Laporan Kelompok Koefisien Partisi
Laporan Kelompok Koefisien Partisi
Laporan Kelompok Koefisien Partisi
BIOFARMASETIKA
KELOMPOK 7
“Koefisien Partisi”
Nama Anggota Kelompok :
1. Alifa Rahmatul 1704015234
2. Anggi Meilisa 1704015239
3. Suliana Chikal 1704015052
Data Kurva Kalibrasi
C (ppm) Absorbansi
120 0,2069
210 0,3040
300 0,4613
390 0,5952
480 0,7351
1 0,7745
2 0,7813
3 0,7847
Percobaan 1 Abs 0,7745
• X = (y – a) ÷ b
= (0,7745 – 0,0113) ÷ 0,0015
= 508,8 ppm
• Kadar ibuprofen dalam kloroform = x × volume kloroform × FP
= 508,8 × 50 mL × (50/25) mL
= 50880 mikrogram = 50,880 mg
• Kadar ibuprofen dalam akuadest
= ibuprofen yg ditimbang – ibuprofen dalam kloroform
= 100 mg – 50,880 mg = 49,12 mg
• Log P = log Co/ log Cw) = Log 50,88/ log 49,12
= 1,7065/1,6913 = 1,0090
Percobaan 2 Abs 0,7813
• X = (y – a) ÷ b
= (0,7813 – 0,0113) ÷ 0,0015
= 513,3 ppm
• Kadar ibuprofen dalam kloroform = x × volume kloroform × FP
= 513,3 × 50 mL × (50/25) mL
= 51330 mikrogram = 51,33 mg
• Kadar ibuprofen dalam akuadest = ibuprofen yg ditimbang – ibuprofen dalam kloroform
= 100 mg – 51,33 mg = 48,67 mg
BCS ( Biopharmaceutical Classification System ) atau sistem klasifikasi biofarmasetika adalah suatu model
eksperimental yang mengukur permeabilitas dan kelarutan suatu zat dalam kondisi tertentu. Sistem ini dibuat
untuk pemberian obat secara oral.
Klasifikasi BCS
Misalnya Metoprolol, Diltiazem, Verapamil, Propranolol. Obat kelas I menunjukkan penyerapan yang tinggi
dan disolusi yang tinggi. Senyawa ini umumnya sangat baik diserap. Senyawa Kelas I diformulasikan
sebagai produk dengan pelepasan segera, laju disolusi umumnya melebihi pengosongan lambung.
Oleh karena itu, hampir 100% penyerapan dapat diharapkan jika setidaknya 85% dari produk larut dalam 30
menit dalam pengujian disolusi in vitro dalam berbagai nilai pH, oleh karena itu data bioekivalensi in vivo
tidak diperlukan untuk menjamin perbandingan produk (Wagh dkk., 2010).
2. Kelas II (Permeabilitas tinggi, Kelarutan rendah)
Misalnya Fenitoin, Danazol, Ketokonazol, asam mefenamat, Nifedipine. Obat kelas II memiliki daya serap
yang tinggi tetapi laju disolusi rendah. Dalam disolusi obat secara in vivo maka tingkat penyerapan terbatas
kecuali dalam jumlah dosis yang sangat tinggi. Penyerapan obat untuk kelas II biasanya lebih lambat
daripada kelas I dan terjadi selama jangka waktu yang lama. Korelasi in vitro-in vivo (IVIVC) biasanya
diterima untuk obat kelas I dan kelas II.
Bioavailabilitas produk ini dibatasi oleh tingkat pelarutnya. Oleh karena itu, korelasi antara bioavailabilitas in
vivo dan in vitro dalam solvasi dapat diamati (Reddy dkk., 2011).
Misalnya Simetidin, Acyclovir, Neomycin B, Captopril. Permeabilitas obat berpengaruh pada tingkat
penyerapan obat, namun obat ini mempunyai laju disolusi sangat cepat. Obat ini menunjukkan variasi yang
tinggi dalam tingkat penyerapan obat. Karena pelarutan yang cepat, variasi ini disebabkan perubahan
permeabilitas membran fisiologi dan bukan faktor bentuk sediaan tersebut. Jika formulasi tidak mengubah
permeabilitas atau waktu durasi pencernaan, maka kriteria kelas I dapat diterapkan (Reddy dkk., 2011).
4. Kelas IV (Permeabilitas rendah, Kelarutan rendah)
Misalnya taxol, hydroclorthiaziade, furosemid. Senyawa ini memiliki bioavailabilitas yang buruk. Biasanya mereka tidak
diserap dengan baik dalam mukosa usus. Senyawa ini tidak hanya sulit untuk terdisolusi tetapi sekali didisolusi, sering
menunjukkan permeabilitas yang terbatas di mukosa GI. Obat ini cenderung sangat sulit untuk diformulasikan (Wagh
dkk., 2010).
Kesimpulan