82%
dan 42,13%. Hard coral pada kedua lokasi didominasi oleh coral massive (CM).
Kata kunci : Karang keras, Kayong Utara, lifeform karang, persen tutupan,

ABSTRACT
Coral reefs are coastal ecosystems with a high level of diversity but are vulnerable to various local and
regional disturbances. Coral reef ecosystems are also a natural habitat for several types of seaweed with
high economic value and a suitable location for seaweed cultivation. Therefore, research on the condition of
coral reefs in the aquaculture zone of Pelapis Island is crutial to study. The data obtained will be one of the
references in regional management and the development of sustainable marine aquaculture activities.
Observations of coral reef ecosystems in the Marine Cultivation Zone of Pelapis Island, North Kayong were
carried out using Scuba at a depth of 5-7 m. Coral reef data was collected using the Line Intercept Transect
(LIT) method. Water condition data were obtained in situ and through analysis in the laboratory. The results
showed that the water conditions in the Marine Cultivation Zone were suitable for the growth of coral reefs.
The coral ecosystem at Station 2 is in a good category with coral cover percentages of 62.82% and the
moderately damaged category at Station 1 with coral cover percentages of 42.13%. Hard coral at both
locations dominated by massive coral (CM).
Keywords : Hard coral, North Kayong, coral lifeform, cover percentage

1
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051

PENDAHULUAN
Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terdapat di wilayah
pesisir. Ekosistem terumbu karang sendiri memiliki berbagai macam fungsi baik dari sisi
ekologis maupun ekonomi. Ekosistem terumbu karang berperan sebagai pelindung pantai
yang mampu meredam gelombang. Diketahui estimasi nilai manfaat terumbu karang
sebagai peredam gelombang di Kabupaten Wakatobi mencapai Rp 18,742,929/ha/tahun
(Ramadhan, Lindawati, and Kurniasari 2017). Ekosistem terumbu karang juga merupakan
habitat yang penting bagi berbagai jenis ikan, serta penting untuk kegiatan budidaya
khususnya rumput laut. Ekosistem terumbu karang juga telah berkembang menjadi salah
satu destinasi wisata bahari yang mampu memiliki nilai ekonomis yang cukup
menjanjikan. Nilai manfaat dari pariwisata terumbu karang di Taman Wisata Perairan Gita
Nada, Lombok bahkan mencapai Rp 3,004,031,073/ha (Witomo, Harahap, and Kurniawan
2020).
Ekosistem terumbu karang di kawasan Indo-Pasifik sebagian besar memiliki empat
zona yaitu tubir (reef slope), puncak terumbu (reef crest), zona rataan (reef flat) dan
punggung/dataran terumbu belakang (back reef) (Bellwood et al. 2018). Terumbu karang
memiliki nilai kerentanan yang cukup besar sehingga juga berperan sebagai bioindikator
perubahan iklim global (Obura et al. 2019). Terumbu karang di wilayah tropis juga
merupakan ekosistem laut yang paling beragam (Bellwood et al. 2019). Berbagai macam
organisme hidup pada ekosistem ini mulai dari ikan, hewan avertebrata air hingga
tumbuhan seperti makroalga/rumput laut. Zona rataan terumbu merupakan habitat
terpenting bagi ikan-ikan herbivora, dimana sekitar 59% dari produktivitas turf alga di zona
ini di konsumsi oleh ikan tersebut (Bellwood et al. 2018).
Hasil perikanan di kawasan terumbu karang diketahui berkontribusi besar terhadap
pendapatan dan ketahanan pangan masyarakat di wilayah pesisir (Cabral and Geronimo
2018). Namun demikian peran dari hasil perikanan terumbu karang ini masih dibawah
perikanan pelagis (Clifton and Foale 2017). Hilangnya terumbu karang akan berakibat
hilangnya habitat dari berbagai ikan karang dan dapat mempengaruhi sumberdaya ikan
(Bellwood et al. 2018).

2
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
Pengelolaan ekosistem terumbu karang yang baik akan sangat penting untuk
kelestarian sumberdaya ikan seiring dengan perubahan iklim dan peningkatan muka air laut
(Bellwood et al. 2018). Rehabilitasi dan pengelolaan ekosistem terumbu karang juga
menunjukkan potensi peningkatan yang signifikan terhadap ketahanan pangan dan
perekonomian masyarakat (Cabral and Geronimo 2018). Selain perikanan tangkap, sektor
perikanan budidaya kini mulai digalakkan sebagai salah satu upaya pemenuhan kebutuhan
pasar dan pengembangan perikanan berkelanjutan.
Ekosistem terumbu karang sebagai habitat alami untuk beberapa jenis rumput laut
yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan merupakan salah satu faktor yang menentukan
kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut (Indriyani, Hadijah, and Indrwati 2019).
Gugusan karang juga berperan melindungi lokasi budidaya dari hempasan gelombang
secara langsung, sehingga menjadi faktor yang dipertimbangkan juga untuk pengembangan
keramba jaring apung (KJA) (Manoppo et al. 2014; Valentino, Damai, and Yulianto 2018).
Struktur komunitas menjadi salah satu indikator kunci terkait dengan status dan ketahanan
ekosistem. Dimana, keanekaragaman hayati sangat penting untuk mengevaluasi status
ekosistem terumbu karang (Lin et al. 2021). Selain itu pemantauan status terumbu karang
terkait dengan persentase penutupan dan komposisi terumbu karang merupakan hal yang
penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan, manajemen dan pengambilan kebijakan
pengelolaan kawasan (Obura et al. 2019).
Perairan Pulau Pelapis Kabupaten Kayong Utara dengan luas 31,457.35 Ha dinyatakan
sebagai salah satu zona budidaya laut di Wilayah Kalimantan Barat berdasarkan Peraturan
Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 2019. Penetapan zona budidaya laut ini
dilakukan untuk menata dan mengembangkan budidaya laut yang berkelanjutan dengan
penguatan kelembagaan, sarana prasarana dan sumberdaya manusia. Oleh karena itu,
penelitian mengenai kondisi terumbu karang di zona perikanan budidaya Pulau Pelapis
menjadi hal yang penting untuk dikaji. Data yang diperoleh akan menjadi salah satu acuan
dalam pengelolaan wilayah serta pengembangan kegiatan budidaya laut berkelanjutan.

3
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian dilaksakan pada 17-18 Juli 2021 di Zona Budidaya Pulau Pelapis, Kecamatan
Kepulauan Karimata, Kabupaten Kayong Utara. Pengambilan data dilakukan pada dua
stasiun pengamatan (Gambar 1). Lokasi pengamatan ditentukan dengan metode random
sampling dengan memilih lokasi yang terlindung.

Gambar 1. Lokasi Penelitian

Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan untuk pengambilan data di lapangan meliputi water
quality checker WQC AZ86031, GPS (global positioning system) Garmin GPSmap 62s,
current meter Flowwatch FL-03, SCUBA (self-contained underwater breathing
apparatus), roll meter, underwater camera Canon G1X, seicchi disk dan sabak.

Prosedur Pengamatan
Lokasi penyelaman ditentukan dengan snorkeling untuk melihat kondisi perairan
secara umum, selanjutnya penandaan titik penyelaman dilakukan menggunakan GPS.
Pengamatan terumbu karang dilakukan dengan menggunakan Scuba pada kedalaman 5-7
meter. Penentuan kedalaman titik pengamatan dilakukan karena distribusi vertikal terumbu
karang terbatas pada kedalaman 5-7 m. Pada kedalaman di atas 5-7 meter terumbu karang
hanya ditemukan berupa spot-spot dengan substrat yang didominasi oleh hamparan pasir
(Chair et al. 2019).
Metode yang digunakan untuk pengamatan tutupan karang menggunakan metode Line
Intercept Transect (LIT). Metode Line Intercept Transect (LIT) merupakan metode
pengamatan yang baik untuk mengidentifikasi terumbu karang dengan hasil yang lebih
akurat dibandingkan dengan metode lainnya (Facon et al. 2016; Urbina-Barreto et al.
2021). Transek dibentangkan pada kedalaman 5-7 meter sepanjang 100 m sejajar garis
pantai dan dibagi menjadi 3 subtransek sepanjang 30 m dengan jarak masing-masing sejauh
5 meter. Pengamatan tutupan karang dilakukan dengan mencatat seluruh biota dan substrat
yang memotong atau bersinggungan dengan transek garis dengan satuan cm. Data tutupan

4
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
karang diambil berdasarkan lifeform karang (Rahmat, Yosephine, and Giyanto 2001).
Pengamatan kondisi fisika dan kimia perairan pada lokasi penyelaman dilakukan dengan
menggunakan water quality checker untuk mengetahui suhu, salinitas, derajat keasaman
(pH), kandungan oksigen terlarut (DO). Kecerahan perairan diamati dengan menggunakan
seicchi disk dan kecepatan arus menggunakan current meter.

Analisis Data
Persentase tutupan Karang dianalisis dengan membagi panjang tutupan tiap lifeform
karang dan substrat yang memotong transek garis dengan panjang total transek (Urbina-
Barreto et al. 2021). Persamaan untuk menentukan tutupan karang yang digunakan adalah
sebagai berikit:
% Tutupan Karang = 𝑙𝑖 x 100% (1)
𝐿
Keterangan:
li : Panjang tutupan tiap lifeform karang
L : Panjang total transek
Kondisi ekosistem karang kemudian ditentukan berdasarkan kriteria baku kerusakan
terumbu karang berdasarkan Kepmen LH No. 4 Tahun 2001. Kriteria baku kerusakan
terumbu karang tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
Kategori Persen Penutupan (%)
Rusak Buruk 0-24.9
Sedang 25-49.9
Baik Baik 50-74.9
Baik Sekali 75-100

HASIL DAN PEMBAHASAN


Kondisi Perairan Pulau Pelapis
Kondisi fisika kimia perairan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan karang. Nilai suhu, pH, oksigen terlarut, kecerahan dan total padatan
tersuspensi (TSS) di lokasi penelitian masih termasuk dalam rentang nilai baku mutu
perairan laut untuk pertumbuhan karang (Tabel 2).
Tabel 2. Parameter Fisik Kimia Perairan di Lokasi Penelitian

5
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051

Parameter Satuan Stasiun 1 Stasiun 2


Suhu °C 29.10 29.00
Salinitas ‰ 31.20 31.00
pH - 8.34 8.38
Oksigen terlarut mg/l 7.60 7.20
Padatan tersuspensi (TSS) mg/l 3.00 2.00
Kecerahan m 5.40 5.00
Kecepatan arus m/sec 0.00 0.10
*Sumber: Kepmen LH No. 51 Tahun 2004
Beberapa jenis karang seperti Acropora muricata, Pocillopora damicornis dan
Isopora palifera dapat hidup pada rentang suhu 17.4-30.6 °C dan optimal pada suhu 26-30
°C, sedangkan pada suhu sekitar 24,1 °C pertumbuhan karang akan menurun (Anderson et
al. 2017). Peningkatan suhu permukaan laut akan menimbulkan efek yang berbeda-beda
untuk pertumbuhan karang salah satunya tergantung pada kemanpuan tiap spesies untuk
beradaptasi. Peningkatan suhu yang ekstrim dapat menyebabkan pertumbuhan karang
menjadi tidak optimal dan peningkatan suhu yang terjadi secara terus-menerus juga
menjadi ancaman bagi terumbu karang dan memicu terjadinya pemutihan karang
(Anderson et al. 2017; Langlais et al. 2017).
Nilai pH perairan merupakan salah satu faktor penting pertumbuhan terumbu karang
terutama dalam proses kalsifikasi. Penurunan nilai pH atau dikenal dengan pengasaman
laut dinilai menjadi ancaman yang serius terhadap terumbu karang karena dapat
mengurangi konsentrasi ion karbonat (CO32-) yang dibutuhkan dalam proses kalsifikasi
(Guo et al. 2016). Pengasaman laut juga dapat berdampak kepada keanekaragaman jenis
karang, alga serta kepadatan terumbu (Barkley et al. 2015).
Oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas pertumbuhan karang.
Kandungan oksigen terlarut yang rendah di perairan dapat merubah komunitas dominan
dari terumbu karang menjadi makroalga. Karang dilaporkan dapat mentolerir nilai DO
hingga 4 mg/l sedangkan makroalga toleran terhadap kandungan oksigen terlarut yang
cukup rendah sekitar 2-4 mg/l. Kandungan oksigen terlarut di bawah 4 mg/l akan
menyebabkan karang kehilangan jaringan dengan cepat dan dapat menyebabkan kematian.
(Haas et al. 2014).

6
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
Salinitas di lokasi penelitian berkisar antara 31.00-31.20‰, nilai tersebut lebih kecil
dari pada baku mutu kualitas air yang dikeluarkan oleh Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.
Terumbu karang dapat hidup dengan pada rentang salinitas 27-40‰, namun salinitas
optimal yang baik untuk pertumbuhan hewan karang adalah 30-35‰ (Puspitasari, Amron,
and Alisyahbana 2016). Namun penurunan salinitas yang terjadi terus menerus pada
ekosistem karang dapat memperburuk efek pemutihan karang. Nilai salinitas yang rendah
(20‰) pada suhu 30 °C memiliki efek sinergis pada kematian beberapa spesies karang
(Dias et al. 2019).
Terumbu karang dapat tumbuh optimal dengan kandungan partikel tersuspensi 10
mg/l. Kandungan partikel tersuspensi di atas 10 mg/l dapat menyebabkan penurunan laju
pertumbuhan karang, percabangan yang lebih banyak hingga menurunnya recruitment
karang. Kandungan TSS yang tinggi pada perairan dapat menyebabkan menurunnya
tingkat recruitment karang hingga 300% (Jokiel et al. 2014). Total padatan tersuspensi
(TSS) juga dapat mempengaruhi organisme herbivora di ekosistem terumbu karang.
Herbivora sangat rentan terhadap peningkatan TSS di perairan dan kelimpahannya akan
menurun seiring dengan peningkatan nilai TSS. Penurunan kelimpahan organisme
herbivora dapat berpengaruh buruk terhadap ketahanan dan proses pemulihan karang
(Moustaka et al. 2018).
Tingkat kecerahan perairan berperan dalam pertumbuhan dan distribusi vertikal
terumbu karang (Morgan et al. 2020). Kecerahan berkaitan dengan intensitas sinar
matahari yang memasuki kolom perairan dan dibutuhkan oleh simbion pada karang untuk
proses berfotosintesis. Proses fosintesis oleh simbion karang atau dikenal dengan
zooxzntellae akan mengubah sinar matahari dan CO2 menjadi karbon organik dan O2 serta
memicu pertumbuhan dan kalsifikasi pada karang (Roth 2014). Partikel tersuspensi dapat
mengabsorpsi cahaya dan akan mengurangi kedalaman zona eufotik. Berkurangnya zona
eufotik sekitar 20-60 cm memberikan tekanan sebesar 8-15% pada habitat terumbu karang
(Morgan et al. 2020).
Arus berperan dalam distribusi berbagai jenis hewan air (McWilliam et al. 2017).
Terumbu karang di dunia sangat bergantung pada arus laut regional dalam distribusi suhu
untuk pertumbuhannya. Arus yang berkecepatan tinggi turut berperan dalam
membersihkan daerah puncak terumbu dari partikel-partikel halus dan membantu menjaga

7
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
stabilitas ekosistem terumbu karang pada kedalaman 2-3 m (Morgan et al. 2020). Selain
itu, kecepatan arus perairan juga berperan dalam menentukan komposisi komunitas karang
secara spasial (Hinrichs et al. 2013).

Tutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Pelapis


Tutupan karang di Pulau Pelapis didominasi oleh karang keras/hard coral dengan 6
jenis lifeform yaitu Acropora Digitate (ACD), Acropora Tabulate (ACT), Non-acropora
Encrusting (CE), Non-acropora Foliose (CF), Non-acropora Massive (CM) dan Non-
acropora Submassive (CSM). Selain karang keras, substrat dasar di Pulau Pelapis juga
ditemukan berupa Dead Coral with Algae (DCA), Non-hard coral dan alga berupa Sponge
(SP), Turf Alga (TA) dan organisme lainnya (OT) serta komponen abiotik berupa Pasir
(sand) dan Patahan Karang (rubble). Nilai persentase substrat dasar terumbu karang di
Pulau Pelapis dapat dilihat pada Gambar 2.
40.00

35.00
Persen Tutupan (%)

30.00
Stasiun 1 Stasiun 2
25.00

20.00

15.00

10.00

5.00

0.00
ACD ACT CE CF CM CSM DCA OT Sponge TA Sand Rubble
Hard Non-Hard Coral &
Hard Coral Abiotic
Coral Algae
Stasiun 1 8.33 6.80 3.40 17.53 6.07 37.47 3.67 2.67 1.33 3.33 9.40
Stasiun 2 1.36 18.45 3.82 12.91 23.64 2.64 23.82 1.64 5.64 3.36 2.73

Gambar 2. Persentase penutupan substrat dasar terumbu karang di Pulau Pelapis

Tutupan terumbu karang di Stasiun 2 lebih tinggi dibandingkan dengan Stasiun 1


dengan nilai masing-masing 62,82% dan 42,13%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
kondisi ekosistem terumbu karang di Stasiun 1 dan 2 masing-masing termasuk dalam
kategori rusak sedang dan baik. Beberapa hal yang dapat menyebabkan tutupan karang

8
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
rendah antara lain kurangnya subtrat keras untuk penempelan karang, persaingan dengan
alga, dan kekeruhan yang tinggi (Jokiel et al. 2014).
Stasiun 2 ditemukan lebih banyak lifeform karang dengan persentase yang terbesar
adalah karang masif/coral massive (CM). Terumbu karang diketahui akan tumbuh dengan
optimal ketika kondisi perairan sesuai. Tingginya tutupan CM di Stasiun 2 diduga karena
lifeform ini cenderung lebih menyukai lokasi yang berarus (Barus, Prartono, and Soedarma
2018). Lifeform CM seperti genus Porites, Favia and Favites termasuk jenis yang tahan
terhadap pemutihan karang di Teluk Mannar pada suhu 31.2-32.6 ℃ (Edward et al. 2018;
Smith et al. 2021). Namun peningkatan suhu secara mendadak sebesar 3.5 ℃ dapat
menyebabkan pemutihan pada CM sebesar 68% (Krishnan et al. 2018). Selain tahan
terhadap pemutihan karang, genus Porites juga mampu bertahan dari topan, spesies infasif,
serta gangguan antropogenik (Smith et al. 2021). Saat terjadi degradasi lingkungan,
kerusakan pada lifeform CM sekitar 7,05% (Machendiranathan et al. 2016).
Tutupan karang jenis Acropora khususnya lifeform ACT menempati urutan kedua
dengan persentase 8.33% dan 18.45% pada Stasiun 1 dan 2. Jenis karang yang termasuk
dalam genus Acropora diketahui memiliki tingkat pertumbuhan yang cepat (Edward et al.
2018) dan sangat tergantung pada produktivitas zooxantellae (Hinrichs et al. 2013).
Kelimpahan Acropora yang tinggi biasanya ditemukan pada lokasi dengan tutupan karang
yang tinggi dan jenis ini juga sensitif terhadap polutan seperti partikel terlarut dalam air
(Polónia et al. 2015). Pertumbuhan karang dari genus Acropra akan optimal pada suhu 26-
28 ℃. Selain berpengaruh pada pertumbuhan karang peningkatan suhu juga dapat
menyebabkan berkurangnya kepadatan zooxantella pada Acropora (Hinrichs et al. 2013).
Lifeform CM juga sensitif terhadap paparan sinar matahari yang terjadi pada saat surut.
Paparan sinar matahari dapat menyebabkan kematian sebagian jaringan karang khususnya
pada bagian atasnya. Sehingga sering dijumpai CM hanya tumbuh pada bagian samping.
Kondisi ini juga menyediakan ruang tumbuh bagi berbagai organisme dengan laju
pertumbuhan tinggi seperti Acropora sp., Montipora sp. dan sponge (Smith et al. 2021).
Tutupan substrat karang mati yang telah ditumbuhi oleh alga (DCA) menunjukkan
nilai yang cukup besar pada kedua lokasi. Tutupan DCA yang lebih besar ditemukan pada
Stasiun 1 sebesar 37.47% dan pada Stasiun 2 sebesar 23.82%. Gangguan yang terjadi pada
karang hidup sering kali berakibat kematian jaringan tubuhnya. Beberapa gangguan yang

9
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
dapat menyebabkan stres pada terumbu karang berupa perubahan iklim, pengasaman laut,
overfishing dan gangguan antropogenik (Romanó de Orte et al. 2021).
Stres dan kematian terumbu karang dapat memicu pertumbuhan alga dan invertebrata
lebih cepat dari pada pertumbuhan karang (Obura et al. 2019). Jaringan tubuh karang mati
juga akan menjadi ruang tumbuh untuk berbagai organisme yang memiliki laju
pertumbuhan tinggi termasuk alga (Smith et al. 2021). Kondisi tersebut apabila dibiarkan
dapat mengubah ekosistem perairan terumbu karang sehingga makroalga akan menjadi
organisme yang dominan (Haas et al. 2014; Hinrichs et al. 2013; Romanó de Orte et al.
2021).
Tutupan karang dapat menurun dengan meningkatnya pertumbuhan alga
(Machendiranathan et al. 2016). Tutupan alga juga menjadi salah satu indikator kesehatan
karang (Hinrichs et al. 2013). Alga yang tumbuh pada permukaan karang mati berperan
dalam merombak hasil kalsifikasi khususnya pada saat malam hari (Romanó de Orte et al.
2021). Tutupan turf alga di lokasi penelitian cenderung kecil dengan nilai 1.33% di Stasiun
1 dan 3.36% di Stasiun 2. Pada substrat turf alga ditemukan keanekaragaman copepoda
lebih tinggi dibandingkan pada tutupan karang hidup (Fraser et al. 2021).
Tutupan substrat abiotik di lokasi penelitian berupa sand/pasir dan rubble/patahan
karang. Pada Stasiun 1 tutupan pasir dan patahan karang masing-masing sebesar 3.33%
dan 9.40%, sedangkan Stasiun 2 hanya ditemukan pasir sebanyak 2,73%. Substrat abiotik
yang terdapat di lokasi penelitian dapat berasal dari masukan sedimen daratan maupun
berasal dari ekosistem itu sendiri (Polónia et al. 2015).

KESIMPULAN
Kondisi perairan pada kedua lokasi memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan untuk
pertumbuhan terumbu karang. Nilai salinitas sedikit lebih rendah dari pada baku mutu,
namun masih masuk dalam rentang yang dapat ditoleransi oleh terumbu karang.
Berdasarkan pengamatan, ekosistem karang pada Stasiun 2 temasuk dalam kategori baik
dan kategori rusak sedang pada Stasiun 1 dengan persentase tutupan karang masing-masing
sebesar 62,82% dan 42,13%. Tutupan hard coral pada kedua lokasi didominasi oleh karang
masif (CM).

10
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi
Kalimantan Barat atas pendanaan yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima
kasih kepada Kepala Desa Pelapis yang telah mendukung kegiatan ini.

DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Kristen D. et al. 2017. “Variation in Growth Rates of Branching Corals along
Australia’s Great Barrier Reef.” Scientific Reports 2017 7:1 7(1): 1–13.
https://www.nature.com/articles/s41598-017-03085-1 (September 15, 2022).
Barkley, Hannah C. et al. 2015. “Changes in Coral Reef Communities across a Natural
Gradient in Seawater PH.” Science Advances 1(5).
https://www.science.org/doi/10.1126/sciadv.1500328 (September 15, 2022).
Barus, Beta Susanto, Tri Prartono, and Dedi Soedarma. 2018. “Pengaruh Lingkungan
Terhadap Bentuk Pertumbuhan Terumbu Karang di Perairan Teluk Lampung.”
Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis 10(3): 699–709.
https://journal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt/article/view/21516 (September 16,
2022).
Bellwood, David R. et al. 2018. “The Role of the Reef Flat in Coral Reef Trophodynamics:
Past, Present, and Future.” Ecology and Evolution 8(8): 4108–19.
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/ece3.3967 (September 4, 2022).
Bellwood, David R., Robert P. Streit, Simon J. Brandl, and Sterling B. Tebbett. 2019. “The
Meaning of the Term ‘Function’ in Ecology: A Coral Reef Perspective.” Functional
Ecology 33(6): 948–61. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1111/1365-
2435.13265 (September 4, 2022).
Cabral, Reniel B., and Rollan C. Geronimo. 2018. “How Important Are Coral Reefs to
Food Security in the Philippines? Diving Deeper than National Aggregates and
Averages.” Marine Policy 91: 136–41.
Chair, Rani et al. 2019. “Sebaran dan Kelimpahan Ikan Karang di Perairan Pulau
Liukangloe, Kabupaten Bulukumba.” Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis
11(3): 527–40. https://jurnal.ipb.ac.id/index.php/jurnalikt/article/view/20557
(September 12, 2022).

11
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
Clifton, Julian, and Simon Foale. 2017. “Extracting Ideology from Policy: Analysing the
Social Construction of Conservation Priorities in the Coral Triangle Region.” Marine
Policy 82: 189–96.
Dias, Marta, Ana Ferreira, Raúl Gouveia, and Catarina Vinagre. 2019. “Synergistic Effects
of Warming and Lower Salinity on the Asexual Reproduction of Reef-Forming
Corals.” Ecological Indicators 98: 334–48.
Edward, J.K.P. et al. 2018. “Coral Mortality in the Gulf of Mannar, Southeastern India,
Due to Bleaching Caused by Elevated Sea Temperature in 2016 on JSTOR.” Current
Science 114(9): 1967–72. https://www.jstor.org/stable/26495348 (September 18,
2022).
Facon, Mathilde et al. 2016. “A Comparative Study of the Accuracy and Effectiveness of
Line and Point Intercept Transect Methods for Coral Reef Monitoring in the
Southwestern Indian Ocean Islands.” Ecological Indicators 60: 1045–55.
Fraser, Kate M., Rick D. Stuart-Smith, Scott D. Ling, and Graham J. Edgar. 2021. “High
Biomass and Productivity of Epifaunal Invertebrates Living amongst Dead Coral.”
Marine Biology 2021 168:7 168(7): 1–12.
https://link.springer.com/article/10.1007/s00227-021-03911-1 (September 19,
2022).
Guo, Chaozhong et al. 2016. “A Nanopore-Structured Nitrogen-Doped Biocarbon
Electrocatalyst for Oxygen Reduction from Two-Step Carbonization of Lemna
Minor Biomass.” Nanoscale Research Letters 11(1): 1–6.
https://link.springer.com/articles/10.1186/s11671-016-1489-3 (June 6, 2022).
Haas, Andreas F., Jennifer E. Smith, Melissa Thompson, and Dimitri D. Deheyn. 2014.
“Effects of Reduced Dissolved Oxygen Concentrations on Physiology and
Fluorescence of Hermatypic Corals and Benthic Algae.” PeerJ 2014(1): e235.
https://peerj.com/articles/235 (September 15, 2022).
Hinrichs, Saskia et al. 2013. “Which Environmental Factors Predict Seasonal Variation in
the Coral Health of Acropora Digitifera and Acropora Spicifera at Ningaloo Reef?”
PLoS ONE 8(4).
Indriyani, S, Hadijah, and E Indrwati. 2019. “Analisa Faktor Oseanografi dalam
Mendukung Budidaya Rumput Laut Kappaphycus alvarezii di Perairan Pulau

12
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
Sembilan Kabupaten Sinjai.” Journal of Aquaculture and Environment 2(1): 6–11.
https://journal.unibos.ac.id/jae/article/view/377 (September 7, 2022).
Jokiel, Paul L. et al. 2014. “Response of Reef Corals on a Fringing Reef Flat to Elevated
Suspended-Sediment Concentrations: Moloka’i, Hawai’i.” PeerJ 2014(12): e699.
https://peerj.com/articles/699 (September 16, 2022).
Krishnan, P. et al. 2018. “Differential Bleaching Patterns in Corals of Palk Bay and the
Gulf of Mannar on JSTOR.” Current Science 114(3): 679–85.
https://www.jstor.org/stable/26495124 (September 16, 2022).
Langlais, C. E. et al. 2017. “Coral Bleaching Pathways under the Control of Regional
Temperature Variability.” Nature Climate Change 2017 7:11 7(11): 839–44.
https://www.nature.com/articles/nclimate3399 (September 15, 2022).
Lin, Tzu Hao, Tomonari Akamatsu, Frederic Sinniger, and Saki Harii. 2021. “Exploring
Coral Reef Biodiversity via Underwater Soundscapes.” Biological Conservation
253: 108901.
Machendiranathan, M. et al. 2016. “Trend in Coral-Algal Phase Shift in the Mandapam
Group of Islands, Gulf of Mannar Marine Biosphere Reserve, India.” Journal of
Ocean University of China 2016 15:6 15(6): 1080–86.
https://link.springer.com/article/10.1007/s11802-016-2606-8 (September 16, 2022).
Manoppo, Anneke K S, Emiyati, Syarif Budhiman, and Bidawi Hasyim. 2014. “Ekstraksi
Informasi Keterlindungan Perairan Dari Data Penginderaan Jauh Untuk Kesesuaian
Budidaya Rumput Laut Di Pulau Lombok.”
McWilliam, Jamie N., Robert D. McCauley, Christine Erbe, and Miles J.G. Parsons. 2017.
“Patterns of Biophonic Periodicity on Coral Reefs in the Great Barrier Reef.”
Scientific Reports 2017 7:1 7(1): 1–13. https://www.nature.com/articles/s41598-017-
15838-z (September 16, 2022).
Morgan, Kyle M., Molly A. Moynihan, Nivedita Sanwlani, and Adam D. Switzer. 2020.
“Light Limitation and Depth-Variable Sedimentation Drives Vertical Reef
Compression on Turbid Coral Reefs.” Frontiers in Marine Science 7: 931.
Moustaka, Molly et al. 2018. “The Effects of Suspended Sediment on Coral Reef Fish
Assemblages and Feeding Guilds of North-West Australia.” Coral Reefs 2018 37:3
37(3): 659–73. https://link.springer.com/article/10.1007/s00338-018-1690-1

13
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
(September 16, 2022).
Obura, David O. et al. 2019. “Coral Reef Monitoring, Reef Assessment Technologies, and
Ecosystem-Based Management.” Frontiers in Marine Science 6(SEP): 580.
Polónia, Ana Rita Moura et al. 2015. “Habitat and Water Quality Variables as Predictors
of Community Composition in an Indonesian Coral Reef: A Multi-Taxon Study in
the Spermonde Archipelago.” Science of The Total Environment 537: 139–51.
Puspitasari, Ade Tyas T, Amron Amron, and Syawaludin Alisyahbana. 2016. “Struktur
Komunitas Karang Berdasarkan Karakteristik Perairan Di Taman Wisata Perairan
(TWP) Kepulauan Anambas.” Omni-Akuatika 12(1).
http://ojs.omniakuatika.net/index.php/joa/article/view/30 (September 20, 2022).
Rahmat, M.I, T.H Yosephine, and Giyanto. 2001. “Manual Lifeform 5.1.” : 32.
Ramadhan, Andrian, Lindawati Lindawati, and Nendah Kurniasari. 2017. “Nilai Ekonomi
Ekosistem Terumbu Karang Di Kabupaten Wakatobi.” Jurnal Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan 11(2): 133. http://ejournal-
balitbang.kkp.go.id/index.php/sosek/article/view/3834 (September 5, 2022).
Romanó de Orte, Manoela et al. 2021. “Unexpected Role of Communities Colonizing Dead
Coral Substrate in the Calcification of Coral Reefs.” Limnology and Oceanography
66(5): 1793–1803. https://onlinelibrary.wiley.com/doi/full/10.1002/lno.11722
(September 19, 2022).
Roth, Melissa S. 2014. “The Engine of the Reef: Photobiology of the Coral-Algal
Symbiosis.” Frontiers in Microbiology 5(AUG): 422.
Smith, Adam et al. 2021. “Field Measurements of a Massive Porites Coral at Goolboodi
(Orpheus Island), Great Barrier Reef.” Scientific Reports 2021 11:1 11(1): 1–6.
https://www.nature.com/articles/s41598-021-94818-w (September 19, 2022).
Urbina-Barreto, Isabel et al. 2021. “Which Method for Which Purpose? A Comparison of
Line Intercept Transect and Underwater Photogrammetry Methods for Coral Reef
Surveys.” Frontiers in Marine Science 8: 577.
Valentino, Glenn, Abdullah Aman Damai, and Herman Yulianto. 2018. “Analisis
Kesesuaian Perairan Untuk Budidaya Ikan Kerapu Macan (Epinephelus
Fuscoguttatu) di Perairan Pulau Tegal Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten
Pesawaran.” e-Jurnal Rekayasa dan Teknologi Budidaya Perairan 6(2): 705.

14
ILMU KELAUTAN Available online at:
Volume …. Nomor …. http://jurnal.utu.ac.id/JLIK
ISSN : 2684-7051
Witomo, Cornelia Mirwantini, Nuddin Harahap, and Andi Kurniawan. 2020. “Nilai
Manfaat Pariwisata Ekosistem Terumbu Karang Taman Wisata Perairan Gita Nada
Sekotong Lombok.” Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan 15(2): 169–84.
http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/sosek/article/view/9234 (September
20, 2022).

DAFTAR PUSTAKA (Memuat hanya pustaka yang dirujuk saja)

Holmes, C.C., and Mallick, B.K. 2003. “Generalized nonlinear modeling with multivariate
free-knot regression spline”. Journal of the American Statistical Association, 98 (462):
352-365.

Mallian, H. 2006. Studi literatur tentang model peramalan ARMA (p,q) dan selang
kepercayaan parameter model dengan menggunakan bootstrap, Tugas Akhir, Jurusan
Teknik Industri, Universitas Kristen Petra, Surabaya.

Lyche, T., and Morken, K. 2004. Spline methods, Draft, Retrieved from
http://www.ub.uio.n./umn/english/index.html, on 23th Feb 2005.

Gagne, R.M. 1974. Essentials of learning and instruction. New York: Holt Rinehalt and
Winston.

Popkewitz, T.S. 1994. “Profesionalization in teaching and teacher education: Some notes
on its history, idiology, and potential”. Journal of Teaching and Teacher Education, 10
(10): 1-14.

15

Anda mungkin juga menyukai