Fungsi Sistem Pertahanan Tubuh
Fungsi Sistem Pertahanan Tubuh
Fungsi Sistem Pertahanan Tubuh
Sejarah Imunologi
Dalam masyarakat Barat, pendekatan rasional terhadap asal muasal penyakit baru
berkembang pada akhir abad ke-18. Sebelum ditemukan bahwa penyakit disebabkan oleh organisme
patogen, secara umum diterima bahwa penyakit adalah hukuman dari Tuhan (atau para Dewa), atau
bahkan kutukan penyihir. Budaya Timur memandang penyakit sebagai ketidakseimbangan saluran
energi di dalam tubuh. Belakangan, wabah penyakit besar di Eropa diasumsikan disebabkan oleh uap
yang mematikan atau berbahaya. Namun demikian, sudah ada isyarat sejak tahun 430 SM bahwa jika
seseorang selamat dari suatu penyakit, orang tersebut akan menjadi kebal terhadap paparan
berikutnya. Namun, hal ini tidak pernah diakui sebagai bukti adanya semacam sistem pertahanan
internal hingga akhir abad ke tujuh belas.
Meskipun sebagian besar catatan sejarah memuji Edward Jenner atas pengembangan
proses imunisasi pertama , prosedur serupa sebelumnya telah dilakukan di Tiongkok pada tahun 1700.
Teknik ini disebut variolasi. Ini berasal dari nama agen infeksi yaitu virus variola. Prinsip dasar
variolasi adalah dengan sengaja menyebabkan infeksi ringan dengan patogen yang tidak
dimodifikasi. Risiko kematian akibat variolasi adalah sekitar dua hingga tiga persen. Meskipun masih
merupakan risiko, variolasi memberikan perbaikan besar terhadap angka kematian akibat infeksi yang
tidak terkontrol. Kekebalan terhadap cacar diberikan dengan memasukkan eksudat kering dari pustula
cacar ke dalam hidung. Teknik penularan penyakit cacar ini, sebagai bentuk penularan terbatas,
menyebar ke barat dari Tiongkok melalui jalur perdagangan tradisional ke Konstantinopel dan
kemudian menyebar ke seluruh Eropa. Mendengar praktik ini, keluarga
Kerajaan Inggris memerintahkan anak-anak mereka untuk disuntik untuk melawan penyakit ini pada
tahun 1721, namun praktik tersebut menimbulkan tentangan keras karena para dokter merasa hal itu
terlalu berisiko.
Pada tahun 1798, Edward Jenner , memperhatikan bahwa pemerah susu terlindungi dari
penyakit cacar jika mereka pertama kali terinfeksi cacar sapi . Bukanlah niatnya untuk membuat
sejarah kedokteran, karena minatnya sebagian besar bersifat ilmiah dan mencakup perpindahan
infeksi dari satu spesies ke spesies lain, terutama dari hewan ke manusia. Namun, penelitian Jenner
membawanya pada kesimpulan, bahwa inokulasi dengan cacar sapi (analog cacar sapi) dapat
memberikan kekebalan terhadap cacar. Maka lahirlah konsep vaksinasi. (Kebetulan, kata Latin untuk
sapi adalah vacca ). Ide-ide Jenner pertama-tama membuatnya menjadi paria medis dan sosial, karena
keduanya bertentangan dengan gereja dan kepercayaan populer. Namun, karena metodenya jauh lebih
aman daripada variolasi, penggunaan vaksinasi secara bertahap diterima secara luas dan sebagian
besar negara Eropa mempunyai suatu bentuk program wajib dalam waktu lima puluh tahun setelah
penemuan Jenner.
Gagasan bahwa organisme patogen menyebabkan penyakit tidak sepenuhnya terwujud sampai
kemajuan teknologi tertentu terjadi. Awalnya, pengembangan mikroskop oleh Antoni van
Leeuwenhoek dan kesadaran selanjutnya bahwa ada entitas yang tidak terlihat oleh mata manusia,
memungkinkan konsep kuman diapresiasi. Bahwa organisme ini adalah agen penyebab penyakit,
belum diketahui sampai Louis Pasteur mengembangkan teori kuman penyakitnya . Minat awalnya
adalah fermentasi anggur dan bir, dan dia adalah orang pertama yang mengisolasi organisme yang
menyebabkan proses fermentasi.
Koch mempublikasikan hasil penemuannya mengenai anthrax pada tahun 1876 dan dihargai
di Kantor Kesehatan Istana di Berlin pada 1880. Di Berlin dia meningkatkan metode yang dia pakai di
Wollstein, termasuk teknik pencemaran dan pemurnian, dan media pertumbuhan bakteri, termasuk
piring agar dan cawan petri (dinamakan setelah J.R. Petri), keduanya masih digunakan sampai
sekarang. Organisme parasit masih menjadi pekerjaan yang sulit bagi para ilmuan.
Salah satu penyakit akibat organisme parasit yaitu penyakit malaria yang ditimbulkan oleh
plasmodium kaki gajah oleh Wuchereria bancrofti yang masih merambah di belahan bumi ini
terutama di daerah tropis. Penemuan oleh Robert Koch dan penemuan besar lain pada abat 19 telah
mengilhami penemuan-penemuan lain mengenai vaksin beberapa penyakit, sehingga penyalit aibat
mikroorganisme dapat dikendalikan.
Hasil penemuan Koch lainnya yaitu penemuan mengenai bakteri yang menyebabkan
tuberkulosis (Mycobacterium tuberculosis) pada 1882 (penemuan dipublikasikan pada 24 Maret).
Tuberkolosis adalah penyebab dari satu dalam tujuh kematian di pertengahan abad ke-19. Pada saat
itu secara luas diyakini bahwa TBC adalah penyakit bawaan. Namun Koch yakin bahwa penyakit itu
disebabkan oleh bakteri dan menular, lalu dia menguji empat postulatnya menggunakan kelinci
percobaan. Melalui eksperimen ini ditemukan bahwa hasil eksperimennya tentang TBC, agen
penyebab penyakit tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis yang tumbuh lambat.
Pada tahun 1880an Louis Pasteur yang merupakan seorang ilmuwan kimiawan dan ahli
mikrobiologi kelahiran Perancis, terkenal karena penemuannya tentang prinsip vaksinasi fermentasi
mikroba dan pasteurisasi (cara mencegah pembusukan makanan hingga beberapa waktu lamanya
dengan proses pemanasan). Dia dikenal karena terobosan yang luar biasa dalam hal penyebab dan
pencegahan suatu penyakit. Dari hasil penemuannya ia telah menyelamatkan hidup orang banyak,
dengan dibuktikan dengan menurunnya angka kematian dari demam nifas dan menciptakan vaksin
pertama untuk rabies dan antraks.
Klarifikasi respon imun dan ilmu imunologi tidak berkembang secara sistematis atau
kronologis. Meskipun demikian, setelah para ilmuwan memiliki pemahaman dasar tentang cabang
seluler dan humoral dari sistem kekebalan tubuh, yang tersisa hanyalah identifikasi berbagai
komponen sistem rumit ini, dan mekanisme interaksinya. Hal ini tidak mungkin tercapai tanpa adanya
perkembangan biologi molekuler dan genetika.
Jika sistem kekebalan tubuh manusia dapat bekerja dengan benar, sistem ini akan mampu
melindungi tubuh terhadappaparan infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat
asing lain dalam tubuh. Hal yang akan terjadi apabila sistem kekebalan kurang optimal atau melemah
dalam bekerja, maka akan didapatkan kemampuannya dalam melakukan proses perlindungan terhadap
tubuh yang berkurang optimal, sehingga potensial sekali untuk menyebabkan patogen baik itu kuman,
parasit maupun virus dapat berkembang dalam tubuh. Selain sebagai perlindungan terhadap kuman,
parasit dan virus, sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap perkembangan dan
munculnya sel tumor. Apabila sistem imun mengalami hambatan dalam berkerja, maka dapat
meningkatkan resiko timbulnya beberapa jenis tumor dalam tubuh baik yang bersifat jinak maupun
ganas.
Pengetahuan imunologi yang maju telah dapat dikembangkan untuk menerangkan patogenesis
serta menegakkan diagnosis berbagai penyakit yang sebelumnya masih kabur. Kemajuan dicapai
dalam pengembangan berbagai vaksin dan obat-obat yang digunakan dalam memperbaiki fungsi
sistem imun dalam memerangi infeksi dan keganasan, atau sebaliknya digunakan untuk menekan
inflamasi dan fungsi sistem imun yang berlebihan pada penyakit hipersensitivitas.
Fungsi sistem imun
Dalam pandangan modern, system imun mempunyai tiga fungsi utama yaitu: pertahanan,
homeostasis dan perondaan.
1. Pertahanan
Fungsi pertahanan menyangkut pertahanan terhadap antigen dari luar tubuh seperti invasi
mikroorganisme dan parasit kedalam tubuh. Ada dua kemungkinan yang terjadi dari hasil perlawanan
antara dua fihak yang berhadapan tersebut, yaitu tubuh dapat bebas dari akibat yang merugikan atau
sebaliknya, apabila fihak penyerang yang lebih kuat (mendapat kemenangan), maka tubuh akan
menderita sakit.
2. Homeostasis
Fungsi homeostasis, memenuhi persyaratan umum dari semua organisma multiseluler yang
menghendaki selalu terjadinya bentuk uniform dari setiap jenis sel tubuh. Dalam usaha memperoleh
keseimbangan tersebut, terjadilah proses degradasi dan katabolisme yang bersifat normal agar unsure
seluler yang telah rusak dapat dibersihkan dari tubuh. Sebagai contoh misalnya dalam proses
pembersihan eritrosit dan leukosit yang telah habis masa hidupnya.
3. Perondaan
Fungsi perondaan menyangkut perondaan diseluruh bagian tubuh terutama ditujukan untuk
memantau pengenalan terhadap sel-sel yang berubah menjadi abnormal melalui proses mutasi.
Perubahan sel tersebut dapat terjadi spontan atau dapat diinduksi oleh zat-zat kimia tertentu, radiasi
atau infeksi virus. Fungsi perondaan (surveillance) dari sistem imun bertugas untuk selalu waspada
dan mengenal adanya perubahabperubahan dan selanjutnya secara cepat membuang konfigurasi yang
baru timbul pada permukaan sel yang abnormal.
Fungsi dari sistem imun adalah satu sistem terpenting yang terus menerus melakukan tugas
dan kegiatan dan tidak pernah melalaikan tugasnya dalam menjaga kekebalan tubuh. Sistem ini
melindungi tubuh sepanjang waktu dari semua jenis penyerang atau benda asing yang berpotensi
menimbulkan berbagai penyakit pada tubuh. Ia bekerja bagi tubuh bagaikan pasukan tempur yang
mempunyai persenjataan lengkap.
Setiap sistem, organ, atau kelompok sel di dalam tubuh mewakili keseluruhan di dalam suatu
pembagian kerja yang sempurna. Setiap kegagalan dalam sistem akan menghancurkan tatanan ini.
Sistem imun sangat sangat diperlukan bagi tubuh kita. Sistem imun adalah sekumpulan sel, jaringan,
dan organ yang terdiri atas sistem pertahanan yang dibedakan berdasarkan bagian yang dapat dilihat
oleh tubuh atau permukaan tubuh manusia sepeti kulit, air mata, air liur, bulu hidung, keringat, cairan
mukosa, rambut. Selain itu ada bagian yang tidak dapat dilihat dari luar tubuh karena terletak didalam
tubuh seperti timus, limpa, sistem limfatik, sumsum tulang, sel darah putih/leukosit, antibodi, dan
hormon. Semua bagian sistem imun ini bekerja sama dalam melawan masuknya virus, bakteri, jamur,
cacing, dan parasit lain yang memasuki tubuh melalui kulit, hidung, mulut, atau bagian tubuh lain.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa fungsi sistem imun merupakan suatu rangkaian
sistem untuk melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit dengan cara menghancurkan dan
menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)
yang masuk ke dalam tubuh. Selain berfungsi menghilangkan mikroorganisme, sistem imun mampu
untuk menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk selanjutnya dilakukan perbaikan
jaringan dan mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.
Peran dan fungsi sistem imun dalam tubuh dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat
mengganggunya, antara lain yaitu seperti faktor genetik (keturunan), fisiologis, stres, usia, hormon,
olahraga, tidur, nutrisi, pajanan zat berbahaya dan penggunaan obat-obatan. Faktor genetik yaitu
timbulnya kerentanan terhadap suatu penyakit terjadi karena ada riwayat genetik atau keturunan yang
dominan. Contohnya, seseorang dengan riwayat keluarga diabetes melitus akan lebih beresiko
menderita penyakit tersebut dalam hidupnya. Terdapat beberapa penyakit yang dipengaruhi oleh
faktor genetik yaitu kanker, alergi, penyakit jantung, penyakit ginjal dan penyakit mental.
Faktor fisiologis berperan dalam mempengaruhi kerja sistem pertahanan tubuh dengan
melibatkan beberapa fungsi dari berbagai organ yang ada pada tubuh. Organ di dalam tubuh saling
berkaitan membentuk suatu sistem, dimana apabila salah satu fungsi organ yang terganggu akan
mempengaruhi kerja organ yang lain. Contohnya, berat badan yang berlebihan akan menghambat
sirkulasi darah kurang lancar sehingga dapat meningkatkan kerentanan terhadap beberapa penyakit
seperti jantung, diabetes, hipertensi dan berbagai penyakit lain.
Dewasa ini semakin peliknya kehidupan dengan berbagai stresor yang ada menjadikan faktor
stres dapat mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan mempengaruhi kerja dari hormone yang
ada pada tubuh. Dalam kondisis stress tubuh akan melepaskan hormon seperti neuroedokrin,
glukokortikoid, dan katekolamin. Adanya peningkatan hormon berdampak pada penurunan jumlah
produksi sel darah putih dan berdampak buruk pada produksi antibodi. Faktor Usia, dapat
meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap penyakit tertentu. Contohnya bayi yang lahir
secara prematur butuh perawatan lebih karena lebih rentan terhadap infeksi dari pada bayi yang
normal. Pada usia 45 tahun atau lebih meningkatkan resiko timbulnya penyakit kanker.
Faktor Hormon dalam mempengaruhi kerja sistem pertahanan tubuh bergantung pada jenis
kelamin. Wanita memproduksi hormon estrogen. Sedangkan pria memproduksi hormon androgen
yang bersifat memperkecil resiko penyakit autoimun, sehingga penyakit lebih sering dijumpai pada
wanita. Faktor aktifitas dalam mempengaruhi sistem pertahanan tergantung dari pola aktifitas
keseharian. Jika dilakukan secara teratur seperti melakukan olah raga akan membantu meningkatkan
aliran darah dan membersihkan tubuh dari racun. Namun, olahraga yang berlebihan meningkatkan
kebutuhan suplai oksigen sehingga memicu timbulnya radikal bebas yang dapat merusak sel-sel
tubuh.
Pola istirahat tidur juga mempengaruhi kerja sistem pertahanan, pada saat tidur tubuh akan
beregenerasi memperbaiki sistem di ldalam tubuh. Gangguan pola istirahat tidur yang terjadi pada
seseorang akan menyebabkan perubahan pada jaringan sitokin yang dapat menurunkan imunitas
seluler, sehingga kekebalan tubuh menjadi melemah.
Asupan nutrisi merupakan hal yang penting dalam sistem imun tubuh, contohnya asupan
nutrisiseperti vitamin dan mineral diperlukan dalam pengaturan sistem imunitas. DHA
(docosahexaeonic acid) dan asam arakidonat mempengaruhi maturasi (pematangan) sel T. Protein
diperlukan dalam pembentukan imunoglobulin dan komplemen. Namun, kadar kolesterol yang tinggi
dapat memperlambat proses penghancuran bakteri oleh makrofag. Pajanan zat berbahaya, contohnya
bahan radioaktif, peptisida, rokok, minuman beralkohol dan bahan pembersih kimia mampu
menurunkan fungsi imun tubuh. Penggunaan obat-obatan tertentu, seperti penggunaan antibiotik yang
berlebihan atau teratur, menyebabkan bakteri lebih resisten, sehingga ketika bakteri menyerang lagi
maka sistem kekebalan tubuh akan gagal melawannya.
Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang
dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Sistem imun dapat dibagi menjadi sistem
imun alamiah atau non spesifik (natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).
Sistem imun non spesifik (Innate) dan sistem imun spesifik (Adaptive) adalah komponen dari sistem
pertahanan inang yang terintegrasi di mana banyak sel dan molekul berfungsi secara kooperatif.
Mekanisme sistem imun non spesifik (Innate) memberikan pertahanan awal yang efektif terhadap
infeksi. Namun, banyak mikroba patogen telah berevolusi untuk melawan sistem imun non spesifik
(Innate) dan dalam proses pengeliminasinya membutuhkan mekanisme sistem imun spesifik
(Adaptive yang lebih kuat. Terdapat banyak hubungan antara sistem imun non spesifik (Innate) dan
sistem imun spesifik (Adaptive). sistem imun non spesifik (Innate) terhadap mikroba akan
menstimulasi sistem imun spesifik (Adaptive) dan memengaruhi sifat respons adaptive. Sebaliknya,
adaptive sering kali bekerja dengan meningkatkan mekanisme perlindungan innate, sehingga lebih
mampu memerangi mikroba patogen secara efektif.
Respon imun diperantarai oleh berbagai sel dan molekul larut yang disekresi oleh sel-sel
tersebut. Sel-sel utama yang terlibat dalam reaksi imun adalah limfosit (sel B, sel T, dan sel NK),
fagosit (neutrofil,eosinofil, monosit dan makrofag), sel asesori (basofil, sel mast, dan trombosit), sel-
sel jaringan, dan lain-lain. Bahan larut yang disekresi dapat berupa antibodi, komplemen, mediator
radang, dan sitokin. Walaupun bukan merupakan bagian utama dari respon imun, sel-sel lain dalam
jaringan juga dapat berperan serta dengan memberi isyarat pada limfosit atau berespons terhadap
sitokin yang dilepaskan oleh limfosit dan makrofag.
Sebagaimana sistem-sistem yang lain dalam tubuh, sistem imun mungkin pula dapat
mengalami penyimpangan pada seluruh jaringan komunikasi baik berbentuk morfologis ataupun
gangguan fungsional. Gangguan morfologis, misalnya tidak berkembangnya secara normal kelenjar
timus sehingga mengakibatkan defisiensi pada limfosit T. Sedangkan gangguan fungsional yang
bermanifestasi sebagai toleransi imunologik disebabkan karena lumpuhnya mekanisme respons imun
terhadap suatu antigen tertentu. Penyimpangan lain dalam mekanisme respons imun dapat berbentuk
sebagai reaksi alergi, anafilaksis ataupun hipersensitifitas tipe lambat, dimana semua ini kadang-
kadang menimbulkan kerugian pada jaringan tubuh. Keadaan ini disebabkan karena gangguan fungsi
sistem imun.
Gangguan fungsi homeostatik pada system imun dapat menimbulkan kelainan yang
dinamakan penyakit autoimun. Hal ini disebabkan oleh karena system imun melihat konfigurasi dari
tubuh sendiri (self), sebagai benda asing, akibatnya respons imun ditujukan kepada jaringan tubuh
sendiri sehingga dapat membawa kerugian.
Apabila fungsi ketiga yang bertugas sebagai surveillance mengalami gangguan, akan
mengakibatkan tidak bekerjanya system pemantauan terhadap perubahan-perubahan pada sel tubuh,
sehingga akhirnya sel-sel abnormal tersebut berkembang biak diluar kendali yang menimbulkan
penyakit yang bersifat pertumbuhan ganas.
Selain faktor genetik, terdapat sejumlah factor yang dapat mempengaruhi mekanisme imun
seperti: faktor metabolik, lingkungan, gizi, anatomi, fisiologi, umur dan mikroba.
1) Faktor Metabolik
Beberapa hormon dapat mempengaruhi respons imun tubuh, misalnya pada keadaan
hipoadrenal dan hipotiroidisme akan mengakibatkan menurunnya daya tahan terhadap infeksi.
Demikian juga pada orang-orang yang mendapat pengobatan dengan sediaan steroid sangat mudah
mendapat infeksi bakteri maupun virus. Steroid akan menghambat fagositosis, produksi antibodi dan
menghambat proses radang. Hormon kelamin yang termasuk kedalam golongan hormone steroid,
seperti androgen, estrogen dan progesterone diduga sebagai faktor pengubah terhadap respons imun.
Hal ini tercermin dari adanya perbedaan jumlah penderita antara laki-laki dan perempuan yang
mengidap penyakit imun tertentu.
2) Faktor lingkungan
Kenaikan angka kesakitan penyakit infeksi, sering terjadi pada masyarakat yang taraf
hidupnya kurang mampu. Kenaikan angka infeksi tersebut, mungkin disebabkan oleh karena lebih
banyak menghadapi bibit penyakit atau hilangnya daya tahan tubuh yang disebabkan oleh jeleknya
keadaan gizi.
3) Faktor Gizi
Keadaan gizi seseorang sangat berpengaruh terhadap status imun seseorang. Tubuh
membutuhkan enam komponen dasar bahan makanan yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan
pemeliharaan kesehatan tubuh. Keenam komponen tersebut yaitu: protein, karbohidrat, lemak,
vitamin, mineral dan air. Gizi yang cukup dan sesuai sangat penting untuk berfungsinya system imun
secara normal. Kekurangan gizi merupakan penyebab utama timbulnya imunodefisiensi.
4) Faktor Anatomi
Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba biasanya terdapat pada kulit dan
selaput lender yang melapisi bagian permukaan dalam tubuh. Struktur jaringan tersebut, bertindak
sebagai imunitas alamiah dengan menyediakan suatu rintangan fisik yang efektif. Dalam hal ini kulit
lebih efektif dari pada selaput lender. Adanya kerusakan pada permukaan kulit, atau pada selaput
lender, akan lebih memudahkan timbulnya suatu penyakit.
5) Faktor Fisiologis
Getah lambung pada umumnya menyebabkan suatu lingkungan yang kurang menguntungkan
untuk sebagian besar bakteri pathogen. Demikian pula dengan air kemih yang normal akan membilas
saluran kemih sehingga menurunkan kemungkinan infeksi oleh bakteri. Pada kulit juga dihasilkan
zatzat yang bersifat bakterisida. Didalam darah terdapat sejumlah zat protektif yang bereaksi secara
non spesifik. Faktor humoral lainnya adalah properdin dan interferon yang selalu siap untuk
menanggulangi masuknya zat-zat asing.
6) Faktor Umur
Berhubung dengan perkembangan sistem imun sudah dimulai semasa dalam kandungan,
maka efektifitasnya juga diawali dari keadaan yang lemah dan meningkat sesuai dengan
bertambahnya umur. Walaupun demikian tidak berarti bahwa pada umur lanjut, sistem imun akan
bekerja secara maksimal. Malah sebaliknya fungsi sistem imun pada usia lanjut akan mulai menurun
dibandingkan dengan orang yang lebih muda, walaupun tidak mengalami gangguan pada sistem
imunnya. Hal tersebut, selain disebabkan karena pengaruh kemunduran biologik, secara umum juga
jelas berkaitan dengan menyusutnya kelenjar timus. Keadaan tersebut akan mengakibatkan
perubahan-perubahan respons imun seluler dan humoral. Pada usia lanjut resiko akan timbulnya
berbagai kelainan yang melibatkan sistem imun akan bertambah, misalnya resiko menderita penyakit
autoimun, penyakit keganasan, sehingga akan mempermudah terinfeksi oleh suatu penyakit.
7) Faktor Mikroba
Berkembangnya koloni mikroba yang tidak pathogen pada permukaan tubuh,baik diluar
maupun didalam tubuh, akan mempengaruhi sistem imun. Misalnya dibutuhkan untuk membantu
produksi natural antibody. Flora normal yang tumbuh pada tubuh dapat pula membantu menghambat
pertumbuhan kuman pathogen. Pengobatan dengan antibiotika tanpa prosedur yang benar, dapat
mematikan pertumbuhan flora normal, dan sebaliknya dapat menyuburkan pertumbuhan bakteri
pathogen.
Sistem imum non spesifik (Innate) atau sistem kekebalan tubuh bawaan menghalangi
masuknya mikroba dan menghilangkan atau membatasi pertumbuhan banyak mikroba yang dapat
menjajah jaringan. Tempat utama interaksi antara individu dan lingkungannya. Misalnya kulit, paru-
paru, serta saluran pencernaan dan pernapasan yang dilapisi oleh epitel yang terus menerus, berfungsi
sebagai penghalang untuk mencegah masuknya mikroba dari lingkungan luar. Jika mikroba berhasil
menembus penghalang epitel, maka mikroba akan berhadapan dengan sel-sel kekebalan bawaan
lainnya. Respons kekebalan bawaan seluler terhadap mikroba terdiri dari dua jenis reaksi utama, yaitu
peradangan dan pertahanan antivirus. Peradangan merupakan suatu proses penarikan leukosit dan
protein plasma dari darah, akumulasi dalam jaringan serta aktivasi untuk menghancurkan mikroba.
Sejumlah besar reaksi ini melibatkan sitokin yang diproduksi oleh sel dendritik, makrofag, dan jenis
sel lainnya selama reaksi kekebalan bawaan. Leukosit utama yang terlibat dalam peradangan adalah
fagosit, neutrofil (yang memiliki masa hidup yang pendek dalam jaringan) dan monosit (yang
berkembang menjadi makrofag jaringan). Fagosit menelan mikroba dan sel-sel mati dan
menghancurkannya di dalam vesikel intraseluler. Pertahanan antivirus terdiri dari reaksi yang
dimediasi sitokin di mana sel memperoleh resistensi terhadap infeksi virus dan membunuh sel yang
terinfeksi virus oleh sel khusus dari sistem kekebalan tubuh bawaan, sel pembunuh alami atau natural
killer (NK).
Mikroba yang mampu menahan reaksi pertahanan dalam jaringan ini dapat masuk ke dalam
darah, sehingga dapat dikenali oleh protein imunitas bawaan yang bersirkulasi. Di antara protein
plasma yang paling penting dari imunitas bawaan adalah komponen sistem komplemen. Ketika
protein komplemen diaktifkan oleh permukaan mikroba, produk pembelahan proteolitik dihasilkan
yang memediasi respons inflamasi, melapisi (mengopsonisasi) mikroba untuk meningkatkan
fagositosis, dan secara langsung melisiskan mikroba. Protein plasma lainnya memasuki tempat infeksi
selama reaksi inflamasi dan membantu memerangi mikroba dalam jaringan ekstravaskular.
Berbagai reaksi imunitas bawaan ini efektif dalam mengendalikan dan bahkan memusnahkan
berbagai infeksi. Akan tetapi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, banyak mikroba patogen
telah berevolusi untuk melawan kekebalan bawaan. Pertahanan terhadap patogen ini membutuhkan
mekanisme imunitas adaptif yang lebih kuat dan terspesialisasi.
Imunitas non spesifik fisiologik berupa komponen normal tubuh, selalu ditemukan pada
individu sehat dan siap mencegah mikroba masuk tubuh dan dengan cepat menyingkirkannya. Semua
mekanisme pertahanan ini merupakan bawaan (innate) yang berarti pertahanan tersebut secara
alamiah ada dan tidak adanya pengaruh secara intrinsik oleh kontak dengan agen infeksi sebelumnya.
Mekanisme pertahanan ini berperan sebagai garis pertahanan pertama dan penghambat kebanyakan
patogen potensial sebelum menjadi infeksi yang tampak.
a) Pertahanan fisik/mekanik
Dalam sisitem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk
dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Keratinosit dan lapisan epidermis
kulit sehat dan epitel mukosa yang utuh tidak dapat ditembus kebanyakan mikroba. Kulit yang rusak
akibat luka bakar dan selaput lendir saluran napas yang rusak oleh asap rokok akan meningkatkan
risiko infeksi. Tekanan oksigen yang tinggi di paru bagian atas membanu hidup kuman obligat aerob
seperti tuberculosis.
b) Pertahanan biokimia
pH asam keringat, sekresi sebaseus, berbagai asam lemak yang dilepas kulit, lizosim dalam
keringat, ludah, air mata, dan air susu ibu, enzim saliva, asam lambung, enzim proteolitik, antibodi,
dan empedu dalam usus halus, mukosa saluran nafas, gerakan silia.
Kebanyakan mikroba tidak dapat menembus kulit yang sehat, namun beberapa dapat masuk
tubuh melalui kelenjar sebasue dan folikel rambut. pH asam keringat sekresi sebasues, berbagai asam
lemak yang dilepas kulit mempunya efek denaturasi terhadap protein membran sel sehingga dapat
terjadi melalui kulit lisozim dalam keringat, ludah air mata dan air susu ibu, melindungi tubuh
terhaadap berbagai kuman positif-Gram oleh karena dapat menghancurkan lapisan peptidoglikan
dinding bakteri. Air susu juga mengandung laktooksidase dan asam neuranminik yang mempunyai
sifat antibakterial terhadap E. coli dan stafilokok. Saliva mengandung enzim seperti laktooksidase
yang merusak dinding sel mikroba dan menimbulkan kebocoran sitoplasma dan juga mengandung
antibodi serta komplemen yang dapat berfungsi sebagai opsonin dalam lisis sel mikroba.
Asam hidroklorida dalam lambung enzim proteolitik, antibodi dan empedu dalam usus halus
membantu menciptakan lingkungan yang dapat mencegah infeksi banyak mikroba. pH yang rendah
dalam vagina spermin dalam semen dan jaringan lain dapat mencegah tumbuhnya bakteri gram
positif. Pembilasan oleh urin dapat menyingkirkan kuman patogen. laktoferin dan transferin dalam
serum mengikat besi yang merupakan metabolit esensial untuk hidup beberapa jenis mikroba seperti
pseudomonas.
Bahan yang disekresi mukosa saluran napas (enzim dan antibodi) dan telinga berperan dalam
pertahanan tubuh secara biokimia. Mukus yang kental melindungi sel epitel mukosa dapat menangkap
bakteri dan bahan lainnya yang selanjutnya dikeluarkan oleh gerakan silia. Polusi, asap rokok, alkohol
dapat merusak mekanisme tersebut sehingga memudahkan terjadinya infeksi oportunistik.
Udara yang dihirup, kulit dan saluran cerna, mengandung banyak mikroba, biasanya berupa
bakteri dan virus, kadang jamur atau parasit. Sekresi kulit yang bakterisidal, asam lambung, mukus
dan silia di saluran napas membantu menurunkan jumlah mikroba yang masuk tubuh, sedang epitel
yang sehat biasanya dapat mencegah mikroba masuk kedalam tubuh. IgA juga pertahanan permukaan
mukosa, memusnahkan banyak bakteri dengan meruak dinding selnya. IgA juga pertahanan
permukaan mukosa. Flora normal (biologis) terbentuk bila bakteri nonpatogenik menempati
permukaan epitel. Flora tersebut dapat melindungi tubuh melalui kompetisi dengan patogenuntuk
makanan dan tempat menempel pada epitel serta produksi bahan antimikrobial. Penggunaan antibiotik
dapat mematikan flora normal sehingga bakteri patogenik dapat menimbulkan penyakit.
Mekanisme imunitas nonspesifik terhadap bakteri pada tingkat fisik seperti kulit atau
permukaan mukosa, sebagai berikut:
1) Bakteri yang bersifat simbiotik atau komensal yang ditemukan di kulit pada daerah
terbatas hanya menggunakan sedikit nutrien, sehingga kolonisasi mikroorganisme patogen
sulit terjadi.
2) Kulit merupakan selaput fisik efektif dan pertumbuhan bakteri dihambat sehingga agen
patogen yang menempel akan dihambat oleh pH rendah dari asam laktat yang terkandung
dalam sebum yang dilepas kelenjar keringat.
3) Sekret dipermukaan mukosa mengandung enzim destruktif sepertin lisozim yang
menghancurkan dinding sel bakteri.
4) Saluran napas dilindungi oleh gerakan mukosiliar sehingga lapisan mukosa secara
terusmenerus digerakkan menuju arah nasofaring.
5) Bakteri ditangkap oleh mukus sehingga dapat disingkirkan dari saluran napas.
6) Sekresi mukosa saluran napas dan saluran cerna mengandung peptida antimikrobial yang
dapat memusnahkan mikroba pathogen.
7) Mikroba patogen yang berhasil menembus selaput fisik dan masuk ke jaringan
dibawahnya dapat dimusnahkan dengan bantuan komplemen dan dicerna oleh fagosit.
Kulit, kornea dan mukosa saluran pernapasan, GI, dan GU membentuk penghalang fisik yang
merupakan garis pertahanan pertama tubuh. Beberapa hambatan yang memiliki fungsi kekebalan
aktif, sebagai berikut:
1) Epidermis luar dan keratin: Keratinosit dalam kulit mengeluarkan peptida antimikroba
(defensin), dan kelenjar sebasea dan keringat mengeluarkan zat penghambat mikroba
(misalnya, asam laktat, asam lemak). Juga, banyak sel imun (misalnya Sel mast, limfosit
intraepitel, sel Langerhans pengambilan sampel antigen) berada di kulit.
2) Mukosa saluran pernapasan, GI, dan GU: Lendir mengandung zat antimikroba, seperti
lisozim, laktoferin, dan antibodi IgA sekretori (SIgA).
c) Pertahanan humoral
Pertahanan humoral terdiri dari komplemen, protein fase akut, mediator asal fosfolipid,
sitokin IL-1, IL-6, TNF-α. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan
memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respons inflamasi. Komplemen berperan
sebagai opsonin yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor kemotaktik dan juga menimbulkan
destruksi/lisis bakteri dan parasit. Protein fase akut terdiri dari CRP, lektin, dan protein fase akut lain
α1- antitripsin, amyloid serum A, haptoglobin, C9, faktor B dan fibrinogen. Mediator asal fosfolipid
diperlukan untuk produksi prostaglandin dan leukotrien. Keduanya meningkatkan respons inflamasi
melalui peningkatan permeabilitas vaskular dan vasodilatasi.
Pertahanan humoral terbagi menjadi tiga yaitu:
Selama fase akut infeksi, terjadi perubahan pada kadar beberapa protein dalam serum yang
disebut APP. Yang akhir merupakan bahan antimikrobial dalam serum yang meningkat dengan cepat
setelah sistem imun nonspesifik diaktifkan. Protein yang meningkat atau menurun selama fase akut
disebut juga APRP yang berperan dalam pertahanan dini. APRP diinduksi oleh sinyal yng berasa dari
tempat cedera atau infeksi melalui darah. Hati merupakan tempat sintesis APRP. Sitokin TNF-α, IL-1,
{L-6 merupakan sitokin proinflamasi dan berperan dalam induksi APRP.
C-reaktive Protein (CRP) yang merupakan salah satu PFA termasuk golongan protein yang
kadarnya dalam darah meningkat pada infeksi akut sebagai respons imunitas nonspesifik.
Sebagai opsonin, CRP mengikat berbagai mikroorganisme, protein C pneumokok yang
membentuk kompleks dan mengaktifkan komplemen jalur klasik. Pengukuran CRP
digunakan untuk menilai aktivitas penyakit inflamasi. CRP dapat meningkat 100x atau
lebih dan berperan pada imunitas nonspesifik yang dengan bantuan Ca ⁺⁺ dapat mengikat
berbagaimolekul antara lain fosforilkolin yang ditemkan pada permukaan bakteri/jamur.
Sintesis CRP yang meningkat meninggikan viskositas plasma dan laju endap darah.
Adanya CRP yang tetap tinggi menunjukkan infeksi yang persisten.
Lektin/kolektin adalah molekul yang larut dalam plasma dan dapat mengikat
manan/manosa dalam polisakarida. Permukaannya banyak bakteri seperti galur
pneumokok dan banyak mikroba, tetapi tidak pada vertebrata. Lektin berperan sebagai
opsonin dan mengaktifkan komplemen.
Protein fase akut yang lain adalah α1-antitripsin, amiloid serum A, haptoglobin, C9, faktor
B dan fibrinogen yang juga berperan pada peningkatan laju endap darah akibat infeksi,
namun jauh lebih lambat dibanding dengan CRP. Secara keseluruhan, respons fase akut
memberikan efek yang menguntungkan melalui peningkatan resistensi pejamu,
mengurangi cedera jaringan dan meningkatkan resolusi dan perbaikan cedera inflamasi.
Metabolisme fosfolipid diperlukan untuk produksi PG dan LTR. Keduanya meningkatkan
respons inflamasi melalui peningkatan permeabilitas vaskuler dan vasodilatasi.
2) Komplemen (Opsonisasi, Sitolisis)
Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang bila diaktifkan akan memberikan
proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon inflamasi. Komplemen dengan spektrum
aktivitas yang luas diproduksi oleh hepatosit dan monosit dan dapat diaktifkan secara langsung oleh
mikroba atau produknya (jalur alternatif, klasik dan lektin). Komplemen berperan sebagai opsonin
yang meningkatkan fagositosis, sebagai faktor kemotaktik dan juga menimbulakn destruksi/lisis
bakteri dan parasit. Komplemen rusak pada pemanasan 56°C selama 30 menit. Serum normal dapat
memusnahkan dan menghancurkan beberapa bakteri Gram negatif atas kerja sama antara antibodi dan
komplemen yang ditemukan dalam serum normal. Antibodi dengan bantuan komplemen dapat
menghancurkan membran lapisan LPS dinding sel Bila lapisan LPS menjadi lemah, lisozim,
mukopeptida dalam serum dapat menembus membran bakteri dan menghancurkan lapisan
mukopeptida.
3) Sitokin
Sitokin berbagai molekul yg berfungsi memberi sinyal antara Limfosit, Fagosit & Sel-Sel lain
untuk membangkitkan respon imun. Contoh sitokin antara lain adalah interferon, interleukin, Coloni
Stimulating Factor (CSF), Tumor Necrosis Factor (TNF). Sitokin IL-1, -6, TNFα. Selama terjadi
infeksi, produk bakteri seperti LPS mengaktifkan makrofag dan sel lain untuk memproduksi dan
melepas berbagai sitokin seperti IL-1 yang merupakan pirogen endogen, TNF-α dan IL-6. Pirogen
adalah bahan yang menginduksi demam yang dipacu baik oleh faktor eksogen (endotoksin asal
bakteri negatif-Gram) atau endogen seperti IL-1 yang diproduksi makrofag dan monosit. Ketiga
sitokin tersebut disebut sitokin proinflamasi, merangsang hati untuk mensintesis dan melepas
sejumlah protein plasma seperti protein fase akut antara lain CRP yang dapat meningkat 1000x, MBL
dan SAP.
d) Pertahanan seluler
Fagosit, sel NK, sel mast, dan eosinofil berperan dalam sistem imun non spesifik seluler. Sel-
sel imun tersebut dapat ditemukan dalam sirkulasi atau jaringan.Contoh sel yang dapat ditemukan
dalam sirkulasi adalah neutrofil, eosinofil, basofil, monosit, sel T, sel B, sel NK, sel darah merah, dan
trombosit. Contoh sel-sel dalam jaringan adalah eosinofil, sel mast, makrofag, sel T, sel plasma dan
sel NK (Natural killer).
Fagosit profesional adalah sel yang berperan pada proses fagositosis yaitu polimorfonuklear
(PMN) dan monosit. Monosit yang berada dalam jaringan disebut makrofag. Makrofag mempunyai
beberapa nama sesuai dengan jaringan yang ditempati. Makrofag pada kulit disebut langerhans, pada
syaraf disebut dendrit, pada hati disebut kupfer, pada otak disebut makroglia, pada lung disebut
alveolar makrofag.
Sel-sel ini berasal dari promonosit sumsum tulang yang, setelah diferensiasi menjadi monosit
darah, akhirnya tinggal di jaringan sebagai makrofag dewasa dan membentuk sistem fagosit
mononukleus. Mereka ditemukan di seluruh jaringan ikat dan di sekitar membran dasar di pembuluh
darah kecil dan terbanyak di dapat di paru-paru (makrofag alveolar), hati (sel-sel Kupffer), dan di
permukaan sinus-sinus.
Di limpa dan sinus-sinus meduler kelenjar getah bening pada posisi yang strategis untuk
menyaring bahan-bahan asing. Tidak seperti polimorf, mereka adalah sel-sel berumur panjang dengan
retikulum endoplasmik berpermukaan kasar dan mitokondria. Walaupun sel polimorf menyusun
pertahanan utama melawan bakteri piogenik (pembentukan pus). Namun secara garis besar dapat
dikatakan bahwa makrofag berada di posisi yang terbaik melawan bakteri, virus dan protozoa yang
mampu hidup di sel-sel tubuh manusia.
Makrofag sebagai fagosit intra sel juga berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC) dan
produksi sitokin. Sebagai APC jika antigennya eksogen maka peptida akan digendong oleh MHC
kelas II yang selanjutnya direspon oleh limfosit T helper sedangkan jika antigennya endogen maka
peptida akan digendong oleh MHC kelas I yang selanjutnya direspon oleh limfosit T sitotoksik.
Limfosit T sitotoksik (CTL) akan menghancurkan sel yang terinfeksi oleh mikroba yang tidak
dapat diakses oleh antibodi dan penghancuran fagosit.
Tujuan dari respons adaptif adalah untuk mengaktifkan satu atau lebih mekanisme pertahanan
ini terhadap beragam mikroba yang mungkin berada di lokasi anatomis yang berbeda, seperti usus
atau saluran napas, sirkulasi, atau di dalam sel.
Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi
tertentu sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari. Sistem imun spesifik terdiri
atas sistem humoral dan sistem seluler.
Pemeran utama dalam sistem imun spesifik humoral adalah limfosit B atau sel B. Sel B yang
dirangsang oleh benda asing akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma
yang memproduksi antibodi. Fungsi utama antibodi ialah pertahanan terhadap infeksi ekstraseluler,
virus, dan bakteri serta menetralkan toksinnya.
Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik seluler. Sel T terdiri atas beberapa
subset sel dengan fungsi yang berlainan yaitu sel CD4 + (Th1, Th2), CD8+ atau CTL atau Tc dan Ts
atau sel Tr atau Th3. Fungsi utama sistem imun spesifik seluler ialah pertahanan terhadap bakteri yang
hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan. Sel CD4 + mengaktifkan sel Th1 yang
selanjutnya mengaktifkan makrofag untuk menghancurkan mikroba. Sel CD8 + memusnahkan sel
terinfeksi.
Th1 memproduksi IL-2 dan IFN-γ. Th2 memproduksi IL-4 dan IL-5.Treg yang dibentuk dari
timosit di timus mengekspresikan dan melepas TGF-β dan IL-10 yang diduga merupakan petanda
supresif. IL-10 menekan fungsi APC dan aktivasi makrofag sedang TGF-β menekan proliferasi sel T
dan aktivasi makrofag.
Sistem imun seluler terdiri dari sel-sel limfosit T. Sel Limfosit T merupakan sel-sel yang
berasal dari sumsum tulang dan mengalami maturasi atau pematangan di timus. Maturasi berfungsi
untuk memberikan kemampuan pada sel limfosit T agar dapat membedakan sel terinfeksi dan sel
normal. Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel tersebut juga berasal dari
sel asal yang sama seperti sel B. Pada orang dewasa sel T dibentuk didalam sumsum tulang, tetapi
proliferasi dan diferensiasinya terjadi didalam kelenjar timus atau pengaruh berbagaifaktor asal timus.
90-95% dari semua sel T dala timustersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan selanjutnya
meninggalkan timus untuk masuk kedalam sirkulasi.
Terdapat tiga fase terjadinya respon imun spesifik, yaitu fase pengenalan, fase aktivasi dan
fase efektor. Uraiannya sebagai berikut:
a) Fase pengenalan
Sistem pengenalan antigen oleh sel T dibantu oleh suatu produk gen polimorfik MHC. MHC
kelas I pada dasarnya dihasilkan oleh semua sel berinti di dalam tubuh, sementara sel khusus lainnya
menghasilkan MHC kelas II. Kelompok sel ini dikenal sebagai APC (Antigen Presenting Cells)
misalnya makrofag, sel B, dan sel dendritik. Sel T CD4 mengenal peptida yang berasosiasi dengan
MHC kelas II pada permukaan APC, sedangkan Sel T CD8 yang sebagian besar adalah CTL
(cytotoxic T lymphocyte) mengenal fragmen peptida yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I
pada permukaan sel target.
b) Fase aktivasi
Fase aktivasi merupakan rangkaian peristiwa yang diinduksi oleh limfosit akibat pengenalan
antigen spesifik. Limfosit akan mengalami dua perubahan besar dalam merespon antigen yaitu, yang
pertama mereka akan berproliferasi dan mengadakan amplifikasi sehingga bertambah banyak dan
yang kedua, mereka mengalami diferensiasi ke dalam sel efektor yang berfungsi mengeliminasi
antigen atau menjadi sel memori.
c) Fase efektor
Fase efektor merupakan tahapan dimana limfosit yang secara spesifik diaktivasi oleh antigen
dapat melaksanakan fungsi untuk mengeliminasi antigen. Limfosit yang berfungsi dalam fase efektor
respon imun disebut sebagai sel efektor. Fase ini melibatkan diferensiasi sel T dan sel B yang
dibangkitkan selama fase aktivasi, juga dipicu oleh respon imun non spesifik (alamiah). Contoh,
antibody mengikat antigen asing dan memperkuat fagositosis oleh neutrophil dan makrofag di dalam
darah. Antibodi juga mengaktivasi sistem plasma protein (komplemen) yang berpartisipasi dalam
melisiskan dan fagositosis mikroba.
DAFTAR PUSTAKA