Kasus PT Asuransi Jiwasraya
Kasus PT Asuransi Jiwasraya
Kasus PT Asuransi Jiwasraya
OLEH :
Akuntansi 1
FAKULTAS BISNIS
2020/2021
A. LATAR BELAKANG KASUS
Kinerja perusahaan dapat dinilai menggunakan laporan keuangan. Laporan
keuangan yang andal menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan
keuangan. Pengguna laporan keuangan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengguna
internal dan pengguna eksternal. Persyaratan normatif yang diperlukan agar laporan
keuangan memenuhi kualitas yang ditetapkan, yaitu andal, dapat dipercaya, dapat
dibandingkan, dan dapat dipahami.
Pengguna akan mengaggap kinerja perusahaan baik ketika laporan keuangan
menarik. Manajemen bertanggung jawab atas informasi yang disajikan dalam laporan
keuangan. Laporan keuangan yang baik harus terbebas dari salah saji, sehingga dapat
menjadi dasar untuk pengambilan keputusan. Standar audit membedakan salah saji
material maupun salah saji tidak material menjadi 2, yaitu error dan fraud. Error
merupakan salah saji dalam laporan keuangan yang tidak disengaja. Sedangkan Fraud
merupakan salah saji yang disengaja dalam laporan keuangan.
ACFE (Kayoi dan Fraud, 2019) medefinisikan kecurangan laporan keuangan
sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam laporan keuangan yang
melibatkan salah saji material.
PT. Asuransi Jiwasraya merupakan salah satu skandal yang ada di Indonesia.
PT. Jiwasraya telah menghadapi persoalan gagal bayar dan klaim uang nasabah yang
tidak kunjung cair. PT. Jiwasraya telah menempatkan dananya pada repo saham yang
menawarkan bungga tinggi. Masalah mulai muncul ketika pasar modal melemah.
Kasus gagal bayar tersebut melibatkan tujuh bank yaitu Bank BTN, Bank Victoria,
Bank Standard Chartered, Bank ANS, Bank DBS, Bank QNB Indonesia, dan Bank
Hana.
PT. Jiwasraya melakukan penundaan pembayaran polis sebesar Rp.802 miliar
yang akan jatuh tempo pada tanggal 10 Oktober 2018. Asmawi Syam, selaku direktur
utama PT. Jiwasraya menyatakan menunggak pembayaran polis sampai ratusan miliar
karena adanya pengelolaan manajemen yang kurang hati-hati. Badan Pemeriksaan
Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan terhadap PT. Jiwasraya terkait kasus
tersebut setidaknya dua kali dalam kurun waktu 2010-2019. Pemeriksaan yang
pertama dengan tujuan tertentu (PDTT) pada tahun 2016 dan mengungkapkan 16
temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan, dan biaya
operasional tahun 2014-2015.
PT. Jiwasraya melakukan manipulasi laporan keuangan sejak tahun 2006.
Adanya opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) yang dinyatakan oleh BPK
untuk laporan keuangan tahun 2006-2007 dikarenakan informasi yang disajikan tidak
dapat diyakini keberadaannya.
Perilaku kecurangan dapat didasari oleh tekanan. Tindakan kecurangan
pelaporan keuangan dapat dilakukan manajemen maupun karyawan ketika mereka
memiliki tekanan. Selain tekanan, seseorang dapat melakukan kecurangan karena
adanya kesempatan. Tindakan kecurangan pelaporan keuangan yang dilakukan oleh
manajemen maupun karyawan dapat terjadi ketika adanya peluang atau kesempatan
untuk melakukannya.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang kasus, rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu
Apakah hal yang mendasari terjadinya kecurangan laporan keuangan PT. Jiwasraya?
C. LANDASAN TEORI
1. Kecurangan laporan keuangan
Laporan keuangan yang andal menyediakan informasi yang
dibutuhkan oleh pengguna laporan keuangan.
Laporan keuangan yang baik harus terbebas dari salah saji, sehingga dapat
menjadi dasar untuk pengambilan keputusan. Standar audit membedakan salah
saji material maupun salah saji tidak material menjadi 2, yaitu error dan fraud.
Error merupakan salah saji dalam laporan keuangan yang tidak disengaja.
Sedangkan Fraud merupakan salah saji yang disengaja dalam laporan
keuangan.
ACFE (Kayoi dan Fraud, 2019) medefinisikan kecurangan laporan keuangan
sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam laporan keuangan
yang melibatkan salah saji material.
Kecurangan dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
a) Kecurangan Laporan Keuangan (Financial Statement Fraud).
Kecurangan Laporan Keuangan dapat didefinisikan sebagai
kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam bentuk salah saji
material Laporan Keuangan yang merugikan investor dan kreditor.
Kecurangan ini dapat bersifat financial atau kecurangan non financial.
b) Penyalahgunaan aset (Asset Misappropriation). Penyalahagunaan aset
dapat digolongkan ke dalam ‘Kecurangan Kas’ dan ‘Kecurangan atas
Persediaan dan Aset Lainnya’, serta pengeluaran-pengeluaran biaya
secara curang (fraudulentdisbursement).
c) Korupsi (Corruption). Korupsi dalam konteks pembahasan ini adalah
korupsi menurut ACFE, bukannya pengertian korupsi menurut UU
Pemberantasan TPK di Indonesia. Menurut ACFE, korupsi terbagi ke
dalam pertentangan kepentingan (conflict of interest), suap (bribery),
pemberian illegal (illegal gratuity), dan pemerasan (economic
extortion).
2. Teori Keagenan
Teori keagenan mendeskripsikan hubungan antara pemegang saham
(shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai agen. Manajemen
merupakan pihak yang dikontrak oleh pemegang saham untuk bekerja demi
kepentingan pemegang saham. Karena mereka dipilih, maka pihak manejemen
harus mempertanggungjawabkan semua pekerjaannya kepada pemegang
saham.
Karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi
hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada
penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara
prinsipal dan agen. Untuk memotivasi agen maka prinsipal merancang suatu
kontrak agar dapat mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang terlibat
dalam kontrak keagenan. Kontrak yang efisien adalah kontrak yang memenuhi
dua faktor, yaitu
a) Agen dan pinsipal memiliki informasi yang simetris artinya baik agen
maupun majikan memiliki kualitas dan jumlah informasi yang sama
sehingga tidak terdapat informasi tersembunyi yang dapat digunakan
untuk keuntungan dirinya sendiri, dan
b) Risiko yang dipikul agen berkaitan dengan imbal jasanya adalah kecil
yang berarti agen mempunyai kepastian yang tinggi mengenai imbalan
yang diterimanya.
D. PEMBAHASAN
Terungkapnya salah satu kasus PT. Asuransi Jiwasraya telah menyita
perhatian public. Pasalnya ketidaan likuiditas membuat Pt. Jiwasraya mengalami
gagal bayar klaim nasabah JS Saving Plan sebesar Rp. 802 miliar pada Oktober 2018
dan mencapai Rp. 12,8 miliar per Desember 2019.
Buruknya keuangan PT. Jiwasraya karena perusahaan membeli saham-saham
lapis kedua dan ketiga menjelang tutup tahun guna mempercantik laporan keuangan
(window dressing). Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan harga saham
tempat PT. Jiwasraya berinvestasi selalu melompat menjelang tutup tahun, dan
kemudian saham tersebut dijual lagi pada tahun berikutnya. Karena saham
yang dibeli di bawah harga pasar, maka pada laporan keuangan akhir tahun akan
tercatat hasil investasi PT. Jiwasraya menguntungkan namun sebenarnya perusahaan
sudah mengalami kerugian.
Kronologi Kasus PT. Asuransi Jiwasraya
Tahun Keterangan
2002 Perusahaan mengalami insolvensi sebesar Rp.2,9 triliun.
2004 Perusahaan megalami insolvensi dengan risiko pailit mencapai Rp.2,76
triliun.
2006 Ekuitas perusahaan negatif Rp3,29 triliun dan aset yang dimiliki
jauh lebih kecil dibandingkan kewajiban.
BPK memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat)
untuk laporan keuangan Tahun 2006-2007 dikarenakan
penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini
kebenarannya.
2008 Defisit perusahaan Rp5,7 triliun. Kemudian Jiwasraya menerbitkan
reksa dana penyertaan terbatas dan reasuransi (penyelamatan jangka
pendek) untuk menghilangkan kerugian di laporan keuangan.
2009 Defisit perusahaan Rp.6,3 triliun dan melanjutkan skema reasuransi.
2010 Perusahaan melanjutkan skema reasuransi.
2011 Perusahaan melanjutkan skema reasuransi dan surplus Rp.1,3 triliun.
2012 Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga
Keuangan/Bapepam-LK meminta perusahaan menyampaikan
alternatif penyelesaian komprehensif dan fundamental jangka
pendek. JS Saving Plan mendapatkan ijin Bapepam-LK pada 12
Desember 2012 dengan guaranteed return 12% per tahun (lebih
tinggi dibanding yield obligasi.
Perusahaan surplus Rp1,6 triliun per 31 Desember 2012 melalui
skema finansial reasuransi, namun defisit Rp3,2 triliun tanpa
skema finansial reasuransi.
2013 Bapepam-LK resmi beralih kepada Otoritas Jasa Keuangan
(OJK) dan meminta Kementerian BUMN menyampaikan
langkah alternatif penyehatan keuangan perusahaan beserta
jangka waktunya karena rasio solvabilitas perusahaan kurang
dari 120%.
Perusahaan menyampaikan alternatif penyehatan berupa
penilaian kembali asset tanah dan bangunan, revaluasi menjadi
Rp6,56 triliun dan mencatat laba Rp457,2 miliar.
2014 Peningkatan penempatan dana saham dan reksadana.
Terjadi lonjakan pendapatan premi mencapai 50%.
2015 Hasil audit BPK menunjukkan dugaan penyalahgunaan
wewenang dan laporan aset investasi keuangan melebihi realita
(overstated) serta kewajiban di bawah realita (understated).
PT.Jiwasraya membeli obligasi medium-term note (MTN) pada
perusahaan yang baru berdiri 3 tahun tanpa pendapatan dan terus
merugi.
BPK mengungkap kejanggalan pembelian saham dan reksa dana
lapis kedua dan ketiga yang tidak disertai kajian memadai, tanpa
mempertimbangkan aspek legal dan kondisi keuangan
perusahaan.
2016 OJK meminta perusahaan menyampaikan rencana pemenuhan
rasio kecukupan
investasi karena sudah tidak lagi menggunakan mekanisme
reasuransi.
BPK menemukan nilai pembelian sejumlah saham dan reksa
dana lebih mahal dibanding nilai pasar sehingga berpotensi
merugikan perusahaan Rp601,85 miliar.
BPK mencatat investasi tidak langsung senilai Rp6,04 triliun
atau setara 27,78% dari total investasi perusahaan pada tahun
2015.
PT. Jiwasraya melepas saham dan reksa dana lapis kedua dan
ketiga sesuai rekomendasi BPK.
2017 OJK meminta PT. Jiwasraya mengevaluasi produk JS Saving
Plan agar sesuai kemampuan pengelolaan investasi.
OJK memberikan sanksi peringatan pertama karena perusahaan
terlambat menyampaikan laporan aktuaria tahun 2017.
Pendapatan premi JS Saving Plan mencapai Rp21 triliun dan
laba Rp2,4 triliun atau naik 37,64% dari tahun 2016.
Ekuitas surplus Rp5,6 triliun tetapi kekurangan cadangan premi
Rp7,7 triliun karena belum memperhitungkan penurunan aset.
Perusahaan kembali membeli saham dan reksa dana lapis kedua
dan ketiga.
OJK tidak menemukan saham dan reksa dana yang melebihi
batas investasi (10% saham dan 20% reksa dana) pada setiap
manajer investasi.
Pencatatan liabilitas yang lebih rendah dari semestinya membuat
laba sebelum pajak mencapai Rp428 miliar dari sebenarnya rugi
Rp7,26 miliar
2018 OJK dan PT. Jiwasraya membahas penurunan pendapatan premi
secara signifikan akibat penurunan guaranted return (garansi
imbal hasil) atas produk JS Saving Plan.
OJK mengenakan denda administratif Rp175 juta atas
keterlambatan penyampaian laporan keuangan 2017.
Kantor Akuntan Publik (KAP) Pricewaterhouse Coopers (PwC)
memberikan opini tidak wajar pada laporan keuangan Jiwasraya
2017 karena perusahaan hanya mencatatkan liabilitas manfaat
polis masa depan Rp.38,76 triliun yang seharusnya Rp.46,44
triliun.
PWC mengoreksi laporan keuangan 2017 dari laba Rp.2,4 triliun
menjadi Rp.428 miliar.
PT. Jiwasraya tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo
nasabah JS Saving Plan Rp.802 miliar pada Oktober 2018.
Kualitas aset investasi PT. Jiwasraya hanya 5% dari aset
investasi saham senilai Rp.5,7 triliun pada tahun 2018 yang
ditempatkan pada saham bluechip. Hanya 2% dari aset investasi
saham dan reksa dana yang dikelola manajer investasi
berkualitas.
PT. Jiwasraya hanya mampu mendapatkan Rp1,7 triliun dari
penjualan sebagian saham dan reksa dana yang bisa dijual
(karena harganya anjlok) serta masih terdapat Rp.8,1 triliun di
26 saham dan 107 reksa dana yang tidak bisa dilepas.
BPK menyebutkan PT. Jiwasraya melakukan investasi aset
berisiko untuk mengejar imbal hasil tinggi sehingga
mengabaikan prinsip kehati-hatian.
2019 PT. Jiwasraya membutuhkan dana Rp.32,89 triliun untuk
memenuhi rasio solvabilitas (Risk Based Capital) 120%.
Aset PT. Jiwasraya tercatat Rp.23,26 triliun, kewajibannya
Rp.50,5 triliun, nilai ekuitas negatif Rp. 27,24 triliun dan
liabilitas produk JS Saving Plan tercatat Rp.15,75 triliun.
Total klaim jatuh tempo yang gagal bayar mencapai Rp12,4
triliun.
2020 Kejaksaan Agung meminta BPK memulai audit investigasi PT.
Jiwasraya dan OJK.
Klaim nasabah yang akan jatuh tempo hingga akhir tahun 2020
mencapai Rp.16,1 triliun. Indikasi kerugian negara Rp13,7
triliun akibat gagal bayar polis
E. SOLUSI
Berdasarkan pembahasan diatas, solusi yang dapat diambil yaitu persusahaan
dapat melakukan pembubaran. Pembubaran tersebut terjadi karena harta perusahaan
yang dinyatakan pailit berada dalam insolvensi. Selain itu perusahaan dapat
melakukan privatisasi, privatisasi dilakukan dengan tetap menjaga pemerintah sebagai
pemilik saham mayoritas (diatas 50%) dengan kebutuhan dana Rp.32 triliun guna
memenuhi risk based capital (RBC) yang telah diatur OJK sebesar 120%. Namun
untuk melakukan privatisasi kondisi keuangan PT.Jiwasraya harus dalam keadaan
sehat, sehingga memiliki nilai jual tinggi untuk memenuhi kebutuhan dana yang
besar.
F. KESIMPULAN
Kinerja perusahaan dapat dinilai menggunakan laporan keuangan. Laporan
keuangan yang andal menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh pengguna laporan
keuangan. Pengguna laporan keuangan dapat dibedakan menjadi dua yaitu pengguna
internal dan pengguna eksternal. Pengguna akan mengaggap kinerja perusahaan baik
ketika laporan keuangan menarik. Manajemen bertanggung jawab atas informasi yang
disajikan dalam laporan keuangan. Laporan keuangan yang baik harus terbebas dari
salah saji, sehingga dapat menjadi dasar untuk pengambilan keputusan.
ACFE (Kayoi dan Fraud, 2019) medefinisikan kecurangan laporan keuangan
sebagai kecurangan yang dilakukan oleh manajemen dalam laporan keuangan yang
melibatkan salah saji material.
PT. Asuransi Jiwasraya merupakan salah satu skandal yang ada di Indonesia.
PT. Jiwasraya telah menghadapi persoalan gagal bayar dan klaim uang nasabah yang
tidak kunjung cair. PT. Jiwasraya melakukan penundaan pembayaran polis sebesar
Rp.802 miliar yang akan jatuh tempo pada tanggal 10 Oktober 2018.Badan
Pemeriksaan Keuangan (BPK) telah melakukan pemeriksaan terhadap PT. Jiwasraya
terkait kasus tersebut setidaknya dua kali dalam kurun waktu 2010-2019. Pemeriksaan
yang pertama dengan tujuan tertentu (PDTT) pada tahun 2016 dan mengungkapkan
16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan, dan biaya
operasional tahun 2014-2015. PT. Jiwasraya melakukan manipulasi laporan keuangan
sejak tahun 2006.