Makalah Abnormal
Makalah Abnormal
Makalah Abnormal
GANGGUAN KECEMASAN
Disusun Oleh:
Kelompok 2
Bintan Bahrilia Ilma (126308211016)
Alifia Zamzami Khoirina Ahmad (126308212120)
Reni Lailatul Maqfiroh (126308212191)
Muhammad Samsul Arifin (126308213235)
Dengan mengucap puja dan puji syukur atas kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayahya, sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan
tugas makalah dengan judul “Gangguan Kecemasan” dalam keadaan sehat wal’afiat tanpa
kurang suatu apapun. Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita
nabi Muhammad SAW, sehingga kita dapat terselamatkan dari lembah kesesatan. Selesainya
makalah ini tidak lepas dari bantuan pihak-pihak lain. Oleh karena itu, penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat:
1. Prof. Dra. Maftukhin, M.Ag selaku rektor UIN SATU Tulungagung yang telah
memberikan kesempatan kepada kita untuk menimba ilmu di UIN SATU
Tulungagung.
2. Ibu Muthia Maharani, M. Psi., Psikolog, selaku dosen pembimbing mata kuliah
Psikolog Abnormal yang telah memberikan arahan kepada kami sehingga
terwujudnya makalah ini.
3. Seluruh pihak yang telah membantu terselesaikannya makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan agar
kedepannya menjadi lebih baik lagi. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi pembaca
dan seluruh mahasiswa di UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN..............................................................................................1
BAB II : PEMBAHASAN...............................................................................................3
3.1 Kesimpulan..........................................................................................................15
3.2 Saran....................................................................................................................16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................17
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.3 Tujuan Pembahasan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, dapat dikemukakan tujuan pembahasan
sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian gangguan kecemasan.
2. Menjelaskan tentang penyebab gangguan kecemasan.
3. Menjelaskan tentang ciri-ciri gangguan kecemasan.
4. Menjelaskan bentuk-bentuk treatment gangguan kecemasan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
positif tanpa syarat dari orang lain mungkin menjadi terlalu kritis terhadap diri
mereka sendiri dan mengembangkan standar diri yang sangat tinggi yang disebut
sebagai kondisi yang layak. Upaya untuk memenuhi standar ini dengan terus-menerus
menyangkal pikiran dan pengalaman yang sebenarnya dapat menyebabkan serangan
kecemasan yang intens dan membuka jalan bagi gangguan kecemasan umum atau
bentuk disfungsi psikologis lainnya.
d. Perspektif Kognitif
Para ahli model kognitif berpendapat bahwa masalah psikologis seringkali
disebabkan oleh cara berpikir yang tidak fungsional. Oleh karena itu, mengingat
bahwa kekhawatiran yang berlebihan merupakan gejala kognitif yang menjadi ciri
khas dari gangguan kecemasan umum, tidak mengherankan jika para ahli kognitif
memiliki banyak penjelasan mengenai penyebab dan pengobatan untuk gangguan
tersebut.
Awalnya, para teoris kognitif menyatakan bahwa gangguan kecemasan umum
disebabkan terutama oleh asumsi yang tidak adaptif, sebuah konsep yang masih
berpengaruh hingga saat ini. Menurut Albert Ellis, banyak orang mengikuti
keyakinan irasional yang membuat mereka bereaksi dan bertindak dengan cara yang
tidak tepat. Ellis menyebut asumsi dasar ini sebagai asumsi irasional dan mengklaim
bahwa orang yang menderita gangguan kecemasan umum sering memegang asumsi-
asumsi seperti "sangat penting bagi seseorang dewasa untuk dicintai atau disetujui
oleh hampir setiap orang yang signifikan dalam komunitasnya" dan "bencana ketika
hal-hal tidak berjalan sebagaimana yang diinginkan seseorang." Ketika orang yang
memegang asumsi-asumsi ini menghadapi peristiwa menegangkan, seperti ujian atau
kencan pertama, mereka cenderung menginterpretasikannya sebagai bahaya,
merespon berlebihan, dan merasa takut. Teoris kognitif Aaron Beck juga percaya
bahwa orang dengan gangguan kecemasan umum selalu memegang asumsi diam-
diam yang menyiratkan bahwa mereka dalam bahaya yang sangat dekat. Penelitian
menunjukkan bahwa orang dengan gangguan kecemasan umum memang cenderung
memegang asumsi yang tidak adaptif, terutama tentang bahaya.
Beberapa penjelasan baru untuk gangguan kecemasan umum telah muncul
dalam beberapa tahun terakhir, yang juga disebut sebagai penjelasan kognitif baru.
Penjelasan-penjelasan ini didasarkan pada karya Ellis dan Beck dan penekanan
mereka pada bahaya. Salah satu teori baru adalah teori metakognitif yang
dikembangkan oleh Adrian Wells, yang menyatakan bahwa orang dengan gangguan
5
kecemasan umum memiliki keyakinan positif dan negatif tentang kekhawatiran.
Mereka percaya bahwa mengkhawatirkan sesuatu adalah cara yang berguna untuk
menilai dan mengatasi ancaman dalam hidup, namun juga mempercayai bahwa
kekhawatiran yang berulang-ulang itu sebenarnya berbahaya secara mental dan fisik.
Teori intoleransi ketidakpastian adalah penjelasan baru lain tentang gangguan
kecemasan umum, yang menyatakan bahwa individu tertentu tidak dapat
mentoleransi pengetahuan bahwa peristiwa negatif dapat terjadi, bahkan jika
kemungkinan terjadinya sangat kecil. Orang dengan gangguan ini sering mencari
solusi "benar" untuk mengembalikan kepastian dalam situasi tersebut. Teori
penghindaran adalah penjelasan baru ketiga, yang dikembangkan oleh Thomas
Borkovec, yang menyatakan bahwa kekhawatiran sebenarnya membantu mengurangi
aktivitas fisik yang tidak menyenangkan. Orang dengan gangguan ini sering
mengalami reaksi fisik yang lebih cepat dan intens dan berhasil mengurangi aktivitas
fisik mereka ketika mereka khawatir. Semua penjelasan baru ini telah menerima
dukungan dari penelitian yang signifikan.
e. Perspektif Biologi
Ahli biologi teoritis meyakini bahwa faktor biologis adalah penyebab utama
dari gangguan kecemasan umum. Penelitian garis keturunan selama bertahun-tahun
telah mendukung klaim ini, dengan para peneliti mengidentifikasi jumlah dan kerabat
mana dari seseorang yang memiliki gangguan serupa. Studi menunjukkan bahwa
kecenderungan biologis terhadap gangguan kecemasan umum dapat diwariskan,
karena kerabat biologis orang dengan gangguan kecemasan umum lebih mungkin
untuk mengalami gangguan yang sama. Prevalensi gangguan juga cenderung lebih
tinggi di antara kerabat daripada di antara orang yang tidak memiliki hubungan darah.
Namun, para peneliti harus berhati-hati dalam menafsirkan hasil ini karena kerabat
juga cenderung berbagi lingkungan yang sama, yang dapat memengaruhi kemiripan
gejala gangguan. Ini juga berlaku untuk saudara kembar identik yang lebih mirip
secara fisik dan mungkin memiliki pengalaman lingkungan yang lebih serupa dalam
masa kecil mereka.
7
berdampak pada munculnya kecemasan, dan lain lain. Adapun beberapa gaya hidup
yang nyatanya dapat menimbulkan perasaan cemas adalah sebagai berikut:
1. Kelelahan atau tekanan dalam hidup.
2. Jam kerja yang panjang.
3. Tekanan di rumah, tempat kerja, atau di tempat belajar.
4. Permasalahan rumah tangga, dan permasalahan keuangan. Sebagai contoh, adalah
ketika seseorang lebih suka menghabiskan uangnnya ketika merasa tertekan dan
cemas yang kemudian malah menimbulkan perasaan cemas lainnya saat
mengingat berapa besar nominal uang yang telah ia habiskan.
b. Diet
Diet juga dapat mempengaruhi perasaan seseorang dari hari ke hari, dan
sejumlah makanan dapat meniru dan memicu gejala-gejala kecemasan, seperti minum
kopi, makan banyak gula, atau melanggar aturan diet lainnya. Kesehatan fisik dan
kesehatan jiwa tubuh juga dapat membuat dampak pada kesejahteraan mental
seseorang. Sebagai contoh, jika seorang individu memiliki kondisi kesehatan fisik
jangka panjang, atau mengalami rasa nyeri yang kronis, ini dapat membuat individu
tersebut lebih rentan untuk mengalami masalah kesehatan jiwa seperti kecemasan
atau depresi.
c. Obat-obatan
Jika seseorang menggunakan obat medis yang diresepkan ataupun obat yang
di luar itu, termasuk alkohol, yang dimana zat-zat itu juga dapat berdampak pada
kesehatan jiwa. Sebagai contoh, apabila seseorang mengalami kecemasan sebagai
efek samping dari:
1. Obat-obatan tertentu untuk masalah kesehatan jiwa.
2. Obat-obatan tertentu untuk masalah kesehatan lainnya, seperti steroid atau obat
anti-malaria.
d. Genetika
Ada sejumlah bukti yang mengungkapkan bahwa sejumlah orang memang
mewarisi kecenderungan genetis sehingga ia lebih cemas dari pada orang lain.
9
khawatir denga napa yang terjadi, akan tetapi jantungnya berdetak lebih kencang dari
orang lain.
10
2. Mindfulness-based Therapy (MBT)
Mindfulness-based Therapy (MBT) adalah bentuk psikoterapi yang dilakukan
untuk membantu individu mengenali dan mengatasi pemikiran serta emosi negatif
yang mungkin menyebabkan masalah kesehatan mental, seperti kecemasan atau
depresi. Dalam MBT, individu diajarkan untuk mengembangkan kesadaran
pikiran dan emosi mereka melalui cara yang lebih sadar dan terfokus, seperti
meditasi. Mereka didorong untuk lebih menerima pikiran dan emosi daripada
mencoba untuk menghilangkannya. Dengan demikian, individu diharapkan tidak
terlalu kesal dan terpengaruh oleh berbagai pikiran dan emosi, termasuk perasaan
khawatir yang mereka rasakan.
Berbagai penelitian menemukan bahwa MBT cukup efektif digunakan untuk
menangani gangguan kecemasan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh
Hofmann et al. (2010), menemukan bahwa MBT adalah salah satu intervensi yang
cukup dapat diandalkan dalam menangani gangguan kecemasan. Selain itu,
penelitian yang dilakukan oleh Baer pada tahun 2003, juga menarik kesimpulan
bahwa MBT dapat membantu dalam menangani gangguan kecemasan dan
gangguan mood (Hofmann et al., 2010). Hasil penelitian terbaru yang dilakukan
Bhattacharya & Hofmann (2020), juga kembali menunjukkan bukti keefektifan
MBT dalam menangani gangguan kecemasan, dimana psikoterapi MBT,
memberikan hasil yang signifikan dalam mengurangi gejala-gejala gangguan
kecemasan.
3. Exposure therapy
Exposure therapy merupakan salah satu psikoterapi yang berakar dari
classical conditioning. Exposure therapy adalah salah satu psikoterapi yang
digunakan untuk mengurangi ketakutan patologis dan emosi terkait lainnya,
seperti rasa bersalah, yang umumnya berhubungan dengan gangguan kecemasan
(Foa & McLean, 2016). Psikoterapi ini mendorong individu untuk terus
melakukan kontak dengan kondisi atau hal yang merangsang reaksi ketakutan
mereka, dengan aman, hingga rasa cemas yang mereka rasakan mereda.
Exposure therapy digambarkan sebagai cara paling efektif untuk mengurangi
rasa takut yang mendorong munculnya kecemasan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh Ströhle, Gensichen, dan Domschke (2018), tentang pengobatan
gangguan kecemasan menemukan bahwa pengobatan rawat jalan dengan exposure
therapy yang dilakukan dibawah pengawasan cukup efektif untuk membantu
11
mengobati gangguan mental terkait kecemasan, seperti panic disorder dan
agoraphobia. Selain itu, hasil penelitian yang dilakukan oleh Ougrin menemukan
bahwa exposure therapy yang dilakukan terhadap beberapa individu penderita
gangguan kecemasan menunjukkan keberhasilan yang tidak jauh beda dengan
keberhasilan CBT dalam membantu menangani gangguan kecemasan (Ougrin,
2011).
4. Short-term Psychodynamic Therapy
Short-term psychodynamic therapy merupakan psikoterapi yang didasarkan
pada prinsip-prinsip psikoanalitik. Pelaksanaan short-term psychodynamic therapy
lebih fokus pada masalah psikodinamik yang berhubungan dengan individu
penderita gangguan mental. Tidak banyak penelitian yang menguji keefektifan
psikoterapi ini. Namun, hasil dari beberapa penelitian yang pernah dilakukan,
seperti yang dilakukan oleh Çitak, Avci, dan Kahraman (2021), tentang
keefektifan psikoterapi short-term psychodynamic therapy terhadap gangguan
kecemasan dan depresi menemukan bahwa psikoterapi ini cukup efektif dalam
menangani penderita gangguan kecemasan yang belum berhasil sembuh setelah
menerima perawatan psikiatri standar sebelumnya. Selain itu, berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Leichsenring bersama beberapa ahli, menemukan
bahwa short-term psychodynamic therapy dan CBT menunjukkan hasil yang
signifikan dalam menangani gangguan kecemasan dan depresi. Namun, dalam
menangani gangguan kecemasan, CBT memberikan hasil yang dapat lebih unggul
dibandingkan short-term psychodynamic therapy (Leichsenring et al., 2009).
b. Terapi obat
Terapi obat pada gangguan kecemasan dilakukan dengan memberikan obat
medis anti-anxiety, seperti benzodiazepines dan antidepresan, kepada individu
penderita gangguan kecemasan. Benzodiazepines adalah obat medis yang biasa
digunakan sebagai obat penenang, dan dinilai dapat memberikan perasaan lega
kepada penderita gangguan kecemasan. Berdasarkan hasil dari berbagai penelitian,
benzodiazepines yang berikatan dengan neuron tertentu di otak, terutama reseptor
GABA-A, dapat meningkatkan kemampuan GABA untuk menghambat penembakan
neuron penyebab munculnya reaksi takut, sehingga kecemasan dapat berkurang
(Griebel & Holmes, 2013; Treit, Engin, & McEown, 2010; Dawson et al., 2005,
dalam (Comer, 2015).
12
Selama bertahun-tahun, benzodiazepin telah menjadi salah satu pilihan obat
yang diresepkan oleh banyak psikiatri untuk mengobati gangguan kecemasan, karena
dapat bereaksi dengan cepat dalam menangani gangguan kecemasan (Strawn et al.,
2018). Dalam banyak penelitian, benzodiazepines dinilai efektif dalam mengurangi
gejala-gejala yang berhubungan dengan gangguan kecemasan, tertama gangguan
kecemasan umum dan fobia sosial (Smith et al., 2012; Wu et al., 2012; Bushnell et al.,
2019; Gale et al., 2019; Simen et al., 2019; dalam Riberio & Brito, 2022). Namun,
penggunaan benzodiazepines untuk mengobati gangguan kecemasan saat ini juga
menuai kontroversi karena dinilai dapat menyebabkan ketergantungan. Penggunaan
benzodiazepines dengan dosis yang besar dalam waktu yang lama dapat membuat
penderita menjadi ketergantungan, dimana pada banyak kasus, pemberhentian
penggunaan benzodiazepines justru membuat gangguan kecemasan muncul kembali,
bahkan lebih kuat daripada sebelumnya (Comer, 2015; Penninx et al., 2021). Selain
itu, benzodiazepines dapat memberikan efek samping, seperti mengantuk,
berkurangnya koordinasi, kehilangan memori, depresi, dan memunculkan perilaku
agresif. Penggunaan benzodiazepines yang bercampur dengan zat-zat lain, seperti
alcohol dalam jumlah sedikit, juga dapat memperlambat pernafasan pengguna secara
drastis (Chollet et al., 2013 dalam Comer, 2015).
Terapi obat lainnya yang dapat menangani gangguan kecemasan adalah
penggunaan antidepresan. Antidepresan menjadi pilihan paling umum digunakan
dalam menangani beberapa gangguan mental umum, termasuk depresi dan gangguan
kecemasan. Antidepresan biasanya digunakan untuk membantu meningkatkan
suasana hati bagi penderita depresi, namun juga dapat membantu mengobati banyak
individu yang mengalami gangguan kecemasan. Bahkan, fakta menunjukkan bahwa
sejumlah dokter saat ini cenderung meresepkan antidepresan dibandingkan
benzodiazepines untuk mengobati gangguan kecemasan (Chollet et al., 2013; Comer
et al., 2011, dalam Comer, 2015). Terdapat dua jenis antidepresan yang umum
digunakan untuk mengobati gangguan kecemasan, yaitu selective serotonin reuptake
inhibitors (SSRI) dan serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRI). SSRI
bekerja dengan menghambat reuptake serotonin yang menuju ke terminal saraf
presinaptik, sehingga kadar sinaptik serotonin meningkat dan membantu mengurangi
gejala kecemasan. Sedangkan SNRI bekerja dengan mengikat serotonin dan
norepinefrin transporter untuk menghambat reuptake neurotransmitter dari celah
13
sinaptik, sehingga kadar serotonin serta norepinefrin di otak meningkat dan dapat
membantu mengurangi gejala kecemasan.
SSRI dan SNRI saat ini sudah umum menjadi pilihan terapi obat lini pertama
untuk mengobati gangguan kecemasan. Berdasarkan penelitian, kedua obat ini
terbukti berhasil dalam mengobati gangguan kecemasan, baik sebagai pengobatan
jangka pendek maupun jangka panjang (Baldwin et al., 2014). Penggunaan SSRI dan
SNRI dapat dinilai dapat ditoleransi dengan baik dan konsisten dengan pedoman
internasional (Strawn et al., 2018). Namun, penggunaan SSRI dan SNRI dalam
mengobati gangguan juga tidak sepenuhnya baik. SSRI juga memiliki efek samping
yang berpotensi menggangu, seperti insomnia, mual, dan disfungsi seksual. Ketika
penggunaan SSRI dan SNRI dihentikan secara tiba-tiba, maka dapat menimbulkan
sindrom penghentian yang ditandai dengan pusing, insomnia, dan gejala seperti flu
(Baldwin et al., 2014).
14
BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Gangguan kecemasan umum adalah kondisi di mana seseorang merasa khawatir
secara berlebihan dalam kebanyakan situasi dan merasa gelisah, tegang, atau gugup, sulit
berkonsentrasi, dan memiliki masalah tidur. Gangguan ini dapat berlangsung selama
setidaknya enam bulan dan biasanya muncul pada masa kanak-kanak atau remaja, dan
lebih sering didiagnosis pada wanita daripada pria dengan rasio 2 banding 1. Sekitar
seperempat orang yang memiliki gangguan kecemasan umum sedang menjalani
perawatan. Faktor-faktor sosial dan multikultural seperti lingkungan yang berbahaya,
kemiskinan, dan ras juga dapat mempengaruhi tingkat gangguan kecemasan umum.
Menurut Sigmund Freud, gangguan kecemasan umum dapat ditelusuri ke kekurangan
dalam hubungan awal antara anak dan orang tua mereka. Teori psikodinamik saat ini
memiliki pandangan yang berbeda dan kebanyakan percaya bahwa gangguan kecemasan
umum dapat ditelusuri ke kekurangan dalam hubungan awal antara anak dan orang tua
mereka.
Menurut Freud, kecemasan disebabkan oleh ancaman terhadap ego, dan ada tiga
tipe kecemasan yaitu kecemasan nyata dan objektif, kecemasan neurotik, dan kecemasan
moral. Kecemasan juga dapat dipelajari pada tahap awal hidup, seperti saat keluarga
melihat dunia sebagai kasar dan berbahaya. Beberapa hal yang dapat menimbulkan
perasaan cemas antara lain:
a Kelelahan atau tekanan dalam hidup
b Diet
c Kesehatan fisik dan kesehatan jiwa tubuh
d Penggunaan obat-obatan
Ciri-ciri orang yang menderita gangguan kecemasan umum, yaitu kecemasan dan
kekhawatiran yang tidak proporsional, tidak terkendali, dan berkelanjutan tentang
beberapa hal selama 6 bulan atau lebih, mudah merasa gelisah atau tidak tenang, mudah
lelah, kesulitan berkonsentrasi, memiliki masalah tidur, adanya distress yang signifikan,
dan jantung berdetak lebih cepat (palpitasi) sehingga menyebabkan keringat berlebih.
Tiap individu yang memiliki gangguan kecemasan, tidak selalu menunjukkan ciri-ciri
15
yang sama, karena tergantung dengan tingkat kecemasannya dan jenis kecemasan yang
dimilikinya.
Gangguan kecemasan dapat diobati dengan psikoterapi atau terapi obat-obatan.
Psikoterapi yang umum digunakan dan efektif dalam menangani gangguan kecemasan
adalah
a. Cognitive-behavioral Therapy (CBT)
b. Mindfulness-based Therapy (MBT)
c. Exposure Therapy.
CBT adalah psikoterapi yang paling banyak digunakan dan memiliki keberhasilan
yang konsisten dalam menangani gangguan kecemasan, sedangkan MBT dan Exposure
Therapy juga telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala gangguan kecemasan.
Terapi obat juga dapat digunakan untuk menangani gangguan kecemasan, seperti
benzodiazepin dan selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI), namun harus diawasi
oleh dokter atau psikiater profesional.
3.2 Saran
Demikian makalah yang telah kami tulis. Semoga dapat menambah wawasan
terkait gangguan kecemasan kepada pembaca. Kami, selaku penulis menyarankan agar
pembaca dapat lebih memahami apa itu gangguan kecemasan, sehingga dapat lebih
menyadari ciri-cirinya, serta mengetahui penyebab, dan treatment yang dapat dilakukan
dalam membantu penderita untuk sembuh. Selain itu, kami juga menyadari bahwa dalam
makalah ini masih ditemukan banyak kekurangan, baik dari susunan kalimat maupun
kosakata yang mungkin masih sulit dipahami oleh pembaca. Oleh karena itu, kami
menyarankan agar pembaca mengulas kembali materi terkait gangguan kecemasan
dengan literatur yang telah kami sediakan di dalam daftar pustaka, serta membuka KBBI
untuk mencari makna dari kosakata yang masih sulit dipahami.
16
DAFTAR PUSTAKA
Baldwin, D. S., Anderson, I. M., Nutt, D. J., Allgulander, C., Bandelow, B., Den Boer, J. A.,
Christmas, D. M., Davies, S., Fineberg, N., Lidbetter, N., Malizia, A., McCrone, P.,
Nabarro, D., O’Neill, C., Scott, J., Van Der Wee, N., & Wittchen, H.-U. (2014).
Evidence-based pharmacological treatment of anxiety disorders, post-traumatic stress
disorder and obsessive-compulsive disorder: A revision of the 2005 guidelines from the
British Association for Psychopharmacology. Journal of Psychopharmacology, 28(5),
403–439. https://doi.org/10.1177/0269881114525674
Bhattacharya, S., & Hofmann, S. G. (2020). Mindfulness-Based Interventions for Anxiety
and Depression. Psychiatric Clinics of North America, 40(4), 739–749.
https://doi.org/10.1016/j.psc.2017.08.008
Çitak, S., Avci, S. H., & Kahraman, B. B. (2021). The Effectiveness of Short-term
Psychodynamic Psychotherapy in Depression and Anxiety Disorders. Psychodynamic
Practice, 27(4), 372–383. https://doi.org/10.1080/14753634.2021.1951825
Comer, R. J. (2015). Abnormal Psychology (9th ed.). Worth Publisher.
Foa, E. B., & McLean, C. P. (2016). The Efficacy of Exposure Therapy for Anxiety-Related
Disorders and Its Underlying Mechanisms: The Case of OCD and PTSD. Annual Review
of Clinical Psychology, 12, 1–28. https://doi.org/10.1146/annurev-clinpsy-021815-
093533
Hofmann, S. G., Asnaani, A., Vonk, I. J. J., Sawyer, A. T., & Fang, A. (2012). The Efficacy
of CBT: A Review of Meta-analyses. Cognitive Therapy Research, 36(5), 427–440.
https://doi.org/10.1007/s10608-012-9476-1.The
Hofmann, S. G., Sawyer, A. T., Witt, A. A., & Oh, D. (2010). The Effect of Mindfulness-
Based Therapy on Anxiety and Depression: A Meta-Analytic Review. Journal of
Consulting and Clinical Psychology, 78(2), 169–183. https://doi.org/10.1037/a0018555
Leichsenring, F., Salzer, S., Jaeger, U., Kächele, H., Kreische, R., Leweke, F., Rüger, U.,
Winkelbach, C., & Leibing, E. (2009). Short-term Psychodynamic Psychotherapy and
Cognitive-behavioral Therapy in Generalized Anxiety Aisorder: A Randomized,
Controlled trial. American Journal of Psychiatry, 166(8), 875–881.
https://doi.org/10.1176/appi.ajp.2009.09030441
Luzanil, S. T., & Menaldi, A. (2021). Efektivitas Terapi Kelompok Kognitif Perilaku untuk
Menangani Kecemasan Akademik pada Mahasiswa Rantau. Jurnal Psikologi Ulayat, 9,
17
94–115. https://doi.org/10.24854/jpu221
Nevid, J. (2001). Gangguan Psikologis: Konsepsi dan Aplikasi Psikologi. Bandung
Nusamedia.
Otte, C. (2011). Cognitive Behavioral Therapy in Anxiety Disorders: Current State of The
Evidence. Dialogues in Clinical Neuroscience, 13(4), 413–421.
https://doi.org/10.31887/dcns.2011.13.4/cotte
Ougrin, D. (2011). Efficacy of Exposure Versus Cognitive Therapy in Anxiety Disorders:
Systematic Review and Meta-analysis. BMC Psychiatry, 11(December).
https://doi.org/10.1186/1471-244X-11-200
Penninx, B. W. J. H., Pine, D. S., Holmes, E. A., & Reif, A. (2021). Anxiety disorders. The
Lancet, 397(10277), 914–927. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(21)00359-7
Riberio, G. L. de J., & Brito, J. da S. (2022). Efficacy of Benzodiazepines (BZD) in the
Treatment of Anxiety Disorders: A Literature Review. Revista de Medicina, 101(6), 1–
7. https://doi.org//10.11606/issn.1679-9836.v101i6e-194499
Rusydi, A. (2015). Kecemasan dan Psikoterapi Spiritual Islam : Dari Spiritual Disorder
hingga Pesoalan Eksistensial Menuju Kesehatan Psiko-Spiritual. Istana Publish.
Strawn, J. R., Geracioti, L., Rajdev, N., Clemenza, K., & Levine, A. (2018).
Pharmacotherapy for Generalized Anxiety Disorder in Adults and Pediatric Patients: An
Evidence-Based Treatment Review. Expert Opinion on Pharmacotherapy, 19(10),
1057–1070. https://doi.org/10.1080/14656566.2018.1491966
Ströhle, A., Gensichen, J., & Domschke, K. (2018). The Diagnosis and Treatment of Anxiety
Disorders. Deutsches Arzteblatt International, 115(37), 611–620.
https://doi.org/10.3238/arztebl.2018.0611
18