Location via proxy:   [ UP ]  
[Report a bug]   [Manage cookies]                

Bab 2

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Putri Malu (Mimosa pudica L.)


1. Taksonomi putri malu (Mimosa pudica L.)
Menurut (United States Department of Agriculture) sistem klasifikasi
tanaman putri malu adalah sebagai berikut :
Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Subkelas : Rosidae
Ordo/Bangsa : Fabales
Famili/Suku : Fabaceae
Genus/Marga : Mimosa L
Spesies/Jenis : Mimosa pudica (L.)
Gambar tanaman putri malu (Mimosa pudica L.) dapat dilihat pada
gambar 1.

Gambar 1. Tanaman putri malu (United States Departement of Agriculture).

4
5

2. Morfologi tanaman
Deskripsi tanaman : putri malu tumbuh di pinggir jalan, tanah lapang,
cepat berkembang biak, tumbuh tumbuh tidur di tanah, kadang-kadang tegak.
Batang bulat, berbulu dan berduri. Daun kecil-kecil tersusun majemuk, bentuk
lonjong dengan ujung lancip, warna hijau (ada yang warna kemerah-merahan).
Bila daun disentuh akan menutup. Bunga bulat seperti bola, warna merah muda
bertangkai (Herbie 2015).
3. Habitat
Tumbuhan putri malu membutuhkan kondisi lingkungan yang sesuai untuk
dapat tumbuh dengan baik. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah yang beriklim
tropis seperti Indonesia dengan ketinggian 1 - 1200 m di atas permukaan laut.
Putri malu biasanya tumbuh merambat atau kadang berbentuk seperti semak
dengan tinggi antara 0,3 - 1,5 m. Putri malu biasa tumbuh liar di pinggir jalan atau
di tempat-tempat terbuka yang terkena sinar matahari (Faridah 2007).
4. Nama daerah dan nama asing
Nama daerah tumbuhan putri malu di berbagai daerah di Indonesia adalah
putri malu (Indonesia); sihirput, sikerput (Batak); padang getap (Bali); daun
kaget-kaget (Manado); rebah bangun (Minangkabau); kucingan (Jawa); rondo
kagit (Sunda); todusan (Madura). Sedangkan untuk nama asing tumbuhan putri
malu (Mimosa pudica Linn) di berbagai negara yakni hanxiu cau (China);
makahiya (Filipina); malu-malu (Malaysia); mai yarap (Thailand); mori vivi
(Hindia Barat); mac co (Vietnam) dan shame plant, sensitive plant (Inggris)
(Herbie 2015).
5. Manfaat tanaman
Tanaman putri malu memiliki banyak manfaat bagi kesehatan, bagian
tanaman yang digunakan meliputi daun, akar, seluruh bagian tanaman bisa
digunakan, baik yang segar atau yang dikeringkan. Tanaman putri malu bisa
digunakan sebagai pengobatan penyakit seperti susah tidur (insomnia), Bronkhitis,
panas tinggi, herpes, rheumatik, dan cacingan (Haryanto 2012). Manfaat lainnya,
sebagai penenang (tranquiliser), sedative, peluruh dahak (expectorant), antibatuk
6

(antitusive), penurun panas (antipiretic), antiradang (anti-inflammatory), dan


peluruh air seni (diuretic) (Herbie 2015).
6. Kandungan Kimia
Berdasarkan penelitian yang sudah ada, ditemukan beberapa kandungan
kimia yang terdapat dalam tanaman putri malu, antara lain :
6.1 Flavonoid. Flavonoid adalah suatu senyawa fenol yang terbesar yang
ditemukan di alam. Flavonoid di alam juga sering dijumpai dalam bentuk
glikosidanya. Senyawa-senyawa ini merupakan zat warna merah, ungu, biru dan
sebagian zat warna kuning pada tanaman (Kristanti et al. 2008). Berdasarkan hasil
Ayeh Khodaparast et al (2012) flavonoid dari tanaman E. stellata dilaporkan bisa
mempotensiasi arus yang diinduksi GABA pada reseptor GABA-A yang
diekspresikan dalam neuron kortikal dan juga secara selektif memodulasi subtipe
reseptor GABA-A.
6.2 Tanin. Senyawa tanin termasuk golongan senyawa fenolik dan
merupakan penghambat enzim yang kuat bila berikatan dengan protein (Cowan
1999). Senyawa kimia ini biasanya ditemukan pada bagian batang, daun, buah dan
akar pada tanaman. Buah yang memiliki kandungan senyawa tanin biasanya
memberikan rasa asam pada buah tersebut. Senyawa fenol dari tanin mempunyai
aksi antiseptik, astringensia, dan pemberi warna (Damayanti 2001). Senyawa
tanin dapat terhidrolisis karena mengandung ikatan ester yang akan terhidrolisis
jika dididihkan dalam larutan asam klorida encer. Senyawa tanin yang telah
terhidrolisis biasanya berupa senyawa amorf, higroskopis, berwarna cokelat
kuning yang larut dalam air terutama air panas (Hagerman 2002). Tanin dapat
digunakan untuk mencegah atau mengurangi terjadinya pelepasan epilepsi melalui
mekanisme antioksidan (Kabuto 1992).
6.3 Alkaloid. Alkaloid adalah senyawa basa nitrogen organik yang
terdapat pada tumbuhan. Adanya pasangan elektron bebas pada atom nitrogen,
menyebabkan alkaloid bersifat basa. Alkaloid bereaksi dengan asam membentuk
garam yang tidak larut dalam air. Alkaloid sukar larut dalam air, tetapi mudah
larut dalam CHCl3, eter, dan pelarut organik lainnya. Kebanyakan alkaloid
mempunyai aktivitas fisiologi tertentu, sehingga bisa sering digunakan sebagai
7

obat. Peran alkaloid dalam tumbuhan antara lain sebagai zat racun yang
melindungi tumbuhan dari gangguan serangga dan hewan (Harborne 1987).
6.4 Mimosin. Mimosin termasuk dalam golongan alkaloid yaitu zat kimia
yang mengandung beberapa zat aktif seperti karbon, nitrogen, oksigen, sulfur dan
hydrogen. Sangat larut dalam air bereaksi dengan Fe membentuk senyawa
kompleks berwarna merah dan tidak berbahaya. Alkaloid merupakan golongan zat
tumbuhan sekunder yang terbesar. Pada umumnya alkaloid larut dalam air jika
berupa garam, misalnya HCL dan H2SO4, yang sukar larut dalam pelarut organic,
karena sifat alkaloid yang mudah membentuk garam HCL encer atau H 2SO4 encer
kemudian dibasahkan dengan NaOH atau ca-laktat. Ekstraksi dapat dilakukan
dengan pelarut alcohol atau langsung dengan HCL encer (Sirait 2007).
6.5 Saponin. Saponin adalah senyawa steroid atau glikosida triterpenoid
yang ditandai dengan membentuk buih jika bercampur dengan air. Senyawa
saponin akan merusak rangsangan membran yang merupakan sifat dari sebagian
besar antikonvulsan, terutama obat-obatan yang memblokir kanal ion Na+ (Chindo
et al. 2009).

B. Simplisia
1. Pengertian simplisia
Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain simplisia
merupakan bahan yang dikeringkan. Simplisia dapat berupa simplisia nabati,
simplisia hewani dan simplisia mineral (DepKes 1985).
Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tanaman utuh, bagian
tanaman, atau eksudat tanaman. Eksudat tanaman adalah isi sel yang secara
spontan keluar dari tanaman atau dengan cara tertentu dikeluarkan dari selnya,
atau zat-zat nabati lainnya yang dengan cara tertentu dipisahkan dari tanamannya.
Simplisia hewani adalah simplisia berupa hewan utuh, bagian hewan, atau zat-zat
yang berguna yang dihasilkan oleh hewan dan belum berupa zat kimia murni
(DepKes 1985).
8

2. Pengambilan simplisia
Kualitas baku simplisia sangat dipengaruhi beberapa faktor, seperti umur
tumbuhan atau bagian tumbuhan pada waktu panen, bagian tumbuhan, waktu
panen dan lingkungan tempat tumbuh (DepKes RI 1985).
3. Sortasi
Sortasi dilakukan untuk memisahkan kotoran-kotoran atau bahan-bahan
asing lainnya dari bahan simplisia sehingga tidak ikut terbawa pada proses
selanjutnya yang akan mempengaruhi hasil akhir. Sortasi terdiri dari dua cara,
yaitu: sortasi basah dan kering.
Sortasi basah dilakukan dengan memisahkan kotoran-kotoran atau bahan
asing lainnya setelah dilakukan pencucian dan perajangan, sedangkan sortasi
kering bertujuan untuk memisahkan benda-benda asing seperti bagian-bagian
tumbuhan yang tidak diinginkan dan pengotor yang lain dan masih tertinggal pada
simplisia kering (DepKes RI 1985).
4. Pengeringan
Pengeringan bertujuan agar simplisia tidak mudah rusak, sehingga dapat
disimpan dalam waktu yang relatif lama. Pengurangan kadar air dalam
menghentikan reaksi enzimatik akan mencegah penurunan mutu atau kerusakan
pada simplisia (DepKes RI 1985).
Pengeringan simplisa dilakukan dengan menggunakan sinar matahari atau
dengan alat pengering. Suhu pengeringan tergantung pada bahan simplisia dan
cara pengeringannya. Simplisia dapat dikeringkan dengan suhu 30°C-90°C tetapi
suhu terbaik adalah tidak melebihi 60°C (Depkes RI 1985).
5. Pemeriksaan mutu simplisia
Pemeriksaan mutu fisis secara tepat meliputi: kurang kering atau
mengandung air, termakan serangga atau hewan lain, ada-tidaknya pertumbuhan
kapang, dan perubahan warna atau perubahan bau. Analisis bahan meliputi
penetapan jenis konstituen (zat kandungan), kadar konstituen (kadar abu, kadar
sari, kadar air, kadar logam) dan standarisasi simplisia. Kemurnian mutu simplisia
meliputi kromatografi kinerja tinggi, lapis tipis, kolom, kertas, dan gas untuk
9

menentukan senyawa atau komponen kimia tunggal dalam simplisia hasil


metabolit primer dan sekunder tanaman (Gunawan 2004).

C. Ekstraksi
1. Pengertian ekstraksi
Ekstrak adalah sediaan pekat diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari
simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai.
Kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan. Massa atau serbuk yang
tersisa diperlukan sedemikian rupa hingga memenuhi standart baku yang telah
ditetapkan (Depkes RI 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi mutu ekstrak menurut Sampurno et al.
(2000) ada 2 yaitu faktor biologi dan faktor kimia. Faktor biologi yaitu mutu
ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan obat) dipandang secara khusus dari
segi biologi yaitu jenis tumbuhan, lokasi tumbuhan asal, waktu panen,
penyimpanan, bahan tumbuhan, dan bagian yang digunakan.
Faktor kimia yaitu mutu ekstrak dipengaruhi dari bahan asal (tumbuhan
obat) dipandang secara khusus dari kandungan kimia, yaitu: Faktor internal seperti
jenis senyawa aktif dalam bahan, komposisi kualitatif senyawa aktif, kadar total
rata-rata senyawa aktif. Faktor eksternal seperti metode ekstraksi perbandingan
ukuran alat ekstraksi, pelarut yang digunakan dalam ekstraksi, kandungan logam
berat, ukuran kekerasan, dan kekeringan bahan.
2. Metode ekstraksi
Metode dasar penyari adalah maserasi, perkolasi, dan soxhletasi.
Pemilihan terhadap metode tersebut disesuaikan dengan kepentingan dalam
memperoleh sari yang baik jenis ekstrasi dan bahan ekstraksi yang digunakan
sangat tergantung dari kelarutan bahan kandungan serta stabilitasnya (Voight
1994).
Maserasi merupakan cara ekstraksi yang dilakukan dengan merendam
serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari yang digunakan dapat
berupa air, etanol, air-etanol, atau pelarut lain. Maserasi dilakukan untuk ekstraksi
simplisia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung zat yang
10

mudah mengembang dalam cairan penyari, serta tidak mengandung benzoin atau
sirak (Anonim 1986). Simplisia yang akan diekstraksi ditempatkan pada wadah
atau bejana yang bermulut lebar bersama larutan penyari yang telah ditetapkan,
bejana ditutup rapat kemudian dikocok berulang–ulang sehingga memungkinkan
pelarut masuk ke seluruh permukaan simplisia (Ansel 1989). Rendaman tersebut
disimpan terlindung dari cahaya langsung (mencegah reaksi yang dikatalisis oleh
cahaya atau perubahan warna). Waktu maserasi pada umumnya 5 hari, setelah
waktu tersebut keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel
dengan luar sel telah tercapai. Pengocokan dilakukan untuk menjamin
keseimbangan konsentrasi bahan ekstraksi lebih cepat dalam cairan. Keadaan
diam selama maserasi menyebabkan turunnya perpindahan bahan aktif (Voight
1994).
3. Pelarut
Pelarut merupakan zat yang digunakan untuk melarutkan suatu zat atau
suatu obat dalam preparat larutan. Dalam memilih pelarut harus berdasarkan pada
faktor-faktor seperti stabil secara fisika-kimia, nilai yang terjangkau, bereaksi
netral, selektif dalam menarik zat yang diinginkan dan mudah didapat.
Banyak jenis pelarut yang umum digunakan salah satunya ialah etanol
96% dengan indeks polaritas 4,3 dan titik didih 78oC. Pemilihan etanol sebagai
pelarut karena etanol memiliki sifat selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh
dalam etanol, mempunyai absorbsi yang baik dan dapat bercampur dengan air
pada segala kondisi (Depkes 1986).

D. Epilepsi
1. Tinjauan umum
Epilepsi adalah gangguan kronis otak yang mempengaruhi orang di
seluruh dunia. Hal ini ditandai dengan kejang berulang, yang merupakan episode
singkat gerakan tak sadar yang mungkin melibatkan bagian tubuh (parsial) atau
seluruh tubuh (umum), dan kadang-kadang disebabkan oleh hilangnya kesadaran
dan kontrol fungsi usus atau kandung kemih. Episode kejang merupakan hasil dari
pelepasan listrik yang berlebihan dalam kelompok sel-sel otak. Bagian otak yang
11

berbeda dapat menjadi tempat pelepasan tersebut (WHO 2018). Menurut


International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2005, secara konseptual,
epilepsi didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya
kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus
dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial.
Klasifikasi bangkitan epileptik/kejang menurut International League
Against Epilepsy (ILAE) 2017 :

Gambar 2. Klasifikasi bangkitan epilepsi (International League Against Epilepsy)

1.1 Kejang umum (Generalized onset). Aktivitas listrik abnormal


(seperti dinilai berdasarkan perilaku atau EEG) tampaknya berasal secara
bersamaan di kedua sisi otak dan menyebar cepat melalui jaringan saraf.
Kebanyakan orang akan mengenali kejang tonik-klonik umum sebagai tanda khas
epilepsi, namun ada berbagai kejang umum lainnya. Ini termasuk absen, di mana
individu yang terkena, biasanya anak atau remaja, kehilangan kesadaran untuk
nomor detik menghasilkan tatapan kosong. Ini mungkin disertai dengan tanda-
12

tanda yang lebih halus, seperti kedip-kedip kelopak mata dan gerakan mulut.
Mioklonik tersentak juga merupakan jenis kejang umum dan terjadi ketika ada
kontraksi kelompok yang tiba-tiba dan cepat otot. Mereka dapat mempengaruhi
kepala, lengan, kaki atau Seluruh tubuh dan bisa unilateral atau bilateral.
1.2 Kejang fokal (Focal onset). Aktivitas listrik abnormal berasal di satu
sisi otak, meskipun di beberapa bagian situasi itu dapat menyebar ke sisi lain nanti
di penyitaan. Kejang fokal dapat hadir dengan berbagai gejala, tergantung pada
situs asal pelepasan listrik abnormal dan luas dan kecepatan penyebarannya di
otak. Kesadaran mungkin hadir, dikurangi atau tidak ada. Terkadang, ada
hentakan satu lengan atau kaki. Kejang epilepsi juga bisa memiliki asal fokal.
Aktivitas listrik abnormal dapat bergerak cepat dari kejang fokal ke tonik klonik
kejang, mempengaruhi kedua sisi (bilateral), dikenal sebagai fokus untuk kejang
tonik-klonik bilateral. EEG mungkin menyarankan area di otak dari mana kejang
muncul, dan pencitraan otak dapat menunjukkan penyebab struktural untuk
kejang, seperti jaringan perut, kelainan anatomi perkembangan (malformasi
otak),abses, stroke atau tumor.
1.3 Tidak dikenal (Unknown). Dokter tidak bisa memastikannya epilepsi
adalah fokal atau umum. Ini lebih umum di mana ada akses terbatas ke studi
VEEG dan pencitraan otak modern seperti resonansi magnetic pencitraan (MRI).
2. Patofisiologi
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik
yang berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang
sel neuron lain dan secara bersama-sama akan melepaskan muatan listriknya. Hal
tersebut diduga disebabkan oleh kemampuan membran sel yang melepaskan
muatan listrik secara berlebihan, berkurangnya inhibisi oleh neurotransmiter
GABA atau meningkatnya eksitasi oleh neurotransmiter asam glutamat atau
aspartat (Ikawati 2011). Mekanisme terjadinya kejang :
a. Gangguan pembentukan ATP yang akan mengakibatkan kegagalan pompa
Na-K, sehingga transpor ion menghasilkan ketidakstabilan membran neuron
dan serangan kejang (Sukandar et al 2008).
b. Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan
dengan neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang
13

berlebihan. Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan


menimbulkan kejang (Silbernagl S. & Lang F 2006).

3. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya kejang antara lain : kejang demam, infeksi
meningitis, ensefalitis, gangguan metabolic, hipoglikemia, hiponatremia,
hipoksemia, hipokalsemia, gangguan elektrolit, defisiensi piridoksin, trauma
kepala, keracunan, alkohol, teofilin, bahan kimia induksi kejang, penghentian obat
anti epilepsi. Lain-lain: tumor otak (Tjay and Rahardja 2007).
4. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi (klinis) sudah
dapat ditegakkan (Farmakoterapi Indonesia 2008).
4.1 Anamnesis. Anamnesis merupakan langkah terpening dalam
melakukan diagnosis epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan
secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah
menyaksikan serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis,
malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu.
Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi
yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis.
Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi : pola/bentuk serangan, lama
serangan, gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan, frekuensi serangan,
faktor pencetus, ada tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, usia saat
terjadinya serangan pertama, riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan,
riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya, riwayat penyakit epilepsi
dalam keluarga
4.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis. Pada pemeriksaan fisik
umum dan neurologis, dapat dilihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang
berhubungan dengan epilepsi seperti trauma kepala, gangguan kongenital,
14

gangguan neurologik fokal atau difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab-sebab
terjadinya serangan epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk penderita
anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan,
organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukan awal
ganguan pertumbuhan otak unilateral.
5. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering
dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien epilepsi untuk menegakkan
diagnosis epilepsi. Terdapat dua bentuk kelaianan pada EEG, kelainan fokal pada
EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak. Sedangkan
adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan
genetik atau metabolik.
Rekaman EEG dikatakan abnormal bila: Asimetris irama dan voltase
gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. Irama gelombang
tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya. Adanya
gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang
tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang
timbul secara paroksimal Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu
menentukan prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan obat
anti epilepsi (OAE).
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan radiologis
bertujuan untuk melihat struktur otak dengan melengkapi data EEG. Dua
pemeriksaan yang sering digunakan Computer Tomography Scan (CT Scan) dan
Magnetic Resonance Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka
MRI lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat
untuk membandingkan hippocampus kiri dan kanan (Farmakoterapi Indonesia
2008).
15

6. Manifestasi
Pada sebagian besar kasus, tenaga kesehatan tidak langsung menyaksikan
terjadinya kejang. Banyak pasien (khususnya yang disertai dengan kejang parsial
kompleks atau tonik-klonik umum) tidak menyadari kejadian kejang yang
sesungguhnya. Oleh karena itu, memperoleh riwayat yang memadai dan deskripsi
kejadian iktal (termasuk waktu kejadian) dari pihak ketiga (orang lain yang
penting, anggota keluarga,atau saksi) sangatlah penting (Farmakoterapi Indonesia
2008).
7. Asam ℽ -aminobutirat (GABA)
Asam γ-aminobutirat (GABA) merupakan neurotransmitter inhibitor yang
dilepaskan dari interneuron lokal pada seluruh sistem saraf pusat termasuk
medulla spinalis. pada sistem saraf pusat yang memiliki 2 reseptor (GABA-A dan
GABA-B) dengan fungsi dan struktur yang berbeda. Reseptor GABA-A adalah
reseptor ionotropik atau gerbang ligan ion Cl- yang ditargetkan oleh beberapa obat
anti epilepsi, karena dapat menyebabkan hiperpolarisasi membran pasca-sinaps
(Husna & Kurniawan 2017). Reseptor GABA-B merupakan reseptor metabotropic
yang dipasangkan dengan G protein-coupled untuk menginaktivasi kanal kalium
dan meghambat kanal kalium. GABA-B memiliki agonis yaitu baklofrn,
sedangkan antagonisnya yaitu 2-OH saklofen (Katzung 2010).
7.1 Reseptor GABA-A. Reseptor GABA-A merupakan kompleks protein
heterooligomerik yang terdiri dari sebuah tempat ikatan neurotransmitter GABA
(GABA binding site) yang berhubungan dengan kanal ion Cl-. Uniknya dari
reseptor ini juga memiliki tempat ikatan untuk obat golongan barbiturat (bariturat
binding site), obat golongan benzodiazepine (benzodiazepine binding site), untuk
obat-obat golongan steroid, dan tempat untuk pikrotoksin suatu konvulsan
(Ikawati 2006).
Aktivasi reseptor GABA-A oleh neurotransmitternya menyebabkan
terbukanya kanal Cl- da lebih lanjut akan memicu terjadinya hiperpolarisasi yang
akan menghambat penghantaran potensial aksi. Dengan cara itulah GABA
melakukan aksinya sebagai neurotransmitter inhibitor. Aktivasi reseptor GABA-A
tersebut menyebabkan depresi susunan saraf pusat (Ikawati 2006).
16

Gambar 3. Skematik Reseptor GABAA (sumber: www.faculty.com)

Obat golongan benzodiazepine dan barbiturate (Fenobarbital) juga


memfasilitasi aksi hambatan pada susuan saraf pusat. Mekanismenya golongan
obat tersebut dapat mempotensiasi penghambatan transmisi sinaptik dengan
berikatan pada tempat ikatannya di reseptor GABA-A yang akan memperpanjang
waktu membukanya kanal ion Cl- sehingga terjadi hiperpolarisasi (Sinta dan Wiria
2007).

8. Terapi farmakologi
Antikonvulsan adalah obat yang bisa meredakan konvulsi. Senyawa yang
diharapkan untuk anti kejang dapat bekerja melalui mekanisme : Peningkatan
transmisi inhibisi (biasanya GABAergik). Pengurangan transmisi eksitasi
(biasanya glutamergik) (Price and Wilson 2007).
8.1 Fenobarbital. Fenobarbital (asam 5,5-fenil-etil-barbiturat) merupakan
senyawa organik pertama yang digunakan dalam pengobatan antikonvulsi, dan
merupakan obat pilihan utama untuk terapi kejang dan kejang demam pada anak.
17

Dosis dewasa yang biasa digunakan ialah 2x100 mg sehari. Dosis anak ialah 30-
100 mg sehari.

Gambar 4. Struktur Fenobarbital

Fenobarbital merupakan obat antiepilepsi dengan broad spectrum,


digunakan pada terapi serangan parsial dan serangan umum sekunder.
Fenobarbital memacu proses penghambatan dan mengurangi transmisi listrik
diotak. Data menunjukkan bahwa fenobarbital dapat menekan saraf abnormal
secara selektif, menghambat penyebaran dan menekan pelepasan listrik dari fokus.
Dengan kadar yang relevan, fenobarbital meningkatkan penghambatan melalui
GABA dan reduksi eksitasi melalui glutamat (Katzung 1997).
8.2 Fenitoin. Fenitoin merupakan obat antiepilepsi nonsedatif tertua,
dikenal sejak tahun 1938 setelah evaluasi berbagai senyawa secara sistematis
seperti fenobarbital yang mempengaruhi kejang-kejang buatan pada hewan uji.
Fenitoin mempengaruhi berbagai efek fisiologis, obat ini mengubah konduktan
Na+, K+, Ca2+, potensi membrane, konsentrasi asam amino, dan asam ℽ-
aminobutirat (GABA).

Gambar 5. Struktur Fenitoin

Terapi kejang untuk dosis dewasa 300 mg/hari tanpa memperhatikan berat
badan. Kesalahan yang biasa terjadi yaitu meningkatkan dosis langsung dari 300
18

mg/hari – 400 mg/hari. Kerja utama fenitoin adalah menghambat saluran natrium
dan terjadinya aksi potensial yang berulang. Penggunaan klinik untuk obat ini
lebih efektif untuk kejang parsial dan tonik-klonik umum, dan juga serangan
kejang primer atau sekunder dari jenis kejang lainnya (Katzung 1998).
8.3 Karbamazepin. Karbamazepin merupakan senyawa trisiklik yang
efektif untuk pengobatan depresi bipolar. Karbamazepin banyak mempunyai
kesamaan dengan fenitoin. Struktur ureid (-N- CO-NH2) dijumpai dalam cincin
heterosiklik dari sebagian besar obat-obat antiepilepsi termasuk
karbamazepin.Struktur 3 dimensi menunjukkan konformasi yang sama dengan
fenitoin.

Gambar 6. Struktur Karbamazepin


Karbamazepin bekerja secara presinaptik menurunkankan transmisi
sinaptik, pengaruh ini juga menyebabkan kerja antikonvulsi karbamazepin.
Karbamazepin mengadakan interaksi dengan reseptor adenosine, dan juga
menghambat ambilan serta pelepasan norepinefrin dari sinaptosom otak tetapi
tidak mempengaruhi ambilan GABA dari potongan otak atau inhibisi
pascasinaptik akibat GABA, menunjukkan bahwa kerjanya tidak bergantung pada
sistem GABAergik. Karbamazepin merupakan salah satu obat pilihan untuk
kejang parsial, dan para dokter juga menggunakan obat ini untuk kejang tonik-
klonik umum. Karbamazepin dianggap sebagai obat pilihan untuk kejang parsial
yang tersedia dalam bentuk oral, dosis efektif untuk anak dengan dosis 15-25
mg/kg/hari, dosis harian dewasa 1 g atau 2 g dapat di tolerir (Katzung 1998).
9. Terapi non-farmakologi
Diet ketogenik. Merupakan diet spesial tinggi lemak dan rendah
karbohidrat yang dapat membantu mengontrol kejang pada beberapa penderita
19

epilepsi (Schachter et al 2013). Menurut Raju (2011) melaporkan efektivitas dari


diet ketogenik 26% (5 dari 19) partisipan bebas kejang, dan 58% (11 dari 19)
partisipan mengalami penurunan frekuensi bangkitan kejang lebih dari 50%
setelah melakukan diet ketogenik selama 3 bulan. Diet ketogenik juga mempunyai
kelemahan yaitu rendahnya tolerabilitas dan tingginya angka dropout. Dropout
terjadi akibat timbulnya berbagai efek samping gastrointestinal (Schachter et al
2013). Efek gastrointestinal yang paling sering muncul berupa mual, muntah,
konstipasi, dan diare (Raju et al. 2011).
10. Penginduksi kejang
10.1. INH (Isoniazid). Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering
disingkat dengan INH, efektif dan secara luas digunakan dalam pengobatan
tuberculosis. Merupakan salah satu obat penginduksi kejang. Neurotoksisitas akut
dari isoniazid ditandai dengan kejang berulang, asidosis metabolik, koma dan
bahkan kematian (Istiantoro dan setabudy, 2007;Vasu dan Saluja, 2005).
Isoniazid menyebabkan kejang dengan mengganggu sintesis GABA (ℽ -
amino butyric acid). Secara spesifik, Isoniazid menghambat asam glutamate
dekarboksilase dengan menghambat piridoksal 5 pospat, merupakan kofaktor
(pengaktivasi) bagi enzim asam glutamate dekarboksilase. Penurunan jumlah
GABA menyebabkan terjadinya kejang (Vasu dan Saluja, 2005).

10.2. Pentylentetrazole (PTZ). PTZ memiliki nama kimia 6, 7, 8, 9-


tetrahidro 5-H tetrazolo (1, 5-a) azepin yang merupakan preparat stimulan SSP.
C6H10N4 ini terdapat sebagai kristal berwarna putih, rasa pahit, dan larut dalam
air jika berbentuk serbuk, digunakan terutama untuk melawan kerja depresan,
dengan pemberian per oral, intra vena dan sub cutan (Depkes 1995 ).
Senyawa PTZ sering digunakan untuk penginduksi kejang pada penelitian
eksperimental. PTZ dapat menimbulkan kejang dengan merangsang eksitasi dan
hambatan saraf. Obat ini berikatan dengan sisi alosterik pada reseptor GABA A
dan bertindak sebagai modulator negatif atau dengan mekanisme antagonis non-
kompetitif GABAergik yang tidak berinteraksi dengan reseptor GABA, tapi
memblok GABA dengan cara menghambat pemasukan ion Cl-. Pemberian
20

suntikan melalui rute pemberian secara intraperitoneal dapat menimbulkan kejang


tonik umum (Brunto et al. 2006).

Gambar 7. Struktur pentylenetetrazole

10.3 Striknin Senyawa striknin juga sering digunakan sebagai


penginduksi kejang pada penelitian eksperimental. Striknin bekerja dengan cara
mengadakan antagonis kompetitif terhadap transmitter penghambatan yaitu glisin
didaerah penghambatan pascasinaps, glisin juga bertindak sebagai transmitter
penghambat pascasinaps yang terletak pada pusat lebih tiggi di SSP (sistem saraf
pusat). Striknin juga menyebabkan perangsangan pada semua bagian sistem saraf
pusat, obat ini merupakan konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas
(Gunawan 2007).

E. Metode Uji Antikonvulsan


1. Test Strychnine (STR)
Konvulsi diikuti oleh kematian diinduksi pada tikus oleh i.p. injeksi 2,5
mg/kg strychnine nitrat. Efek perlindungan konvulsi dari ekstrak yang diberikan
pada dosis mulai dari 500 hingga 4000 mg/kg i.p. 1 jam sebelum STR direkam
dan dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok menerima 3 mg/kg
dari clonazepam (clonaz). Binatang yang bertahan lebih dari 10 menit dianggap
dilindungi (Lehmann et al. 1988).
2. Test Isoniazid (INH)
Sepuluh mencit dengan berat 18 hingga 22 g diperlakukan dengan
senyawa uji (misal diazepam 10 mg/kg i.p) melalui pemberian oral atau
intraperitoneal. Senyawa kontrol akan dihantarkan 30 menit setelah i.p. atau 60
menit setelah p.o. pengobatan hewan-hewan disuntikkan dengan dosis subkutan
300mg / kg isoniazid (isonicotinic acid hydrazide). Selama 120 menit berikutnya
kejang klonik, kejang tonik dan kematian dicatat (Vogel et al. 2002).
21

3. Test Pentylenetetrazol (PTZ)


Kejang klonik yang terjadi pada mencit jantan setelah diinduksi PTZ
secara i.p 70 mg/kg. Hewan yang tidak menunjukkan kejang dalam periode
pengamatan 10 menit dianggap dilindungi. Clonazepam 0,1 mg/kg digunakan
sebagai kontrol (Ngo Bum et al. 2001)

F. Hewan Uji
1. Sistematika Hewan Uji
Mencit merupakan jenis hewan yang paling banyak digunakan sebagai
model eksperimen. Hal ini karena mencit mempunyai kemampuan reproduksi
yang sangat cepat dan perawatannya yang tidak membutuhkan biaya yang mahal
sehingga penggunaaan mencit sangat efisien untuk dijadikan model dalam
penelitian.
Taksonomi mencit adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Fillum : Chordata
Sub filum : Vertebrata
Kelas : Mamalia
Sub kelas : Piacentalia
Ordo : Rodentia
Sub Ordo : Myomorpha
Familia : Muridae
Genus : Mus
Spesies : Mus musculus (Setijono 1985)
2. Karakteristik hewan uji
Pemilihan mencit menjadi subjek eksperimental bentuk relevansinya pada
manusia. Walaupun mencit mempunyai struktur fisik dan anatomi yang berbeda
jelas dengan manusia, tetapi mencit adalah hewan mamalia yang mempunyai
beberapa ciri fisiologi dan biokimia yang hampir sama seperti manusia. Semua
galur mencit di laboratorium yang ada pada waktu ini merupakan turunan dari
mencit liar melalui peternakan selektif (Smith & Mangkoewidjojo 1988).
22

G. Landasan Teori
Tanaman putri malu biasa digunakan oleh masyarakat sebagai pengobatan
untuk beberapa penyakit seperti susah tidur (insomnia), bronkhitis, panas tinggi,
herpes, rheumatik, dan cacingan (Haryanto 2012). Bagian tanaman yang
digunakan adalah bagian daun. Kandungan kimia yang terdapat dalam daunnya
diantaranya : flavonoid, tanin, alkaloid, dan saponin. Menurut penelitian Ayeh
Khodaparast et al (2012) flavonoid dari tanaman E. stellata dilaporkan bisa
mempotensiasi arus tehadap GABA pada reseptor GABA-A yang diekspresikan
dalam neuron kortikal dan juga secara selektif memodulasi subtipe reseptor
GABA-A. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Naveen Alasyam et
al (2014) ekstrak dari daun putri malu dengan dosis 50; 100; 200 mg/KgBB tikus
secara peroral bisa melindungi mencit dari serangan konvulsi, dimana dosis 200
mg/KgBB tikus merupakan dosis tertinggi yang sangat signifikan dapat
menurunkan efek konvulsi yang terjadi.
Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH,
efektif dan secara luas digunakan dalam pengobatan tuberculosis. Merupakan
salah satu obat penginduksi kejang. Isoniazid menyebabkan kejang dengan
mengganggu sintesis GABA (ℽ -amino butyric acid). Secara spesifik, Isoniazid
menghambat asam glutamate dekarboksilase dengan menghambat piridoksal 5
pospat yang merupakan kofaktor (pengaktivasi) bagi enzim asam glutamate
dekarboksilase. Penurunan jumlah GABA menyebabkan terjadinya kejang (Vasu
dan Saluja, 2005).
Berdasarkan pemaparan sebelumnya maka diperlukan penelitian mengenai
efektivitas daun putri malu yang berkhasiat sebagai antikonvulsan yang dilihat
dari parameter frekuensi klonik, onset tonik, durasi tonik, kejadian kejang tonik,
dan jumlah kematian pada mencit putih dengan menggunakan dosis yang berbeda-
beda dari ekstrak etanol daun putri malu. Penelitian ini menggunakan pemilihan
dosis rendah sampai tinggi agar mendapatkan dosis yang efektif untuk
mengurangi efek kejang yang terjadi.
23

H. Hipotesis
Dari landasan teori dapat disusun hipotesis sebagai berikut :
Pertama, pemberian ekstrak etanol daun putri malu mempunyai aktivitas
antikonvulsan.
Kedua, pemberian ekstrak etanol daun putri malu dengan dosis 100; 200;
400 mg/KgBB dalam mengurangi efek kejang pada mencit.

Anda mungkin juga menyukai